• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. PEMBAHASAN Penyakit gugur buah kelapa dan busuk buah kakao merupakan penyakit penting secara ekonomi dan dipandang sebagai ancaman utama pada

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. PEMBAHASAN Penyakit gugur buah kelapa dan busuk buah kakao merupakan penyakit penting secara ekonomi dan dipandang sebagai ancaman utama pada"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

V. PEMBAHASAN

Penyakit gugur buah kelapa dan busuk buah kakao merupakan penyakit penting secara ekonomi dan dipandang sebagai ancaman utama pada perusahaan perkebunan dan petani kelapa dan kakao di Indonesia. Hasil survei pada daerah sentra produksi kelapa di daerah Sulawesi Utara dan Jawa Timur diketahui bahwa tanaman kelapa yang terserang penyakit gugur buah hanya di provinsi Sulawesi Utara. Di provinsi Jawa Timur penyakit gugur buah tidak ditemukan pada areal pertanaman kelapa. Tidak adanya penyakit gugur buah pada tanaman kelapa di Jawa Timur karena secara umum tanaman kelapa yang ditanam di daerah ini adalah populasi kelapa Dalam Banyuwangi (DBI). Mangindaan et al. (1992) melaporkan bahwa kelapa DBI adalah kelapa yang tahan terhadap penyakit gugur buah. Selain itu pada saat survey dilakukan, tanaman kelapa yang ditanam pada kebun petani di Jawa Timur sedang tidak menghasilkan buah karena bakal buahnya disadap untuk diambil niranya.

Di Sulawesi Utara penyakit gugur buah ditemukan pada populasi kelapa Hibrida PB-121 dan kelapa GKN. Kedua populasi tersebut ternyata sangat rentan terhadap penyakit gugur buah seperti yang dilaporkan oleh Kharie et al. (1992), beliau mengemukakan bahwa kelapa Hibrida PB 121 yang merupakan hasil persilangan antara kelapa Dalam Afrika dan Genjah Merah Malaysia sangat rentan terhadap penyakit gugur buah. Runtunuwu et al. (1999) juga melaporkan bahwa GKN sangat rentan terhadap penyakit gugur buah. Hasil penelitiannya juga menunjukkan bahwa luas busuk buah pada populasi kelapa GKN yang diinokulasi dengan P. palmivora berkisar antara 50.8 - 87.0 cm2 merupakan paling luas diantara beberapa populasi kelapa Genjah dan kelapa Dalam uji. Dengan demikian dapat dipahami bahwa sebenarnya gugur buah kelapa akan menjadi ancaman pada kelapa yang rentan seperti kelapa Hibrida PB-121 dan GKN tapi tidak pada kelapa Dalam. Walaupun populasi kelapa Dalam diketahui tahan terhadap busuk buah, ketahanan ini hanya akan terjadi selama tidak ada tindakan pengendalian yang bertujuan untuk memusnahkan patogen seperti aplikasi pestisida atau penggunaan tanaman tahan (vertikal resisten) secara monokultur yang luas.

Hasil survey menunjukkan penyakit busuk buah kakao ditemukan pada lokasi sentra produksi kakao di provinsi Jawa Timur dan Sulawesi Utara. Di

(2)

provinsi Jawa Timur terlihat kejadian penyakit busuk buah lebih tinggi pada lokasi dengan pola tanam monokultur dibandingkan dengan pola tanam tumpangsari. Sedangkan di Sulawesi Utara, kejadian penyakit gugur buah tidak menunjukkan perbedaan antara lokasi tumpangsari dan monokultur. Tingginya kejadian penyakit busuk buah lebih dipengaruhi oleh keadaan kebun yang tidak terawat. Ada lokasi tumpangsari kelapa dan kakao yang kejadian penyakitnya ringan yaitu lokasi Sepanjang Lor, Treblasala, dan Kalikempit (Jawa Timur). Lokasi tersebut dilakukan pemeliharaan dengan pemangkasan. Frekuensi panen setiap 3 hari sekali juga digunakan sebagai kegiatan dalam memantau adanya buah busuk untuk dimusnahkan dengan cara memendamkan buah busuk dalam tanah.

Pada lokasi Marinsow (Sulawesi Utara), tingkat kejadian penyakit busuk buah kakao adalah sedang, sedangkan pada lokasi di Desa Tungoi dan Mopuya adalah berat. Tingginya kejadian penyakit busuk buah kakao karena tidak melakukan pemeliharaan pemangkasan dan gulma di bawah tanaman. Selain itu tingginya kejadian penyakit busuk buah diperparah dengan adanya serangan penggerek buah kakao (PBK). Kurangnya pengetahuan petani tentang pemeliharaan tanaman dan pengetahuan tentang hama dan penyakit tanaman kakao juga memperparah kejadian penyakit busuk buah. Oleh karena itu untuk mengurangi munculnya penyakit busuk buah kakao dianjurkan untuk melakukan teknik budidaya yang benar. Pemangkasan ranting-ranting perlu dilakukan untuk menjaga agar kelembaban udara di dalam areal kebun rendah sehingga patogen tidak berkembang. Selain itu perlu dilakukan pengendalian terhadap penggerek buah kakao dan penggunaan varietas tahan terhadap beberapa ras patogen. Penggunaan varietas yang horizontal resisten harus menjaga kelembaban udara dan tanah di dalam kebun tetap stabil.

Analisis keragaman isolat-isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao di areal sampel berdasarkan aspek morfologi diketahui ke 22 isolat P. palmivora sangat beragam. Pengamatan bentuk sporangium ke-22 isolat P. palmivora sangat beragam, tapi umumnya berbentuk ellipsoid sampai ke ovoid. Tidak ada perbedaan bentuk antara isolat P. palmivora asal kelapa maupun isolat P. palmivora asal kakao. Berdasarkan ukuran panjang dan lebar sporangium diketahui juga sangat bervariasi antar isolat P. palmivora. Kisaran panjang sporangium P palmivora asal kelapa 47-62 µm dan lebar 32-43 µm, sedangkan panjang sporangium P.

(3)

palmivora asal kakao 40-54 µm dan lebar 28-37 µm. Menurut Stamp et al. (1990) bahwa panjang dan lebar sporangium P. palmivora 35-60 µm dan 20-40 µm Sedangkan menurut Erwin dan Ribeiro (1996) ukuran panjang P. palmivora berkisar antara 40-60 µm dan lebar 20-40 µm. Panjang dan lebar sporangium isolat asal kelapa lebih panjang dan lebih lebar dari isolat asal kakao. Hasil ini juga didukung oleh beberapa peneliti sebelumnya bahwa rata-rata panjang sporangium isolat asal kelapa 52 µm dan lebar 31 µm, lebih panjang dan lebih lebar dari isolat asal kakao dengan panjang 49.7 µm dan lebar 30.3 µm (Reinking 1923 ; Thompsom 1929). Dalam penelitian diamati panjang sporangium mencapai 62 µm dan lebar 43 µm. Meskipun ukurannya lebih besar dari rata-rata tetapi isolat dengan ukuran tersebut masih termasuk kriteria P. palmivora.

Rasio panjang/lebar sporangium P. palmivora juga bervariasi, rata-rata sekitar 1.5. Mchau & Coffey (1994) melaporkan rasio panjang/lebar sporangium P. palmivora adalah 1.3-1.8. Sporangium P. palmivora bersifat mudah lepas dari tangkai sporangium (caducous) dengan pedikel pendek (< 5 µm) dan mempunyai bentuk papila yang menonjol. Patogen ini sangat berbeda dengan spesies Phytophthora yang lain yang tergolong dalam kelompok heterotalik karena sporangiumnya mempunyai bentuk papila dengan tonjolan yang jelas (Gambar 17). Klamidospora P. palmivora berbentuk globose dan sedikit subglobose. Umumnya klamidospora terletak di ujung hifa (terminate) dan sebagian lagi diantara miselium (intercalary). Beberapa isolat P. palmivora tidak membentuk klamidospora pada medium V8 agar. Diameter klamidospora berukuran 32-42 µm (Holliday, 1980) dan rata-rata 33 µm (Waterhouse, 1974) dan 36.2±9.6 µm (Mchau dan Coffey, 1994).

Berdasarkan pengamatan tipe koloni, umumnya isolat P. palmivora mempunyai tipe koloni stelate baik isolat asal kelapa maupun isolat asal kakao. Sedangkan koloni tipe cottony hanya terdapat pada isolat P. palmivora asal kelapa dan tipe rossaceous hanya pada isolat asal kakao. Menurut Appiah et al. (1999) bentuk koloni dapat digunakan untuk membedakan spesies Phytophthora yaitu, bentuk koloni P megakarya adalah cottony, P. palmivora stelate, dan P capsici rosette. Dalam penelitian ini, bentuk koloni P. palmivora didapatkan bukan hanya berbentuk stelate tetapi ada juga yang berbentuk cottony dan rossaceous.

(4)

Dengan demikian bentuk koloni tidak dapat membedakan antara isolat P. palmivora asal kelapa dengan asal kakao. Pengamatan diameter koloni menunjukkan adanya variasi ukuran antar isolat P. palmivora. Rata-rata diameter koloni isolat P. palmivora asal kelapa lebih besar dibandingkan dengan isolat P. palmivora asal kakao.

Berdasarkan karakter morfologi terungkap bahwa isolat P. palmivora mempunyai variasi yang tinggi, baik di dalam populasi asal kelapa maupun dalam populasi asal kakao. Variasi dalam tingkat isolat P palmivora dapat terjadi secara asexual. Produksi zoospora yang bervariasi dalam satu isolat P. palmivora dapat terjadi karena heterokariosis dan rekombinasi paraseksual dapat terjadi pada genus Phytophthora. Abu-El Samen et al. (2002) melaporkan bahwa dari 15 progeni asexual isolat zoospora tunggal P infestans (P-126) terdapat 13 progeni yang sangat peka dan 2 progeni kurang peka terhadap pestisida mefenoxam dibandingkan dengan isolat asal 126 P. infestans. Progeni asexual dari isolat P-126 P. infestans juga sangat bervariasi dalam virulensi. Variasi genetik yang terjadi dalam proses pertumbuhan dan reproduksi asexual juga dapat disebabkan mutasi pada mitokondria. Caten (1971) melaporkan variasi antar koloni tunggal zoospora Phytophthora karena miselium yang berkecambah dari zoozpora terdiri berbagai tipe sitoplasma yang secara terus menerus melakukan seleksi.

Beberapa variasi fenotipik yang terjadi juga dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti medium pertumbuhan dan suhu pada saat melakukan pemeliharaan isolat di laboratorium. Oleh karena variasi yang tinggi di dalam populasi sehingga kadang sulit untuk mengidentifikasi spesies. Dengan demikian untuk membedakan isolat P. palmivora asal kelapa dengan asal kakao sangat sulit jika hanya berdasarkan karakter morfologi. Menurut Erwin dan Ribeiro (1996) bahwa perbedaan sifat morfologi P. palmivora penyebab penyakit gugur buah kelapa atau busuk buah kakao dapat dibedakan menurut bentuk dan ukuran sporangium, ratio panjang dan lebar sporangium, tipe dan diameter koloni, caducity, dan pedikel. Tetapi dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa tidak semua karakter morfologi dapat membedakan isolat P. palmivora asal kelapa dengan asal kakao. Namun beberapa karakter yang dapat diukur seperti diameter koloni dan panjang/lebar sporangium dapat digunakan untuk membedakan kedua

(5)

populasi isolat P. palmivora. Oleh karena itu kedua karakter ini dapat menjadi acuan untuk membedakan populasi isolat P. palmivora asal kelapa dengan kakao.

Keberadaan kedua tipe kawin dari P. palmivora yaitu A1 dan A2 diyakini menjadi sumber keragaman dari spesies tersebut dan dapat menjadi indikasi adanya spesies baru. Selama ini diketahui bahwa isolat P. palmivora asal kakao hanya memiliki tipe kawin A2 (Warokka & Thevenin 1992). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe kawin A1 telah ditemukan pada isolat asal kakao. Adanya tipe kawin A1 dan A2 pada spesies P. palmivora asal kakao yang bersifat heterotalik dapat menimbulkan tingkat heterosigositas tinggi dalam populasi. Jadi dengan ditemukannya tipe kawin A1 pada isolat P. palmivora asal kakao dapat menimbulkan kekuatiran akan adanya progeni baru yang lebih virulen sehingga menimbulkan epidemik penyakit busuk buah kakao atau gugur buah kelapa.

Isolat P. palmivora asal kelapa maupun isolat P. palmivora asal kakao mempunyai kedua tipe kawin A1 dan A2. Pada daerah sentra produksi kelapa memang telah lama ditemukan adanya tipe kawin A1 dan A2. Seperti yang dilaporkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Warokka & Thevenin (1992) bahwa penyebaran isolat P. palmivora tipe A1 dan A2 telah ditemukan pada daerah-daerah perkebunan kelapa di Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Lampung, Sumatera Utara, dan Maluku, sedangkan di provinsi Sulawesi Selatan dan Aceh hanya ditemukan salah satu tipe kawin A1 atau A2.

Dari 22 isolat P. palmivora tersebut terdapat 2 isolat yang tidak dapat membentuk oospora. Thorold (1974) melaporkan bahwa terdapat isolat P. palmivora asal kelapa yang diisolasi dari spora tunggal tidak menghasilkan oospora ketika dipasangkan. Sedangkan isolat P. palmivora yang bukan berasal dari spora tunggal dapat menghasilkan oospora. Kemungkinan hal yang sama terjadi pada kedua isolat P. palmivora tersebut sehingga tidak menghasilkan oospora. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao bisa disilangkan dengan isolat P. capsici asal lada dan menghasilkan oospora, sehingga mengindikasikan bahwa pada genus Phytophthora dapat terjadi persilangan antar spesies. Goodwin & Fry, (1994) mengemukakan bahwa persilangan antar spesies P. infestans dan P. mirabillis telah dilakukan di laboratorium dan diduga munculnya spesies P. meadii terjadi akibat persilangan kedua spesies tersebut. Jadi adanya tipe kawin A1 dan A2 serta persilangan antar

(6)

spesies dari genus Phytophthora pada pertanaman kelapa maupun kakao menjadi ancaman akan munculnya progeni baru P. palmivora yang lebih virulen dan dapat meningkatkan epidemik. Kekuatiran ini menjadi tidak berlebihan karena banyak epidemik penyakit yang disebabkan oleh Phytophthora telah terjadi di luar negeri, seperti penyakit hawar daun pada tanaman kentang yang diakibatkan masuknya tipe kawin A2 dari P. infestans. Perubahan inang dari P. palmivora juga terjadi pada kelapa Dalam di Sulawesi Utara. Semula serangan penyakit busuk pucuk oleh P. palmivora yang terjadi di Sulawesi Utara sejak masuknya tanaman kelapa Hibrida PB121. Sampai dengan tahun 1997 hampir sebagian besar tanaman kelapa Hibrida mati terserang penyakit busuk pucuk kelapa. Setelah periode tersebut laporan kejadian penyakit busuk pucuk kelapa semakin menurun karena tanaman kelapa Hibrida banyak yang mati dan petani tidak menanam lagi kelapa hibrida tetapi menggantikannya dengan kelapa Dalam Lokal. Pada tahun 2005 mulai ada laporan serangan penyakit busuk pucuk pada populasi tanaman kelapa Dalam di Minahasa Selatan (Sulawesi Utara), yang dapat membuktikan adanya perubahan virulensi dari patogen P. palmivora yang semula menyerang kelapa Hibrida kini menyerang kelapa Dalam yang sebelumnya tergolong tahan terhadap patogen tersebut.

Secara umum berdasarkan karakter morfologi isolat P. palmivora asal kelapa sulit dibedakan dengan isolat P. palmivora asal kakao. Untuk itu diperlukan cara lain agar dapat membedakan kedua populasi isolat tersebut. Identifikasi secara molekuler sangat diperlukan untuk dapat melengkapi data-data yang dapat membedakan tiap isolat. Untuk mengetahui karakter molekuler isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao dapat digunakan analisis amplifikasi DNA dengan teknik PCR. Isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao dapat diamplifikasi dengan primer ITS4R/ITS5F dan menghasilkan pita DNA dengan ukuran 900 bp. Penelitian molekuler Phytophthora spp pada kakao dengan menggunakan primer ITS4R/ITS5F menghasilkan pita DNA tunggal dengan ukuran 900 bp (Darmono dan Purwantara 2001). Pita berukuran ini sesuai dengan hasil yang didapatkan oleh Umaya (2004), Darmono et al. (2006) yang menggunakan primer yang sama untuk P. palmivora yang diisolasi dari kakao. Pita dengan ukuran tersebut setelah diurutkan DNAnya, diketahui bahwa isolat P. palmivora asal kelapa berbeda dengan isolat P. palmivora asal kakao.

(7)

Enam isolat P. palmivora asal kakao yang diambil dari koleksi GeneBank berkelompok dengan isolat P. palmivora asal kakao dari Indonesia dan berbeda kelompok dengan isolat P. palmivora asal kelapa. Penelitian ini membuktikan hasil analisis filogenetik bahwa isolat asal kelapa tidak sekelompok dengan isolat P. palmivora asal kakao (Gambar 25). Perbedaan yang nyata dapat terjadi karena adanya delesi, insersi, atau substitusi DNA antar spesies dalam daerah ITS. Meskipun isolat P. palmivora asal kelapa tidak sekelompok dengan isolat P. palmivora asal kakao, tetapi dalam kelompok isolat P. palmivora asal kakao ternyata menunjukkan bahwa isolat P. palmivora asal kakao dari Indonesia tidak sekelompok dengan isolat P. palmivora asal geografi lain (Gambar 25). Jadi isolat P. palmivora asal kakao memiliki tingkat perbedaan genetik yang tinggi. Hasil ini didukung dengan hasil analisis keragaman genetik dengan menggunakan 5 primer acak bahwa tingkat keragaman isolat asal kakao mencapai 54% (Gambar 28).

Hasil analisis keragaman genetik dengan menggunakan 5 primer acak menunjukkan bahwa 22 isolat P. palmivora asal kelapa dan kakao memiliki tingkat kemiripan yang rendah (54%). Tingkat kemiripan populasi isolat asal kelapa hanya 54%. Hasil ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Motulo et al. (2004) bahwa kemiripan genetik isolat P. palmivora yang berasosiasi dengan penyakit gugur buah kelapa sangat rendah yaitu 40.6%. Mchau dan Coffey (1994) mempelajari keragaman 93 isolat P. palmivora berdasarkan analisis isoenzim. Dari 93 isolat tersebut menghasilkan 18 tipe elektroforetik isoenzim dan delapan tipe eletroforetik isoenzim dimiliki oleh isolat P. palmivora asal kelapa. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat keragaman yang tinggi terjadi pada populasi isolat asal kelapa.

Berdasarkan analisis filogenetik diketahui kemiripan genetik populasi isolat asal kakao 56%. Hasil ini sangat berbeda dengan yang didapatkan oleh Umaya 2004, bahwa kemiripan genetik P. palmivora asal kakao adalah 83%. Perbedaan ini dapat terjadi kemungkinan disebabkan karena sampel isolat P. palmivora dan primer acak RAPD yang digunakan tidak sama dengan yang digunakan dalam penelitian ini.

Pengamatan intensitas pita dengan menggunakan kelima primer yaitu OPA16, OPA11, OPB1, OPB5, OPA2 tersebut menunjukkan tidak selalu setiap primer memperoleh pita dengan intensitas yang sama. Perbedaan intensitas setiap

(8)

pita tidak dapat digunakan untuk menduga jumlah kopi pasang basa pada setiap pita RAPD. Intensitas pita sangat dipengaruhi oleh kemurnian reaksi yaitu masih adanya senyawa polisakarida dan fenolik serta konsentrasi DNA cetakan yang terlalu kecil. Berdasarkan data pada Tabel 10 diketahui bahwa pita polimorfik yang dihasilkan melalui amplifikasi DNA dengan 5 primer sebanyak 52 pita atau 92.8%. Hasil ini lebih rendah dari hasil analisis RAPD terhadap populasi P. palmivora yang berasosiasi dengan penyakit gugur buah kelapa yang menggunakan sembilan primer, tiga diantaranya sama dengan primer yang digunakan dalam penelitian ini . Pita polimorfik yang dihasilkan mencapai 95.4% (Motulo et al. 2004). Umaya 2004 melakukan analisis RAPD pada isolat P. palmivora yang berasosiasi dengan penyakit busuk buah kakao menggunakan lima primer yang berbeda dengan penelitian ini, menghasilkan pita polimorfis sebesar 40%. Perbedaan persentase hasil amplifikasi pita polimorfisme karena primer yang digunakan dalam penelitian Umaya 2004 berbeda dengan primer yang digunakan dalam penelitian ini yaitu OPH-19, OPH-12, OPB-11, OPN-06, dan OPN-10. Pemilihan primer pada analisis RAPD berpengaruh terhadap polimorfisme pita yang dihasilkan, karena setiap primer memiliki situs penempelan tersendiri. Akibatnya pita DNA polimorfik yang dihasilkan setiap primer menjadi berbeda, baik dalam ukuran maupun jumlah pita DNA.

Secara umum hasil uji patogenisitas dan virulensi dari isolat P. palmivora asal kelapa dan kakao menunjukkan isolat P. palmivora asal kelapa tidak virulen terhadap kakao. Isolat P. palmivora asal kakao menunjukkan tingkat virulensi yang berbeda pada buah kelapa. Meskipun ke 22 isolat P. palmivora diisolasi dari buah kelapa yang terserang penyakit gugur buah dan telah diidentifikasi sebagai patogen P. palmivora akan tetapi setelah diuji patogenisitas terhadap buah kelapa dan kakao ternyata tingkat virulensi P. palmivora asal kelapa lebih tinggi pada tanaman kelapa GKN dibandingkan dengan tanaman kelapa GSK. Pada populasi kelapa yang tergolong tahan (GSK) umumnya isolat P. palmivora asal kakao menunjukkan tidak virulen dan virulensi rendah, sedangkan pada populasi kelapa yang rentan (GKN) menunjukkan tingkat virulensi sedang dan ada juga yang tidak virulen. Sebagian besar isolat P. palmivora asal kelapa lebih virulen bila diinokulasikan pada buah kelapa itu sendiri, demikian juga isolat P. palmivora asal kakao lebih virulen bila diinokulasikan pada buah kakao. Beberapa isolat P.

(9)

palmivora bisa terjadi inokulasi silang namun tingkat virulensinya lebih rendah bahkan tidak virulen.

Dilihat dari karakter morfologi ternyata setiap isolat mempunyai bentuk, ukuran panjang dan lebar sporangium, diameter koloni yang berbeda. Namun secara umum pengamatan berdasarkan karakter morfologi sulit dibedakan P. palmivora asal kelapa dengan asal kakao. Sedangkan identifikasi P. palmivora asal kelapa dengan asal kakao berdasarkan karakter molekuler melalui perunutan ruas ITS-DNA diketahui bahwa isolat P. palmivora asal kelapa berbeda dengan isolat P. palmivora asal kakao. Selanjutnya analisis virulensi diperoleh hasil bahwa isolat P. palmivora asal kelapa lebih virulen pada tanaman kelapa sendiri dibandingkan pada tanaman yang bukan inangnya. Hal yang sama juga terjadi pada isolat P. palmivora asal kakao yang lebih virulen pada tanaman kakao.

Berdasarkan data yang dikemukakan di atas, menjadi pertanyaan mana yang lebih dulu dibudidayakan dan terserang P. palmivora di Indonesia, kelapa atau kakao? Berdasarkan sejarah keberadaan penyakit gugur buah kelapa dan busuk buah kakao yang disebabkan oleh patogen yang sama yaitu P. palmivora, maka menjadi tidak penting tanaman mana yang lebih dulu dibudidayakan dan terserang P. palmivora di Indonesia. Kedua penyakit tersebut ada di Indonesia dan epidemik penyakit terjadi pada tanaman kelapa atau kakao terutama setelah masuknya kultivar-kultivar hibrida dari tanaman kelapa maupun tanaman kakao yang diintroduksi dari luar. Walaupun laporan mengenai penyakit busuk buah kakao sudah ada sejak tahun 1971, tetapi laporan tentang penyakit busuk pucuk dan gugur buah kelapa baru ada 14 tahun kemudian, yaitu setelah masuknya kultivar kelapa Hibrida PB 121.

Hasil pengujian berdasarkan morfologi, molekuler, dan virulensi dari isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao umumnya mengungkapan bahwa isolat P. palmivora asal kelapa berbeda dengan isolat P. palmivora asal kakao. Semua data yang dihimpun dalam penelitian ini menunjukkan adanya keragaman di dalam spesies P. palmivora. Keragaman dari isolat P. palmivora yang tinggi membuktikan telah terjadi perubahan mutasi pada populasi P. plamivora baik isolat asal kelapa maupun isolat asal kakao. Laju perubahan mutasi pada isolat P. palmivora asal kelapa dan kakao belum diketahui. Tipe kawin A1 yang ditemukan pada isolat P. palmivora asal kakao menjadi salah satu penyebab terjadinya mutasi.

(10)

Selain itu fusi antara dua inti yang berbeda dalam miselium (heterokariosis) dapat terjadi pada P. palmivora yang dapat menyebabkan perubahan genetik. Terjadinya epidemik penyakit gugur buah kelapa dan busuk buah kakao juga dipengaruhi oleh adanya aliran gen. P. palmivora memiliki propagul asexual dalam bentuk sporangium, zoospora, dan klamidospora. Propagul asexual ini merupakan suatu mata rantai dari gen-gen yang sudah beradaptasi dan terseleksi kebugarannya pada lingkungan pertumbuhan tanaman.

Penanaman tanaman kelapa atau kakao yang tahan terhadap patogen P. palmivora yang ditanam dalam areal yang luas serta penggunaan bahan kimiawi untuk pengendalian penyakit gugur buah kelapa dan busuk buah kakao memicu terjadinya tekanan genetik dalam populasi P. palmivora, sehingga menyebabkan perubahan genetik P. palmivora dari avirulen menjadi virulen. Pengalaman telah membuktikan bahwa di Sulawesi Utara, penyakit gugur buah dan busuk pucuk telah menyerang tanaman kelapa Dalam Lokal yang sebelumnya tahan terhadap patogen P. palmivora. Penyebabnya adalah adanya tekanan genetik pada populasi P. palmivora sehingga populasi menjadi berkurang. Tekanan genetik ini terjadi karena populasi kelapa Hibrida yang rentan terhadap P. palmivora sebagian besar sudah mati dan petani menggantikannya dengan kelapa Dalam Lokal yang tahan terhadap P. palmivora. Dalam kurun waktu kurang dari sepuluh tahun patogen P. palmivora tidak tersedia makanan, sehingga menyebabkan populasi patogen menurun. Populasi P. palmivora yang tersisa berusaha mempertahankan hidup dari masa ”kelaparan” tersebut sehingga akhirnya menimbulkan mematahkan gen tahan dari populasi kelapa Dalam dan menimbulkan epidemik busuk pucuk.

Penanaman tanaman kakao di bawah kelapa dapat menyebabkan terjadinya epidemik penyakit gugur buah kelapa dan busuk buah kakao. Karena adanya kedua penyakit yang disebabkan oleh patogen yang sama P. palmivora pada pertanaman kelapa dan kakao dapat meningkatkan jumlah populasi patogen menjadi tinggi. Patogen dengan ukuran populasi yang besar lebih berpotensi untuk terjadi evolusi karena tersedia lebih banyak alel mutan. Jadi pemilihan tanaman kakao di bawah tanaman kelapa tidak dianjurkan. Namun pada lokasi-lokasi perkebunan yang telah melakukan pola tanam tumpangsari kelapa-kakao dianjurkan untuk menjaga kelembaban kebun melalui pemangkasan dan pembersihan ranting tanaman kakao, pembersihan bahan-bahan organik yang ada pada ketiak daun kelapa,

(11)

melakukan pengendalian dengan agen hayati, menggunakan pestisida sekecil mungkin dan melakukan monitoring secara periodik. Bila ingin melakukan tumpangsari di bawah tanaman kelapa, sebaiknya memilih tanaman yang tidak mempunyai penyakit yang disebabkan oleh patogen P. palmivora.

Referensi

Dokumen terkait

Model analisis teknikal lebih menekankan pada tingkah laku pemodal di masa yang akan datang berdasarkan kebiasaan di masa lalu (nilai psikologis). Di dalam analisis

Berdasarkan pendahuluan yang telah dikemukakan diatas maka permasalahan yang muncul dan relevan dengan kondisi saat ini adalah apakah literasi informasi telah digunakan

Basel adalah strategi yang termasuk dalam tiga strategi utama untuk pengembangan pertanian padi berdasarkan preferensi petani di daerah pertanian belum berkembang (Tabel 16).

 Paul B. Horton, sosiologi jilid1, penerbit eirlangga, jakarta, 1987, hlm.25..  banyak dan paling relevan dengan sosial kemasyarakatan adalah nilai spiritual yang

Peneltian ini menggunakan lima konstruk utama yaitu persepsi kemudahan (perceived ease of use), persepsi kegunaan (perceived usefulness), persepsi

Jika dikaitkan dengan sejarah dan latar belakang pantai pandawa yang merupakan sentra penghasil rumput laut dan juga desa nelayan sebelum menjadi daerah tujuan wisata,

Dengan adanya unjuk kerja BER sistemkooperatif nonkoheren sekitar 3 dB lebih jelek dari sistem kooperatif yang koheren, di sini kebutuhan daya untuk mencapai

Pelaksanaan program kegiatan KKN-BBM Ke – 54 Universitas Airlangga di Desa Tambak berjalan dengan baik karena adanya dukungan dari berbagai pihak yaitu perangkat desa