• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAYANAN SOSIAL TERHADAP BALITA TERLANTAR DI UPT PELAYANAN SOSIAL ASUHAN BALITA SIDOARJO DINAS SOSIAL PROVINSI JAWA TIMUR.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PELAYANAN SOSIAL TERHADAP BALITA TERLANTAR DI UPT PELAYANAN SOSIAL ASUHAN BALITA SIDOARJO DINAS SOSIAL PROVINSI JAWA TIMUR."

Copied!
134
0
0

Teks penuh

(1)

DINAS SOSIAL PROVINSI J AWA TIMUR

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Per syaratan Memperoleh Gelar Sarjana

Ilmu Administrasi Negara Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univer sitas Pembangunan Nasional “ Veteran “ J awa Timur

Oleh :

J ONA MARTA SARI

NPM. 1041010011

YAYASAN KESEJ AHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” J AWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

(2)
(3)
(4)
(5)

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat

rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul

“Pelayanan Sosial Ter hadap Balita Ter lantar Di UPT Pelayanan Sosial Asuhan

Balita Sidoar jo Dinas Sosial Pr ovinsi J awa Timur ”

Pelaksanaan penelitian skripsi yang telah dilalui oleh penulis kurang lebih

selama satu bulan di UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita Sidoarjo. Sekalipun penulis

harus mengalami kesulitan, tetap penulis bersyukur dapat menyelesaikan laporan

penelitian skripsi tepat pada waktunya. Penulis menyadari bahwa didalam penyusunan

laporan ini banyak terdapat kekurangan dan kekeliruan. Selesainya kegiatan hingga

penyusunan laporan ini tidak lepas dari adanya arahan dan bimbingan dari Ibu Dr. Ertien

Rining N, MSi, yang dengan segala perhatian dan kesabarannya rela meluangkan waktu

untuk penulis. Terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan.

Pada kesempatan kali ini penulis juga menyampaikan banyak terima kasih yang

setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam

menyelesaikan laporan praktek magang ini, diantaranya :

1. Bapak Prof. DR. Ir. Teguh Soedarto MP, selaku Rektor Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

2. Ibu Dra. Hj. Suparwati, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik UPN “Veteran” Jawa Timur.

3. Bapak DR. Lukman Arif, M.Si, selaku Ketua Program Studi Ilmu Administrasi

(6)

5. Ibu Dr. Ertien Rining N, MSi selaku Dosen Pembimbing yang dengan

pengorbankan waktu, tenaga dan pikirannya dalam membimbing penulisan ini.

6. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Ilmu Administrasi Negara Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran” yang telah memberikan ilmu yang sangat

bernilai. Sehingga ucapan terima kasihpun penulis rasa belum cukup untuk

menghargai jasa Bapak dan Ibu. Namun teriring do’a semoga apa yang sudah

diberikan kepada kami akan terbalaskan dengan berkah dari Sang Ilahi.

7. Kepada KepalaUPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita Sidoarjo dan juga seluruh

Pegawai UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita Sidoarjo dibawah naungan Dinas

Sosial Provinsi Jawa Timur yang telah membantu proses kelancaran ketika

melaksanakan penelitian di instansi tersebut serta dalam pengambilan data.

8. Yang terhormat kedua Orang Tua Bapak dan Ibu, yang senantiasa mengiringi

penulis dengan doa-doa dan dukungan, serta teman-teman Jurusan Ilmu

Administrasi Negara angkatan 2010 yang membantu penulis baik moril maupun

materil.

Akhirnya penulis berharap semoga laporan skripsi ini dapat bermanfaat bagi

semua pihak. Segala saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan

demi kebaikan laporan ini.

Surabaya, Mei 2014

(7)

Halaman

HALAMAN J UDUL ... i

HALAMAN PERSETUJ UAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN REVISI ... iv

KATA PENGANTAR... ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR TABEL... xii

ABST RAKSI... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Per umusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.4. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II KAJ IAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Ter dahulu ... 8

2.2. Landasan Teor i ... 10

2.2.1. Implementasi Kebijakan ... 10

2.2.2. Pelayanan ... 23

(8)

2.2.3. Kesejahter aan Sosial ... 33

2.2.4. Per masalahan Anak ... 34

2.2.5. Pelayanan Anak ... 37

2.2.6. Kerangka Ber pikir ... 43

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. J enis Penelitian ... 45

3.2. Fokus Penelitian ... 46

3.3. Lokasi Penelitian ... 49

3.4. Sumber Data dan J enis Data ... 49

3.5. Infor man dan Teknik Penar ikan Infor man ... 51

3.6. Teknik Pengumpulan Data ... 53

3.7. Analisis Data ... 54

3.8. Keabsahan Data ... 58

BAB IV HASIL PEMBAHASAN 4.1. Gambar an Umum Obyek Penelitian ... 60

4.1.1. Pr ofil UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita Sidoar jo ... 60

4.1.1.1. Legalitas Or ganisasi ... 61

4.1.1.2. Visi dan Misi UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita Sidoar jo . 61 4.1.1.3. Maksud, Tujuan, dan Sasar an UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita Sidoar jo ... 62

(9)

4.1.1.5. Tugas Pokok, dan Fungsi UPT Pelayanan Sosial Asuhan

Balita Sidoar jo ... 64

4.1.1.6. Sumber Daya Manusia UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita Sidoar jo ... 66

4.1.1.7. Sar ana dan Pr asarana ... 69

4.1.1.8. Sumber Dana UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita Sidoar jo 76 4.1.2. Pr osedur Pener imaan Klien ... 77

4.1.3. Tahapan Pr oses Pelayanan Panti ... 78

4.1.4. Pr ofil Klien ... 80

4.2. Hasil Penelitian ... 81

4.3. Pembahasan ... 103

BAB V KESIMPUL AN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 119

3.2. Sar an ... 121

DAFTAR PUSTAKA

(10)

TERLANTAR DI UPT PELAYANAN SOSIAL ASUHAN BALITA SIDOARJ O DINAS SOSIAL PROVINSI J AWA TIMUR.

Balita terlantar merupakan salah satu masalah sosial yang dihadapi oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Upaya untuk mengatasi masalah ini dengan cara menampung balita terlantar di UPT Pelayanan Asuhan Sosial Sidoarjo dan melaksanakan pelayanan sosial melalui kegiatan pembinaan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang Pelayanan Sosial Terhadap Balita Terlantar di UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita Sidoarjo Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur. Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Fokus penelitian ini adalah pembinaan fisik, pembinaan mental sosial, dan pembinaan keterampilan yang dilakukan oleh UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita.

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi dan wawancara. Analisa data dalam Penelitian ini dengan menggunakan model interaktif. Keabsahan data pada penelitian ini meliputi credibility (derajat kepercayaan); transferability

(keteralihan); dependability (ketergantungan); konfirmability (kepastian).

Hasil penelitian ini adalah pelayanan sosial terhadap balita terlantar yang dilaksanakan melalui tiga program pembinaan, yaitu pembinaan fisik diberikan melalui pemeriksaan kesehatan terhadap balita yang berhubungan dengan kondisi fisik dari balita tersebut yang terdiri dari pembinaan terhadap peningkatan gizi, pemeriksaan kesehatan, pendidikan olahraga untuk anak pra-sekolah, serta penyediaan sarana kebutuhan taman kanak-kanak kelompok bermain, pembinaan mental sosial kegiatan pembinaan mental sosial diberikan melalui rutinitas keagamaan, bimbingan sosial melalui bermain, melalui kegiatan rekreatif, dan pembinaan keterampilan diberikan melalui tiga jenis kegiatan yaitu Pendidikan Pra-Sekolah yang terdiri dari pendidikan pra-sekolah, pendidikan keagamaan, dan pendidikan anak usia dini. Jadi, pelayanan sosial terhadap balita terlantar yang dilaksanakan oleh UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita sudah terlaksana dengan baik tetapi belum optimal, karena dalam pelaksanaan kegiatan tersebut masih belum tercantum jadwal kegiatan pembinaan secara tertulis disetiap jenis kegiatan dan juga untuk kegiatan rekreatif (tamasya) dalam pembinaan mental sosial masih belum terlaksana untuk semua klien.

(11)

1.1 Latar Belakang

Secara mendasar salah satu tugas dan kewajiban pemerintah adalah

meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia karena secara tegas telah dinyatakan

dalam pembukaan UUD 1945, bahwa pemerintah Negara Republik Indonesia

berkewajiban untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Dalam UUD 1945

pasal 34 telah disebutkan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara

oleh Negara.

Pernyataan tersebut memberi arti bahwa pemerintah mempunyai peranan

sentral baik secara perencana, penggerak, pengendali, dan pengawas dalam

pelaksanaan pembangunan kesejahteraan sosial. Menurut Perserikatan

Bangsa-bangsa (PBB), Kesejahtraan Sosial adalah merupakan sekumpulan

kegiatan-kegiatan yang ditujukan untuk memberikan kemampuan kepada perorangan,

keluarga-keluarga, kelompok-kelompok, dan kasatuan-kesatuan masyrakat untuk

mengatasi masalah-masalah sosial yang diakibatkan oleh kondisi-kondisi yang

selalu mengalami perubahan.

Namun, kemiskinan di Indonesia menjadi faktor utama melonjaknya

Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), salah satunya mengenai

kesejahteraan balita terlantar. Menurut Dinas Sosial balita terlantar adalah anak yang

(12)

perkembangannya secara jasmani, rohani, maupun secara sosial. Jumlah balita terlantar

pada tahun 2012 di Indonesia berdasarkan data dari Kementrian Sosial sebanyak

1.178.824 balita.

Saat ini kasus mengenai balita terlantar memang sudah sering diketahui

diberbagai media. Berbagai macam kasus mengenai balita yang ditelantarkan

orang tuanya semakin hari semakin meningkat. Umumnya balita terlantar

ditemukan ketika bayi atau balita terlantar tersebut dengan sengaja ataupun tidak

sengaja dibuang oleh orang tuanya sendiri.

Salah satu kasus mengenai balita terlantar yang diliput dalam Jurnal 9 update pada Jumat, 16 Agustus 2013, Terpisah Tiga Tahun, Balita Terlantar Di Malaysia Dipertemukan Ibu Kandungnya. Kementerian Sosial mempertemukan seorang balita yang ditelantarkan di Malaysia, dengan ibu kandungnya di kantor Pelayanan Sosial Asuhan Balita (PSAB) Dinas Sosial Jawa Timur di Sidoarjo ………

(Jurnal 9 Update, SIDOARJO, 16 Agustus 2013 | 20:40 WIB).

Salah satu contoh kasus diatas sebenarnya dapat diselesaikan dengan

kebijakan-kebijakan yang terkait perlindungan dan hak anak. Semenjak

kemerdekaannya, Indonesia telah memiliki kebijakan untuk melindungkan balita

maupun anak terlantar. Untuk anak dan balita terlantar terdapat dalam

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Selanjutnya UU RI

Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak pada Bab II (Hak anak) pasal 2

ayat 1 dan 2 yaitu Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan

bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam

asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar; serta Anak berhak

atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya,

(13)

Berdasarkan Intruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2010 tentang Program

Pembangunan yang Berkeadilan ditetapkan Program Kesejahteraan Sosial Anak

(PKSA) sebagai program prioritas nasional yang didalamnya termasuk program

kesejahteraan sosial anak dan balita program kesejahteraan sosial anak terlantar.

Selain itu terdapat Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 30 Tahun

2011 tentang Standar Nasional Pengasuhan Anak untuk Lembaga Kesejahteraan

Sosial Anak. Beberapa kebijakan diatas semuanya mengatur tentang perlindungan

hak anak dan balita terlantar.

Merujuk pada peraturan tersebut, penempatan anak maupun balita terlantar

dalam panti merupakan keputusan terakhir / alternative terakhir apabila fungsi dan

peran keluarga atau masyarakat tidak dapat memenuhi kebutuhan anggotanya,

sebuah panti harus memberikan pelayanan sosial yang mendukung pemenuhan

hak anak dan balita agar tercapainya kesejahteraan anak dan balita tersebut.

Menurut Suharto (2008:134) Pelayanan Sosial adalah kegiatan yang terorganisir

atau seperangkat program yang ditujukan untuk meningkatkan kehidupan

individu, kelompok atau masyarakat, terutama mereka yang mengalami kesulitan

hidup.

Pelayanan Sosial Anak merupakan kegiatan Pembangunan kesejahteraan

yang sangat perlu dilakukan. Pelayanan sosial anak telah diakui dan dikenal

sebagai tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat, orang tua dan

keluarga, yang juga diakui sebagai pihak pertama dan utama dalam pengasuhan

anak. Keadaan ini tidak berarti bahwa Pemerintah menyerahkan tanggung

(14)

jawab utama untuk menghargai, menjamin dan memenuhi kebutuhan serta Sosial

hak-hak anak terutama yang tidak dapat dipenuhi oleh sistem keluarga.

Pada awal Tahun 2009 Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur mendirikan

sebuah Unit Pelaksana Teknis yang secara khusus menangani balita terlantar yang

berada diseluruh wilayah Jawa Timur yaitu UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita

(PSAB ) yang berlokasi di Jl. Monginsidi No. 25 sidoarjo, sesuai dengan

peraturan Gubenur No. 119 Tahun 2008 tanggal 25 Agustus, yang selanjutnya

Dinas Sosial Provinsi Jatim mendirikan UPT PSAB yang berfungsi sebagai

tempat transit proses adopsi atau sebagai penampungan sementara untuk balita

terlantar yang membutuhkan penanganan dan perhatian kusus dengan cara

memberikan pelayanan sosial bagi balita terlantar yang ditampung di UPT ini.

Berikut ini adalah data jumlah balita yang pernah mendapatkan pelayanan

di UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita Sidoarjo selama lima tahun pada tahun

2009 sampai tahun 2013 :

Tabel 1.1

J umlah Balita Yang Pernah Mendapatkan Pelayanan di UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita Sidoarjo

Jenis Kelamin Tahun Jumlah

2009 2010 2011 2012 2013

Laki-laki 29 28 25 18 13 113

Perempuan 13 21 17 20 12 83

Jumlah 42 49 42 38 25 196

Sumber : Laporan Kondisi Perkembangan Klien Tahun 2009-2013 UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita Sidoarjo

Dari data yang berada ditabel jumlah balita yang pernah mendapatkan

(15)

balita terlantar yang ditangani tersebut membuat sisa balita terlantar dari wilayah

Provinsi Jawa Timur saat ini masih sangat banyak, sedangkan di Provinsi Jawa

Timur hanya terdapat satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) milik Dinas Sosial

Provinsi Jawa Timur yang kusus menangani balita terlantar yang berlokasi di

Kabupaten Sidoarjo untuk menangani balita terlantar yang ditampung dari seluruh

wilayah di Jawa Timur dengan kapasitas maksimum 50 balita.

Meskipun UPT Pelayanan Asuhan Balita telah didirikan, namun

pemerintah belum dapat menjangkau semua balita terlantar diseluruh wilayah

Jawa Timur, sementara percepatan jumlah balita terlantar terus meningkat.

Salah satu kasus tentang jumlah balita terlantar terlantar yang diliput oleh sumber media online Senin, 2 Juli 2012 memaparkan bahwa, Data di Dinas Sosial (Dinsos) Jatim menyebut, hingga tahun 2011, jumlah balita terlantar di Jatim yang menjadi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) mencapai 25.867 orang. Dari jumlah itu, selama setahun yang ditangani hanya 50 balita saja. Minimnya jumlah yang ditangani tersebut membuat sisa balita terlantar saat ini tersisa 25.817 jiwa. Jumlah tersebut dipastikan akan bertambah seiring dengan banyaknya kasus orang tua yang membuang anaknya begitu saja, usai dilahirkan. Kepala Dinas Sosial Jatim mengatakan, minimnya jumlah penanganan terhadap bayi terlantar karena di Jatim hanya terdapat satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang khusus menangani hal itu. Dengan terbatasnya tempat tersebut, penanganan balita terlantar memang sangat jauh dari harapan. Untuk itu, Mantan Kepala Dinas Infokom ini berharap peran serta pihak swasta atau lembaga sosial dan masyarakat dapat turun andil menangani banyaknya bayi terlantar di Jatim. (SURYA Online, SURABAYA, Senin, 2 Juli 2012 | 17:30 WIB)

Dari studi kasus diatas, terlihat jelas bahwa di wilayah Provinsi Jawa

Timur masih terdapat banyak balita terlantar yang belum mendapatkan jangkauan

serta penanganan dari pemerintah, dari kasus diatas data di Dinas Sosial

menyebutkan bahwa hingga tahun 2011, jumlah balita terlantar di Jatim yang

(16)

sebanyak 50 balita saja, walaupun demikian UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita

Sidoarjo tetap berusaha dengan baik untuk memberikan pelayanan sosial terhadap

balita terlantar yang ditampung dipanti tersebut dengan tujuan agar balita terlantar

bisa mendapatkan perlindungan atas penghidupan yang layak.

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk melakukan

penelitian pelayanan sosial yang didibuat oleh Dinas Sosial Prov Jatim melalui

UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita Sidoarjo kepeada balita dengan judul

“PELAYANAN SOSIAL TERHADAP BALITA TERLANTAR DI UPT

PELAYANAN SOSIAL ASUHAN BALITA SIDOARJ O DINAS SOSIAL

PROVINSI J AWA TIMUR”.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, rumusan

masalah yang dapat dikemukakan adalah Bagaimana Pelayanan Sosial Terhadap

Balita Terlantar Di UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita Sidoarjo Dinas Sosial

Provinsi Jawa Timur?

1.3 Tujuan Penelitian

Mengacu pada perumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini

adalah untuk mendeskripsikan tentang Pelayanan Sosial Terhadap Balita Terlantar

Di UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita Sidoarjo Dinas Sosial Provinsi Jawa

Timur.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

(17)

Sosial Terhadap Balita Terlantar Di UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita Sidoarjo

Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur.

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah untuk:

a. Bagi instansi khususnya UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita,

penelitian ini diharapkan memberikan masukan yang berarti tentang

pelayanan sosial di UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita.

b. Bagi Mahasiswa, penelitian ini bisa merupakan kajian teori dan konsep

tentang kebijakan publik khusus tentang Proses Pelayanan Sosial

Terhadap Balita Terlantar Di UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita

(18)

2.1 Penelitian Ter dahulu

Penelitian terdahulu yang pernah ada dan dilakukan oleh pihak lain yang

dapat sebagai bahan pengajian dan masukan yang terkait dengan penelitian ini :

1. Arina Fitriana, 2013, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta,

“Pelayanan Sosial Untuk Balita Terlantar DI Panti I Yayasan Sayap Ibu (YSI)

Cabang D.I.Y”. Penelitian ini untuk menjelaskan proses pelaksanaan pelayanan

sosial untuk balita terlantar dari awal penerimaannya di panti I YSI cabang D.I.Y,

serta untuk mengetahui hambatan-hambatan yang ditemui saat pelaksanaan

pelayanan sosial untuk balita terlantar di panti I YSI cabang D.I.Y. Metode yang

digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan menggunakan

pendekatan kualitatif, sedangkan analisis data yang digunakan adalah analisis

midel interaktif. Fokus penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

pelaksanaan pelayanan sosial yang diberikan oleh YSI untuk balita terlantar.

2. Rossy Simarmarta, 2009, Universitas Negeri Sumatera Utara, “Efektifitas

Pelayanan Sosial Terhadap Anak Asuh Oleh Yayasan Kinderfreude”. Penelitian

ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas pelayanan sosial terhadap anak asuh

oleh Yayasan Kinderfreude. Hasil Penelian ini adalah Efektifitas pelayanan sosial

yang diberikan oleh Yayasan Kinderfreude terhadap anak asuh pada pelayanan

pendidikan adalah salah satu tujuan program utama Yayasan Kindefreude. Semua

(19)

ditinjau dari segi anak asuh, masih sedikit dari antara mereka yang berprestasi di

sekolah, jumlah anak yang tidak berprestasi lebih banyak dari jumlah anak yang

berprestasi, minat baca anak yang masih kurang berfungsinya perpustakaan yang

telah dibuat oleh yayasan. Berdasarkan hasil analisis data, pelayanan pendidikan

yang diberikan oleh yayasan juga belum dapat dikatakan efektif mengingat bahwa

pelayanan pendidikan merupakan salah satu tujuan dari yayasan. Pelayanan

pendidikan yang diberikan kepada anak asuh belum menunjukkan adanya feed

back dan hasil yang maksimum dari anak asuh.

3. Farhan Setyawan, 2010, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta,

“Pola Penanganan Anak Autis Di Yayasan Sayab Ibu (Ysi) Cabang D.I.Y”.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan secara

sistematis dan logis pola penanganan yang dilakukan oleh YSI dalam menangani

anak-anak autis. Hasil dari penelitian ini yaitu Penanganan pada anak autis

tidaklah sama dengan menangani orang yang sakit pada umumnya, selain

membutuhkan kesabaran, keuletan, serta keaktifan dan kreatifitas yang lebih.

Penanganan terhadap anak autispun harus dilakukan dengan cara dari hal yang

sederhana, dasar, bahkan mungkin dibilang sangat sederhana bagi anak normal

pada umumnya. Semakin dini anak mendapatkan penanganan maka semakin

mudah mengatasinya. Demikian pula upaya penanganan yang dilakukan terapis

anak autis di panti II YSI, terapis mulai mengupayakan penanganan sejak dini,

(20)

merupakan panti anak-anak yang mengalami gangguan fisik dan mental.

Sedangkan panti I khusus untuk panti anak terlantar.

Perbedaan antara penelitian terdahulu dengan penelitian yang dilakukan oleh

peneliti saat ini terletak pada tujuan dan objek penelitian, dimana pada penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui Proses UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita Dinas

Sosial Provinsi Jawa Timur dalam memberikan Pelayanan Sosial Terhadap Balita

Terlantar.

2.2 Landasan Teor i

2.2.1 Implementasi Kebijakan

Implementasi berasal dari bahasa Inggris yaitu to implement yang berarti

mengimplementasikan. Implementasi merupakan penyediaan sarana untuk

melaksanakan sesuatu yang menimbulkan dampak atau akibat terhadap sesuatu.

Sesuatu tersebut dilakukan untuk menimbulkan dampak atau akibat itu dapat berupa

undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan dan kebijakan yang

dibuat oleh lembaga-lembaga pemerintah dalam kehidupan kenegaraan.

Secara etimologis pengertian implementasi menurut Kamus Webster yang

dikutip oleh Solichin Abdul Wahab adalah: “Konsep implementasi berasal dari

bahasa inggris yaitu to implement. Dalam kamus besar webster, to implement

(mengimplementasikan) berati to provide the means for carrying out (menyediakan

sarana untuk melaksanakan sesuatu); dan to give practical effect to (untuk

(21)

Implementasi kebijakan merupakan suatu upaya untuk mencapai

tujuan-tujuan tertentu dengan sarana-sarana tertentu dan dalam urutan waktu tertentu

(Sunggono 1994:137). Berdasarkan pengertian tersebut maka implementasi itu

merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan

yang telah di tetapkan dalam suatu keputusan kebijakan. Akan tetapi pemerintah

dalam membuat kebijakan juga harus mengkaji terlebih dahulu apakah kebijakan

tersebut dapat memberikan dampak yang buruk atau tidak bagi masyarakat. Hal

tersebut bertujuan agar suatu kebijakan tidak bertentangan dengan masyarakat apalagi

sampai merugikan masyarakat.

Mazmanian dan Sebatier mendefinisikan implementasi sebagai berikut:

“Implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk

undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau

keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan-keputusan badan peradilan”. (Mazmanian dan

Sebastiar dalam Wahab,2004:68). Implementasi menurut Mazmanian dan Sebastier

merupakan pelaksanaan kebijakan dasar berbentuk undang-undang juga berbentuk

perintah atau keputusan-keputusan yang penting atau seperti keputusan badan

peradilan. Proses implementasi ini berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan

tertentu seperti tahapan pengesahan undang-undang, kemudian output kebijakan

dalam bentuk pelaksanaan keputusan dan seterusnya sampai perbaikan kebijakan

yang bersangkutan.

Menurut uraian di atas, implementasi itu merupakan tindakan-tindakan yang

(22)

keputusan kebijakan. Akan tetapi pemerintah dalam membuat kebijakan juga harus

mengkaji terlebih dahulu apakah kebijakan tersebut dapat memberikan dampak yang

buruk atau tidak bagi masyarakat, Hal tersebut bertujuan agar suatu kebijakan tidak

bertentangan dengan masyarakat apalagi sampai merugikan masyarakat.

Kebijakan (policy) seringkali dicampuradukkan dengan kebijaksanaan

(wisdom). Landasan utama yang mendasari suatu kebijakan adalah pertimbangan

akal. Tentunya suatu kebijakan bukan semata-mata merupakan hasil pertimbangan

akal manusia. Namun, akal manusia merupakan unsur yang dominan di dalam

mengambil keputusan dari berbagai pilihan dalam pengambilan keputusan kebijakan.

Kebijakan secara efistimologi, istilah kebijakan berasal dari bahasa Inggris

policy”. Akan tetapi, kebanyakan orang berpandangan bahwa istilah kebijakan

senantiasa disamakan dengan istilah kebijaksanaan. Padahal apabila dicermati

berdasarkan tata bahasa, istilah kebijaksanaan berasal dari kata “wisdom”. Pendapat

Anderson yang dikutip oleh Wahab, merumuskan kebijaksanaan sebagai langkah

tindakan yang secara sengaja dilakukan oleh seseorang aktor atau sejumlah aktor

berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu yang sedang dihadapi

(Anderson dalam Wahab, 2004:3). Oleh karena itu, kebijaksanaan menurut Anderson

merupakan langkah tindakan yang sengaja dilakukan oleh aktor yang berkenaan

dengan adanya masalah yang sedang di hadapi.

James E. Anderson menyebutkan bahwa kebijakan adalah serangkaian

tindakan yang memiliki tujuan yang diikuti oleh seseorang atau sekelompok pelaku

(23)

dan Abraham Kaplan juga menyebutkan kebijakan merupakan sebuah program yang

diarahkan pada tujuan, nilai, dan praktek. Artinya kebijakan merupakan sebuah

program yang disusun berdasarkan tujuan, termasuk nilai-nilai pembuat kebijakan

dan fisibilitas dalam praktek. Dengan demikian kebijakan mengandung unsur

fisibilitas teknis, sosial, dan politik. (Sudiyono, 2007: 3).

Kebijakan menurut pendapat Carl Friedrich yang dikutip oleh Wahab bahwa:

“Kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang oleh seseorang,

kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya

hambatanhambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan

atau mewujudkan sasaran yang diinginkan” (Friedrich dalam Wahab, 2004:3).

Berdasarkan definisi di atas, kebijakan mengandung suatu unsur

tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan. Umumnya tujuan tersebut ingin dicapai oleh

seseorang, kelompok ataupun pemerintah. Kebijakan tentu mempunyai

hambatan-hambatan pada pelaksanaannya tetapi harus mencari peluang-peluang untuk

mewujudkan tujuan yang diinginkan Kebijakan mengandung suatu unsur tindakan

untuk mencapai tujuan dan umumnya tujuan tersebut ingin dicapai oleh seseorang,

kelompok ataupun pemerintah. Kebijakan tentu mempunyai hambatanhambatan

tetapi harus mencari peluang-peluang untuk mewujudkan tujuan dan sasaran yang

diinginkan. Hal tersebut berarti kebijakan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai

dan pelaksanaan sosial yang ada dalam masyarakat. Apabila kebijakan berisi

nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai-nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, maka

(24)

suatu kebijakan harus mampu mengakomodasikan nilai-nilai dan praktik-praktik yang

hidup dan berkembang dalam masyarakat.

Pengertian implementasi kebijakan menurut Edward III adalah sebagai

berikut: “policy implementation as we have seen is the stage of policy making

between the establishment of a policy such as the passage of a legislative act, the

issuing of an executive order, the handing down of a judicial decision, or the

promulgation of a regulatory ruleand the consequences of the policy for the people

whom it affects”. (Edward III, 1980:1).

Jadi implementasi itu merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh

pemerintah untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu keputusan

kebijakan. Akan tetapi pemerintah dalam membuat kebijakan juga harus mengkaji

terlebih dahulu apakah kebijakan tersebut dapat memberikan dampak yang buruk atau

tidak bagi masyarakat. Hal tersebut bertujuan agar suatu kebijakan tidak bertentangan

dengan masyarakat apalagi sampai merugikan masyarakat. Implementasi kebijakan

pada prinsipnya merupakan cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya.

Lester dan Stewart yang dikutip oleh Winarno, menjelaskan bahwa

implementasi kebijakan adalah: “Implementasi kebijakan dipandang dalam

pengertian luas merupakan alat administrasi hukum dimana berbagai actor,

organisasi, prosedur dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan

kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan”. (Lester dan Stewart

dalam Winarno, 2002:101-102). Definisi diatas menekankan bahwa implementasi

(25)

akibat dapat berupa Undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan dan

kebijakan yang dibuat lembaga-lembaga pemerintah dalam kehidupan bernegara.

Implementasi kebijakan menurut Nugroho terdapat dua pilihan untuk

mengimplementasikannya dalam bentuk program-program dan melalui formulasi

kebijakan derivate atau turunan dari kebijakan tersebut (Nugroho, 2003:158). Oleh

karena itu, implementasi kebijakan yang telah dijelaskan oleh Nugroho merupakan

dua pilihan, dimana yang pertama langsung mengimplementasikan dalam bentuk

program dan pilihan kedua melalui formulasi kebijakan.

Berdasarkan pengertian implementasi kebijakan diatas, maka George Edward

III mengemukakan beberapa hal yang dapat mempengaruhi keberhasilan suatu

implementasi, yaitu:

1. Comunication/komunikasi,

2. Resources/sumber daya,

3. Disposition/disposisi,

4. Bureaucratic Structure/struktur birokrasi.

(Edward III, 1980:10)

Keberhasilan suatu implementasi kebijakan yang dijelaskan oleh Edward III

dalam buku Implementing Public Policy dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor diatas,

adapun keberhasilan suatu implementasi kebijakan yaitu:

Kesatu Communication menurut Edward III adalah: ”The first requirement

for effective policy implementation is that those who are implement a decision must

(26)

be transmitted to appropriate personal before they can be followed.Naturally, these

communications need to be accurate, and they must be accurately perceived by

implementors. many obstacles lie in the path of transmission of implementation

communications” ( Edward III, 1980:17) Jadi berdasarkan pengertian George C.

Edwards III, komunikasi sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari

pelaksanaan. Pelaksanaan yang efektif terjadi apabila para pembuat keputusan sudah

mengetahui apa yang akan dikerjakan. Pengetahuan atas apa yang akan dikerjakan

dapat berjalan apabila komunikasi berjalan dengan baik, sehingga setiap keputusan

dan peraturan pelaksanaan harus ditransmisikan (dikomunikasikan) kepada bagian

personalia yang tepat. Keberhasilan suatu implementasi kebijakan Menurut Hogwood

dan Gunn yang dikutip oleh Wahab, komunikasi memegang peranan penting bagi

berlangsungnya koordinasi implementasi kebijakan. Menurut Hogwood dan Gunn

yang dikutip oleh Wahab bahwa koordinasi bukanlah sekedar menyangkut persoalan

mengkomunikasikan informasi ataupun membentuk struktur-struktur administrasi

yang cocok, melainkan menyangkut pula persoalan yang lebih mendasar, yaitu

praktik pelaksanaan kebijakan (Hogwood dan Gunn dalam Wahab, 2005:77).

Berdasarkan penjelasan teori diatas maka faktor-faktor yang mempengaruhi

komunikasi dalam implementasi kebijakan harus adanya kejelasan petunjuk dalam

implementasi kebijakan dan kejelasan, konsistensi dalam menjalankan sebuah

kebijakan maka Dengan terpenuhinya ketiga faktor pendukung komunikasi maka

akan tercapainya sebuah implementasi kebijakan yang baik dan sesuai tujuan yang

(27)

Faktor Kedua Resourcrces dalam keberhasilan suatu implementasi kebijakan

menurut menurut Edward III adalah: “No matter how clear and consistent

implementation orders are and no matter how accurately they are transmitted, if the

personel responsible out policies lack the resources to do an affective job,

implementation will not be effective. important resources include staff of the proper

size and with the necessary expertise; relevant and adequate information on how to

implement policies and on the compliance of others involved in implementation: the

authority to ensure that policies are carried out as they intended; and facilities

(including buildings,equipment,land and supplies) in which or withwhich to provide

service will mean that laws will not be provided,and reasonable regulations will not

be developed” (Edward III, 1980:53) Menurut George C. Edward III bahwa

sumber-sumber yang dapat menentukan keberhasilan pelaksanaan adalah salah satunya

sumber daya yang tersedia, karena menurut George C Edward III sumber daya

merupakan sumber penggerak dan pelaksana. Manusia merupakan sumber daya yang

terpenting dalam menentukan keberhasilan proses pelaksanaan, sedangkan sumber

daya merupakan keberhasilan proses implementasi yang dipengaruhi dengan

pemanfaatan sumber daya manusia, biaya, dan waktu. Berdasarkan penjelasan diatas

maka faktor-faktor pendukung sumberdaya menjadi bagian penting apabila sebuah

implementasi ingin tercapai dengan tersedianya pekerja, penjelasan mengenai sebuah

kebijakan dijalakan, kewenangan yang dimiliki dan kelengkapan sarana dan prasaran

menjadi faktor dari sumber daya dalam mencapai implementasi kebijakan dalam

(28)

Faktor Ketiga Dispositions dalam keberhasilan suatu implementasi kebijakan

menurut Edward III adalah: “The dispositions or attiudes of implementation is the

third critical factor in our approach to the study of public policy implementation. if

implementation is to proceed effectively, not only mustimplementors know what to do

and have the capability to do it, butthey must also desire to carry out a policy. most

implementors canexercise considerable discretion in the implementation of policies.

one of the reasons for this is their independence from their nominal superiors who

formulate the policies. another reason is the complexity of the policies themselves. the

way in which implementors exercise their direction, however, depends in large part

upon their dispositions toward the policies. their attitudes, in turn, will be influenced

by their views toward the policies per se and by how they see the policies effecting

their organizational and personal interests”.( Edward III, 1980:89).Menurut George

C. Edward III, disposisi atau sikap para pelaksana adalah faktor penting dalam

pendekatan mengenai pelaksanaan. Jika pelaksanaan ingin efektif, maka para

pelaksana tidak hanya harus memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, dimana

kualitas dari suatu kebijakan dipengaruhi oleh kualitas atau ciri-ciri dari para aktor

pelaksana. Keberhasilan kebijakan bisa dilihat dari disposisi (Karakteristik agen

pelaksana)Disposisi atau sikap pelaksanaan, jika para pelaksana bersikapbaik karena

menerima suatu kebijakan maka kemungkinan besar mereka akan melaksanakan

secara bersungguh-sungguh seperti tujuan yang diharapakannya. Sebaliknya jika

perspektif dan tingkah laku para pelaksana berbeda dengan para pembuat kebijakan

(29)

bahwa dalam mendukung Dispositions dalam kesuksesan implementasi kebijakan

harus adanya kesepakatan antara pembuat kebijakan dengan pelaku yang akan

menjalankan kebijakan itu sendiri dan bagaimana mempengaruhi pelaku kebijakan

agar menjalakan sebuah kebijakan tanpa keluar dari tujuan yang telah ditetapkan

demi terciptanya pelayanan publik yang baik.

Faktor Keempat dalam keberhasilan suatu implementasi kebijakan menurut

Edward III Bureaucratic structure adalah: “Policy implementors may know what to

do and have sufficientdesire and resources to do it, but they may still be hampered in

implementation by the structures of the organizations in which they serve. two

prominent characteristics of bureaucracies are standardoperating prosedurs (SOPs)

and fragmentation. the former develop as internal respons to the limited time and

resources ofimplementors and the desire for uniformity in the operation ofcomplex

and widely dispersed organizations; they often remain in force due to bureaucratic

inertia” (Edward III, 1980:125) Menurut George C. Edward III, walaupun

sumber-sumber untuk melaksanakan suatu kebijakan tersedia atau para pelaksana mengetahui

apa yang seharusnya dilakukan dan mempunyai keinginan untuk melaksanakan suatu

kebijakan, kemungkinan kebijakan tersebut tidak dapat terlaksana atau terealisasi

karena terdapatnya kelemahan dalam struktur birokrasi. Birokrasi sebagai pelaksana

harus dapat mendukung kebijakan yang telah diputuskan secara politik dengan jalan

melakukan koordinasi dengan baik.

Pelaksana kebijakan mungkin tahu apa yang harus dilakukan dan memiliki

(30)

masih terhambat di implementasi oleh struktur organisasi di mana mereka melayani.

dua karakteristik utama birokrasi adalah prosedures operasi standar (SOP) dan

fragmentasi. yang pertama berkembang sebagai respon internal untuk waktu yang

terbatas dan sumber daya pelaksana dan keinginan untuk keseragaman dalam

pengoperasian kompleks dan tersebar luas organisasi, mereka sering tetap berlaku

karena inersia birokrasi. Bureaucratic structure adalah sumber-sumber untuk

melaksanakan suatu kebijakan tersedia atau para pelaksana mengetahui apa yang

seharusnya dilakukan dan mempunyai keinginan untuk melaksanakan suatu

kebijakan, kemungkinan kebijakan tersebut tidak dapat terlaksana atau terealisasi

karena terdapatnya kelemahan dalam struktur birokrasi dan adanya standard

operating procesures (SOPs) standar operasi prosedur dalam rutinitas sehari-hari

dalam menjalankan impelementasi kebijakan. Birokrasi sebagai pelaksana harus

dapat mendukung kebijakan yang telah diputuskan secara politik dengan jalan

melakukan koordinasi dengan baik dan penyebaran tanggung jawab (Fragmentation)

atas kebijakan yang ditetapkan.

Berdasarkan penjelasan diatas mengenai faktor-faktor Bureaucratic structure

yang mendukung dalam suksesnya sebuah implementasi kebijakan harus adanya

prosedur tetap bagi pelaku kebijakan dalam melaksankan kebijakannya dan adanya

tanggung jawab dalam menjalankan sebuah kebijakan demi mencapai tujuan yang

ingin dicapai.

Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan

(31)

kebijakan publik, maka ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung

mengimplementasikan dalam bentuk program – program atau melalui formulasi

kebijakan privat atau turunan dari kebijakan publik tersebut.

Pengertian implementasi kebijakan dan faktor-faktor yang mempengaruhi

keberhasilan suatu implmentasi menurut Edward III diatas, maka Van Meter dan Van

Horn juga mengemukakan beberapa hal yang dapat mempengaruhi keberhasilan

suatu implementasi, yaitu:

1. Ukuran dan tujuan kebijakan

2. Sumber-sumber kebijakan

3. Ciri-ciri atau sifat Badan/Instansi pelaksana

4. Komunikasi antar organisasi terkait dengan kegiatan-kegiatan pelaksanaan

5. Sikap para pelaksana, dan

6. Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik

(Meter dan Horn dalam Wahab, 2004:79).

Keberhasilan suatu implementasi menurut kutipan Wahab dapat dipengaruhi

berdasarkan faktor-faktor di atas, yaitu: pertama yaitu ukuran dan tujuan diperlukan

untuk mengarahkan dalam melaksanakan kebijakan, hal tersebut dilakukan agar

sesuai dengan program yang sudah direncanakan.

Kedua, sumber daya kebijakan menurut Van Metter dan Van Horn yang

dikutip oleh Agustino, sumber daya kebijakan merupakan keberhasilan proses

implementasi kebijakan yang dipengaruhi dengan pemanfaatan sumber daya manusia,

(32)

kebijakan tersebut sangat diperlukan untuk keberhasilan suatu kebijakan yang dibuat

oleh pemerintah.

Sumber daya manusia sangat penting karena sebagai sumber penggerak dan

pelaksana kebijakan, modal diperlukan untuk kelancaran pembiayaan kebijakan agar

tidak menghambat proses kebijakan. Sedangkan waktu merupakan bagian yang

penting dalam pelaksanaan kebijakan, karena waktu sebagai pendukung keberhasilan

kebijakan. Sumber daya waktu merupakan penentu pemerintah dalam merencanakan

dan melaksanakan kebijakan.

Ketiga, keberhasilan kebijakan bisa dilihat dari sifat atau ciri-ciri

badan/instansi pelaksana kebijakan. Hal ini sangat penting karena kinerja

implementasi kebijakan publik akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciriciri yang

tepat serta cocok dengan para badan atau instansi pelaksananya. Menurut Subarsono

kualitas dari suatu kebijakan dipengaruhi oleh kualitas atau ciri-ciri dari para aktor,

kualitas tersebut adalah tingkat pendidikan, kompetensi dalam bidangnya,

pengalaman kerja, dan integritas moralnya (Subarsono, 2006:7).

Keempat, komunikasi memegang peranan penting bagi berlangsungnya

koordinasi implementasi kebijakan. Menurut Hogwood dan Gunn yang dikutip oleh

Wahab bahwa: “Koordinasi bukanlah sekedar menyangkut persoalan

mengkomunikasikan informasi ataupun membentuk strukturstruktur administrasi

yang cocok, melainkan menyangkut pula persoalan yang lebih mendasar, yaitu

(33)

Berdasarkan teori diatas maka Semakin baik koordinasi komunikasi diantara

pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka terjadinya

kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi dan begitu pula sebaliknya.

Kelima, menurut Van Meter dan Van Horn yang dikutip oleh Widodo, bahwa

karakteristik para pelaksana adalah mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan

pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi (Meter dan Horn dalam Subarsono,

2006:101). Sikap para pelaksana dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab

sebagai pelaksana kebijakan harus dilandasi dengan sikap disiplin. Hal tersebut

dilakukan karena dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, setiap

badan/instansi pelaksana kebijakan harus merasa memiliki terhadap tugasnya masing

masing berdasarkan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.

Keenam, dalam menilai kinerja keberhasilan implementasi kebijakan menurut

Van Meter dan Van Horn yang dikutip oleh Agustino adalah sejauh mana lingkungan

eksternal ikut mendukung keberhasilan kebijakan publik yang telah ditetapkan,

lingkungan eksternal tersebut adalah ekonomi, sosial, dan politik (Meter dan Horn

dalam Agustino, 2006:144). Lingkungan ekonomi, sosial dan politik juga merupakan

faktor yang menentukan keberhasilan suatu implementasi

2.2.2 Pelayanan

Menurut Lukman (2004:19) Pelayanan adalah pemberian jasa baik oleh

pemerintah maupun pihak swasta kepada masyarakat dengan atau tanpa pembayaran

(34)

Menurut Kurniawan dalam Pasolong (2007:128) mengatakan bahwa

pelayanan publik adalah pemberian pelayanan (melayani) keperluan orang lain atau

masyarakan yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan

pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.

Menurut Supriyanto (2001:13) Pelayanan publik adalah pelayanan terbaik

yang dapat diberikan pemerintah dan sesuai dengan harapan.

Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa Pelayanan adalah

kegiatan melayani atau kegiatan pemberian pelayanan kepada seseorang dari instansi

pemerintah maupun swasta yang sesuai dengan peraturan untuk memenuhi

kepentingan orang lain dalam bentuk barang maupun jasa.

Menurut Ridwan (2005:10) Tujuan pelayanan adalah untuk memuaskan

sesuai dengan keinginan masyarakat atau pelanggan pada umumnya.

Menurut Moenir (2002:198) Tujuan pelayanan adalah memberikan kepuasan

kepada orang atau sekelompok orang yang dilayani.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan pelayanan adalah untuk

mencapai tingkat kepuasan masyarakat sesuai norma dan aturan yang berlaku

memenuhi kebutuhan hidup orang banyak agar tingkat kepuasan masarakat dapat

(35)

2.2.2.1 Pelayanan Sosial

Menurut Muhidin (1992: 41), perlu dibedakan dua macam pengertian

pelayanan sosial, antara lain:

1. Pelayanan sosial dalam arti luas adalah pelayanan sosial yang mencakup fungsi

pengembangan termasuk pelayanan sosial dalam bidang pendidikan, kesehatan,

perumahan, tenaga kerja dan sebagainya.

2. Pelayanan sosial dalam arti sempit atau disebut juga pelayanan kesejahteraan

sosial mencakup program pertolongan dan perlindungan kepada golongan yang

tidak beruntung seperti pelayanan sosial bagi anak terlantar, keluarga miskin,

cacat, tuna sosial dan sebagainya.

Maka dapat diartikan bahwa efektifitas pelayanan sosial adalah tercapainya

tujuan pelayanan kesejahteraan sosial mencakup program pertolongan dan

perlindungan kepada golongan yang tidak beruntung. Dikatakan efektif apabila hasil

yang dicapai dari pelayanan sosial yang diberikan telah sesuai dengan apa tujuan

awal yang telah ditetapkan.

Pada umumnya baik kualitas maupun kuantitas daripada pelayanan sosial

akan berbeda-beda sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemakmuran suatu

Negara dan juga sesuai dengan faktor sosiokultural dan politik yang juga menentukan

masalah prioritas pelayanan. Alfred J. Khan dalam Muhidin (1992: 43) menyatakan

fungsi utama pelayanan sosial adalah :

1. Pelayanan sosial untuk sosialisasi pengembangan

(36)

3. Pelayanan akses

Pelayanan sosial untuk sosialisasi dan pengembangan dimaksudkan untuk

mengadakan perubahan-perubahan dalam diri anak dan pemuda melalui program-

program pemeliharaan, pendidikan (non formal) dan pengembangan. Tujuannya yaitu

untuk menanamkan nilai-nilai masyarakat dalam usaha pengembangan kepribadian

anak.

Menurut Muhidin (1992: 43) bentuk-bentuk pelayanan sosial tersebut antara

lain :

1. Program Penitipan Anak

2. Program-program kegiatan remaja dan pemuda

3. Program-program pengisian waktu terluang bagi anak dan remaja dalam keluarga

Pelayanan sosial untuk penyembuhan, perlindungan dan rehabilitasi

mempunyai tujuan untuk melaksanakan pertolongan kepada seseorang, baik secara

individual maupun di dalam kelompok/keluarga dan masyarakat agar mampu

mengatasi masalah-masalahnya. Menurut Muhidin (1992: 44) bentuk-bentuk

pelayanan sosial itu antara lain :

1. Bimbingan sosial bagi keluarga

2. Program asuhan keluarga dan adopsi anak

3. Program bimbingan bagi anak nakal dan bebas hukuman

4. Program-program rehabilitasi bagi penderita cacat

5. Program-program bagi lanjut usia

(37)

7. Program-program bimbingan bagi anak-anak yang mengalami masalah dalam

bidang pendidikan

8. Program-program bimbingan bagi para pasien di rumah sakit

Kebutuhan akan program pelayanan akses disebabkan oleh karena :

1. Adanya birokrasi modern

2. Perbedaan tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap hal-hal dan

kewajiban/tanggung-jawabnya

3. Diskriminasi

4. Jarak geografi antara lembaga-lembaga pelayanan dari orang-orang yang

memerlukan pelayanan sosial

Dengan adanya berbagai kesenjangan tersebut, maka pelayanan sosial disini

mempunyai fungsi sebagai “akses” untuk menciptakan hubungan bimbingan yang

sehat antara berbagai program, sehingga program-program tersebut dapat berfungsi

dan dimanfaatkan oleh masyarakat yang membutuhkannya. Pelayanan akses

bukanlah semata-mata memberikan informasi, tetapi juga termasuk menghubungkan

seseorang dengan sumber-sumber yang diperlukan dengan melaksanakan

program-program referral.

Fungsi tambahan dari pelayanan sosial ialah menciptakan partisipasi anggota

masyarakat untuk mengatasi masalah-masalah sosial. Tujuannya dapat berupa terapi

individual dan sosial (untuk memberikan kepercayaan pada diri individu dan

masyarakat) dan untuk mengatasi hambatan-hambatan sosial dalam pembagian

(38)

Partisipasi mungkin merupakan konsekuensi dari bagaimana program itu

diorganisir, dilaksanakan dan disusun. Ada yang memandang bahwa partisipasi dan

pelayanan merupakan dua fungsi yang selalu konflik, karenanya harus dipilih salah

satu. Karena itu harus dipilih partisipasi sebagai tanggung jawab masyarakat dan

pelayanan sebagai tanggung jawab program. Pada umumnya suatu program sulit

untuk meningkatkan kedua-duanya sekaligus.

2.2.2.2 Kategor i Pelayanan Sosial

Menurut Suharto (2007:242) Dalam pelaksanaannya , intervensi dalam

pelayanan sosial dibagi menjadi dalam dua bentuk, yaitu:

1. Direct Practice (Praktik Langsung), menyangkut aksi-aksi dengan para

individu, keluarga-keluarga, dan kelompok- kelompok kecil yang

memfokuskan pada perubahan baik transaksi dalam keluarga, sistem

kelompok kecil atau individu dan fungsi kelompok-kelompok kecil dalam

hubungan dengan orang-orang dan institusi-institusi kemasyarakatan dalam

lingkungan mereka. Contohnya pekerja sosial bertemu dengan klien dengan

tujuan untuk memberi pertolongan misalnya dengan anak terlantar yang orang

tuanya tidak mampu memenuhi kebutuhan dan haknya sebagai anak atau anak

terlantar yang berasal dari temuan kemudian di usahakan mendapatkan

pelayanan pengasuhan.

2. Indirect Practice (Praktik tidak langsung), menyangkut aksi- aksi yang

dilakukan dengan orang-orang lain dari pada dengan para kelayan supaya

(39)

individu, kelompok-kelompok kecil, organisasi-organisasi atau masyarakat

sebagai unit perhatian. Contohnya lembaga-lembaga sosial memberikan

sosialisasi tentang perlindungan anak, bahaya sex bebas, advokasi dan

sebagainya.

Berpijak dari dua bentuk intervensi di atas, maka pelayanan sosial dapat

dikategorikan sebagai berikut, antara lain:

1. Berdasarkan sasaran, pelayanan sosial diberikan untuk anak terlantar, anak

jalanan dan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) lainnya.

2. Berdasarkan setting atau tempatnya, pelayanan sosial dapat diberikan melalui

lembaga-lembaga pemerintah ataupun non pemerintah misalnya panti asuhan,

Dinas Sosial, Organisasi Sosial, dan sebagainya.

3. Berdasarkan jenis atau sektor, yaitu pelayanan pengentasan anak (pengangkatan

anak, asuhan keluarga, kembali kekeluarga(jika ada keluarga), dan sebagainya),

advokasi, mediasi, dan fasilitasi untuk terlaksananya pelayanan hak anak.

2.2.2.3 Peranan Peker ja Sosial dalam Penanganan Masalah Anak

Menurut Robert dan Nee dalam Adi (2013:17) pekerjaan sosial merupakan

profesi yang baru muncul pada abad ke-20. Berbeda dengan profesi lain, yang

muncul lebih dulu, yang mengembangkan spesialisasi untuk mencapai

kematangannya, maka pekerjaan sosial berkembang dari berbagai spesialisasi pada

beberapa lapangan praktis. Dalam perkembangan praktik pekerjaan sosial, aspek

keadilan sosial adalah hak asasi manusia mendapatkan porsi tersendiri dalam upaya

(40)

Peranan Pekerja Sosial dalam Penanganan Masalah Anak Menurut Walter A

Friedlander dalam Muhidin (1992: 7), Pekerjaan Sosial adalah suatu pelayanan

professional yang dilaksanakan pada ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam relasi

kemanusiaan yang bertujuan untuk membantu, baik secara perseorangan maupun di

dalam kelompok untuk mencapai kepuasan dan etidaktergantungan secara pribadi dan

sosial. Pekerjaan sosial berusaha untuk membantu individu, kelompok dan asyarakat

mencapai tingkat kesejahteraan sosial, mental dan psikis yang setinggi- tingginya.

Permasalahan dalam bidang pekerjaan sosial erat kaitannya dengan masalah

fungsi sosial, yaitu kemampuan seseorang untuk menjalankan peranannya sesuai

dengan tuntutan lingkungannya. Oleh karena itu, usaha-usaha untuk memberikan

pelayanan sosial, baik secara langsung maupun tidak langsung, juga diarahkan untuk

membantu individu, kelompok ataupun masyarakat dalam menjalankan fungsi

sosialnya. Seorang pekerja sosial, mempunyai pemahaman tentang pribadi dan

tingkah laku manusia serta lingkungan sosialnya atau kondisi dimana manusia itu

hidup.

Menurut pandangan Zastrow (2013: 216-219), setidaknya ada beberapa peran

yang biasa dilakukan oleh pekerja sosial, yaitu:

1. Enabler Sebagai enabler seorang pekerja sosial membantu masyarakat agar

dapat mengartikulasikan kebutuhan mereka, mengidentifikasikan masalah

mereka dan mengembangkan kapasitas mereka agar dapat menangani masalah

(41)

2. Broker Peranan sebagai broker yaitu berperan dalam menghubungkan individu

ataupun kelompok dalam masyarakat yang membutuhkan bantuan ataupun

layanan masyarakat (community services) tetapi tidak tahu dimana dan

bagaimana mendapatkan bantuan tersebut. Broker dapat juga dikatakan

menjalankan peran sebagai mediator yang menghubungkan pihak yang satu

dengan pemilik sumber da ya.

3. Expert Sebagai expert (tenaga ahli), ia lebih banyak memberikan saran dan

dukungan informasi dalam berbagai area. Misalnya saja, seorang tenaga ahli

dapat memberikan usulan mengenai bagaimana struktur organisasi yang bisa

dikembangkan dalam masyarakat tersebut dan kelompok-kelompok mana saja

yang harus terwakili. Seorang expert harus sadar bahwa usulan dan saran yang

dia berikan bukanlah mutlak harus dijalankan masyarakat, tetapi usulan dan

saran tersebut lebih merupakan masukan gagasan untuk bahan pertimbangan

masyarakat ataupun organisasi dalam masyarakat tersebut.

4. Social Planner Seorang social planner mengumpulkan data mengenai masalah

sosial yang terdapat dalam masyarakat tersebut, menganalisanya dan

menyajikan alternatif tindakan yang rasional untuk menangani masalah tersebut.

Setelah itu perencana sosial mengembangkan programnya, mencoba mencari

alternatif sumber pendanaan dan mengembangkan konsensus dalam kelompok

yang mempunyai berbagai minat ataupun kepentingan. Peran expert dan social

planner saling tumpang tindih. Seorang expert lebih memfokuskan pada

(42)

tugas-tugas yang terkait dengan pengembangan dan pengimplementasian

peranan.

5. Advocate Peran sebagai advocate dalam pengorganisasian masyarakat

dicangkok dari profesi hukum. Peran ini merupakan peran yang aktif dan

terarah, dimana community worker menjalankan fungsi sebagai advocate yang

mewakili kelompok masyarakat yang membutuhkan suatu bantuan ataupun

layanan, tetapi institusi yang seharusnya memberikan bantuan ataupun layanan

tersebut tidak memperdulikan.

6. Activist Sebagai activist, seorang community worker melakukan perubahan

institusional yang lebih mendasar dan seringkali tujuannya adalah pengalihan

sumber daya ataupun kekuasaan pada kelompok yang kurang mendapatkan

keuntungan. Seorang activist biasanya memperhatikan isu-isu tertentu, seperti

ketidaksesuaian dengan hukum yang berlaku, ketidakadilan dan perampasan

hak. Seorang activist biasanya mencoba menstimulasikan kelompok-kelompok

yang kurang diuntungkan tersebut untuk mengorganisir diri dan melakukan

tindakan melawan struktur kekuasaan yang ada.

7. Educator Dalam menjalankan peran sebagai educator (pendidik), pekerja sosial

diharapkan mempunyai keterampilan sebagai pembicara dan pendidik. Pekerja

sosial harus mampu berbicara di depan publik untuk menyampaikan informasi

mengenai beberapa hal tertentu, sesuai dengan bidang yang ditanganinya.

Dalam pelayanan sosial anak, umumnya peran pekerja sosial adalah sebagai

(43)

masalah mereka dan mengembangkan kapasitas mereka agar dapat menangani

masalah secara efektif, disamping itu juga sebagai educator (pendidik) yang

diharapkan membantu anak dalam hal pendidikannya.

2.2.3 Kesejahter aan Sosial

Kesejahteraan sosial dalam artian yang sangat luas mencakup berbagai

tindakan yang dilakukan manusia untuk mencapai tingkat kehidupan masyarakat

yang lebih baik. Menurut Walteral Friedlander dalam Muhidin (1992: 1),

Kesejahteraan Sosial adalah sistem yang terorganisir dari pelayanan-pelayanan sosial

dan lembaga-lembaga yang bertujuan untuk membantu individu dan kelompok untuk

mencapai standar hidup dan kesehatan yang memuaskan dan relasi-relasi pribadi dan

sosial yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan kemampuannya sepenuh

mungkin dan meningkatkan kesejahteraannya selaras dengan kebutuhan keluarga dan

masyarakatnya.

Elizabeth Wickenden dalam Muhidin (1992: 2) mengemukakan bahwa

kesejahteraan sosial termasuk di dalamnya peraturan perundangan, program,

tunjangan dan pelayanan yang menjamin atau memperkuat pelayanan untuk

memenuhi kebutuhan sosial yang mendasar dari masyarakat serta menjaga

ketentraman dalam masyarakat.

Kesejahteraan sosial sebagai suatu kondisi dapat terlihat dari rumusan

Undang-undang Republik Indonesia nomor 6 tahun 1974 tentang ketentuan-

ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial pasal 2 ayat 1: “Kesejahteraan sosial ialah

(44)

oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir dan batin, yang

memungkinkan bagi setiap warganegara untuk mengadakan usaha pemenuhan

kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah, sosial yang sebaik-baiknya bagi diri

keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban

manusia sesuai dengan Pancasila” (Munandar, 2000:122)

Dari berbagai pengertian di atas dapat terlihat luas lingkup pengertian

kesejahteraan sosial yang sebenarnya sangat meluas dan melingkupi berbagai aspek

kehidupan. Dalam kesejahteraan sosial juga terdapat usaha kesejahteraan sosial,

dimana pelayanan sosial juga termasuk dari salah satu di dalamnya.

2.2.4 Per masalahan Anak

National Clearinghouse on Child and Negled dalam Santrock (2009:172)

terdapat empat tipe perlakukan yang salah terhadap anak adalah kekerasan fisik,

penelantaran anak, kekerasan seksual, dan kekerasan emosional :

1. Kekerasan fisik dicirikan oleh terjadinya cedera fisik karena penonjokan,

pemukulan, penendangan, penggigitan, pembakaran, atau pembahayaan anak.

2. Penelantaran anak dicirikan oleh kegagalan dalam memenuhi kebutuhan

dasar anak. Penelantaran bisa berupa penelantaran fisik, pendidikan, atau

emosional;

a. Penelantaran fisik meliputi penolakan atau penundaan dalam mencapai

perawatan kesehatan; peninggalan; pengusiran dari rumah atau

penolakan terhadap kembalinya anak yang minggat; dan pengawasan

(45)

b. Penelantaran pendidikan mencakup pembiaran kebiasan membolos

yang parah, tidak mendaftarkan anak usia sekolah ke sekolah, dan

tidak memenuhi kebutuhan pendidikan khusus anak.

c. Penelantaran emosional mencakup tindakan seperti tidak adanya

perhatian terhadap kebutuhan anak akan kasih sayang; penolakan atau

ketidakmampuan untuk memberikan kepedulian psikologis yang perlu;

penyiksaan pasangan didepan anak; dan pembiaran penggunaan

alcohol dan obat-obatan oleh anak.

3. Kekerasan seksual meliputi mempermainkan alat kelamin anak, hubungan

seksual, inses, pemerkosaan, sodomi, eksibisionisme, dan eksploitasi

komersial melalui pelacuran atau produksi materi pornografi.

4. Kekerasan emosional (cedera mental akibat kekerasan psikologis atau verbal)

meliputi tindakan pengabaian oleh orang tua atau pengasuh yang

menyebabkan atau bisa menyebabkan, masalah behavioral, kognitif, atau

emosional yang serius.

Menurut Suharto (2009:160) Permasalahan anak umumnya dikategorikan ke

dalam tiga konsep, yaitu perlakuan salah terhadap anak atau PSTA, penelantaran

anak, dan eksploitasi anak. PTSA meliputi : PTSA secara fisik, PTSA psikis, PTSA

secara seksual, PTSA secara sosial.

1. PTSA secara fisik, adalah penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap

anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang

(46)

2. PSTA secara psikis, adalah meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata

kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar, dan film pornografi kepada

anak.

3. PTSA secara seksual, adalah dapat beruKeempa perlakuan pra-kontak seksual

antara dengan yang lebih besar, maupun perlakuan kontak secara langsung

antara anak dengan orang dewasa

4. PTSA secara sosial, adalah dapat mencakup masalah penelantaran anak dan

eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orangtua yang

tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang

anak.

Diantara ke empat kategori tersebut, konsep mengenai PTSA secara sosial

mencakup lebih banyak permasalahan anak. Termasuk dalam kategori ini adalah :

1. Anak yang mengalami pengabaian dan eksploitasi seperti anak jalanan dan

pekerjaan anak yang bekerja pada sektor industri formal yang berbahaya dan

eksploitatif.

2. Anak yang berada dalam kondisi darurat, seperti anak dalam pengungsian,

bencana alam, konflik bersenjata, kerusuhan sosial.

3. Anak yang diperdagangkan baik untuk pelacuran, adopsi ilegal, maupun untuk

pembantu rumah tangga, anak kelompok minoritas dan anak komunitas adat

terpencil.

(47)

5. Anak yang terlibat dalam produksi dan perdagangan obat terlarang, termasuk

anak korban penyalahgunaan NAPZA.

6. Anak korban HIV/AIDS.

7. Anak korban diskriminasi sosial.

2.2.5 Pelayanan Anak

Menurut Konvensi Hak-hak Anak yang diadopsi oleh Majelis Umum,

Perserikatan Bangsa-bangsa pada tangal 20 November, Bagian I pasal 1, anak adalah

semua orang yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali undang-undang menetapkan

bahwa kedewasaan dicapai lebih awal. Sementara menurut Undang- undang No. 4

tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, disebutkan bahwa anak adalah seseorang

yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah menikah.

Menurut Harini dan Firdaus (2003:45) Balita (bayi dan anak dibawah lima

tahun) yaitu kategori anak yang berusia 0-4 tahun. Biasanya balita juga dikenal

dengan anak-anak prasekolah. Menurut Biechler dan Snowman yang dikutip oleh

Soemiarti (2003:30), anak prasekolah adalah mereka yang berusia antara 3-6 tahun

yang biasanya mengikuti program sekolah atau kinderganten. Namun, umumnya di

Indonesia anak-anak balita mengikuti program penitipan anak (usia 3 bulan sampai 5

tahun) seta kelompok bermain pada usia 3 tahun dan TK usia 4-6 tahun.

Anak usia dini merupakan seorang yang sedang menjalani proses tumbuh

kembang yang sangat pesat. Oleh karena itu usia dini sering dikatakan sebagai usia

emas yang sangat berharga dari pada usia-usia selanjutnya. Karakteristik serta tugas

(48)

1. Usia 0-1 tahun. Karakteristiknya yaitu ketrampilan motorik mulai dari berguling,

merangkak, duduk, berdiri, dan berjalan. Kemudian tugas usia 0-1 tahun yaitu

mempelajari ketrampilan yang menggunakan panca indera (melihat, mengamati,

meraba, mendengar, mencium) dan belajar komunikasi sosial.

2. Usia 2-3 tahun. Anak usia ini memiliki karakteristik dimana mereka sangat aktif

mengeksplorasi benda-benda yang ada disekitarnya. Tugas dari anak usia 2-3

tahun ini yaitu belajar mengembangkan kemampuan bahasa dan mengembangkan

emosi.

3. Usia 4-5 tahun. Karakteristik anak usia 4 tahun sangat berkaitan dengan

perkembangan fisik sehingga aktif melakukan banyak kegiatan. Dengan mereka

aktif melakukan banyak kegiatan, maka sangat bermanfaat untuk pengembangan

otot-otot tubuhnya. Selanjutnya tugas anak usia 4 tahun ini yaitu perkembangan

bahasa semakin baik, mampu memahami pembicaraan orang lain, dan mampu

mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya. Selain itu, tugas mereka juga

dalam pengembangan kognitif, ditunjukkan dengan rasa ingin tahu yang luar

biasa terhadap lingkungannya. Serta bentuk permainan mereka masih bersifat

individu bukan sosial, tapi dilakukan secara bersama- sama.

Menurut Hurlock (2003 : 111-112) Keterampilan umum pada masa awal

kanak-kanak dapat dibagi kedalam kedua kelompok besar yaitu keterampilan tangan

dan keterampilan kaki :

1. Keterampilan tangan. Keterampilan dalam makan dan berpakaian sendiri yang

Gambar

Gambar 1 Kerangka Berpikir
Gambar 2
Gambar 3.
Gambar 4. Struktur Organisasi UPT Pelayanan Sosial Asuhan Balita Sidoarjo
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pemberian Makanan Tambahan yang merupakan salah satu Program Pelayanan Gizi bayi dan balita melalui program Jaring Perlindungan Sosial Bidang Kesehatan yang

Hasil penelitian ini adalah kinerja Balai Perlindungan Sosial dalam Pelayanan dan Perlindungan Sosial lanjut usia terlantar di Provinsi Banten sudah baik.. Jadi

Kegiatan Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) Tambatan Hati Subang meliputi pembinaan fisik, pelayanan mental, bimbingan sosial dan pembinaan keterampilan, semua bertujuan

Kegiatan praktik pekerjaan sosial berbasis pengembangan komunitas dalam menangani masalah anak terlantar pendidikan yang dilaksanakan di Desa Cipeuteuy menjadi arena

Berdasarkan hasil penelitian yang telah didapatkan, maka dapat dilakukan analisis Inovasi Pelayanan Kepolisian melalui Aplikasi Surat Keterangan Orang Terlantar (SKOT)

Sedangkan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah apa yang melatar belakangi tindakan sosial seorang pengasuh menekuni aktivitas pengasuhan anak

Terapi SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique) dapat Meningkatkan Self Kontrol (Kontrol Diri) pada Anak Terlantar di UPT Perlindungan dan Pelayanan Sosial

i APLIKASI REGISTRASI PENERUSAN PELAYANAN ORANG TERLANTAR BERBASIS WEB PADA DINAS SOSIAL PROVINSI SUMATERA SELATAN Laporan Akhir ini disusun sebagai salah satu syarat