• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI KELEMBAGAAN PANGLIMA LAÔT LHÔK DALAM PENGELOLAAN PERIKANAN PURSESEINE DI KECAMATAN JOHAN PAHLAWAN KABUPATENACEH BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "STUDI KELEMBAGAAN PANGLIMA LAÔT LHÔK DALAM PENGELOLAAN PERIKANAN PURSESEINE DI KECAMATAN JOHAN PAHLAWAN KABUPATENACEH BARAT"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

KECAMATAN JOHAN PAHLAWAN

KABUPATENACEH BARAT

SKRIPSI

NURAINI 07C10432031

PROGRAM STUDI PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS TEUKU UMAR

(2)

KECAMATAN JOHAN PAHLAWAN

KABUPATEN ACEH BARAT

SKRIPSI

NURAINI 07C10432031

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Teuku Umar

PROGRAM STUDI PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS TEUKU UMAR

(3)

Judul Skripsi : Studi Kelembagaan Panglima Laôt Lhôk Dalam Pengelolaan Perikanan Purse Seine di Kecamatan Johan PahlawanKabupaten Aceh Barat

Nama : Nuraini

Nim : 07C10432031

Program Studi : perikanan

Disetujui Komisi Pembimbing

Pembimbing Pembimbing

Ir.Said Mahjali, MM Ir. Baihaqi

NIDN :0110116502 NIDN : 0108116601

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Fakultas Perikanan dan

perikanan Ilmu Kelautan

Muhammad Rizal, S.Pi., M.Si Uswatun Hasanah, S.Si., M.Si

NIDN : 0111018301 NIDN : 0121057802

(4)

Skripsi/tugas akhir dengan judul:

STUDI KELEMBAGAANPANGLIMA LAÔT LHÔKDALAM PENGELOLAAN PERIKANANPURSE SEINEDIKECAMATAN JOHAN PAHLAWAN

KABUPATEN ACEH BARAT

Yang disusun oleh :

Nama : Nuraini

Nim : 07C10432031

Fakultas : Perikanan dan Ilmu Kelautan Program Studi : Perikanan

Telah dipertahankan didepan dewan penguji pada tanggal 11 Oktober 2013 dan dinyatakan memenuhi syarat untuk diterima.

SUSUNAN DEWAN PENGUJI

1. Ir.Said Mahjali, MM

(Dosen Penguji I) ………

2. Ir Baihaqi

(Dosen Penguji II) ………

3. Safrizal, M. Sc

(Dosen Penguji III) ………

4. Erlita, S.Pi

(Dosen Penguji IV) ………

Alue Penyareng, 11 Oktober 2013 Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

(5)

Penulis sadar akan kemampuan dan keterbatasan pengetahuan Segala puji

syukur ditujukan kehadiran Allah SWT, yang mana atas rahmat dan ridha-Nya,

sehingga dapat menyelesaikan sebuah Skripsi ini dengan judul “Studi

Kelembagaan Panglima Laot Lhok dalam pengelolaan Perikanan Pukat cincin di kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat.” ini dapat

terselesaikan, untuk memenuhi sebagai persyaratan dalam memperoleh Gelar

Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Teuku

Umar Meulaboh–Aceh Barat dalam menyusun Skripsi ini

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir.Said Mahjali, MM., dan Ir

Baihaqi selaku pembimbing yang telah membantu penulis sehingga skripsi ini

dapat diselesaikan dengan baik. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada

semua pihak yang telah membantu proses penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak

kekurangan dan kelemahan, oleh karena itu penulis mengaharapkan saran dan

kritik yang membangun. Dengan senatiasa memohon ampun ke Rabb semesta

alam, Allah SWT, dari segala kesalahan dan kelalaian. Semoga hasil penelitian

dalam bentuk skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan di

kemudian hari.

Meulaboh, 11 Oktober 2013

(6)

1.1 Latar Belakang

Aceh Barat yang memiliki panjang garis pantai 50,55 km dengan luas

perairan lautnya 80,88 km2 dengan berbagai variasi ekosisistem memiliki hasil

tangkapan ikan laut yang beragam. Kabupaten Aceh Barat merupakan wilayah

pesisir yang kaya akan hasil perikanannya. Hal tersebut tidak terlepas dari

letaknya yang menghadap langsung Samudera Hindia yang kaya akan ikan.

Namun belum banyak diketahui secara detail jenis - jenis yang perlu diketahui

secara terpadu. Salah satu penyebabnya adalah tidak tersedianya data dan

informasi mengenai potensi sumberdaya perikanan wilayah Aceh Barat

khususnya. Kurangnya data dan informasi menyebabkan potensi perikanan tidak

dapat dimanfaatkan secara optimal dan lestari (Dianaet al, 2010).

Johan Pahlawan merupakan salah satu kecamatan yang terletak di

wilayah pesisir Kabupaten Aceh Barat yang memiliki sumberdaya ikan yang

dapat dimanfaatkan bagi masyarakat setempat maupun luar daerah. Kegiatan

perikanan tangkap merupakan kegiatan yang menopang perekonomian

masyarakatdi Kecamatan Johan Pahlawan.

Purse seine merupakan salah satu alat penangkap ikan modern yang dioperasikan oleh nelayan di Johan Pahlawan. Namun berpengaruh besar

terhadap kelestarian sumberdaya ikan di wilayah Perairan kecamatan Johan

Pahlawan. Karena nelayan berusaha menangkap ikan sebanyaknya demi

(7)

Pengelolaan kegiatan perikanan purse seine perlu dilakukan mengingat Pengelolaan tersebut bertujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan potensi

sumberdaya ikan guna meningkatkan pendapatan nelayan serta menjaga

kelestarian sumberdaya ikan.

Panglima Laôt Lhôk merupakan lembaga pemimpin adat nelayan atau pesisir yang memiliki kekuasaan mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan

kegiatan penangkapan ikan seperti mengatur wilayah penangkapan ikan, alat

tangkap yang digunakan, waktu penangkapan ikan, menyelesaikan permasalahan

antar nelayan (konflik), dan masalah lainnya yang terkait dalam kegiatan

perikanan tangkap di daerah tersebut. Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik

melakukan penelitian dengan judul Studi Kelembagaan Panglima Laôt Lhôk dalam Pengelolaan Perikanan Purse Seine di kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat.

1.2 Perumusan Masalah

Permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian adalah:

1. Bagaimana Sistem Kelembagaan Panglima Laôt Lhôk dalam mengelola kegiatan perikananpurse seine?

2. Bagaimana Persepsi Nelayan Purse Seine Terhadap Keberadaan Panglima Laôt Lhôk?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:

(8)

2. Mengetahui persepsi nelayan terhadap keberadaan Panglima Laôt Lhôk.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi masyarakat Aceh, hasil penelitian ini dapat memberikan informasi

mengenai kelembagaan Panglima Laôt Lhôk dan meningkatkan kesadaran mengenai keberadaan lembaga tersebut di Aceh.

2. Bagi Panglima Laôt Lhôk, hasil penelitian ini dapat digunakan dalam mengoptimalkan pengaturan kegiatan yang terkait dengan perikanan purse seinedi daerah setempat.

3. Bagi nelayan, hasil penelitian ini semoga dapat memberikan infomasi

mengenai kegiatan usaha perikanan purse seine dilihat dari aspek teknis, pasar dan finansial dan memberikan informasi tentang sistem aturan yang

diberlakukan oleh Panglima Laôt Lhôk bagi nelayan purse seine di daerah setempat.

4. Bagi Pemerintah Daerah, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh

Utara dan pihak-pihak yang terkait, hasil penelitian ini sebagai masukan

(9)

2.1 Studi

Studi adalah gambaran kegiatan yang direncanakan sesuai dengan kondisi,

potensi, serta peluang yang tersedia dari berbagai aspek dan studi merupakan

pengkajian yang bersifat menyeluruh dan mencoba menyoroti segala aspek atau

investasi (Fahmi dkk, 2009).

Menurut Supriyono (1989), Studi adalah suatu kegiatan yang mempelajari

secara mendalam suatu kegiatan yang akan dijalankan. Studi bertujuan untuk

menentukanalokasiuntuk mendapatkan hasil yang maksimal.

2.2. Pengertian Kelembagaan

Kelembagaan adalah aturan di dalam suatu kelompok masyarakat atau

organisasi yang menfasilitasi atau koordinasi antar anggotanya untuk membantu

mereka dengan harapan di mana setiap orang dapat bekerjasama atau

berhubungan satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan bersama yang

diinginkan. Definisi Umum lembaga mencakup konsep pola perilaku sosial yang

sudah mengakar dan berlangsung terus menerus atau berulang. Dalam hal ini

sangat penting diperhatikan bahwa perilaku sosial tidak membatasi lembaga pada

peraturan yang mengatur perilaku tersebut atau mewajibkan orang atau organisasi

untuk harus berpikir positif ke arah norma-norma yang menjelaskan perilaku

mereka tetapi juga pemahaman akan lembaga ini memusatkan perhatian pada

pengertian mengapa orang berprilaku atau bertindak sesuaidengan atau

(10)

2.2.1 Studi Kelembagaan

Menurut Huntington (1965) diacu dalam Widodo (2008), lembaga merupakan pola perilaku yang selalu berulang bersifat kokoh dan dihargai oleh

masyarakat. Selanjutnya Uphoff (1986)diacu dalam Widodo (2008) berpendapat bahwa lembaga merupakan sekumpulan norma dan perilaku telah berlangsung

dalam waktu yang lama dan digunakan untuk mencapai tujuan bersama.

Syahyuti (2003) diacu dalam Widodo (2008 ) mengemukakan beberapa

pandangan mengenai definisi ‘lembaga’ sebagai organisasi dan lembaga sebagai

institusi serta definisi ‘kelembagaan’ (institusi) yang dikemukakan oleh para ahli.

Syahyuti sendiri menyatakan bahwa terdapat 4 (empat) cara untuk

membedakannya, yaitu:

1. Kelembagaan cenderung tradisional, sedangkan organisasi cenderung

modern.

2. Kelembagaan berasal dari masyarakat itu sendiri, sedangkan organisasi

datang dari atas.

3. Kelembagaan dan organisasi berada dalam satu kontinuum dimana

organisasi adalah kelembagaan yang belum melembaga.

4. Organisasi merupakan bagian dari kelembagaan.

Diniah (2008) diacu dalam Nanda (2011) mengemukakan bahwa ada banyak lembaga yang mendukung kegiatan perikanan tangkap. Lembaga tersebut

dapat dikelompokkan menjadi kelembagaan yang formal dan non formal. Menurut

Sugiyanto (2002) diacu dalam Nanda (2011), ciri lembaga sosial bersifat formal adalah terbentuk atas campur tangan pihak luar (pemerintah), ada dasar hukum

(11)

kebutuhan dan masa kepengurusannya jelas, struktur bersifat formal dan mudah

dipengaruh oleh pihak luar. Ciri lembaga yang bersifat non formal adalah

terbentuk atas kehendak masyarakat yang bersangkutan, manajemennya lemah,

dinamika aktivitas tidak teratur, terbentuk atas norma dan nilai yang

dikembangkan atas dasar trust, pengurus dipilih lembaga bersifat monoton, dan menolak campur tangan pihak luar.

2.2.2 kelembagaanPanglima Laot Lhok

Menurut Rahmad (2011) mengatakan bahwa panglima laot adalah orang

yang atau orang yang terpilih dari seorang pawang laut yang berpengalaman dan

mengetahui seluk beluk hak adat laut yang berlaku diwilayah setempat.

Sedangkan menurut Qanun nomor 10 tahun 2008 panglima laot adalah

salah satu lembaga adat yang terdiri dari organisasi suatu masyarakat adat yang

dibentuk oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu yang mempunyai wilayah

tertentu serta mempunyai wewenang dan berhak mengatur serta menyelesaikan

hai-hal yang berkaitan dengan adat laot dan pesisir. Menurut kamus bahasa aceh

panglima laot adalah pemimpin yang tertinggi yang dikenal dengan seorang

kepala yang berwenang di bagian hukum laot.

Panglima Laôt Lhôk memiliki sistem kelembagaan dalam menjalankan fungsi dan tugasnya. Hal ini diperlukan untuk menjaga ketertiban masyarakat

nelayan dalam hal mengatur tata cara penangkapan ikan, pemeliharaan

sumberdaya ikan serta menjaga ketentraman hidup masyarakat nelayan di wilayah

(12)

Kelembagaan Panglima Laôt Lhôk mempunyai peraturan secara khusus dalam mengatur kegiatan perikanan purse seine di wilayah tersebut. Peraturan tersebut berupa batas wilayah penangkapan, yaitu:

1. Pukat layang, wilayah penangkapannya sejauh 5 mil dari tepi pantai;

2. Pukat teri, wilayah penangkapannya sejauh 1,62 mil sampai dengan 5 mil

dari tepi pantai; dan

3. Pukat udang, wilayah penangkapannya sejauh 0,16 mil sampai dengan 1 mil

dari tepi pantai.

Wilayah penangkapan pukat layang merupakan wilayah kewenangan

pemrintah provinsi, sehingga jika terjadi pelanggaran pelangaran oleh nelayan

pukat layang maka pemerintah provinsi yang bertanggung jawab untuk

menyelesaikannya. Hal ini sesuai dengan Undang- undang Nomor 32 Tahun 2004

dan Qanun Nomor 16 Tahun 2002.

Lembaga adat Panglima Laôt adalah sebuah lembaga yang mendukung kegiatan perikanan tangkap di wilayah NAD. Panglima Laôt sebagai sebuah kelembagaan memiliki struktur kelembagaan untuk menjalankan fungsi dan

tugasnya. Struktur kelembagaan Panglima Laôtdi wilayah NAD diketahui terdiri atas 3 tingkatan, yaitu:

1.Panglima LaôtProvinsi;

2.Panglima LaôtKabupaten/Kota dan 3..Panglima Laôt Lhôk.

Struktur kelembagaan yang dimiliki oleh ketiga tingkatan lembaga

(13)

Struktur kelembagaan Panglima Laot Provinsi terlihat lebih kompleks dibandingkan struktur kelembagaan Panglima Laôt Kabupaten/Kota dan

Panglima Laôt Lhôk. Panglima Laôt Provinsi merupakan tingkatan Panglima Laôtyang tertinggi yang menaungiPanglima LaôtKabupaten/Kota danPanglima Laôt Lhôk dalam mengkoordinasi pelaksanaan hukum adat laut antar kabupaten atau kota dan antarlhok.

Berdasarkan kedudukannya Panglima Laôt Provinsi menempati tingkatan tertinggi, maka Panglima Laôt Kabupaten/Kota harus tunduk kepada Panglima Laôt Provinsi, begitu pula Panglima Laôt Lhôk harus tunduk kepada Panglima LaôtKabupaten/Kota. Struktur kelembagaanPanglima LaôtProvinsi,

Tabel.1. Struktur kelembagaan Panglima Laôt Provinsi, Panglima Laôt

Kecamatan / Kota danPanglima Laôt Lhôk.

Panglima LaôtProvinsi Panglima LaôtKabupaten /Kota Panglima Laôt Lhôk

a. 9 orang anggota

b. 1 ketua (Panglima Laôt

(14)

Ketiga tingkatan lembaga Panglima Laôt seperti yang telah disebutkan di atas memiliki tugas dan fungsi yang tercantum di dalam Qanun Aceh Nomor 10

Tahun 2008 tentang Lembaga Adat. Adapun fungsi yang dimiliki oleh tiap

Panglima Laôt(Pasal 28 ayat (5), yaitu:

1. Sebagai ketua adat bagi masyarakat nelayan;

2. Sebagai penghubung antara pemerintah dan masyarakat nelayan; dan

3. Mitra Pemerintah dalam menyukseskan program pembangunan perikanan

dan kelautan.

2.3 Pengelolaan Perikanan Tangkap

Berdasarkan UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas

Undang-undang Nomor 31Tahun 2004 Tentang Perikanan, menjelaskan definisi

perikanan yaitu semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan

pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi,

produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu

sistem bisnis perikanan, dan pengelolaan perikanan adalah semua upaya,

termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis,

perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan

implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di

bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang

diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati

perairan dan tujuan yang telah disepakati. Pengelolaan perikanan dilakukan

berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan,pemerataan, keterpaduan,

(15)

Pengelolaan perikanan di wilayah perairan Indonesia tidak terlepas dari

peraturan-peraturan yang berlaku baik berbentuk undang-undang maupun

peraturan pemerintah dan keputusan menteri dan juga peraturan-peraturan yang

bersifat internasional.

Menurut UU Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan Pasal 1

menyatakan bahwa pengelolaan perikanan adalah semua upaya termasuk proses

yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi,

pembuatan keputusan, lokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta

penegakan hukum dari perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan

oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan

produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Pada

Pasal 2 dinyatakan bahwa pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas

manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi dan

kelestarian yang berkelanjutan.

Qanun Nomor 16 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Sumberdaya Kelautan

dan Perikanan, pada Pasal 3 ayat (1) disebutkan bahwa wewenang Pemerintah

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam pengelolaan wilayah laut

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah atas wilayah laut dalam jarak 4

(empat) mil laut sampai 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal ke arah laut

lepas. Lebih lanjut pada Pasal 3 ayat (2) disebutkan bahwa wewenang Pemerintah

Kabupaten/Kota dalam pengelolaan wilayah laut sebagaimana disebutkan dalam

Pasal 2 adalah atas wilayah laut dalam jarak 0 (nol) sampai 4 (empat) mil laut

(16)

Qanun Nomor 16 Tahun 2002 adalah sesuai dengan ketentuan yang diatur

dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Pasal

18 ayat (4) menyebutkan, bahwa kewenangan untuk mengelola sumber daya di

wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah

laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga)

dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota.

Artinya, wilayah pengelolaan pemerintah kabupaten/kota di wilayah laut

adalah 0-4 mil laut, dan pemerintah provinsi 4-12 mil laut. Pengaturan batas

wilayah pengelolaan di atas bersifat vertikal, sehingga tidak menimbulkan

permasalahan dalam pengelolaan perikanan yang dilakukan Panglima Laôt Lhôk. Hal ini dikarenakan, permasalahan yang kerap muncul adalah kegiatan

penangkapan ikan yang melintas batas wilayah pengelolaan Panglima Laôt Lhôk

secara horizontal, atau memasuki wilayah Panglima Laôt Lhôk lainnya. Pemberlakuan batas wilayah pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan

baik yang ditetapkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 maupun Qanun

Nomor 16 Tahun 2002 tidak menimbulkan permasalahan.

2.4 Deskriptif Perikanan Tangkap

Perikanan tangkap menjadi bagian penting dalam kehidupan bangsa

Indonesia. Usaha peningkatan produksi ikan semakin digalakkan dalam rangka

memenuhi kebutuhan proteindari penduduk yang semakin bertambah, disamping

kebutuhan devisa yang mendesak. Potensi masih memungkinkan untuk tujuan

itu karena sumberdaya yang tergarap masih dibawah taksiran potensinya

(17)

Perikanan tangkap Indonesia tahun 2003 telah mencapai 406.200 ton

atau sekitar 86,05% dari Jumlah Tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar

5,12 juta ton per tahun.Seiring dengan upaya untuk mencapai tingkat produksi

sesuai dengan JTB, maka diproyeksikan masih terdapat surplus sumberdaya ikan

laut sebesar 713.800 ton per tahun (Suharso, 2006).

Mengingat potensi sumberdaya ikan laut yang masih potensial terutama

berada di jalur penangkapan II, III dan ZEEI, maka diperlukan armada

penangkapan ikan yang relativ besar dengan menerapkan teknologi penangkapan

ikan yang efektif dan efisien yang berwawasan lingkungan. Namun demikian

diharapkaninvestasiuntuk usaha penangkapan ikan tersebut juga harus terjangkau

oleh kemampuan keuangan nelayan.Dalam hal ini untuk armada penangkapan

ikan skala kecil setidaknya berukuran lebih dari 5 GT, sedangkan untuk armada

penangkapan ikan skala industri berukuran lebih dari 50 GT (Suharso, 2006).

Sedangkan kebutuhan tenaga kerja (nelayan) dihitung berdasarkan

peluang pengembangan armada penangkapan ikan dalam pemanfaatan potensi

sumberdaya ikan yang belum dimanfaatkan secara optimal. Peluang kerja pada

usaha penangkapan ikan tersebut akan semakin besar apabila kita hitung juga

peluang pada usaha pendukung, baik hulu maupun usaha hilir.

Untuk memanfaatkan peluang kerja pada usaha penangkapan ikan

tersebut, maka ada dua hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah, yaitu

melakukan reorientasi pendidikan perikanan dan mengembangkan pendidikan

(18)

2.4.1 Alat Tangkap Purse Seine

Pukat cincin adalah suatu alat penangkap ikan yang digolongkan dalam

kelompok jaring lingkar yang dilengkapi tali kerut dan cincin untuk

menguncupkan jaring bagian bawah pada saat dioperasikan. Peranan jaring

terhadap ikan tangkapan adalah sebagai pengurung ikan agar tidak lari dari

sergapan jaring ketika dilingkarkan. Adapun sasarannya adalah ikan pelagis

kecil seperti kembung, selar, banyar, layang dan tembang (Suharso, 2006).

Menurut ISSCFG (International Standart Statistical Classification On Fishing Gear), pukat cincin digolongkan kepada alat penangkap jaring lingkar pada kelompok jaring lingkar dengan tali kerut (purse seine), merupakan salah

satu alternatif alat penangkap ikan pelagis yang hidup bergerombol dalam bentuk

renang (seperti ikan cakalang, tongkol, layang, kembung) dengancara melingkari

kelompok renang ikan hingga terkurung oleh lingkarandinding jaring. Agar ikan

yang telah terkurung tersebut tidak dapat lolosdari perangkap jaring, maka talii ris

bawah (yang dilengkapi dengan 26 jumlah cincin) dikuncupkan oleh tali kerut

(purse line) sehingga pukat cincin membentuk seperti tangguk.

Alat tangkap purse seine dibuat dengan dinding yang panjang, panjang jaring bagian bawah sama atau lebih panjang dari gian atas. Bentuk konstruksi

jaring seperti ini, tidak ada kantong yang bentuk permanen pada jaring purse seine. Karakteristik jaring purse seine letak pada cincin yang terdapat pada bagian bawah jaring (Putra, 2012).

Menurut Baskoro (2002) dalam Putra (2012) alat tangkap purse seine

dioperasikan dengan cara lingkari gerombolan ikan baik dengan menggunakan

(19)

bagian bawah jaring erutkan hingga tertutup dengan menarik tali kerut yang

dipasang sepanjanggian bawah melalui cincin. Alat penangkapan ini ditujukan

untuk menangkap gerombolan ikan permukaan (pelagis fish).

Tujuan penangkapan purse seine adalah schooling ikan, yang artinya bahwa yang akan ditangkap tersebut biasanya hidup bergerombol (schooling),

ada dekat permukaan air (sea surface) dan diharapkan dalam suatu densitas

hoolling yang besar. Jika ikan belum terkumpul dalam suatu area penangkapan (tchable area), atau berada diluar kemampuan perangkap jaring (Putra, 2012).

2.4.2 KapalPurse Seine

KapalPurse seinejuga disebut sebagai Kapal jaring kantong karena jaring tersebut waktu perasikan menyerupai kantong. Selain itu, purse seine juga disebut ring kolor, karena pada bagian bawah jaring dilengkapi dengan tali kolor

yang berguna untuk nyatukan bagian bawah jaring sewaktu dioperasikan dengan

cara menarik tali tersebut (Suharso, 2006)

Kapal Purse seine adalah suatu kapal penangkap ikan yang digolongkan dalam kelompok jaring lingkar (surrounding net) yang dilengkapi tali kerut dan cincin untuk menguncupkan jaring bagian bawah pada saat dioperasikan. Peranan

jaring terhadap ikan hasil tangkapan adalah sebagai pengurung ikan agar tidak lari

dari sergapan jaring ketika dilingkarkan. Alat tangkappurse seine (Pukat cincin) merupakan alat tangkap yang tergolong berukuran besar, sehingga membutuhkan

ABK dan nelayan dengan jumlah yang banyak. Persiapanpurse seine dengan kelengkapannya (desain, konstruksi dan alat bantu penangkapan ikan),

kemampuan mendeteksi gerombolan ikan secara tepat dan keterampilan untuk

(20)

kegagalan dalam setiap operasi penangkapan ikan dengan menggunakanpurse seine; mengingat pengoperasian purse seine harus aktif mencari, mengejar, dan mengurung ikan pelagis yang bergerombol danbergerak cepat dalam jumlah besar;

atau melalui alat pengumpul ikan(rumpon atau lampu) (Febridaet al, 2012)

Kapal pukat cincin ketika beroperasi akan melingkarkan jarring pukat

cincin untuk mengelilingi kawanan ikan. Kapal seperti ini pada umumnya

memerlukan bentuk lambung yang dirancang khusus agar memiliki kemampuan

untuk bergerak dan berputar (Putra, 2012)

Kapal pukat cincin memerlukan turning ability (kemampuan berputar) yang besar, sehingga kapal tidak boleh terlalu panjang. Pada saat pengangkatan

jaring dan ikan ABK berada disalah satu sisi kapal untuk mencegah kapal terbalik,

maka diharuskan kapal tidak terlalu lebar dan tidak telalu tinggi (kedalaman

Kapal) sehingga titik berat kapal tidak terlalu naik (Putra, 2012).

Menurut Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, kapal perikanan

adalah kapal, perahu atau alat tampung yang dipergunakan untuk melakukan

penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan,

pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan dan

penelitian/eksplorasi perikanan.

2.4.3 PengoperasianPurse seine

Ayodhyoa (1981) mengemukakan bahwa prinsip penangkapan yang

digunakan purse seine adalah melingkari gerombolan ikan dengan jaring, kemudian bagian bawah jaring dikerutkan, sehingga ikan tujuan penangkapan

(21)

penangkapan ini adalah memperkecil ruang gerak ikan, kemungkinan ikan dapat

meloloskan diri melalui pertemuan dua celah penarikan, sehingga dibutuhkan

kecepatan dan ketepatan dalam melingkari dan menarik tali kerut

Menurut Sainsbury (1986), tahapan dalam kegiatan penangkapan ikan

menggunakan alat tangkappurse seineterbagi ke dalam dua tahap, yaitu:

1) Tahap penebaran jaring (setting) Ketika gerombolan ikan telah diketahui, kapal bergerak memutari gerombolan tersebut. Pada saat penurunan purse seine, posisi kapal terhadap arus dan angin perlu diperhatikan agar kapal dapat menebar jaring dengan baik dan gerombolan ikan terkurung sempurna.

Penebaran jaring dimulai dari bagian kantong ditautkan pada kapal kecil

untuk perlengkapan penebaran jaring (seine skiff) yang diluncurkan ke air. Pada waktu menarik jaring, skiff. ini membantu menarik jaring, atau dapat juga menautkan ujung kantong dengan pelampung besar (bouy) yang dilemparkan ke laut. Kapal kemudian bergerak mengelilingi gerombolan ikan

sambil menurunkan jaring. Biasanya penurunan jaring dilakukan di bagian

kanan kapal, akan tetapi dapat juga dilakukan di sisi kiri kapal. Bila seluruh

jaring telah ditebarkan, maka sebelum kapal penuh mengitari gerombolan

ikan, bagian sayap jaring ditarik dengan tali penarik yang ditautkan pada

kapal agar jaring terentang sempurna.

2) Tahap penarikan jaring (hauling ) Apabila kedua ujung jaring telah bertemu, maka kedua ujung jaring tersebut dinaikkan ke atas kapal dan penarikan tali

kolor dengan bantuan power block dimulai hingga semua cincin naik ke atas permukaan laut. Setelah cincin naik ke sisi lambung kapal, maka badan jaring

(22)

dipindahkan ke dalam palkah dengan bantuan alat scoop net ataupun fish pump(Rasdaniet al. 2006)

2.4.4 Hasil Tangkapan

Ayodhyoa (1981) mengemukakan bahwa ikan yang menjadi tujuan

penangkapan dari purse seine adalah ikan pelagis (schooling) spesies, yaitu ikan yang berada dalam suatu kawanan, berada dekat dengan permukaan air dan sangat

diharapkan agar densitas gerombolannya tinggi, berarti jarak antar ikan yang satu

dengan lainnya haruslah sedekat mungkin. Menurut Subani dan Barus (1989),

hasil tangkapan purse seineadalah herring (Clupea sp.), layang (Decapterus sp.), kembung (Rastrellingersp.), tongkol (Auxissp.), cakalang (Katsuwonus pelamis), tenggiri (Scomberomerus commersoni), dan sardine (Sardinellasp.).

2.5 Nelayan Pukat Cincin

Menurut Putra (2012) nelayan pada satu kapal pukat cincin terbagi dalam

bidang kapten kapal (Fishing master) wakil kapten, juru mudi, kepala kamar mesin (KKM). Juru masak (Koki) dan anak buah kapal (ABK/deck hand).

Nelayan adalah orang yang melakukan kegiatan atau aktifitas diatas kapal

dan yang mengoperasikan kapal, disamping itu nelayan harus mengetahui keadaan

atau kondisi kapal, jumlah nelayan dalam satu kapal pukat cincin tidaklah sama

tergantung besar kecilnya kapal dan alat tangkap yang di opersikannya (putra,

2012).

Menurut UU No.45 tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, nelayan kecil adalah orang yang mata

(23)

sehari - hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5

(lima)gross ton(GT).

Sedangkan dalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan juga

disebutkan bahwa pengertian nelayan adalah orang yang mata pencahariannya

melakukan penangkapan ikan. Sehingga nelayan ini adalah mereka yang

melakukan aktivitas penangkapan ikan di laut apakah dia sebagai yang pemilik

langsung alat - alat produksi maupun sebaliknya.

1. Nelayan pemilik yaitu nelayan yang memilki kapal perahu atau kapal

penangkap ikan dan dia sendiri ikut serta atau tidak ikut ke laut untuk

memperoleh hasil laut.

2. Nelayan juragan yaitu nelayan yang membawa kapal orang lain tetapi ia

tidak memiliki kapal.

3. Nelayan buruh yaitu nelayan yang hanya memiliki faktor produksi tenaga

kerja tanpa memiliki perahu penangkap ikan. Berdasarkan perahu/kapal

penangkap ikan, nelayan pemilik nelayan bermotor.

Nelayan tradisional memakai perahu tanpa mesin/motor. Bila perahu

mempunyai mesin yang ditempel di luar perahu disebut perahu motor tempel,

bila perahu/kapal mempunyai mesin di dalam kapal maka disebut kapal motor.

Berdasarkan besarnya mesin yang digunakan, diukur dengan GT (Gross Ton), kapal motor dibagi menjadi:

• kapal kecil, yaitu < 5 GT–10 GT

• kapal sedang, yaitu 10 GT–30 GT

(24)

Subani dan Barus (1989) mengemukakan bahwa jumlah nelayan tiap kapal

purse seine tidaklah sama, bergantung pada skala usahanya. Jika skala kecil jumlah ABK sekitar 15-20 orang, sedangkan skala besar jumlah ABK bisa

(25)

3.1 Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh

Barat pada bulan Maret s/d April 2013

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah kamera sedangkan bahan yang digunakan

adalah kuesioner untuk nelayan, Pawang boat, Panglima Laot lhokdan Pedagang ikan dikecamatan Johan Pahlawan

3.3 Metode Penelitian

Metode Penelitian yang digunakan adalah metode Survei dan lapangan

mengenai kelembagaan panglima laot lhok dalam mengelolaan perikanan pukat cincin di kecamatan Johan Pahlawan. Sedangkan observasi sebagai metode

pengumpul data mempunyai ciri yang spesifik bila di bandingkan dengan teknik

lain, yaitu wawancara atau kuesioner. Kalau wawancara dan kuesioner selalu

berkomunikasi dengan orang, maka observasi tidak terbatas pada orang, tetapi

juga objek-objek yang lain (Sugiyono, 2011).

Rahardjo & Gudnanto (2011) menyatakan bahwa observasi adalah

kegiatan pengamatan (secara inderawi) yang direncanakan, sistematis dan

hasilnya di catat serta dimaknai (diinterpretasikan) dalam rangka memperoleh

(26)

3.4 Teknik Penetapan Sampel

Penetapan sampel dalam penelitian ini adalah secara sengaja (Porposive Sampling) sampel yang dipilih mampu berkonikasi pada saat wawancara. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel. 1. Jumlah responden sebagai sampel.

No Responden Jumlah responden

1 Panglima Laot Kabupaten 1 Orang

2 Panglima Laot Kecamatan 1 Orang

3 Panglima Laot Lhok 3 Orang

4 Nelayan ABK dan Pawang Boat 6 Orang

5 Kadis DKP/Kabid Penangkapan 1 Orang

6 Nelayan 4 Orang

Jumlah 16 Orang

3.5 Metode Pengumpulan Data

Metode pengambilan data yang digunakan adalah dengan metode

wawancara dengan mengunakan kuisioner. Pengambilan sampel sacaraPurposive Sampling, dimana responden dipilih dengan sengaja berdasarkan pertimbangan bahwa responden mampu berkomunikasi dengan baik pada saat wawancara, dan

menguasai tentang masalah yang sedang diteliti.

Data yang dikumpulkan pada penelitian kelembagaan panglima laot lhok

dalam mengelolaan perikanan pukat cincin di kecamatan Johan Pahlawan

mencakup Data Primer dan Data Sekunder. Data primer diperoleh dari responden

(27)

penelitian sedangkan Data sekunder diperoleh dari instansi yang terkait seperti

terlihat pada tabel 3 :

Tabel 2. Data Primer dan Data Sekunder

No Data Informasi

1 Data Primer Dasar hukum kelembagaanPanglima Laôt;

Aturan atau ketentuan Panglima Laôt dalam mengelola perikananpurse seine;

Sejarah lahirnya kelembagaanPanglima Laôt; Susunan kelembagaanPanglima Laôt

2 Data Sekunder Dinas Kelautan Perikanan, Badan Pusat Statistik, laporan-laporan peneliti terdahulu.

3.6 Metode Analisa Data

Metode analisa data yang digunakan adalah metode deskriptif. Menurut

Whitney ( 1960 ) dalam Nazir (1983), metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Kemudian data tersebut diolah dan ditampilkan

dalam bentuk tabel dan diagram.

3.6.1 Studi Kelembagaan

Berdasarkan Sugiyanto (2002), ada dua metode pendekatan yang dapat

dimanfaatkan untuk mempelajari atau mengkaji dalam menelusuri keberadaan

lembaga-lembaga sosial yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat. Kedua

pendekatan tersebut adalah:

1. Pendekatan Historis

Mengkaji keberadaan lembaga ditelusuri melalui sejarah lahirnya lembaga

(28)

2. Pendekatan Hubungan

Pendekatan ini lebih menekankan pada hubungan fungsional artinya

lembaga adat Panglima Laôt tidak mungkin hidup sendiri tanpa ada hubungan/kaitmengkait dengan lembaga lainnya.

3.6.2 Studi Persepsi Nelayan

Metode digunakan untuk mengstudi persepsi nelayan adalah dengan

menggunakan tabulasi data. Menurut Arikunto (2006 ), kegiatan yang termasuk ke

dalam kegiatan tabulasi data ini antara lain:

1. Memberikan skor (scoring) terhadap item-item yang perlu diberi skor. 2. Memberikan kode terhadap item-item yang tidak diberi skor.

3. Mengubah jenis data, disesuaikan atau dimodifikasikan dengan teknik analisis

yang akan digunakan.

4. Memberikan kode (coding) dalam hubungan pengolahan data jika akan menggunakan komputer.

Variabel persepsi Nelayan yang digunakan yaitu: 1. Pengetahuan nelayan

tentang Lembaga adatPanglima LaôtLhôk; 2. Kepatuhan nelayan terhadap aturan hukum adat laut, dan 3. Kepuasan nelayan terhadap kinerja Panglima LaôtLhôk.

Skor untuk variabel persepsi pertama berkisar antara 20 sampai 4. Sementara skor

untuk variabel persepsi kedua berkisar antara 10 sampai 2, sedangkan skor untuk

kepuasan nelayan terhadap kinerja Panglima Laôt berkisar antara 15 sampai 3. Rincian variabel dan kriteria skor yang akan diuji untuk memperoleh persepsi dari

(29)

Tabel. 3. Variabel Tingkat Persepsi Nelayan terhadap keberadaanPanglima

LaôtLhôk.

No Variabel Persepsi Skor

1. Pengetahuan Nelayan tentang Lembaga

Panglima laot Lhok 20-4

2. Kepatuhan nelayan terhadap aturan hukum

adat laut 10-2

a. Mematuhi aturan hukum adat laut

b. Keikutsertaan menegakkan hukum adat laut

- Sangat Tinggi (ST)

- Cukup Tinggi (CT) 5 4

3. Kepuasan nelayan terhadap kinerja

Panglima Laôt Lhôk

Sumber : Robbins (1996)diacu dalam Nanda (2011)

Tingkat persepsi dibagi menjadi tiga klasifikasi tingkatan, yaitu: tinggi,

sedang dan rendah. Masing-masing klasifikasi ditentukan dengan cara

mengurangkan jumlah total skor tertinggi dengan jumlah total skor terendah dari

ketiga variabel persepsi yang telah ditentukan. Adapun total skor tertinggi dari

ketiga variabel sebesar 45, sedangkan total skor terendah ketiga variabel sebesar

9. Hasil pengurangan yang diproleh dibagi dengan jumlah klasifikasi tingkat

(30)

Berdasarkan hasil di atas sehingga diturunkan berdasarkan klasifikasi

Tingkat Persepsi Nelayan sebagai berikut (Robbin 1996) diacu dalam nanda (2011).

1. Skor 3747 = Tingkat Persepsi Tinggi 2. Skor 22 - 35 = Tingkat Persepsi Sedang 3. Skor 9 - 21 = Tingkat Persepsi Rendah

Keterangan :

a. 5 : Sangat Mengetahui b. 4 : Cukup mengetahui c. 3 : Mengetahui

(31)

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1 Letak Geografis Derah penelitian

Kabupaten Aceh Barat terletak di bagian ujung pulau sumatera di pesisir barat

Provinsi Aceh dengan letak geografis 04o 06’ 36” Lintang Utara dan 95o 52’ 43”

96o 16 45” Bujur Timur. Dengan luas wilayah kabupaten Aceh Barat mencapai

2.927.95 Km2 atau seluas 292.795 Ha, sedangkan panjang garis pantai

diperhitungkan 50,55 Km luas laut 233 Km2.

Daerah Lokasi Penelitian berada di Desa Ujung Baroh di kecamatan Johan

Pahlawan, dengan Luas Wilayah Kecamatan Johan Pahlawan adalah 44,91 km2

atau 1,53 % dari luas kabupaten Aceh Barat. Desa ujung Baroh sebelah Utara

berbatasan dengan Rundeng, sebelah Timur berbatasan dengan Panggong, sebelah

selatan berbatasan dengan Padang Serahet, dan sebelah barat berbatasan dengan

Ujung kalak.

Secara geografis Kabupaten Aceh Barat berbatasan, disebelah utara dengan

kabupaten Aceh Jaya dan Kabupaten Pidie, sebelah timur dengan kabupaten Aceh

Tengah dan Kabupaten Nagan Raya, sebelah barat dengan Samudera Indonesia

dan Kabupaten Nagan Raya.

Kabupaten ini memiliki empat Kecamatan yang berbatasan langsung dengan

Samudera Indonesia dan merupakan Kecamatan pesisir yaitu kecamatan Johan

Pahlawan, Meureubo, Samatiga dan kecamatan arongan lambalek. Dan kecamatan

daratan ada 8 (delapan) meliputi yaitu kaway XVI, Sungai Mas, Pantee

(32)

4.2 Nelayan

Nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung

langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun

budidaya. Mereka pada umumnya tinggal dipinggir pantai, sebuah lingkungan

pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya. Keadaan jumlah Nelayan

Menurut Kecamatan Johan Pahlawan dapat dilihat pada Tabel 4 dibawah ini.

Tabel 4 Jumlah Nelayan Kecamatan Johan Pahlawan Periode Tahun 2008-2011

Sumber : DKP Kabupaten Aceh Barat Tahun 2012 (diolah)

Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Nelayan di kecamatan Johan

Pahlawan pada tahun 2008 para nelayan berjumlah 1811 jiwa, dan pada tahun

2009 nelayan berjumlah 1596 jiwa, di ikuti pada tahun 2010 para nelayan

berjumlah 1621 jiwa, dan pada tahun 2011 jumlah para nelayan berkisar 1698

jiwa. Dengan tingkat persentasenya seperti dijelaskan pada grafik dibawah ini.

(33)

Berdasarkan gambar 1 diatas jumlah nelayan di kecamatan Johan Pahlawan

pada tahun periode 2008-2011 diperoleh persentase yang berbeda pada tiap

tahunnya, pada tahun 2008 jumlah nelayan tingkat pertumbuhannya yaitu 1811

orang (26.92%), lalu pada tahun 2009 jumlah nelayan mengalami penurunan

menjadi sebanyak 1596 orang (23.73%), Dari jumlah nelayan ini dapat dilihat

bahwa kebanyakan dari jumlah nelayan tersebut beralih ke pekerjaan sampingan

lainnya, dan pada tahun 2010 jumlah nelayan meningkat menjadi 1621orang

(24.11%), lalu pada tahun 2011 jumlah nelayan lebih meningkat menjadi 1698

orang (25.24%), nelayan yang tadinya jarang pergi melaut sekarang sudah

kembali menjadi nelayan tetap ini disebabkan banyaknya bantuan dari NGO untuk

nelayan mencapai 50% berupa kapal dan alat tangkap.

4.3 Kapal Penangkapan Ikan

Menurut UU No 45 Tahun 2009 kapal merupakan perahu, atau alat apung

lain yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan dan mendukung

operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan

ikan, pelatihan perikanan, penelitian perikanan, sehingga proses produksi ikan

dapat berjalan secara efesien.

Jumlah Kapal yang digunakan oleh nelayan Kecamatan Johan Pahlawan

sangat beragam yang terdiri dari Kapal Motor, Motor Tempel dan Perahu tanpa

Mesin. Kapal-kapal yang ada sekarang ini sudah bisa membantu para nelayan

(34)

Tabel 5 Jumlah Kapal Penangkapan Ikan di Kecamatan Johan Pahlawan

Jumlah PM 506 331 333 352

Total 519 344 353 382

Sumber : DKP 2008-2011Kabupaten Aceh Barat; diolah kembali 2012

Keterangan : PTM = Perahu Tanpa Motor, PM = Perahu Motor, MT = Motor Tempel, KM = Kapal Motor

Kapal Penangkapan Ikan yang beroperasi di Kecamatan Johan pahlawan

terdiri dari sampan (Perahu Tanpa Motor) dan perahu motor (PM). Perahu Tanpa

Motor (PTM) terbagi dalam perahu tanpa motor kecil, sedang dan besar.

Sedangkan perahu motor tempel terbagi dalam perahu motor tempel dan kapal

motor (KM). Jumlah kapal penangkapan ikan di kecamatan Johan Pahlawan

periode tahun 2008-2011 dapat dilihat di atas pada Tabel 5 dibawah ini.

Gambar 2 Jumlah kapal di Kecamatan Johan Pahlawan Periode Tahun 2007-2011

(35)

Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat jumlah Kapal yang terdapat dalam

Kecamatan Johan Pahawan yang terbagi dalam tiga jenis kapal, kapal Motor,

Motor Tempel, dan juga Perahu tanpa Mesin. Pada tahun 2008 jumlah kapal

mencapai 519 Unit (24,83%) dalam periode dua tahun jumlah kapal meningkat,

sedangkan pada tahun 2009-2011 jumlah kapal sangat menurun pada tahun 2009

kapal berjumlah 344 Unit (16,45%), seterusnya pada tahun 2010 kapal berjumlah

353 Unit (16,88%), dan tahun 2011 kapal naik menjadi 382 Unit (18,27%).

Menurut Panglima laot terjadinya peningkatan jumlah kapal di Kecamatan

Johan Pahlawan 2008-2009 karena banyaknya bantuan kapal dari Instasi terkait,

sedangkan pada tahun 2010 jumlah kapal menurun disebabkan oleh banyaknya

peluang kerja yang dibuka dari pihak NGO sedangkan armada penangkap ikan

dibiarkan terlantar bahkan ada yang dijual keluar daerah, tahun 2011 jumlah kapal

terjadi peningkatan karena sebagian nelayan sudah mengoperasikan kembali kapal

untuk kegiatan penangkapan ikan.

4.4 Alat Penangkapan Umum

Menurut Ayodhya (1981) mengatakan bahwa Purse-seine adalah suatu alat tangkap ikan yang bentuknya persegi panjang, mempunyai mata jaring yang

tidak sama antara bagian yang satu dengan bagian lainnya, lebar jaring lebih

pendek dari panjangnya, pada bagian atas dipasang pelampung, sedangkan pada

bagian bawah dipasang pembera dan cincin. Purse-seine merupakan alat tangkap yang paling efektif untuk menangkap ikan-ikan pelagis yang bergerombol

(36)

Amerika. Dalam perkembangannya barulah Jepang memperkenalkan alat ini pada

tahun 1882 digunakan untuk menangkap ikan sarden.

Perkembangan alat tangkappurse-seinedi Indonesia di mulai sekitar tahun 1950 tepatnya di perairan Sumatera Utara bagian timur, pada tahun 1969 muncul

purse-seine tipe Aceh yang digunakan untuk menangkap ikan cakalang dan Lembaga Penelitian Laut (LPPL) telah memperkenalkan alat tangkap purse-seine

pada nelayan sejak tahun 1968, maka pada tahun-tahun tersebutlah dapat

dikatakan awal dikenalnya alat tangkappurse-seine. Prinsip-prinsip penangkapan ikan dengan menggunakan pukat cincin adalah dengan cara melingkarkan jaring

ke dalam suatu gerombolan ikan, kemudian jaring bagian bawah di kerucut

sehingga ikan-ikan akan berkumpul pada bagian kantong. Alat ini bersifat

mempersempit ruang gerak ikan sehingga tidak dapat melarikan diri, fungsi mata

jaring sebagai dinding penghadang dan bukan sebagai penjerit ikan (Ayodhya

1981).

Jaring pukat cincin (Purse seine) merupakan alat tangkap yang efektif untuk menangkap ikan-ikan pelagis yang berada dalam kawasan yang besar, baik

di perairan pantai maupun lepas pantai Purse seine (Pukat Cincin) adalah jenis alat tangkap yang tergolong seine yaitu merupakan alat tangkap yang aktif untuk menangkap ikan-ikan pelagis yang umumnya hidup membentuk kawanan dalam

kelompok besar.

Menurut responden di kecamatan Johan pahlawan, Pukat cincin yang ada

di kecamatan Johan Pahlawan terdapat 24 unit, yang mana 2 di antara nya masih

(37)

namun para nelayan lebih bisa mampu memenuhi ekonomi rumah tangga, karena

tangkapan dari hasil pukat cincin lebih banyak dan ekonomisnya lebih tinggi.

Namun kendala tetap saja ada pada saat penangkapan memakai pukat

cincin di antaranya, kapal yang rusak, dan pada saat badai datang, sehingga pada

saat itu nelayan tidak dapat melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut. Namun

para nelayan di mana pada waktu santai di isi dengan memperbaiki alat-alat

tangkap yang mengalami kerusakan.

4.4.1 Alat TangkapPurse Seine

Menurut Baskoro (2002) alat tangkap purse seine dioperasikan dengan cara menglingkari gerombolan ikan baik dengan menggunakan satu kapal

ataupun dua kapal. Setelah gerombolan ikan terkurung, kemudian bagian

bawah jaring erutkan hingga tertutup dengan menarik tali kerut yang dipasang

sepanjang bagian bawah melalui cincin. Alat penangkapan ini ditujukan untuk

(38)

Tabel 6 Jumlah Alat Tangkap di Kecamatan Johan Pahlawan Periode Tahun

Sumber : DKP 2008-2011Kabupaten Aceh Barat; diolah kembali 2012

Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Alat Tangkap Purse Seinedi kecamatan Johan Pahlawan pada periode 2008-2011 terlihat pada tiap tahunnya

berbeda, pada tahun 2008 terdapat 20 alat tangkap, seterusnya pada tahun 2009

berjumlah 22 alat tangkap, selanjutnya pada tahun 2010 berjumlah 22 alat

tangkap, pada tahun 2011 alat tangkap berjumlah 24. Dengan tingkat

persentasenya seperti dijelaskan pada grafik 3 dibawah ini.

Gambar 3 Jumlah Alat Tangkap Purse Seine di Kecamatan Johan Pahlawan Periode Tahun 2008-2011

Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat jumlah Alat Tangkap Purse Seine

yang terdapat dalam Kecamatan Johan Pahawan pada tiap tahunnnya adanya

peningkatan, peningkatan ini menurut responden adanya bantuan alat tangkap dari

(39)

instasi terkait, pada tahun 2008 alat tangkap masih berkisar 20 alat (15,15%), pada

tahun 2009 alat tangkap meningkata menjadi 22 alat (16,66%), berlanjut pada

tahun 2010 alat tangkap masih berjumlah sama yaitu 22 alat (16,66%), dan

seterusnya pada tahun 2011 semakin meningkat menjadi 24 alat tangkap

(18,18%). Menurut responden yang mana alat tangkap di Johan Pahlawan pada

pada saat ini berjumlah 24 alat, yang mana 2 diantara nya masih dalam perbaikan,

sehingga alat tangkap yang aktif pada saat ini berjumlah 22 alat.

4.5 kelembagaan Perikanan Dan Kelautan

Kelembagaan Perikanan dan Kelautan yang terdapat di kecamatan Johan

Pahlawan meliputi Panglima laot (Lembaga hokum adat laut), HNSI (Himpunan

Nelayan Indonesia), Koperasi, GAPI (Gabungan Pendagang Ikan) dan GAPIKA

(Gabungan Pengelola Ikan) Panglima Laot merupakan lembanga adat yang

berfungsi sebagai Ketua adat bagi nelayan di pantai/masyarakat pesisir, serta

merupakan unsur penghubung antara pemerintah dengan rakyat (nelayan) di tepi

pantai guna mensuseskan program pembangunan perikanan dan program

pemerintah secara umum. Fungsi dan tugas Panglima Laot diharapkan dapat

membantu pemerintah dalam memelihara fasilitas perikanan, melertarikan adat

istiadat, dan kebiasaan dalam masyarakat nelayan

Sebagaimana fungsi dan peranan Panglima Laot maka dalam wilayah Johan

Pahlawan terdapat tiga wilayah administrasi kepengurusan Panglima Laot, yaitu

Panglima Laot Lhok, Panglima Laot Kabupaten/Kota, dan Panglima Laot

Propinsi. Wilayah-wilayah tersebut secara struktur organisasi terdiri dari

penasehat, Ketua, wakil ketua, sekretaris dan bendahara Panglima Laot berfungsi

(40)

perikanan, melestarikan adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat

nelayan, diantaranya :

a. Panglima Laot Lhok menyelesaikan sengketa antara nelayan di wilayah

kerjanya;

b. Panglima Laot Kabupaten/Kota melaksanakan penyelesaian sengketa antara

nelayan dari 2 atau lebih, dimana Panglima Laot Lhok yang bersangkutan

sebelumnya belum dapat menyelesaikan, serta mengatur jadwal kenduri Adat

Laot sehingga tidak terjadi Kenduri yang dilaksanakan pada hari-hari yang

sama dalam Kabupaten atau kota;

c. Panglima Loat Propinsi mengkoordinir pelaksanaan Hukum Adat Laot di

Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan menjembatani mengurus

kepentingan-kepentingan nelayan di tingkat propinsi

Johan Pahlawan memiliki sistem kelembagaan nelayan yang sama seperti di

tingkat propinsi. Adanya kelembagaan adat laut, dalam hal ini Panglima Laot,

harapanya semakin memudahkan nelayan atau masyarakat pesisir untuk

menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah daerah (Pemda) atau pemerintah

propinsi, sehingga kesejahteraan masyarakat pesisir atau nelayan dapat

meningkat. Selain itu, Kelembagaan adat ini (Panglima Laot) dapat berperan lebih

dalam pelaksanaan pembangunan yang dilakukan pemerintah, terutama yang

terkait dengan pembangunan yang menyentuh, masyarakat pesisir atau nelayan

(41)

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil penelitian

5.1 Sejarah lahirnya Lembaga Panglima Laot

Lembaga panglima laot sudah sejak lama ada. Dalam catatan sejarahnya adat

laot lahir sejak abad ke-14, dimasa Sultan Iskandar Muda. Panglima Laot adalah

perpanjangan tangan sultan untuk pemungut pajak dan memobilisasi massa dalam

peperangan. Akan tetapi peran ini terus mengalami pergeseran seiring perubahan

zaman.

Pergeseran peran Panglima laot terutama terjadi pada zaman kolonial

Belanda. Seperti dijelaskan Snouck Hurgronje (Soko Guru, 1985) dalam “Aceh di

Mata Kolonial”, Panglima Laot tidak lagi merupakan kepanjangan sultan.

Panglima Laot lebih berupa pemimpin adat kaum nelayan yang mengatur segala

praktek kenelayanan dan kehidupan sosial yang terkait di sebuah wilayah.

5.2 Peran dan Fungsi Panglima Laot Lhok

Peran dan Fungsi panglima laot, umumnya berkaitan dengan peran sosial

yang mencakup, antara lain:

a. Resolusi Konflik,

b. Advokasi ke nelayan dan ke pihak terkait,

c. Koordinasi dan menjebatani antar panglima Loat dan nelayan dengan

pihak terkait, momotoring dan evaluasi,

d. Meningkatkan kesadaran pihak luar terhadap keberadaan panglima laot di

tingkat kabupaten dan lhok,

(42)

Masalah resolusi konflik itu sendiri, umumnya berhungan dengan

penyelesaian sengketa anak nelayan, baik antara sesama anggota nelayan dengan

kelompoknya maupun antara nelayan setempat dengan nelayan dari luar lhok. Hal

lain yang termasuk dalam Fungsi panglima laot, adalah sebagai berikut:

a. Memelihara dan mengawasi (menegakkan) ketentuan-ketentuan hukum adat

laot,

b. Mengkoordinir dan mengawasi setiap usaha penangkapan ikan di laut,

c. Mengurus dan menyelenggarakan upacara adat laot,

d. Menjaga dan mengawasi agar pohon-pohon di tepi pantai sehingga tidak di

tebang karena ikan akan menjauh ke tengah laut (perlu disesuaikan dengan

kondisi dan situasi di daerah setempat)

Adat istiadat merupakan tata kelakuan yang kekal serta kuat intergrasi nya

dengan pola- pola kelakuan masyarakat, kaidah yang di kenal ,diakui, dan di taati,

namun tidak menpunyai kekuatan mengikat (biding force)tidak dipaksakan. Lembaga adat laot ini yang ada di Johan Pahlawan merupakan badan

penghubung antara nelayan dengan pemerintah dan antara Panglima laot yang

satu dengan Panglima Laot lainnya.

5.4 Kelembagaan Panglima Laot Lhok dalam MengelolaPurse Seine

Kelembagaan Panglima laot lhok yang ada di Johan pahlawan aktif dalam

membina nelayan serta mampu menyelesaikan permasalahan yang ada di

(43)

saat berlayar sehingga dapat keluar wilayah Purse Seine, maka nelayan tersebut wajib melaporkan kepada panglima laot lhok setempat.

Panglima laot pun mengatasi permasalahan pada tiap-tiap kapal yang

mengalami kerusakan untuk di rehap kembali dengan biaya dari dinas yang di

tuju. Lembaga panglima laot lhok dengan nelayan Purse Seinedalam melakukan kegiatan perikanan mempunyai peraturan yang telah di tetapkan oleh panglima

laot lhok setempat.

Nelayan adalah orang yang melakukan kegiatan diatas kapal dan

mengoperasikan kapal, dan panglima laot lhok mengawas dan memberi arahan

pada saat nelayan berlayar di laut, sehingga panglima laot lhok dan nelayanPurse Seine saling membantu satu sama yang lainnya. Selain itu, hokum adat juga mengatur tata cara penangkapan, menetap kan waktu penangkapan ikan laut dan

menyelesaikan perselisihan.

B. Pembahasan 5.3 Persepsi Nelayan

Hasil penggalian terhadap tingkat persepsi nelayan terhadap keberadaan

Panglima laot Lhok, menunjukan persepsi tentang keberadaan Panglima laot Lhok

di Johan Pahlawan yang mana sebagian nelayan sudah sepenuhnya mengetahui

dan memehami tentang makna dari panglima Laot Lhok itu sendiri, seperti sejarah

Panglima Laot Lhok, tugas dan Fungsi serta aturan-aturan yang ditetapkan oleh

Panglima Laot Lhok Pada saat kegiatan perikanan Purse Seine dilakukan Oleh para nelayan. Adapun beberapa diantaranya belum bisa memahami dan mengerti

(44)

Namun Beberapa persepsi nelayan yang ada di kecamatan Johan Pahlawan

menyatakan bahwa keberadaan Panglima Loat Lhok di kalangan para nelayan

(45)

Tabel 7 Variabel Tingkat Persepsi Nelayan terhadap keberadaan Panglima laot Lhok

No Variabel Persepsi Skor Keterangan

1 Pengetahuan Nelayan tentang

Lembaga Panglima Laot Lhok 20-4

d. Adat laot dan hukum Sangat Mengetahui (SM)

5

Dari segi ini Responden Sangat mengetahui adat laot dan hukumnya.

2 Kepatuhan nelayan terhadap

aturan hukum adat laot 15-3 a. Menjalani aturan dari

panglima laot lhok

b. Menerima arahan dari Panglima laot Lhok

3 Kepuasaan nelayan terhadap

kinerja panglima laot lhok 10-3 a. Menjalankan Tugas dan

(46)

Berdasarkan Tabel 7 di atas sehingga diturunkan berdasarkan klasifikasi

Tingkat Persepsi Nelayan sebagai berikut (Robbin 1996) diacu dalam nanda (2011).

1. Skor 3747 = Tingkat Persepsi Tinggi 2. Skor 22 - 36 = Tingkat Persepsi Sedang

3. Skor 9 - 21 = Tingkat Persepsi Rendah

Menurut Nazir (l983) Memberi skor masing-masing persepsi mulai dari 2

(Kurang mengetahui) sampai dengan 5 (Sangat mengetahui). Persepsi tersebut

kemungkinan dapat memberikan dampak terhadap persepsi para nelayan. Skor

diukur berdasarkan tingkat pengetahuan nelayan dan persepsinya. Kriteria skor

diperoleh berdasarkan dari hasil wawancara yang terstruktur (kuisioner). Kriteria

skor untuk persepsi nelayan adalah sebagai berikut :

a. 5 : Sangat Mengetahui

b. 4 : Cukup mengetahui

c. 3 : Mengetahui

d. 2 : Kurang Mengetahui

Hasil dari wawancara dari 16 responden dapat pada Tabel 7 diatas yaitu

nelayan yang ada di lapangan menemukan hasil yang mana ada di tingkat Persepsi

Tinggi, dengan skor 44. Sehingga nelayan pada saat ini sudah lebih jauh mengerti

tentang keberadaan Panglima Laot Lhok di sekitar para nelayan, walau hanya

beberapa di antara nelayan belum mengetahui dan memahami fungsi dan peran

Panglima Laot Lhok di kecamatan Johan Pahlawan dengan baik. Namun para

(47)

Adli AM, S Tripa dan T Muttaqiin. 2006. Selama Kearifan adalah Kekayaan. Banda Aceh: Lembaga HukumPanglima Laôtdan Yayasan KEHATI. 187 hal.

Ayodhyoa AU. 1981. Metode Penangkapan Ikan. Bogor: Yayasan Dewi Sri. 97 hal.

Diana, F. S. Mahjali, Edwarsyah, A. Rozi, 2010. Rumpon Reef piramit Sebagai Ekosistem Baru Biota Laut.Jurnal Ilmiah Pembangunan Aceh.

Fahmi. I, Syahiruddin, Yovi.Lavianti Hadi. 2009. Studi Kelayakan Bisnis teori dan aplikasi. Bandung, penerbit Alfabeta.

Febrida. S. Arini. M. Nurdiansyah. Annisa. R. R. Afa. S. Adrio. J. Adhitya. R. 2012. Makalah Alat Tangkap Purse Seine. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Program Studi Jatinagor. Universitas Padjadjaran.

Nanda.V. 2011. Analisis Kelembagaan Panglima Laot Lhok Dalam pengelolaan Perikanan kegiatan perikanan Purse saine di Kecamatan Muara Batu kabupaten Aceh Utara. [Skripsi]. Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap. Depatemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

Nazir, M. 1983. Metode Penelitian, Penerbit Ghalia Indonesia.

Putra. A. 2012. Analisis Pengembangan Perikanan Purse Seine Kabupaten Aceh Besar. [Skripsi] Fakultas Perikanan dan Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat-Istiadat.

Qanun Nomor 16 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan

Rahmad.W.S. 2011. Kajian yuridis penyelesaian sengketa dan pelanggaran adat laot oleh panglima laot sebagai pemimpin adat laot [skripsi ]. Fakultas hukum. Universitas syiah kuala. Banda aceh.

Rahardjo, Susilo & Gudnanto. (2011). Pemahaman Individu Teknik Non Tes. Kudus: Nora Media Enterprise.

(48)

Ruttan V.W and Hayami Y. 1984. Toward a theory of induced institutional innovation. Journal of Development Studies.Vol. 20:

Sainsbury JC. 1986.Commercial Fishing Methods: an introduction to vessels and Gears. England: Fishing News Books, Ltd. Farnham. P. 112-140.

Suharso. 2006. Elastisitas Produksi Perikanan Tangkap Kota Tegal. [Tesis] Program Pascasarjana Universitas Diponegoro . Semarang.

Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Supriyono, RA. 1989. Akutansi Manajemen. Yogyakarta, Penerbit sekolah tinggi ilmu ekonomi YKPN. 27 hal.

Subani W dan HR Barus. 1989. Alat Penangkap Ikan dan Udang Laut di Indonesia. Jurnal Perikanan Laut. Nomor: 50 tahun 1988/1989. Jakarta: Balai Penelitian Perikanan Laut, Departemen Pertanian. 248 hal.

Undang-undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Available. Diakses tanggal 22 Oktober 2011 dari http://www.dkp.go.id

Widodo. J. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Penerbit Gajah Madah University Prees.

Widodo S. 2008. Kelembagaan, Kapital Sosial dan Pembangunan. http://learning

Gambar

Tabel. 1. Jumlah responden sebagai sampel.
Tabel. 3. Variabel Tingkat Persepsi Nelayan terhadap keberadaan Panglima
Tabel 4 Jumlah Nelayan Kecamatan Johan Pahlawan Periode Tahun 2008-2011
Tabel  5Jumlah Kapal Penangkapan Ikan di Kecamatan Johan PahlawanPeriode Tahun 2008-2011
+3

Referensi

Dokumen terkait

UIN Syahid, 2006), h.. pengaruhi kebijakan bidang perwakafan. Pengawasan BWI bertujuan me- mastikan wakaf dikelola secara optimal, dengan menekankan profesionalisme,

Berdasarkan hasil penelitian yang penulis dapatkan, disimpulkan bahwa implementasi PP No 43 tahun 2004 tentang pelaksanaan upaya peningkatan kesejahteraan sosial

Temuan penelitian ini sesuai dengan temuan- temuan penelitian Rida, dkk (2013); Istiarini dan Sukanti (2012); Melati, dkk (2013), dan; Agustina dan Sulaiman (2013) yang

maka dengan ini diumumkan bahwa Pemenang Lelang paket pekerjaan dan kegiatan tersebut adalah sebagai berikut :. Demikian untuk maklum dan

Dalam konteks stereotip dan prasangka, ilusi korelasi juga terjadi, yaitu ketika kita menghubungkan hal-hal yang sebenarnya tidak berhubungan yang terjadi di antara

Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian pematahan dormansi pada benih panggal buaya (Xanthoxylum rhetsa) yang dilakukan oleh Puspitarini (2003), bahwa

Hasil yang diperoleh dari pengujian hipotesis dengan teknik analisis korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang sangat signifikan antara identitas sosial dengan

Proses metabolism ini tidak hanya terjadi pada karbohidrat, lemak, ataupun protein, tetapi juga proses metabolism juga berada pada pembentuk informasi genetic (asam nukleat), dan