• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP DIRI SEORANG REMAJA YANG BERASAL DARI KELUARGA BROKEN HOME SUATU STUDI KASUS Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "KONSEP DIRI SEORANG REMAJA YANG BERASAL DARI KELUARGA BROKEN HOME SUATU STUDI KASUS Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

i

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Oleh:

Siprianus Lita Lalu NIM: 011114052

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

mengagumkan bernama rendah hati, justru karena kalah berulang-ulang, Kesempurnaan juga sama, tidak ada satupun kesempurnaan yang tidak

melalui tahap salah, gagal, kalah, salah, gagal, kalah, dan bahkan sekali lagi kalah”

(Gede Prama)

PERSEMBAHAN

Dengan Nama Tuhanku Jesus Kristus Sahabat semua orang, yang setia mendengar setiap jeritan hatiku disaat ku terjatuh,

menemaniku dikala sendiri tiada siapa pun, salalu mengubah dukaku menjadi suka, membuat hari -hariku penuh senyum dan canda tawa, serta menjadikan banyak nujizat dalam hidupku,

Bunda Maria “mater micaeri cordiae” setia menamaniku dalam doa Maka kupersembahkan skripsi ini untuk yang Tercinta:

1. Papa Victor Djuani dan Mama Yulita Dhili 2. Kakakku, kedua adaikku serta Keponakanku 3. Sahabat-sahabatku yang selalu menemaniku

Segala Yang Ter j adi Dalam Hidupku I ni

Adalah Sebuah Mist er i I llahi

(5)

Nama : Siprianus Lita Lalu Nomor Mahasiswa : 011114052

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

KONSEP DIRI SEORANG REMAJA YANG BERASAL DARI

KELUARGA BROKEN HOME SUATU STUDI KASUS

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupaun memberikan royalty kepada saya selamA tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyatan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 1 April Maret 2008 Yang menyatakan

(6)

v

tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, selayaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 19 Maret 2008 Penulis

(7)

vi

Siprianus Lita Lalu 011114052

Penelitian ini mengenai konsep diri dari seorang remaja perempuan yang berasal dari keluarga broken home. Subjek penelitian adalah seorang remaja perempuan yang berusia 20 tahun. Saat ini tecatat sebagai mahasiswi semester 5 pada salah satu universitas swasta di Yogyakarta.

Jenis penelitian adalah deskriptif-kualitatif, dengan desain penelitian studi kasus. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode observasi, metode wawancara informasi. Dari hasil penelitian diketahui bahwa ada perbedaan konsep diri subjek, yaitu antara diri nyata dan diri ideal. Subjek menggambarkan diri nyatanya sebagai remaja yang tidak berguna, tidak berharga, anak haram, remaja yang malas, yang tidak memiliki kemampuan, remaja yang tidak memiliki masa depan, remaja yang bodoh, yang cepat putus asa. Diri idealnya digambarkan dirinya sebagai remaja yang berharga, pribadi berguna bagi keluarga, memiliki kemampuan atau potensi sehingga dapat menyelesaikan studi dan dapat gelar sarjana, dapat menjadi contoh bagi adik-adiknya. Secara fisik subjek merasa dirinya cantik. Adanya perbedaaan konsep diri nyata dan konsep diri ideal menyebabkan subjek mengalami tekanan emosional, seperti merasa kecewa, sedih, takut, cemas, membenci diri sendiri, mudah tersinggung, menjadi orang yang pasif, pesimis akan masa depan.

Pendekatan konseling Person Centered Therapy tepat untuk membantu klien karena konsep pokoknya mengenai teori diri atau konsep diri. Pelaksanaan konseling sebagai upaya untuk membantu subjek menyadari adanya perbedaan antara konsep diri ideal dengan diri nyata, dan membantu subjek untuk mencapai konsep diri ideal, sehingga mampu menjalani hidup dan mengaktualisasikan diri. Setelah melakukan proses wawancara konseling secara mendalam akhirnya subjek dapat mencapai konsep diri ideal yang diharapkan.

(8)

vii

Siprianus Lita Lalu 011114052

This research was on the self concept of teenager who comes from a broken home family. The subject in this research was a teenager by the age 20 years old. Nowadays, he is listed as university student in 5 semesters in one of private universities in Yogyakarta.

The type of this research was descriptive-qualitative, by research design of case study. The method of data collection used was observation method, information interview method. From the result of this research, it was known that there was a difference on self concept of subject, i.e. actual self concept and ideal self concept. Actual self, the subject describes herself as an idle teenager, unmeaning, bastard, lazy teenager, who has no capability, a teenager who has no future, stupid teenager, who easily discouraged. Meanwhile ideal self is subject describe herself as a meaningful teenager, meaningful personality toward her family, and has capability or potential in order de could achieve master degree. The existence of emotional depression, such as feeling broken- hearted, sad, afraid, worry, hate herself, sensitive, become passive character, and become pessimist about her future.

Counseling approach of Pearson Centered Therapy is appropriate to help the counselee because the primary concepts is concerning on self theory or self concept. The implementation of counseling as an effort to help the subject to realize the existence of difference between the ideal self concept, thus she becomes able to lives her life and actualis herself. After conducting a process of interview, finally the counseling could routinely achieve ideal self concept she used to hope.

(9)

viii

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis menghaturkan terima kasih kepada semua pihak, yang telah mendukung dan membantu dalam proses penulisan skripsi ini:

1. Dr. M.M Sri Hastuti, M.Si., Ketua Program Studi Bimbingan dan Konseling dan pembimbing II, yang membimbing dan memeriksa skripsi ini serta memberi saran kepada penulis.

2. Drs. TA. Prapancha Hary, M.Si., pembimbing I, yang membimbing, dan memeriksa skripsi ini serta memberi saran kepada penulis.

3. YM, subjek penelitian ini, dengan niat, motivasi dari dirinya, secara terbuka mengungkapkan persoalan hidupnya, serta mau berproses keluar dari persoalan yang menghambat dirinya.

4. Sr Monika PBHK, Sr Natalia (Almarhum Kak Date Gana), Sr Cipry CB, Sr Gaby dan Sr Agus SCMM, Br Tony SVD, Br Triantoro SCJ, Br Yos MSC, Sr Gabby OP, terimakasih senua perhatian, ketika saya mengalami kesulitan dan kebersamaan kita selama studi.

(10)

ix

7. Ikatan Keluarga Aesesa Yogyakarta (IKAYO), yang telah percayakan saya menjadi Ketua, terimakasih untuk Azi, Kae, Weta, moko doalami buat kasih, kekeluargaan yang sudah kita lalui bersama baik suka maupun duka.

8. Adik-adikku di Paduan Suara SABANA VOICE Yogyakarta, terimakasih untuk persaudaraan, selama kita nyanyi bersama-sama, tempat kita berbagi canda dan tawa, “KATONG SEMUA BERSAUDARA.. E…..”.

9. Semua kekasih hati yang pernah singgah datang dan pergi mengukir cinta dalam hatiku selama ini, Cinta… beta cinta se… Sayang… beta sayang se…

Penulis berha rap skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membaca skripsi ini.

Yogyakarta, 19 Maret 2008 Penulis

(11)

x

HALAMAN PENGESAHAN………iii

HALAMAN MOTO DAN PERSEMBAHAN………...iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………..………v

ABSTRAK………...……...vi

ABSTRACT..………..……….vii

KATA PENGANTAR………..………viii

DAFTAR ISI………x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………...1

B. Rumusan Masalah………..………10

C. Tujuan Penelitian………..……….11

D. Manfaat Penelitian……….11

E. Definisi Operasional………...………11

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Masa Remaja…………..………13

1. Pengertian………13

2. Ciri-ciri Masa Remaja………...…………..14

(12)

xi

3. Fakto-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri Remaja……….25

4. Penggolongan Konsep Diri………...27

C. Keluarga Broken Home………..32

1. Pengertian Keluarga………...……….32

2. Pengertian Keluarga Broken Home……….34

3. Penyebab Timbulnya Keluarga Broken Home………....35

4. Dampak Keluarga Broken Home……….42

D. Person Centered Therapy (Konseling Berpusat pada Klien)..…………...46

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian………...………57

B. Subjek Penelitian………58

C. Sumber Data………...58

D. Metode Pengumpulan Data………...……….58

1. Observasi………...………..58

2. Wawancara Informasi………...………..59

E. Prosedur Tahap Persiapan Dan Pelaksanaan………..59

F. Analisis Data………...……...59

1. Deskripsi Umum Kasus………...59

(13)

xii

2. Prognosis……….60

3. Treatment (dengan konseling)……….61

H. Evaluasi Tindak Lanjut………...………...61

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Umum Kasus………..62

B. Analisis………...………64

1. Lingkungan Keluarga………..64

2. Lingkungan Sosial, Ekonomi, Budaya, Tempat Tinggal………73

3. Pertumbuhan Jasmani dan Kesehatan Subyek………73

4. Perkembangan Kognitif Subyek………..73

5. Lingkungan Sosial………...74

C. Sintesis…...………...77

D. Pembahasan………78

1. Diagnosis……….78

2. Prognosis……….79

E. Treatment (dengan konseling)….………..………….81

F. Skema Konseling Person Centered Therapy……….82

(14)

xiii

(15)

1 A. Latar Belakang Masalah

Keluarga terbentuk karena adanya ikatan perkawinan, yang lazim disebut dengan pernikahan antara seorang lelaki dan seorang perempuan yang kemudian menjadi suami- istri. Ikatan perkawinan tersebut merupakan suatu ikatan yang paling erat, lembut, sakral dan suci. Dalam perkawinan banyak mengandung resiko dan tanggung jawab berat yang harus dilaksanakan oleh suami dan istri. Perkawinan dikatakan banyak resiko, karena perkawinan itu bukan semata- mata merupakan cara manusia menumpahkan kepuasan nafsu biologisnya saja, melainkan sebagai pemenuhan dari fungsi kemanusiaan terhadap kebutuhan untuk saling mencintai.

Dari suatu ikatan perkawinan setiap pasangan suami- istri mendambakan keluarga yang bahagia, sejahtera dan kekal. Ini sejalan dengan Undang-Undang yang ditetapkan oleh Pemerintah Tentang Pernikahan, No: 1 Tahun 1974, Bab I, pasal 1 (dalam Manurung dan Hetty, 1995:59) yang berbunyi :

Pernikahan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami- istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

(16)

untuk mencapai kesejahteraan spritual dan material. Perlunya pengertian dan tujuan yang jelas yang hendak dicapai dalam perkawinan itu, guna menghindari terjadinya konflik dalam rumah tangga, sehingga, percekcokan atau pertengkaran yang mengakibatkan perceraian dalam keluarga dapat dihindari. Lebih dari itu jika konflik yang merebak di dalam keluarga itu dapat dihindari maka bukan saja peluang bagi terjadinya perceraian dapat diperkecil, melainkan bisa jadi pembentukan keluarga yang bahagia, sejahtera kekal dapat terealisir dengan baik.

(17)

dikasihi, dan rasa aman melalui perawatan, asuhan, yang akan berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan remaja ke arah gambaran kepribadian yang harmonis dan matang.

(18)

rukun, saling mengasihi, dan saling menyayangi serta penuh kedamaian. Ini tentu hal yang paling di butuhkan anak-anak dalam keluarga. Belakangan ini perceraian bukan menjadi barang baru di lingkungan masyarakat. Perceraian dianggap sebagai solusi seperti yang kita lihat pada media tulis maupun elektronik setiap hari. Padahal hal ini tentu saja memberikan pengaruh buruk pada anak-anak, khususnya efek psikologis dan lingkungan sosialnya.

Masa remaja merupakan masa pencarian identitas diri. Remaja sangat mengharapkan penerimaan dari orang tua dan orang-orang dewasa disekitarnya. Penerimaan yang mereka alami akan membantu pemahaman dan pengertian mereka terhadap dirinya sendiri. Mereka akan belajar menerima perubahan dalam dirinya, bersikap solider dengan perasaan yang sedang dialaminya sehingga akan membantu remaja semakin mengenal dan memahami dirinya sendiri. Sebaliknya bila dalam masa transisi ini orang-orang disekitarnya tidak menerima remaja, maka remaja akan merasa bingung, kesepian, tidak nyaman dengan dirinya sendiri, merasa berbeda dengan orang sekitarnya, sehingga membuat dirinya tidak menerima perubahan itu dan berusaha untuk menolak pengalaman-pengalaman dan perasaan yang sedang dialami, dengan demikian dapat mengganggu perkembangan dan pemahaman tentang dirinya.

(19)

memerlukan lingkungan keluarga yang baik, yaitu keluarga yang utuh serta harmonis yang di dalamnya dapat dilakukan upaya pengembangan kepribadian remaja secara lebih dewasa (Sudarman, 1984:135).

Selanjutnya Sudarman (1984:136) menambahkan kondisi remaja yang berasal dari keluarga broken home menjadi sosok yang tidak berharga, dan kurang percaya diri. Ia tidak dapat menemukan kebahagiaan, perlindungan dan ketenteraman jiwa. Bagi remaja hal ini dapat menimbulkan tekanan psikologis seperti ketegangan, kecemasan, dan kekecewaan. Keadaan ini yang memberi pengaruh negatif bagi perkembangan sosial dan jiwa remaja. Hal ini dapat mengarahkan remaja berperilaku negatif yang dapat merugikan diri remaja sendiri maupun mengganggu kehidupan masyarakat. Bahkan pelampiasannya bisa dalam bentuk tindakan-tindakan kenakalan remaja seperti perkelahian, perampasan, penganiayaan, bahkan penggunaan obat-obat terlarang minum-minuman keras, merokok, menyontek, bolos sekolah, sebagai pelarian.

Coopersmith (dalam Pudjijogyanti, 1985:17) berpendapat bahwa kondisi keluarga yang buruk dapat menyebabkan konsep diri yang rendah pada remaja. Yang dimaksud dengan kondisi keluarga yang buruk adalah tidak adanya pengertian antara orangtua dan anak, tidak adanya keserasian hubungan ayah dan ibu, orangtua yang menikah lagi, sikap ibu yang tidak puas dengan hubungan ayah-anak, dan kurangnya sikap menerima dari orangtua terhadap anak mereka.

(20)

Menurut Sudarman, (1984:155) karena dalam keluarga yang utuh akan memiliki kebulatan perilaku dan kebulatan perhatian orang tua untuk membimbing dan mengarahkan remaja. Keutuhan keluarga merupakan lingkungan positif yang mempercepat perkembangan yang dicapai seorang remaja, dan sumber utama pembentukan identitas dan konsep diri remaja Remaja biasanya mengembangkan identitas personalnya melalui hubungan dan interaksi mereka dengan orang tuanya, dan anggota keluarga yang lain. Bersamaan dengan hal tersebut, muncul perkembangan perasaan-perasaan pada remaja. Tingkat perasaan yang dimiliki remaja seperti merasa percaya diri, sukses, berguna dan diinginkan, biasa tergantung pada banyaknya waktu dan perhatian yang diberikan keluarga terhadap mareka, sehingga memiliki konsep diri yang positif (Reiss dan Haistead, 2004:227).

(21)

keluarga. Konsep diri bukan sesuatu yang alamiah, tetapi merupakan hasil pengalaman belajar seseorang. Konsep diri terbentuk dari pengalaman individu dalam berinteraksi dengan individu lain. Tanggapan yang diterima dari individu lain dijadikan cermin bagi individu dalam memandang dan menilai dirinya sendiri (Pudjijogyanti, 1985:8).

Konsep diri adalah keseluruhan pandangan, gambaran, keyakinan dan penilaian orang tentang dirinya. Konsep diri merupakan inti salah satu pola kepribadian remaja yang harus dikembangkan. Menurut Jersild (1975: 172), konsep diri remaja perlu dikembangkan karena konsep diri menentukan kemampuan seseorang untuk melakukan interaksi sosial, penyesuaian diri dengan lingkungan. Interaksi sosial, dan penyesuaian diri yang baik menyebabkan remaja merasa bahagia dan makin berani mengaktualisasikan potensi-potensi yang dimilikinya. Konsep diri merupakan inti kepribadian yang memengaruhi tingkah laku remaja dan cara-cara remaja untuk menyesuaikan diri dengan situasi hidup (Sinurat, 1993:3).

(22)

orang lain. Remaja yang menpunyai konsep diri yang negatif cenderung memunyai pengetahuan yang negatif tentang dirinya, menpunyai pengharapan yang tidak realistis dan menilai dirinya dengan rendah, bahkan dapat meremehkan dan menolak dirinya.

Karena konsep diri memiliki peranan penting dalam kehidupan, maka peneliti merasa penting untuk membantu remaja dari keluarga broken home

untuk mengembangkan konsep dirinya. Peneliti menggunakan studi kasus dengan melakukan konseling pendekatan Person Centered Therapy, sehingga remaja mampu mengembangkan konsep diri dan seluruh potensi yang dimiliki untuk meraih keberhasilan dalam hidupnya. Peneliti menggunakan studi kasus karena dalam studi kasus peneliti dapat mempelajari secara keseluruhan fakta-fakta yang berpengaruh dalam kehidupan seorang remaja dari keluarga broken home yang mendukung dalam pembentukan konsep dirinya melalui langkah-langkah dalam prosedur studi kasus, yang pada akhirnya dilakukan pelaksanaan konseling.

(23)

dengan pengalaman dan objek, tujuan, cita-cita, yang dipandang mempunyai kekuatan positif dan negatif. Diri merupakan atribut yang dipelajari yang membentuk gambaran individu sendiri.

Roger (dalam McLeod, 2006:187) konep diri dengan teori Person

Centered menyatakan bahwa seseorang tidak hanya memiliki konsep atau

definisi diri sebagaimana saya sekarang” tetapi juga sebagai bentuk ideal yang saya inginkan, dan tujuan Person Centered Tehrapy adalah untuk memungkinkan seseorang bergerak ke arah definisi diri idealnya. Melalui konseling dengan menggunakan pendekatan Person Centered Therapy, konselor diharapkan dapat membantu remaja untuk menghantarkan ke refleksi diri menjadi pribadi yang berfungsi secara utuh secara sempurna (fully

functioning person). Hal ini ditandai oleh keterbukaan terhadap pengalaman,

percaya kepada organisme sendiri, dapat mengekspresikan perasaan-perasaannya secara bebas, dan bertindak secara mandiri. Pemahaman fully

functioning ini merupakan tujuan kehidupan manusia, yang pada akhinya

menjadikan remaja lebih menerima dirinya sendiri dan dapat menentukan arah hidupnya sendiri ketika memasuki kehidupan di masyarakat.

(24)

positive regard); pemahaman terhadap apa yang diungkap oleh konseli sesuai dengan kerangka acuan konseli sendiri (phenomenal field); seolah-olah konselor mengenakan kepribadian konseli (emphatic understanding); penerimaan, penghargaan, dan pemahaman itu dapat dikomunikasikan kepada konseli dalam suasana interaksi pribadi yang mendalam, sehingga konseli merasakan semua itu sungguh-sungguh ada; kejujuran, keikhlasan, dan keterbukaan mengenai apa yang dihayati oleh konselor sendiri tentang konseli

(counselor congruence). Kondisi-kondisi ini diperlukan dan sekaligus

menjamin keberhasilan proses konseling.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian maka penulis mengajukan masalah penelitian, yaitu:

1) Bagimanakah keadaan lingkungan keluarga broken home dalam pembentukan konsep diri seorang remaja?

2) Bagaimanakah efektifitas pendekatan konseling Person Centered Therapy

(25)

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah maka tujuan penelitian, yaitu:

1) Untuk mengetahui keadaan lingkungan keluarga broken home dalam pembentukan konsep diri seorang remaja.

2) Menerapkan teori pendekatan konseling Person Centered Therapy.

D. Manfaat Penelitian

Ada beberapa manfaat yang diperoleh dari penelitian ini, yaitu: 1. Manfaat teoretik:

Penelitian ini dapat memberikan informasi kepada pembaca mengenai keadaan keluarga broken home, dalam pemebntukan konsep diri seorang remaja, sehingga pembaca dapat mengetahui bagaimana memerlakukan dan bersikap terhadap remaja yang berasal dari keluarga broken home.

2. Manfaat praktis:

Mampu menggunakan teori konseling Person Centered Therapy yang dan mengaktualisasi kemampuan yang dimiliki secara efektif .

E. Definisi Operasional

(26)

2) Konsep diri adalah keseluruhan gambaran/ pandangan/ keyakinan/ dan penghargaan/ perasaan seseorang tentang dirinya sendiri. Diri ideal adalah persepsi individu tentang dirinya seperti yang dicita-citakan. Diri nyata adalah persepsi individu tentang dirinya yang dialaminya

3) Remaja adalah individu yang telah melewati masa anak dan akan menuju masa dewasa, yang diikuti dengan perubahan-perubahan yang cukup mencolok dalm bidang fisik, psikis, dan sosial

4) Keluarga adalah kesatuan dari sejumlah orang yang saling berinteraksi dan berkomunikasi dalam rangka menjalankan peranan sosial mereka sebagi suami- istri, ibu, bapak, anak-anak, anak perempuan, anak laki- laki, dan saudara perempuan, saudara laki- laki. Peranan ini ditentukan oleh masyarakat, tetapi peranan dalam tiap keluarga diperkuat oleh perasaan-perasaan. Perasaan-perasaan sebagian berkembang berdasarkan tradisi dan sebagian berdasarkan pengalaman dari masing- masing anggota keluarga. 5) Keluarga broken home adalah keluarga yang disebabkan oleh perceraian

diantara bapak dan ibu, hidup terpisah, poligami, ayah mempunyai simpanan perempuan lain, keluarga yang diliputi konflik keras.

6) Person Centered Therapy adalah corak konseling yang menekankan

(27)

13 1. Pengertian

Masa remaja sering disebut sebagai masa adolesen, yang berasal dari kata adolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Kedewasaan atau kematangan ini mencakupi kematangan fisik, mental, emosional, dan sosial (Suadirman, 1995:121).

Sarlito (1989:14) menjelaskan bahwa untuk masyrakat Indonesia, masa remaja berlangsung usia antara 11-14 tahun, sedangkan menurut WHO tahun 1974 (dalam Sarlito, 1989:9) remaja adalah suatu masa di mana:

1. Individu berkembang dari saat pertama ia menunjukan tanda-tanda seksual sekunder sampai saat ia mencapai kematangan seksual. 2. Individu mengalami perkembangan psikologik pola identifikasi dari

kanak-kank menjadi dewasa.

3. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.

(28)

2. Ciri-Ciri Masa Remaja

Adapun ciri-ciri masa remaja menurut Hurlock, (1980:207): a. Masa remaja sebagai periode yang penting.

Bagi sebagian besar anak muda usia antara 12-16 tahun, merupakan tahun yang penuh kejadian yang menyangkut pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan dan perkembangan fisik merupakan hal yang penting karena perkembangan fisik yang cepat disertai dengan cepatnya perkembangan mental terutama pada awal masa remaja. Perkembangan fisik pada remaja mengakibatkan seorang remaja perlu melakukan penyesuaian mental dan membentuk sikap, nilai dan minat yang baru dalam melakukan kegiatannya.

b. Masa remaja sebagai periode peralihan.

Peralihan tidak berarti lepas dari kejadian atau peristiwa yang terjadi sebelumnya, melainkan berkembang dari satu tahap perkembangan ketahap perkembangan berikutnya. Artinya yang telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekas pada masa sekarang dan yang akan datang. Kadang perlu disadari bahwa apa yang telah terjadi pada masa anak akan meninggalkan bekas dan mempengaruhi masa remaja. c. Masa remaja sebagai periode perubahan.

(29)

1) Meningginya emosi yang intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi.

2) Perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial, menimbulkan masalah baru.

3) Sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan. Mereka sering takut bertanggung jawab akan akibatnya dan meragukan kemampuan mereka untuk dapat mengatasi tanggung jawab tersebut.

d. Masa remaja sebagai usia bermasalah.

Masalah remaja sering menjadi masalah yang sulit di atasi, baik oleh anak laki- laki maupun anak perempuan karena:

1) Sepanjang masa kanak-kanak masalah anak-anak sebagian diselesaikan oleh orang tua dan guru-guru, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah.

2) Para remaja merasa diri mandiri sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan orang tua dan guru- guru. e. Masa remaja sebagi masa mencari identitas.

(30)

f. Anggapan stereotip budaya.

Bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak rapih, yang tidak dapat dipercaya, cenderung berperilaku merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja. Keyakinan bahwa orang dewasa mempunyai pandangan buruk tentang remaja membuat peralihan remaja ke masa dewasa menjadi sulit. Hal diatas menimbulkan pertentangan antara remaja dengan orang tua, sehingga antara orang tua dan remaja terjadi jarak yang menghalangi anak untuk meminta bantuan orang tua apabila menemui masalah. g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik.

Remaja melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya terlebih dalam hal cita-cita. Cita-cita yang tidak realistik ini, tidak hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi keluarga dan teman-temannya, dan menyebabkan meningginya emosi remaja. Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila orang lain mengecewakannya atau kalau ia tidak berhasil mencapai tujuan yang ditetapkannya sendiri.

h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa.

(31)

dilakukan oleh orang dewasa, remaja akan dianggap dewasa dan dapat diterima oleh lingkungan tempat tinggalnya.

3. Tugas Perkembangan Masa Remaja

Pada setiap tahap perkembangan dalam kehidupan manusia ada sejumlah tugas perkembangan yang harus dilalui. Dan tugas perkembangan pada masa remaja itu menuntut adanya perubahan besar dalam sikap dan pola perilaku. Havighurts (dalam Willis, 1981:8) mendefenisikan tugas perkembangan adalah suatu tugas yang timbul pada periode tertentu dalam kehidupan individu, jika tugas perkembangan itu berhasil akan menimbulkan kebahagiaan individu, sebaliknya jika tugas itu gagal akan menimbulkan kesulitan baginya pada masa mendatang.

Tugas perkembangan remaja menurut Wattenberg (dalam Mappiare, 1982:106) sebagai berikut:

a. Memiliki kemampuan mengontrol diri sendiri seperti orang dewasa. Ketika memasuki masa remaja seorang remaja diharapkan dapat mengontrol dirinya sendiri. Tugas perkembangan ini timbul karena remaja sudah dianggap seperti orang dewasa yang umumnya mampu mengontrol dirinya. Kemampuan dalam mengontrol dirinya membuat dia diterima oleh lingkungannya.

b. Memperoleh kebebasan.

(32)

dan berlatih membuat rencana, bebas membuat alternatif pilihan, dan bebas melaksanakan pilihan-pilihannya itu dengan bertanggung jawab. Remaja diharapkan dapat melepaskan diri dari ketergantungannya pada orang tua atau orang dewasa lainnya secara berangsur-angsur.

c. Bergaul dengan teman lawan jenis.

Di dalam hati remaja mulai muncul rasa tertarik dengan lawan jenisnya. Pada mulanya mereka merasa ragu dan malu untuk bergaul lebih dekat dengan lawan jenisnya, tetapi lama-kelamaan mereka terbiasa bahkan ada yang lebih banyak bergaul dengan lawan jenisnya. d. Mengembangkan ketrampilan-ketrampilan baru.

Remaja diharapkan mulai belajar mengembangkan ketrampilan-ketrampilan baru yang sesuai dengan tuntutan hidup dan pergaulannya dalam masa dewasa kelak. Ketrampilan-ketrampilan baru itu tidak saja menyangkut apa yang dituntut pada bidang pekerjaan, melainkan juga bersangkutan dengan ketrampilan dalam kehidupan berkeluarga. Remaja perempuan misalnya dapat melakukan latihan mengatur meja makan, memasak, mencuci dan sebagainya. Remaja lelaki dapat membantu membersihkan halaman, mengepel lantai dan sebagainya. e. Memiliki citra diri yang realistis.

(33)

gambaran diri secara realistis dan bukan lagi berdasarkan fantasi seperti yang pernah mereka alami semasa anak-anak.

Tetapi juga sering dalam menjalankan tugas perkembangan masih banyak remaja yang mengalami kesulitan dalam melaksanakan tugas perkembangannya.

Gunarsa, (1986: 207) kesulitan yang sering menghambat remaja dalam melaksanakan tugas perkembangan yaitu:

a. Menerima keadaan fisik.

Perbedaan antara harapan remaja maupun harapan lingkungan dengan keadaan fisik remaja, menimbulkan masalah remaja, sehingga sulit baginya menerima keadaan fisiknya. Disamping sulit menerima keadaan sehubungan dengan bertambah tingginya badan, penampilan juga menjadi sumber kesulitan.

b. Memperoleh kebebasan emosional.

Tugas perkembangan ini sering menimbulkan pertentangan-pertentangan dalam keluarga. Perselisihan paham yang tidak terselesaikan di rumah sering memaksa remaja mencari ketenangan di luar rumah. Dengan melarikan diri dari suasana konfrontasi di rumah, remaja memperoleh kebebasan emosional secara terpaksa.

c. Mampu bergaul.

(34)

sebaya, tidak sebaya, maupun tidak sejenis. Tetapi adanya perasaan malu dan perasaan rendah diri tidak sesuai dengan harapan orang lain, akan menghambatkan usahanya dalam melibatkan diri dalam pergaulan yang lebih luas.

d. Menemukan model untuk identifikasi.

Masalah yang sering timbul dalam menunaikan tugas perkembangan ini, terletak dalam peniruan tokoh yang diambil dari dunia perfilman yang menonjolkan kekerasan dan agresivitasnya.

e. Mengetahui dan menerima kemampuan sendiri.

Masalah yang timbul sehubungan dengan kemampuan berpikir abstrak berkisar pada angan-angan yang terlalu tinggi, cita-cita yang muluk, sehingga tidak terjangkau oleh kemampuannya. Selain angan-angan sendiri, pandangan masyarakat, baik harapan maupun tuntutan terhadap remaja yang tidak bisa dipenuhinya, akan menjadi masalah satu sumber penyebab frustrasi. Akibat adanya frustrasi pada remaja antara lain rasa putusasa, agresivitas dan tindakan menyakiti diri sendiri, yang perlu penanganan sendiri mungkin.

(35)

g. Meninggalkan cara penyesuaian yang kekanak-kanakan.

Dalam interaksi sosial dengan teman sebaya maupun mereka yang lebih dewasa, remaja harus mengikutsertakan orang lain dalam pengambilan keputusan dan mempertimbangkan keputusan tentang tindakan yang akan dilakukan. Dengan demikian remaja berusaha menyesuaikan diri dengan orang lain dan tidak semata- mata bertindak dan bertingkah laku atas dasar pemuasan kebutuhan sendiri dan kesenangan sendiri. Untuk itu remaja diharapkan mampu mengatasi kecenderungan, keinginan untuk menang sendiri. Remaja dalam hal ini diharapkan dapat belajar melihat dari sudut pandang orang lain dan belajar mengingkari kesenangan sendiri, serta menangguhkan hal- hal yang menyenangkan dan mendahulukan pelaksanaan tugas dan kewajiban sebagai anggota masyarakat.

(36)

B. Konsep Diri 1. Pengertian

Noesjirwan, (1979:13) konsep diri adalah seluruh pandangan seseorang tentang dirinya. Pandangan itu adalah hasil dari: bagaimana seseorang melihat dirinya; bagaimana pemikiran atau pendapatnya tentang dirinya sendiri; bagaimana sikapnya terhadap dirinya.

Calhoun dan Acocella (1995:138), mengatakan konsep diri sebagai gambaran mental diri individu sendiri yang terdiri dari pengetahuan tentang diri, pengharapan mengenai diri dan penilaian atas diri sendiri. Seluruh gambaran individu mengenai diri dan penilaian atas diri. Seluruh ga mbaran individu mengenai dirinya meliputi fisik dan harapan tentang keseluruhan dirinya yang berproses menjadi diri sendiri. Rakhmat, (dalam Saad, 2003:40) mengemukakan konsep diri yakni persepsi secara fisik, sosial dan psikologis tentang diri kita sendiri, yang dibangun dari pengalaman dan interaksi dengan orang lain atau lingkungannya.

(37)

mempengaruhi penyesuaian pada kehidupan seperti kejujuran, keberanian, kemandirian, kepercayaan diri, dan berbagai jenis aspirasi dan kemampuan.

Dari berbagai pendapat diatas penulis mengambil kesimpulan konsep diri adalah keseluruhan gambaran, pandangan perasaan seseorang tentang dirinya sendiri yang diperoleh dari bagaimana individu itu melihat dirinya, dan perhatian individu, terhyadap lingkungan atau orang lain kepadanya, yang meliputi dimensi fisik, moral, sosial, psikologis, dan sosial.

2. Perkembangan Terbentuknya Konsep Diri

Terbentuk konsep diri seseorang dimulai sejak kanak-kanak, dan bukan merupakan bawaaan sejak lahir. Ini didukung oleh pendapatnya Burns (1993:186) bahwa konsep diri merupakan hasil belajar, bukan bawaan sejak lahir tetapi berkembang secara bertahap sebagai hasil pemahaman tentang dirinya dan orang lain yang dip eroleh dari pengalaman-pengalaman.

Allport (dalam Hall dan Lindzey, 1993:32) berpendapat bahwa konsep diri terbentuk melalui beberapa tahap sebagi berikut:

(38)

lingkungan tempat tinggalnya. Harga diri muncul setelah individu mampu melakukan sesuatu yang diinginkannya dan ia merasa bangga telah mampu melakukannya.

2. Tahap saat anak berusia 4-6 tahun dalam diri individu muncul faktor konsep diri, yaitu faktor perluasan diri dan faktor gambaran diri. Pada tahap ini anak mulai mampu menggunakan kemampuann motoriknya. Kemampuan motorik yanng dimiliki oleh anak akan membentuk gambaran diri. Anak menggambarkan dirinya seperti yang diangankan. Misalnya ia belajar menari ia melihat bahwa dirinya seorang penari. 3. Tahap pada saat anak berusia anatar 6-12 tahun, individu mulai belajar

mengembangkan kesadaran diri sehingga diharapkan ia dapat menanggulangi masalah- masalah dengan akal dan pikiran. Individu mengunakan akal dan pikirannya dalam memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi, baik persoalan-persoalan sosial maupun persolan akademis. Misalnya, ia harus mengunakan rumus dalam memecahkan persoalan matematis. Bila ia dapat memecahkan persoalan dan pikirannya maka ia akan merasa dirinya berharga penghargaan anak terhadap diri sendiri akan menimbulkan konserp diri yang positif. 4. Tahap pada saat anak usia remaja (di atas 12 tahun) pada diri individu

(39)

ditetapkannya sendiri atau tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh lingkungan sekitarnya. Individu mulai mencari cara untuk dapat mencapai tujuan-tujuan yang ditetapkannya.

Rogers (dalam Burns 1993:47) mengemukakan bahwa gambaran diri yang sudah tertanam dengan baik dimasa kecil akan berkembang dan mengambil cara khusus untuk mengungkapkannya. Salah satu alasan mengapa rasa hormat dan penghargaan terhadap diri seseorang sangat penting adalah ketika orang melepaskan sikap kekanak-kanakannya dan memperluas pandangannya dimasa dewasa, dia tetap mempertahankan gambaran dirinya yang sudah terbentuk dan akan memilih tujuan-tujuan serta mengerjakan apa yang dirasa tepat untuk orang sepertinya. Apabila gambaran baik mengenai diri sendiri dicemoohkan oleh orang lain, pengalaman ini merupakan pengalaman yang menyakitkan bagi dirinya.

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsep Diri Remaja

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi konsep diri pada remaja. Menurut Hurlock (1980:235):

a. Usia kematangan

(40)

merasa salah dimengerti dan bernasib kurang baik sehingga kurang dapat menyesuaikan diri.

b. Penampilan diri

Penampilan diri yang berbeda membuat remaja merasa rendah diri meskipun perbedaan yang ada menambah daya tarik fisik. Tiap cacat fisik merupakan sumber yang memalukan yang mengakibatkan perasaan rendah diri, sebaliknya daya tarik fisik menimbulkan penilaian yang menyenangkan tentang ciri kepribadian dan menambah dukungan sosial.

c. Hubungan keluarga

Seorang remaja yang mempunyai hubungan yang erat dengan seorang anggota keluarga akan mengidentifikasikan diri dengan orang ini dan ingin mengembangkan pola kepribadian yang sama.

d. Kepatutan seks

Kepatutan seks dalam penampilan diri, minat dan perilaku membantu remaja mencapai konsep diri yang baik

e. Nama dan julukan

Remaja peka dan merasa malu bila teman-teman sekelompoknya menilai namanya buruk atau bila mereka memberi julukan yang bernada cemoohan.

f. Teman-teman sebaya

(41)

tentang konsep teman-teman tentang dirinya dan kedua ia berada dalam tekanan untuk mengembangkan ciri-ciri kepribadian yang diakui kelompok.

g. Kreativitas

Remaja yang sejak kanak-kanak didorong agar kreatif dalam bermain dan dalam mengerjakan tugas-tugas akan mengembangkan perasaan dan identitas yang memberi pengaruh yang baik pada konsep diri. h. Cita-cita

Bila remaja mempunyai cita-cita yang tidak realistik ia akan mengalami kegagalan. Hal ini akan menimbulkan perasaan tidak mampu dan reaksi-reaksi bertahan di mana ia menyalahkan orang lain atas kegagalannya. Remaja yang realistik tentang kemampuannya lebih banyak mengalami keberhasilan daripada kegagalan, ini akan menimbulkan kepercayaan diri dan kepuasan diri yang lebih besar yang memberikan konsep diri yang lebih baik.

4. Penggolongan Konsep Diri

Konsep diri dapat digolongkan menjadi dua yaitu: a. Konsep diri positif

(42)

yang memiliki konsep diri yang positif biasanya mampu menerima dirinya apa adanya, baik kekurangan maupun kelebihannya. Dan mampu mengembangkan kemampuannya secara baik.

Rakhmat (1999:105) tanda-tanda orang yang memiliki konsep diri positif yaitu:

1) Yakin akan kemampuannya mengatasi masalah. 2) Merasa setara dengan orang lain.

3) Menerima tanpa pujian tanpa merasa malu.

4) Menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh masyarakat sekitar.

5) Mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha mengubahnya.

Karakteristik orang yang memilki konsep diri positif menurut Rakhmat (1999:106) yaitu:

1) Yakin betul nilai dan prinsip tertentu serta bersedia mempertahankannya, walaupun menghadapi pendapat kelompok yang kuat.

(43)

3) Tidak menghabiskan waktu untuk mencemaskan apa yang terjadi pada masa lalu, sekarang dan dimasa datang.

4) Memiliki keyakinan pada kemampuannya untuk menyelesaikan persoalan, bahkan ketika menhadapi masalah kegagalan atau kemunduran.

5) Merasa sama dengan orang lain, sebagai manusia tidak tinggi atau rendah, walaupun terdapat perbedaan dalam kemampuan tertentu, latar belakang keluarga, atau sikap orang lain terhadap dirinya. 6) Sangup menerima dirinya sebagai orang yang penting dan bernilai

bagi orang lain.

7) Dapat menerima pujian tanpa berpura-pura rendah hati, dan menerima penghargaan tanpa merasa bersalah.

8) Cenderung menolak usaha orang lain untuk mendominasinya. 9) Sanggup mengaku kepada orang lain bahwa ia mampu merasakan

berbagai dorongan dan keinginan, dari perasaan marah sampai cinta, dari sedih sampai bahagia, dari kekecewaan sampai kepuasan yang mendalam pula.

10) Mampu menikmati dirinya secara utuh dalam berbagai kegiatan yang meliputi pekerjaan, permainan, unkapan diri yang kreatif, persahabatan, atau sekedar mengisi waktu.

(44)

b. Konsep diri negatif

Menurut Burns (1993:72) konsep diri negatif sinonim dengan harga diri rendah. Konsep diri rendah menunjukan pada orang-orang yang umumnya memiliki perasaan rendah diri, ragu-ragu tentang nilai yang dimiliki, merasa diri tidak berharga, tidak merasa puas dengan keunikan dirinya. Konsep diri negatif diartikan sebagai evaluasi diri yang negatif dan membenci diri. Orang yang memiliki konsep diri negatif merasa tidak diperhatikan, merasa tidak disenangi, dan bersikap pesimis terhadap kompetisi. Orang yang memiliki konsep diri negatif hanya melihat sisi-sisi negatif dari pengalaman yang dihadapinya, walaupun sebenarnya dari sisi positif. Dari pengalaman yang dihadapinya. Orang yang memiliki konsep diri yang negatif peka terhadap kritikan dan cenderung menyalahkan dirinya atas pengalaman buruk yang menimpanya.

Brooks dan Emmert (dalam Rakhmat, 1999:105) tanda-tanda orang yang memiliki konsep diri negatif yaitu:

1) Peka terhadap kritik

Orang dengan konsep diri negatif sangat tidak tahan kritik yang diterimanya dan mudah marah. Koreksi seringkali dipersepsi sebagai usaha untuk menjatuhkan harga dirinya.

2) Responsif sekali terhadap pujian

(45)

antusiasmenya saat menerima pujian. Orang-orang seperti ini tidak pandai dan tidak sanggup mengungkapkan penghargaan atau pengakuan pada kelebihan orang lain.

3) Cenderung merasa tidak disenangi dan tidak diperhatikan

Orang dengan konsep diri negatif cenderung menganggap orang lain sebagai musuh, sehingga tidak dapat melahirkan kehangatan dan keakraban persahabatan. Orang seperti ini tidak pernah menyalahkan diri, tetapi menganggap dirinya sebagai korban dari soisal yang tidak beres.

4) Bersikap pesimis

Orang dengan konsep diri negatif cenderung bersikap pesimis terhadap kompetensi yang ada dihadapannya. Menganggap dirinya tidak berdaya untuk bersaing dengan orang lain. Terungkap dalam keengganannya untuk bersaing dengan orang lain dalam membuat prestasi, menganggap dirinya tidak akan berdaya melawan persaingan dan akan merugikan dirinya.

5) Cenderung merasa tidak disenangi dan tidak diperhatikan

(46)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep diri dalam diri seseorang bisa terbentuk menjadi konsep diri yang positif atau konsep diri yang negatif tergantung pada orang tersebut mau menerima atau tidak menerima semua kekurangan atau kelebihan dalam dirinya untuk mengembangkan dirinya kearah yang positif, dan juga pengaruh umpan balik orang-orang disekitarnya terhadap diri orang tersebut.

C. Keluarga Broken Home 1. Pengertian Keluarga

Menurut Suparlan dkk (1990:98) keluarga adalah Unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari ayah, ibu, anak-anak yang merupakan tiang pokok masyarakat, yang ada hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi antara sesama anggota keluarga dan antar keluarga dan masyarakat; lembaga pertama dari individu yang terikat oleh norma- norma tertentu dan juga berbagai kebutuhan jasmani maupun rohani serta sosial.

(47)

Menurut Kartono (2005:120) Di tengah keluarga anak belajar mengenal makan cinta kasih, simpati, loyalitas, ideologi, bimbingan, dan pendidikan. Keluarga memberikan pengaruh yang menentukan pada pembentukan watak dan kepribadian anak; dan menjadi unit sosial terkecil yang memberikan fondasi primer bagi perkembangan anak. Sedangkan Pater J. Dicker berpendapat keluarga-keluarga yang adanya saling kepercayaan, saling memahami, bisa menghasilkan orang yang utuh. Telah diletakkan basis untuk keluarga yang bahagia di masa depan, sebagai orang muda ini kuatlah cinta kasihnya yang jujur, karena telah diketahui dan dilatih sejak kecil, sehingga mereka tetap ingat akan hal ini, pun kalau akan pergi dari rumah orang tua (Sumardi, 1975:6).

(48)

2. Pengertian Keluarga Broken Home

Menurut KBBI (1988:412) keluarga berantakan adalah keluarga yang integritas, hubungan dan solidaritasnya telah rusak oleh ketegangan dan konflik. Keluarga broken home pada prinsipnya struktur keluarga tersebut sudah tidak lengkap lagi yang disebabkan adanya, salah satu kedua orang tua atau kedua-duanya meninggal dunia, perceraian orang tua, salah satu kedua orang tua atau keduanya “ tidak hadir” secara kontinyu dalam tenggang waktu yang cukup lama (Sudarsono, 1990:125). Ruma h tangga yang berantakan adalah adanya kematian ayah atau ibu, perceraian diantara bapak dengan ibu, hidup terpisah, poligami, ayah mempunyai simpanan “istri” lain, keluarga yang diliputi konflik keras. (Kartono, 2005:59).

Keluarga yang disebut broken home menurut Mulyono (1984:27) yaitu: 1) Orang tua yang bercerai

Perceraian orang tua membawa konsekuensi yang kejam bagi pribadi anak. Pada satu pihak anak mengharapkan kehadiran lengkap dari orang tua dalam suasana yang harmonis, tetapi dalam kenyataan orang tua bercerai, anak terpaksa menerima keputusan dan memilih alternatif yang berat (ikut ayah atau ibu).

2) Unit keluarga yang tidak lengkap karena hubungan diluar pernikahan.

(49)

4) Kematian salah satu orang tua atau kedua-duanya, yang berakibat fatal bagi masa depan anak menjadi terlantar, tidak mendapat kasih sayang, tidak memperoleh tempat bergantung hidup yang layak. 5) Adanya ketidakcocokan atau persesuaian/ konflik karena faktor

perbedaan agama; perbedaan norma, ambisi-ambisi orang tua dan sebagainya.

3. Penyebab Timbulnya Keluarga Broken Home

Dalam kehidupan keluarga sering timbul permasalahan berupa perselisihan, hingga pertengkaran antara suami- istri. Permasalahan tersebut normal- normal saja, bila terjadi dalam suatu keluarga. Karim Al-Farih (dalam Nikah, 2005:5) berpendapat satu dua kali berselisih dalam rumah tangga adalah hal biasa, namanya juga mengumpulkan dua orang dengan sifat dan latar belakang berbeda. Namun hendaknya hal ini tidak sampai terus berlarut. Karena bila percekcokan itu terus berlanjut dan berintens dan semakin tinggi hingga membuat anggota keluarga tidak nyaman dan sulit di atasi maka akan membawa suatu keluarga kejurang kehancuran.

(50)

sahabat dan situasi masyarakat yang terkondisi. Semua faktor ini menimbulkan suasana keruh dalam meruntuhkan kehidupan rumah tangga.

Sedangkan menurut Manurung dan Hetty (1995:63) faktor penyebab timbulnya masalah dalam keluarga yang mengakibatkan kegoncangan, adalah dari suami- istri itu sendiri, pengaruh dari salah satu orang tua, kedua belah pihak suami- istri, pengaruh dari salah seorang anggota keluarga (anak-anak, orang yang menumpang di rumah termasuk keponakan dari salah seorang antara suami- istri), atau pengaruh dari orang lain di luar keluarga.

Selanjutnya Manurung dan Hetty (1995:64) menjelaskan bahwa.

a. Timbulnya ketegangan atau kegoncangan yang bersumber dari suami- istri antara lain:

1) Kurangnya saling pengertian diantara suami- istri: karena kurang kemauan untuk mempelajari diri sendiri dan diri orang lain.

2) Kurang terbuka, dengan adanya masalah tersembunyi yang belum pernah diselesaikan.

3) Adanya kecurigaan baik dari pemakaian uang maupun dari segi hubungan intim dengan orang luar. Suami dengan wanita lain, begitu juga istri dengan pria lain.

4) Ketidak mampuan suami memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani keluarga. Baik kebutuhan primer maupun kebutuhan sekunder.

(51)

berperan dalam rumah tangga, atau suami bersifat diam dan si istri bersifat suka bicara.

6) Ketidak puasan suami terhadap kemampuan istrinya. Boleh jadi pendidikan suami lebih tinggi dari pada pendidikan istri sehingga suami sering menggurui. Atau karena istri mantan siswa/ mahasiswanya sehingga suami masih merasakan bahwa istri masih dalam asuhannya. Mungkin juga istri bersifat boros dalam perbelanjaan sehingga uang gaji yang diiserahkan sang suami setiap bulannya mengalami difisit bahkan sering berhutang kepada tetangga maupun kenalan lainnya apalagi kalau meminjam uang dengan bunga yang tinggi.

7) Ketidakpuasan istri terhadap pelayanan suaminya antara lain, dalam tata krama pergaulan yang mengagnggap bahwa isteri harus selalu tunduk kepada suami sehingga sering melontarkan kata-kata disertai hardikan dan tamparan. Termasuk pelayanan dalam bidang seks, dan suami sering memaksa tanpa memikirkan kepuasan si istri ketika bersenggama.

b. Timbulnya ketegangan atau kegoncangan yang datangnya dari pihak orang tua kedua belah pihak baik dari orang tua suami atau istri antara lain:

(52)

masalah yang diberitahukan salah seorang baik itu suami maupun istri kepada orang tuanya, maka orang tua memberi nasihat dari segi negatif.

2) Sering terjadi campur tangan orang tua dalam urusan keluarga anaknya. Salah satu kekurangan orang tua ialah selalu atau sering menganggap bahwa anaknya masih berada dalam asuhannya atau belum dewasa atau sering menggurui.

3) Sering terlihat adanya sifat orang tua yang lebih dekat dengan anaknya sendiri merasa bahwa anak mantunya belum diterima sebagai anaknya sendiri sehingga sering merasa curiga ataupun cemburu ketika melihat anak kandungnya lebih intim dengan istri atau suaminya. Dengan kata lain “ terampas kasih sayang anaknya dari padanya” dengan alasan orang tualah yang berjasa sehingga anaknya dapat berumah tangga.

4) Mungkin juga karena salah satu pihak orang tua lebih tinggi sosio ekonominya dari besannya, sehingga menganggap rendah mantu dan besannya. Hal ini dapat terlihat oleh besan dan anak mantu dari pembawaan dan perlakuan orang tua tersebut.

c. Timbulnya kegoncangan yang bersumber dari orang yang menumpang dalam keluarga, keponakan, adik, adik ipar dan kenalan, antara lain: 1) Adanya ketidak sepakatan salah satu pihak baik suami maupun isteri

(53)

tidak dapat diterima oleh suami atau isteri akan mengakibatkan perselisihan dalam ruma h tangga.

2) Pengaruh negatif dari yang menumpang dalam keluarga, mempengaruhi anggota keluarga termasuk yang negatif kepada anak-anak.

Apabila masalah-masalah tersebut tidak teratasi sering kali rumah tangga menjadi arena pertarungan ataupun perdebatan dengan tak pernah ada pihak yang menang. Sehingga karena pertengkaran, berubahlah suasana rumah tangga menjadi tempat yang sunyi dan hilanglah kegembiraan, yang diidam- idamkan sejak awal pernikahan. Pertengkaran demi pertengkaran hingga berakhir dengan perceraian.

Menurut Mulyono (1986:43) penyebab timbulnya keluarga broken home adalah adanya orang tua bercerai, kebudayaan bisu dalam keluarga, dan perang dingin dalam keluarga. Untuk lebih jelas maka perlu dibahas satu persatu.

a. Orang Tua yang Bercerai

(54)

1) Salah satu menyeleweng dengan perempuan atau lelaki lain

2) Melepaskan tanggung jawab dan kewajiban terhadap kelangsungan hidup rumah tangga, atau mengabaikan dan melalaikan tugas dan kewajiban dan tanggung jawab dalam pendidikan anak, kasih sayang dan perhatian.

3) Konflik-konflik antara suami istri yang tidak dapat diselesaikan sehingga makin berlarut- larut. Konflik ini terjadi bila masing-masing tidak mau mengalah, tidak ada lagi kesediaan untuk saling mendengarkan dan menghargai, salah satu pihak atau masing-masing berbicara hanya mau memaksakan keinginannya.

4) Salah satu pihak atau masing- masing telah merasa jemu dan tidak ada rasa cinta lagi.

b. Kebudayaan bisu dalam keluarga

Kebudayaan bisu ditandai oleh tidak adanya dialog dan komunikasi antar anggota keluarga. Kurangnya dialog dan komunikasi dapat terjadi karena orang tua terlalu menyibukkan diri dengan mementingkan pekerjaan, kesenangan sendiri, menimbun uang, dan kekayaan, dan sebagainya; sedangkan kebutuhan yang lebih mendasar, yaitu cinta kasih diabaikan.

c. Perang dingin dalam keluarga

(55)

Timbulnya perang dingin dalam keluarga umumnya menyangkut masalah yang dianggap prinsipial, yaitu

1) Suami- istri mempunyai keyakinan agama yang berbeda.

2) Suami- istri mempunyai latar belakang kebudayaan yang berbeda. 3) Hubungan suami- istri yang kurang dilandasi oleh cinta kasih. 4) Kesulitan ekonomis dalam keluarga.

5) Salah satu pihak tidak lagi memperoleh kepuasan seksual dengan pihak lain (istri atau suami).

6) Salah satu pihak melalaikan kewajiban dan tanggung jawab terhadap keluarga.

7) Salah satu pihak tidak lagi memperoleh kepuasan seksual.

Menurut Gunadi dan Indajanti (2004) dalam ilustrasi penyebab perceraian dikategorikan dalam beberapa golongan, yaitu:

1) Kekurangan makanan emosional dalam pernikahan, ibarat pohon yang kurang gizi, kurang dirawat akhirnya kering dan mati.

2) Adanya hama yang menyerang pohon hama tersebut diilustrasikan sebagai pertengkaran, keributan-keributan keras, masuknya orang lain yang oada akhirnya mengakibatkan pernikahan itu rontok. 3) Kurangnya pupuk bagi pohon tersebut. Artinya suami- istri hidup

(56)

Dari berbagai pendapat tersebut di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa penyebab timbulnya keluarga broken home yaitu oleh beberapa faktor sebagai berikut: rusaknya komunikasi keluarga, hilangnya tujuan dan perhatian bersama, ketidakcocokan dalam seksualitas, ketidaksetiaan, hilangnya kegairahan dan kesenangan dalam hubungan bersuami- istri, keuangan, pertentangan masalah anak-anak, penggunaan alkohol dan obat-obat terlarang, masalah hak-hak wanita, hadirnya ipar, mertua, keponakan sebagai orang ketiga dalam keluarga.

4. Dampak Keluarga Broken Home

Kondisi dalam lingkungan keluarga sangat berpengaruh dalam pembentukan pribadi anak. Menurut Gunadi dan Indajanti (2004) dampak pada anak-anak pada masa tidak keharmonisan, belum sampai bercerai namun mulai tidak harmonis yaitu:

1) Anak mulai menderita kecemasan yang tinggi dan ketakutan.

2) Anak merasa terjepit di tengah-tengah, karena dalam hal ini anak sulit memilih papa atau mama, merasa sangat terjepit ditengah, siapa yang harus dibela, siapa yang harus dia ikuti nantinya bila ada perceraian. 3) Anak seringkali mempunyai rasa bersalah, karena anak merasa bahwa

dirinya yang menjadi penyebab ketidakharmonisan.

(57)

Selanjutnya Gunadi dan Indajanti (2004) dampak rumah tangga yang tidak sehat, yang bermasalah dan penuh dengan pertengkaran-pertengkaran bisa muncul tiga kategori anak:

1) Anak-anak yang memberontak mencari masalah diluar. Anak yang jadi korban keluarga bercerai itu menjadi sangat nakal sekali karena:

a. Mempunyai kemarahan, kefrustrasian dan melampiaskannya. b. Selain itu, anak korban perceraian jadi gampang marah karena

mereka terlalu sering melihat orang tua bertengkar. Namun kemarahan juga bisa muncul karena: dia harus hidup dalam ketegangan dan dia tidak suka hidup dalam ketegangan; dia harus kehilangan hidup yang tentram, yang hangat, dia jadi marah pada orang tuanya, kok memberi hidup seperti kepada mereka.

2) Anak-anak yang bawaannya sedih, mengurung diri, dan menjadi depresi. Anak ini juga bisa kehilangan identitas sosialnya.

3) Anak-anak yang super baik yang jadi juru selamat rumah tangga, karena anak orang tua bisa rukun.

Sudarsono (1990:125) menurut pendapat umum bahwa broken home ada kemungkinan besar bagi terjadinya, kenakalan remaja, dimana terutama perceraian atau perpisahan orang tua memepengaruhi perkembangan si anak.

(58)

adjustment (penyesuaian diri) yang terganggu pada diri anak-anak; sehingga mereka mencari kompensasi di luar lingkungan keluarga guna memecahkan kesulitan batinnya dalam bentuk perilaku delinkuen.

Mulyono (1986:45) suasana keluarga broken home dipengaruhi adanya perang dingin dalam keluarga. Perang dingin dalam keluarga inilah mempunyai dampak yang menimbulkan pertengkaran-pertengkaran kecil tetapi sifatnya intensif dan dapat dirasakan, inilah dapat menimbulkan pengaruh negatif bagi anak yaitu:

1) Rasa takut dan cemas bagi anak

2) Anak-anak akan menjadi tidak betah tinggal di rumah sebab merasa tertekan dan bingung serta tegang.

3) Anak-anak menjadi tertutup dan tidak dapat mendiskusikan problema yang dialami.

4) Semangat belajar dan kosentrasi mereka menjadi lemah. 5) Anak-anak berusaha mencari kompensasi semu.

(59)

Broken home memegang peranan penting dalam kejahatan anak, yang berarti makin banyak terdapat broken home dalam suatu masyarakat makin banyak pula anak nakal/ juvenile delinquency (Simandjuntak, 1975:188). Didukung oleh pendapatnya Gunadi dan Indajanti, (2004) bahwa anak yang jadi korban keluarga bercerai cenderung menjadi anak yang sangat nakal karena:

1) Anak mempunyai kemarahan, kefrustrasian dan pelampiasannya adalah dengan melakukan hal- hal yang berlawanan dengan peraturan, memberontak dan sebagainya.

2) Anak kehilangan figur otoritas, figur ayah. Waktu figur otoritas itu menghilang anak sering kali tidak terlalu takut pada mama.

3) Anak kehilangan jati diri sosialnya atau identitas sosialnya. Status sebagai anak cerai memberikan suatu perasaan dia orang yang berbeda dari anak-anak lain.

(60)

sandang dan perumahan serta kasih sayang, perhataian, pengharagaan dan aktualisasi, menjadi tidak terpenuhi atau kurang diperhatikan.

5. Pendekatan Person Centered Therapy (Konseling Berpusat pada klien) 1. Pengertian

Pendekatan konseling Person Centered Therapy dipelopori oleh Carl. Rogers. Pendekatan Person Centered Therapy disebut nondirektif

karena penyelesaian masalah berpusat pada klien. Winkel dan Hastuti (2004:396) berpendapat Person Centered Therapy merupakan corak konseling yang menekankan peranan konseli sendiri dalam proses konseling.

McLeod (2006:210) konseling Person Centered Therapy

diinformasikan oleh pemikiran fenomenologis pendekatan pada konsep diri individu dan kecakapan klien untuk mengemukakan persoalan, perasaan, pikiran, secara bebas dan menetukan isu yang penting bagi dirinya dalam pemecahan masalahnya.

Winkel dan Hastuti (2004:397) menyatakan bahwa corak konseling ini berpijak pada beberapa keyakinan dasar tentang martabat manusia dan hakikat kehidupan manusia. Keyakinan-keyakinan itu untuk sebagian bersifat falsafah dan untuk sebagian bersifat psikologis, sebagai berikut: 1) Setiap manusia berhak mempunyai setumpuk pandangan sendiri dan

(61)

2) Manusia bertindak dengan cara yang tidak baik, seperti menipu, mencelakakan orang lain karena rasa benci, dan berbuat sadis, disebabkan karena usaha membela diri yang telah menjauhkan seseorang dari nalurinya yang paling dasar.

3) Manusia seperti makhluk-makhluk hidup yang lain, membawa dalam dirinya sendiri kemampuan, dorongan, dan kecenderungan untuk mengembangkan dirinya semaksimal mungkin. Kemampuan, dorongan, serta kecenderungan itu disebut actualizing tendency dan merupakan kekuatan motivasional utama dan paling dasar, yang menggerakan individu untuk mengejar kemandirian dalam hidupnya, tanpa menggantungkan diri pada orang lain serta dikontrol oleh orang lain. 4) Cara berperilaku seseorang dan cara menyesuaikan dirinya terhadap

(62)

5) Seseorang akan menghadapi persoalan jika diantara unsur-unsur dalam gambaran terhadap diri sendiri timbul konfik dan pertentangan, lebih- lebih antara siapa saya ini sebenarnya, (real self) dan saya seharusnya menjadi orang yang bagaimana (ideal self).

Selanjutnya Winkel dan Hastuti (2004: 400) menyatakan selama proses konseling semua pengalaman nyata dalam bergaul dengan orang lain dalam dirinya dibiarkan muncul dan disadari sepenuhnya, sehingga dapat diberi tempat dalam keseluruhan konsep diri. Kesenjangan dan pertentangan antar semua unsur dalam konsep diri itu mulai tampak, sehingga akhirnya dapat lebih diintegrasikan satu sama lain. Perubahan yang dituju ialah perubahan dalam konsep diri supaya lebih sesuai dengan pengalaman nyata yang dihadapi. Konseli dianggap mampu mencapai perubahan itu, bahkan cenderung untuk mengusahakannya karena dorongan naluri untuk mencari perkembangan diri yang optimal dan maksimal.

Teori kepribadian Rogers ya ng disebut sebagai “the self theory”

yang disimpulkan oleh Surya (2003:54) diantaranya sebagai berikut: 1) Yang menjadi inti kepribadian menurut teori kepribadian Rogers ini-adalah

the self, yang terbentuk melalui atau karena pengalaman-pengalaman, baik

yang datang dari luar diri individu yang bersangkutan maupun yang datang dari dalam dirinya.

(63)

bayangkan, yang ia tangkap, yang ia sendiri atau ia hayati sebagai “saya/ku”. Sedangkan diri yang aktual adalah diri yang dipandang oleh/ dari sudut orang lain sebagai “ia/dia” atau “nya”.

3) Kepribadian yang terintegrasi (well adjusted) adalah kepribadian yang konsisten antara diri yang ideal dengan diri yang aktual. Sedangkan kepribadian yang disintegrasi (maladjusted) adalah kepribadian yang tidak konsisten antara diri yang ideal dengan diri yang aktual; diri subyektif tidak sesuai dengan diri obyektif.

4) Pengubahan kepribadian yang salah suai agar menjadi kepribadian yang

well adjusted (kepribadian yang terpadu) yang dapat dilakukan dengan

jalan mengubah gambaran diri yang ideal itu supaya konsisten/ sesuai dengan diri yang aktual.

5) Peranan dan kecenderungan kepribadian ialah mempribadikan diri dalam bentuk perwujudan diri, pemeliharaan diri, dan perluasan diri.

Prayitno dan Anti (2004:300) menyatakan konseling Person

Centered Therapy disebut konseling non direktif merupakan bantuan

(64)

Surya (2003:52) mengatakan, orang yang dikatakan sehat adalah yang dirinya dapat berkembang penuh (the fully funtioning self) dan dapat mengalami proses hidupnya tanpa hambatan. Individu terdorong untuk menjadi dirinya sendiri. Adapun individu yang telah mencapai “fully

functioning” ditandai dengan; (1) terbuka pada pengalaman, (2)

menghidupi setiap peristiwa secara penuh, dan (3) mempercayai pertimbangan dan pemilihan sendiri.

Rogers (Hall & Lindzey, 1970:125) dalam teori Person Centered

Therapy lebih memfokuskan pandangannya pada kapasitas manusia

sebagai pribadi yang memiliki kemampuan berkembang sendiri. Hal ini ditegaskan Rogers bahwa di dalam diri setiap orang terdapat potensi-potensi untuk menjadi sehat dan tumbuh secara kreatif. Ia sangat yakin dan menaruh kepercayaan yang mendalam bahwa manusia itu adalah makhluk yang bisa dipercaya, positif, penuh akal, mampu mengarahkan diri, dan mampu hidup secara produktif dan efektif.

Rogers (Corey, 1988:72) mengemukakan bahwa pendekatan

Person Centered Therapy mempunyai beberapa prinsip, sebagai berikut:

1) Konseling yang berpusat pada klien difokuskan pada tanggung jawab dan kesanggupan klien untuk menemukan cara-cara menghadapi kenyataan secara lebih sempurna.

(65)

3) Konseling ini dapat diterapkan pada individu yang dalam kategori normal maupun yang mengalami derajat penyimpangan psikologi yang lebih berat.

4) Konseling merupakan salah satu contoh hubungan pribadi yang konstruktif.

5) Konselor perlu menunjukan sikap-sikap tertentu untuk menciptakan hubungan terapeutik yang efektif pada klien.

Menurut Surya, (2003:56) konseling Person Centered Therapy

mempunyai karakteristik sebagai berikut:

1) Fokus utama adalah kemampuan individu memecahkan masalah dan bukan terpecahkan masalah

2) Lebih mengutamakan sasaran perasaan, dari pada intelek 3) Masa kini lebih banyak diperhatikan dari pada masa lalu 4) Pertumbuhan emosional terjadi dalam hubungan konseling

5) Proses terapi merupakan penyerasian antara gambaran diri klien dengan keadaan dan pengalaman diri yang sesungguhnya

6) Hubungan antara klien dengan konselor merupakan situasi pengalaman terapeutik yang berkembang menuju kepada kepribadian klien yang integral dan mandiri

7) Klien memegang peranan aktif dalam konseling sedangkan konselor bersifat pasif- reflektif

(66)

mengeksplorasi diri sehingga dapat mengenal hambatan pertumbuhannya dan dapat mengalami aspek dari sebelumnya terganggu. Disamping itu konseling Person Centered Therapy bertujuan membantu klien agar dapat begerak ke arah keterbukaan, kepercayaan yang lebih besar kepada dirinya, keinginan untuk menjadi pribadi, dan meningkatkan spontanitas hidup. Klien dikatakan sudah sembuh apabila:

1) Kepribadiannya terintegrasi, dan mampu menyelesaikan masalah yang dihadapinya atas tanggung jawab diri, memiliki gambaran diri yang serasi dengan pengalaman sendiri.

2) Mempunyai tilikan diri, dalam arti memandang fakta yang lama dengan pandangan baru.

3) Mengenal dan menerima diri sendiri sebagaimana adanya dengan segala kekurangan dan kelebihan.

4) Dapat memilih dan menentukan tujuan hidup atas tanggung jawab sendiri. Dalam kasus ini peneliti menggunakan pendekatan Person

Centered Therapy (self theory) atau konseling teori diri, karena ide konsep diri

(67)

mampu mengaktualisaikan dirinya sepenuhnya. Maka dengan bantuan konseling Person Centered Therapy peneliti membantu remaja yang berasal dari keluarga broken home menyadari konsep dirinya dan berubah menjadi konsep diri yang positif dan mampu mengaktualisasikan dirinya sepenuhnya. 2. Langkah-Langkah Proses Konseling

Langkah- langkah proses konseling Person Centered Therapy yang digunakan menurut Surya (2003: 56):

I. Fase Pembukaan

Selama fase ini konselor berusaha untuk menciptakan suatu hubungan antar pribadi (working relationship) yang baik dengan konseli: 1) Konseli atas kemauan sendiri datang kepada konselor untuk meminta

bantuan.

2) Apabila konseli itu datang atas petunjuk orang lain, maka konselor harus menciptakan situasi yang sangat bebas dan permisif, sehingga konseli dapat menentukan pilihan-pilihannya: apakah akan melanjutkan meminta bantuan konselor atau tidak.

3) Situasi konseling ditetapkan dan dimulai sejak situasi permulaan telah di dasarkan, bahwa yang bertanggung jawab dalam hal ini adalah konseli. 4) Untuk hal ini konselor harus yakin bahwa klien mempunyai kemampuan

(68)

5) Konselor mendorong dan memberanikan konseli agar mampu mengemukakan/ mengungkapkan perasaannya secara bebas berkenan dengan masalah yang dihadapinya.

6) Untuk memungkinkan terjadinya hal itu, konselor harus selalu memperhatikan sikap ramah, bersahabat dan empati dalam menerima konseli sebagaimana adanya.

II. Fase Penjelasan Masalah

Selama fase ini konselor mendengarkan dengan sungguh-sungguh, sambil menunjukan pemahaman dan pengertiaan:

1) Konseli mengutarakan masalah atau persoalan yang dihadapi.

2) Konselor menerima, mengenal dan memahami perasaan-perasaan negatif yang diungkapkan konseli; kemudian meresponnya.

2) Respon konselor harus menunjukkan atau mengarahkan kepada apa yang ada dibalik ungkapan-ungkapan perasaan-perasaan itu, sehingga menimbulkan suasana konseli dapat memahami dan menerima keadaan negatif atau tidak menyenangkan itu tidak diproyeksikan kepada orang lain atau disembunyikan sehingga menjadi mekanisme pertahanan diri.

III. Fase Penggalian Masalah

(69)

1) Ungkapan-ungkapan perasaan-perasaan negatif yang meluap- luap dari konseli itu biasanya disertai ungkapan-ungkapan perasaan positif yang lemah/ samar-samar yang dapat disembuhkan.

2) Konselor menerima dan memahami perasaan-perasaan positif yang diungkapkan klien sebagaimana adanya.

3) Konselor membantu konseli untuk memahami dan menerima dirinya sendiri sebagaimana adanya.

IV. Fase Penyelesaian Masalah

1) Membantu konseli menemukan konsep diri ideal, konsep diri nyata, perbandingan anatara konsep diri ideal dan konsep diri nyata.

2) Usaha-usaha yang dilakukan konseli untuk mencapai konsep diri ideal yang di cita-citakannya.

3) Konseli mencoba memanifestasikan atau mengaktualisasikan pilihannya itu dalam sikap dan perilakunya sehari- hari.

4) Langkah selanjutnya adalah perekembangan sikap dan tingkah laku konseli itu adalah sejalan dengan perkembangan tilikan dengan dirinya.

5) Perilaku konseli makin bertambah terintegrasi dan pilihan-pilihan yang dilakukan makin adekuat; kemand irian dan pengarahan dirinya makin meyakinkan.

V. Fase Penutup

(70)

2) Konseli menghentikan hubungan dengan konselor. Konseling telah selesai; konseli menjadi individu yang kepribadiannya terintegrasi dan berdiri sendiri, ia telah sembuh/ bebas dari gangguan psikis

3) Konselor memberi dukungan dan meyakini konseli.

(71)

57 A. Jenis penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus. Menurut Furchan (1982:416) studi kasus adalah penyelidikan intensif tentang seorang individu. Studi kasus ini merupakan suatu studi kasus yang mendalam tentang individu dan berjangka waktu relatif lama, terus menerus, mendalam dengan menggunakan subjek tunggal yang artinya kasus yang dialami oleh satu orang.

Penelitian kualitatif itu berakar pada latar alamiah sebagai keutuhan, mengandalkan manusia sebagai alat penelitian, memanfaatkan metode kualitatif mengadakan analisis data secara induktif, mengarahkan sasaran penelitiannya pada usaha menemukan teori-teori dasar, bersifat deskriptif, lebih mementingkan proses dari pada hasil, membatasi studi dengan fokus, memiliki seperangkat kriteria untuk memeriksa keabsahan data, rancangan penelitiannya bersifat sementara, dan hasil penelitiannya disepakati oleh kedua belah pihak: peneliti dan subyek penelitian (Moleong, 1988: 56).

(72)

B. Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah YM seorang remaja yang berasal dari keluarga broken home.

C. Sumber data

Peneliti meminta beberapa orang yang dianggap relevan dalam memberikan informasi yang akurat yaitu:

1. Subjek

2. Ibu Kos subjek 3. Sahabat subjek.

D. Metode Pengumpulan Data.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa metode dalam usaha untuk memperoleh data dan informasi tersebut antara lain:

1) Observasi

(73)

2) Wawancara Informasi

Winkel dan Hastuti (2004:282) mengemukakan bahwa wawancara informasi adalah alat pengumpul data untuk memperoleh data dan informasi secara lisan mengenai subjek. Wawancara informasi ini untuk mengecek kebenaran informasi yang telah penulis peroleh. Penulis melakukan wawancara informasi dengan ibu kos, dan sahabat subjek.

E. Prosedur Tahap Persiapan dan Pelaksanaan

a. Meminta ijin kepada subjek, serta menentukan pihak-pihak yang berhubungan dekat dengan subjek untuk mendapatkan informasi- informasi yang akan digunakan sebagai sumber data.

b. Menyiapkan waktu yang tepat untuk pengumpulan data

c. Melakukan pengumpulan data dengan cara observasi, wawancara informasi.

F. Analisis Data

Gambar

Tabel 1 Wawancara Informasi

Referensi

Dokumen terkait

penyearah daya dengan sumber masukan tegangan bolak-balik satu.. fasa, sedangkan penyearah tiga fasa rangkaian penyearah

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN LANGSUNG DAN TEACHING GAMES FOR UNDERSTANDING TERHADAP KETERAMPILAN BERMAIN BOLA VOLI.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Salah satunya adalah internet, internet merupakan sumber informasi yang penting bagi masyarakat diseluruh dunia, berbagai fungsi komunikasi dan penyebaran informasi dapat

Tablet ini disalut dengan selaput tipis dari polimer yang larut atau tidak.. larut dalam air maupun membentuk lapisan yang

Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) harus terus didorong kinerjanya mengingat peranannya sebagai pilar perekonomian //.UKM sebagai bagian dari pelaku bisnis / diharapkan

Metode Branch and Bound Untuk Menyelesaikan Multi-.. Objective

merupakan antioksidan yang sedang, sedangkan aktivitas antioksidan ekstrak bawang batak menunjukkan nilai IC 50 sebesar 77,5171 dan merupakan antioksidan kuat.. Kata Kunci :

Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia .Jakarta: Balai