DINAS SOSIAL PROVINSI J AWA TIMUR
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Per syaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Ilmu Administrasi Negara Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univer sitas Pembangunan Nasional “ Veteran “ J awa Timur
Oleh :
J ONA MARTA SARI
NPM. 1041010011
YAYASAN KESEJ AHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” J AWA TIMUR
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat
rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul
“Pelayanan Sosial Ter hadap Balita Ter lantar Di UPT Pelayanan Sosial Asuhan
Balita Sidoar jo Dinas Sosial Pr ovinsi J awa Timur ”
Pelaksanaan penelitian skripsi yang telah dilalui oleh penulis kurang lebih
selama satu bulan di UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita Sidoarjo. Sekalipun penulis
harus mengalami kesulitan, tetap penulis bersyukur dapat menyelesaikan laporan
penelitian skripsi tepat pada waktunya. Penulis menyadari bahwa didalam penyusunan
laporan ini banyak terdapat kekurangan dan kekeliruan. Selesainya kegiatan hingga
penyusunan laporan ini tidak lepas dari adanya arahan dan bimbingan dari Ibu Dr. Ertien
Rining N, MSi, yang dengan segala perhatian dan kesabarannya rela meluangkan waktu
untuk penulis. Terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan.
Pada kesempatan kali ini penulis juga menyampaikan banyak terima kasih yang
setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan laporan praktek magang ini, diantaranya :
1. Bapak Prof. DR. Ir. Teguh Soedarto MP, selaku Rektor Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
2. Ibu Dra. Hj. Suparwati, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik UPN “Veteran” Jawa Timur.
3. Bapak DR. Lukman Arif, M.Si, selaku Ketua Program Studi Ilmu Administrasi
5. Ibu Dr. Ertien Rining N, MSi selaku Dosen Pembimbing yang dengan
pengorbankan waktu, tenaga dan pikirannya dalam membimbing penulisan ini.
6. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Ilmu Administrasi Negara Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” yang telah memberikan ilmu yang sangat
bernilai. Sehingga ucapan terima kasihpun penulis rasa belum cukup untuk
menghargai jasa Bapak dan Ibu. Namun teriring do’a semoga apa yang sudah
diberikan kepada kami akan terbalaskan dengan berkah dari Sang Ilahi.
7. Kepada KepalaUPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita Sidoarjo dan juga seluruh
Pegawai UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita Sidoarjo dibawah naungan Dinas
Sosial Provinsi Jawa Timur yang telah membantu proses kelancaran ketika
melaksanakan penelitian di instansi tersebut serta dalam pengambilan data.
8. Yang terhormat kedua Orang Tua Bapak dan Ibu, yang senantiasa mengiringi
penulis dengan doa-doa dan dukungan, serta teman-teman Jurusan Ilmu
Administrasi Negara angkatan 2010 yang membantu penulis baik moril maupun
materil.
Akhirnya penulis berharap semoga laporan skripsi ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak. Segala saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan
demi kebaikan laporan ini.
Surabaya, Mei 2014
Halaman
HALAMAN J UDUL ... i
HALAMAN PERSETUJ UAN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN REVISI ... iv
KATA PENGANTAR... ... v
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR TABEL... xii
ABST RAKSI... xiii
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Per umusan Masalah ... 6
1.3. Tujuan Penelitian ... 6
1.4. Manfaat Penelitian ... 7
BAB II KAJ IAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Ter dahulu ... 8
2.2. Landasan Teor i ... 10
2.2.1. Implementasi Kebijakan ... 10
2.2.2. Pelayanan ... 23
2.2.3. Kesejahter aan Sosial ... 33
2.2.4. Per masalahan Anak ... 34
2.2.5. Pelayanan Anak ... 37
2.2.6. Kerangka Ber pikir ... 43
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. J enis Penelitian ... 45
3.2. Fokus Penelitian ... 46
3.3. Lokasi Penelitian ... 49
3.4. Sumber Data dan J enis Data ... 49
3.5. Infor man dan Teknik Penar ikan Infor man ... 51
3.6. Teknik Pengumpulan Data ... 53
3.7. Analisis Data ... 54
3.8. Keabsahan Data ... 58
BAB IV HASIL PEMBAHASAN 4.1. Gambar an Umum Obyek Penelitian ... 60
4.1.1. Pr ofil UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita Sidoar jo ... 60
4.1.1.1. Legalitas Or ganisasi ... 61
4.1.1.2. Visi dan Misi UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita Sidoar jo . 61 4.1.1.3. Maksud, Tujuan, dan Sasar an UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita Sidoar jo ... 62
4.1.1.5. Tugas Pokok, dan Fungsi UPT Pelayanan Sosial Asuhan
Balita Sidoar jo ... 64
4.1.1.6. Sumber Daya Manusia UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita Sidoar jo ... 66
4.1.1.7. Sar ana dan Pr asarana ... 69
4.1.1.8. Sumber Dana UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita Sidoar jo 76 4.1.2. Pr osedur Pener imaan Klien ... 77
4.1.3. Tahapan Pr oses Pelayanan Panti ... 78
4.1.4. Pr ofil Klien ... 80
4.2. Hasil Penelitian ... 81
4.3. Pembahasan ... 103
BAB V KESIMPUL AN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 119
3.2. Sar an ... 121
DAFTAR PUSTAKA
TERLANTAR DI UPT PELAYANAN SOSIAL ASUHAN BALITA SIDOARJ O DINAS SOSIAL PROVINSI J AWA TIMUR.
Balita terlantar merupakan salah satu masalah sosial yang dihadapi oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Upaya untuk mengatasi masalah ini dengan cara menampung balita terlantar di UPT Pelayanan Asuhan Sosial Sidoarjo dan melaksanakan pelayanan sosial melalui kegiatan pembinaan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang Pelayanan Sosial Terhadap Balita Terlantar di UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita Sidoarjo Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur. Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Fokus penelitian ini adalah pembinaan fisik, pembinaan mental sosial, dan pembinaan keterampilan yang dilakukan oleh UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi dan wawancara. Analisa data dalam Penelitian ini dengan menggunakan model interaktif. Keabsahan data pada penelitian ini meliputi credibility (derajat kepercayaan); transferability
(keteralihan); dependability (ketergantungan); konfirmability (kepastian).
Hasil penelitian ini adalah pelayanan sosial terhadap balita terlantar yang dilaksanakan melalui tiga program pembinaan, yaitu pembinaan fisik diberikan melalui pemeriksaan kesehatan terhadap balita yang berhubungan dengan kondisi fisik dari balita tersebut yang terdiri dari pembinaan terhadap peningkatan gizi, pemeriksaan kesehatan, pendidikan olahraga untuk anak pra-sekolah, serta penyediaan sarana kebutuhan taman kanak-kanak kelompok bermain, pembinaan mental sosial kegiatan pembinaan mental sosial diberikan melalui rutinitas keagamaan, bimbingan sosial melalui bermain, melalui kegiatan rekreatif, dan pembinaan keterampilan diberikan melalui tiga jenis kegiatan yaitu Pendidikan Pra-Sekolah yang terdiri dari pendidikan pra-sekolah, pendidikan keagamaan, dan pendidikan anak usia dini. Jadi, pelayanan sosial terhadap balita terlantar yang dilaksanakan oleh UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita sudah terlaksana dengan baik tetapi belum optimal, karena dalam pelaksanaan kegiatan tersebut masih belum tercantum jadwal kegiatan pembinaan secara tertulis disetiap jenis kegiatan dan juga untuk kegiatan rekreatif (tamasya) dalam pembinaan mental sosial masih belum terlaksana untuk semua klien.
1.1 Latar Belakang
Secara mendasar salah satu tugas dan kewajiban pemerintah adalah
meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia karena secara tegas telah dinyatakan
dalam pembukaan UUD 1945, bahwa pemerintah Negara Republik Indonesia
berkewajiban untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Dalam UUD 1945
pasal 34 telah disebutkan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara
oleh Negara.
Pernyataan tersebut memberi arti bahwa pemerintah mempunyai peranan
sentral baik secara perencana, penggerak, pengendali, dan pengawas dalam
pelaksanaan pembangunan kesejahteraan sosial. Menurut Perserikatan
Bangsa-bangsa (PBB), Kesejahtraan Sosial adalah merupakan sekumpulan
kegiatan-kegiatan yang ditujukan untuk memberikan kemampuan kepada perorangan,
keluarga-keluarga, kelompok-kelompok, dan kasatuan-kesatuan masyrakat untuk
mengatasi masalah-masalah sosial yang diakibatkan oleh kondisi-kondisi yang
selalu mengalami perubahan.
Namun, kemiskinan di Indonesia menjadi faktor utama melonjaknya
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), salah satunya mengenai
kesejahteraan balita terlantar. Menurut Dinas Sosial balita terlantar adalah anak yang
perkembangannya secara jasmani, rohani, maupun secara sosial. Jumlah balita terlantar
pada tahun 2012 di Indonesia berdasarkan data dari Kementrian Sosial sebanyak
1.178.824 balita.
Saat ini kasus mengenai balita terlantar memang sudah sering diketahui
diberbagai media. Berbagai macam kasus mengenai balita yang ditelantarkan
orang tuanya semakin hari semakin meningkat. Umumnya balita terlantar
ditemukan ketika bayi atau balita terlantar tersebut dengan sengaja ataupun tidak
sengaja dibuang oleh orang tuanya sendiri.
Salah satu kasus mengenai balita terlantar yang diliput dalam Jurnal 9 update pada Jumat, 16 Agustus 2013, Terpisah Tiga Tahun, Balita Terlantar Di Malaysia Dipertemukan Ibu Kandungnya. Kementerian Sosial mempertemukan seorang balita yang ditelantarkan di Malaysia, dengan ibu kandungnya di kantor Pelayanan Sosial Asuhan Balita (PSAB) Dinas Sosial Jawa Timur di Sidoarjo ………
(Jurnal 9 Update, SIDOARJO, 16 Agustus 2013 | 20:40 WIB).
Salah satu contoh kasus diatas sebenarnya dapat diselesaikan dengan
kebijakan-kebijakan yang terkait perlindungan dan hak anak. Semenjak
kemerdekaannya, Indonesia telah memiliki kebijakan untuk melindungkan balita
maupun anak terlantar. Untuk anak dan balita terlantar terdapat dalam
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Selanjutnya UU RI
Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak pada Bab II (Hak anak) pasal 2
ayat 1 dan 2 yaitu Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan
bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam
asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar; serta Anak berhak
atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya,
Berdasarkan Intruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2010 tentang Program
Pembangunan yang Berkeadilan ditetapkan Program Kesejahteraan Sosial Anak
(PKSA) sebagai program prioritas nasional yang didalamnya termasuk program
kesejahteraan sosial anak dan balita program kesejahteraan sosial anak terlantar.
Selain itu terdapat Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 30 Tahun
2011 tentang Standar Nasional Pengasuhan Anak untuk Lembaga Kesejahteraan
Sosial Anak. Beberapa kebijakan diatas semuanya mengatur tentang perlindungan
hak anak dan balita terlantar.
Merujuk pada peraturan tersebut, penempatan anak maupun balita terlantar
dalam panti merupakan keputusan terakhir / alternative terakhir apabila fungsi dan
peran keluarga atau masyarakat tidak dapat memenuhi kebutuhan anggotanya,
sebuah panti harus memberikan pelayanan sosial yang mendukung pemenuhan
hak anak dan balita agar tercapainya kesejahteraan anak dan balita tersebut.
Menurut Suharto (2008:134) Pelayanan Sosial adalah kegiatan yang terorganisir
atau seperangkat program yang ditujukan untuk meningkatkan kehidupan
individu, kelompok atau masyarakat, terutama mereka yang mengalami kesulitan
hidup.
Pelayanan Sosial Anak merupakan kegiatan Pembangunan kesejahteraan
yang sangat perlu dilakukan. Pelayanan sosial anak telah diakui dan dikenal
sebagai tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat, orang tua dan
keluarga, yang juga diakui sebagai pihak pertama dan utama dalam pengasuhan
anak. Keadaan ini tidak berarti bahwa Pemerintah menyerahkan tanggung
jawab utama untuk menghargai, menjamin dan memenuhi kebutuhan serta Sosial
hak-hak anak terutama yang tidak dapat dipenuhi oleh sistem keluarga.
Pada awal Tahun 2009 Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur mendirikan
sebuah Unit Pelaksana Teknis yang secara khusus menangani balita terlantar yang
berada diseluruh wilayah Jawa Timur yaitu UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita
(PSAB ) yang berlokasi di Jl. Monginsidi No. 25 sidoarjo, sesuai dengan
peraturan Gubenur No. 119 Tahun 2008 tanggal 25 Agustus, yang selanjutnya
Dinas Sosial Provinsi Jatim mendirikan UPT PSAB yang berfungsi sebagai
tempat transit proses adopsi atau sebagai penampungan sementara untuk balita
terlantar yang membutuhkan penanganan dan perhatian kusus dengan cara
memberikan pelayanan sosial bagi balita terlantar yang ditampung di UPT ini.
Berikut ini adalah data jumlah balita yang pernah mendapatkan pelayanan
di UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita Sidoarjo selama lima tahun pada tahun
2009 sampai tahun 2013 :
Tabel 1.1
J umlah Balita Yang Pernah Mendapatkan Pelayanan di UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita Sidoarjo
Jenis Kelamin Tahun Jumlah
2009 2010 2011 2012 2013
Laki-laki 29 28 25 18 13 113
Perempuan 13 21 17 20 12 83
Jumlah 42 49 42 38 25 196
Sumber : Laporan Kondisi Perkembangan Klien Tahun 2009-2013 UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita Sidoarjo
Dari data yang berada ditabel jumlah balita yang pernah mendapatkan
balita terlantar yang ditangani tersebut membuat sisa balita terlantar dari wilayah
Provinsi Jawa Timur saat ini masih sangat banyak, sedangkan di Provinsi Jawa
Timur hanya terdapat satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) milik Dinas Sosial
Provinsi Jawa Timur yang kusus menangani balita terlantar yang berlokasi di
Kabupaten Sidoarjo untuk menangani balita terlantar yang ditampung dari seluruh
wilayah di Jawa Timur dengan kapasitas maksimum 50 balita.
Meskipun UPT Pelayanan Asuhan Balita telah didirikan, namun
pemerintah belum dapat menjangkau semua balita terlantar diseluruh wilayah
Jawa Timur, sementara percepatan jumlah balita terlantar terus meningkat.
Salah satu kasus tentang jumlah balita terlantar terlantar yang diliput oleh sumber media online Senin, 2 Juli 2012 memaparkan bahwa, Data di Dinas Sosial (Dinsos) Jatim menyebut, hingga tahun 2011, jumlah balita terlantar di Jatim yang menjadi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) mencapai 25.867 orang. Dari jumlah itu, selama setahun yang ditangani hanya 50 balita saja. Minimnya jumlah yang ditangani tersebut membuat sisa balita terlantar saat ini tersisa 25.817 jiwa. Jumlah tersebut dipastikan akan bertambah seiring dengan banyaknya kasus orang tua yang membuang anaknya begitu saja, usai dilahirkan. Kepala Dinas Sosial Jatim mengatakan, minimnya jumlah penanganan terhadap bayi terlantar karena di Jatim hanya terdapat satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang khusus menangani hal itu. Dengan terbatasnya tempat tersebut, penanganan balita terlantar memang sangat jauh dari harapan. Untuk itu, Mantan Kepala Dinas Infokom ini berharap peran serta pihak swasta atau lembaga sosial dan masyarakat dapat turun andil menangani banyaknya bayi terlantar di Jatim. (SURYA Online, SURABAYA, Senin, 2 Juli 2012 | 17:30 WIB)
Dari studi kasus diatas, terlihat jelas bahwa di wilayah Provinsi Jawa
Timur masih terdapat banyak balita terlantar yang belum mendapatkan jangkauan
serta penanganan dari pemerintah, dari kasus diatas data di Dinas Sosial
menyebutkan bahwa hingga tahun 2011, jumlah balita terlantar di Jatim yang
sebanyak 50 balita saja, walaupun demikian UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita
Sidoarjo tetap berusaha dengan baik untuk memberikan pelayanan sosial terhadap
balita terlantar yang ditampung dipanti tersebut dengan tujuan agar balita terlantar
bisa mendapatkan perlindungan atas penghidupan yang layak.
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian pelayanan sosial yang didibuat oleh Dinas Sosial Prov Jatim melalui
UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita Sidoarjo kepeada balita dengan judul
“PELAYANAN SOSIAL TERHADAP BALITA TERLANTAR DI UPT
PELAYANAN SOSIAL ASUHAN BALITA SIDOARJ O DINAS SOSIAL
PROVINSI J AWA TIMUR”.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, rumusan
masalah yang dapat dikemukakan adalah Bagaimana Pelayanan Sosial Terhadap
Balita Terlantar Di UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita Sidoarjo Dinas Sosial
Provinsi Jawa Timur?
1.3 Tujuan Penelitian
Mengacu pada perumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini
adalah untuk mendeskripsikan tentang Pelayanan Sosial Terhadap Balita Terlantar
Di UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita Sidoarjo Dinas Sosial Provinsi Jawa
Timur.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Sosial Terhadap Balita Terlantar Di UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita Sidoarjo
Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah untuk:
a. Bagi instansi khususnya UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita,
penelitian ini diharapkan memberikan masukan yang berarti tentang
pelayanan sosial di UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita.
b. Bagi Mahasiswa, penelitian ini bisa merupakan kajian teori dan konsep
tentang kebijakan publik khusus tentang Proses Pelayanan Sosial
Terhadap Balita Terlantar Di UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita
2.1 Penelitian Ter dahulu
Penelitian terdahulu yang pernah ada dan dilakukan oleh pihak lain yang
dapat sebagai bahan pengajian dan masukan yang terkait dengan penelitian ini :
1. Arina Fitriana, 2013, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta,
“Pelayanan Sosial Untuk Balita Terlantar DI Panti I Yayasan Sayap Ibu (YSI)
Cabang D.I.Y”. Penelitian ini untuk menjelaskan proses pelaksanaan pelayanan
sosial untuk balita terlantar dari awal penerimaannya di panti I YSI cabang D.I.Y,
serta untuk mengetahui hambatan-hambatan yang ditemui saat pelaksanaan
pelayanan sosial untuk balita terlantar di panti I YSI cabang D.I.Y. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan menggunakan
pendekatan kualitatif, sedangkan analisis data yang digunakan adalah analisis
midel interaktif. Fokus penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
pelaksanaan pelayanan sosial yang diberikan oleh YSI untuk balita terlantar.
2. Rossy Simarmarta, 2009, Universitas Negeri Sumatera Utara, “Efektifitas
Pelayanan Sosial Terhadap Anak Asuh Oleh Yayasan Kinderfreude”. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas pelayanan sosial terhadap anak asuh
oleh Yayasan Kinderfreude. Hasil Penelian ini adalah Efektifitas pelayanan sosial
yang diberikan oleh Yayasan Kinderfreude terhadap anak asuh pada pelayanan
pendidikan adalah salah satu tujuan program utama Yayasan Kindefreude. Semua
ditinjau dari segi anak asuh, masih sedikit dari antara mereka yang berprestasi di
sekolah, jumlah anak yang tidak berprestasi lebih banyak dari jumlah anak yang
berprestasi, minat baca anak yang masih kurang berfungsinya perpustakaan yang
telah dibuat oleh yayasan. Berdasarkan hasil analisis data, pelayanan pendidikan
yang diberikan oleh yayasan juga belum dapat dikatakan efektif mengingat bahwa
pelayanan pendidikan merupakan salah satu tujuan dari yayasan. Pelayanan
pendidikan yang diberikan kepada anak asuh belum menunjukkan adanya feed
back dan hasil yang maksimum dari anak asuh.
3. Farhan Setyawan, 2010, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta,
“Pola Penanganan Anak Autis Di Yayasan Sayab Ibu (Ysi) Cabang D.I.Y”.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan secara
sistematis dan logis pola penanganan yang dilakukan oleh YSI dalam menangani
anak-anak autis. Hasil dari penelitian ini yaitu Penanganan pada anak autis
tidaklah sama dengan menangani orang yang sakit pada umumnya, selain
membutuhkan kesabaran, keuletan, serta keaktifan dan kreatifitas yang lebih.
Penanganan terhadap anak autispun harus dilakukan dengan cara dari hal yang
sederhana, dasar, bahkan mungkin dibilang sangat sederhana bagi anak normal
pada umumnya. Semakin dini anak mendapatkan penanganan maka semakin
mudah mengatasinya. Demikian pula upaya penanganan yang dilakukan terapis
anak autis di panti II YSI, terapis mulai mengupayakan penanganan sejak dini,
merupakan panti anak-anak yang mengalami gangguan fisik dan mental.
Sedangkan panti I khusus untuk panti anak terlantar.
Perbedaan antara penelitian terdahulu dengan penelitian yang dilakukan oleh
peneliti saat ini terletak pada tujuan dan objek penelitian, dimana pada penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui Proses UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita Dinas
Sosial Provinsi Jawa Timur dalam memberikan Pelayanan Sosial Terhadap Balita
Terlantar.
2.2 Landasan Teor i
2.2.1 Implementasi Kebijakan
Implementasi berasal dari bahasa Inggris yaitu to implement yang berarti
mengimplementasikan. Implementasi merupakan penyediaan sarana untuk
melaksanakan sesuatu yang menimbulkan dampak atau akibat terhadap sesuatu.
Sesuatu tersebut dilakukan untuk menimbulkan dampak atau akibat itu dapat berupa
undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan dan kebijakan yang
dibuat oleh lembaga-lembaga pemerintah dalam kehidupan kenegaraan.
Secara etimologis pengertian implementasi menurut Kamus Webster yang
dikutip oleh Solichin Abdul Wahab adalah: “Konsep implementasi berasal dari
bahasa inggris yaitu to implement. Dalam kamus besar webster, to implement
(mengimplementasikan) berati to provide the means for carrying out (menyediakan
sarana untuk melaksanakan sesuatu); dan to give practical effect to (untuk
Implementasi kebijakan merupakan suatu upaya untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu dengan sarana-sarana tertentu dan dalam urutan waktu tertentu
(Sunggono 1994:137). Berdasarkan pengertian tersebut maka implementasi itu
merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan
yang telah di tetapkan dalam suatu keputusan kebijakan. Akan tetapi pemerintah
dalam membuat kebijakan juga harus mengkaji terlebih dahulu apakah kebijakan
tersebut dapat memberikan dampak yang buruk atau tidak bagi masyarakat. Hal
tersebut bertujuan agar suatu kebijakan tidak bertentangan dengan masyarakat apalagi
sampai merugikan masyarakat.
Mazmanian dan Sebatier mendefinisikan implementasi sebagai berikut:
“Implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk
undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau
keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan-keputusan badan peradilan”. (Mazmanian dan
Sebastiar dalam Wahab,2004:68). Implementasi menurut Mazmanian dan Sebastier
merupakan pelaksanaan kebijakan dasar berbentuk undang-undang juga berbentuk
perintah atau keputusan-keputusan yang penting atau seperti keputusan badan
peradilan. Proses implementasi ini berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan
tertentu seperti tahapan pengesahan undang-undang, kemudian output kebijakan
dalam bentuk pelaksanaan keputusan dan seterusnya sampai perbaikan kebijakan
yang bersangkutan.
Menurut uraian di atas, implementasi itu merupakan tindakan-tindakan yang
keputusan kebijakan. Akan tetapi pemerintah dalam membuat kebijakan juga harus
mengkaji terlebih dahulu apakah kebijakan tersebut dapat memberikan dampak yang
buruk atau tidak bagi masyarakat, Hal tersebut bertujuan agar suatu kebijakan tidak
bertentangan dengan masyarakat apalagi sampai merugikan masyarakat.
Kebijakan (policy) seringkali dicampuradukkan dengan kebijaksanaan
(wisdom). Landasan utama yang mendasari suatu kebijakan adalah pertimbangan
akal. Tentunya suatu kebijakan bukan semata-mata merupakan hasil pertimbangan
akal manusia. Namun, akal manusia merupakan unsur yang dominan di dalam
mengambil keputusan dari berbagai pilihan dalam pengambilan keputusan kebijakan.
Kebijakan secara efistimologi, istilah kebijakan berasal dari bahasa Inggris
“policy”. Akan tetapi, kebanyakan orang berpandangan bahwa istilah kebijakan
senantiasa disamakan dengan istilah kebijaksanaan. Padahal apabila dicermati
berdasarkan tata bahasa, istilah kebijaksanaan berasal dari kata “wisdom”. Pendapat
Anderson yang dikutip oleh Wahab, merumuskan kebijaksanaan sebagai langkah
tindakan yang secara sengaja dilakukan oleh seseorang aktor atau sejumlah aktor
berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu yang sedang dihadapi
(Anderson dalam Wahab, 2004:3). Oleh karena itu, kebijaksanaan menurut Anderson
merupakan langkah tindakan yang sengaja dilakukan oleh aktor yang berkenaan
dengan adanya masalah yang sedang di hadapi.
James E. Anderson menyebutkan bahwa kebijakan adalah serangkaian
tindakan yang memiliki tujuan yang diikuti oleh seseorang atau sekelompok pelaku
dan Abraham Kaplan juga menyebutkan kebijakan merupakan sebuah program yang
diarahkan pada tujuan, nilai, dan praktek. Artinya kebijakan merupakan sebuah
program yang disusun berdasarkan tujuan, termasuk nilai-nilai pembuat kebijakan
dan fisibilitas dalam praktek. Dengan demikian kebijakan mengandung unsur
fisibilitas teknis, sosial, dan politik. (Sudiyono, 2007: 3).
Kebijakan menurut pendapat Carl Friedrich yang dikutip oleh Wahab bahwa:
“Kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang oleh seseorang,
kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya
hambatanhambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan
atau mewujudkan sasaran yang diinginkan” (Friedrich dalam Wahab, 2004:3).
Berdasarkan definisi di atas, kebijakan mengandung suatu unsur
tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan. Umumnya tujuan tersebut ingin dicapai oleh
seseorang, kelompok ataupun pemerintah. Kebijakan tentu mempunyai
hambatan-hambatan pada pelaksanaannya tetapi harus mencari peluang-peluang untuk
mewujudkan tujuan yang diinginkan Kebijakan mengandung suatu unsur tindakan
untuk mencapai tujuan dan umumnya tujuan tersebut ingin dicapai oleh seseorang,
kelompok ataupun pemerintah. Kebijakan tentu mempunyai hambatanhambatan
tetapi harus mencari peluang-peluang untuk mewujudkan tujuan dan sasaran yang
diinginkan. Hal tersebut berarti kebijakan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai
dan pelaksanaan sosial yang ada dalam masyarakat. Apabila kebijakan berisi
nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai-nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, maka
suatu kebijakan harus mampu mengakomodasikan nilai-nilai dan praktik-praktik yang
hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Pengertian implementasi kebijakan menurut Edward III adalah sebagai
berikut: “policy implementation as we have seen is the stage of policy making
between the establishment of a policy such as the passage of a legislative act, the
issuing of an executive order, the handing down of a judicial decision, or the
promulgation of a regulatory ruleand the consequences of the policy for the people
whom it affects”. (Edward III, 1980:1).
Jadi implementasi itu merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
pemerintah untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu keputusan
kebijakan. Akan tetapi pemerintah dalam membuat kebijakan juga harus mengkaji
terlebih dahulu apakah kebijakan tersebut dapat memberikan dampak yang buruk atau
tidak bagi masyarakat. Hal tersebut bertujuan agar suatu kebijakan tidak bertentangan
dengan masyarakat apalagi sampai merugikan masyarakat. Implementasi kebijakan
pada prinsipnya merupakan cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya.
Lester dan Stewart yang dikutip oleh Winarno, menjelaskan bahwa
implementasi kebijakan adalah: “Implementasi kebijakan dipandang dalam
pengertian luas merupakan alat administrasi hukum dimana berbagai actor,
organisasi, prosedur dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan
kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan”. (Lester dan Stewart
dalam Winarno, 2002:101-102). Definisi diatas menekankan bahwa implementasi
akibat dapat berupa Undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan dan
kebijakan yang dibuat lembaga-lembaga pemerintah dalam kehidupan bernegara.
Implementasi kebijakan menurut Nugroho terdapat dua pilihan untuk
mengimplementasikannya dalam bentuk program-program dan melalui formulasi
kebijakan derivate atau turunan dari kebijakan tersebut (Nugroho, 2003:158). Oleh
karena itu, implementasi kebijakan yang telah dijelaskan oleh Nugroho merupakan
dua pilihan, dimana yang pertama langsung mengimplementasikan dalam bentuk
program dan pilihan kedua melalui formulasi kebijakan.
Berdasarkan pengertian implementasi kebijakan diatas, maka George Edward
III mengemukakan beberapa hal yang dapat mempengaruhi keberhasilan suatu
implementasi, yaitu:
1. Comunication/komunikasi,
2. Resources/sumber daya,
3. Disposition/disposisi,
4. Bureaucratic Structure/struktur birokrasi.
(Edward III, 1980:10)
Keberhasilan suatu implementasi kebijakan yang dijelaskan oleh Edward III
dalam buku Implementing Public Policy dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor diatas,
adapun keberhasilan suatu implementasi kebijakan yaitu:
Kesatu Communication menurut Edward III adalah: ”The first requirement
for effective policy implementation is that those who are implement a decision must
be transmitted to appropriate personal before they can be followed.Naturally, these
communications need to be accurate, and they must be accurately perceived by
implementors. many obstacles lie in the path of transmission of implementation
communications” ( Edward III, 1980:17) Jadi berdasarkan pengertian George C.
Edwards III, komunikasi sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari
pelaksanaan. Pelaksanaan yang efektif terjadi apabila para pembuat keputusan sudah
mengetahui apa yang akan dikerjakan. Pengetahuan atas apa yang akan dikerjakan
dapat berjalan apabila komunikasi berjalan dengan baik, sehingga setiap keputusan
dan peraturan pelaksanaan harus ditransmisikan (dikomunikasikan) kepada bagian
personalia yang tepat. Keberhasilan suatu implementasi kebijakan Menurut Hogwood
dan Gunn yang dikutip oleh Wahab, komunikasi memegang peranan penting bagi
berlangsungnya koordinasi implementasi kebijakan. Menurut Hogwood dan Gunn
yang dikutip oleh Wahab bahwa koordinasi bukanlah sekedar menyangkut persoalan
mengkomunikasikan informasi ataupun membentuk struktur-struktur administrasi
yang cocok, melainkan menyangkut pula persoalan yang lebih mendasar, yaitu
praktik pelaksanaan kebijakan (Hogwood dan Gunn dalam Wahab, 2005:77).
Berdasarkan penjelasan teori diatas maka faktor-faktor yang mempengaruhi
komunikasi dalam implementasi kebijakan harus adanya kejelasan petunjuk dalam
implementasi kebijakan dan kejelasan, konsistensi dalam menjalankan sebuah
kebijakan maka Dengan terpenuhinya ketiga faktor pendukung komunikasi maka
akan tercapainya sebuah implementasi kebijakan yang baik dan sesuai tujuan yang
Faktor Kedua Resourcrces dalam keberhasilan suatu implementasi kebijakan
menurut menurut Edward III adalah: “No matter how clear and consistent
implementation orders are and no matter how accurately they are transmitted, if the
personel responsible out policies lack the resources to do an affective job,
implementation will not be effective. important resources include staff of the proper
size and with the necessary expertise; relevant and adequate information on how to
implement policies and on the compliance of others involved in implementation: the
authority to ensure that policies are carried out as they intended; and facilities
(including buildings,equipment,land and supplies) in which or withwhich to provide
service will mean that laws will not be provided,and reasonable regulations will not
be developed” (Edward III, 1980:53) Menurut George C. Edward III bahwa
sumber-sumber yang dapat menentukan keberhasilan pelaksanaan adalah salah satunya
sumber daya yang tersedia, karena menurut George C Edward III sumber daya
merupakan sumber penggerak dan pelaksana. Manusia merupakan sumber daya yang
terpenting dalam menentukan keberhasilan proses pelaksanaan, sedangkan sumber
daya merupakan keberhasilan proses implementasi yang dipengaruhi dengan
pemanfaatan sumber daya manusia, biaya, dan waktu. Berdasarkan penjelasan diatas
maka faktor-faktor pendukung sumberdaya menjadi bagian penting apabila sebuah
implementasi ingin tercapai dengan tersedianya pekerja, penjelasan mengenai sebuah
kebijakan dijalakan, kewenangan yang dimiliki dan kelengkapan sarana dan prasaran
menjadi faktor dari sumber daya dalam mencapai implementasi kebijakan dalam
Faktor Ketiga Dispositions dalam keberhasilan suatu implementasi kebijakan
menurut Edward III adalah: “The dispositions or attiudes of implementation is the
third critical factor in our approach to the study of public policy implementation. if
implementation is to proceed effectively, not only mustimplementors know what to do
and have the capability to do it, butthey must also desire to carry out a policy. most
implementors canexercise considerable discretion in the implementation of policies.
one of the reasons for this is their independence from their nominal superiors who
formulate the policies. another reason is the complexity of the policies themselves. the
way in which implementors exercise their direction, however, depends in large part
upon their dispositions toward the policies. their attitudes, in turn, will be influenced
by their views toward the policies per se and by how they see the policies effecting
their organizational and personal interests”.( Edward III, 1980:89).Menurut George
C. Edward III, disposisi atau sikap para pelaksana adalah faktor penting dalam
pendekatan mengenai pelaksanaan. Jika pelaksanaan ingin efektif, maka para
pelaksana tidak hanya harus memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, dimana
kualitas dari suatu kebijakan dipengaruhi oleh kualitas atau ciri-ciri dari para aktor
pelaksana. Keberhasilan kebijakan bisa dilihat dari disposisi (Karakteristik agen
pelaksana)Disposisi atau sikap pelaksanaan, jika para pelaksana bersikapbaik karena
menerima suatu kebijakan maka kemungkinan besar mereka akan melaksanakan
secara bersungguh-sungguh seperti tujuan yang diharapakannya. Sebaliknya jika
perspektif dan tingkah laku para pelaksana berbeda dengan para pembuat kebijakan
bahwa dalam mendukung Dispositions dalam kesuksesan implementasi kebijakan
harus adanya kesepakatan antara pembuat kebijakan dengan pelaku yang akan
menjalankan kebijakan itu sendiri dan bagaimana mempengaruhi pelaku kebijakan
agar menjalakan sebuah kebijakan tanpa keluar dari tujuan yang telah ditetapkan
demi terciptanya pelayanan publik yang baik.
Faktor Keempat dalam keberhasilan suatu implementasi kebijakan menurut
Edward III Bureaucratic structure adalah: “Policy implementors may know what to
do and have sufficientdesire and resources to do it, but they may still be hampered in
implementation by the structures of the organizations in which they serve. two
prominent characteristics of bureaucracies are standardoperating prosedurs (SOPs)
and fragmentation. the former develop as internal respons to the limited time and
resources ofimplementors and the desire for uniformity in the operation ofcomplex
and widely dispersed organizations; they often remain in force due to bureaucratic
inertia” (Edward III, 1980:125) Menurut George C. Edward III, walaupun
sumber-sumber untuk melaksanakan suatu kebijakan tersedia atau para pelaksana mengetahui
apa yang seharusnya dilakukan dan mempunyai keinginan untuk melaksanakan suatu
kebijakan, kemungkinan kebijakan tersebut tidak dapat terlaksana atau terealisasi
karena terdapatnya kelemahan dalam struktur birokrasi. Birokrasi sebagai pelaksana
harus dapat mendukung kebijakan yang telah diputuskan secara politik dengan jalan
melakukan koordinasi dengan baik.
Pelaksana kebijakan mungkin tahu apa yang harus dilakukan dan memiliki
masih terhambat di implementasi oleh struktur organisasi di mana mereka melayani.
dua karakteristik utama birokrasi adalah prosedures operasi standar (SOP) dan
fragmentasi. yang pertama berkembang sebagai respon internal untuk waktu yang
terbatas dan sumber daya pelaksana dan keinginan untuk keseragaman dalam
pengoperasian kompleks dan tersebar luas organisasi, mereka sering tetap berlaku
karena inersia birokrasi. Bureaucratic structure adalah sumber-sumber untuk
melaksanakan suatu kebijakan tersedia atau para pelaksana mengetahui apa yang
seharusnya dilakukan dan mempunyai keinginan untuk melaksanakan suatu
kebijakan, kemungkinan kebijakan tersebut tidak dapat terlaksana atau terealisasi
karena terdapatnya kelemahan dalam struktur birokrasi dan adanya standard
operating procesures (SOPs) standar operasi prosedur dalam rutinitas sehari-hari
dalam menjalankan impelementasi kebijakan. Birokrasi sebagai pelaksana harus
dapat mendukung kebijakan yang telah diputuskan secara politik dengan jalan
melakukan koordinasi dengan baik dan penyebaran tanggung jawab (Fragmentation)
atas kebijakan yang ditetapkan.
Berdasarkan penjelasan diatas mengenai faktor-faktor Bureaucratic structure
yang mendukung dalam suksesnya sebuah implementasi kebijakan harus adanya
prosedur tetap bagi pelaku kebijakan dalam melaksankan kebijakannya dan adanya
tanggung jawab dalam menjalankan sebuah kebijakan demi mencapai tujuan yang
ingin dicapai.
Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan
kebijakan publik, maka ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung
mengimplementasikan dalam bentuk program – program atau melalui formulasi
kebijakan privat atau turunan dari kebijakan publik tersebut.
Pengertian implementasi kebijakan dan faktor-faktor yang mempengaruhi
keberhasilan suatu implmentasi menurut Edward III diatas, maka Van Meter dan Van
Horn juga mengemukakan beberapa hal yang dapat mempengaruhi keberhasilan
suatu implementasi, yaitu:
1. Ukuran dan tujuan kebijakan
2. Sumber-sumber kebijakan
3. Ciri-ciri atau sifat Badan/Instansi pelaksana
4. Komunikasi antar organisasi terkait dengan kegiatan-kegiatan pelaksanaan
5. Sikap para pelaksana, dan
6. Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik
(Meter dan Horn dalam Wahab, 2004:79).
Keberhasilan suatu implementasi menurut kutipan Wahab dapat dipengaruhi
berdasarkan faktor-faktor di atas, yaitu: pertama yaitu ukuran dan tujuan diperlukan
untuk mengarahkan dalam melaksanakan kebijakan, hal tersebut dilakukan agar
sesuai dengan program yang sudah direncanakan.
Kedua, sumber daya kebijakan menurut Van Metter dan Van Horn yang
dikutip oleh Agustino, sumber daya kebijakan merupakan keberhasilan proses
implementasi kebijakan yang dipengaruhi dengan pemanfaatan sumber daya manusia,
kebijakan tersebut sangat diperlukan untuk keberhasilan suatu kebijakan yang dibuat
oleh pemerintah.
Sumber daya manusia sangat penting karena sebagai sumber penggerak dan
pelaksana kebijakan, modal diperlukan untuk kelancaran pembiayaan kebijakan agar
tidak menghambat proses kebijakan. Sedangkan waktu merupakan bagian yang
penting dalam pelaksanaan kebijakan, karena waktu sebagai pendukung keberhasilan
kebijakan. Sumber daya waktu merupakan penentu pemerintah dalam merencanakan
dan melaksanakan kebijakan.
Ketiga, keberhasilan kebijakan bisa dilihat dari sifat atau ciri-ciri
badan/instansi pelaksana kebijakan. Hal ini sangat penting karena kinerja
implementasi kebijakan publik akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciriciri yang
tepat serta cocok dengan para badan atau instansi pelaksananya. Menurut Subarsono
kualitas dari suatu kebijakan dipengaruhi oleh kualitas atau ciri-ciri dari para aktor,
kualitas tersebut adalah tingkat pendidikan, kompetensi dalam bidangnya,
pengalaman kerja, dan integritas moralnya (Subarsono, 2006:7).
Keempat, komunikasi memegang peranan penting bagi berlangsungnya
koordinasi implementasi kebijakan. Menurut Hogwood dan Gunn yang dikutip oleh
Wahab bahwa: “Koordinasi bukanlah sekedar menyangkut persoalan
mengkomunikasikan informasi ataupun membentuk strukturstruktur administrasi
yang cocok, melainkan menyangkut pula persoalan yang lebih mendasar, yaitu
Berdasarkan teori diatas maka Semakin baik koordinasi komunikasi diantara
pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka terjadinya
kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi dan begitu pula sebaliknya.
Kelima, menurut Van Meter dan Van Horn yang dikutip oleh Widodo, bahwa
karakteristik para pelaksana adalah mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan
pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi (Meter dan Horn dalam Subarsono,
2006:101). Sikap para pelaksana dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab
sebagai pelaksana kebijakan harus dilandasi dengan sikap disiplin. Hal tersebut
dilakukan karena dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, setiap
badan/instansi pelaksana kebijakan harus merasa memiliki terhadap tugasnya masing
masing berdasarkan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.
Keenam, dalam menilai kinerja keberhasilan implementasi kebijakan menurut
Van Meter dan Van Horn yang dikutip oleh Agustino adalah sejauh mana lingkungan
eksternal ikut mendukung keberhasilan kebijakan publik yang telah ditetapkan,
lingkungan eksternal tersebut adalah ekonomi, sosial, dan politik (Meter dan Horn
dalam Agustino, 2006:144). Lingkungan ekonomi, sosial dan politik juga merupakan
faktor yang menentukan keberhasilan suatu implementasi
2.2.2 Pelayanan
Menurut Lukman (2004:19) Pelayanan adalah pemberian jasa baik oleh
pemerintah maupun pihak swasta kepada masyarakat dengan atau tanpa pembayaran
Menurut Kurniawan dalam Pasolong (2007:128) mengatakan bahwa
pelayanan publik adalah pemberian pelayanan (melayani) keperluan orang lain atau
masyarakan yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan
pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.
Menurut Supriyanto (2001:13) Pelayanan publik adalah pelayanan terbaik
yang dapat diberikan pemerintah dan sesuai dengan harapan.
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa Pelayanan adalah
kegiatan melayani atau kegiatan pemberian pelayanan kepada seseorang dari instansi
pemerintah maupun swasta yang sesuai dengan peraturan untuk memenuhi
kepentingan orang lain dalam bentuk barang maupun jasa.
Menurut Ridwan (2005:10) Tujuan pelayanan adalah untuk memuaskan
sesuai dengan keinginan masyarakat atau pelanggan pada umumnya.
Menurut Moenir (2002:198) Tujuan pelayanan adalah memberikan kepuasan
kepada orang atau sekelompok orang yang dilayani.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan pelayanan adalah untuk
mencapai tingkat kepuasan masyarakat sesuai norma dan aturan yang berlaku
memenuhi kebutuhan hidup orang banyak agar tingkat kepuasan masarakat dapat
2.2.2.1 Pelayanan Sosial
Menurut Muhidin (1992: 41), perlu dibedakan dua macam pengertian
pelayanan sosial, antara lain:
1. Pelayanan sosial dalam arti luas adalah pelayanan sosial yang mencakup fungsi
pengembangan termasuk pelayanan sosial dalam bidang pendidikan, kesehatan,
perumahan, tenaga kerja dan sebagainya.
2. Pelayanan sosial dalam arti sempit atau disebut juga pelayanan kesejahteraan
sosial mencakup program pertolongan dan perlindungan kepada golongan yang
tidak beruntung seperti pelayanan sosial bagi anak terlantar, keluarga miskin,
cacat, tuna sosial dan sebagainya.
Maka dapat diartikan bahwa efektifitas pelayanan sosial adalah tercapainya
tujuan pelayanan kesejahteraan sosial mencakup program pertolongan dan
perlindungan kepada golongan yang tidak beruntung. Dikatakan efektif apabila hasil
yang dicapai dari pelayanan sosial yang diberikan telah sesuai dengan apa tujuan
awal yang telah ditetapkan.
Pada umumnya baik kualitas maupun kuantitas daripada pelayanan sosial
akan berbeda-beda sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemakmuran suatu
Negara dan juga sesuai dengan faktor sosiokultural dan politik yang juga menentukan
masalah prioritas pelayanan. Alfred J. Khan dalam Muhidin (1992: 43) menyatakan
fungsi utama pelayanan sosial adalah :
1. Pelayanan sosial untuk sosialisasi pengembangan
3. Pelayanan akses
Pelayanan sosial untuk sosialisasi dan pengembangan dimaksudkan untuk
mengadakan perubahan-perubahan dalam diri anak dan pemuda melalui program-
program pemeliharaan, pendidikan (non formal) dan pengembangan. Tujuannya yaitu
untuk menanamkan nilai-nilai masyarakat dalam usaha pengembangan kepribadian
anak.
Menurut Muhidin (1992: 43) bentuk-bentuk pelayanan sosial tersebut antara
lain :
1. Program Penitipan Anak
2. Program-program kegiatan remaja dan pemuda
3. Program-program pengisian waktu terluang bagi anak dan remaja dalam keluarga
Pelayanan sosial untuk penyembuhan, perlindungan dan rehabilitasi
mempunyai tujuan untuk melaksanakan pertolongan kepada seseorang, baik secara
individual maupun di dalam kelompok/keluarga dan masyarakat agar mampu
mengatasi masalah-masalahnya. Menurut Muhidin (1992: 44) bentuk-bentuk
pelayanan sosial itu antara lain :
1. Bimbingan sosial bagi keluarga
2. Program asuhan keluarga dan adopsi anak
3. Program bimbingan bagi anak nakal dan bebas hukuman
4. Program-program rehabilitasi bagi penderita cacat
5. Program-program bagi lanjut usia
7. Program-program bimbingan bagi anak-anak yang mengalami masalah dalam
bidang pendidikan
8. Program-program bimbingan bagi para pasien di rumah sakit
Kebutuhan akan program pelayanan akses disebabkan oleh karena :
1. Adanya birokrasi modern
2. Perbedaan tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap hal-hal dan
kewajiban/tanggung-jawabnya
3. Diskriminasi
4. Jarak geografi antara lembaga-lembaga pelayanan dari orang-orang yang
memerlukan pelayanan sosial
Dengan adanya berbagai kesenjangan tersebut, maka pelayanan sosial disini
mempunyai fungsi sebagai “akses” untuk menciptakan hubungan bimbingan yang
sehat antara berbagai program, sehingga program-program tersebut dapat berfungsi
dan dimanfaatkan oleh masyarakat yang membutuhkannya. Pelayanan akses
bukanlah semata-mata memberikan informasi, tetapi juga termasuk menghubungkan
seseorang dengan sumber-sumber yang diperlukan dengan melaksanakan
program-program referral.
Fungsi tambahan dari pelayanan sosial ialah menciptakan partisipasi anggota
masyarakat untuk mengatasi masalah-masalah sosial. Tujuannya dapat berupa terapi
individual dan sosial (untuk memberikan kepercayaan pada diri individu dan
masyarakat) dan untuk mengatasi hambatan-hambatan sosial dalam pembagian
Partisipasi mungkin merupakan konsekuensi dari bagaimana program itu
diorganisir, dilaksanakan dan disusun. Ada yang memandang bahwa partisipasi dan
pelayanan merupakan dua fungsi yang selalu konflik, karenanya harus dipilih salah
satu. Karena itu harus dipilih partisipasi sebagai tanggung jawab masyarakat dan
pelayanan sebagai tanggung jawab program. Pada umumnya suatu program sulit
untuk meningkatkan kedua-duanya sekaligus.
2.2.2.2 Kategor i Pelayanan Sosial
Menurut Suharto (2007:242) Dalam pelaksanaannya , intervensi dalam
pelayanan sosial dibagi menjadi dalam dua bentuk, yaitu:
1. Direct Practice (Praktik Langsung), menyangkut aksi-aksi dengan para
individu, keluarga-keluarga, dan kelompok- kelompok kecil yang
memfokuskan pada perubahan baik transaksi dalam keluarga, sistem
kelompok kecil atau individu dan fungsi kelompok-kelompok kecil dalam
hubungan dengan orang-orang dan institusi-institusi kemasyarakatan dalam
lingkungan mereka. Contohnya pekerja sosial bertemu dengan klien dengan
tujuan untuk memberi pertolongan misalnya dengan anak terlantar yang orang
tuanya tidak mampu memenuhi kebutuhan dan haknya sebagai anak atau anak
terlantar yang berasal dari temuan kemudian di usahakan mendapatkan
pelayanan pengasuhan.
2. Indirect Practice (Praktik tidak langsung), menyangkut aksi- aksi yang
dilakukan dengan orang-orang lain dari pada dengan para kelayan supaya
individu, kelompok-kelompok kecil, organisasi-organisasi atau masyarakat
sebagai unit perhatian. Contohnya lembaga-lembaga sosial memberikan
sosialisasi tentang perlindungan anak, bahaya sex bebas, advokasi dan
sebagainya.
Berpijak dari dua bentuk intervensi di atas, maka pelayanan sosial dapat
dikategorikan sebagai berikut, antara lain:
1. Berdasarkan sasaran, pelayanan sosial diberikan untuk anak terlantar, anak
jalanan dan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) lainnya.
2. Berdasarkan setting atau tempatnya, pelayanan sosial dapat diberikan melalui
lembaga-lembaga pemerintah ataupun non pemerintah misalnya panti asuhan,
Dinas Sosial, Organisasi Sosial, dan sebagainya.
3. Berdasarkan jenis atau sektor, yaitu pelayanan pengentasan anak (pengangkatan
anak, asuhan keluarga, kembali kekeluarga(jika ada keluarga), dan sebagainya),
advokasi, mediasi, dan fasilitasi untuk terlaksananya pelayanan hak anak.
2.2.2.3 Peranan Peker ja Sosial dalam Penanganan Masalah Anak
Menurut Robert dan Nee dalam Adi (2013:17) pekerjaan sosial merupakan
profesi yang baru muncul pada abad ke-20. Berbeda dengan profesi lain, yang
muncul lebih dulu, yang mengembangkan spesialisasi untuk mencapai
kematangannya, maka pekerjaan sosial berkembang dari berbagai spesialisasi pada
beberapa lapangan praktis. Dalam perkembangan praktik pekerjaan sosial, aspek
keadilan sosial adalah hak asasi manusia mendapatkan porsi tersendiri dalam upaya
Peranan Pekerja Sosial dalam Penanganan Masalah Anak Menurut Walter A
Friedlander dalam Muhidin (1992: 7), Pekerjaan Sosial adalah suatu pelayanan
professional yang dilaksanakan pada ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam relasi
kemanusiaan yang bertujuan untuk membantu, baik secara perseorangan maupun di
dalam kelompok untuk mencapai kepuasan dan etidaktergantungan secara pribadi dan
sosial. Pekerjaan sosial berusaha untuk membantu individu, kelompok dan asyarakat
mencapai tingkat kesejahteraan sosial, mental dan psikis yang setinggi- tingginya.
Permasalahan dalam bidang pekerjaan sosial erat kaitannya dengan masalah
fungsi sosial, yaitu kemampuan seseorang untuk menjalankan peranannya sesuai
dengan tuntutan lingkungannya. Oleh karena itu, usaha-usaha untuk memberikan
pelayanan sosial, baik secara langsung maupun tidak langsung, juga diarahkan untuk
membantu individu, kelompok ataupun masyarakat dalam menjalankan fungsi
sosialnya. Seorang pekerja sosial, mempunyai pemahaman tentang pribadi dan
tingkah laku manusia serta lingkungan sosialnya atau kondisi dimana manusia itu
hidup.
Menurut pandangan Zastrow (2013: 216-219), setidaknya ada beberapa peran
yang biasa dilakukan oleh pekerja sosial, yaitu:
1. Enabler Sebagai enabler seorang pekerja sosial membantu masyarakat agar
dapat mengartikulasikan kebutuhan mereka, mengidentifikasikan masalah
mereka dan mengembangkan kapasitas mereka agar dapat menangani masalah
2. Broker Peranan sebagai broker yaitu berperan dalam menghubungkan individu
ataupun kelompok dalam masyarakat yang membutuhkan bantuan ataupun
layanan masyarakat (community services) tetapi tidak tahu dimana dan
bagaimana mendapatkan bantuan tersebut. Broker dapat juga dikatakan
menjalankan peran sebagai mediator yang menghubungkan pihak yang satu
dengan pemilik sumber da ya.
3. Expert Sebagai expert (tenaga ahli), ia lebih banyak memberikan saran dan
dukungan informasi dalam berbagai area. Misalnya saja, seorang tenaga ahli
dapat memberikan usulan mengenai bagaimana struktur organisasi yang bisa
dikembangkan dalam masyarakat tersebut dan kelompok-kelompok mana saja
yang harus terwakili. Seorang expert harus sadar bahwa usulan dan saran yang
dia berikan bukanlah mutlak harus dijalankan masyarakat, tetapi usulan dan
saran tersebut lebih merupakan masukan gagasan untuk bahan pertimbangan
masyarakat ataupun organisasi dalam masyarakat tersebut.
4. Social Planner Seorang social planner mengumpulkan data mengenai masalah
sosial yang terdapat dalam masyarakat tersebut, menganalisanya dan
menyajikan alternatif tindakan yang rasional untuk menangani masalah tersebut.
Setelah itu perencana sosial mengembangkan programnya, mencoba mencari
alternatif sumber pendanaan dan mengembangkan konsensus dalam kelompok
yang mempunyai berbagai minat ataupun kepentingan. Peran expert dan social
planner saling tumpang tindih. Seorang expert lebih memfokuskan pada
tugas-tugas yang terkait dengan pengembangan dan pengimplementasian
peranan.
5. Advocate Peran sebagai advocate dalam pengorganisasian masyarakat
dicangkok dari profesi hukum. Peran ini merupakan peran yang aktif dan
terarah, dimana community worker menjalankan fungsi sebagai advocate yang
mewakili kelompok masyarakat yang membutuhkan suatu bantuan ataupun
layanan, tetapi institusi yang seharusnya memberikan bantuan ataupun layanan
tersebut tidak memperdulikan.
6. Activist Sebagai activist, seorang community worker melakukan perubahan
institusional yang lebih mendasar dan seringkali tujuannya adalah pengalihan
sumber daya ataupun kekuasaan pada kelompok yang kurang mendapatkan
keuntungan. Seorang activist biasanya memperhatikan isu-isu tertentu, seperti
ketidaksesuaian dengan hukum yang berlaku, ketidakadilan dan perampasan
hak. Seorang activist biasanya mencoba menstimulasikan kelompok-kelompok
yang kurang diuntungkan tersebut untuk mengorganisir diri dan melakukan
tindakan melawan struktur kekuasaan yang ada.
7. Educator Dalam menjalankan peran sebagai educator (pendidik), pekerja sosial
diharapkan mempunyai keterampilan sebagai pembicara dan pendidik. Pekerja
sosial harus mampu berbicara di depan publik untuk menyampaikan informasi
mengenai beberapa hal tertentu, sesuai dengan bidang yang ditanganinya.
Dalam pelayanan sosial anak, umumnya peran pekerja sosial adalah sebagai
masalah mereka dan mengembangkan kapasitas mereka agar dapat menangani
masalah secara efektif, disamping itu juga sebagai educator (pendidik) yang
diharapkan membantu anak dalam hal pendidikannya.
2.2.3 Kesejahter aan Sosial
Kesejahteraan sosial dalam artian yang sangat luas mencakup berbagai
tindakan yang dilakukan manusia untuk mencapai tingkat kehidupan masyarakat
yang lebih baik. Menurut Walteral Friedlander dalam Muhidin (1992: 1),
Kesejahteraan Sosial adalah sistem yang terorganisir dari pelayanan-pelayanan sosial
dan lembaga-lembaga yang bertujuan untuk membantu individu dan kelompok untuk
mencapai standar hidup dan kesehatan yang memuaskan dan relasi-relasi pribadi dan
sosial yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan kemampuannya sepenuh
mungkin dan meningkatkan kesejahteraannya selaras dengan kebutuhan keluarga dan
masyarakatnya.
Elizabeth Wickenden dalam Muhidin (1992: 2) mengemukakan bahwa
kesejahteraan sosial termasuk di dalamnya peraturan perundangan, program,
tunjangan dan pelayanan yang menjamin atau memperkuat pelayanan untuk
memenuhi kebutuhan sosial yang mendasar dari masyarakat serta menjaga
ketentraman dalam masyarakat.
Kesejahteraan sosial sebagai suatu kondisi dapat terlihat dari rumusan
Undang-undang Republik Indonesia nomor 6 tahun 1974 tentang ketentuan-
ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial pasal 2 ayat 1: “Kesejahteraan sosial ialah
oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir dan batin, yang
memungkinkan bagi setiap warganegara untuk mengadakan usaha pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah, sosial yang sebaik-baiknya bagi diri
keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban
manusia sesuai dengan Pancasila” (Munandar, 2000:122)
Dari berbagai pengertian di atas dapat terlihat luas lingkup pengertian
kesejahteraan sosial yang sebenarnya sangat meluas dan melingkupi berbagai aspek
kehidupan. Dalam kesejahteraan sosial juga terdapat usaha kesejahteraan sosial,
dimana pelayanan sosial juga termasuk dari salah satu di dalamnya.
2.2.4 Per masalahan Anak
National Clearinghouse on Child and Negled dalam Santrock (2009:172)
terdapat empat tipe perlakukan yang salah terhadap anak adalah kekerasan fisik,
penelantaran anak, kekerasan seksual, dan kekerasan emosional :
1. Kekerasan fisik dicirikan oleh terjadinya cedera fisik karena penonjokan,
pemukulan, penendangan, penggigitan, pembakaran, atau pembahayaan anak.
2. Penelantaran anak dicirikan oleh kegagalan dalam memenuhi kebutuhan
dasar anak. Penelantaran bisa berupa penelantaran fisik, pendidikan, atau
emosional;
a. Penelantaran fisik meliputi penolakan atau penundaan dalam mencapai
perawatan kesehatan; peninggalan; pengusiran dari rumah atau
penolakan terhadap kembalinya anak yang minggat; dan pengawasan
b. Penelantaran pendidikan mencakup pembiaran kebiasan membolos
yang parah, tidak mendaftarkan anak usia sekolah ke sekolah, dan
tidak memenuhi kebutuhan pendidikan khusus anak.
c. Penelantaran emosional mencakup tindakan seperti tidak adanya
perhatian terhadap kebutuhan anak akan kasih sayang; penolakan atau
ketidakmampuan untuk memberikan kepedulian psikologis yang perlu;
penyiksaan pasangan didepan anak; dan pembiaran penggunaan
alcohol dan obat-obatan oleh anak.
3. Kekerasan seksual meliputi mempermainkan alat kelamin anak, hubungan
seksual, inses, pemerkosaan, sodomi, eksibisionisme, dan eksploitasi
komersial melalui pelacuran atau produksi materi pornografi.
4. Kekerasan emosional (cedera mental akibat kekerasan psikologis atau verbal)
meliputi tindakan pengabaian oleh orang tua atau pengasuh yang
menyebabkan atau bisa menyebabkan, masalah behavioral, kognitif, atau
emosional yang serius.
Menurut Suharto (2009:160) Permasalahan anak umumnya dikategorikan ke
dalam tiga konsep, yaitu perlakuan salah terhadap anak atau PSTA, penelantaran
anak, dan eksploitasi anak. PTSA meliputi : PTSA secara fisik, PTSA psikis, PTSA
secara seksual, PTSA secara sosial.
1. PTSA secara fisik, adalah penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap
anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang
2. PSTA secara psikis, adalah meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata
kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar, dan film pornografi kepada
anak.
3. PTSA secara seksual, adalah dapat beruKeempa perlakuan pra-kontak seksual
antara dengan yang lebih besar, maupun perlakuan kontak secara langsung
antara anak dengan orang dewasa
4. PTSA secara sosial, adalah dapat mencakup masalah penelantaran anak dan
eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orangtua yang
tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang
anak.
Diantara ke empat kategori tersebut, konsep mengenai PTSA secara sosial
mencakup lebih banyak permasalahan anak. Termasuk dalam kategori ini adalah :
1. Anak yang mengalami pengabaian dan eksploitasi seperti anak jalanan dan
pekerjaan anak yang bekerja pada sektor industri formal yang berbahaya dan
eksploitatif.
2. Anak yang berada dalam kondisi darurat, seperti anak dalam pengungsian,
bencana alam, konflik bersenjata, kerusuhan sosial.
3. Anak yang diperdagangkan baik untuk pelacuran, adopsi ilegal, maupun untuk
pembantu rumah tangga, anak kelompok minoritas dan anak komunitas adat
terpencil.
5. Anak yang terlibat dalam produksi dan perdagangan obat terlarang, termasuk
anak korban penyalahgunaan NAPZA.
6. Anak korban HIV/AIDS.
7. Anak korban diskriminasi sosial.
2.2.5 Pelayanan Anak
Menurut Konvensi Hak-hak Anak yang diadopsi oleh Majelis Umum,
Perserikatan Bangsa-bangsa pada tangal 20 November, Bagian I pasal 1, anak adalah
semua orang yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali undang-undang menetapkan
bahwa kedewasaan dicapai lebih awal. Sementara menurut Undang- undang No. 4
tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, disebutkan bahwa anak adalah seseorang
yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah menikah.
Menurut Harini dan Firdaus (2003:45) Balita (bayi dan anak dibawah lima
tahun) yaitu kategori anak yang berusia 0-4 tahun. Biasanya balita juga dikenal
dengan anak-anak prasekolah. Menurut Biechler dan Snowman yang dikutip oleh
Soemiarti (2003:30), anak prasekolah adalah mereka yang berusia antara 3-6 tahun
yang biasanya mengikuti program sekolah atau kinderganten. Namun, umumnya di
Indonesia anak-anak balita mengikuti program penitipan anak (usia 3 bulan sampai 5
tahun) seta kelompok bermain pada usia 3 tahun dan TK usia 4-6 tahun.
Anak usia dini merupakan seorang yang sedang menjalani proses tumbuh
kembang yang sangat pesat. Oleh karena itu usia dini sering dikatakan sebagai usia
emas yang sangat berharga dari pada usia-usia selanjutnya. Karakteristik serta tugas
1. Usia 0-1 tahun. Karakteristiknya yaitu ketrampilan motorik mulai dari berguling,
merangkak, duduk, berdiri, dan berjalan. Kemudian tugas usia 0-1 tahun yaitu
mempelajari ketrampilan yang menggunakan panca indera (melihat, mengamati,
meraba, mendengar, mencium) dan belajar komunikasi sosial.
2. Usia 2-3 tahun. Anak usia ini memiliki karakteristik dimana mereka sangat aktif
mengeksplorasi benda-benda yang ada disekitarnya. Tugas dari anak usia 2-3
tahun ini yaitu belajar mengembangkan kemampuan bahasa dan mengembangkan
emosi.
3. Usia 4-5 tahun. Karakteristik anak usia 4 tahun sangat berkaitan dengan
perkembangan fisik sehingga aktif melakukan banyak kegiatan. Dengan mereka
aktif melakukan banyak kegiatan, maka sangat bermanfaat untuk pengembangan
otot-otot tubuhnya. Selanjutnya tugas anak usia 4 tahun ini yaitu perkembangan
bahasa semakin baik, mampu memahami pembicaraan orang lain, dan mampu
mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya. Selain itu, tugas mereka juga
dalam pengembangan kognitif, ditunjukkan dengan rasa ingin tahu yang luar
biasa terhadap lingkungannya. Serta bentuk permainan mereka masih bersifat
individu bukan sosial, tapi dilakukan secara bersama- sama.
Menurut Hurlock (2003 : 111-112) Keterampilan umum pada masa awal
kanak-kanak dapat dibagi kedalam kedua kelompok besar yaitu keterampilan tangan
dan keterampilan kaki :
1. Keterampilan tangan. Keterampilan dalam makan dan berpakaian sendiri yang