• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep dan Substansi Teori

2.1.1 Evaluasi Program

2.1.1.1 Pengertian Evaluasi

Menurut Umar (2004), evaluasi adalah suatu proses untuk menyediakan informasi tentang sejauh mana suatu kegiatan tertentu telah dicapai, bagaiman perbedaan pencapaian itu dengan suatu standar tertentu untuk mengetahui apakah ada selisih diantara keduanya, serta bagaiman manfaat yang telah dikerjakan itu apabila dibandingkan dengan harapan-harapan yang ingin diperoleh.

Dunn (2000) mengemukakan bahwa istilah evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran (appraisal), pemberian angka (rating) dan penilaian. Sedangkan fungsinya adalah memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan atau program, dalam hal ini mengungkap sebarapa jauh tujuan-tujuan tertentu dan target tertentu telah dapat dicapai.

Suchman dalam Anderson (1971), memandang evaluasi sebagai sebuah proses menentukan hasil yang telah dicapai dari0beberapa kegiatan yang telah direncanakan untuk mendukung tercapainya tujuan. Kemudian Worthen dan Sanders dalam Anderson(1971), memberikan pengertian evaluasi adalah kegiatan mencari sesuatu yang berharga tentang sesuatu, dan dalam mencari sesuatu tersebut termasuk juga diantaranya mencari

(2)

informasi yang bermanfaat dalam menilai keberadaan suatu program, produksi, dan prosedur serta alternatif strategi yang diajukan untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan. Sedangkan Stufflebeam dalam Fernandes (1984), mendefiniskan evaluasi sebagai proses penggambaran, pencarian dan pemberian informasi yang alternatif keputusan.

Anderson dalam Suharsimi (2004), memandang evaluasi sebagai sebuah proses menentukan hasil yang telah dicapai beberapa kegiatan yang direncanakan untuk mendukung tercapainya tujuan. Sedangkan Stufflebeam dalam Suharsimi (2004), mengungkapkan bahwa evaluasi merupakan proses penggambaran dan pencarian serta pemberian informasi yang bermanfaat bagi pengambil keputusan dalam menentukan alternatif keputusan. Sedangkan dalam Pedoman Evaluasi yang diterbitkan Direktorat Ditjen PLS Depdiknas dijelaskan bahwa evaluasi program adalah proses pengumpulan dan penelaahan data secara berencana dan sistematis, serta menggunakan metode dan alat tertentu untuk mengukur tingkat keberhasilan atau pencapaian tujuan program dengan menggunakan tolok ukur yang telah ditentukan (Depdiknas 2002).

Berdasarkan pengertian-pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa evaluasi diartikan sebagai proses penggambaran, pencarian dan pemberian informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai suatu program, untuk mengungkap sebarapa jauh tujuan-tujuan tertentu telah dapat dicapai.

(3)

2.1.1.2 Pengertian Program

Menurut Suharsimi (2004), Program adalah suatu rencana yang melibatkan berbagai unit yang berisi kebijakan dan rangkaian kegiatan yang harus dilakukan dalam kurun waktu tertentu.

Charles O. Jones dalam Ramandita (2013), menjelaskan bahwa program adalah cara yang disahkan untuk mencapai tujuan dan beberapa karakteristik tertentu yang dapat membantu seseorang untuk mengindentifikasi suatu aktivitas sebagai program atau tidak yaitu:

1. Program cenderung membutuhkan staf, contohnya untuk melaksanakan, atau sebagai pelaku

program.

2. Program biasanya memiliki anggaran tersendiri, dan program kadang juga bisa

diidentifikasikan melalui anggaran.

3. Program memiliki identitas sendiri, dan apabila berjalan dengan efektif dapat diakui oleh publik.

Pengertian tersebut menggambarkan bahwa program adalah penjabaran dari langkah-langkah dalam mencapai tujuan itu sendiri. Sehingga program pemerintah disini diartikan sebagai upaya untuk mewujudkan kebijakan - kebijakan pemerintah yang telah ditetapkan.

Menurut Dye (1992 dalam Muhammad Amin dkk. 2014), program tidak dapat dilepaskan dari aspek kebijakan atau yang dalam hal ini adalah kebijakan publik secara prinsip dapat diartikan sebagai “Whatever government choose to do or not to do“. Memperkuat pendapat tersebut, Hogwood dan Gunn (1986 dalam Muhammad Amin dkk. 2014), menyebutkan bahwa kebijakan publik adalah seperangkat tindakan pemerintah yang didesain untuk mencapai hasil-hasil tertentu.

(4)

Berdasarkan pengertian tersebut, maka program diartikan sebagai suatu unit atau kesatuan kegiatan terencana dan tersistem berupa kebijakan publik yang dilakukan secara berkesinambungan.

2.1.1.3 Pengertian Evaluasi Program

Ralp W. Tyler dalam Suharsimi (2007), mendefinisikan evaluasi program sebagai proses untuk mengetahui apakah tujuan program sudah dapat terealisasi. Sedangkan Suharsmi Arikunto (2007) mendefinisikan evaluasi program sebagai suatu proses penetapan secara sistematis mengenai nilai, tujuan, dan efektifitas atau kecocokan sesuatu sesuai dengan kriteria dan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Evaluasi program di dalam Pedoman Evaluasi yang diterbitkan Direktorat Ditjen PLS Depdiknas, diartikan sebagai proses pengumpulan dan penelaahan data yang dilakukan secara berencana, sistematis dengan menggunakan metode dan alat tertentu untuk mengukur tingkat keberhasilan atau pencapaian tujuan program dengan menggunakan tolok ukur yang telah ditentukan (Depdiknas 2002). Dengan demikian, evaluasi program tersebut merupakan proses penetapan secara sistematis berkaitan dengan nilai, tujuan, dan efektifitas atau kecocokan sesuatu sesuai dengan kriteria dan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Sedangkan proses penetapan keputusannya didasarkan atas perbandingan secara hati-hati terhadap data yang diobservasi dengan menggunakan standar tertentu yang telah dibakukan (Depdiknas 2002).

Berdasarkan berbagai pengertian diatas, maka evaluasi program adalah proses penetapan secara

(5)

sistematis tentang nilai, tujuan, dan kecocokan sesuatu sesuai dengan kriteria dan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Evaluasi program bertujuan untuk mengetahui pencapaian tujuan program yang telah dilaksanakan (Suharsimi dan Cepi 2004). Selanjutnya, hasil evaluasi program digunakan sebagai dasar untuk melaksanakan kegiatan tindak lanjut atau untuk melakukan pengambilan keputusan berikutnya. Sedangkan manfaat evaluasi program adalah sama dengan kegiatan supervisi, yaitu dapat berupa penghentian program, merevisi program dan melanjutkan program, serta menyebarluaskan program (Suharsimi dan Cepi 2004)

2.1.1.4 Model Evaluasi Program Berorientasi Tujuan (Goal Oriented)

Dalam ilmu evaluasi program pendidikan, terdapat beberapa model yang dapat digunakan untuk mengevaluasi keterlaksanaan program. Walaupun antara yang satu dengan lainnya berbeda, tetapi maksudnya sama yaitu melakukan kegiatan pengumpulan data atau informasi berkenaan objek yang dievaluasi, dengan tujuannya adalah menyediakan bahan bagi pengambil keputusan dalam menentukan tindak lanjut suatu program. Dalam hal ini Stepphen Isaac dalam Suharsimi (2004), membedakan adanya empat hal yang dipergunakan untuk membedakan ragam model evaluasi, yaitu : 1) berorientasi pada tujuan (goal oriented); 2) berorientasi pada keputusan (decision oriented); 3) berorientasi pada kegiatan dan orang – orang yang menanganinya (transactional oriented) dan 4)

(6)

berorientasi pada pengaruh dan dampak program (research oriented).

Kaufman dan Thomas dalam Suharsimi dan Cepi (2007) membedakan model evaluasi menjadi 8, yaitu:

(1) Goal oriented evaluation, dikembangkan oleh Tyler; (2) Goal Free Evaluation Model yang dikembangkan oleh Michael Scriven; (3) Formatif Summatif Evaluation Model yang juga dikembangkan oleh Michael Scriven; (4) Countenance Evaluation Model yang dikembangkan oleh Stake; (5) Responsive Evaluation Model yang dikembangkan oleh Stake; (6) CSE-UCLA Evaluation Model yang dikembangkan oleh Alkin; (7) CIPP Evaluation Model yang dikembangkan oleh Stufflebeam, dan (8) Discrepancy Model yang dikembangkan oleh Provus.

Berdasarkan pengertian diatas, maka penelitian ini akan menggunakan Model Evaluasi Program Berorientasi Tujuan (Goal Oriented Evaluation Model) yang dikembangkan oleh Ralph Winfred Tyler.

Secara umum model evaluasi ini memberikan penekanan terhadap produktivitas dan akuntabilitas dalam suatu aktivitas. Model ini sering digunakan untuk mengukur pencapaian dan kemajuan peserta didik, dan model ini juga menepikan dimensi proses dalam pelaksanaan evaluasi. Model Tyler ini sering mengutarakan pertanyaan seperti: (1) Apakah peserta didik dapat mencapai suatu sasaran dengan baik ?; (2) Apakah para guru dapat menjalankan pekerjaanya dengan baik ?

Untuk memenuhi ketercapaian, Tyler menggariskan beberapa prosedur yang perlu dilakukan, yaitu:

(7)

(1) Mengenal pasti sasaran program yang hendak dijalankan; (2)Menguraikan setiap tujuan dalam bentuk tingkah laku dan isi kandungan; (3) Mengenal pasti situasi dimana tujuan yang hendak digunakan; (4) Menentukan arah untuk mewakili situasi; (5) Menentukan arah untuk mendapatkan hasil.

Tyler mendefinisikan evaluasi sebagai perbandingan antara hasil yang dikehendaki dengan hasil yang sebenarnya. Model evaluasi Tyler memberikan dasar pada pengukuran tingkah laku dalam suatu tujuan yang dibentuk dan mendasarkan kepada hasil pembelajaran dari input pengajaran. Tyler juga telah membuat beberapa perubahan dalam konsepnya mengenai penilaian. Pada perubahan tersebut dikembangkan definisi penilaian awal yaitu penilaian dalam program yang dibuat dengan membandingkan konsep program dengan dasar yang relevan untuk memantapkan perencanaan program, yang termasuk didalamnya adalah penilaian di tingkat implementasi dan penilaian dalam monitoring yang berkelanjutan pada suatu program.

Menurut Tyler dalam Azizi (2008), penilai harus menilai tingkah laku peserta didik, khususnya pada perubahan tingkah laku yang dikehendaki dalam pendidikan. Disamping itu evaluasi perlu dibuat pada akhir program.

Dalam model ini, langkah pertama adalah mengenali tujuan suatu program. Setelah tujuan program diketahui, indikator-indikator pencapaian tujuan dan alat pengukuran diketahui pasti. Kemudian dari hasil kajian tersebut akan dibandingkan dengan tujuan program dan keputusan

(8)

dibuat level pencapaian yang diperoleh. Menurut Tyler dalam Azizi (2008), apabila tujuan program tidak tercapai sepenuhnya, maka ini akan membawa implikasi sama, yaitu program pembelajaran tersebut lemah atau tujuan yang dipilih tidak sesuai. Sedangkan cara evaluasinya

adalah sebagai berikut:

a. Bandingkan data-data kinerja dengan tujuan yang telah dirumuskan, penyimpangannya digunakan sebagai bahan koreksi dan daur ulang program.

b. Dengan metode logika:

(1) Kaji rasional atau tidak program tersebut dan argumentasi yang dipergunakan merumuskan tujuan. Dasar pikir perumusan tujuan yang tidak logis perlu dikesampingkan.

(2) Pertimbangan utilitas ( kegunaan ), biaya, penerimaan dan politis perlu dikedepankan.

(3) Hukum, kebijakan yang tepat, moral, idialisme Suatu masyarakat diperlukan agar tujuan selaras dengan idealisme masyarakat.

c. Dengan metode empiris:

(1) Survey dipergunakan untuk mengumpulkan informasi dan mengetahui posisi nilai dari tujuan yang telah dirumuskan.

(2) Ahli dikumpulkan dalam membahas kebenaran nilai-nilai yang terkandung didalam tujuan.

(3) Buat analisis isi/kontent cek pertentangan antara tujuan yang telah ditetapkan dengan nilai yang sedang berkembang didalam masyarakat.

(4) Melakukan pilot project (ujicoba awal).

2.1.2 Tunjangan Profesi Guru

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mengamanatkan bahwa guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, serta pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal. Oleh karena itu, sebagai pendidik profesional, guru diharuskan memiliki kualifikasi akademik, kompetensi,

(9)

sertifikat pendidik, sehat jasmani, rohani, dan memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Karena melaksanakan tugas keprofesionalan, maka guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum serta jaminan kesejahteraan sosial. Pengertian penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum tersebut adalah penghasilan yang meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, dan penghasilan lain berupa tunjangan profesi pendidik untuk guru, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, serta maslahat tambahan yang terkait tugas sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi.

Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen juga menyebutkan bahwa guru yang telah memiliki sertikat pendidik dan memenuhi persyaratan lainnya berhak mendapatkan tunjangan profesi yang besarnya setara dengan satu kali gaji pokok. Tunjangan profesi tersebut dimaksudkan untuk peningkatan mutu guru sebagai penghargaan atas profesionalitas untuk mewujudkan amanat Undang-Undang Guru dan Dosen antara lain mengangkat martabat guru, meningkatkan kompetensi guru, memajukan profesi guru, meningkatkan mutu pembelajaran, dan meningkatkan pelayanan pendidikan yang bermutu.

2.1.3 Martabat Guru

Menurut Supriyoko (2006), martabat guru merupakan gambaran tingkatan harkat kemanusiaan dan kedudukan guru yang terhormat. Sedangkan pemahaman terhadap martabat ini, merupakan salah satu hakekat guru sebagai profesi (Arni Muhammad 2005). Menurut Arni (2005),

(10)

sebagai profesi, seorang guru selain memahami harkat dan martabat guru, juga harus memahami tentang kompetensi apa saja yang harus dimiliki guru agar dapat menjadi guru yang profesional, wadah atau organisasi profesi apa saja yang dapat dijadikan tempat bagi guru memperjuangkan hak-haknya dan juga untuk meningkatkan wawasan dan profesionalismenya, termasuk memahami norma yang harus dipedomani dan di patuhi yakni Kode Etik Guru.

Martabat guru tercermin pada kode etik guru. Kode etik ini bertujuan menempatkan guru sebagai profesi yang terhormat, mulia, bermartabat dan dilindungi undang-undang (Sudarwan 2012). Kode etik dalam suatu profesi dibuat adalah untuk kepentingan anggota dan kepentingan organisasi profesi itu sendiri. Pada umumnya tujuan diadakannya kode etik adalah untuk menjunjung tinggi martabat profesi. Adanya kode etik dapat menjaga pandangan dan kesan dari pihak luar atau masyarakat, agar mereka tidak memandang rendah atau remeh terhadap suatu profesi. Oleh karenanya, setiap kode etik suatu profesi akan melarang berbagai bentuk tindak-tanduk atau kelakuan anggota profesi yang dapat mencemarkan nama baik profesi terhadap dunia luar. Oleh karena itu, kode etik juga sering kali disebut sebagai kode kehormatan (Sudarwan 2012).

Kode etik bertujuan untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggotanya. Pada pengertian ini yang dimaksud kesejahteraan adalah meliputi baik kesejahteraan lahir (atau material) maupun kesejahteraan batin (spiritual atau mental). Kode etik juga sering mengandung peraturan-peraturan yang bertujuan membatasi tingkah laku yang tidak pantas atau tidak jujur bagi para anggota profesi

(11)

dalam berinteraksi dengan sesama rekan anggota profesi. Tujuan kode etik juga berkaitan dengan peningkatan kegiatan pengabdian profesi, sehingga anggota-anggota profesi tersebut dapat dengan mudah mengetahui tugas dan tanggung jawab pengabdian dalam melaksanakan tugasnya. Pada hakekatnya, kode etik mengandung ketentuan-ketentuan yang perlu dilakukan oleh para anggota profesi (Sudarwan 2012).

Untuk meningkatkan mutu, profesi kode etik juga memuat norma-norma dan anjuran agar para anggota profesi selalu berusaha untuk meningkatkan mutu pengabdian anggota profesi. Kemudian untuk meningkatkan mutu organisasi profesi, maka diharuskan kepada setiap anggota untuk secara aktif berpartispasi dalam membina organisasi profesi dan kegiatan-kegiatan yang dirancang organisasi (Ramayulis 2013).

Pada kode etik guru Indonesia, guru Indonesia memedomani dasar-dasar sebagai berikut:

1. Guru berbakti membimbing para peserta didik guna membentuk manusia seutuhnya yang berjiwa

pancasila;

2. Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran Professional;

3. Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan;

4. Guru menciptakan suasana sekolah sebaik - baiknya guna menunjang keberhasilan proses belajar-mengajar; 5. Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitar guna membina peran serta dan juga rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan;

6. Guru mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesi;

7. Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial;

(12)

meningkatkan mutu organisasi PGRI, sebagai sarana penunjang dan pengabdian;

9. Guru melaksanakan segala kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan.

Menurut Ramayulis (2013), kesembilan butir kode etik guru Indonesia itu dapat dijabarkan dalam bentuk sikap sebagai berikut:

a. Guru berbakti membimbing para peserta didik untuk membentuk manusia seutuhnya yang berjiwa pancasila. Untuk itu guru hendaklah:

1) Menghormati hak individu dan kepribadian peserta didik masing-masing,

2) Berusaha membimbing kepribadian peserta didiknya,

3) Menghayati dan mengamalkan falsafah Pancasila, 4) Menyadari bahwa tujuan pendidikan adalah

pengembangan secara utuh intelegensi, moral dan kesehatan jasmani dan rohani peserta didiknya, 5) Berupaya dengan ikhlas melatih dalam

memecahkan masalah-masalah dan membina daya kreasi peserta didik agar dikemudian hari dapat

menunjang masyarakat yang sedang membangun. b. Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran professional. dalam hal ini guru hendaklah:

1) Memperhatikan dan menghargai perbedaan dan kebutuhan peserta didiknya masing-masing.

2) Fleksibel dalam menerapkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan peserta didik masing-masing, 3) Melaksanakan pembelajaran didalam dan diluar sekolah berdasarkan pada kurikulum tanpa

membeda – bedakan latar belakang dan kedudukan orang tua peserta didiknya.

c. Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai dasar melakukan bimbingan dan pembinaan. Dalam hal ini guru hendaklah:

1) Mengadakan komunikasi terhadap peserta didik di dalam dan diluar sekolah berlandaskan pada rasa kasih sayang,

2) Mengetahui kepribadian anak dan latar belakang keluarganya masing-masing,

3) Berkomunikasi hanya diadakan semata-mata guna kepentingan pendidikan peserta didik.

d. Guru menciptakan suasana sekolah sebaik baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar-mengajar.

(13)

Dalam hal ini guru perlu berusaha untuk:

1) Menciptakan suasana kehidupan sekolah yang baik sehingga peserta didik betah berada dan

belajar di sekolah,

2) Melakukan kerjasama dengan sekolah dan masyarakat sekitar yang diperuntukkan bagi

terciptanya suasana sekolah yang menunjang keberhasilan proses belajar peserta didik secara optimal,

3) Guru menerima dengan lapang dada kritik-kritik yang disampaikan orang tua murid dan masyarakat bagi kehidupan sekolahnya.

e. Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua peserta didik dan masyarakat sekitar guna membina peran serta dan sikap tanggung jawab bersama terhadap pendidikan. Terkait dengan hal ini guru hendaknya:

1) Guru mengusahakan terciptanya kerjasama yang sebaik-baiknya antara sekolah, orang tua murid,dan

masyarakat sehingga terjalin pertukaran informasi timbal balik guna kepentingan peserta didik,

2) Guru memperluas pengetahuan masyarakat tentang profesi keguruan,

3) Guru turut menyebarkan program - program pendidikan dan kebudayaan kepada masyarakat disekitarnya, sehingga sekolah tersebut dapat turut Berfungsi sebagai pusat pembinaan dan

pengembangan pendidikan serta kebudayaan ditempat itu.

4) Guru harus berperan agar dirinya dan sekolahnya dapat berfungsi sebagai unsur pembaru untuk kehidupan dan kemajuan didaerahnya. 5) Guru turut bersama - sama masyarakat sekitarnya didalam berbagai aktivitas.

f. Guru secara pribadi dan bersama - sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesi. Dalam hal ini guru dituntut untuk: 1) Terus berusaha untuk menambahdan memperluas ilmu, wawasan dan keterampilannya dengan rajin

membaca, melakukan penelitian, mengikuti seminar ilmiah, workshop, penataran dan kegiatan keilmuan

lainnya.

2) Guru senantiasa berbicara, bersikap, bertindak sesuai martabat profesinya.

(14)

g. Guru memelihara hubungan seprofesi dan semangat kekeluargaan serta kesetiakawanan sosial.Sesuai dengan hal ini guru hendaknya:

1) Senantiasa saling bertukar informasi, pendapat, menasehati dan membantu satu sama lain, baik dalam hubungannya dengan kepentingan pribadi maupun dalam menunaikan tugas profesinya.

2) Tidak melakukan perbuatan atau tindakan–tindakan yang merugikan nama baik sesama rekan seprofesinya dan menunjang martabat guru baik secara keseluruhan maupun secara pribadi.

h. Guru secara bersama - sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana penunjang dan pengabdian.Terkait dengan hal ini guru dituntut:

1) Menjadi anggota dan organisasi guru yang dimaksudkan untuk membina dan pendidikan pada

umumnya, profesi

2) Senantiasa berusaha bagi peningkatan persatuan antara sesama pengabdi pendidikan,

3) Senantiasa berusaha agar menghindarkan diri dari sikap-sikap dan ucapan-ucapan, serta tindakan- tindakan yang dapat merugikan organisasi.

i. Guru melaksanakan segala kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan.

1) Senantiasa patuh dan tunduk terhadap kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan,

2) Melakukan tugas profesinya dengan disiplin dan rasa pengabdian.

3) Berusaha membantu menyebarkan kebijaksanaan dan program pemerintah didalam bidang pendidikan terhadap orang tua murid dan masyarakat sekitarnya, 4) Berusaha menunjang terciptanya kepemimpinan

pendidikan dilingkungan atau daerahnya sebaik- baiknya.

Berdasarkan beberapa pengertian diatas, maka martabat guru dapat diartikan sebagai tingkat harkat kemanusiaan dan harga diri guru yang diperolehnya karena menjalankan kode etik guru Indonesia.

(15)

2.1.4 Kompetensi Guru

2.1.4.1 Pengertian Kompetensi Guru

Depdiknas merumuskan definisi kompetensi sebagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak (Depdiknas 2004). Sedangkan sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, disebutkan bahwa kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dikuasai, serta diaktualisasikan oleh Guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya. Sedangkan kompetensi yang perlu dimiliki setiap guru berdasarkan PP Nomor 74 Tahun 2008, adalah kompetensi guru yang meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial serta kompetensi professional, yang harus diperoleh melalui pendidikan profesi.

Berdasarkan landasan peraturan-peraturan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kompetensi guru adalah kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara bertanggung jawab dan layak.

2.1.4.2 Jenis Kompetensi Guru

Menurut pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan, disebutkan bahwa pendidik (guru) adalah agen pembelajaran yang harus memiliki empat jenis kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial. Pada konteks ini, maka kompetensi guru diartikan sebagai kebulatan pengetahuan dan keterampilan serta sikap yang diwujudkan dalam bentuk perangkat tindakan

(16)

cerdas dan penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang calon guru untuk memangku jabatan guru sebagai profesi. a. Kompetensi Pedagogik

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, kompetensi pedagogik diartikan sebagai kemampuan yang berkenaan dengan pemahaman terhadap peserta didik dan pengelola pembelajaran yang mendidik dan dialogis. Substansinya kompetensi ini mencakup kemampuan pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, serta pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Sedangkan secara terperinci, masing-masing elemen kompetensi pedagogik tersebut dapat dijabarkan menjadi sub kompetensi dan indikator esensial sebagai berikut:

(1) Memahami peserta didik. Sub kompetensi ini memiliki indikator esensial:

(a) memahami peserta didik dengan menggunakan prinsip-prinsip perkembangan kognitif;

(b) memahami peserta didik dengan cara memanfaatkan prinsip prinsip kepribadian; (c) mengidentifikasi bekal - ajar awal yang dimiliki

peserta didik.

(2) Merancang pembelajaran, termasuk memahami landasan pendidikan untuk kepentingan pembelajaran. Pada sub kompetensi ini indikator esensial adalah:

(a) menerapkan teori-teori belajar dan pembelajaran; (b) menentukan strategi pembelajaran berdasarkan karakteristik peserta didik dan kompetensi yang ingin dicapai serta materi ajar;

(c) menyusun rancangan pembelajaran berdasarkan strategi yang dipilih.

(17)

(3) Melaksanakan pembelajaran. Indikator esensial pada subkompetensi ini adalah:

(a) menata latar (setting) dari pembelajaran; dan (b) melaksanakan pembelajaran dengan kondusif. (5) Mengembangkan peserta didik untuk

mengaktuali-sasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Sub kompetensi ini, indikator esensialnya adalah:

(a) memfasilitasi peserta didik untuk pengembangan berbagai potensi akademik; dan

(b) memfasilitasi peserta didik untuk mengembang-kan berbagai potensi non-akademik.

b. Kompetensi Kepribadian

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, kompetensi kepribadian dimaksudkan sebagai kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa, dan menjadi teladan bagi peserta didik, serta berakhlak mulia. Setiap elemen kepribadian tersebut dapat dijabarkan menjadi sub kompetensi dan indikator esensial sebagai berikut:

(1) Memiliki kepribadian yang mantap dan stabil. Sub kompetensi ini, indikator esensialnya:

(a) bertindak sesuai norma hukum; (b) bertindak sesuai norma sosial; (c) bangga sebagai pendidik; dan

(d) konsisten dalam bertindak sesuai dengan norma.

(2) Memiliki kepribadian yang dewasa. Sub kompetensi ini rincian indikator esensialnya: (a) menampilkan sikap kemandirian dalam

bertindak sebagai pendidik; dan (b) mempunyai etos kerja sebagai pendidik. (3) Memiliki kepribadian yang arif. Sub kompetensi

ini memiliki indikator esensial:

(a) menampilkan tindakan yang didasarkan pada kemanfaatan peserta didik, sekolah, dan masyarakat, dan

(b) menunjukkan keterbukaan dalam berpikir dan bertindak.

(18)

(4) Memiliki kepribadian yang berwibawa. Sub kompetensi ini memiliki indikator esensial: (a) memiliki perilaku yang berpengaruh positif

terhadap peserta didik,

(b) memiliki perilaku yang selalu disegani.

(5) Memiliki akhlak mulia dan dapat menjadi teladan. Dalam sub kompetensi ini, indikator esensialnya:

(a) bertindak sesuai dengan norma religius (imtaq, jujur, ikhlas, suka menolong),

(b) memiliki perilaku yang dapat diteladani peserta didik.

c. Kompetensi Profesional

Kompetensi profesional, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 merupakan kemampuan yang berkenaan dengan penguasaan materi pembelajaran bidang studi secara luas dan mendalam yang mencakup penguasaan substansi isi materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materi kurikulum tersebut, dan menambah wawasan keilmuan sebagai guru. Elemen kompetensi tersebut memiliki sub kompetensi dan indikator esensial sebagai berikut:

(1) Menguasai substansi keilmuan bidang studi dan ilmu lain yang terkait dengan bidang studi yang diampu. Sub kompetensi ini memiliki indikator esensial:

(a) memahami materi ajar yang terdapat dalam kurikulum sekolah;

(b) memahami struktur, konsep dan metode keilmuan yang menaungi atau koheren dengan materi ajar;

(c) memahami adanya hubungan konsep antar mata pelajaran terkait; dan

(d) menerapkan konsep - konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari.

(2) Menguasai langkah – langkah penelitian dan kajian kritis untuk menambah wawasan dan memperdalam pengetahuan/materi bidang studi.

(19)

d. Kompetensi Sosial

Kompetensi sosial, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 adalah berkenaan dengan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, dan orangtua/wali peserta didik, serta masyarakat sekitar sekolah. Kompetensi ini memiliki sub kompetensi dengan indikator esensial sebagai berikut:

(1) Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik. Subkompetensi ini mempunyai indikator esensial: berkomunikasi secara efektif dengan peserta didik.

(2) Mampu menjalin komunikasi dan bergaul secara efektif dengan sesama guru dan tenaga kependidikan.

(3) Dapat berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan orangtua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar untuk kepentingan pendidikan.

Empat kompetensi di atas pada dasarnya tidak terpisah secara eksplisit satu sama lain, tetapi menyatu menjadi satu kesatuan sebagai kompetensi guru. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah bahwa kompetensi seseorang, termasuk guru, adalah tidak tetap dari waktu ke waktu, ada saatnya mengembang tetapi adakalanya juga menurun. Oleh karena itu, guru perlu selalu berusaha untuk meningkatkan kompetensinya.

2.1.5 Profesi Guru

Menurut Arni Muhammad (2005), bahwa profesi pada hakikatnya adalah suatu pernyataan atau suatu janji terbuka yang menyatakan bahwa seseorang itu

(20)

mengabdikan dirinya pada suatu jabatan atau pelayan karena orang tersebut merasa terpanggil untuk menjabat pekerjaan itu. Sedangkan Ramayulis (2013), mengartikan profesi sebagai suatu pekerjaan tertentu yang menuntut persyaratan khusus dan istimewa sehingga memperoleh kepercayaan pihak yang membutuhkan.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menyebutkan bahwa jabatan guru sebagai pendidik merupakan jabatan profesional. Oleh karena itu, sebagai guru profesional dituntut untuk terus-menerus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebutuhan masyarakat termasuk kebutuhan terhadap sumber daya manusia yang berkualitas dan memiliki kapabilitas untuk mampu bersaing di forum regional, nasional, maupun internasional. Dalam hal ini dipertegas kembali pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang menyebut profesi guru sebagai profesi yang sejajar dengan dosen di perguruan tinggi. Berdasarkan pernyataan tersebut jelaslah bahwa pekerjaan guru adalah profesi, karena seorang guru harus sanggup dan rela mengabdikan dirinya demi membimbing, mengajar, serta mendidik peserta didik agar nantinya berguna bagi dirinya sendiri, orang lain dan negara. Dengan demikian profesi guru tersebut merupakan panggilan jiwanya sendiri, sehingga dia bertanggung jawab terhadap profesinya itu. Sedangkan hakekat guru sebagai suatu profesi menurut Arni Muhammad (2005), adalah memahami tentang harkat dan martabat guru, kompetensi apa saja yang harus dimiliki guru agar dapat menjadi guru yang professional, wadah atau organisasi profesi apa saja yang dapat dijadikan

(21)

tempat bagi guru memperjuangkan hak-haknya dan juga untuk meningkatkan wawasan dan profesionalismenya, dan memahami norma yang harus dipedomani dan di patuhi.

Berdasarkan pasal 41 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 dijelaskan bahwa sebagai suatu profesi, maka guru memiliki organisasi profesi. Organisasi profesi yang dibentuk tersebut bersifat independen dan berfungsi untuk memajukan profesi, meningkatkan kompetensi dan karier, wawasan kependidikan, perlindungan profesi dan kesejahteraan, serta pengabdian kepada masyarakat. Pada pasal ini juga dijelaskan bahwa guru wajib menjadi anggota organisasi profesi.

2.1.6 Kualitas Pembelajaran

Kualitas pembelajaran sangat menentukan tinggi rendahnya kualitas pendidikan. Kualitas pembelajaran dipengaruhi oleh ketersediaan sarana dan prasarana pembelajaran, serta aktivitas dan kreativitas guru dan siswa dalam proses belajar mengajar (Depdiknas 2004).

Dalam Undang-undang Guru dan Dosen Tahun 2005 pada pasal 10 disebutkan bahwa kegiatan belajar mengajar akan berkualitas apabila didukung oleh guru yang professional memiliki kompetensi professional, pedagogik, kepribadian, dan sosial. Di samping itu, kualitas pembelajaran juga dapat maksimal jika didukung oleh siswa yang berkualitas (cerdas, memiliki motivasi belajar yang tinggi dan sikap positif dalam belajar) dan didukung sarana-prasarana pembelajaran yang memadai. Oleh karena itu guru yang profesional dimungkinkan akan memiliki kinerja yang baik, dan begitu pula siswa yang berkualitas memungkinkan siswa memiliki perilaku yang

(22)

positif dalam kegiatan belajar mengajar. Sedangkan interaksi belajar mengajar antara guru dengan siswa yang positif akan mewujudkan budaya kelas yang positif dan impresif atau iklim kelas (classroom climate) yang mendukung untuk proses belajar siswa. Oleh karena itu, seluruh pendukung kegiatan belajar mengajar harus tersedia sebagaimana dikatakan Cox (2006) bahwa ”the quality of an instructional program is comparised of three elements, materials (and equipment), activities and people”.

Secara garis besar, terdapat dua variabel yang dapat mempengaruhi keberhasilan belajar siswa, yaitu ketersediaan dan dukungan input, serta kualitas proses pembelajaran (Depdiknas 2004). Input terdiri dari siswa, guru, dan sarana-prasarana pembelajaran. Sedangkan kualitas pembelajaran merupakan ukuran yang menunjukkan seberapa tinggi kualitas interaksi guru dengan siswa dalam proses pembelajaran dalam rangka pencapaian tujuan tertentu. Kemudian kegiatan belajar mengajar tersebut dilaksanakan dalam suasana tertentu dengan dukungan sarana dan prasarana pembelajaran tertentu pula. Dengan demikian, keberhasilan proses pembelajaran sangat bergantung kepada guru, siswa, sarana pembelajaran, lingkungan kelas, dan budaya kelas. Keseluruhan indikator tersebut harus saling mendukung dalam sebuah sistem kegiatan pembelajaran yang berkualitas.

Untuk mengetahui tingkat kualitas pembelajaran dalam kegiatan belajar mengajar, perlu diketahui dan dirumuskan indikator-indikator kualitas pembelajaran. Morrison, Mokashi & Cotter dalam Eko Putro Widoyoko (2009), dalam risetnya telah merumuskan 44 indikator

(23)

kualitas pembelajaran yang direduksi kedalam sepuluh indikator. Kesepuluh indikator kualitas pembelajaran tersebut meliputi:

1. Lingkungan fisik mampu menumbuhkan semangat siswa untuk belajar;

2. Iklim kelas kondusif untuk belajar;

3. Guru menyampaikan pelajaran dengan jelas dan semua siswa mempunyai keinginan untuk berhasil; 4. Guru menyampaikan pelajaran secara sistematis

dan terfokus;

5. Guru menyajikan materi dengan bijaksana;

6. Pembelajaran bersifat riil (autentik dengan permasalahan yang dihadapi masyarakat dan siswa); 7. Ada penilaian diagnostik yang dilakukan secara

periodik ;

8. Membaca dan menulis sebagai kegiatan yang esensial dalam pembelajaran;

9. Menggunakan pertimbangan yang rasional dalam memecahkan masalah;

10. Menggunakan teknologi pembelajaran, baik ketika mengajar maupun untuk kegiatan belajar siswa.

2.1.7 Pelayanan Pendidikan Bermutu

Istilah mutu selama ini sama artinya dengan kualitas. Berkaitan dengan kualitas ini, Vincent Gaspersz (2001), mengemukakan bahwa :

a. Kualitas terdiri dari sejumlah keistimewaan produk, baik berupa keistimewaan langsung, maupun keistimewaan atraktif yang memenuhi keinginan pelanggan dan dengan demikian memberikan kepuasan atas penggunaan produk itu.

b. Kualitas terdiri dari segala sesuatu yang bebas dari kekurangan atau kerusakan.

Pelayanan pendidikan yang bermutu, menurut Ikke Dewi Sartika (2002), merupakan pemberian layanan jasa pendidikan di sekolah yang dapat memberikan kepuasan kepada para siswa di sekolah dan masyarakat atau orang tua siswa. Kemudian didalam Kebijakan Akreditasi Sekolah, juga dikemukakan bahwa mutu pelayanan pendidikan

(24)

adalah jaminan bahwa proses penyelenggaraan pendidikan di sekolah sesuai dengan yang seharusnya terjadi dan sesuai pula dengan yang diharapkan agar mutu pendidikan itu sesuai dengan apa yang seharusnya dan apa yang diharapkan yang dijadikan pagu (benchmark)" (Depdiknas 2004).

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka yang dimaksud dengan mutu pelayanan pendidikan adalah adanya jaminan proses atau layanan penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dan mampu memenuhi keinginan para siswa dan masyarakat (kepuasan pelanggan).

Lebih lanjut tentang alasan pentingnya pelayanan pendidikan yang bermutu Ikke Dewi Sartika (2002), mengemukakan bahwa jaminan kualitas pada hakekatnya berhubungan dengan bagaimana menentukan dan menyampaikan apa yang dipromosikan kepada konsumen, kemudian memperbaiki proses penentuan apa yang pelanggan inginkan untuk merancang kualitas produksi dan prosesnya menggunakan metode seperti penyebaran fungsi kualitas (Quality Function Development). Akan tetapi jika kualitas ditetapkan sebagai kepuasan pelanggan, maka produksi mengikuti kualitas yang diharapkan melalui proses yang melayani pelanggan.

Pelayanan pendidikan yang bermutu sangat penting. Konsumen (pelanggan) senantiasa ingin memperoleh kepuasan layanan dari jasa pendidikan yang diberikan sekolah, karena para siswa dan masyarakat sebagai pelanggan jasa pendidikan menaruh harapan yang besar terhadap sekolah dalam rangka mengantisipasi dan menjawab tantangan kehidupan di masa yang datang. Oleh

(25)

karena itu, mutu pendidikan berkaitan erat dengan proses pendidikan dan tanpa adanya proses pelayanan pendidikan yang bermutu maka tidak mungkin diperoleh produk layanan yang bermutu, atau dengan kata lain tidak akan pernah ada kepuasan pelanggan (para siswa dan masyarakat).

Menurut Dedi Supriadi (1999), guru ideal harus mampu memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu bagi siswa dengan bertindak sebagai pelatih, konselor, dan manajer belajar. Sebagai pelatih (coach), guru perlu berperan seperti pelatih olahraga. Dia akan lebih banyak membantu siswa ketika dalam “permainan”. Hanya bedanya permainan tersebut adalah belajar (game of learning). Sebagai konselor guru akan menjadi sahabat bagi siswa, teladan dalam pribadi yang mengundang rasa hormat dan keakraban dari siswa. Sedangkan sebagai manajer belajar guru akan bertindak ibarat manajer perusahaan yaitu membimbing siswanya dalam belajar, mengambil prakarsa, dan mengeluarkan ide-ide terbaik yang dimilikinya. Akan tetapi di pihak lain, dia merupakan bagian dari siswa, yang ikut belajar bersama mereka sebagai “pelajar”. Guru juga belajar dari teman seprofesinya melalui model “team teaching” yang sudah dikenal.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka yang dimaksud pelayanan pendidikan bermutu adalah adanya jaminan proses atau layanan penyelenggaraan pendidikan di sekolah oleh guru, yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dan mampu memenuhi keinginan para siswa dan masyarakat (kepuasan pelanggan).

(26)

2.2 Kajian Riset Terdahulu

Terkait dengan penelitian evaluasi ini, telah ada beberapa penelitian yang terdahulu, yaitu:

1. Penelitian oleh Badrun Kartowagiran (2011), dengan judul Kinerja Guru Profesional Pasca Sertifikasi, yang menyimpulkan bahwa kinerja sebagaian guru profesional di kabupaten Sleman belum baik, karena dari 17 indikator yang diteliti, sebanyak 7 indikator pada kategori baik, sedangkan 10 indikator lainnya pada kategori belum baik. Selengkapnya hasil penelitian tersebut sebagai berikut:

(1) dapat (a) menyusun RPP dan (b) melaksanakan pembelajaran dengan baik; (2) berdasarkan penilaian kepala sekolah, (a) kompetensi kepribadian dan (b) kompetensi sosial nya sangat baik; (3) upaya sebagian besar guru dalam membimbing siswa mengikuti lomba atau olimpiade baik; (4) usaha sebagian besar guru dalam (a) membuat modul dan (b) membuat media pembelajaran baik; (5) upaya atau aktivitas sebagian besar guru dalam (a) melakukan penulisan artikel, (b) penelitian, (c) membuat karya seni/teknologi, (d) menulis soal UNAS, (e) menelaah (mereview) buku, (f) mengikuti kursus Bahasa Inggris, (g) mengikuti diklat, dan (h) mengikuti forum ilmiah belum baik meskipun ada sebagian (47,5%) guru yang gigih mencari informasi diklat atau forum ilmiah yang mungkin diikuti; dan (6) aktivitas di organisasi: (a) (47,5%) guru menjadi pengurus organisasi sosial, dan (b) 30% menjadi pengurus organisasi pendidikan.

2. Hasil penelitian Evaluasi Program Kegiatan Kelompok Kerja Guru Madrasah Ibtidaiyah (KKG-MI) Cemara Jaya di Lingkungan Kantor Kementrian Agama Kabupaten Halmahera Timur, oleh Yamin Latief Tjokra pada tahun 2011 menunjukkan bahwa kompetensi

(27)

paedagogik dan kompetensi profesional guru-guru Madrasah Ibtidaiyah masih pada taraf sedang.

3. Penelitan yang dilakukan oleh Yasbiati (2010) dengan judul Pengaruh persepsi guru tentang sertifikasi terhadap kualitas pembelajaran di SDN Nagarawangi Tasikmalaya menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara persepsi guru tentang sertifikasi dengan kualitas pembelajaran di SD Negeri Nagarawangi 1 Tasikmalaya. Hasil penelitian ini terkait dengan penelitian yang akan penulis lakukan karena penulis ingin mengetahui keterkaitan antara pemberian tunjangan profesi dengan peningkatkan mutu pembelajaran khususnya di tingkat SMP.

4. Penelitian yang dilakukan oleh Lyimo (2014), yang berjudul Analysis of Teachers’ Low Payment in Tanzania: A Case Study of Public Secondary Schools in Moshi Rural District, mengungkapkan bahwa adanya gaji guru sekolah dasar yang tidak cukup dan tertundanya pembayaran tunjangan guru menyebabkan guru-guru melakukan aktivitas tambahan diluar mengajar yang secara ekonomi lebih menjanjikan. Akhirnya guru juga sering membolos mengajar demi aktivitas tambahannya tersebut sehingga berdampak pada kacaunya aktivitas pembelajaran. Oleh karena itu, pemberian tunjangan kepada guru ini sangat besar pengaruhnya bagi pembelajaran peserta didik.

(28)

5. Penelitian yang dilakukan Meke (2013), yang berjudul Teacher Motivation and Implementation of Continuing Professional Development Programmes in Malawi menyimpulkan bahwa di Malawi, melalui CPD training dapat diketahui, bahwa sedikitnya tunjangan guru yang diterima telah menimbulkan kondisi kurangnya pelayanan guru. Karena itu tunjangan guru perlu diberikan sebagaimana gaji, promosi, dan akomodasi seperti selama ini, yang secara nyata telah berkontribusi mengatasi rendahnya motivasi guru dalam mengimplementasi pembelajaran secara efektif di kelas sebagaimana ketika mereka belajar di CPD training. Pemerintah dan stakeholder harus terpanggil dengan adanya faktor-faktor demotivasi guru dalam mengimplementasikan pembelajarannya ini, sehingga program-program CPD yang diperoleh guru dapat direalisasikan.

(29)

2.3 Kerangka Pikir Penelitian

Gambar 1. Alur Penelitian Evaluasi Program Tunjangan Profesi guru di SMP Negeri 1 Pageruyung

Tujuan Program yang telah ditetapkan

Kemdikbud RI

1. Menentukan/menetapkan Tujuan atau sasaran-sasaran

2. Mengklasifikasi tujuan atau sasaran-sasaran

3. Menegaskan sasaran dalam bentuk perilaku

4. Menemukan situasi-situasi dalam pencapaian tujuan yang dapat dilihat

Pemberian Tunjangan Profesi Guru di SMP

N 1 Pageruyung

5. Memilih teknik pengukuran

6. Mengumpulkan data hasil kerja

7. Membandingkan data hasil kerja dengan tujuan yang telah ditetapkan

Rekomendasi

(30)

Berdasarkan pada tujuan program tunjangan profesi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2013, maka diketahui terdapat aspek evaluasi, yaitu:

a. Evaluasi Input yang meliputi aspek: (1) Mengangkat martabat guru. (2) Meningkatkan kompetensi guru. (3) Memajukan profesi guru.

b. Evaluasi Output yang meliputi aspek: (1) Meningkatkan mutu pembelajaran.

(2) Meningkatkan pelayanan pendidikan yang bermutu

Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi tingkat ketercapaian tujuan program tunjangan profesi di SMP Negeri 1 Pageruyung Kabupaten Kendal, dengan menggunakan langkah-langkah evaluasi model Ralph Winfred Tyler, yaitu:

a. Menentukan tujuan secara jelas;

b. Mengklasifikasikan tujuan-tujuan tersebut;

c. Mendefinisikan tujuan-tujuan dalam istilah perilaku terukur;

d. Temukan situasi dimana prestasi atau tujuan dapat diperlihatkan;

e. Mengembangkan atau memilih teknik - teknik pengukuran;

f. Mengumpulkan data, dan

g. Membandingkan data dengan tujuan-tujuan yang dinyatakan dalam perilaku terukur.

Hasil evaluasi direkomendasikan kepada kepala sekolah untuk ditindaklanjuti sebagai perbaikan yang berkelanjutan guna ketercapaian tujuan tunjangan profesi di SMP Negeri 1 Pageruyung.

Gambar

Gambar  1.  Alur  Penelitian  Evaluasi  Program  Tunjangan    Profesi guru di SMP Negeri 1 Pageruyung

Referensi

Dokumen terkait

1) Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai. Di langkah ini guru diharapkan untuk menyampaikan apakah yang menjadi Kompetensi Dasar mata pelajaran yang

Perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan

Kompetensi dalam hal pengelolaan keuangan desa, komunikasi dengan masyarakat desa, ide kreatif yang dimiliki untuk mewujudkan kemandirian desa sangat dibutuhkan

Hasil belajar merupakan kemampuan yang dimiliki siswa sebagai akibat dari pengalaman belajar dalam mencapai kompetensi yang telah ditetapkan atau penguasaan terhadap

Dari beberapa definisi diatas, penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dari kompetensi kepribadian adalah kemampuan personal guru yang harus dimiliki oleh guru profesional dengan

Kompetensi inti (core competences) adalah kombinasi antara segenap sumber daya dan kemampuan yang dimiliki sebuah perusahaan yang menjadi sumber keunggulan bersaing perusahaan

Modal intelektual yang bersumber dari kompetensi karyawan, struktur organisasi dan performa yang dimiliki oleh perusahaan memberikan kemampuan bagi perusahaan

Dengan pernyataan lain, yang di maksud dengan standar kompetensi adalah perumusan tentang kemampuan yang harus dimiliki seseorang untuk melakukan suatu tugas atau pekerjaan yang