• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN EFEKTIVITAS PROGRAM PENINGKATAN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN INDUSTRI RUMAH TANGGA PANGAN (IRTP) DI KABUPATEN CIANJUR DREITSOHN FRANKLYN PURBA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN EFEKTIVITAS PROGRAM PENINGKATAN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN INDUSTRI RUMAH TANGGA PANGAN (IRTP) DI KABUPATEN CIANJUR DREITSOHN FRANKLYN PURBA"

Copied!
134
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN EFEKTIVITAS PROGRAM PENINGKATAN MUTU

DAN KEAMANAN PANGAN INDUSTRI RUMAH TANGGA

PANGAN (IRTP) DI KABUPATEN CIANJUR

DREITSOHN FRANKLYN PURBA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Efektivitas Program Peningkatan Mutu dan Keamanan Pangan Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) di Kabupaten Cianjur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Saya menyatakan bahwa saya telah mendapatkan izin tertulis dari instansi tempat pengambilan data.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2013 D. Franklyn Purba NIM F252100155

(4)

DREITSOHN FRANKLYN PURBA. Kajian Efektivitas Program Peningkatan Mutu dan Keamanan Pangan Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) di Kabupaten Cianjur. Dibimbing oleh LILIS NURAIDA dan SUTRISNO KOSWARA.

Peningkatan mutu dan keamanan pangan bermuara pada peningkatan daya saing, derajat kesehatan masyarakat, dan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Dengan dasar itu program pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan terhadap industri pangan rumah tangga sangat diperlukan. Survei LIPI tahun 2003 – 2005 terhadap industri mikro kecil menengah (IMKM) pada empat provinsi, salah satunya adalah Jawa Barat dengan salah satu lokasi Kabupaten Cianjur, menyatakan bahwa penerapan sistem manajemen mutu dan keamanan pangan oleh IMKM pangan belum sepenuhnya dilakukan karena kesadaran dan rendahnya mutu sumber daya manusia. Dengan penekanan yang berbeda, dibutuhkan sebuah kajian baru terhadap program pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan industri rumah tangga pangan (IRTP) di Kabupaten Cianjur.

Tujuan umum kajian ini adalah mengevaluasi efektifitas program pembinaan dan pengawasan mutu dan kemanan pangan IRTP yang diselenggarakan Pemerintah Kabupaten Cianjur cq. Dinas Kesehatan. Tujuan khusus kajian ini adalah: 1) memperoleh informasi mengenai regulasi, program dan anggaran, 2) memperoleh informasi mengenai kesesuaian praktik CPPB IRT pada IRTP di Kabupaten Cianjur, dan 3) menyusun rekomendasi untuk peningkatan efektifitas program pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan IRTP di Kabupaten Cianjur.

Penelitian dilakukan di Kabupaten Cianjur, dari Januari 2012 sampai November 2012. Tahapan penelitian meliputi identifikasi regulasi keamanan pangan yang dirujuk oleh Pemerintah Kabupaten Cianjur, identifikasi program dan anggaran dalam penyuluhan keamanan pangan, survei penerapan CPPB IRT, analisis hasil penelitian, dan penyusunan rekomendasi penelitian. Data primer diperoleh dari survei dan data sekunder diperoleh dari berbagai dokumen Pemerintah Kabupaten Cianjur. Jumlah sampel yang disurvei 10%, diambil dengan cara purposive sampling dari jumlah populasi jenis pangan IRTP peserta penyuluhan keamanan pangan tahun 2008 – 2011, yaitu 71 responden IRTP.

Kajian terhadap materi pelatihan menunjukkan bahwa regulasi yang dirujuk dalam materi penyuluhan keamanan cukup memadai tetapi belum lengkap, karena sebagian regulasi pokok yang umum digunakan dalam pembinaan IRTP tidak turut dirujuk dan disosialisasikan. Pemerintah Kabupaten Cianjur belum mengembangkan regulasi daerah terkait mutu dan keamanan pangan. Program dan kegiatan dirancang berorientasi output dan outcome. Evaluasi kinerja program dan kegiatan didasarkan pada dampak yang dihasilkan dari kegiatan (outcome) dengan pendekatan Model Logika.

Hasil kajian terhadap responden IRTP peserta penyuluhan keamanan pangan tahun 2008 – 2011 menunjukkan 82% IRTP telah memenuhi prasyarat dasar untuk berproduksi dan mengedarkan produknya. Ada 11% responden IRTP

(5)

IRTP yang sudah memiliki SPP-IRT tetapi tidak dapat menunjukkan SPKP-nya. Pencapaian 100% terhadap target sesungguhnya baru pada tahap output kegiatan (bersifat kuantitatif), belum sampai pada dampak yang dikehendaki dari program tersebut (outcome).

Alokasi anggaran program untuk lima tahun (2006 – 2011), dan realisasinya tahun 2007, 2008 dan 2009, hanya ditujukan untuk kegiatan penyuluhan keamanan pangan dan sertifikasi produksi pangan IRT, belum termasuk untuk kegiatan pengawasan dan pembinaan bagi seluruh IRTP yang telah terdaftar pada Dinas Kesehatan Kabupaten Cianjur. Realisasi anggaran untuk program pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan IRTP di Kabupaten Cianjur masih sangat kurang.

Hampir enam per sepuluh (58,94%) responden IRTP telah menerapkan beberapa parameter CPPB IRT dengan nilai Baik, antara lain lingkungan produksi, peralatan produksi, fasilitas dan kegiatan higiene dan sanitasi, kesehatan dan higiene karyawan, serta aspek penyimpanan. Hampir empat per sepuluh (38%) dinilai masih Kurang pada parameter suplai air dan pengolahan, pengendalian hama, serta kemasan dan pelabelan. Hasil survei juga menunjukkan nilai rerata kemampuan responden IRTP dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam tes adalah 69,59 (%).

Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, efektifitas program pengawasan dan pembinaan mutu dan keamanan pangan dinilai berada pada tingkat efektifitas sedang. Sebagai tindak lanjut dari hasil kajian ini direkomendasikan kepada Pemerintah Kabupaten Cianjur cq. Dinas Kesehatan agar meningkatkan frekuensi sosialisasi regulasi mutu dan keamanan pangan secara lengkap dan melandaskan program dan kegiatan di bidang pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan IRTP pada regulasi yang berlaku, termasuk regulasi terbaru yang lebih tegas dan ketat, mempertajam outcome program agar lebih dapat diukur dan dievaluasi, mengalokasikan anggaran untuk pengawasan dan pembinaan mutu dan keamanan pangan dengan meningkatkan secara signifikan besaran anggaran yang dibutuhkan, serta meningkatkan frekuensi dan mutu penyuluhan dan melakukan advokasi atau pendampingan kepada IRTP.

Kata kunci : efektifitas, pengawasan mutu dan keamanan pangan, regulasi, program dan anggaran.

(6)

DREITSOHN FRANKLYN PURBA. Effectiveness Assessment of Food Quality and Safety Inspection Program for Household Food Industry (HFI) in Cianjur District. Supervised by LILIS NURAIDA and SUTRISNO KOSWARA.

Improving food quality and safety of household food industry (HFI) to improve the competitiveness of food products, public health, and the regional economy, is depends on the effectiveness of Cianjur District Government to provide guidance and controlling the food quality and safety of HFI. LIPI surveys in 2003 - 2005 for small, micro and medium industries in four provinces, one of which is the West Java regency with one of the location was Cianjur District, stating that the implementation of food quality and safety management system by food small-micro-medium industries has not been fully carried out due to lack of awareness and the quality of the human resources. With a different emphasis, required a new assessment of the food quality and safety extension and supervision program of HFI in Cianjur.

The general objective of this study is to evaluate the effectiveness of food quality and safety extension and inspection programs of HFI held by Cianjur Government cq. Cianjur District Health Office. The specific aims of this study were: 1) to obtain information regarding regulatory, program and budget, 2) to obtain information regarding the suitability of the Good Manufacturing Practices by HFI in Cianjur, and 3) to provide recommendations for improving the effectiveness of food quality and safety extension and inspection programs in the Cianjur District.

The study was conducted in Cianjur, from January 2012 until November 2012. Stages of research include the identification of food safety regulations are referred to by the Government of Cianjur, identification of programs and budgets in food safety education, application of GMP for HFI surveys, analysis of the results of the study, development of recommendations. Data were obtained from the various Government documents and trough surveys. Number of samples surveyed were 10% (71 HFI), taken by purposive sampling of the total population of HFI participant in food quality dan safety improvement program between 2008 - 2011.

The regulations referred to in the food safety extension material was sufficient but not complete, because not all regulations related to HFI were not socialized. Cianjur District Government has not developed local regulations related to food quality and safety inspection. Programs and activities were designed output and outcome oriented. Performance evaluation programs and activities based on the impact resulting from activities (outcomes) with Logic Model approach.

Output of food quality and safety extension and inspection program showed 82% HFI meets the basic prerequisites. There were 11% do not have a certificate of HFI production and the certificate of food safety extension, and 7% who already have certificate of HFI production but can not show their certificate of food safety extension.

(7)

and safety was still limited and focused only on extension and certification of HFI activities. Controlling and supervision was not included in the budget structure. Realization of the budget for food quality and safety of HFI program in Cianjur is still lacking.

Nearly six in ten (58.94 %) respondents have implemented several parameters of GMP for HFI with good values, such as the production environment, production equipment, facilities and activities of hygiene and sanitation, health and hygiene of employees, and storage aspects. Nearly four in ten (38%) were still less on the parameters of water supply and treatment, pest control, and packaging and labeling. The survey results also showed the mean ability HFI respondents in answering the questions in the test were 69.59 (%).

Based on analysis on the regulatory, program and budget, understanding and application of GMP for HFI, the food quality anda safety supervision and extension program as being at moderate levels of effectiveness. As a follow up Cianjur District Government is recommended to prmote the dissemination of food quality and safety regulations, including latest regulations, sharpening the target program outcomes, increase the budgets, and improve the quality and frequency of extension and advocacy program to HFI.

Keywords : effectiveness, food quality and safety inspection, regulatory, program, budget.

(8)

©

Hak Cipta milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta dilindungi Undang Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagaian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi

pada

Program Studi Magister Profesi Teknologi Pangan

DREITSOHN FRANKLYN PURBA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

KAJIAN EFEKTIVITAS PROGRAM PENINGKATAN MUTU

DAN KEAMANAN PANGAN INDUSTRI RUMAH TANGGA

(10)
(11)

(lR TP) di Kabupaten Ciaanjur

Nama : Dreitsohn Franklyn Purba

NIM : F 252100155

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Lilis Nuraida, MSc. Ketua

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Magister Profesi Teknologi Pangan

Dr. Ir. Nurheni Sri Pa1upi, MS

o a

Nnv

{01~ Tanggal Ujian: 16 Agustus 2013 Tanggal Lulus:

(12)

Cianjur

Nama : Dreitsohn Franklyn Purba NIM : F 252100155

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Lilis Nuraida, MSc. Ir. Sutrisno Koswara, MS.

Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Magister Profesi Teknologi Pangan

Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr

(13)

Pujian dan syukur penulis persembahkan kepada Tuhan Yesus Kristus, “roti hidup”, atas kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tema yang dipilih dalam penelitian kajian yang dilaksanakan sejak Januari 2012 sampai November 2012 ini ialah mutu dan keamanan pangan, dengan judul Kajian Efektivitas Program Peningkatan Mutu dan Keamanan Pangan Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) di Kabupaten Cianjur.

Dari hati yang tulus, penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Lilis Nuraida, MSc dan Bapak Ir. Sutrisno Koswara, MS, selaku pembimbing yang telah memberikan masukan, arahan, dan dorongan selama penelitian dan penulisan tugas akhir ini, serta kepada Bapak Dr. Ir. Eko Hari Purnomo, MSc atas saran dan masukan yang konstruktif untuk penyempurnaan tesis ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh pimpinan dan staf pengajar dan tenaga kependidikan Program Studi Magister Profesi Teknologi Pangan SPs IPB yang telah banyak membantu penulis selama studi. Di samping itu penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala Dinas Kesatuan Bangsa dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Cianjur dan stafnya, yaitu Ibu Oom K dan Bapak Ferry, yang telah membantu penulis memperoleh data IRTP yang dibutuhkan. Terima kasih juga penulis haturkan kepada keluarga besar YMPD Bandung dan STT SAPPI Cianjur atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan studi.

Ungkapan terima kasih spesial penulis sampaikan kepada istri tercinta, Romida Uli Hutahaean, STP, penolong yang tangguh dan “tangan kanan” penulis dalam menempuh studi dan menyelesaikan tugas akhir ini. Juga kepada kedua anak kami Noah dan Nathan, yang menjadi penghiburan dan penyemangat bagi penulis.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kemajuan industri rumah tangga pangan di Indonesia umumnya dan di Kabupaten Cianjur khususnya.

Bogor, Agustus 2013 D. Franklyn Purba

(14)

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xv

DAFTAR LAMPIRAN xvi

1. PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 3

Ruang Lingkup Kajian 3

2. TINJAUAN PUSTAKA 3

Mutu dan Keamanan Pangan IRTP 3

Pemangku (Stakeholders) Jaminan Mutu dan Keamanan PanganIRTP 6

Pembinaan IRTP 11

Sertifikasi Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT) 13

3. METODE PENELITIAN 14

Tempat dan Waktu 14

Bahan dan Alat 14

Pelaksanaan Penelitian 14

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 19

Regulasi Pengawasan Mutu dan Keamanan Pangan 19 Program dan Anggaran Pemerintah Kabupaten Cianjur dalam

Pengawasan Mutu dan Keamanan Pangan 30

Kajian Penerapan CPPB (Cara Produksi Pangan yang Baik) IRTP

(Industri Rumah Tangga Pangan) di Kabupaten Cianjur 37

Analisis Hasil Survei 57

Penyusunan Rekomendasi 63

5. SIMPULAN DAN SARAN 64

Simpulan 64

Saran 64

DAFTAR PUSTAKA 66

LAMPIRAN 70

(15)

1. Data kasus keracunan pangan tahun 2001 – 2008 5 2. Data KLB keracunan pangan 5 (lima) daerah di Pulau Jawa

tahun 2001 – 2008 6

3. Indikator dan kategori IMKM menurut jumlah pekerja, volume

penjualan dan total aset 11

4. Pedoman yang digunakan dalam pembinaan mutu dan keamanan

pangan bagi IRTP di tingkat kabupaten/kota 12

5. Undang-Undang RI yang dirujuk dalam Materi Sosialisasi Keamanan Pangan bagi industri rumah tangga di Kabupaten Cianjur 20 6. Peraturan Pemerintah yang dirujuk dalam Materi Sosialisasi Keamanan

Pangan bagi industri rumah tangga di Kabupaten Cianjur 22 7. Keputusan Bersama Menteri yang dirujuk dalam Materi Sosialisasi

Keamanan Pangan bagi industri rumah tangga di Kabupaten Cianjur 24 8. Peraturan atau Keputusan Menteri yang dirujuk dalam Materi

Sosialisasi Keamanan Pangan bagi industri rumah tangga

di Kabupaten Cianjur 25

9. Surat Keputusan Dirjen POM yang dirujuk dalam Materi Sosialisasi

Keamanan Pangan bagi industri rumah tangga di Kabupaten Cianjur 28 10.Surat Keputusan Kepala LPNK yang dirujuk dalam Materi Sosialisasi

Keamanan Pangan bagi industri rumah tangga di Kabupaten Cianjur 29 11.Regulasi Pemerintah Daerah yang terkait dengan pengamanan pangan,

pembinaan, pengawasan dan pengendalian perdagangan pangan 30 12.Program SKPD (Dinas) Kesehatan Kab. Cianjur 2006 – 2011 yang

berkaitan dengan pengawasan mutu dan keamanan pangan 31 13.Rencana Kinerja Tahunan Dinas Kesehatan Kab Cianjur Tahun

Anggaran 2007, 2008, dan 2009 dalam Bidang Keamanan

Pangan IRT 32

14.Perbandingan materi penyuluhan keamanan pangan yang diatur BPOM RI dan yang disajikan Dinas Kesehatan Kab. Cianjur dan

Jawa Barat 36

15.Jumlah IRT makanan/pangan yang terdaftar pada Dinas Kesehatan

Kab. Cianjur Tahun 2006 – 2011 38

16.Profil responden IRTP berdasarkan jenis pangan yang diproduksi 39

17.Penggolongan sektor industri pengolahan 41

(16)

1. Evaluasi program dengan Model Logika (Logic Model) 18 2. Kesadaran responden akan keharusan SPKP dan P-IRT 33 3. Cara responden mengetahui informasi penyelangaraan penyuluhan

SPKP/P-IRT 33

4. Pihak yang memberitahukan cara memperoleh NIE/nomor P-IRT dan

SPKP 34

5. Konfirmasi responden terhadap aktivitas Dinas Kesehatan

Kab. Cianjur sebelum dan setelah penyuluhan keamanan pangan 35 6. Tingkat kemudahan materi penyuluhan untuk dipahami dan

diterapkan menurut persepsi responden IRTP 37

7. Persepsi responden IRTP terhadap manfaat penyuluhan keamanan

pangan 37

8. Profil responden berdasarkan kepemilikan 39

9. Profil responden berdasarkan kepemilikan NIE dan SPKP 40 10.Penggolongan skala industri responden IRTP berdasarkan jumlah

karyawan 42

11.Profil tingkat pendidikan pemilik/penanggung jawab IRTP 42 12.Profil tingkat pendidikan tertinggi karyawan IRTP 43 13.Letak IRTP dan ketersediaan sarana pembuangan sampah/limbah 44 14.Kondisi kemudahan pembersihan bangunan dan fasilitas penyimpanan 45 15.Bahan peralatan produksi dan kemudahan pembersihan 47 16.Suplai air dan sarana persediaan air di IRTP 47 17.Fasilitas higiene dan sanitasi responden IRTP 49 18.Praktik pencegahan hama ke ruang pengolahan oleh responden IRTP 50 19.Kebijakan terhadap responden IRTP terhada karyawan yang sakit 50

20.Praktik sanitasi responden IRTP 52

21.Bahan kemasan, informasi kedaluwarsa dan kode produksi pada

kemasan pangan produksi responden IRTP 53

22.Kesesuaian label pada kemasan produk pangan responden IRTP dengan PP No 69/1999 dan pedoman tata cara penyelenggaraan SPP IRT 54 23.Ketersediaan ruang penyimpanan pada sarana produksi responden IRTP 55 24.Nilai tes kemampuan dan jumlah responden IRTP dengan tingkat

pendidikannya 56

25.Nilai rerata tes kemampuan per angkatan responden IRTP terkait materi

CPPB IRT 56

26.Rangkuman persentase responden yang memperoleh nilai Baik dan

(17)

1. Kuesioner yang digunakan dalam survei 70 2. Rekomendasi penelitian dari Badan Kesatuan Bangsa Kab. Cianjur 80 3. Surat keterangan penelitian dari Dinas Kesehatan Kabupaten Cianjur 81 4. Penilaian jawaban responden IRTP terhadap pertanyaan kuesioner 82

5. Data karakteristik responden IRTP 85

6. Hasil pengamatan blok II dan III 94

7. Hasil pengamatan blok IV 98

8. Kemampuan responden menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam

tes terkait materi CPPB IRT (blok V) 101

9. Nonparametrik tests dengan metode Kruskal-Wallis Test terhadap

hubungan antara tingkat pendidikan dan kemampuan responden IRTP 103 10. Pengamatan label pada kemasan produk pangan responden IRTP 107 11. Penggolongan industri berdasarkan jumlah karyawan 115

(18)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Peningkatan daya saing produk pangan lokal sangat penting di era globalisasi, karena produk import yang berkualitas dapat masuk dengan mudah mengambil pangsa pasar produk dalam negeri. Daya saing industri pangan dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu faktor internal dan ekternal. Salah satu faktor internal yang sangat penting adalah sistem manajemen mutu dan keamanan pangan industri pangan. Implementasi sistem manajemen mutu dan jaminan keamanan pangan akan memberikan kepastian bahwa suatu produk pangan yang dihasilkan bermutu, aman dan layak dikonsumsi. Dengan demikian, dalam era globalisasi, keamanan pangan menjadi prasyarat bagi industri dalam persaingan global. Tanpa ada kepastian keamanan bagi produk pangan yang dihasilkannya, industri tersebut tidak akan dapat masuk dalam pasar internasional (Hariyadi & Dewanti-Hariyadi, 2009).

Upaya peningkatan mutu dan jaminan keamanan pangan merupakan tanggung jawab semua pihak yang berkepentingan dengan pangan itu sendiri. Dalam hal ini yang memiliki otoritas membuat kebijakan sebagai pedoman dalam memproduksi pangan yang bermutu dan aman untuk dikonsumsi adalah pemerintah. Pemerintah melalui BPOM RI telah membuat kebijakan umum tentang mutu dan keamanan pangan. Pengawasan di tingkat pusat merupakan tanggung jawab BPOM RI dan di tingkat daerah adalah BB POM. Sementara pembinaan di daerah diserahkan kepada pemerintah daerah kota/kabupaten melalui dinas-dinas terkait.

Pemerintah Kabupaten Cianjur sebagai salah satu kabupaten di Indonesia yang merupakan salah satu sentra industri pangan rumah tangga, menetapkan program peningkatan mutu dan pengawasan keamanan pangan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur No 12 Tahun 2006 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Cianjur Tahun 2006-2011. Salah satu visi Kabupaten Cianjur yang ditetapkan dalam peraturan daerah tersebut, adalah Meningkatkan Derajat Kesehatan Masyarakat. Visi ini kemudian dinyatakan dalam agenda pembangunan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Cianjur dengan leading sector Dinas Perindustrian dan Perdagangan untuk peningkatan mutu, dan Dinas Kesehatan untuk pengawasan keamanan pangan.

Dalam Laporan Kegiatan Bimbingan dan Penyuluhan Cara Proses Produksi yang Baik dan Benar bagi Industri Pangan 2008 Dinas Perdagangan dan Industri Kabupaten Cianjur, dinyatakan potensi sentra industri pangan berjumlah 434 unit usaha (formal), dan tenaga kerja 5.776 orang dengan nilai investasi Rp. 9,872 miliar. Dalam laporan tersebut, data industri pangan non-formal (tidak terdaftar) tidak disebutkan dalam angka tersebut, dengan demikian sebenarnya bila dikumulatifkan jumlah industri pangan rumah tangga secara keseluruhan jauh lebih besar. Sebagai perbandingan, disebutkan bahwa total jumlah industri keseluruhan (pangan dan non-pangan) pada tahun 2011 (formal dan non-formal) adalah 19.307 unit usaha dengan jumlah tenaga kerja 61.622 orang dan nilai investasi Rp. 400 miliar lebih. Berdasarkan data yang terbatas ini, diperkirakan

(19)

jumlah industri pangan cukup besar dan nilai investasinya cukup besar. Dengan demikian kontribusi industri pangan terhadap pendapatan asli daerah melalui restribusi atau pajak daerah sangat besar.

Dengan potensi yang sangat besar, maka agar kontribusi sentra industri pangan ini dapat memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan

income perkapita masyarakat, diperlukan program pembinaan dan pengembangan

terhadap industri rumah tangga pangan untuk meningkatkan mutu dan jaminan keamanannya. Pembinaan yang diberikan akan meningkatkan kemampuan serta pemahaman sumber daya manusia tentang cara proses produksi yang baik dan benar. Meningkatnya pemahaman ini akan berdampak pada meningkatnya daya saing produk yang pada akhirnya mampu mengantisipasi peluang dan potensi pasar daerah, nasional, maupun internasional.

Merujuk pada kesimpulan survei IMKM LIPI (2003-2005) terhadap 4 Propinsi (DKI Jakarta, Jawa Barat (Kabupaten Cianjur), Banten dan Jawa Tengah) harapan akan daya saing yang tinggi tersebut belum tercapai, karena sistem manajemen mutu dan keamanan pangan belum sepenuhnya diterapkan. Sistem manajemen mutu yang dimaksud adalah GMP (Good Manufacturing Practices) dan HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point). Survei tersebut menyatakan bahwa 39% pengelola IMKM pangan belum mengenal sistem manajemen mutu, 43% pengelola belum menerapkan sistem manajemen meskipun sudah mengetahui atau mendengar tentang sistem manajemen mutu, dan baru 18% pengelola menerapkannya. Kondisi ini terjadi karena kurangnya kesadaran pengelola industri meskipun sosialisasi terus dilakukan, dan juga karena rendahnya mutu SDM IMKM sehingga implementasi sistem mutu tidak berjalan efektif.

Pengawasan dan pembinaan mutu dan keamanan pangan merupakan domain pemerintah sebagai risk manager dalam pendekatan analisis risiko. Sebagai risk manager, pemerintah telah membuat kebijakan dalam bidang mutu dan keamanan pangan. Sejak tahun 2003, pemerintah menetapkan kebijakan pengawasan mutu dan keamanan pangan dengan sasaran industri rumah tangga pangan, yaitu melalui SK Ka BPOM RI tentang Tata Cara Penyelenggaraan Sertifikasi Produksi Pangan Industri Rumah tangga, SK Ka BPOM RI tentang Pedoman CPPB IRT, dan SK Ka BPOM RI tentang Pedoman Pemeriksaan Sarana Produksi Industri Rumah Tangga. Bertolak dari temuan survei IMKM LIPI (2003-2005) maka diperlukan sebuah kajian untuk mengevaluasi efektifitas Program Pemerintah Kabupaten Cianjur dalam bidang pengawasan mutu dan keamanan pangan yang telah diterapkan selama tiga tahun terakhir periode pemerintahan bupati terpilih 2006 – 2011, yaitu tahun 2008 - 2011.

Tujuan Penelitian

Tujuan umum kajian ini adalah mengevaluasi efektifitas Program Pembinaan dan Pengawasan Mutu dan Kemanan Pangan Industri Rumah Tangga Pangan yang diselenggarakan Pemerintah Kabupaten Cianjur cq. Dinas Kesehatan dan menyusun rekomendasi yang akan disampaikan kepada Pemerintah Kabupaten Cianjur.

(20)

1. Memperoleh informasi mengenai regulasi, program dan anggaran Pembinaan dan Pengawasan Mutu dan Keamanan Pangan IRTP oleh Pemerintah Kabupaten Cianjur cq. Dinas Kesehatan.

2. Memperoleh informasi mengenai kesesuaian praktik CPPB IRT pada IRTP di Kabupaten Cianjur.

3. Menyusun rekomendasi untuk meningkatkan efektifitas Program Pembinaan dan Pengawasan Mutu dan Keamanan Pangan IRTP.

Manfaat Penelitian

Manfaat kajian ini adalah menghasilkan bahan yang dapat dijadikan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Cianjur cq. Dinas Kesehatan tentang tingkat efektifitas pelaksanaan program dan kegiatan pengawasan mutu dan keamanan pangan pada tahun 2006 – 2011. Penetapan efektifitas ini akan memberikan patokan sejauh mana program dan kegiatan pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan telah dicapai. Berdasarkan kondisi terkini maka pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan kepada IRTP diharapkan mendapat prioritas yang lebih tinggi dibandingkan dengan periode sebelumnya, sehingga produk pangan yang dihasilkan IRTP di Kabupaten Cianjur mengalami peningkatan mutu dan keamanan serta daya saing. Sejalan dengan peningkatan mutu dan keamanan produk pangan yang dihasilkan derajat kesehatan masyarakat Kabupaten Cianjur juga akan meningkat.

Ruang Lingkup Kajian

Ruang lingkup dari penelitian kajian ini adalah pengidentifikasian regulasi yang diterbitkan oleh pemerintah pusat dan daerah yang dijadikan rujukan dalam pengwasan mutu dan keamanan pangan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Cianjur, kemudian perencanaan program dan anggaran yang ditetapkan oleh BAPPEDA Kabupaten Cianjur serta pemahaman dan penerapan CPPB IRT oleh IRT Pangan di Kabupaten Cianjur. Pemilihan Kabupaten Cianjur sebagai tempat pelaksanaan penelitian kajian didasarkan pada pertimbangan bahwa Kabupaten Cianjur merupakan salah satu sentra IRTP dan pedagang produk pangan IRT (oleh-oleh) khas daerah Cianjur yang membutuhkan peningkatan mutu dan keamanan pangan.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Mutu dan Keamanan Pangan IRTP

Menurut Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indoensia Tahun 1945 sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Dalam undang-undang

(21)

yang sama dan dalam PP No 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, keamanan pangan didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Karena pangan berpotensi terkontaminasi oleh bahaya biologis, kimia, dan benda-benda lain (bahaya fisik) maka penting dikemukakan bahwa menjamin keamanan pangan secara total sehingga tidak ada risiko yang membahayakan sama sekali (zero rizk) dapat diakatakan merupakan hal yang mustahil (Hariyadi dan Dewanti-Hariyadi, 2009). Oleh sebab itu, yang dapat dilakukan adalah meminimalkan risiko dengan cara mengelola dan mengendalikan risiko. Pendekatan ini disebut sebagai analisis risiko, yaitu suatu proses sistematis dalam memfokuskan pada penanggulangan kemungkinan terjadinya gangguan kesehatan di sepanjang proses rantai pangan dan mengendalikan risiko tersebut seefektif mungkin (Rahayu dan Nababan, 2011).

Analisis risiko merupakan interaksi dari tiga komponen yaitu kajian risiko, manajemen risiko, dan komunikasi risiko (CAC, 2007). Manajemen risiko merupakan komponen yang membuat dan menerapkan kebijakan dengan mempertimbangkan masukan dari pihak-pihak terkait mengenai kajian risiko dan faktor lain yang relevan untuk melindungi kesehatan konsumen (Rahayu, 2011). Dalam rangka menerapkan kebijakan tersebut maka diperlukan landasan hukum antara lain undang-undang dan regulasi. Regulasi merupakan bagian dari manajemen risiko yang mengatur implementasi undang-undang secara teknis di lapangan. Regulasi mutu dan keamanan pangan merupakan peraturan-peraturan untuk mengimplementasikan perundang-undangan di bidang pangan secara teknis di sepanjang mata rantai pangan (from farm to table).

Tujuan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan pangan menurut UU RI Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan adalah tersedianya pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi kepentingan kesehatan manusia, dan terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab (Pemerintah RI, 2012). Pengaturan ditujukan kepada semua stakeholder pangan yang mencakup produsen, konsumen, dan pemerintah. Dengan demikian pemenuhan akan pangan yang aman merupakan tanggung jawab bersama (shared

responsibility) antara pemerintah dan produsen serta konsumen (Hariyadi, 2007)

Pemerintah Kabupaten Cianjur cq. Dinas Kesehatan merupakan salah satu pemegang kepentingan dari pihak pemerintah pusat di daerah. Menurut PP No 28 Thn 2004, bupati/walikota, dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Cianjur, berkewajiban melakukan pembinaan dan pengawasan dengan mengacu pada regulasi yang berlaku, dan bersamaan dengan hal tersebut juga mensosialisasikan regulasi yang berlaku kepada pemilik/penanggung jawab IRTP (Pemerintah RI, 2004).

Berdasarkan aspek legal formal, pemerintah telah memberikan perhatian terhadap mutu dan keamanan pangan melalui pemberlakuan UU RI Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Meskipun begitu, kinerja mutu dan keamanan pangan di Indonesia belum memadai. Penyebabnya antara lain adalah 1) infrastruktur yang belum mantap, 2) tingkat pendidikan produsen dan konsumen yang masih rendah, 3) sumber dana yang terbatas, dan 4) produksi makanan masih didominasi oleh industri kecil dan menengah dengan sarana/prasarana yang kurang memadai. Namun demikian, akar masalah utama keamanan pangan di

(22)

Indonesia adalah belum dipahami dan disadarinya arti strategis keamanan pangan dalam pembangunan nasional oleh pembuat dan pelaksana kebijakan (Hariyadi, 2007)

Secara nasional kondisi kinerja praktik keamanan pangan bisa dilihat dari data keracunan pangan pada tahun 2001-2008 dari BPOM dalam Tabel 1. Data pada Tabel 1 harus dipahami bahwa data yang terdapat di dalamnya merupakan kasus yang terlaporkan, artinya masih ada kasus-kasus lain yang tidak terlaporkan, biasanya dapat mencapai 99% lebih pada negara-negara berkembang termasuk Indonesia (WHO, 1984). WHO menyatakan bahwa setiap satu (1) orang atau kasus yang berkaitan dengan penyakit karena pangan di negara berkembang, paling tidak terdapat 99% orang atau kasus lain yang tidak tercatat.

Tabel 1. Data kasus keracunan pangan tahun 2001 – 2008

Keterangan Tahun

Rata-rata 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Jumlah kasus (KLB) 26 43 34 164 184 159 179 197 123 Makan tetapi tidak sakit 1965 6543 8651 22297 23864 21145 19120 25268 16107 Sakit (kasus/ korban) 1183 3635 1843 7366 8949 8733 7471 8943 6015 Meninggal 16 10 12 51 49 40 54 79 38

Jenis Pangan Penyebab Keracunan (%)

Masakan RT 19,23 18,60 32,35 53,66 42,39 42,77 58,10 41,62 38,89 Pangan Olahan 19,23 18,60 26,47 15,24 15,22 23,21 12,29 15,74 18,25 Pangan Jasa Boga 42,31 34,88 29,41 15,24 21,20 27,04 15,08 25,89 26,38 Jajanan 19,23 16,28 5,88 12,20 17,93 16,35 10,06 15,74 14,21 Lain-lain - - - 0,63 4,47 1,02 0,77 Belum dilaporkan - 11,63 5,88 3,66 3,26 - - - 3,05

Agen Penyebab Keracunan (%)

Mikroba 23,08 27,91 26,47 21,95 15,22 15,72 16,20 27,41 21,75 Kimia 19,23 13,95 2,94 13,41 7,61 9,43 13,97 18,78 12,42 Tidak terdeteksi 57,69 58,14 70,59 27,44 52,72 66,67 64,25 43,15 55,08 Tidak ada sampel - - - 37,20 24,46 8,18 5,59 10,66 10,76

Sumber: BPOM RI, 2011

Data dalam Tabel 1 menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan kuantitas keracunan baik dari segi kasus maupun korban. Kemudian jenis pangan penyebab keracunan pangan umumnya disebabkan oleh pangan masakan rumah tangga, disusul pangan jasa boga dan pangan olahan. Agen penyebab keracunan yang terdeteksi adalah mikroba dan agen kimia, sedangkan agen lainnya tidak terdeteksi.

(23)

Pangan yang dihasilkan UKM/IRTP sebagian besar dikonsumsi masyarakat menengah ke bawah termasuk anak-anak sekolah. Penyakit karena keracunan pangan yang sering ditemukan adalah diare, yaitu gejala ringan karena keracunan pangan. Hal ini disebabkan oleh kontaminasi dari agen biologi, yaitu mikroba. Keracunan lainnya disebabkan oleh agen kimia dan fisik. Kontaminasi bahaya biologi, kimia, dan fisik ini terutama terjadi karena ketidaksengajaan, ketidaktahuan, dan ketidakpedulian masyarakat.

Masalah utama dari produksi Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) adalah karena rendahnya tingkat higienitas fasilitas dan kegiatan produksi, serta sanitasi yang tidak memadai. Data hasil pemeriksaan BPOM tahun 2009, menunjukkan bahwa sebesar 32 persen sarana produksi dari 1.379 industri rumah tangga terdaftar yang diperiksa, kurang memenuhi standar higienitas dan sanitasi. Sementara IRTP yang tidak terdaftar, dari 682 unit yang diperiksa, 53 persen diantaranya dinilai kurang memenuhi standar higienitas dan sanitasi (BPOM RI, 2011). Dengan demikian upaya pengawasan dan peningkatan keamanan pangan IRTP sangat penting.

Tabel 2. Data KLB keracunan pangan 5 (lima) daerah di Pulau Jawa tahun 2001 – 2008 No Wilayah Cathment BB/Balai POM

Angka KLB per Tahun (dalam persen) Rata -rata 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 1 DKI Jakarta 15,38 13,95 11,76 7,93 5,98 1,26 1,68 1,52 7,43 2 Jawa Barat 15,38 30,23 5,88 18,90 16,85 18,87 19,55 21,83 18,44 3 Jawa Tengah 30,77 13,95 23,53 8,54 13,04 10,69 8,38 8,12 14,63 4 DI Yogyakarta 3,85 0,00 5,88 7,93 6,52 8,81 6,70 7,11 5,85 5 Jawa Timur 0,00 2,33 8,82 8,54 4,35 5,03 4,47 3,55 4,64 Sumber: BPOM, 2011

Kasus keracunan pangan yang terlaporkan di beberapa daerah (diambil hanya daerah-daerah di Pulau Jawa) pada kurun waktu 2001 – 2008 dari BPOM dapat dilihat pada Tabel 2. Data keracunan pangan yang terlaporkan dari daerah-daerah di Pulau Jawa lebih tinggi bila dibandingkan dengan daerah-daerah di luar pulau Jawa. Berdasarkan data Tabel 2, diketahui bahwa angka rata-rata KLB di Jawa Barat, memiliki persentasi tertinggi dibandingkan dengan daerah lainnya. Persentasi tersebut secara umum dapat menjadi indikasi kondisi kinerja keamanan pangan di Jawa Barat masih lemah.

Pemangku (Stakeholders) Jaminan Mutu dan Keamanan Pangan IRTP Keamanan pangan harus ditangani secara terpadu, melibatkan berbagai

stakeholders; baik dari pemerintah, industri, dan konsumen. Karena itu, pada

dasarnya upaya penjaminan keamanan pangan di suatu negara merupakan tanggung jawab bersama (shared responsibility) oleh berbagai stakeholder

(24)

tersebut (WHO, 2004). Masing-masing stakeholder memiliki peranan masing-masing yang strategis. Menurut Haryadi, tanggung jawab pemerintah dalam kebijakan mutu dan keamanan pangan adalah 1) menyusun legislasi dan peraturan hukum di bidang pangan, 2) memberikan masukan dan bimbingan pada industri pangan, 3) memberikan pendidikan bagi masyarakat konsumen tentang pentingnya keamanan pangan, 4) melakukan pengumpulan informasi dan penelitian di bidang keamanan pangan, dan 5) menyediakan sarana dan prasarana pelayanan yang terkait dengan bidang kesehatan (Hariyadi, 2007).

Masih menurut Hariyadi (2007), peranan pihak industri (termasuk IRTP) adalah mengembangkan dan melakukan penjaminan 1) terlaksananya cara-cara yang baik dalam pengolahan, penyimpanan, dan distribusi pangan, 2) pengendalian dan jaminan mutu pangan olahan, 3) teknologi dan pengolahan pangan, 4) tersedianya manager dan tenaga pengolahan pangan yang terlatih, dan 5) pelabelan yang informatif dan pendidikan konsumen. Sedangkan konsumen bertanggung jawab dalam hal, 1) memperoleh pengetahuan umum yang berhubungan dengan keamanan pangan, 2) berperilaku selektif dalam menentukan pilihan produk, 3) melaksanakan praktek penanganan pangan di rumah secara baik dan aman, 4) membangun partisipasi masyarakat, dan 5) membangun kelompok-kelompok konsumen yang aktif.

Peraturan Pemerintah RI No. 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan menyebutkan bahwa pembinaan terhadap produsen pangan siap saji dan industri rumah tangga (IRTP) dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, sedangkan pembinaan kepada pihak pemerintah Kabupaten/Kota dan masyarakat dilaksanakan oleh Badan POM. Dalam Perda Provinsi Jawa Barat No. 11 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Kesehatan, dinyatakan bahwa Pemerintah Daerah melaksanakan pengaturan, pembinaan, pengawasan dan pengendalian terhadap perdagangan farmasi, alat kesehatan dan makanan. Pengaturan, pembinaan, pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud dapat dilakukan bersama-sama dengan Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (Pemprov Jabar, 2010).

Pemangku jaminan pengawasan mutu dan keamanan pangan nasional, dalam hal ini pemerintah di tingkat pusat yang memiliki peranan antara lain Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan Balai Pengawasan Obat dan Makanan. Di tingkat daerah pemangku jaminan pengawasan mutu dan keamanan pangan adalah Pemerintah Provinsi, Balai Besar POM Daerah, dan Pemerintah Kabupaten/ Kota. Dalam hal ini, pelaksana pembinaan di daerah adalah dinas-dinas terkait yaitu dinas kesehatan dan dinas perindustrian/perdagangan, baik di tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota.

Berdasarkan PP No. 28 Tahun 2004 penanggung jawab bidang keamanan pangan di tingkat pusat adalah Menteri Kesehatan, Menteri Perindustrian, Menteri Pertanian, Menteri Perikanan, Menteri Kehutanan dan Kepala Badan POM. Di Daerah penanggung jawab jaminan keamanan pangan adalah Pemerintah Provinsi, Balai Besar POM, dan Pemerintah Kabupaten/Kota melalui dinas-dinas terkait.

Sesuai dengan ruang lingkup kajian ini, maka paparan tentang peranan pemangku jaminan keamanan pangan tingkat pusat hanya menguraikan Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian, dan Badan POM.

(25)

Kementerian Kesehatan

Salah satu misi Kementerian Kesehatan dalam rangka mewujudkan masyarakat yang sehat mandiri dan berkeadilan, adalah melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata bermutu, dan berkeadilan dengan melibatkan masyarakat dan swasta. Dalam kaitannya dengan mutu dan keamanan pangan, strategi untuk mewujudkan misi tersebut adalah meningkatkan ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat dan alat kesehatan serta menjamin keamanan, khasiat, kemanfaatan, dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan; serta meningkatkan manajemen kesehatan yang akuntabel, transparan berdaya guna dan berhasil guna untuk memantapkan desentralisasi kesehatan yang bertanggung jawab (Kemenkes RI, 2011).

Kementerian Kesehatan RI mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian urusan pemerintahan di bidang kesehatan. Salah satu fungsinya adalah merumusan kebijakan nasional, kebijakan pelaksanaan dan kebijakan teknis di bidang kesehatan. Dalam kaitannya dengan pengawasan mutu dan keamanan pangan, Kementerian Kesehatan mempunyai beberapa wewenang antara lain, menetapkan pedoman untuk menentukan standar pelayanan minimal yang wajib dilaksanakan oleh kabupaten/kota di bidang kesehatan; pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan otonomi daerah yang meliputi pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan dan supervisi di bidang kesehatan; menetapkan kebijakan sistem jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat; surveilans epidemiologi serta pengaturan pemberantasan dan penanggulangan wabah, penyakit menular dan kejadian luar biasa (KLB) (Kemenkes, 2011).

Menurut PP No 28 Tahun 2004 dalam kaitannya dengan keamanan, mutu, dan gizi pangan, Kementerian Kesehatan diberi tanggung jawab untuk mengatur persyaratan sanitasi yang meliputi antara lain: a) sarana dan/atau prasarana; b) penyelenggaraan kegiatan; dan c) orang perseorangan. Sementara pemenuhan persyaratan sanitasi di seluruh kegiatan rantai pangan dilakukan dengan cara menerapkan pedoman cara yang baik yang meliputi: a) Cara Budidaya yang Baik; b) Cara Produksi Pangan Segar yang Baik; c) Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik; d) Cara Distribusi Pangan yang Baik; e) Cara Ritel Pangan yang Baik; dan f) Cara Produksi Pangan Siap Saji yang Baik.

Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik (CPPB) adalah cara produksi yang memperhatikan aspek keamanan pangan, antara lain dengan cara: a) mencegah tercemarnya pangan olahan oleh cemaran bologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan; b) mematikan atau mencegah hidupnya jasad renik patogen, serta mengurangi jumlah jasad renik lainnya; dan c) mengendalikan proses, antara lain pemilihan bahan baku, penggunaan bahan tambahan pangan, pengolahan, pengemasan, penyimpanan atau pengangkutan. Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik (CPPOB) ditetapkan oleh Kementerian Perindustrian (dan Perikanan) (Dinas Perdagangan dan Industri Kabupaten Cianjur, 2008). Sedangkan Pedoman Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB) untuk pangan olahan tertentu ditetapkan oleh Kepala Badan POM (BPOM RI, 2003).

(26)

Kementerian Perindustrian

Selain memberikan izin industri, lingkup tugas Kementerian Perindustrian dalam memberikan jaminan mutu dan keamanan pangan adalah melakukan pembinaan melalui Dinas Perindustrian (dan Perdagangan) Kota/Kabupaten kepada industri rumah tangga pangan. Salah satu pembinaan yang diberikan kepada industri rumah tangga pangan adalah cara proses produksi yang baik dan benar, yang penekanannya adalah pada pengendalian proses antara lain pemilihan bahan baku, aturan penggunaan bahan tambahan pangan, pengolahan pangan, teknik pengemasan, penyimpanan serta transportasi.

Badan POM

Badan Pengawasan Obat dan Makanan merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang bertanggung jawab kepada Presiden RI. Fungsi Badan Pengawasan Obat dan Makanan yang terkait dengan mutu dan keamanan pangan antara lain, melakukan pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan obat dan makanan; melaksanakan kebijakan tertentu di bidang pengawasan obat dan makanan; melakukan pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap kegiatan instansi pemerintah di bidang pengawasan obat dan makanan (BPOM, 2011). Dalam rangka memberikan jaminan mutu dan keamanan pangan, BPOM melakukan dua tahap pengawasan yaitu pre-market

evaluation dan post-market vigilance. Pre-market evaluation dilakukan dengan

evaluasi dan pendaftaran terhadap produk pangan sebelum diedarkan, sedangkan

post-market vigilance merupakan pengawasan produk pangan setelah beredar di

pasar yang dilakukan dengan pengambilan sampel produk pangan di lapangan dan diuji di laboratorium, pemeriksaan sarana produksi dan distribusi. Penyidikan dan penegakan hukum dilakukan apabila ditemukan produk pangan dari industri pangan tertentu yang melanggar peraturan yang telah ditetapkan (BPOM, 2011).

Dalam melakukan pengawasan obat dan makanan yang memiliki aspek permasalahan berdimensi luas dan kompleks, maka BPOM membuat sistem pengawasan yang komprehensip, semenjak awal proses suatu produk hingga produk tersebut beredar di tengah masyarakat, yang disebut SISPOM (Sistem Pengawasan Obat dan Makanan). Untuk menekan sekecil mungkin risiko yang bisa terjadi, dilakukan SISPOM tiga lapis yakni: a) subsistem pengawasan produsen, b) subsistem pengawasan konsumen, dan c) subsistem pengawasan pemerintah/BPOM (BPOM, 2011).

Subsistem pengawasan produsen dilakukan dengan pengawasan internal oleh produsen melalui pelaksanaan cara-cara produksi yang baik (CPPB) atau

good manufacturing practices (GMP) agar setiap bentuk penyimpangan dari

standar mutu dapat dideteksi sejak awal. Subsistem pengawasan konsumen dilakukan oleh masyarakat konsumen sendiri melalui peningkatan kesadaran dan peningkatan pengetahuan mengenai kualitas produk yang digunakannya dan cara-cara penggunaan produk yang rasional. Subsistem pengawasan pemerintah/BPOM dilakukan oleh pemerintah melalui pengaturan dan standardisasi; penilaian keamanan, khasiat dan mutu produk sebelum diizinkan beredar di Indonesia; inspeksi, pengambilan sampel dan pengujian laboratorium produk yang beredar serta peringatan kepada publik yang didukung penegakan hukum. Untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat konsumen terhadap mutu,

(27)

khasiat dan keamanan produk maka pemerintah juga melaksanakan kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi (BPOM, 11).

Pemerintah Daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota)

Dalam melaksanakan pengawasan mutu dan keamanan pangan, Gubernur atau Bupati/Walikota berwenang melakukan pemeriksaan dalam hal terdapat terjadinya pelanggaran hukum dibidang pangan segar. Kepala Badan POM berwenang melakukan pemeriksaan dalam hal terdapat dugaan terjadinya pelanggaran hukum dibidang pangan olahan. Pemerintah daerah dalam hal ini Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota diberikan wewenang melakukan pemeriksaan dalam hal terdapat dugaan terjadinya pelanggaran hukum di bidang pangan siap saji dan pangan olahan hasil industri rumah tangga. Pembinaan terhadap produsen pangan olahan dilaksanakan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang perindustrian, pertanian atau perikanan sesuai bidang tugas dan kewenangan masing-masing. Pembinaan terhadap produsen pangan olahan tertentu dilaksanakan oleh Kepala Badan (POM). Pembinaan terhadap produsen pangan siap saji dan industri rumah tangga pangan dilaksanakan oleh bupati/walikota. Pembinaan terhadap Pemerintah Daerah dan masyarakat di bidang pengawasan pangan dilaksanakan oleh Kepala Badan (BPOM) (PP No. 28 Tahun 2004).

Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur dalam RPJMD 2006-2011 telah menetapkan visi di bidang kesehatan yaitu meningkatkan derajat kesehatan

masyarakat. Visi ini diwujudkan dalam program pembangunan oleh Badan

Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Cianjur dengan leading sector Dinas Perindustrian dan Perdagangan untuk peningkatan mutu, dan Dinas Kesehatan untuk pengawasan keamanan pangan (Pemkab Cianjur, 2006). Pada lingkup yang lebih kecil Pemerintah Daerah Cianjur cq. Dinas Kesehatan secara vertikal juga merupakan kepanjangan tangan dari Kementerian Kesehatan. Demikian juga Dinas Perindustrian merupakan kepanjangan tangan dari Kementerian Perindustrian dalam membina semua industri, termasuk industri rumah tangga pangan.

Balai Besar/Balai POM Daerah

Balai Besar POM Daerah (Bandung-Jawa Barat) merupakan perangkat Badan POM RI di daerah Jawa Barat untuk menyelenggarakan misi antara lain, a) melakukan pengawasan Pre-Market dan Post-Market berstandar Internasional, b) Menerapkan sistem manajemen mutu secara konsisten, c) mengoptimalkan kemitraan dengan pemangku kepentingan di berbagai lini dan d) memberdayakan masyarakat agar mampu melindungi diri dari obat dan makanan yang berisiko terhadap kesehatan. Tugas pokok dan fungsi Balai Besar POM adalah menjadi unit pelaksana teknis di lapangan (daerah) dari Badan POM. Dalam melaksanakan tugas ini Balai Besar POM dapat berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah (Provinsi) dan Kabupaten/Kota terkait dengan tanggung jawab masing-masing dalam hal pengawasan mutu dan keamanan pangan (BPOM, 2011).

(28)

Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP)

Industri Rumah Tangga Pangan (disingkat IRTP) adalah perusahaan pangan yang memiliki tempat usaha di tempat tinggal dengan peralatan pengolahan pangan manual hingga semi otomatis (PP No. 28 Tahun 2004). Definisi lain adalah berdasarkan penggolongan usaha industri pengolahan ke dalam empat kategori berdasarkan jumlah pekerja yang dimiliki oleh suatu usaha tanpa memperhatikan besarnya modal, yaitu: a) industri kerajinan rumah tangga yaitu usaha industri pengolahan dengan pekerja 1 – 4 orang, b) industri kecil yaitu perusahaan/usaha industri pengolahan dengan pekerja 5 – 19 orang, c) industri sedang yaitu perusahaan/usaha industri pengolahan yang mempunyai pekerja 20 – 99 orang, dan d) industri besar yaitu perusahaan/usaha industri pengolahan yang mempunyai pekerja 100 orang atau lebih (Achmadi, 2009).

Definisi IRTP lainnya dapat tergambar berdasarkan indikator dan kategori IMKM (Industri Mikro Kecil dan Menengah) yang digunakan LIPI (2006) yang telah disusun berdasarkan kriteria dari berbagai institusi, dalam Tabel 3 berikut ini. Berdasarkan indikator dan kategori dalam Tabel 3, IRTP termasuk dalam Industri Mikro dan Kecil.

Tabel 3. Indikator dan kategori IMKM menurut jumlah pekerja, volume penjualan dan total aset

Indikator Industri

Mikro Kecil Menengah Pekerja (orang) Sampai 10 10 – 50 50 – 100 Penjualan per tahun (Rp) 50 juta Sampai 1 miliar Sampai 10 miliar Aset (di luar tanah dan

bangunan) - Sampai 200 juta Sampai 1 miliar

Sumber: LIPI (2006)

Industri Mikro Kecil dan Menengah (IMKM), termasuk di dalamnya IRTP, merupakan 20 persen dari total industri. Pada tahun 2005, jumlah IMKM di bidang makanan mencapai 99 persen dari total industri makanan, sedangkan industri makanan bersakala besar hanya sekitar 0,1 persen (LIPI, 2006). Dengan demikian IRTP memiliki nilai strategis dalam peningkatan mutu dan keamanan pangan, sehingga sebagai produsen, IRTP memiliki peran penting untuk menghasilkan produk pangan yang aman dan bebas dari bahan berbahaya terhadap kesehatan konsumen. Sesuai dengan perannya ini, IRTP harus dapat menjamin produk pangan yang dihasilkannya tidak membahayakan kesehatan konsumen. Dalam hal ini jaminan mutu dan keamanan pangan dapat ditempuh dengan melaksanakan prasayarat kunci mutu dan keamanan pangan yang ada dalam Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB IRTP).

Pembinaan IRTP

Menurut PP No. 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan menyebutkan bahwa pembinaan keamanan pangan terhadap produsen

(29)

pangan siap saji dan industri rumah tangga (IRTP) dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, sedangkan pembinaan kepada pihak pemerintah Kabupaten/Kota dan masyarakat dilaksanakan oleh Badan POM (Pemerintah RI, 2004). Pembinaan teknologi, peralatan/permesinan, dan standar mutu, serta pemebrian ijin usaha industri dan perdagangan diberikan oleh Dinas Perindustrian/Perdagangan Kabupaten/Kota.

Pembinaan keamanan pangan oleh Badan POM bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota antara lain melakukan penyuluhan keamanan pangan dalam rangka Sertifikasi Produksi Pangan IRT (SPP-IRT) (Pemerintah RI, 2004). Tujuan penyuluhan keamanan pangan ini adalah membekali penanggung jawab IRTP agar mempuyai komitmen dan kompetensi dalam menghasilkan pangan yang aman dan bermutu bagi konsumen. Dalam hal ini Badan POM berperan sebagai fasilitator dengan cara membuat kurikulum pelatihan dan mencetak Tenaga Penyuluh Keamanan Pangan di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Tenaga Penyuluh Keamanan Pangan ini bertugas menyuluh IRTP. Selain itu Badan POM juga mencetak tenaga District Food Inspector (DFI) atau tenaga pengawas pangan kabupaten/kota dari Dinas Kesehatan. Tenaga DFI ini yang nantinya berkompetensi untuk mengaudit sarana produksi IRTP agar memenuhi persyaratan keamanan pangan (BPOM, 2003b).

Dalam rangka pemenuhan tuntutan persyaratan mutu dan keamanan pangan pada tingkat industri rumah tangga, pemerintah merumuskan berbagai pedoman pelaksanaan pembinaan dan pengawasan serta penerapan persyaratan mutu dan keamanan pangan di tingkat daerah kota/kabupaten, antara lain tertera pada Tabel 4.

Tabel 4. Pedoman yang digunakan dalam pembinaan mutu dan keamanan pangan bagi IRTP di tingkat kabupaten/kota

Sumber: BPOM (2003a, 2003b, 2003c)

No Pedoman Uraian Singkat Sasaran 1 Pedoman Cara

Produksi Pangan yang Baik IRT (SK Ka BPOM RI No: HK.00.05.5.1639)

IRTP menghasilkan produk pangan yang bermutu, aman dikonsumsi dan sesuai dengan tuntutan konsumen Industri Rumah Tangga 2 Pedoman Pemeriksaan Sarana Produksi Pangan IRT (SK Ka BPOM RI No: HK.00.05.5.1641)

Panduan kepada petugas pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan dan penilaian

menyeluruh terhadap semua unsur yang terkait dengan sarana

produksi. Tenaga Penyuluh Keamanan Pangan Kota/ Kabupaten

3 Pedoman Tata Cara Penyelenggaraan Sertifikasi Produksi Pangan IRT

(SK Ka BPOM RI No: HK.00.05.5.1640)

Panduan dalam memberikan penilaian terhadap kesesuaian sarana produksi pangan IRT. Nilai akhir pemeriksaan menjadi

parameter pemenuhan persyaratan yang ditetapkan.

Dinas Kesehatan Kota/ Kabupaten

(30)

Pedoman CPPB IRT meliputi penjelasan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh IRTP dalam penanganan bahan pangan di seluruh mata rantai produksi pangan mulai dari bahan baku sampai produk akhir. Tujuan utama penerapannya adalah agar IRTP menghasilkan produk pangan yang bermutu, aman dikonsumsi dan sesuai dengan tuntutan konsumen. Tujuan khusus adalah memberikan prinsip dasar dalam memproduksi pangan yang baik dan mengarahkan IRTP agar dapat memenuhi berbagai persyaratan yang baik.

Setelah mengikuti pembinaan dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota bekerja sama dengan Badan POM, outcome yang diharapkan dari IRTP adalah upaya pemenuhan persyaratan mutu dan keamanan pangan. Jaminan pemenuhan persyaratan mutu dan keamanan pangan produksi IRTP harus dikonfirmasi melalui pemeriksaan oleh tenaga DFI (District Food Inspector) dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk mendapatkan Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT).

Sertifikasi Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT) Sertifikasi Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT) adalah salah satu bentuk kebijakan pemerintah cq. Badan POM RI dalam mengatur, membina dan mengawasi pangan di Indonesia khususnya pangan hasil produksi Industri Rumah Tangga (IRT). Dalam UU RI Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan pasal 4, penyelenggaraan pangan bertujuan antara lain untuk menyediakan pangan yang beraneka ragam dan memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi konsumsi masyarakat; meningkatkan nilai tambah dan daya saing komoditas pangan di pasar dalam negeri dan luar negeri; serta meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang pangan yang aman, bermutu, dan bergizi bagi konsumsi masyarakat (Pemerintah RI, 2012).

Sertifikasi produksi pangan industri rumah tangga diatur dalam SK Ka BPOM RI No. HK. 00.05.51640 tentang Pedoman Tata Cara Penyelenggaraan Sertifikasi Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT) (BPOM, 2003b). Pedoman ini meliputi tahapan-tahapan yang harus diikuti oleh peserta maupun pelaksana penyuluhan dengan ketentuan-ketentuan yang dipenuhi agar pelaksanaannya sesuai dengan aturan yang berlaku. Salah satu alasan penting mengapa perlu dilakukan SPP-IRT adalah bahwa setiap perusahaan wajib mengetahui dan mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang pangan. Upaya untuk memasyarakatkan higiene dan peraturan perundang-undangan di bidang pangan perlu dilakukan baik melalui jalur pendidikan formal maupun informal (BPOM RI, 2003a).

Tahapan pembuatan sertifikat produksi pangan industri rumah tangga menurut Pedoman Tata Cara Penyelenggaraan Sertifikasi Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT) (BPOM, 2003b) adalah sebagai berikut: 1) Pengambilan formulir SPP-IRT di Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten setempat; 2) Pengisian formulir SPP-IRT dan melengkapi persyaratannya; 3) Pengembalian formulir SPP-IRT yang sudah diisi dengan menyertakan lampirannya ke Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten setempat; 4) Pemilik atau penanggung jawab Industri Rumah Tangga (IRT) mengikuti Penyuluhan Keamanan Pangan (PKP) selama 1 atau 2 hari di Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten setempat. Jadwal penyuluhan

(31)

akan diatur dan diumumkan oleh Dinas Kesehatan setelah kuota minimal terpenuhi; 5) Kunjungan petugas Dinas Kesehatan ke tempat produksi Industri Rumah Tangga (IRT); 6) IRT melakukan perbaikan, jika terdapat temuan oleh petugas Dinas Kesehatan sesuai dengan Pedoman Pemeriksaan Sarana Produksi IRTP (Industri Rumah Tangga Pangan); 7) Penyerahan sertifikat Penyuluhan Keamanan Pangan (PKP) dan sertifikat produksi pangan industri rumah tangga (SPP-IRT) kepada IRT.

Sertifikat Penyuluhan Keamanan Pangan diberikan jika hasil evaluasi (post

test) menunjukkan nilai minimal Cukup (60). Sertifikat Produksi Pangan Industri

Rumah Tangga diberikan jika hasil pemeriksaan sarana setempat telah memenuhi standar persyaratan yang ditetapkan yaitu dengan nilai minimal Cukup.

3

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu

Pelaksanaan penelitian kajian ini dilakukan di Kabupaten Cianjur, sejak Januari 2012 sampai November 2012.

Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan dalam kajian ini adalah berbagai dokumen dari BAPPEDA Kabupaten Cianjur, Dinas Kesehatan Kabupaten Cianjur, Badan Pusat Statistik Kabupaten Cianjur, dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Cianjur. Selain dari dokumen dalam bentuk buku, laporan dan modul pelatihan, data sekunder juga diperoleh dari website resmi Pemerintah Kabupaten Cianjur. Data primer kajian diperoleh melalui survei terhadap pemilik/ penanggung jawab IRTP dengan alat survei berupa kuesioner. Selain kuesioner bahan yang digunakan untuk memperoleh data primer tentang kemasan dan pelabelan produk pangan IRTP dilakukan dengan mengumpulkan kemasan produk dari setiap IRTP yang disurvei dan kemudian dianalisis.

Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian kajian ini meliputi tahapan 1) identifikasi regulasi keamanan pangan yang diterbitkan oleh pemerintah pusat dan daerah yang dirujuk dalam penyuluhan keamanan pangan oleh Pemerintah Kabupaten Cianjur, 2) identifikasi program dan anggaran Pemerintah Kabupaten Cianjur yang berkaitan dengan penyuluhan keamanan pangan, 3) survei penerapan CPPB IRTP di Kabupaten Cianjur, 4) analisis hasil penelitian, dan 5) penyusunan rekomendasi penelitian.

Identifikasi Regulasi Keamanan Pangan yang Dirujuk dalam Penyuluhan Keamanan Pangan oleh Pemerintah Kabupaten Cianjur

(32)

Identifikasi regulasi dimaksudkan untuk mempelajari peraturan tentang mutu dan keamanan pangan yang dijadikan sebagai pedoman oleh Pemerintah Kabupaten Cianjur sebagai penanggung jawab pengawasan dan pembinaan IRTP di wilayah Cianjur. Identifikasi regulasi ini mencakup regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat, dalam hal ini antara lain Badan POM RI, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian dan Perdagangan, serta regulasi daerah dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Cianjur. Selanjutnya mengidentifikasi program-program yang dibuat oleh Pemerintah Kabupaten Cianjur dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan di Kabupaten Cianjur. Regulasi yang digunakan sebagai rujukan dan program kegiatan diperoleh dari laporan-laporan kegiatan BAPPEDA dan Dinas Kesehatan atau laporan-laporan instansi terkait dalam website resmi Pemerintah Kabupaten Cianjur.

Identifikasi Program dan Anggaran Pemerintah Kabupaten Cianjur yang Berkaitan dengan Penyuluhan Keamanan Pangan

Kajian juga dilakukan terhadap program dan anggaran pembinaan kepada IRTP oleh Pemerintah Kabupaten Cianjur (Bappeda, Dinas Kesehatan dan Dinas Perindustrian) yang meliputi penyuluhan, pelatihan, dan pembimbingan IRTP dalam rangka mengimplementasikan CPPB IRT. Data tentang program dan anggaran akan ditelusuri antara lain dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Cianjur, laporan kegiatan atau laporan tahunan instansi-instansi yang berkaitan. Kajian terhadap materi pembinaan (modul pelatihan) bertujuan untuk memastikan kesesuaian dan kelengkapannya dengan regulasi yang dibuat oleh Badan POM RI, CPMB yang dibuat oleh Kementerian Kesehatan.

Survei Penerapan CPPB IRTP di Kabupaten Cianjur Metode sampling dan responden

Pengkajian penerapan CPPB IRTP dimulai dengan pengumpulan data primer melalui survei. Pelaksanaan survei dimulai dengan penetapan kriteria sampel (IRTP) yang akan dijadikan sebagai responden. Populasi IRTP yang akan disurvei adalah IRTP yang sudah mengikuti penyuluhan keamanan pangan yang diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Cianjur. Data terakhir IRTP yang pernah mengikuti pembinaan melalui penyuluhan mutu dan keamanan pangan sampai tahun 2010 menurut Kabupaten Cianjur Dalam Angka 2012 adalah 711 unit (BPS Cianjur, 2012). Dari jumlah tersebut yang akan disurvei adalah IRTP yang mengikuti penyuluhan antara tahun 2008 – 2011 yaitu 380 IRTP. Kemudian populasi IRTP dikelompokkan berdasarkan jenis produk pangan. Jumlah produk pangan yang terdaftar pada Dinas Kesehatan Kabupaten Cianjur adalah 706 produk. IRTP berdasarkan jenis produknya kemudian dipilih dengan cara purposive sampling, yaitu IRTP yang pemilik atau penanggung jawab produksinya telah mengikuti penyuluhan keamanan pangan yang diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Cianjur. Pemilihan sampel IRTP juga ditentukan berdasarkan nama produk pangan yang mewakili, misalnya untuk keripik pisang dikelompokkan dulu baru dipilih IRTP produsen yang mewakili produsen nama produk sejenis. Pengelompokan jenis produk pangan dalam

(33)

penelitian ini didasarkan pada pedoman Pedoman Tata Cara Penyelenggaraan Sertifikasi Produksi Pangan Industri Rumah Tangga yang diterbitkan BPOM RI. Menurut Sevilla et al. (1993) untuk populasi yang besar penelitian metode deskriptif (survei) memerlukan 10 persen sampel. Maka jumlah sampel yang diambil adalah 71 IRTP.

Alat yang digunakan dalam survei adalah kuesioner. Kuesioner ini terdiri dari lima bagian/blok. Bagian pertama kuesioner meliputi informasi umum IRTP, yaitu untuk mendapatkan profil responden IRTP. Bagian kedua dan ketiga meliputi pertanyaan-pertanyaan untuk mengetahui sejauh mana penerapan CPPB IRT dilakukan. Penilaian terhadap responden IRTP dari kuesioner bagian kedua dan ketiga didasarkan pada kriteria Baik dan Kurang. Nilai Baik berarti telah sesuai dengan ketentuan CPPB IRT, dan nilai Kurang berarti belum sepenuhnya memenuhi ketentuan yang ditetapkan (Lampiran 4). Bagian keempat meliputi pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan program pemerintah Kabupaten Cianjur dalam pembinaan dan penerapan CPPB IRT pada IRTP di Kabupaten Cianjur. Pengisian kuesioner tersebut dilakukan dengan cara wawancara; kuesioner diisi oleh penulis sendiri.

Selain kuesioner, alat penelitian lain adalah kemasan produk pangan yang dikumpulkan. Dari kemasan yang dikumpulkan pengamatan akan dilakukan terhadap praktik pelabelan pada kemasan dan jenis kemasan yang digunakan. Penilaian pelabelan didasarkan pada tiga (3) hal, yaitu 1) kesesuaian label dengan persyaratan label, 2) keterangan minimal label, dan 3) kesesuaian kode kemasan (digit pertama) pada nomor izin edar (P-IRT) dengan kemasan yang digunakan. Hal ini diatur dalam SK BPOM RI No HK 00.05.52.4321 tentang Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan.

Pengamatan terhadap label dilakukan dengan cara, 1) mengamati persyaratan minimal label dari kemasan produk pangan yang diproduksi oleh responden (IRTP yang disurvei); 2) mencermati dan menilai kelengkapan keterangan minimal label, serta 3) mengamati digit pertama pada nomor izin edar (P-IRT), yaitu kode bahan kemasan yang terdaftar dengan bahan kemasan yang ditemukan pada saat survei. Dari hasil pengamatan terhadap label tersebut akan dinilai label pada kemasan produk yang memenuhi semua persyaratan dan label pada kemasan produk responden yang tidak memenuhi semua persyaratan yang diatur dalam Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan.

Pengolahan dan analisis data survei

Pengolahan data dilakukan dengan komputer dengan program Microsoft

Office Excel 2007 dan SPSS (Statistical Package for the Social Science) 16. Data

yang diolah dengan Microsoft Office Excel 2007 akan ditampilkan dalam bentuk

pie dan bar chart. Analisis statistik Kruskal-Wallis Test dengan SPPS 16

bertujuan untuk melihat hubungan antara tingkat pendidikan responden dan kemampuan menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam tes, dilakukan dengan menggunakan.

Kruskal-Wallis Test berguna untuk membandingkan k-sampel yang

independen yang berasal dari populasi yang berbeda dengan skala ordinal atau skala interval tetapi tidak terdistribusi normal. Bentuk hipotesis uji Kruskal-Wallis adalah sebagai berikut:

(34)

H1 : tidak semua median i, i = 1…., k sama besar

= merupakan notasi untuk median.

Kriteria untuk menolak atau tidak menolak H0 berdasarkan P-value adalah

sebagai berikut: jika P-value < , maka H0 ditolak; jika P-value ≥ , maka H0

tidak dapat ditolak. Dalam program SPSS digunakan istilah Significance (yang disingkat Sig.) untuk P-value; atau dengan kata lain P-value = Sig (Uyanto, 2009).

Analisis Hasil Penelitian

Analisis terhadap kebijakan (regulasi) pemerintah Kabupaten Cianjur dalam bidang pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan IRT

Analisis terhadap regulasi dilakukan untuk memastikan landasan hukum yang diacu dalam penyelenggaraan pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan bagi IRTP di Kabupaten Cianjur. Kemudian memastikan ketersediaan regulasi yang dibuat oleh Pemerintah Kabupaten Cianjur dalam rangka mengawal terselenggaranya program pengawasan mutu dan keamanan pangan. Analisis juga dilakukan terhadap regulasi dan penerapannya dalam pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan apakah sesuai dengan aturan atau rambu-rambu yang telah ditetapkan. Apakah pemerintah berpedoman pada regulasi yang ada sehingga pelaksanaan pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan telah sesuai dengan regulasi yang dijadikan sebagai landasan.

Analisis terhadap program dan anggaran pembinaan dan pengawasan mutu dan kemanan pangan IRT

Analisis dilakukan terhadap program dan anggaran yang disediakan untuk kegiatan pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan. Sejauh mana program dan anggaran bersinergi menghasilkan capaian yang ditargetkan. Melalui analisis akan diperoleh gambaran akan kedudukan program pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan mendapat perhatian dan prioritas yang cukup serius dari Pemerintah Kabupaten Cianjur c.q Dinas Kesehatan.

Analisis terhadap pemahaman dan praktik CPPB IRT.

Melalui analisis akan diperoleh profil secara umum IRTP yang telah mendapatkan penyuluhan dari Dinas Kesehatan Kab Cianjur. Dalam profil akan terklasifikasi IRTP yang sudah dan belum mendapatkan P-IRT dan penyebabnya, Analisis terhadap pemahaman dan praktik CPPB IRT akan memperlihatkan kondisi pemahaman dan praktik CPPB IRT yang telah dilakukan oleh IRT di Kabupaten Cianjur. Penetapan efektifitas program pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan Pemerintah Kabupaten Cianjur diperoleh melalui analisis terhadap pemahaman dan praktik CPPB IRT oleh IRTP yang telah mengikuti penyuluhan dan dikaitkan dengan program dan anggaran yang ditetapkan pemerintah Kabupaten Cianjur. Kemampuan responden dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar Pedoman CPPB IRT akan dianalisis keterkaitannya dengan tingkat pendidikan responden IRTP.

Gambar

Tabel 1. Data kasus keracunan pangan tahun 2001 – 2008
Tabel 3. Indikator dan kategori IMKM menurut jumlah pekerja, volume  penjualan dan total aset
Tabel 4.  Pedoman yang digunakan dalam pembinaan mutu dan keamanan    pangan bagi IRTP di tingkat kabupaten/kota
Tabel 5.  Undang Undang RI yang dirujuk dalam Materi Sosialisasi Keamanan     Pangan bagi industri rumah tangga di Kabupaten Cianjur
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hadits diatas dapat dipahami, sebagaimana proses pelaksanaan eksekusi yang dilakukan Pengadilan Agama Sidoarjo, dilakukan tanpa kehadiran tergugat, maka sesuai

Untuk uji korelasi dan regresi : persyaratan yang harus dipenuhi adalah uji normalitas dan uji linearitas data.. Untuk uji perbedaan (komparatif) : persyaratan yang harus dipenuhi

Mungkin bagi orang lain ini adalah hari yang biasa, namun bagiku tidak.. Hari ini pasti akan menjadi hari yang

Sebuah sistem linkage seperti yang telah digariskan dalam Sislognas merupakan hasil kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta untuk meningkatkan pelabuhan laut, bandara,

TENTANG : HASIL SELEKSI PENERIMAAN PESERTA DIDIK BARU JALUR UMUM MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI 1 MALANG TAHUN PELAJARAN 2021 –

Menurut Soerjono Soekanto, kriminalisasi merupakan tindakan atau penetapan penguasa mengenai perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh masyarakat atau

Hal ini tidak benar kecuali tempat atau ruang simpan dingin kondisinya lewat batas (suhu terlalu rendah, kelembaban terlalu tinggi) terutama bagi komoditi yang

Tesis ini bertujuan untuk memperhatikan karakteristi kecepatan putaran motor induksi tiga Phasa sangkar tupai terhadap perubahan nilai resistansi di stator menggunakan pengendali