• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENCIPTAAN BUDAYA RELIGIUS PERGURUAN TINGGI ISLAM (Berkaca Nilai Religius UIN Maulana Malik Ibrahim Malang)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PENCIPTAAN BUDAYA RELIGIUS PERGURUAN TINGGI ISLAM (Berkaca Nilai Religius UIN Maulana Malik Ibrahim Malang)"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

PENCIPTAAN BUDAYA RELIGIUS PERGURUAN TINGGI ISLAM ( Berkaca Nilai Religius UIN Maulana Malik Ibrahim Malang)

Amru Almu’tasim

STIT Uluw iyah Mojoker to e-mail: amr u.dosen@yahoo.com

Abstr act: Dur ing these univer sities only pr oduce gr aduates w ho only have a cer tain skill, w hile they do not have per sonal integr it y as a member of the family, community, and r eligious cit izens. This situation w ill gr eat ly affect the education system in univer sities. Wher e the College as an or ganization of higher education is a means of cooper ation gr oup of people (Higher Education and Society) to achieve the desir ed objectives. Achievement of the goal Univer sities, both in quality and quantity depends on t he people w ho gather ed at the agency. if the incr ease is not accompanied by planting intellectual Islamic values ar e embodied in building r eligious cultur e in the Univer sities, the national education goals w ill not be achieved w ell.

Keywords: Religious, Cultur e, Higher Educat ion

Abstrak: Selama ini univer sitas hanya menghasilkan lulusan yang hanya memiliki keahlian ter tentu, sementar a itu mer eka tidak memiliki integr itas pr ibadi sebagai anggota keluar ga, komunitas, dan w arga Negar a yang ber agama. Situasi ini akan sangat mempengar uhi sistem pendidikan di per gur uan tinggi. Dimana kampus sebagai or ganisasi pendidikan tinggi mer upakan sarana kelompok ker ja sama or ang (Pendidikan Tinggi dan Masyar akat) untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pencapaian dar i tujuan Univer sitas, baik dalam kualitas dan kuantitas ter gantung pada or ang-or ang yang ber kumpul di lembaga ter sebut. jika per tumbuhan ter sebut tidak diser tai dengan menanam nilai-nilai Islam intelektual yang diwujudkan dalam membangun budaya agama di Univer sitas, maka tujuan pendidikan nasional tidak akan ter capai dengan baik.

Kata-Kata kunci: Agama, Budaya, Pendidikan Tinggi

Pendahuluan

(2)

ter hadap Masyar akat ber ar ti pendidikan yang dapat mengantar kan per ubahan yang sangat ber ar ti dalam Masyar akat ter sebut. Selanjutnya, per ubahan model pendidikan yang beraneka r agam dalam mew ujudkan ur gensinya tidak dapat dilepas pisahkan dengan tuntutan situasi dan kondisi Masyar akat (Asr or i, 2008: 31).

Dalam UU No. 20 / 2003 Tentang Sisdiknas Pasal 1 ayat 1 dinyatakan bahw a pendidikan adalah usaha sadar dan ter encana untuk mew ujudkan suasana belajar dan pembelajar an agar peser ta didik secar a aktif mengembangkan potensi dir inya untuk memiliki kekuat an

spir it ual keagamaan, pengendalian dir i, kepribadian, kecer dasan,

akhlak mulia ser ta keter ampilan yang diper lukan untuk dirinya, masyar akat, bangsa dan Negar a. Selanjutnya pasal 1 ayat 2 dinyatakan bahw a pendidikan nasional adalah pendidikan yang ber dasar kan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negar a Republik Indonesia Tahun 1945 ber akar pada Nilai-Nilai Agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap ter hadap tuntutan per ubahan zaman.

Pendidikan Agama Islam (PAI) baik pada jenjang pendidikan dasar maupun menengah antar a lain ber tujuan untuk mew ujudkan manusia Indonesia yang taat ber agama dan ber akhlak mulia, yaitu manusia yang ber pengetahuan, r ajin ber ibadah, cer das, pr oduktif, jujur , adil, etis, ber disiplin, ber toler ansi (tasamuh) menjaga kehar monisan, secar a per sonal dan social ser ta Mengembangkan Budaya Agama dalam komunitas Per gur uan Tinggi (Per men Diknas, No: 22 tanggal 23 Mei 2006 tentang Standar isi dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajar an PAI. Dengan demikian upaya pengembangan Pendidikan Agama sebagai Budaya Per gur uan Tinggi telah memper oleh legalitas yang kuat.

(3)

kar imah) daya nalar dan pikir agar anak cer das dan memiliki keter ampilan yang tinggi (Supr ayogo, 1999: 25).

Dew asa ini bangsa Indonesia sedang menghadapi kr isis mental yang mult idimensional. Dar i hasil kajian ber bagai disiplin dan pendekatan, tampaknya ada kesamaan pandangan bahw a segala macam kr isis itu ber pangkal dar i kr isis akhlak atau mor al. Kr isis ini, secar a langsung atau tidak, ber hubungan dengan per soalan Per gur uan Tinggi atau pendidikan (Muhaimin, 2009: 18). Banyak mahasisw a dan pelajar sekar ang mudah ter pengar uh oleh budaya asing, mudah ter pr ovokasi, cepat mar ah, per gaulan bebas, bahkan banyak dar i mer eka tidak lagi menar uh hor mat ter hadap gur u-gur unya, bahkan tidak hor mat ter hadap or ang tua. Hal ini mer upakan gambar an anak bangsa yang mulai ter ancam keutuhan pr ibadinya (Alim, 2006: 1).

Melihat kenyataan di atas, maka sangatlah ber alasan, apabila kemudian ada kr itik dar i masyar akat bahw a selama ini Per gur uan Tinggi hanya menghasilkan lulusan yang hanya memiliki keahlian ter tentu, sementar a mer eka tidak memiliki integr itas kepr ibadian sebagai anggota keluar ga, masyar akat, dan w ar ga Negar a yang ber agama. Kondisi demikian tentunya sangat ber pengar uh pada sistim pendidikan di Per gur uan Tinggi. Dimana Per gur uan Tinggi sebagai suatu or ganisasi pendidikan tinggi mer upakan w adah ker jasama sekelompok or ang (Per gur uan Tinggi dan Masyar akat) untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pencapaian tujuan Per gur uan Tinggi, baik kualitas maupun kw antitas sangat ter gantung pada or ang-or ang yang ter himpun di lembaga ter sebut. jika peningkatan intelektual tidak dibar engi dengan penanaman nilai-nilai Islam yang diw ujudkan dalam membangun budaya r eligius di Per gur uan Tinggi, maka tujuan pendidikan nasional tidak akan ter capai dengan baik.

Budaya Religius (Religious Culture)

(4)

keter ampilan hidup oleh par a w ar ga Per gur uan Tinggi. Dalam ar ti kata, penciptaan suasana r eligius ini dilakukan dengan car a pengamalan, ajakan (per suasif) dan pembiasaan-pembiasaan sikap agamis baik secar a ver tikal (habluminallah) maupun hor izontal (habluminannas) dalam lingkungan Per gur uan Tinggi. Melalui penciptaan ini, mahasisw a akan disuguhkan dengan keteladanan kepala Per gur uan Tinggi dan par a gur u dalam mengamalkan nilai-nilai keimanan, dan salah satunya yang paling penting adalah menjadikan keteladanan itu sebagai dor ongan untuk menir u dan mempr aktikkannya baik di dalam Per gur uan Tinggi atau di luar Per gur uan Tinggi. Sikap mahasisw a sedikit banyak pasti akan ter pengar uh oleh lingkungan di sekitarnya (Mulyasa, 2005: 32).

Istilah budaya mula-mula datang dar i disiplin ilmu antr opologi sosial. Apa yang ter cakup dalam definisi budaya sangatlah luas. Istilah budaya dapat diar tikan sebagai totalitas pola per ilaku, kesenian, keper cayaan, kelembagaan dan semua pr oduk lain dar i kar ya dan pemikir an manusia yang mencir ikan kondisi suatu masyar akat atau penduduk yang ditr ansmisikan ber sama (Kotter , 1992: 4).

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, budaya (cult ur al) diar tikan: Pikir an, adat istiadat, sesuatu yang ber kembang, sesuatu yang menjadi kebiasaan yang sukar diubah. Dalam pemakaian sehar i-har i, or ang biasanya mensinonimkan penger tian budaya dengan tr adisi. Dalam hal ini, tr adisi diartikan sebagai ide-ide umum, sikap dan kebiasaan dar i masyar akat yang nampak dar i per ilaku sehar i-har i yang menjadi kebiasaan dar i kelompok dalam masyar akat ter sebut (Indr afachr udi, 1994: 18).

(5)

Sedangkan pengertian r eligius (agama). Dalam bahasa Ar ab dikenal dengan kata al-din dan al-milah. Kata al-din sendiri mengandung ber bagai ar ti. Ia bisa ber ar ti al-mulk (ker ajaan),

al-khidmat (pelayanan), al-izz (kejayaan), al-dzull (kehinaan), al-ikr ah

(pemaksaan), al-ihsan (kebijakan), al-adat (kebiasaan), al-ibadat (pengabdian), al-qahr wa al-sult han (kekuasaan dan pemer intahan),

al-t adzallul wa al-khudu (tunduk dan patuh), al-t ha`at (taat), al-islam

al-t aukid (penyer ahan dan mengesakan Tuhan) (Kahmad, 2002: 13).

Menur ut Nur kholis Majid, agama bukanlah sekedar tindakan-tindakan r itual seper ti sholat dan membaca Al-qur ’an ser ta membaca do’a. Agama lebih dar i itu, yaitu keselur uhan tingkah laku manusia (keber agamaan). Religius menur ut Islam adalah menjalankan ajar an agama secar a menyelur uh (kaffah) (Muhaimin, 2001: 294).

Konsep Budaya Religus di Pergur uan Tinggi

Konsep Islam tentang budaya agama dapat dipahami dar i doktr in keagamaan. Dalam Islam seseor ang diper intahkan untuk ber agama secar a kaffah, hal ini dijelaskan dalam Al-qur ’an sur at Al

(6)

Setiap muslim baik dalam ber fikir , ber sikap maupun ber tindak, diper intahkan untuk selalu sesuai dengan ajar an islam. Dalam melakukan aktifitas ekonomi, sosial, politik atau aktifitas lainnya seor ang muslim diper intahkan untuk melakukannya dalam r angka ber ibadah kepada Allah, dimanapun dan dalam keadaan apapun setiap muslim hendaknya ber pedoman pada Al-qur ’an dan as-sunnah.

Keber agamaan seseor ang bisa diw ujudkan dalam ber bagai sisi kehidupan, Aktifitas agama bukan saja ter jadi ketika seseor ang melakukan pr ilaku r itual (ber ibadah), tetapi juga ketika melakukan kegiatan lain yang didor ong oleh kekuatan supr anatur al. Bukan hanya ber kaitan dengan aktifitas yang tampak dan dapat dilihat dengan mata, tetapi juga aktifitas yang tidak tampak dan ter jadi dalam hati seseor ang (Ancok, 1995: 76). Kar ena itu keber agaman seseor ang akan meliputi ber bagai macam sisi atau dimensi. Dimensi r eligiusit as menur ut Glock dan Str ak dalam Widiyanto ada lima demensi r eligiusit as dijelaskan sebagai ber ikut:

1. Religious pr act ice (t he r it ualist ic dimension). Tingkatan sejauh mana

seseor ang menger jakan kew ajiban r itual di dalam agamanya, seper ti shalat, zakat, puasa dan sebaginya.

2. Religious belief (t he ideological dimension). Sejauh mana or ang

mener ima hal-hal dogmatik di dalam ajar an agamanya. Misalnya keper cayaan tentang adanya Tuhan, Malaikat, Kitab-kitab, Nabi dan Rasul, har i kiamat, sur ga, ner aka dan yang lain-lain yang ber sifat dogmatik.

3. Religious knowledge (t he int ellectual dimension). Sejauhmana

seseor ang mengetahui tentang ajar an agamanya. Hal ini ber hubungan dengan aktifitas seseor ang untuk mengetahui ajar an-ajar an dalam agamanya.

4. Religious feeling (t he exper ient al dimension). Dimensi yang ter diri dar i per asaan-per asaan dan pengalaman-pengalaman keagamaan yang per nah dir asakan dan dialami. Misalnya seseor ang mer asa dekat dengan Tuhan, seseor ang mer asa takut ber buat dosa, seseor ang mer asa doanya dikabulkan Tuhan, dan sebaginaya.

5. Religious effect (t he consequent ial dimension). Dimensi yang

(7)

ajar an agamanya di dalam kehidupannya. Misalnya mengikuti kegiatan konver sasi lingkungan alam dan lain-lain (Widiyanta, 2002: 20).

Adapun str ategi untuk membudayakan nilai-nilai r eligius di Per gur uan Tinggi dapat dilakukan melalui:

1. Power St r at egy: yakni str ategi budaya r eligius di Per gur uan Tinggi

dengan menggunakan kekuasaan atau melalui people`s power, dalam hal ini per an kepala Per gur uan Tinggi dengan segala kekuasaannya sangat dominan dalam melakukan per ubahan.

2. Per suasive Power: yang dijalankan lew at pembentukan opini dan

pandangan masyar akat atau w ar ga Per gur uan Tinggi.

3. Nor mat ive Re-Educat ive: Nor ma adalah atur an yang ber laku di

masyar akat lew at educat ion. Nor mat ive digandengkan dengan r

e-educat ive (pendidikan ulang) untuk menanamkan dan mengganti

par adigma ber fikir masyar akat Per gur uan Tinggi yang lama dengan yang bar u (Muhaimin, 2009: 328).

Pada str ategi per tama dilaksanakan melalui pendekatan per intah dan lar angan atau r ewar d and punishment. Sedangkan pada str ategi kedua dan ketiga dilaksanakan melalui pembiasaan, keteladanan, kemitr aan, inter nalisasi dan pendekatan per suasive atau mengajak kepada w ar ganya dengan car a halus, dengan member ikan alasan dan pr ospek baik yang bisa menyakinkan mer eka. Konsep budaya r eligius juga dapat dilihat dar i tiga hal sebagai ber ikut:

1. Budaya Religius Sebagai Or ientasi Mor al

Mor al adalah keter ikatan spir itual pada nor ma-nor ma yang telah diter apkan, baik yang ber sumber pada ajar an agama, budaya masyar akat atau ber asal dar i tr adisi ber fikir secar a ilmiyah. Keter ikatan spir itual ter sebut akan mempengar uhi keter ikatan sikapnya ter hadap nilai-nilai kehidupan (nor ma) yang akan menjadi pijakan utama dalam menetapkan suatu pilihan, pengembangan per asaan dan menetapkan tindakan.

(8)

dengan ajar an agama. Segala tindakan mor al yang didasar i ketentuan agama muncul kar ena r asa tanggungjaw ab kepada Tuhan. Segala tindakan yang diambil dir asakan sebagai kehar usan r obbani. Sedangkan motif memilih tindakan ter sebut semata-mata kar ena ingin mendapat ker idhaan Tuhan. Oleh kar ena itu inter nal contr ol pada mor al yang ber or ientasi pada agama (or ient asi mor al r eligius) akan lebih jauh lebih dominan untuk melakukan suatu tindakan mor al dar ipada ekst er nal cont r ol. Inilah yang membedakan or ientasi mor al r eligius dengan or ientasi mor al yang hanya sekedar didasar kan atas hasil pemikir an manusia.

Budaya r eligius yang ter bentuk dar i keter ikatan yang kuat pada nor ma-nor ma yang diter apkan oleh agama akan menjadikan seor ang dapat mengukur kebenar an suatu hal dar i sudut pandangan agama. Sebagai or ientasi mor al, budaya r eligius ber makna keter ikatan spir itual pada nor ma-nor ma ajar an agama yang akan menjadi acuan per tama ukur an mor al (Alim, 2006: 9 – 10).

2. Budaya Religius Sebagai Inter nalisasi Nilai Agama

Inter nalisasi nilai agama ialah pr oses memasukkan nilai agama secar a penuh kedalam hati, sehingga r uh dan jiw a ber ger ak ber dasar kan ajar an agama. Inter nalisasi nilai agama ter jadi melalui pemahaman ajar an agama secar a utuh dan diter uskan dengan kesadar an akan pentingnya ajar an agama, ser ta ditemukannya posibilitas untuk mer ealisasikannya dalam kehidupan nyata.

Dar i segi isi, agama ter dir i dar i seper angkat ajar an yang mer upakan per angkat nilai-nilai kehidupan yang har us dijadikan bar ometer par a pemeluknya dalam menentukan pilihan tindakan dalam kehidupannya. Nilai-nilai ini secar a popular disebut dengan nilai agama. Oleh sebab itu nilai-nilai agama mer upakan seper angkat standar kebenar an dan kebaikan.

(9)

dalam menyikapi segala sesuatu dalam kehidupan. Allah ber fir man mulai dar i w ahyu yang ditur unkan Allah SWT pada mer eka (tiap-tiap umat) hingga masa pelbagai penyimpangan aqidah. Kar ena itulah Allah menyur uh untuk kembali kepada jalan kebaikan yang dituntun-Nya. Pelajar an penitng dar i ayat ini adalah tentang nilai kear ifan. Dalam konteks budaya moder n ser ing disebut dengan kear ifan univer sal dan kear ifan lokal (local wisdom).

Untuk itulah ber bagai aspek yang ber kenan dengan agamanya itu per lu dikaji secar a seksama dan mendalam, sehingga dapat membuahkan pemahaman keagamaan yang kompr ehensip. Dengan kw alitas pemahaman yang kompr ehensip, seseor ang akan ter bimbing pola pikir , sikap dan segala tindakan yang diambilnya (Alim, 2006: 10 – 11).

3. Budaya Religius Sebagai Etos Ker ja dan Keter ampilan Sosial

Seper angkat ajar an dalam agama ber tujuan membimbing, mendor ong untuk ber buat dan memilih tindakan ter tentu. Lebih penting dar i itu agama ber per an sebagai sumber etos ker ja, bagi seseor ang pemeluk agama, etos ker ja muncul dar i dor ongan sikap yang ter bentuk oleh nilai-nilai agama. Sebagai etos ker ja, budaya r eligius member ikan dor ongan kepada seseor ang dalam mencar i makna r eligius bagi tindakan yang pilihannya, Demikian, tindakan dan per buatan yang dilakukannya tindakan lagi dir asakan sebagai beban, melainkan sebagai sumber kepuasan batiniyah.

(10)

per ilaku ter hadap lingkungan selar as dengan apa yang diper intahkan oleh ajar an agama. Bagi yang memiliki budaya r eli gius, agama secar a konsekw en tampil dalam bentuk tindakan-tindakan yang mendukung ter bentuknya tatanan sosial yang har monis.

Ada beber apa hal yang dapat dijadikan indikator budaya r eligius seseor ang, yakni; 1) komitmen ter hadap per intah dan lar angan agama, 2) ber semangat mengkaji ajar an agama, 3) aktif dalam kegiatan agama, 4) menghar gai simbol-simbol agama, 5) akr ab dengan kitab suci, 6) memper gunakan pendekatan agama dalam membentuk pilihan, 7) ajar an agama dijadikan sebagai sumber per w ujudan ide (Alim, 2006: 11 – 12).Allah ber fir man dalam Al-Qur ’an : keduanya Allah memper kembang biakkan laki-laki dan per empuan yang banyak. dan ber t akwalah kepada Allah yang dengan (memper gunakan) nama-Nya kamu saling memint a sat u sama lain, dan (pelihar alah) hubungan silat ur r ahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”

(11)

Kemudian segi ini dihidupkannya dengan kekuatan r uh tauhid atau aqidah dan ibadah kepada Tuhan.

Terbentuknya Budaya Religius di Pergur uan Tinggi

Dalam menciptakan budaya r eligius di Per gur uan Tinggi, dapat mengacu kepada beber apa model yang ditaw arkan. Model adalah sesuatu yang dianggap benar , tetapi ber sifat kondisional. Kar ena itu penciptaan suasana r eligius sangat dipengar uhi oleh situasi dan kondisi tempat model itu akan diter apkan beser ta pener apan nilai-nilai yang mendasar inya. Menur ut Muhaimin, ada 4 model pengembangan budaya agama dikomunitas Per gur uan Tinggi yaitu :

1. Model St r ukt ur al. Pengembangan budaya agama dengan model ini

disemangati oleh adanya per atur an-per atur an, pembangunan kesan, baik dar i dunia luar maupun dar i kepemimpinan atau kebijakan suatu lembaga pendidikan atau suatu or ganisasi. Model ini biasanya ber sifat tof dow n yakni kegiatan keagamaan yang dibuat atas pr akar sa atau instr uksi dar i pejabat atau pimpinan atasan.

2. Model For mal. Pengembangan budaya agama model ini didasar i atas

pemahaman bahw a pendidikan agama adalah upaya manusia untuk mengembangkan dan menger jakan masalah-masalah kehidupan akhir at atau kehidupan r ohani saja, sehingga pendidikan agama dihadapkan dengan pendidikan non keagamaan, pendidikan keislaman dengan pendididkan non keislaman, pendidikan Kr isten dengan non Kr isten demikian seter usnya. Model pengembangan budaya agama ini, lebih ber implikasi ter hadap pengembangan pendidikan agama yang lebih ber or ientasi pada keakhir atan, sedangkan masalah dunia dianggap tidak penting, ser ta menekankan pada pendalaman ilmu-ilmu keagamaan yang mer upakan jalan pintas untuk menuju kebahagiaan akhir at. Sementar a sains (ilmu-ilmu pengetahuan) dianggap ter pisah dar i ilmu-ilmu agama.

3. Model Mekanik. Pengembangan budaya agama dengan model ini

(12)

penanaman dan pengembangan seper angkat nilai kehidupan yang masing-masing ber ger ak dan menjalankan fungsinya. Masing-masing ger ak bagaikan sebuah mesin yang ter diri atas beber apa komponen atau elemen-elemen, yang masing-masing menjalankan fungsinya sendir i-sendiri, dan antar a satu dengan yang lainnya bisa saling ber konsultasi atau tidak. Model mekanik ter sebut ber implikasi ter hadap pengembangan pendidikan agama islam yang lebih menonjolkan fungsi mor al dan spir itual atau dimensi afektif dar ipada kognitif dan psikomotor ik. Ar tinya dimensi Kognitif dan psikomotor ik dapat diar ahkan untuk pembinaan afektif (mor al dan spir itual), yang ber beda dengan pelajar an lainnya kegiatan dan kajian-kajian keagamaan hanya untuk pendalaman agama dan kegiatan spiritual keagamaan)

4. Model Or ganik. Pengembangan budaya agama dengan model ini,

yaitu pengembangan budaya agama yang disemangati oleh adanya pandangan bahw a pendidikan agama adalah kesat uan atau sebagai system (yang terdir i atas komponen-komponen yang r umit) yang ber usaha mengembangkan pandangan atau semangat hidup agamis, yang dimanifestasikan dalam sikap hidup dan keter ampilan hidup yang r eligious (Muhaimin, 2001: 305 – 307). Model pengembangan budaya agama or ganic ter sebut ber impli kasi ter hadap pengembangan pendidikan agama yang dibangun dar i fundament al

values (lingkungan) yang ter tuang dan ter kandung dalam Al-qur ’an

dan Al-sunnah shahihah sebagai sumber pokok kemudian ber sedia mau mener ima konstr ibusi pemikir an dar i par a ahli ser ta memper timbangkan konteks histor isnya. Kar ena itu, nilai ahli Ilahi/ agama / w ahyu didudukan sebagai sumber konsultasi yang bijak.

Dalam kaitanya dengan pelaksanaan budaya r eligius di Per gur uan Tinggi, cir i-cir i Per gur uan Tinggi r eligius, cir inya Per gur uan Tinggi memiliki kondisi yang konduktif dalam ar tian ber nuansa keagamaan adalah:

1. Kepala Per gur uan Tinggi har us dapat menjadi modal atau sur itauladan bagi par a pembantunya.

(13)

shalat Jumat di Per gur uan Tinggi, pesantr en r amadhan, PHBI dan yang ber kaitan dengan nilai-nilai keagamaan.

3. Dalam pelaksanaan budaya r eligius hendaknya mengadakan kegiatan memper er at tali ukhuw ah Islamiyah dengan or ganisasi lain, tadabur alam, dengan demikian akan ter cipta suasana yang kondusif penuh keakr aban, per damaian dan keber samaan.

4. Menjadikan pendidikan pada dirinya sebagai tauladan yang baik dengan mengontr ol dir i dar i per buatan jelek

5. Memiliki fasilitas keagamaan yang memadahi untuk kegiatan keagamaan seper ti masjid/ musholla, tempat w udlu dan lain sebagainya (Roibin, 2003: 13).

Pelaksanaan budaya r eligius di Per gur uan Tinggi mempunyai landasan yang kokoh baik secar a nor mative r eligius maupun konstitusinal, sehingga tidak ada alasan bagi Per gur uan Tinggi untuk mengelak dar i upaya ter sebut (Muhaimin, 2009: 305). Oleh kar ena itu, penyelenggar aan pendidikan agama yang diw ujudkan dalam pelaksanaan budaya r eligius di ber bagai jenjang pendidikan, patut untuk dilaksanakan. Kar ena dengan ter tanamnya nilai-nilai agama pada dir i mahasisw a maka akan memper kokoh imannya, dan aplikasi nilai-nilai keIslaman ter sebut dapat ter cipta dar i lingkungan Per gur uan Tingginya. Untuk itu pelaksanaan budaya r eligius sangat penting dan akan mempengar uhi sikap, sifat dan tindakan secar a tidak langsung.

Kesimpulan

1.

Budaya r eligius adalah car a ber fikir dan car a ber tindak w ar ga

Per gur uan Tinggi yang didasar kan atas nilai-nilai r eligius (keber agamaan). Religius menur ut Islam adalah menjalankan ajar an agama secar a menyelur uh (kaffah).

2.

Dalam konsep budaya r eligius, ter dapat beber apa hal yang penting,

(14)

Nor mat ive Re-Educat ive. Dar i segi konsep budaya: Budaya Religius Sebagai Or ientasi Mor al, Budaya Religius Sebagai Inter nalisasi Nilai Agama dan Budaya Religius Sebagai Etos Ker ja dan Ketr ampilan Sosial

3.

Ter bentuknya Budaya r eligius di Per gur uan Tinggi. Dalam

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Asr or i, Muhammad. 2008. Dinamika Pendidikan Islam Di Indonesia,

Jur nal El-Har okah. Malang: UIN Pr ess

Alim, Muhammad , 2006. Pendidikan Agama Islam: Upaya

Pembent ukan Pemikir an dan Keppr ibadian Muslim, Bandung: PT

Remaja Rosda Kar ya.

Dadang Kahmad, 2002, Sosilogi Agama, Bandung : PT. Remaja Rosdakar ya.

Depar temen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Jakar ta : PT. Balai Pustaka.

Djmaluddin A, 1995, Psikologi Islam, Solusi Islam at as Pr oblem-Pr oblem Psikologi, Cet II, Yogyakar ta : Pustaka Pelajar .

Fer nandes, S.O, 1990, Cit r a Manusia Budaya Timur dan Bar at , Nusa

Indah, NTT.

J.P. Kotter & J.L. Hesket , 1992, Dampak Budaya Per usahaan Ter hadap

Kiner ja. Ter jemahan oleh Benyamin Molan, Jakar ta :

Pr enhallindo.

Koentjar aningr at, 1969, Rint angan-r int angan Ment al Dalam

Pembangunan Ekonomi di Indonesia, Jakar ta : Lembaga Riset

Kebudayaan Nasional Seni No. 2.

Muhaimin. 2009, Pengembangan Kur ikulum Pendidikan Agama Islam Di

Per gur uan Tinggi, Madr asah, dan Per gur uan Tinggi. Jakar ta : PT

RajaGr apindo Per sada

---, 2001, Par adigma Pendidikan Islam : Upaya Mengefekt ifkan

Pendidikan Agama Islam di Per gur uan Tinggi, Bandung : PT.

Remaja Rosdakar ya

---, 2009, Rekont r uksi Pendidikan Islam, Dar i Par adigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kur ikulum hingga

(16)

---, 2001, Par adigma Pendidikan Islam : Upaya Mengefekt ifkan

Pendidikan Agama Islam di Per gur uan Tinggi, Bandung : PT.

Remaja Rosdakar ya.

---,2009, Pengembangan Kur ikulum dan Pembelajar an : Upaya

Reakt ua-lisasi Pendidikan Islam. Malang : LKP21

Mulyasa. 2005. Pedoman Manajemen Ber basis Madr asah, Cet. II; Jakar ta: Depar temen Agama RI

Nur cholis Madjid, 1997, Masyar akat Religius, Jakar t a : Par amadina.

Per men Diknas No 22 tanggal 23 Mei 2006

Roibin, 2003, Menuju Pendidikan Ber basis Ker ukunan, Majalah El-Har akah.

Soekar ta Indr afchr udi, 1994. Bagaimana Mengakr aban Per gur uan

Tinggi Dengan Or ang t ua Mur id dan Masyar akat, Malang : IKIP.

Supr ayogo, Imam. 1999. Refor masi Visi dan Misi Pendidikan Islam. Malang: STAIN Pr ess

Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas & Per atur an Pemer intah RI Nomor 47 Tahun 2008 Tentang Wajib Belajar , ( Bandung: Citr a Umbar a, 2008 )

Widiyanta, Ar i. 2002. Sikap Ter hadap Lingkungan alam (Tinjauan Islam

Dalam Menyelesaikan Masalah Lingkungan), Makalah Psikologi :

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa pembelajaran di MAS seluruh kecamatan Dukun kabupaten Gresik sudah menerapkan pembelajaran

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui risiko-risiko yang bisa saja terjadi pada sistem informasi rumah sakit RSIA Eria Bunda (GRAPHASoft) dengan

Pustaka yang kedua yang digunakan adalah Ekonomi Pariwisata, Sejarah dan. Prospeknya yang dituis oleh

Hasil analisis ragam terhadap tinggi tanaman menunjukkan terdapat interaksi antara perlakuan jenis media tanam dengan nilai EC terhadap tinggi tanaman Kailan kultivar

Kedua, guru yang sudah senior enggan merubah pola pembelajaran klasik karena pola pembelajaran klasik dinilai sudah cukup menghantarkan siswa pada nilai yang harus

penetapannya secara hukum bermula yang tidak merujuk pada ketentuan-ketentuan yang berlaku. Diduga bahwa sejumlah RSBI yang ada sesungguhnya belum memenuhi standar

Model Pembelajaran Discovery Learning berbasis (NHT) Numbered Heads Together merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif yang menempatkan siswa untuk saling

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa penggunaan metode PQ4R dapat meningkatkan pemahaman dalam membaca untuk menemukan gagasan utama atau ide pokok dalam paragraf.Menurut