• Tidak ada hasil yang ditemukan

lingkungan eksternal. Untuk mampu bertahan dan bersaing secara kompetitif, Rumah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "lingkungan eksternal. Untuk mampu bertahan dan bersaing secara kompetitif, Rumah"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Industri Rumah Sakit adalah industri yang sensitif terhadap perubahan lingkungan eksternal. Untuk mampu bertahan dan bersaing secara kompetitif, Rumah Sakit harus fleksibel dalam beradaptasi dan mau berubah sesuai dengan tuntutan dan tantangan eksternal. Salah satu Rumah Sakit yang sedang berbenah diri untuk mulai berubah saat ini adalah Rumah Sakit X Yogyakarta. Berdasarkan wawancara dengan Direktur Operasional RS X, saat ini industri Rumah Sakit di Indonesia mengalami persaingan yang ketat dengan semakin mudahnya perizinan pendirian Rumah Sakit swasta. Disamping biaya perawatan dan tenaga medis yang ditawarkan, kualitas pelayanan juga merupakan hal yang sangat penting dari industri jasa layanan kesehatan. Rumah Sakit X adalah Rumah Sakit yang mulai beroperasional pada tahun 2007 dengan menawarkan layanan kesehatan bertaraf internasional, dan memiliki target pasar masyarakat kelas menengah ke atas.

Untuk menjadi Rumah Sakit berkelas internasional, saat ini Rumah Sakit X masih menghadapi permasalahan dalam hal kinerja karyawan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Manajer Mutu Rumah Sakit X masalah yang sering dibahas oleh pihak manajemen adalah ketidaktercapaian target kerja, penggunaan jam kerja yang kurang efektif dan kurangnya memberikan pelayanan prima pada pasien. Hal ini menyebabkan komplain pasien yang masuk menjadi tinggi.

Menanggapi permasalahan kinerja karyawan, Rumah Sakit X mulai menyusun dan menerapkan Key Performance Indicator (KPI) pada semua unit sampai pada level individu, memperbaiki Performance Appraisal (PA), dan menambah aspek kinerja sebagai dasar dalam pemberian intensif. Beberapa perubahan dalam pengelolaan sumber daya manusia tersebut diharapkan mampu meningkatkan kinerja karyawan. Porras & Silver (2005) membagi perubahan organisasi (planned change) menjadi dua bagian,

(2)

yaitu pengembangan organisasi dan transformasi organisasi. Transformasi organisasi merupakan generasi kedua dari pengembangan organisasi yang dicirikan dengan perubahan secara cepat. Transformasi organisasi merupakan suatu proses yang tidak sederhana, karena melibatkan empat variabel penting, yaitu (1) change intervention, (2) variabel yang menjadi target perubahan adalah visi organisasi dan work setting (teknologi, faktor sosial, pengaturan fisik perusahaan), (3) perubahan perilaku sebagai akibat dari perubahan kognitif, dan (4) hasil yang dicapai oleh transformasi organisasi dalam bentuk perbaikan kinerja organisasi dan peningkatan pengembangan individual (Porras & Silver, 2005).

Organisasi membutuhkan kinerja individu yang tinggi dalam rangka memenuhi tujuannya, untuk memberikan produk dan layanan yang dimiliki, dan pada akhirnya untuk mencapai keunggulan kompetitif (Sonnentag & Frese, 2002). Dalam hal ini, tercapainya tujuan organisasi sangat ditentukan oleh kinerja karyawannya (Sabir, 2012). Studi tentang kinerja menjadi semakin penting karena tingkat globalisasi dan kompetisi yang semakin tinggi dalam dunia kerja (Nafei, 2013). Seringkali permasalahan kinerja muncul ketika kinerja yang diberikan oleh karyawan belum sesuai dengan tuntutan perusahaan. Beberapa penelitian sebelumnya mengupas permasalahan kinerja di berbagai macam sektor industri, antara lain sektor perbankan (Bhat, 2013; Hakim, 2011), perusahaan manufaktur (Chen, 2004; Karahan, 2012), maupun industri Rumah Sakit (Nasirpour, 2009). Karyawan merupakan pemeran utama dalam melaksanakan tugas-tugas perusahaan dan elemen kunci dari organisasi, sehingga keberhasilan atau kegagalan organisasi tergantung pada kinerja karyawan (Hameed & Waheed, 2011). Dalam konteks ini dapat dijelaskan bahwa tinggi rendahnya performa organisasi tergantung pada tingkat kinerja karyawan (Karahan & Tetik, 2012).

(3)

Menurut Sonmentag & Frese (2002), salah satu konsep kinerja adalah untuk membedakan antara suatu aspek tindakan (perilaku) dan aspek hasil dari kinerja. Aspek perilaku mengacu pada apa yang dilakukan seorang individu dalam situasi kerja. Tidak setiap perilaku dimasukkan di bawah konsep kinerja, tetapi hanya perilaku yang relevan dengan tujuan organisasi. Aspek hasil mengacu pada konsekuensi atau akibat dari perilaku individu. Ivancevich (2007) menyatakan bahwa kinerja merujuk kepada keberhasilan dalam melaksanakan tugas serta kemampuan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Kinerja dapat dinyatakan baik dan sukses jika tujuan yang diinginkan dapat tercapai dengan baik.

Hameed & Waheed (2011) menyatakan bahwa kinerja adalah produktivitas dan output yang dihasilkan oleh karyawan. Kinerja dapat dilihat sebagai perilaku, dan bagaimana cara seseorang maupun organisasi menyelesaikan pekerjaannya. Dengan kata lain, kinerja harus dilihat sebagai dua hal yaitu output dan perilaku (Salman, 2011). Menurut Kahya (2007), kinerja karyawan merujuk pada dua hal yaitu task performance dan implicit performance. Task performance meliputi perilaku-perilaku yang terlibat langsung dalam produksi barang atau jasa (Johnson, dkk, 2008) sedangkan implicit performance didefinisikan sebagai upaya-upaya pribadi yang tidak berkaitan langsung dengan tugas pekerjaan individu, namun sangat penting karena berkaitan dengan faktor psikologis dan sosial yang mendukung kinerja (Kahya, 2007). Menurut Sultana dkk (2012), kinerja karyawan dapat didefinisikan sebagai pencapaian tugas tertentu yang diukur berdasarkan ketetapan yang telah ditentukan sebelumnya. Berdasarkan teori kinerja yang dikemukakan oleh peneliti sebelumnya, maka definisi operasional kinerja karyawan dalam penelitian ini adalah prestasi kerja, baik kualitas maupun ketepatan

(4)

target kerja yang dicapai karyawan dalam melaksanakan tugas kerjanya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

Untuk menghasilkan kinerja yang baik diperlukan alat ukur yang dapat dijadikan standar karyawan dalam bekerja. Terdapat beberapa hal yang menjadi aspek dalam kinerja karyawan menurut Ivancevich (2007) yaitu; (1) Kuantitas Kerja (Quantity of work), yang dalam hal ini berkaitan dengan hasil jumlah volume kerja yang dapat diselesaikan karyawan dalam kondisi normal, (2) Kualitas Kerja (Quality of Work), yang meliputi ketelitian, kerapihan, dan ketepatan dalam bekerja atau standar mutu yang ditetapkan, (3) Pengetahuan tentang pekerjaan (Knowledge of Job), yang meliputi pengetahuan yang jelas tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan tanggung jawab pekerjaannya, (4) Kualitas Personal (Personal Qualities) yang meliputi penampilan, kepribadian, sikap, kepemimpinan, integritas, dan kemampuan sosial, (5) Kerjasama (Cooperation), yaitu kemampuan dan keinginan untuk bekerja dengan rekan kerja, atasan serta bawahan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, (6) Dapat dipercaya (Dependability), yang meliputi kesadaran akurasi, menjunjung tinggi nilai kejujuran, kedisiplinan/tingkat kehadiran, dan (7) Inisiatif (Initiative), yaitu kesungguhan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab, meningkatkan hasil kerja serta memiliki keberanian untuk bekerja secara mandiri. Adapun elemen-elemen kinerja menurut Mathis dan Jackson (2006) terdiri dari lima elemen yaitu (1) kualitas hasil, (2) kuantitas hasil, (3) ketepatan waktu, (4) kehadiran, dan (5) kemampuan bekerja sama.

(5)

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kinerja karyawan dipengaruhi oleh budaya organisasi. Salleh (2008) dan Hakim (2011) menemukan bahwa budaya organisasi memiliki pengaruh positif terhadap kinerja. Kotter (2012) menyebutkan bahwa budaya organisasi memiliki potensi untuk meningkatkan kinerja organisasi dan kepuasan kerja karyawan. Sebuah penelitian kualitatif menemukan bahwa budaya organisasi secara signifikan mempengaruhi kinerja karyawan, meningkatkan produktivitas, dan merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam mempertahankan keunggulan kompetitif. Dalam penelitian tersebut, karyawan menganggap norma, perilaku, dan nilai-nilai organisasi sebagai budaya yang harus diikuti, dimana jika aturan maupun regulasi organisasi didefinisikan dengan kuat, maka dapat meningkatkan kinerja dan produktifitas karyawan menjadi lebih baik (Luva, 2013). Penelitian lain menemukan bahwa budaya yang kuat dan peran kepemimpinan dalam sebuah organisasi dapat membantu dalam meningkatkan kinerja, dimana sebuah organisasi dengan budaya yang kuat akan memungkinkan untuk mengelola sumber daya manusia secara efektif dan efisien. Hal ini akan memberikan keuntungan bagi organisasi dalam hal peningkatan kinerja karyawan (Awadh & Saad, 2013).

Menurut Robbins (2006), budaya organisasi adalah nilai-nilai dominan yang didukung oleh organisasi, falsafah yang menuntun kebijaksanaan organisasi terhadap karyawan dan pelanggan, cara pekerjaan yang dilakukan di tempat itu, asumsi, dan kepercayaan dasar yang terdapat di antara anggota organisasi. Menurut Lunenburg (2011), budaya organisasi adalah seperangkat nilai-nilai, keyakinan, dan norma yang mempengaruhi cara karyawan berpikir, merasa, dan berperilaku di tempat kerja. Budaya ditularkan kepada anggota organisasi melalui sosialisasi dan pelatihan, upacara dan

(6)

ritual, jaringan komunikasi, serta simbol. Budaya organisasi memiliki empat fungsi, yaitu memberikan identitas bagi anggota organisasi, meningkatkan komitmen, memperkuat nilai-nilai organisasi, dan berfungsi sebagai mekanisme kontrol bagi perilaku (Nelson & Quick, 2011).

Budaya dalam suatu organisasi seperti kepribadian manusia dan berkaitan dengan asumsi dasar dan fundamental, keyakinan, norma-norma dan nilai-nilai yang merupakan identitas batin suatu organisasi sebagai prinsip budaya yang membedakan baik dan buruk. Hal ini berarti bahwa budaya organisasi menentukan hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan serta membentuk kerangka perilaku organisasi. Dengan kehadiran budaya organisasi yang kuat, karyawan tidak hanya menjadi lebih sadar tentang tujuan dan strategi suatu organisasi, tetapi mereka juga merasa lebih bertanggung jawab (Nasirpour, Gohari & Moradi, 2009).

Efek budaya organisasi terhadap kinerja dan perilaku karyawan juga dapat dijelaskan melalui 4 hal (Lunenburg, 2011; Hellriegel & Slocum, 2011). Pertama, dengan mengetahui budaya organisasi, memungkinkan karyawan untuk memahami sejarah organisasi dan metode-metode terbaru dalam sistem operasinya. Pandangan ini memberikan panduan tentang perilaku masa depan yang diharapkan. Kedua, budaya organisasi dapat menumbuhkan komitmen terhadap filosofi dan nilai organisasi. Komitmen ini menghasilkan perasaan bekerja bersama menuju tujuan bersama. Artinya, organisasi dapat mencapai efektivitas hanya ketika karyawan berbagi nilai-nilai. Ketiga, budaya organisasi, melalui norma-normanya, berfungsi sebagai mekanisme kontrol untuk menyalurkan perilaku terhadap perilaku yang diinginkan dan jauh dari perilaku yang tidak diinginkan. Hal ini juga dapat dicapai dengan merekrut, memilih, dan mempertahankan karyawan yang nilainya paling cocok dengan nilai-nilai

(7)

organisasi. Akhirnya, beberapa jenis budaya organisasi dapat berhubungan langsung dengan efektivitas dan produktivitas yang lebih besar daripada yang lain.

Menurut Robbins (2006), budaya menjalankan sejumlah fungsi didalam organisasi, yaitu; (1) Budaya mempunyai peran menetapkan tapal batas, artinya budaya menciptakan perbedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain, (2) Budaya memberikan rasa identitas ke anggota-anggota organisasi, (3) Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri pribadi seseorang, (4) Budaya meningkatkan kemantapan sistem sosial, (5) Budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat mengenai apa yang harus dikatakan dan dilakukan oleh para karyawan, dan (6) Budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan mekanisme pengendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku para karyawan.

Menurut Robbins (2006), budaya organisasi harus mempunyai aspek mencolok yang dapat didefinisikan dan diukur. Robbins (2006) membagi menjadi sepuluh karakteristik utama yang menjadi pembeda budaya organisasi satu dengan lainnya. Karakteristik tersebut adalah; (1) Inisiatif individual, yaitu tingkat tanggung jawab, kebebasan, dan independensi yang dimiliki individu, (2) Toleransi terhadap tindakan berisiko, yaitu sejauh mana para karyawan dianjurkan untuk bertindak agresif, inovatif, dan mengambil risiko dalam pekerjaan, (3) Arah, yaitu sejauh mana organisasi menciptakan

(8)

dengan jelas sasaran dan harapan mengenai prestasi, (4) Integrasi, yaitu sejauh mana unit-unit dalam organisasi didorong untuk bekerja dengan cara yang terkoordinasi, (5) Dukungan dari manajemen, yaitu sejauh mana para pimpinan memberi komunikasi yang jelas, bantuan, serta dukungan terhadap bawahan mereka, (6) Kontrol, yaitu jumlah peraturan dan pengawasan langsung yang digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku karyawan. (7) Identitas, yaitu sejauh mana para anggota mengidentifikasi dirinya secara keseluruhan dengan organisasinya ketimbang dengan kelompok kerja tertentu atau dengan bidang keahlian profesional, (8) Sistem imbalan, yaitu sejauh mana alokasi imbalan, seperti kenaikan gaji/promosi didasarkan atas kriteria prestasi karyawan sebagai kebalikan dari senioritas, sikap pilih kasih, dan sebagainya, (9) Toleransi terhadap konflik, yaitu sejauh mana para karyawan didorong untuk mengemukakan konflik dan ktitik secara terbuka, dan (10) Pola-pola komunikasi, yaitu sejauh mana komunikasi organisasi dibatasi oleh hierarki kewenangan yang formal. Berdasarkan penjelasan teori mengenai budaya organisasi yang telah dipaparkan sebelumnya, maka definisi operasional budaya organisasi dalam penelitian ini adalah seperangkat nilai-nilai, keyakinan, dan norma yang didukung oleh organisasi dan mempengaruhi cara karyawan berpikir, merasa, maupun berperilaku di tempat kerja.

Selain budaya organisasi, kepemimpinan juga memiliki peran yang besar pada kinerja karyawan. Dalam penelitian ditemukan adanya hubungan positif antara gaya

(9)

kepemimpinan terhadap kinerja (Salman, 2011). Selanjutnya, ketika seorang pemimpin mampu memobilisasi dan mengkoordinasikan sumber daya manusia dengan menekankan hubungan antar manusia, maka akan meningkatkan dimensi-dimensi dalam kinerja (Samangooei, 2012).

Pemahaman konsep kepemimpinan dapat berbeda, tetapi konstruk dasar secara umum kurang lebih sama. Kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk bertindak terhadap pencapaian tujuan, dimana pemimpin dapat memiliki tanggung jawab manajerial, tetapi kepemimpinan lebih dari sekedar menjalankan pengelolaan fungsi organisasi (Salman, 2011). Kepemimpinan adalah kemampuan untuk menangani situasi secara etis dan produktif berdasarkan pada pengetahuan, keterampilan, keahlian, pengalaman, sensitivitas, dan visi wawasan (Sabir dkk, 2012).

Perilaku etis dan karakter yang kuat menjadi hal yang sangat penting bagi kredibilitas seorang pemimpin dan memberikan pengaruh yang sangat berarti (Piccolo, 2010). Etika berkaitan dengan moral dan nilai-nilai yang tepat dan ditemukan oleh anggota masyarakat atau individu itu sendiri. Etika membantu kita memutuskan apa yang benar dan salah atau baik dan buruk dalam situasi tertentu. Sehubungan dengan kepemimpinan, etika akan membahas mengenai siapakah pemimpin itu, karakter yang dimiliki dan apa yang dilakukannya, serta bagaimana tindakan dan perilaku mereka (Northouse, 2013).

Etika menjadi masalah yang penting bagi organisasi, dan seorang ethical leader akan memperjuangkan etika serta memotivasi orang lain untuk bertindak secara etis. Dalam hal ini, ethical leader mampu menjadi panutan dan menggunakan kekuasaannya secara positif untuk mempengaruhi orang lain (Butts & Rich, 2008). Pemimpin harus

(10)

menciptakan lingkungan kerja yang etis dan ramah bagi semua karyawan, mengkomunikasikan isu-isu berkaitan dengan etika, bertanggung jawab, dan menjadi panutan bagi karyawan (Bello, 2012).

Moreno (2010) mencatat bahwa seorang ethical leader adalah orang yang selaras antara tindakan dan kata-kata. Dalam hal ini, ethical leader dapat mempengaruhi pengikutnya dengan perilaku yang konsisten, tindakan atau moral yang tepat, dan melakukan apa yang dikatakan. Penelitian Walumbwa, dkk (2010) menunjukkan bahwa ethical leadership yang dimediasi oleh faktor self efficacy, leader-member exchange dan identifikasi organisasi memiliki hubungan positif yang signifikan terhadap kinerja karyawan. Penelitian Piccolo, dkk (2010) memberikan hasil bahwa ethical leadership yang dimediasi oleh task significance, autonomy, dan effort memiliki hubungan terhadap kinerja karyawan. Selanjutnya, penelitian Sabir, dkk (2012) menemukan bahwa terdapat hubungan yang positif antara ethical leadership dan kinerja karyawan, dimana ethical leadership yang diterapkan dengan baik bisa memiliki dampak yang kuat terhadap kinerja karyawan.

Brown, dkk (2005), mendefinisikan ethical leadership sebagai perilaku normatif yang tepat melalui tindakan pribadi dan hubungan interpersonal, serta menunjukkan perilaku tersebut kepada bawahan melalui komunikasi, dan pengambilan keputusan dua arah. Definisi tersebut menunjukkan bahwa ethical leadership dapat menjadi contoh bagi orang lain dan seorang pemimpin yang memiliki karakter yang kuat serta nilai-nilai yang tepat (Bello, 2012). Ethical leader adalah seseorang pemimpin yang berusaha untuk mencapai tujuan, visi, dan nilai-nilai organisasi. Mereka akan menghubungkan tujuan organisasi dengan karyawan internal dan stakeholders (Bello, 2012).

(11)

Resick, Hanges, Dickson & Mitchelson (2006) mengidentifikasi enam atribut utama yang menandai ethical leadership yaitu (1) karakter dan integritas, (2) ethical awareness (3) berorientasi pada manusia/sosial, (4) memotivasi, (5) mendorong dan memberdayakan, dan (6) mengatur tanggung jawab etis. Sejalan dengan itu, O’Connell & Bligh (2009) mengidentifikasi sembilan karakteristik ethical leader dari analisis sintesis penelitian di masa sebelumnya sebagai berikut; (1) Menggunakan kacamata etis, (2) Membuat keputusan etis, (3) Mempertimbangkan implikasi jangka panjang dari keputusan bisnis, (4) Mempertimbangkan kesejahteraan pada saat membuat keputusan dan memperlakukan orang lain secara adil, (5) Bertindak secara etis dan menjadi role model dalam berperilaku, (6) Mengkomunikasikan pentingnya etika (7) Memahami diri sendiri dan orang lain yang bekerja dengan mereka (8) Bertanggung jawab terhadap perilaku etis orang lain, dan (9) Menawarkan pelatihan dan memberi dukungan bagi karyawan untuk bertindak etis di tempat kerja. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh peneliti sebelumnya, maka definisi ethical leadership dalam penelitian ini adalah perilaku seorang pemimpin yang konsisten, tindakan atau moral yang tepat, dan melakukan apa yang dikatakan serta menunjukkan perilaku tersebut kepada bawahan.

Dalam penelitian sebelumnya ditemukan bahwa baik kepemimpinan maupun budaya organisasi memiliki pengaruh terhadap kinerja organisasi dan kinerja karyawan (Boevink, 2009). Selanjutnya, Sabir (2012) menyatakan bahwa nilai-nilai budaya etika organisasi dan ethical leadership dapat meningkatkan produktivitas karyawan. Beberapa penulis berpendapat bahwa kepemimpinan (sebagai human capital) dan budaya organisasi (sebagai organizational capital) adalah dua hal kompleks yang berbeda namun menjadi sumber daya yang saling berhubungan dalam memprediksi keberhasilan organisasi (Tomer, 1999), atau dengan kata lain budaya organisasi dan

(12)

kepemimpinan dianggap memiliki aspek yang terkait dalam kehidupan organisasi. Para pemimpin level atas diyakini sebagai orang-orang yang memiliki pengaruh utama pada penciptaan dan pengembangan budaya organisasi, dimana peran pimpinan level atas adalah membangun, mempertahankan, dan merubah isi dari suatu budaya organisasi (Schein, 2004). Lebih lanjut, secara struktural seorang pemimpin akan terlibat dalam sebuah perencanaan strategik, sehingga akan berpengaruh terhadap kebijakan, proses pengambilan keputusan, dan tata aturan yang diberlakukan (Butts & Rich, 2008; Monica, 2011).

Berdasarkan uraian di atas, secara teoritis dapat dikatakan bahwa terdapat pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja karyawan. Begitu pula terdapat pengaruh ethical leadership terhadap kinerja karyawan. Oleh karena itu hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah budaya organisasi dan ethical leadership dapat memprediksi kinerja karyawan.

Kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat ditunjukkan melalui gambar di bawah ini:

Gambar 1 Kerangka Penelitian

Budaya organisasi akan mengikat karyawan secara mental, emosional, dan secara fisik dalam kehidupan di tempat kerja agar karyawan bekerja sesuai dengan tata

Budaya Organisasi

Ethical Leadership

Gambar

Gambar 1 Kerangka Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Pembuatan benda uji digunakan untuk mencari kadar aspal optimum dengan beberapa variasi kadar aspal , juga untuk mengetahui VIM, Flow, MQ dan stabilitas dari

Pentingnya pengelolaan prasarana dan sarana air limbah yang ada di Bandara Adisutjipto Yogyakarta dilakukan sebagai salah satu pendukung dalam mewujudkan Eco-Airport di

Lhokseumawe, 31 Desember

Realitas cara bernyanyi jemaat Jawa yang sebagian besar masih belum bisa mengikuti irama dan tempo sesuai dengan lagu, menurut penyusun juga dipengaruhi oleh pilar-pilar

Dari hasil pengamatan diketahui bahwa semua sampel minyak dalam keadaan cair pada suhu ruang (±27ºC) namun ketika pada suhu rendah (±5ºC) terjadi perubahan fase pada beberapa

bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, PARA PIHAK sepakat untuk mengikatkan diri dalam Kesepakatan Bersama tentang Kerja Sama Pengawasan Obat dan Makanan, dengan ketentuan

Rencana ini menggambarkan arah, tujuan, sasaran, strategi, kebijakan, program dan kegiatan penyelenggaraan pembangunan lingkungan hidup dan kehutanan yang sesuai dengan tugas

Grafik step respon hasil simulasi untuk sistem pengendalian kcc epatan putaran motor diesel high speed dengan menggunakan kontro l er logika fuzzy kctika motor dilakukan