• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan teknologi informasi pada zaman digital yang mengalami perkembangan yang sangat pesat telah memberikan pengaruh pada kehidupan masyarakat dalam hal pencarian informasi. Informasi yang diperlukan untuk membantu menjalani kehidupan atau aktivitas telah menyebar dengan cepat bahkan sulit untuk dikontrol. Teknologi juga memberikan kemudahan kepada manusia dengan berbagai kecanggihan alat komunikasi yang dilengkapi dengan teknologi internet. Internet menjadi salah satu alternatif untuk dapat saling bertukar informasi tanpa bertatap muka satu dengan yang lainnya. Selain itu adanya internet juga mendorong munculnya dan tumbuh kembangnya berbagai media sosial seperti facebook, twitter, instagram, dan lainnya.

Menurut survei penetrasi dan perilaku pengguna internet yang dilakukan KOMINFO, jumlah pengguna internet di Indonesia tahun 2017 telah mencapai 143,26 juta jiwa atau setara dengan 54,68 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Jumlah tersebut menunjukkan kenaikan sebesar 10,56 juta jiwa dari hasil survei tahun 2016. Berdasarkan usia masyarakat pengguna internet berumur 19-34 sebesar 49,52 persen. Namun untuk penetrasi pengguna internet terbesar berada pada umur

(2)

13-18, yaitu sebesar 75,50 persen. Artinya penetrasi pengguna internet terbesar berada pada kalangan remaja (KOMINFO, 2018).

Setiap perkembangan pasti akan selalu disertai dengan adanya berbagai dampak dapat berupa dampak positif maupun negatif. Salah satu pengguna internet yang dikhawatirkan terkena dampak negatif adalah remaja, karena usia remaja adalah periode transisi penuh persoalan batiniah yang dapat membuat sangat labil kejiwaannya dan mudah dipengaruhi oleh stimulus dari luar dirinya sendiri. Teknologi yang seharusnya dapat memberikan dampak positif seperti meningkatkan hubungan satu dengan lainnya, dapat menambah wawasan pengetahuan serta informasi, tetapi terkadang juga ada beberapa orang yang memanfaatkan teknologi untuk kepentingan dirinya sendiri dan bertolak belakang dengan tujuan kemanfaatan teknologi itu sendiri.

Teknologi, elektronik maupun internet seharusnya dalam penggunaannya dapat membantu dan mendukung perkembangan masa remaja. Masa remaja sangat rentan terhadap kekerasan baik dalam dunia nyata maupun dunia maya. Salah satu kekerasan yang sering dialami remaja di dunia maya adalah cyberbullying. Cross, Epstein, Clark, dan Lester (2009) mensurvei 10.000 anak-anak Australia yang berusia 8 hingga 15 tahun pada tahun 2007 untuk menyelidiki sifat dan tingkat cyberbullying, dan untuk menilai sejauh mana, mekanisme, karakteristik, dan sosial, emosional, kognitif, dan perilaku mempengaruhinya pada siswa yang diganggu dengan cara ini. Analisis awal mereka menunjukkan bahwa

(3)

20% dari siswa melaporkan mereka adalah cybervictims dan 10% adalah cyberbullies. Pesan teks melalui ponsel adalah media paling umum yang digunakan untuk penindasan maya.

Patchin dan Hinduja (2006) melakukan survei online yang melibatkan 384 responden yang berusia di bawah 18 tahun. Hasil mereka menunjukkan bahwa berbagai bentuk bullying terjadi secara online, termasuk diabaikan (60,4%), tidak dihargai (50,0%), nama yang dipanggil (29,9%), terancam (21,4%), dipilih (19,8%), diolok-olok (19,3%). %), dan memiliki rumor menyebar tentang mereka (18,8%). Menurut Patchin dan Hinduja (2012) menjelaskan cyberbullying terjadi ketika seseorang berulang kali melecehkan, menghina, atau mengejek orang lain menggunakan media internet melalui ponsel atau perangkat elektronik lainnya.

Berdasarkan hasil wawancara 12 Oktober 2018 yang penulis lakukan pada remaja SMA di Kabupaten Sleman Yogyakarta yang menyatakan bahwa mereka yang melakukan cyberbullying karena menyenangkan disamping alasan itu alasan lainnya yaitu karena merasa lebih kuat atau menunjukkan dominasinya dan juga beberapa menjelaskan dendam atau ketidaksukaan. Kemudian mereka yang menjadi korban cyberbullying karena lebih lemah daripada orang lain dan disamping itu beberapa juga karena kebencian. Perilaku cyberbullying yang ditunjukkan rata-rata beragam ada yang melalui komentar, posting foto-foto pribadi

(4)

maupun foto editan, serta perkataan-perkataan yang kasar dan tidak pantas bermaksud meyakiti.

Sedangkan kasus cyberbullying cukup banyak terjadi di Indonesia. Seperti Dewi Widya Ningrum menyebutkan kasus cyberbullying yang dialami oleh Sonya Depari, siswi SMU asal Medan yang di-bully habis-habisan di media sosial, pasca video dirinya yang berdebat dengan polwan dan mengaku anak Jenderal BNN Arman Depari tersebar luas di internet. Kehidupan sehari-hari korban jadi terganggu karena cyberbullying ini. Korban jadi enggan ke sekolah, merasa terpuruk dan malu, dikucilkan dan mengurung diri. Apalagi dengan maraknya pengguna perangkat mobile dan internet, aksi cyberbullying dapat dilakukan berulang dan berkelanjutan. Korban akan semakin merasa terintimidasi dan ditindas secara online. (inet.detik.com, 15 April 2016). Begitu juga Fauziah (2016) menjelaskan kasus cyberbullying yang dialami oleh Rizky Firdaus Wicaksana alias Uus yang dilakukan oleh fans K-Pop. Dalam kasus Uus ditemukan beberapa perilaku cyberbullying yang dialami uus antara lain: meluapkan amarah, menguntit, mengancam keselamatan, dan pencemaran citra. Cyberbullying yang dilakukan fans K-pop terhadap Uus bertujuan untuk membalaskan rasa sakit hati atau dendam dengan cara memberikan komentar-komentar di akun twitter Uus (Fauziah, 2016).

Kasus Cyberbullying di Indonesia selanjutnya Menurut Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, salah satu survei yang dia temukan menyebutkan bahwa pada anak berusia 12-17 tahun, 84 persen mengalami

(5)

kasus bullying. Kebanyakan kasus bullying yang ditemukan adalah cyberbullying. "Ada salah satu survei yang menyebut bahwa anak-anak di Indonesia umur 12-17 tahun itu bisa sampai 84 persen mengalami bullying. Pada posisi seperti ini, ternyata paling banyak cyberbullying. "Dampaknya bisa depresi, psikosomatik, bahkan ada yang bully suicide " ujar Khofifah seusai acara Mukernas PPP di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara, Jumat (21/7/2017). (news.detik.com, 21 juli 2017). Kasus tersebut juga ditambahkan oleh komisioner KPAI Retno Listyarti yang mengungkapkan bahwa jumlah kasus pendidikan di KPAI per tanggal 30 Mei 2018 berjumlah 161 kasus, dari jumlah tersebut terungkap data anak korban kasus kekerasan dan bullying mencapai 22,4% dan anak pelaku kekerasan dan bullying mencapai 25,5%. Bullying dilakukan secara langsung saat di sekolah dan kerap berlanjut di dunia maya atau disebut cyberbully (Kumparan.com, 2018). Hal tersebut sejalan dengan Pandie dan Weismann (2016) yang menyebutkan bahwa cyberbullying dilakukan karena pelaku yang termotivasi untuk melakukan pembajakan, balas dendam, pencurian atau sekedar iseng.

Sedangkan kasus cyberbullying yang terjadi di Yogyakarta dan sekitarnya di kemukakan oleh Rahayu (2012) dimana hasil kuesioner yang dibagikan kepada siswa-siswi SMP dan SMU di kota Magelang, Yogyakarta dan Semarang didapatkan informasi bahwa fenomena cyberbullying telah terjadi di kalangan remaja yaitu sebanyak 28% dari 363 siswa. Pelaku cyberbullying kebanyakan adalah teman sekolah dan

(6)

jenis kelamin terbanyak adalah lakilaki (50%). Sarana teknologi informasi yang banyak digunakan untuk cyberbullying ini adalah dengan menggunakan situs jejaring sosial (35%) dan pesan teks (SMS) (33%). Sedangkan perlakuan cyberbullying yang paling banyak diterima oleh korban adalah diejek, diolokolok, dimaki-maki lewat sarana tersebut Kebanyakan korban yang mendapat perlakuan cyberbullying menceritakan pengalaman yang mereka alami kepada teman-teman mereka (51,3%). Kepada semua siswa ditanyakan apakah mereka pernah mendengar atau mengetahui orang lain mengalami cyberbullying, hasilnya 60% responden mengatakan pernah mendengar atau mengetahuinya. Selain mencari tahu apakah siswa pernah menjadi korban cyberbullying, ditanyakan juga apakah mereka pernah menjadi pelaku cyberbullying. Hasilnya 32% siswa mengatakan pernah melakukan cyberbullying dan sarana yang paling populer untuk melakukan aksinya adalah dengan menggunakan situs jejaring sosial. Alasan mereka melakukan cyberbullying kepada teman-teman mereka sebagian besar menjawab hanya karena iseng saja (49%). Triantoro lebih lanjut menjelaskan, cyberbullying ternyata kerap menimpa pelajar SMP di Yogyakarta dan Bantul. Berdasarkan kuesioner yang dibagikannya beberapa bulan lalu di beberapa SMP di wilayah Bantul dan Yogyakarta, 88 persen responden menyatakan pernah menjadi korban cyberbulying. Karenanya, Triantoro berharap agar cyberbullying menjadi perhatian semua pihak. Orang tua dianjurkan mendampingi anaknya saat mengakses internet dan media sosial, dan sekolah juga diharapkan untuk

(7)

terus menggencarkan mengkampayekan anti kekerasan dan perundungan (jogjatv.tv, 2019).

Cyberbullying memiliki beberapa dampak seperti menurut Rifaudin (2016) Perilaku cyberbullying dapat memberikan dampak negatif, antara lain korban mengalami depresi, kecemasan, ketidaknyamanan, prestasi di sekolah menurun, tidak mau bergaul dengan teman-teman sebaya, menghindar dari lingkungan sosial, dan adanya upaya bunuh diri. Cyberbullying yang dialami remaja secara berkepanjangan akan menimbulkan stres berat, melumpuhkan rasa percaya diri sehingga memicunya untuk melakukan tindakan-tindakan menyimpang seperti mencontek, membolos, kabur dari rumah, bahkan sampai minum minuman keras atau menggunakan narkoba. Cyberbullying juga dapat membuat mereka menjadi murung, dilanda rasa khawatir, dan selalu merasa bersalah atau gagal. Sedangkan dampak yang paling menakutkan adalah apabila korban cyberbullying sampai berpikir untuk mengakhiri hidupnya (bunuh diri) oleh karena tidak mampu menghadapi masalah yang tengah dihadapinya.

Begitu juga dampak cyberbullying dijelaskan dalam kajian meta-analisis Bottino, Bottino, Regina, dan Correia (2015) menemukan bahwa perundungan maya berhubungan dengan stres emosional, kecemasan sosial, penggunaan obat terlarang, gejala depresi, serta ide dan usaha untuk bunuh diri. Penelitian Zalaquett dan Chatters (2014) pada 613 mahasiswa universitas juga menemukan bahwa 45% dari responden merasa marah,

(8)

41% merasa sedih, 32% mengalami peningkatan stres, 9% mengalami penurunan produktivitas, dan hanya 6% responden yang mengaku bahwa perundungan maya tidak memiliki dampak khusus. Hasil penelitian Gini dan Pozzoli (2013) juga mengungkapkan bahwa siswa yang mengalami perundungan di dunia maya memiliki kemungkinan dua kali lebih besar untuk mengalami dampak kesehatan negatif, seperti sakit kepala dan sakit perut dibandingkan mereka yang tidak mengalami.

Menurut Pandie dan Weismann (2016) terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi perilaku cyberbullying yaitu faktor keluarga, kegagalan dalam mengontrol diri, dan faktor lingkungan. Faktor lainnya yang mempengaruhi perilaku cyberbullying juga dikemukakan oleh Disa (2011) yaitu bullying tradisional, karakteristik kepribadian, persepsi terhadap korban, strain atau emosi yang dirasakan dan peran interaksi orang tua dan anak. Namun, karakteristik kepribadian memainkan peran dalam kecenderungan melakukan tindakan cyberbullying. Kepribadian pada masa remaja memberikan sumbangan dalam pembentukan konsep diri, dimana akan menjadi pondasi yang kuat untuk membentuk konsep dirinya seperti antara lain: (1) berperan dalam mempertahankan keselarasan batin, (2) berperan dalam menentukan sikap dan perilaku individu, dan (3) menentukan pengharapan individu (tingkat motivasi individu) (Ghufron dan Risnawati, 2010).

Menurut Prayitno (2006), konsep diri yang menyangkut sosial yaitu perasaan seseorang tentang kualitas hubungan sosialnya dengan

(9)

orang lain. Misalnya merasa orang lain menyayangi, menghormati dan memerlukannya atau sebaliknya. Begitu juga seperti penjelasan yang dikemukakan oleh Amelinda (2011), konsep diri sosial menyangkut gambaran atau perasaan seseorang dan kualitas hubungan sosialnya dengan orang lain dan pandangan orang lain terhadap dirinya menurut dirinya sendiri.

Konsep diri sosial memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap sosial remaja karena remaja dalam proses menuju kedewasaannya membutuhkan kebutuhan sosial yang tinggi. Kebutuhan sosial yang tinggi dengan dinamika pada kehidupan sosial tentu tidak selamanya berjalan mulus, namun akan dihadapkan pada banyaknya permasalahan sosial yang akan menimpa dirinya sendiri maupun orang lain. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Maheswari (2016) menjelaskan bahwa remaja yang memiliki konsep diri positif cenderung memiliki perilaku cyberbulling rendah, tetapi sebaliknya remaja yang memiliki konsep diri negatif akan cenderung memunculkan perilaku cyberbullying.

Parada (Grietzel, Craven, Yeung & Finger, 2008) mengungkapkan adanya kemungkinan hubungan antara konsep diri secara sosial dengan cyberbullying karena tindakan ini dilakukan individu untuk meningkatkan nilai individu (harga diri) yang dilihat dari status sosial dan popularitas. Pernyataan senada juga dikemukakan oleh Staub (Grietzel, Craven, Yeung & Finger, 2008) bahwa cyberbullying dilakukan untuk menjaga dan meningkatkan konsep diri secara sosial, karena individu tidak memiliki

(10)

sarana yang diinginkan secara sosial untuk mencapai konsep diri positif melalui kemampuan dan prestasi. Dengan demikian, struktur konsep diri pelaku cyberbullying didasarkan pada kekuatan dan kekuasaan sehingga orang lain digunakan sebagai mekanisme perlindungan dan menegaskan kembali identitas diri.

Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan, maka dapat dilihat bahwa salah satu faktor yang turut berperan dalam perilaku cyberbullying adalah konsep diri sosial. Oleh karena itu, peneliti akan melakukan penelitian dengan rumusan masalah, “Bagaimana hubungan antara konsep diri sosial dan cyberbullying pada remaja?”.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan bertujuan untuk menguji secara empirik hubungan antara konsep diri sosial dan cyberbullying.

C. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan tambahan pengetahuan serta mengembangkan pengetahuan mengenai konsep

(11)

diri sosial dan cyberbullying. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi tambahan bagi peneliti lainnya yang ingin meneliti hal serupa atau berkaitan dengan judul penelitian ini. 2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pihak-pihak terkait agar dapat menemukan solusi yang terbaik untuk menjadikan konsep diri sosial menjadi acuan solusi untuk permasalahan cyberbullying.

D. Keaslian Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan peneliti memiliki kesamaan topik dari penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Yohanna (2016) yang berjudul “Hubungan Antara Perilaku Asertif dan Perilaku Cyberbullying di Jejaring Sosial Pada Remaja” yang menggunakan variabel bebas perilaku asertif dan variabel tergantung perilaku cyberbullying. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk megetahui hubungan antara perilaku asertif dan perilaku cyberbullying di jejarig sosial pada remaja. Subjek penelitian ini adalah remaja dengan usia 12 hingga 18 tahun. Penelitian ini dilakukan menggunakan skala perilaku asertif dan perilaku cyberbullying. Alat analisis menggunakan uji korelasi spearmen dengan nilai R = -0,482 dan p= 0,000 (<0,05). Hasil tersebut menunjukan terdapat hubungan negative yang signifikan antara perilaku asertif dan perilaku cyberbullying. Maka dapat disimpulkan bahwa

(12)

perilaku asertif memberikan kontribusi sebesar 0,232 atau 23,2% terhadap perilaku cyberbullying.

Penelitian lainnya yang telah dilakukan oleh Izzati (2017) yang berjudul “Hubungan Antara Persepsi Terhadap Peran Orang Tua dengan Perilaku Cyberbullying Pada Remaja” yang menggunakan variabel bebas peran orang tua dan variabel tergantung perilaku cyberbullying. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara peran orang tua dan perilaku cyberbullying pada remaja. Subjek penelitian ini adalah 58 siswa. Penelitian ini dilakukan menggunakan skala peran orang tua dan perilaku cyberbullying. Alat analisis menggunakan uji korelasi product moment dengan nilai R = -0,386 dan p= 0,001 (<0,05). Hasil tersebut menunjukan terdapat hubungan negatif yang signifikan antara peran orang tua dan perilaku cyberbullying. Maka dapat disimpulkan bahwa peran orang tua memberikan kontribusi sebesar 0,149 atau 14,9% terhadap perilaku cyberbullying.

Penelitian lainnya yang telah dilakukan oleh Nurjannah (2014) yang berjudul “Pengaruh Penggunaan Media Sosial Facebook terhadap Perilaku Cyberbullying pada Siswa SMAN 12 Pekanbaru” yang menggunakan variabel bebas penggunaan media sosial facebook dan variabel tergantung perilaku cyberbullying. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan apakah ada pengaruh penggunaan facebook di media sosial terhadap perilaku cyberbullying siswa di SMAN 12 Pekanbaru. Subjek penelitian ini adalah 195 siswa SMAN 12 Pekanbaru.

(13)

Penelitian ini dilakukan menggunakan skala penggunaan media sosial facebook dan perilaku cyberbullying. Alat analisis menggunakan analisis regresi linier sederhana dengan nilai Y= 2,954 + 0,267 X dengan nilai p= 0,035 (<0,05). Hasil tersebut menunjukan pengaruh negative penggunaan media sosial facebook terhadap perilaku cyberbullying rendah. Maka dapat disimpulkan bahwa peran orang tua memberikan kontribusi sebesar 0,023 atau 2,3% terhadap perilaku cyberbullying.

1. Keaslian Topik

Penelitian ini memiliki sedikit kesamaan yaitu pada variable tergantung cyberbullying, namun variable bebas berbeda. Topik penelitian ini akan menggunakan konsep diri sosial sebagai variabel bebas dan cyberbullying sebagai variabel tergantung. 2. Keaslian Teori

Teori dalam penelitian ini untuk variabel bebas konsep diri menggunakan teori dan aspek yang dikemukakan oleh Bracken, dkk (2000), sedangkan variabel tergantung cyberbullying menggunakan teori dan aspek yang dikemukakan oleh Willard (2007).

3. Keaslian Alat Ukur

Penelitian ini menggunakan alat ukur yang diadaptasi Bracken, dkk (2000), sedangkan variabel tergantung cyberbullying berdasarkan aspek yang dikemukakan oleh Willard (2007)

(14)

4. Keaslian Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Subjek yang terlibat dalam penelitian ini adalah remaja usia 15-18 tahun.

Referensi

Dokumen terkait

Semua sahabatku di Teknik Mesin UNS terutama angkatan 2012 (CAMRO): Abdollah, Agil, Agung, Aldi, Alfi, Apri, Bayu, Bagus, Bima, Dandy, Dharma, Fachri, Faishal, Frans, Guntur,

Pengeringan sediaan apusan darah pada suhu 25 o C dan 30 o C tidak memberikan hasil berbeda terhadap morfologi sel darah putih, karena pada semua lapang pandang

Pada tahap pertama ini kajian difokuskan pada kajian yang sifatnya linguistis antropologis untuk mengetahui : bentuk teks atau naskah yang memuat bentuk

Laki-laki dan perempuan memiliki risiko yang sama terhadap keluhan nyeri pinggang sampai umur 60 tahun, namun pada kenyataannya jenis kelamin seseorang dapat mempengaruhi

Tujuan dari isi paper ini adalah untuk menganalisa unjuk kerja sistem kompresi citra grayscale asli, apakah informasi data citra hasil rekonstruksi benar-benar dapat

Ujian test tulis diberikan kepada mahasiswa dalam bentuk pilihan ganda sebanyak 100 soal yang terdiri dari 30 butir soal untuk menguji materi hafalan juz amma, 20 butir

underwear rules ini memiliki aturan sederhana dimana anak tidak boleh disentuh oleh orang lain pada bagian tubuhnya yang ditutupi pakaian dalam (underwear ) anak dan anak