KECAMATAN JOHAN PAHLAWAN
KABUPATENACEH BARAT
SKRIPSI
NURAINI 07C10432031
PROGRAM STUDI PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS TEUKU UMAR
KECAMATAN JOHAN PAHLAWAN
KABUPATEN ACEH BARAT
SKRIPSI
NURAINI 07C10432031
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Teuku Umar
PROGRAM STUDI PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS TEUKU UMAR
Judul Skripsi : Studi Kelembagaan Panglima Laôt Lhôk Dalam Pengelolaan Perikanan Purse Seine di Kecamatan Johan PahlawanKabupaten Aceh Barat
Nama : Nuraini
Nim : 07C10432031
Program Studi : perikanan
Disetujui Komisi Pembimbing
Pembimbing Pembimbing
Ir.Said Mahjali, MM Ir. Baihaqi
NIDN :0110116502 NIDN : 0108116601
Diketahui,
Ketua Program Studi Dekan Fakultas Perikanan dan
perikanan Ilmu Kelautan
Muhammad Rizal, S.Pi., M.Si Uswatun Hasanah, S.Si., M.Si
NIDN : 0111018301 NIDN : 0121057802
Skripsi/tugas akhir dengan judul:
STUDI KELEMBAGAANPANGLIMA LAÔT LHÔKDALAM PENGELOLAAN PERIKANANPURSE SEINEDIKECAMATAN JOHAN PAHLAWAN
KABUPATEN ACEH BARAT
Yang disusun oleh :
Nama : Nuraini
Nim : 07C10432031
Fakultas : Perikanan dan Ilmu Kelautan Program Studi : Perikanan
Telah dipertahankan didepan dewan penguji pada tanggal 11 Oktober 2013 dan dinyatakan memenuhi syarat untuk diterima.
SUSUNAN DEWAN PENGUJI
1. Ir.Said Mahjali, MM
(Dosen Penguji I) ………
2. Ir Baihaqi
(Dosen Penguji II) ………
3. Safrizal, M. Sc
(Dosen Penguji III) ………
4. Erlita, S.Pi
(Dosen Penguji IV) ………
Alue Penyareng, 11 Oktober 2013 Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Penulis sadar akan kemampuan dan keterbatasan pengetahuan Segala puji
syukur ditujukan kehadiran Allah SWT, yang mana atas rahmat dan ridha-Nya,
sehingga dapat menyelesaikan sebuah Skripsi ini dengan judul “Studi
Kelembagaan Panglima Laot Lhok dalam pengelolaan Perikanan Pukat cincin di kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat.” ini dapat
terselesaikan, untuk memenuhi sebagai persyaratan dalam memperoleh Gelar
Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Teuku
Umar Meulaboh–Aceh Barat dalam menyusun Skripsi ini
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir.Said Mahjali, MM., dan Ir
Baihaqi selaku pembimbing yang telah membantu penulis sehingga skripsi ini
dapat diselesaikan dengan baik. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu proses penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak
kekurangan dan kelemahan, oleh karena itu penulis mengaharapkan saran dan
kritik yang membangun. Dengan senatiasa memohon ampun ke Rabb semesta
alam, Allah SWT, dari segala kesalahan dan kelalaian. Semoga hasil penelitian
dalam bentuk skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan di
kemudian hari.
Meulaboh, 11 Oktober 2013
1.1 Latar Belakang
Aceh Barat yang memiliki panjang garis pantai 50,55 km dengan luas
perairan lautnya 80,88 km2 dengan berbagai variasi ekosisistem memiliki hasil
tangkapan ikan laut yang beragam. Kabupaten Aceh Barat merupakan wilayah
pesisir yang kaya akan hasil perikanannya. Hal tersebut tidak terlepas dari
letaknya yang menghadap langsung Samudera Hindia yang kaya akan ikan.
Namun belum banyak diketahui secara detail jenis - jenis yang perlu diketahui
secara terpadu. Salah satu penyebabnya adalah tidak tersedianya data dan
informasi mengenai potensi sumberdaya perikanan wilayah Aceh Barat
khususnya. Kurangnya data dan informasi menyebabkan potensi perikanan tidak
dapat dimanfaatkan secara optimal dan lestari (Dianaet al, 2010).
Johan Pahlawan merupakan salah satu kecamatan yang terletak di
wilayah pesisir Kabupaten Aceh Barat yang memiliki sumberdaya ikan yang
dapat dimanfaatkan bagi masyarakat setempat maupun luar daerah. Kegiatan
perikanan tangkap merupakan kegiatan yang menopang perekonomian
masyarakatdi Kecamatan Johan Pahlawan.
Purse seine merupakan salah satu alat penangkap ikan modern yang dioperasikan oleh nelayan di Johan Pahlawan. Namun berpengaruh besar
terhadap kelestarian sumberdaya ikan di wilayah Perairan kecamatan Johan
Pahlawan. Karena nelayan berusaha menangkap ikan sebanyaknya demi
Pengelolaan kegiatan perikanan purse seine perlu dilakukan mengingat Pengelolaan tersebut bertujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan potensi
sumberdaya ikan guna meningkatkan pendapatan nelayan serta menjaga
kelestarian sumberdaya ikan.
Panglima Laôt Lhôk merupakan lembaga pemimpin adat nelayan atau pesisir yang memiliki kekuasaan mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan
kegiatan penangkapan ikan seperti mengatur wilayah penangkapan ikan, alat
tangkap yang digunakan, waktu penangkapan ikan, menyelesaikan permasalahan
antar nelayan (konflik), dan masalah lainnya yang terkait dalam kegiatan
perikanan tangkap di daerah tersebut. Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik
melakukan penelitian dengan judul Studi Kelembagaan Panglima Laôt Lhôk dalam Pengelolaan Perikanan Purse Seine di kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat.
1.2 Perumusan Masalah
Permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian adalah:
1. Bagaimana Sistem Kelembagaan Panglima Laôt Lhôk dalam mengelola kegiatan perikananpurse seine?
2. Bagaimana Persepsi Nelayan Purse Seine Terhadap Keberadaan Panglima Laôt Lhôk?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
2. Mengetahui persepsi nelayan terhadap keberadaan Panglima Laôt Lhôk.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Bagi masyarakat Aceh, hasil penelitian ini dapat memberikan informasi
mengenai kelembagaan Panglima Laôt Lhôk dan meningkatkan kesadaran mengenai keberadaan lembaga tersebut di Aceh.
2. Bagi Panglima Laôt Lhôk, hasil penelitian ini dapat digunakan dalam mengoptimalkan pengaturan kegiatan yang terkait dengan perikanan purse seinedi daerah setempat.
3. Bagi nelayan, hasil penelitian ini semoga dapat memberikan infomasi
mengenai kegiatan usaha perikanan purse seine dilihat dari aspek teknis, pasar dan finansial dan memberikan informasi tentang sistem aturan yang
diberlakukan oleh Panglima Laôt Lhôk bagi nelayan purse seine di daerah setempat.
4. Bagi Pemerintah Daerah, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh
Utara dan pihak-pihak yang terkait, hasil penelitian ini sebagai masukan
2.1 Studi
Studi adalah gambaran kegiatan yang direncanakan sesuai dengan kondisi,
potensi, serta peluang yang tersedia dari berbagai aspek dan studi merupakan
pengkajian yang bersifat menyeluruh dan mencoba menyoroti segala aspek atau
investasi (Fahmi dkk, 2009).
Menurut Supriyono (1989), Studi adalah suatu kegiatan yang mempelajari
secara mendalam suatu kegiatan yang akan dijalankan. Studi bertujuan untuk
menentukanalokasiuntuk mendapatkan hasil yang maksimal.
2.2. Pengertian Kelembagaan
Kelembagaan adalah aturan di dalam suatu kelompok masyarakat atau
organisasi yang menfasilitasi atau koordinasi antar anggotanya untuk membantu
mereka dengan harapan di mana setiap orang dapat bekerjasama atau
berhubungan satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan bersama yang
diinginkan. Definisi Umum lembaga mencakup konsep pola perilaku sosial yang
sudah mengakar dan berlangsung terus menerus atau berulang. Dalam hal ini
sangat penting diperhatikan bahwa perilaku sosial tidak membatasi lembaga pada
peraturan yang mengatur perilaku tersebut atau mewajibkan orang atau organisasi
untuk harus berpikir positif ke arah norma-norma yang menjelaskan perilaku
mereka tetapi juga pemahaman akan lembaga ini memusatkan perhatian pada
pengertian mengapa orang berprilaku atau bertindak sesuaidengan atau
2.2.1 Studi Kelembagaan
Menurut Huntington (1965) diacu dalam Widodo (2008), lembaga merupakan pola perilaku yang selalu berulang bersifat kokoh dan dihargai oleh
masyarakat. Selanjutnya Uphoff (1986)diacu dalam Widodo (2008) berpendapat bahwa lembaga merupakan sekumpulan norma dan perilaku telah berlangsung
dalam waktu yang lama dan digunakan untuk mencapai tujuan bersama.
Syahyuti (2003) diacu dalam Widodo (2008 ) mengemukakan beberapa
pandangan mengenai definisi ‘lembaga’ sebagai organisasi dan lembaga sebagai
institusi serta definisi ‘kelembagaan’ (institusi) yang dikemukakan oleh para ahli.
Syahyuti sendiri menyatakan bahwa terdapat 4 (empat) cara untuk
membedakannya, yaitu:
1. Kelembagaan cenderung tradisional, sedangkan organisasi cenderung
modern.
2. Kelembagaan berasal dari masyarakat itu sendiri, sedangkan organisasi
datang dari atas.
3. Kelembagaan dan organisasi berada dalam satu kontinuum dimana
organisasi adalah kelembagaan yang belum melembaga.
4. Organisasi merupakan bagian dari kelembagaan.
Diniah (2008) diacu dalam Nanda (2011) mengemukakan bahwa ada banyak lembaga yang mendukung kegiatan perikanan tangkap. Lembaga tersebut
dapat dikelompokkan menjadi kelembagaan yang formal dan non formal. Menurut
Sugiyanto (2002) diacu dalam Nanda (2011), ciri lembaga sosial bersifat formal adalah terbentuk atas campur tangan pihak luar (pemerintah), ada dasar hukum
kebutuhan dan masa kepengurusannya jelas, struktur bersifat formal dan mudah
dipengaruh oleh pihak luar. Ciri lembaga yang bersifat non formal adalah
terbentuk atas kehendak masyarakat yang bersangkutan, manajemennya lemah,
dinamika aktivitas tidak teratur, terbentuk atas norma dan nilai yang
dikembangkan atas dasar trust, pengurus dipilih lembaga bersifat monoton, dan menolak campur tangan pihak luar.
2.2.2 kelembagaanPanglima Laot Lhok
Menurut Rahmad (2011) mengatakan bahwa panglima laot adalah orang
yang atau orang yang terpilih dari seorang pawang laut yang berpengalaman dan
mengetahui seluk beluk hak adat laut yang berlaku diwilayah setempat.
Sedangkan menurut Qanun nomor 10 tahun 2008 panglima laot adalah
salah satu lembaga adat yang terdiri dari organisasi suatu masyarakat adat yang
dibentuk oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu yang mempunyai wilayah
tertentu serta mempunyai wewenang dan berhak mengatur serta menyelesaikan
hai-hal yang berkaitan dengan adat laot dan pesisir. Menurut kamus bahasa aceh
panglima laot adalah pemimpin yang tertinggi yang dikenal dengan seorang
kepala yang berwenang di bagian hukum laot.
Panglima Laôt Lhôk memiliki sistem kelembagaan dalam menjalankan fungsi dan tugasnya. Hal ini diperlukan untuk menjaga ketertiban masyarakat
nelayan dalam hal mengatur tata cara penangkapan ikan, pemeliharaan
sumberdaya ikan serta menjaga ketentraman hidup masyarakat nelayan di wilayah
Kelembagaan Panglima Laôt Lhôk mempunyai peraturan secara khusus dalam mengatur kegiatan perikanan purse seine di wilayah tersebut. Peraturan tersebut berupa batas wilayah penangkapan, yaitu:
1. Pukat layang, wilayah penangkapannya sejauh 5 mil dari tepi pantai;
2. Pukat teri, wilayah penangkapannya sejauh 1,62 mil sampai dengan 5 mil
dari tepi pantai; dan
3. Pukat udang, wilayah penangkapannya sejauh 0,16 mil sampai dengan 1 mil
dari tepi pantai.
Wilayah penangkapan pukat layang merupakan wilayah kewenangan
pemrintah provinsi, sehingga jika terjadi pelanggaran pelangaran oleh nelayan
pukat layang maka pemerintah provinsi yang bertanggung jawab untuk
menyelesaikannya. Hal ini sesuai dengan Undang- undang Nomor 32 Tahun 2004
dan Qanun Nomor 16 Tahun 2002.
Lembaga adat Panglima Laôt adalah sebuah lembaga yang mendukung kegiatan perikanan tangkap di wilayah NAD. Panglima Laôt sebagai sebuah kelembagaan memiliki struktur kelembagaan untuk menjalankan fungsi dan
tugasnya. Struktur kelembagaan Panglima Laôtdi wilayah NAD diketahui terdiri atas 3 tingkatan, yaitu:
1.Panglima LaôtProvinsi;
2.Panglima LaôtKabupaten/Kota dan 3..Panglima Laôt Lhôk.
Struktur kelembagaan yang dimiliki oleh ketiga tingkatan lembaga
Struktur kelembagaan Panglima Laot Provinsi terlihat lebih kompleks dibandingkan struktur kelembagaan Panglima Laôt Kabupaten/Kota dan
Panglima Laôt Lhôk. Panglima Laôt Provinsi merupakan tingkatan Panglima Laôtyang tertinggi yang menaungiPanglima LaôtKabupaten/Kota danPanglima Laôt Lhôk dalam mengkoordinasi pelaksanaan hukum adat laut antar kabupaten atau kota dan antarlhok.
Berdasarkan kedudukannya Panglima Laôt Provinsi menempati tingkatan tertinggi, maka Panglima Laôt Kabupaten/Kota harus tunduk kepada Panglima Laôt Provinsi, begitu pula Panglima Laôt Lhôk harus tunduk kepada Panglima LaôtKabupaten/Kota. Struktur kelembagaanPanglima LaôtProvinsi,
Tabel.1. Struktur kelembagaan Panglima Laôt Provinsi, Panglima Laôt
Kecamatan / Kota danPanglima Laôt Lhôk.
Panglima LaôtProvinsi Panglima LaôtKabupaten /Kota Panglima Laôt Lhôk
a. 9 orang anggota
b. 1 ketua (Panglima Laôt
Ketiga tingkatan lembaga Panglima Laôt seperti yang telah disebutkan di atas memiliki tugas dan fungsi yang tercantum di dalam Qanun Aceh Nomor 10
Tahun 2008 tentang Lembaga Adat. Adapun fungsi yang dimiliki oleh tiap
Panglima Laôt(Pasal 28 ayat (5), yaitu:
1. Sebagai ketua adat bagi masyarakat nelayan;
2. Sebagai penghubung antara pemerintah dan masyarakat nelayan; dan
3. Mitra Pemerintah dalam menyukseskan program pembangunan perikanan
dan kelautan.
2.3 Pengelolaan Perikanan Tangkap
Berdasarkan UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 31Tahun 2004 Tentang Perikanan, menjelaskan definisi
perikanan yaitu semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi,
produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu
sistem bisnis perikanan, dan pengelolaan perikanan adalah semua upaya,
termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis,
perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan
implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di
bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang
diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati
perairan dan tujuan yang telah disepakati. Pengelolaan perikanan dilakukan
berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan,pemerataan, keterpaduan,
Pengelolaan perikanan di wilayah perairan Indonesia tidak terlepas dari
peraturan-peraturan yang berlaku baik berbentuk undang-undang maupun
peraturan pemerintah dan keputusan menteri dan juga peraturan-peraturan yang
bersifat internasional.
Menurut UU Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan Pasal 1
menyatakan bahwa pengelolaan perikanan adalah semua upaya termasuk proses
yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi,
pembuatan keputusan, lokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta
penegakan hukum dari perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan
oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan
produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Pada
Pasal 2 dinyatakan bahwa pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas
manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi dan
kelestarian yang berkelanjutan.
Qanun Nomor 16 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Sumberdaya Kelautan
dan Perikanan, pada Pasal 3 ayat (1) disebutkan bahwa wewenang Pemerintah
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam pengelolaan wilayah laut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah atas wilayah laut dalam jarak 4
(empat) mil laut sampai 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal ke arah laut
lepas. Lebih lanjut pada Pasal 3 ayat (2) disebutkan bahwa wewenang Pemerintah
Kabupaten/Kota dalam pengelolaan wilayah laut sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 2 adalah atas wilayah laut dalam jarak 0 (nol) sampai 4 (empat) mil laut
Qanun Nomor 16 Tahun 2002 adalah sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Pasal
18 ayat (4) menyebutkan, bahwa kewenangan untuk mengelola sumber daya di
wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah
laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga)
dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota.
Artinya, wilayah pengelolaan pemerintah kabupaten/kota di wilayah laut
adalah 0-4 mil laut, dan pemerintah provinsi 4-12 mil laut. Pengaturan batas
wilayah pengelolaan di atas bersifat vertikal, sehingga tidak menimbulkan
permasalahan dalam pengelolaan perikanan yang dilakukan Panglima Laôt Lhôk. Hal ini dikarenakan, permasalahan yang kerap muncul adalah kegiatan
penangkapan ikan yang melintas batas wilayah pengelolaan Panglima Laôt Lhôk
secara horizontal, atau memasuki wilayah Panglima Laôt Lhôk lainnya. Pemberlakuan batas wilayah pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan
baik yang ditetapkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 maupun Qanun
Nomor 16 Tahun 2002 tidak menimbulkan permasalahan.
2.4 Deskriptif Perikanan Tangkap
Perikanan tangkap menjadi bagian penting dalam kehidupan bangsa
Indonesia. Usaha peningkatan produksi ikan semakin digalakkan dalam rangka
memenuhi kebutuhan proteindari penduduk yang semakin bertambah, disamping
kebutuhan devisa yang mendesak. Potensi masih memungkinkan untuk tujuan
itu karena sumberdaya yang tergarap masih dibawah taksiran potensinya
Perikanan tangkap Indonesia tahun 2003 telah mencapai 406.200 ton
atau sekitar 86,05% dari Jumlah Tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar
5,12 juta ton per tahun.Seiring dengan upaya untuk mencapai tingkat produksi
sesuai dengan JTB, maka diproyeksikan masih terdapat surplus sumberdaya ikan
laut sebesar 713.800 ton per tahun (Suharso, 2006).
Mengingat potensi sumberdaya ikan laut yang masih potensial terutama
berada di jalur penangkapan II, III dan ZEEI, maka diperlukan armada
penangkapan ikan yang relativ besar dengan menerapkan teknologi penangkapan
ikan yang efektif dan efisien yang berwawasan lingkungan. Namun demikian
diharapkaninvestasiuntuk usaha penangkapan ikan tersebut juga harus terjangkau
oleh kemampuan keuangan nelayan.Dalam hal ini untuk armada penangkapan
ikan skala kecil setidaknya berukuran lebih dari 5 GT, sedangkan untuk armada
penangkapan ikan skala industri berukuran lebih dari 50 GT (Suharso, 2006).
Sedangkan kebutuhan tenaga kerja (nelayan) dihitung berdasarkan
peluang pengembangan armada penangkapan ikan dalam pemanfaatan potensi
sumberdaya ikan yang belum dimanfaatkan secara optimal. Peluang kerja pada
usaha penangkapan ikan tersebut akan semakin besar apabila kita hitung juga
peluang pada usaha pendukung, baik hulu maupun usaha hilir.
Untuk memanfaatkan peluang kerja pada usaha penangkapan ikan
tersebut, maka ada dua hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah, yaitu
melakukan reorientasi pendidikan perikanan dan mengembangkan pendidikan
2.4.1 Alat Tangkap Purse Seine
Pukat cincin adalah suatu alat penangkap ikan yang digolongkan dalam
kelompok jaring lingkar yang dilengkapi tali kerut dan cincin untuk
menguncupkan jaring bagian bawah pada saat dioperasikan. Peranan jaring
terhadap ikan tangkapan adalah sebagai pengurung ikan agar tidak lari dari
sergapan jaring ketika dilingkarkan. Adapun sasarannya adalah ikan pelagis
kecil seperti kembung, selar, banyar, layang dan tembang (Suharso, 2006).
Menurut ISSCFG (International Standart Statistical Classification On Fishing Gear), pukat cincin digolongkan kepada alat penangkap jaring lingkar pada kelompok jaring lingkar dengan tali kerut (purse seine), merupakan salah
satu alternatif alat penangkap ikan pelagis yang hidup bergerombol dalam bentuk
renang (seperti ikan cakalang, tongkol, layang, kembung) dengancara melingkari
kelompok renang ikan hingga terkurung oleh lingkarandinding jaring. Agar ikan
yang telah terkurung tersebut tidak dapat lolosdari perangkap jaring, maka talii ris
bawah (yang dilengkapi dengan 26 jumlah cincin) dikuncupkan oleh tali kerut
(purse line) sehingga pukat cincin membentuk seperti tangguk.
Alat tangkap purse seine dibuat dengan dinding yang panjang, panjang jaring bagian bawah sama atau lebih panjang dari gian atas. Bentuk konstruksi
jaring seperti ini, tidak ada kantong yang bentuk permanen pada jaring purse seine. Karakteristik jaring purse seine letak pada cincin yang terdapat pada bagian bawah jaring (Putra, 2012).
Menurut Baskoro (2002) dalam Putra (2012) alat tangkap purse seine
dioperasikan dengan cara lingkari gerombolan ikan baik dengan menggunakan
bagian bawah jaring erutkan hingga tertutup dengan menarik tali kerut yang
dipasang sepanjanggian bawah melalui cincin. Alat penangkapan ini ditujukan
untuk menangkap gerombolan ikan permukaan (pelagis fish).
Tujuan penangkapan purse seine adalah schooling ikan, yang artinya bahwa yang akan ditangkap tersebut biasanya hidup bergerombol (schooling),
ada dekat permukaan air (sea surface) dan diharapkan dalam suatu densitas
hoolling yang besar. Jika ikan belum terkumpul dalam suatu area penangkapan (tchable area), atau berada diluar kemampuan perangkap jaring (Putra, 2012).
2.4.2 KapalPurse Seine
KapalPurse seinejuga disebut sebagai Kapal jaring kantong karena jaring tersebut waktu perasikan menyerupai kantong. Selain itu, purse seine juga disebut ring kolor, karena pada bagian bawah jaring dilengkapi dengan tali kolor
yang berguna untuk nyatukan bagian bawah jaring sewaktu dioperasikan dengan
cara menarik tali tersebut (Suharso, 2006)
Kapal Purse seine adalah suatu kapal penangkap ikan yang digolongkan dalam kelompok jaring lingkar (surrounding net) yang dilengkapi tali kerut dan cincin untuk menguncupkan jaring bagian bawah pada saat dioperasikan. Peranan
jaring terhadap ikan hasil tangkapan adalah sebagai pengurung ikan agar tidak lari
dari sergapan jaring ketika dilingkarkan. Alat tangkappurse seine (Pukat cincin) merupakan alat tangkap yang tergolong berukuran besar, sehingga membutuhkan
ABK dan nelayan dengan jumlah yang banyak. Persiapanpurse seine dengan kelengkapannya (desain, konstruksi dan alat bantu penangkapan ikan),
kemampuan mendeteksi gerombolan ikan secara tepat dan keterampilan untuk
kegagalan dalam setiap operasi penangkapan ikan dengan menggunakanpurse seine; mengingat pengoperasian purse seine harus aktif mencari, mengejar, dan mengurung ikan pelagis yang bergerombol danbergerak cepat dalam jumlah besar;
atau melalui alat pengumpul ikan(rumpon atau lampu) (Febridaet al, 2012)
Kapal pukat cincin ketika beroperasi akan melingkarkan jarring pukat
cincin untuk mengelilingi kawanan ikan. Kapal seperti ini pada umumnya
memerlukan bentuk lambung yang dirancang khusus agar memiliki kemampuan
untuk bergerak dan berputar (Putra, 2012)
Kapal pukat cincin memerlukan turning ability (kemampuan berputar) yang besar, sehingga kapal tidak boleh terlalu panjang. Pada saat pengangkatan
jaring dan ikan ABK berada disalah satu sisi kapal untuk mencegah kapal terbalik,
maka diharuskan kapal tidak terlalu lebar dan tidak telalu tinggi (kedalaman
Kapal) sehingga titik berat kapal tidak terlalu naik (Putra, 2012).
Menurut Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, kapal perikanan
adalah kapal, perahu atau alat tampung yang dipergunakan untuk melakukan
penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan,
pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan dan
penelitian/eksplorasi perikanan.
2.4.3 PengoperasianPurse seine
Ayodhyoa (1981) mengemukakan bahwa prinsip penangkapan yang
digunakan purse seine adalah melingkari gerombolan ikan dengan jaring, kemudian bagian bawah jaring dikerutkan, sehingga ikan tujuan penangkapan
penangkapan ini adalah memperkecil ruang gerak ikan, kemungkinan ikan dapat
meloloskan diri melalui pertemuan dua celah penarikan, sehingga dibutuhkan
kecepatan dan ketepatan dalam melingkari dan menarik tali kerut
Menurut Sainsbury (1986), tahapan dalam kegiatan penangkapan ikan
menggunakan alat tangkappurse seineterbagi ke dalam dua tahap, yaitu:
1) Tahap penebaran jaring (setting) Ketika gerombolan ikan telah diketahui, kapal bergerak memutari gerombolan tersebut. Pada saat penurunan purse seine, posisi kapal terhadap arus dan angin perlu diperhatikan agar kapal dapat menebar jaring dengan baik dan gerombolan ikan terkurung sempurna.
Penebaran jaring dimulai dari bagian kantong ditautkan pada kapal kecil
untuk perlengkapan penebaran jaring (seine skiff) yang diluncurkan ke air. Pada waktu menarik jaring, skiff. ini membantu menarik jaring, atau dapat juga menautkan ujung kantong dengan pelampung besar (bouy) yang dilemparkan ke laut. Kapal kemudian bergerak mengelilingi gerombolan ikan
sambil menurunkan jaring. Biasanya penurunan jaring dilakukan di bagian
kanan kapal, akan tetapi dapat juga dilakukan di sisi kiri kapal. Bila seluruh
jaring telah ditebarkan, maka sebelum kapal penuh mengitari gerombolan
ikan, bagian sayap jaring ditarik dengan tali penarik yang ditautkan pada
kapal agar jaring terentang sempurna.
2) Tahap penarikan jaring (hauling ) Apabila kedua ujung jaring telah bertemu, maka kedua ujung jaring tersebut dinaikkan ke atas kapal dan penarikan tali
kolor dengan bantuan power block dimulai hingga semua cincin naik ke atas permukaan laut. Setelah cincin naik ke sisi lambung kapal, maka badan jaring
dipindahkan ke dalam palkah dengan bantuan alat scoop net ataupun fish pump(Rasdaniet al. 2006)
2.4.4 Hasil Tangkapan
Ayodhyoa (1981) mengemukakan bahwa ikan yang menjadi tujuan
penangkapan dari purse seine adalah ikan pelagis (schooling) spesies, yaitu ikan yang berada dalam suatu kawanan, berada dekat dengan permukaan air dan sangat
diharapkan agar densitas gerombolannya tinggi, berarti jarak antar ikan yang satu
dengan lainnya haruslah sedekat mungkin. Menurut Subani dan Barus (1989),
hasil tangkapan purse seineadalah herring (Clupea sp.), layang (Decapterus sp.), kembung (Rastrellingersp.), tongkol (Auxissp.), cakalang (Katsuwonus pelamis), tenggiri (Scomberomerus commersoni), dan sardine (Sardinellasp.).
2.5 Nelayan Pukat Cincin
Menurut Putra (2012) nelayan pada satu kapal pukat cincin terbagi dalam
bidang kapten kapal (Fishing master) wakil kapten, juru mudi, kepala kamar mesin (KKM). Juru masak (Koki) dan anak buah kapal (ABK/deck hand).
Nelayan adalah orang yang melakukan kegiatan atau aktifitas diatas kapal
dan yang mengoperasikan kapal, disamping itu nelayan harus mengetahui keadaan
atau kondisi kapal, jumlah nelayan dalam satu kapal pukat cincin tidaklah sama
tergantung besar kecilnya kapal dan alat tangkap yang di opersikannya (putra,
2012).
Menurut UU No.45 tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, nelayan kecil adalah orang yang mata
sehari - hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5
(lima)gross ton(GT).
Sedangkan dalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan juga
disebutkan bahwa pengertian nelayan adalah orang yang mata pencahariannya
melakukan penangkapan ikan. Sehingga nelayan ini adalah mereka yang
melakukan aktivitas penangkapan ikan di laut apakah dia sebagai yang pemilik
langsung alat - alat produksi maupun sebaliknya.
1. Nelayan pemilik yaitu nelayan yang memilki kapal perahu atau kapal
penangkap ikan dan dia sendiri ikut serta atau tidak ikut ke laut untuk
memperoleh hasil laut.
2. Nelayan juragan yaitu nelayan yang membawa kapal orang lain tetapi ia
tidak memiliki kapal.
3. Nelayan buruh yaitu nelayan yang hanya memiliki faktor produksi tenaga
kerja tanpa memiliki perahu penangkap ikan. Berdasarkan perahu/kapal
penangkap ikan, nelayan pemilik nelayan bermotor.
Nelayan tradisional memakai perahu tanpa mesin/motor. Bila perahu
mempunyai mesin yang ditempel di luar perahu disebut perahu motor tempel,
bila perahu/kapal mempunyai mesin di dalam kapal maka disebut kapal motor.
Berdasarkan besarnya mesin yang digunakan, diukur dengan GT (Gross Ton), kapal motor dibagi menjadi:
• kapal kecil, yaitu < 5 GT–10 GT
• kapal sedang, yaitu 10 GT–30 GT
Subani dan Barus (1989) mengemukakan bahwa jumlah nelayan tiap kapal
purse seine tidaklah sama, bergantung pada skala usahanya. Jika skala kecil jumlah ABK sekitar 15-20 orang, sedangkan skala besar jumlah ABK bisa
3.1 Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh
Barat pada bulan Maret s/d April 2013
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah kamera sedangkan bahan yang digunakan
adalah kuesioner untuk nelayan, Pawang boat, Panglima Laot lhokdan Pedagang ikan dikecamatan Johan Pahlawan
3.3 Metode Penelitian
Metode Penelitian yang digunakan adalah metode Survei dan lapangan
mengenai kelembagaan panglima laot lhok dalam mengelolaan perikanan pukat cincin di kecamatan Johan Pahlawan. Sedangkan observasi sebagai metode
pengumpul data mempunyai ciri yang spesifik bila di bandingkan dengan teknik
lain, yaitu wawancara atau kuesioner. Kalau wawancara dan kuesioner selalu
berkomunikasi dengan orang, maka observasi tidak terbatas pada orang, tetapi
juga objek-objek yang lain (Sugiyono, 2011).
Rahardjo & Gudnanto (2011) menyatakan bahwa observasi adalah
kegiatan pengamatan (secara inderawi) yang direncanakan, sistematis dan
hasilnya di catat serta dimaknai (diinterpretasikan) dalam rangka memperoleh
3.4 Teknik Penetapan Sampel
Penetapan sampel dalam penelitian ini adalah secara sengaja (Porposive Sampling) sampel yang dipilih mampu berkonikasi pada saat wawancara. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel. 1. Jumlah responden sebagai sampel.
No Responden Jumlah responden
1 Panglima Laot Kabupaten 1 Orang
2 Panglima Laot Kecamatan 1 Orang
3 Panglima Laot Lhok 3 Orang
4 Nelayan ABK dan Pawang Boat 6 Orang
5 Kadis DKP/Kabid Penangkapan 1 Orang
6 Nelayan 4 Orang
Jumlah 16 Orang
3.5 Metode Pengumpulan Data
Metode pengambilan data yang digunakan adalah dengan metode
wawancara dengan mengunakan kuisioner. Pengambilan sampel sacaraPurposive Sampling, dimana responden dipilih dengan sengaja berdasarkan pertimbangan bahwa responden mampu berkomunikasi dengan baik pada saat wawancara, dan
menguasai tentang masalah yang sedang diteliti.
Data yang dikumpulkan pada penelitian kelembagaan panglima laot lhok
dalam mengelolaan perikanan pukat cincin di kecamatan Johan Pahlawan
mencakup Data Primer dan Data Sekunder. Data primer diperoleh dari responden
penelitian sedangkan Data sekunder diperoleh dari instansi yang terkait seperti
terlihat pada tabel 3 :
Tabel 2. Data Primer dan Data Sekunder
No Data Informasi
1 Data Primer Dasar hukum kelembagaanPanglima Laôt;
Aturan atau ketentuan Panglima Laôt dalam mengelola perikananpurse seine;
Sejarah lahirnya kelembagaanPanglima Laôt; Susunan kelembagaanPanglima Laôt
2 Data Sekunder Dinas Kelautan Perikanan, Badan Pusat Statistik, laporan-laporan peneliti terdahulu.
3.6 Metode Analisa Data
Metode analisa data yang digunakan adalah metode deskriptif. Menurut
Whitney ( 1960 ) dalam Nazir (1983), metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Kemudian data tersebut diolah dan ditampilkan
dalam bentuk tabel dan diagram.
3.6.1 Studi Kelembagaan
Berdasarkan Sugiyanto (2002), ada dua metode pendekatan yang dapat
dimanfaatkan untuk mempelajari atau mengkaji dalam menelusuri keberadaan
lembaga-lembaga sosial yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat. Kedua
pendekatan tersebut adalah:
1. Pendekatan Historis
Mengkaji keberadaan lembaga ditelusuri melalui sejarah lahirnya lembaga
2. Pendekatan Hubungan
Pendekatan ini lebih menekankan pada hubungan fungsional artinya
lembaga adat Panglima Laôt tidak mungkin hidup sendiri tanpa ada hubungan/kaitmengkait dengan lembaga lainnya.
3.6.2 Studi Persepsi Nelayan
Metode digunakan untuk mengstudi persepsi nelayan adalah dengan
menggunakan tabulasi data. Menurut Arikunto (2006 ), kegiatan yang termasuk ke
dalam kegiatan tabulasi data ini antara lain:
1. Memberikan skor (scoring) terhadap item-item yang perlu diberi skor. 2. Memberikan kode terhadap item-item yang tidak diberi skor.
3. Mengubah jenis data, disesuaikan atau dimodifikasikan dengan teknik analisis
yang akan digunakan.
4. Memberikan kode (coding) dalam hubungan pengolahan data jika akan menggunakan komputer.
Variabel persepsi Nelayan yang digunakan yaitu: 1. Pengetahuan nelayan
tentang Lembaga adatPanglima LaôtLhôk; 2. Kepatuhan nelayan terhadap aturan hukum adat laut, dan 3. Kepuasan nelayan terhadap kinerja Panglima LaôtLhôk.
Skor untuk variabel persepsi pertama berkisar antara 20 sampai 4. Sementara skor
untuk variabel persepsi kedua berkisar antara 10 sampai 2, sedangkan skor untuk
kepuasan nelayan terhadap kinerja Panglima Laôt berkisar antara 15 sampai 3. Rincian variabel dan kriteria skor yang akan diuji untuk memperoleh persepsi dari
Tabel. 3. Variabel Tingkat Persepsi Nelayan terhadap keberadaanPanglima
LaôtLhôk.
No Variabel Persepsi Skor
1. Pengetahuan Nelayan tentang Lembaga
Panglima laot Lhok 20-4
2. Kepatuhan nelayan terhadap aturan hukum
adat laut 10-2
a. Mematuhi aturan hukum adat laut
b. Keikutsertaan menegakkan hukum adat laut
- Sangat Tinggi (ST)
- Cukup Tinggi (CT) 5 4
3. Kepuasan nelayan terhadap kinerja
Panglima Laôt Lhôk
Sumber : Robbins (1996)diacu dalam Nanda (2011)
Tingkat persepsi dibagi menjadi tiga klasifikasi tingkatan, yaitu: tinggi,
sedang dan rendah. Masing-masing klasifikasi ditentukan dengan cara
mengurangkan jumlah total skor tertinggi dengan jumlah total skor terendah dari
ketiga variabel persepsi yang telah ditentukan. Adapun total skor tertinggi dari
ketiga variabel sebesar 45, sedangkan total skor terendah ketiga variabel sebesar
9. Hasil pengurangan yang diproleh dibagi dengan jumlah klasifikasi tingkat
Berdasarkan hasil di atas sehingga diturunkan berdasarkan klasifikasi
Tingkat Persepsi Nelayan sebagai berikut (Robbin 1996) diacu dalam nanda (2011).
1. Skor 37–47 = Tingkat Persepsi Tinggi 2. Skor 22 - 35 = Tingkat Persepsi Sedang 3. Skor 9 - 21 = Tingkat Persepsi Rendah
Keterangan :
a. 5 : Sangat Mengetahui b. 4 : Cukup mengetahui c. 3 : Mengetahui
IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1 Letak Geografis Derah penelitian
Kabupaten Aceh Barat terletak di bagian ujung pulau sumatera di pesisir barat
Provinsi Aceh dengan letak geografis 04o 06’ 36” Lintang Utara dan 95o 52’ 43”
96o 16 45” Bujur Timur. Dengan luas wilayah kabupaten Aceh Barat mencapai
2.927.95 Km2 atau seluas 292.795 Ha, sedangkan panjang garis pantai
diperhitungkan 50,55 Km luas laut 233 Km2.
Daerah Lokasi Penelitian berada di Desa Ujung Baroh di kecamatan Johan
Pahlawan, dengan Luas Wilayah Kecamatan Johan Pahlawan adalah 44,91 km2
atau 1,53 % dari luas kabupaten Aceh Barat. Desa ujung Baroh sebelah Utara
berbatasan dengan Rundeng, sebelah Timur berbatasan dengan Panggong, sebelah
selatan berbatasan dengan Padang Serahet, dan sebelah barat berbatasan dengan
Ujung kalak.
Secara geografis Kabupaten Aceh Barat berbatasan, disebelah utara dengan
kabupaten Aceh Jaya dan Kabupaten Pidie, sebelah timur dengan kabupaten Aceh
Tengah dan Kabupaten Nagan Raya, sebelah barat dengan Samudera Indonesia
dan Kabupaten Nagan Raya.
Kabupaten ini memiliki empat Kecamatan yang berbatasan langsung dengan
Samudera Indonesia dan merupakan Kecamatan pesisir yaitu kecamatan Johan
Pahlawan, Meureubo, Samatiga dan kecamatan arongan lambalek. Dan kecamatan
daratan ada 8 (delapan) meliputi yaitu kaway XVI, Sungai Mas, Pantee
4.2 Nelayan
Nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung
langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun
budidaya. Mereka pada umumnya tinggal dipinggir pantai, sebuah lingkungan
pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya. Keadaan jumlah Nelayan
Menurut Kecamatan Johan Pahlawan dapat dilihat pada Tabel 4 dibawah ini.
Tabel 4 Jumlah Nelayan Kecamatan Johan Pahlawan Periode Tahun 2008-2011
Sumber : DKP Kabupaten Aceh Barat Tahun 2012 (diolah)
Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Nelayan di kecamatan Johan
Pahlawan pada tahun 2008 para nelayan berjumlah 1811 jiwa, dan pada tahun
2009 nelayan berjumlah 1596 jiwa, di ikuti pada tahun 2010 para nelayan
berjumlah 1621 jiwa, dan pada tahun 2011 jumlah para nelayan berkisar 1698
jiwa. Dengan tingkat persentasenya seperti dijelaskan pada grafik dibawah ini.
Berdasarkan gambar 1 diatas jumlah nelayan di kecamatan Johan Pahlawan
pada tahun periode 2008-2011 diperoleh persentase yang berbeda pada tiap
tahunnya, pada tahun 2008 jumlah nelayan tingkat pertumbuhannya yaitu 1811
orang (26.92%), lalu pada tahun 2009 jumlah nelayan mengalami penurunan
menjadi sebanyak 1596 orang (23.73%), Dari jumlah nelayan ini dapat dilihat
bahwa kebanyakan dari jumlah nelayan tersebut beralih ke pekerjaan sampingan
lainnya, dan pada tahun 2010 jumlah nelayan meningkat menjadi 1621orang
(24.11%), lalu pada tahun 2011 jumlah nelayan lebih meningkat menjadi 1698
orang (25.24%), nelayan yang tadinya jarang pergi melaut sekarang sudah
kembali menjadi nelayan tetap ini disebabkan banyaknya bantuan dari NGO untuk
nelayan mencapai 50% berupa kapal dan alat tangkap.
4.3 Kapal Penangkapan Ikan
Menurut UU No 45 Tahun 2009 kapal merupakan perahu, atau alat apung
lain yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan dan mendukung
operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan
ikan, pelatihan perikanan, penelitian perikanan, sehingga proses produksi ikan
dapat berjalan secara efesien.
Jumlah Kapal yang digunakan oleh nelayan Kecamatan Johan Pahlawan
sangat beragam yang terdiri dari Kapal Motor, Motor Tempel dan Perahu tanpa
Mesin. Kapal-kapal yang ada sekarang ini sudah bisa membantu para nelayan
Tabel 5 Jumlah Kapal Penangkapan Ikan di Kecamatan Johan Pahlawan
Jumlah PM 506 331 333 352
Total 519 344 353 382
Sumber : DKP 2008-2011Kabupaten Aceh Barat; diolah kembali 2012
Keterangan : PTM = Perahu Tanpa Motor, PM = Perahu Motor, MT = Motor Tempel, KM = Kapal Motor
Kapal Penangkapan Ikan yang beroperasi di Kecamatan Johan pahlawan
terdiri dari sampan (Perahu Tanpa Motor) dan perahu motor (PM). Perahu Tanpa
Motor (PTM) terbagi dalam perahu tanpa motor kecil, sedang dan besar.
Sedangkan perahu motor tempel terbagi dalam perahu motor tempel dan kapal
motor (KM). Jumlah kapal penangkapan ikan di kecamatan Johan Pahlawan
periode tahun 2008-2011 dapat dilihat di atas pada Tabel 5 dibawah ini.
Gambar 2 Jumlah kapal di Kecamatan Johan Pahlawan Periode Tahun 2007-2011
Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat jumlah Kapal yang terdapat dalam
Kecamatan Johan Pahawan yang terbagi dalam tiga jenis kapal, kapal Motor,
Motor Tempel, dan juga Perahu tanpa Mesin. Pada tahun 2008 jumlah kapal
mencapai 519 Unit (24,83%) dalam periode dua tahun jumlah kapal meningkat,
sedangkan pada tahun 2009-2011 jumlah kapal sangat menurun pada tahun 2009
kapal berjumlah 344 Unit (16,45%), seterusnya pada tahun 2010 kapal berjumlah
353 Unit (16,88%), dan tahun 2011 kapal naik menjadi 382 Unit (18,27%).
Menurut Panglima laot terjadinya peningkatan jumlah kapal di Kecamatan
Johan Pahlawan 2008-2009 karena banyaknya bantuan kapal dari Instasi terkait,
sedangkan pada tahun 2010 jumlah kapal menurun disebabkan oleh banyaknya
peluang kerja yang dibuka dari pihak NGO sedangkan armada penangkap ikan
dibiarkan terlantar bahkan ada yang dijual keluar daerah, tahun 2011 jumlah kapal
terjadi peningkatan karena sebagian nelayan sudah mengoperasikan kembali kapal
untuk kegiatan penangkapan ikan.
4.4 Alat Penangkapan Umum
Menurut Ayodhya (1981) mengatakan bahwa Purse-seine adalah suatu alat tangkap ikan yang bentuknya persegi panjang, mempunyai mata jaring yang
tidak sama antara bagian yang satu dengan bagian lainnya, lebar jaring lebih
pendek dari panjangnya, pada bagian atas dipasang pelampung, sedangkan pada
bagian bawah dipasang pembera dan cincin. Purse-seine merupakan alat tangkap yang paling efektif untuk menangkap ikan-ikan pelagis yang bergerombol
Amerika. Dalam perkembangannya barulah Jepang memperkenalkan alat ini pada
tahun 1882 digunakan untuk menangkap ikan sarden.
Perkembangan alat tangkappurse-seinedi Indonesia di mulai sekitar tahun 1950 tepatnya di perairan Sumatera Utara bagian timur, pada tahun 1969 muncul
purse-seine tipe Aceh yang digunakan untuk menangkap ikan cakalang dan Lembaga Penelitian Laut (LPPL) telah memperkenalkan alat tangkap purse-seine
pada nelayan sejak tahun 1968, maka pada tahun-tahun tersebutlah dapat
dikatakan awal dikenalnya alat tangkappurse-seine. Prinsip-prinsip penangkapan ikan dengan menggunakan pukat cincin adalah dengan cara melingkarkan jaring
ke dalam suatu gerombolan ikan, kemudian jaring bagian bawah di kerucut
sehingga ikan-ikan akan berkumpul pada bagian kantong. Alat ini bersifat
mempersempit ruang gerak ikan sehingga tidak dapat melarikan diri, fungsi mata
jaring sebagai dinding penghadang dan bukan sebagai penjerit ikan (Ayodhya
1981).
Jaring pukat cincin (Purse seine) merupakan alat tangkap yang efektif untuk menangkap ikan-ikan pelagis yang berada dalam kawasan yang besar, baik
di perairan pantai maupun lepas pantai Purse seine (Pukat Cincin) adalah jenis alat tangkap yang tergolong seine yaitu merupakan alat tangkap yang aktif untuk menangkap ikan-ikan pelagis yang umumnya hidup membentuk kawanan dalam
kelompok besar.
Menurut responden di kecamatan Johan pahlawan, Pukat cincin yang ada
di kecamatan Johan Pahlawan terdapat 24 unit, yang mana 2 di antara nya masih
namun para nelayan lebih bisa mampu memenuhi ekonomi rumah tangga, karena
tangkapan dari hasil pukat cincin lebih banyak dan ekonomisnya lebih tinggi.
Namun kendala tetap saja ada pada saat penangkapan memakai pukat
cincin di antaranya, kapal yang rusak, dan pada saat badai datang, sehingga pada
saat itu nelayan tidak dapat melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut. Namun
para nelayan di mana pada waktu santai di isi dengan memperbaiki alat-alat
tangkap yang mengalami kerusakan.
4.4.1 Alat TangkapPurse Seine
Menurut Baskoro (2002) alat tangkap purse seine dioperasikan dengan cara menglingkari gerombolan ikan baik dengan menggunakan satu kapal
ataupun dua kapal. Setelah gerombolan ikan terkurung, kemudian bagian
bawah jaring erutkan hingga tertutup dengan menarik tali kerut yang dipasang
sepanjang bagian bawah melalui cincin. Alat penangkapan ini ditujukan untuk
Tabel 6 Jumlah Alat Tangkap di Kecamatan Johan Pahlawan Periode Tahun
Sumber : DKP 2008-2011Kabupaten Aceh Barat; diolah kembali 2012
Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Alat Tangkap Purse Seinedi kecamatan Johan Pahlawan pada periode 2008-2011 terlihat pada tiap tahunnya
berbeda, pada tahun 2008 terdapat 20 alat tangkap, seterusnya pada tahun 2009
berjumlah 22 alat tangkap, selanjutnya pada tahun 2010 berjumlah 22 alat
tangkap, pada tahun 2011 alat tangkap berjumlah 24. Dengan tingkat
persentasenya seperti dijelaskan pada grafik 3 dibawah ini.
Gambar 3 Jumlah Alat Tangkap Purse Seine di Kecamatan Johan Pahlawan Periode Tahun 2008-2011
Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat jumlah Alat Tangkap Purse Seine
yang terdapat dalam Kecamatan Johan Pahawan pada tiap tahunnnya adanya
peningkatan, peningkatan ini menurut responden adanya bantuan alat tangkap dari
instasi terkait, pada tahun 2008 alat tangkap masih berkisar 20 alat (15,15%), pada
tahun 2009 alat tangkap meningkata menjadi 22 alat (16,66%), berlanjut pada
tahun 2010 alat tangkap masih berjumlah sama yaitu 22 alat (16,66%), dan
seterusnya pada tahun 2011 semakin meningkat menjadi 24 alat tangkap
(18,18%). Menurut responden yang mana alat tangkap di Johan Pahlawan pada
pada saat ini berjumlah 24 alat, yang mana 2 diantara nya masih dalam perbaikan,
sehingga alat tangkap yang aktif pada saat ini berjumlah 22 alat.
4.5 kelembagaan Perikanan Dan Kelautan
Kelembagaan Perikanan dan Kelautan yang terdapat di kecamatan Johan
Pahlawan meliputi Panglima laot (Lembaga hokum adat laut), HNSI (Himpunan
Nelayan Indonesia), Koperasi, GAPI (Gabungan Pendagang Ikan) dan GAPIKA
(Gabungan Pengelola Ikan) Panglima Laot merupakan lembanga adat yang
berfungsi sebagai Ketua adat bagi nelayan di pantai/masyarakat pesisir, serta
merupakan unsur penghubung antara pemerintah dengan rakyat (nelayan) di tepi
pantai guna mensuseskan program pembangunan perikanan dan program
pemerintah secara umum. Fungsi dan tugas Panglima Laot diharapkan dapat
membantu pemerintah dalam memelihara fasilitas perikanan, melertarikan adat
istiadat, dan kebiasaan dalam masyarakat nelayan
Sebagaimana fungsi dan peranan Panglima Laot maka dalam wilayah Johan
Pahlawan terdapat tiga wilayah administrasi kepengurusan Panglima Laot, yaitu
Panglima Laot Lhok, Panglima Laot Kabupaten/Kota, dan Panglima Laot
Propinsi. Wilayah-wilayah tersebut secara struktur organisasi terdiri dari
penasehat, Ketua, wakil ketua, sekretaris dan bendahara Panglima Laot berfungsi
perikanan, melestarikan adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat
nelayan, diantaranya :
a. Panglima Laot Lhok menyelesaikan sengketa antara nelayan di wilayah
kerjanya;
b. Panglima Laot Kabupaten/Kota melaksanakan penyelesaian sengketa antara
nelayan dari 2 atau lebih, dimana Panglima Laot Lhok yang bersangkutan
sebelumnya belum dapat menyelesaikan, serta mengatur jadwal kenduri Adat
Laot sehingga tidak terjadi Kenduri yang dilaksanakan pada hari-hari yang
sama dalam Kabupaten atau kota;
c. Panglima Loat Propinsi mengkoordinir pelaksanaan Hukum Adat Laot di
Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan menjembatani mengurus
kepentingan-kepentingan nelayan di tingkat propinsi
Johan Pahlawan memiliki sistem kelembagaan nelayan yang sama seperti di
tingkat propinsi. Adanya kelembagaan adat laut, dalam hal ini Panglima Laot,
harapanya semakin memudahkan nelayan atau masyarakat pesisir untuk
menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah daerah (Pemda) atau pemerintah
propinsi, sehingga kesejahteraan masyarakat pesisir atau nelayan dapat
meningkat. Selain itu, Kelembagaan adat ini (Panglima Laot) dapat berperan lebih
dalam pelaksanaan pembangunan yang dilakukan pemerintah, terutama yang
terkait dengan pembangunan yang menyentuh, masyarakat pesisir atau nelayan
V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil penelitian
5.1 Sejarah lahirnya Lembaga Panglima Laot
Lembaga panglima laot sudah sejak lama ada. Dalam catatan sejarahnya adat
laot lahir sejak abad ke-14, dimasa Sultan Iskandar Muda. Panglima Laot adalah
perpanjangan tangan sultan untuk pemungut pajak dan memobilisasi massa dalam
peperangan. Akan tetapi peran ini terus mengalami pergeseran seiring perubahan
zaman.
Pergeseran peran Panglima laot terutama terjadi pada zaman kolonial
Belanda. Seperti dijelaskan Snouck Hurgronje (Soko Guru, 1985) dalam “Aceh di
Mata Kolonial”, Panglima Laot tidak lagi merupakan kepanjangan sultan.
Panglima Laot lebih berupa pemimpin adat kaum nelayan yang mengatur segala
praktek kenelayanan dan kehidupan sosial yang terkait di sebuah wilayah.
5.2 Peran dan Fungsi Panglima Laot Lhok
Peran dan Fungsi panglima laot, umumnya berkaitan dengan peran sosial
yang mencakup, antara lain:
a. Resolusi Konflik,
b. Advokasi ke nelayan dan ke pihak terkait,
c. Koordinasi dan menjebatani antar panglima Loat dan nelayan dengan
pihak terkait, momotoring dan evaluasi,
d. Meningkatkan kesadaran pihak luar terhadap keberadaan panglima laot di
tingkat kabupaten dan lhok,
Masalah resolusi konflik itu sendiri, umumnya berhungan dengan
penyelesaian sengketa anak nelayan, baik antara sesama anggota nelayan dengan
kelompoknya maupun antara nelayan setempat dengan nelayan dari luar lhok. Hal
lain yang termasuk dalam Fungsi panglima laot, adalah sebagai berikut:
a. Memelihara dan mengawasi (menegakkan) ketentuan-ketentuan hukum adat
laot,
b. Mengkoordinir dan mengawasi setiap usaha penangkapan ikan di laut,
c. Mengurus dan menyelenggarakan upacara adat laot,
d. Menjaga dan mengawasi agar pohon-pohon di tepi pantai sehingga tidak di
tebang karena ikan akan menjauh ke tengah laut (perlu disesuaikan dengan
kondisi dan situasi di daerah setempat)
Adat istiadat merupakan tata kelakuan yang kekal serta kuat intergrasi nya
dengan pola- pola kelakuan masyarakat, kaidah yang di kenal ,diakui, dan di taati,
namun tidak menpunyai kekuatan mengikat (biding force)tidak dipaksakan. Lembaga adat laot ini yang ada di Johan Pahlawan merupakan badan
penghubung antara nelayan dengan pemerintah dan antara Panglima laot yang
satu dengan Panglima Laot lainnya.
5.4 Kelembagaan Panglima Laot Lhok dalam MengelolaPurse Seine
Kelembagaan Panglima laot lhok yang ada di Johan pahlawan aktif dalam
membina nelayan serta mampu menyelesaikan permasalahan yang ada di
saat berlayar sehingga dapat keluar wilayah Purse Seine, maka nelayan tersebut wajib melaporkan kepada panglima laot lhok setempat.
Panglima laot pun mengatasi permasalahan pada tiap-tiap kapal yang
mengalami kerusakan untuk di rehap kembali dengan biaya dari dinas yang di
tuju. Lembaga panglima laot lhok dengan nelayan Purse Seinedalam melakukan kegiatan perikanan mempunyai peraturan yang telah di tetapkan oleh panglima
laot lhok setempat.
Nelayan adalah orang yang melakukan kegiatan diatas kapal dan
mengoperasikan kapal, dan panglima laot lhok mengawas dan memberi arahan
pada saat nelayan berlayar di laut, sehingga panglima laot lhok dan nelayanPurse Seine saling membantu satu sama yang lainnya. Selain itu, hokum adat juga mengatur tata cara penangkapan, menetap kan waktu penangkapan ikan laut dan
menyelesaikan perselisihan.
B. Pembahasan 5.3 Persepsi Nelayan
Hasil penggalian terhadap tingkat persepsi nelayan terhadap keberadaan
Panglima laot Lhok, menunjukan persepsi tentang keberadaan Panglima laot Lhok
di Johan Pahlawan yang mana sebagian nelayan sudah sepenuhnya mengetahui
dan memehami tentang makna dari panglima Laot Lhok itu sendiri, seperti sejarah
Panglima Laot Lhok, tugas dan Fungsi serta aturan-aturan yang ditetapkan oleh
Panglima Laot Lhok Pada saat kegiatan perikanan Purse Seine dilakukan Oleh para nelayan. Adapun beberapa diantaranya belum bisa memahami dan mengerti
Namun Beberapa persepsi nelayan yang ada di kecamatan Johan Pahlawan
menyatakan bahwa keberadaan Panglima Loat Lhok di kalangan para nelayan
Tabel 7 Variabel Tingkat Persepsi Nelayan terhadap keberadaan Panglima laot Lhok
No Variabel Persepsi Skor Keterangan
1 Pengetahuan Nelayan tentang
Lembaga Panglima Laot Lhok 20-4
d. Adat laot dan hukum Sangat Mengetahui (SM)
5
Dari segi ini Responden Sangat mengetahui adat laot dan hukumnya.
2 Kepatuhan nelayan terhadap
aturan hukum adat laot 15-3 a. Menjalani aturan dari
panglima laot lhok
b. Menerima arahan dari Panglima laot Lhok
3 Kepuasaan nelayan terhadap
kinerja panglima laot lhok 10-3 a. Menjalankan Tugas dan
Berdasarkan Tabel 7 di atas sehingga diturunkan berdasarkan klasifikasi
Tingkat Persepsi Nelayan sebagai berikut (Robbin 1996) diacu dalam nanda (2011).
1. Skor 37–47 = Tingkat Persepsi Tinggi 2. Skor 22 - 36 = Tingkat Persepsi Sedang
3. Skor 9 - 21 = Tingkat Persepsi Rendah
Menurut Nazir (l983) Memberi skor masing-masing persepsi mulai dari 2
(Kurang mengetahui) sampai dengan 5 (Sangat mengetahui). Persepsi tersebut
kemungkinan dapat memberikan dampak terhadap persepsi para nelayan. Skor
diukur berdasarkan tingkat pengetahuan nelayan dan persepsinya. Kriteria skor
diperoleh berdasarkan dari hasil wawancara yang terstruktur (kuisioner). Kriteria
skor untuk persepsi nelayan adalah sebagai berikut :
a. 5 : Sangat Mengetahui
b. 4 : Cukup mengetahui
c. 3 : Mengetahui
d. 2 : Kurang Mengetahui
Hasil dari wawancara dari 16 responden dapat pada Tabel 7 diatas yaitu
nelayan yang ada di lapangan menemukan hasil yang mana ada di tingkat Persepsi
Tinggi, dengan skor 44. Sehingga nelayan pada saat ini sudah lebih jauh mengerti
tentang keberadaan Panglima Laot Lhok di sekitar para nelayan, walau hanya
beberapa di antara nelayan belum mengetahui dan memahami fungsi dan peran
Panglima Laot Lhok di kecamatan Johan Pahlawan dengan baik. Namun para
Adli AM, S Tripa dan T Muttaqiin. 2006. Selama Kearifan adalah Kekayaan. Banda Aceh: Lembaga HukumPanglima Laôtdan Yayasan KEHATI. 187 hal.
Ayodhyoa AU. 1981. Metode Penangkapan Ikan. Bogor: Yayasan Dewi Sri. 97 hal.
Diana, F. S. Mahjali, Edwarsyah, A. Rozi, 2010. Rumpon Reef piramit Sebagai Ekosistem Baru Biota Laut.Jurnal Ilmiah Pembangunan Aceh.
Fahmi. I, Syahiruddin, Yovi.Lavianti Hadi. 2009. Studi Kelayakan Bisnis teori dan aplikasi. Bandung, penerbit Alfabeta.
Febrida. S. Arini. M. Nurdiansyah. Annisa. R. R. Afa. S. Adrio. J. Adhitya. R. 2012. Makalah Alat Tangkap Purse Seine. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Program Studi Jatinagor. Universitas Padjadjaran.
Nanda.V. 2011. Analisis Kelembagaan Panglima Laot Lhok Dalam pengelolaan Perikanan kegiatan perikanan Purse saine di Kecamatan Muara Batu kabupaten Aceh Utara. [Skripsi]. Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap. Depatemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
Nazir, M. 1983. Metode Penelitian, Penerbit Ghalia Indonesia.
Putra. A. 2012. Analisis Pengembangan Perikanan Purse Seine Kabupaten Aceh Besar. [Skripsi] Fakultas Perikanan dan Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat-Istiadat.
Qanun Nomor 16 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
Rahmad.W.S. 2011. Kajian yuridis penyelesaian sengketa dan pelanggaran adat laot oleh panglima laot sebagai pemimpin adat laot [skripsi ]. Fakultas hukum. Universitas syiah kuala. Banda aceh.
Rahardjo, Susilo & Gudnanto. (2011). Pemahaman Individu Teknik Non Tes. Kudus: Nora Media Enterprise.
Ruttan V.W and Hayami Y. 1984. Toward a theory of induced institutional innovation. Journal of Development Studies.Vol. 20:
Sainsbury JC. 1986.Commercial Fishing Methods: an introduction to vessels and Gears. England: Fishing News Books, Ltd. Farnham. P. 112-140.
Suharso. 2006. Elastisitas Produksi Perikanan Tangkap Kota Tegal. [Tesis] Program Pascasarjana Universitas Diponegoro . Semarang.
Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Supriyono, RA. 1989. Akutansi Manajemen. Yogyakarta, Penerbit sekolah tinggi ilmu ekonomi YKPN. 27 hal.
Subani W dan HR Barus. 1989. Alat Penangkap Ikan dan Udang Laut di Indonesia. Jurnal Perikanan Laut. Nomor: 50 tahun 1988/1989. Jakarta: Balai Penelitian Perikanan Laut, Departemen Pertanian. 248 hal.
Undang-undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Available. Diakses tanggal 22 Oktober 2011 dari http://www.dkp.go.id
Widodo. J. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Penerbit Gajah Madah University Prees.
Widodo S. 2008. Kelembagaan, Kapital Sosial dan Pembangunan. http://learning