BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep dan Substansi Teori
2.1.1 Evaluasi Program
2.1.1.1 Pengertian Evaluasi
Menurut Umar (2004), evaluasi adalah suatu proses untuk menyediakan informasi tentang sejauh mana suatu kegiatan tertentu telah dicapai, bagaiman perbedaan pencapaian itu dengan suatu standar tertentu untuk mengetahui apakah ada selisih diantara keduanya, serta bagaiman manfaat yang telah dikerjakan itu apabila dibandingkan dengan harapan-harapan yang ingin diperoleh.
Dunn (2000) mengemukakan bahwa istilah evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran (appraisal), pemberian
angka (rating) dan penilaian. Sedangkan fungsinya adalah memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan atau program, dalam hal ini mengungkap sebarapa jauh tujuan-tujuan tertentu dan target tertentu telah dapat dicapai.
informasi yang bermanfaat dalam menilai keberadaan suatu program, produksi, dan prosedur serta alternatif strategi yang diajukan untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan. Sedangkan Stufflebeam dalam Fernandes (1984), mendefiniskan evaluasi sebagai proses penggambaran, pencarian dan pemberian informasi yang alternatif keputusan.
Anderson dalam Suharsimi (2004), memandang evaluasi sebagai sebuah proses menentukan hasil yang telah dicapai beberapa kegiatan yang direncanakan untuk mendukung tercapainya tujuan. Sedangkan Stufflebeam dalam Suharsimi (2004), mengungkapkan bahwa evaluasi
merupakan proses penggambaran dan pencarian serta pemberian informasi yang bermanfaat bagi pengambil keputusan dalam menentukan alternatif keputusan. Sedangkan dalam Pedoman Evaluasi yang diterbitkan Direktorat Ditjen PLS Depdiknas dijelaskan bahwa evaluasi program adalah proses pengumpulan dan penelaahan data secara berencana dan sistematis, serta menggunakan metode dan alat tertentu untuk mengukur tingkat keberhasilan atau pencapaian tujuan program dengan menggunakan tolok ukur yang telah ditentukan (Depdiknas 2002).
Berdasarkan pengertian-pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa evaluasi diartikan sebagai proses
2.1.1.2 Pengertian Program
Menurut Suharsimi (2004), Program adalah suatu rencana yang melibatkan berbagai unit yang berisi kebijakan dan rangkaian kegiatan yang harus dilakukan dalam kurun waktu tertentu.
Charles O. Jones dalam Ramandita (2013), menjelaskan bahwa program adalah cara yang disahkan untuk mencapai tujuan dan beberapa karakteristik tertentu yang dapat membantu seseorang untuk mengindentifikasi suatu aktivitas sebagai program atau tidak yaitu:
1. Program cenderung membutuhkan staf, contohnya untuk melaksanakan, atau sebagai pelaku
program.
2. Program biasanya memiliki anggaran tersendiri, dan program kadang juga bisa
diidentifikasikan melalui anggaran.
3. Program memiliki identitas sendiri, dan apabila berjalan dengan efektif dapat diakui oleh publik.
Pengertian tersebut menggambarkan bahwa program adalah
penjabaran dari langkah-langkah dalam mencapai tujuan itu sendiri. Sehingga program pemerintah disini diartikan sebagai upaya untuk mewujudkan kebijakan - kebijakan pemerintah yang telah ditetapkan.
Menurut Dye (1992 dalam Muhammad Amin dkk. 2014), program tidak dapat dilepaskan dari aspek kebijakan atau yang dalam hal ini adalah kebijakan publik
Berdasarkan pengertian tersebut, maka program diartikan sebagai suatu unit atau kesatuan kegiatan terencana dan tersistem berupa kebijakan publik yang dilakukan secara berkesinambungan.
2.1.1.3 Pengertian Evaluasi Program
Ralp W. Tyler dalam Suharsimi (2007), mendefinisikan evaluasi program sebagai proses untuk mengetahui apakah tujuan program sudah dapat terealisasi. Sedangkan Suharsmi Arikunto (2007) mendefinisikan evaluasi program sebagai suatu proses penetapan secara sistematis mengenai nilai, tujuan, dan efektifitas atau kecocokan sesuatu sesuai dengan kriteria dan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Evaluasi program di dalam Pedoman Evaluasi yang diterbitkan Direktorat Ditjen PLS Depdiknas, diartikan sebagai proses pengumpulan dan penelaahan data yang dilakukan secara berencana, sistematis dengan menggunakan metode dan alat tertentu untuk mengukur tingkat keberhasilan atau pencapaian tujuan program dengan menggunakan tolok ukur yang telah ditentukan (Depdiknas 2002). Dengan demikian, evaluasi program tersebut merupakan proses penetapan secara sistematis berkaitan dengan nilai, tujuan, dan efektifitas atau kecocokan sesuatu sesuai dengan kriteria dan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Sedangkan proses penetapan keputusannya didasarkan atas perbandingan secara hati-hati terhadap data yang diobservasi dengan menggunakan standar tertentu yang telah dibakukan (Depdiknas 2002).
sistematis tentang nilai, tujuan, dan kecocokan sesuatu sesuai dengan kriteria dan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Evaluasi program bertujuan untuk mengetahui pencapaian tujuan program yang telah dilaksanakan (Suharsimi dan Cepi 2004). Selanjutnya, hasil evaluasi program digunakan sebagai dasar untuk melaksanakan kegiatan tindak lanjut atau untuk melakukan pengambilan
keputusan berikutnya. Sedangkan manfaat evaluasi program adalah sama dengan kegiatan supervisi, yaitu dapat berupa penghentian program, merevisi program dan melanjutkan program, serta menyebarluaskan program (Suharsimi dan Cepi 2004)
2.1.1.4 Model Evaluasi Program Berorientasi Tujuan (Goal Oriented)
berorientasi pada pengaruh dan dampak program (research oriented).
Kaufman dan Thomas dalam Suharsimi dan Cepi (2007) membedakan model evaluasi menjadi 8, yaitu:
(1) Goal oriented evaluation, dikembangkan oleh Tyler; (2) Goal Free Evaluation Model yang dikembangkan oleh Michael Scriven; (3) Formatif Summatif Evaluation Model yang juga dikembangkan oleh Michael Scriven; (4) Countenance Evaluation Model yang dikembangkan oleh Stake; (5) Responsive Evaluation Model yang dikembangkan oleh Stake; (6) CSE-UCLA Evaluation Model yang dikembangkan oleh Alkin; (7) CIPP Evaluation Model yang dikembangkan oleh Stufflebeam, dan (8) Discrepancy Model yang dikembangkan oleh Provus.
Berdasarkan pengertian diatas, maka penelitian ini akan menggunakan Model Evaluasi Program Berorientasi Tujuan (Goal Oriented Evaluation Model) yang dikembangkan oleh Ralph Winfred Tyler.
Secara umum model evaluasi ini memberikan penekanan terhadap produktivitas dan akuntabilitas dalam suatu aktivitas. Model ini sering digunakan untuk mengukur pencapaian dan kemajuan peserta didik, dan model ini juga menepikan dimensi proses dalam pelaksanaan evaluasi. Model Tyler ini sering mengutarakan pertanyaan seperti: (1) Apakah peserta didik dapat mencapai suatu sasaran dengan baik ?; (2) Apakah para guru dapat menjalankan pekerjaanya dengan baik ?
(1) Mengenal pasti sasaran program yang hendak dijalankan; (2)Menguraikan setiap tujuan dalam bentuk tingkah laku dan isi kandungan; (3) Mengenal pasti situasi dimana tujuan yang hendak digunakan; (4) Menentukan arah untuk mewakili situasi; (5) Menentukan arah untuk mendapatkan hasil.
Tyler mendefinisikan evaluasi sebagai perbandingan antara hasil yang dikehendaki dengan hasil yang sebenarnya. Model evaluasi Tyler memberikan dasar pada pengukuran tingkah laku dalam suatu tujuan yang dibentuk dan mendasarkan kepada hasil pembelajaran dari input pengajaran. Tyler juga telah membuat beberapa perubahan dalam konsepnya mengenai penilaian. Pada perubahan tersebut dikembangkan definisi penilaian awal yaitu penilaian dalam program yang dibuat dengan membandingkan konsep program dengan dasar yang relevan untuk memantapkan perencanaan program, yang termasuk didalamnya adalah penilaian di tingkat implementasi dan penilaian dalam monitoring yang berkelanjutan pada suatu program.
Menurut Tyler dalam Azizi (2008), penilai harus menilai tingkah laku peserta didik, khususnya pada perubahan tingkah laku yang dikehendaki dalam pendidikan. Disamping itu evaluasi perlu dibuat pada akhir program.
dibuat level pencapaian yang diperoleh. Menurut Tyler dalam Azizi (2008), apabila tujuan program tidak tercapai sepenuhnya, maka ini akan membawa implikasi sama, yaitu program pembelajaran tersebut lemah atau tujuan yang dipilih tidak sesuai. Sedangkan cara evaluasinya adalah sebagai berikut:
a. Bandingkan data-data kinerja dengan tujuan yang telah dirumuskan, penyimpangannya digunakan sebagai bahan koreksi dan daur ulang program.
b. Dengan metode logika:
(1) Kaji rasional atau tidak program tersebut dan argumentasi yang dipergunakan merumuskan tujuan. Dasar pikir perumusan tujuan yang tidak logis perlu dikesampingkan.
(2) Pertimbangan utilitas ( kegunaan ), biaya, penerimaan dan politis perlu dikedepankan.
(3) Hukum, kebijakan yang tepat, moral, idialisme Suatu masyarakat diperlukan agar tujuan selaras dengan idealisme masyarakat.
c. Dengan metode empiris:
(1) Survey dipergunakan untuk mengumpulkan informasi dan mengetahui posisi nilai dari tujuan yang telah dirumuskan.
(2) Ahli dikumpulkan dalam membahas kebenaran nilai-nilai yang terkandung didalam tujuan.
(3) Buat analisis isi/kontent cek pertentangan antara tujuan yang telah ditetapkan dengan nilai yang sedang berkembang didalam masyarakat.
(4) Melakukan pilot project (ujicoba awal).
2.1.2 Tunjangan Profesi Guru
sertifikat pendidik, sehat jasmani, rohani, dan memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Karena melaksanakan tugas keprofesionalan, maka guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum serta jaminan kesejahteraan sosial. Pengertian penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum tersebut adalah penghasilan yang meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, dan penghasilan lain berupa tunjangan profesi pendidik untuk guru, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, serta maslahat tambahan yang terkait tugas sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi.
Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen juga menyebutkan bahwa guru yang telah memiliki sertikat pendidik dan memenuhi persyaratan lainnya berhak mendapatkan tunjangan profesi yang besarnya setara dengan satu kali gaji pokok. Tunjangan profesi tersebut dimaksudkan untuk peningkatan mutu guru sebagai penghargaan atas profesionalitas untuk mewujudkan amanat Undang-Undang Guru dan Dosen antara lain mengangkat martabat guru, meningkatkan kompetensi guru, memajukan profesi guru, meningkatkan mutu pembelajaran, dan meningkatkan pelayanan pendidikan yang bermutu.
2.1.3 Martabat Guru
sebagai profesi, seorang guru selain memahami harkat dan martabat guru, juga harus memahami tentang kompetensi apa saja yang harus dimiliki guru agar dapat menjadi guru yang profesional, wadah atau organisasi profesi apa saja yang dapat dijadikan tempat bagi guru memperjuangkan hak-haknya dan juga untuk meningkatkan wawasan dan profesionalismenya, termasuk memahami norma yang harus dipedomani dan di patuhi yakni Kode Etik Guru.
Martabat guru tercermin pada kode etik guru. Kode etik ini bertujuan menempatkan guru sebagai profesi yang terhormat, mulia, bermartabat dan dilindungi undang-undang (Sudarwan 2012). Kode etik dalam suatu profesi dibuat adalah untuk kepentingan anggota dan kepentingan organisasi profesi itu sendiri. Pada umumnya tujuan diadakannya kode etik adalah untuk menjunjung tinggi martabat profesi. Adanya kode etik dapat menjaga pandangan dan kesan dari pihak luar atau masyarakat, agar mereka tidak memandang rendah atau remeh terhadap suatu profesi. Oleh karenanya, setiap kode etik suatu profesi akan melarang berbagai bentuk tindak-tanduk atau kelakuan anggota profesi yang dapat mencemarkan nama baik profesi terhadap dunia luar. Oleh karena itu, kode etik juga sering kali disebut sebagai kode kehormatan (Sudarwan 2012).
dalam berinteraksi dengan sesama rekan anggota profesi. Tujuan kode etik juga berkaitan dengan peningkatan kegiatan pengabdian profesi, sehingga anggota-anggota profesi tersebut dapat dengan mudah mengetahui tugas dan tanggung jawab pengabdian dalam melaksanakan tugasnya. Pada hakekatnya, kode etik mengandung ketentuan-ketentuan yang perlu dilakukan oleh para anggota profesi (Sudarwan 2012).
Untuk meningkatkan mutu, profesi kode etik juga memuat norma-norma dan anjuran agar para anggota profesi selalu berusaha untuk meningkatkan mutu pengabdian anggota profesi. Kemudian untuk meningkatkan mutu organisasi profesi, maka diharuskan kepada setiap anggota untuk secara aktif berpartispasi dalam membina organisasi profesi dan kegiatan-kegiatan yang dirancang organisasi (Ramayulis 2013).
Pada kode etik guru Indonesia, guru Indonesia memedomani dasar-dasar sebagai berikut:
1. Guru berbakti membimbing para peserta didik guna membentuk manusia seutuhnya yang berjiwa
pancasila;
2. Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran Professional;
3. Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan;
4. Guru menciptakan suasana sekolah sebaik - baiknya guna menunjang keberhasilan proses belajar-mengajar; 5. Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitar guna membina peran serta dan juga rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan;
6. Guru mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesi;
7. Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial;
meningkatkan mutu organisasi PGRI, sebagai sarana penunjang dan pengabdian;
9. Guru melaksanakan segala kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan.
Menurut Ramayulis (2013), kesembilan butir kode etik guru Indonesia itu dapat dijabarkan dalam bentuk sikap sebagai berikut:
a. Guru berbakti membimbing para peserta didik untuk membentuk manusia seutuhnya yang berjiwa
pengembangan secara utuh intelegensi, moral dan kesehatan jasmani dan rohani peserta didiknya, 5) Berupaya dengan ikhlas melatih dalam
memecahkan masalah-masalah dan membina daya kreasi peserta didik agar dikemudian hari dapat dengan kebutuhan peserta didik masing-masing, 3) Melaksanakan pembelajaran didalam dan diluar sekolah berdasarkan pada kurikulum tanpa
membeda – bedakan latar belakang dan kedudukan orang tua peserta didiknya. di dalam dan diluar sekolah berlandaskan pada rasa kasih sayang,
2) Mengetahui kepribadian anak dan latar belakang keluarganya masing-masing,
3) Berkomunikasi hanya diadakan semata-mata guna kepentingan pendidikan peserta didik.
Dalam hal ini guru perlu berusaha untuk: keberhasilan proses belajar peserta didik secara optimal,
3) Guru menerima dengan lapang dada kritik-kritik yang disampaikan orang tua murid dan masyarakat bagi kehidupan sekolahnya.
masyarakat sehingga terjalin pertukaran informasi timbal balik guna kepentingan peserta didik,
2) Guru memperluas pengetahuan masyarakat tentang profesi keguruan,
3) Guru turut menyebarkan program - program pendidikan dan kebudayaan kepada masyarakat disekitarnya, sehingga sekolah tersebut dapat turut Berfungsi sebagai pusat pembinaan dan
pengembangan pendidikan serta kebudayaan ditempat itu.
4) Guru harus berperan agar dirinya dan sekolahnya dapat berfungsi sebagai unsur pembaru untuk kehidupan dan kemajuan didaerahnya.
5) Guru turut bersama - sama masyarakat sekitarnya didalam berbagai aktivitas.
f. Guru secara pribadi dan bersama - sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesi. Dalam hal ini guru dituntut untuk: 1) Terus berusaha untuk menambahdan memperluas ilmu, wawasan dan keterampilannya dengan rajin
membaca, melakukan penelitian, mengikuti seminar ilmiah, workshop, penataran dan kegiatan keilmuan
lainnya.
g. Guru memelihara hubungan seprofesi dan semangat kekeluargaan serta kesetiakawanan sosial.Sesuai dengan hal ini guru hendaknya: meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana penunjang dan pengabdian.Terkait dengan hal ini guru dituntut:
2.1.4 Kompetensi Guru
2.1.4.1 Pengertian Kompetensi Guru
Depdiknas merumuskan definisi kompetensi sebagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak (Depdiknas 2004). Sedangkan sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, disebutkan bahwa kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dikuasai, serta diaktualisasikan oleh Guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya. Sedangkan kompetensi yang perlu dimiliki setiap guru berdasarkan PP Nomor 74 Tahun 2008, adalah kompetensi guru yang meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial serta kompetensi professional, yang harus diperoleh melalui pendidikan profesi.
Berdasarkan landasan peraturan-peraturan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kompetensi guru adalah kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara bertanggung jawab dan layak.
2.1.4.2 Jenis Kompetensi Guru
cerdas dan penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang calon guru untuk memangku jabatan guru sebagai profesi.
a. Kompetensi Pedagogik
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, kompetensi pedagogik diartikan sebagai kemampuan yang berkenaan dengan pemahaman terhadap peserta didik dan pengelola pembelajaran yang mendidik dan dialogis. Substansinya kompetensi ini mencakup kemampuan pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, serta pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Sedangkan secara terperinci, masing-masing elemen kompetensi pedagogik tersebut dapat dijabarkan menjadi sub kompetensi dan indikator esensial sebagai berikut:
(1) Memahami peserta didik. Sub kompetensi ini memiliki indikator esensial:
(a) memahami peserta didik dengan menggunakan prinsip-prinsip perkembangan kognitif;
(b) memahami peserta didik dengan cara memanfaatkan prinsip prinsip kepribadian; (c) mengidentifikasi bekal - ajar awal yang dimiliki
peserta didik.
(2) Merancang pembelajaran, termasuk memahami landasan pendidikan untuk kepentingan pembelajaran. Pada sub kompetensi ini indikator esensial adalah:
(a) menerapkan teori-teori belajar dan pembelajaran; (b) menentukan strategi pembelajaran berdasarkan karakteristik peserta didik dan kompetensi yang ingin dicapai serta materi ajar;
(3) Melaksanakan pembelajaran. Indikator esensial pada subkompetensi ini adalah:
(a) menata latar (setting) dari pembelajaran; dan (b) melaksanakan pembelajaran dengan kondusif. (5) Mengembangkan peserta didik untuk
mengaktuali-sasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Sub kompetensi ini, indikator esensialnya adalah:
(a) memfasilitasi peserta didik untuk pengembangan berbagai potensi akademik; dan
(b) memfasilitasi peserta didik untuk mengembang-kan berbagai potensi non-akademik.
b. Kompetensi Kepribadian
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, kompetensi kepribadian dimaksudkan sebagai kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa, dan menjadi teladan bagi peserta didik, serta berakhlak mulia. Setiap elemen kepribadian tersebut dapat dijabarkan menjadi sub kompetensi dan indikator esensial sebagai berikut: kompetensi ini rincian indikator esensialnya: (a) menampilkan sikap kemandirian dalam
bertindak sebagai pendidik; dan (b) mempunyai etos kerja sebagai pendidik. (3) Memiliki kepribadian yang arif. Sub kompetensi
ini memiliki indikator esensial:
(a) menampilkan tindakan yang didasarkan pada kemanfaatan peserta didik, sekolah, dan masyarakat, dan
(4) Memiliki kepribadian yang berwibawa. Sub kompetensi ini memiliki indikator esensial: (a) memiliki perilaku yang berpengaruh positif (imtaq, jujur, ikhlas, suka menolong),
(b) memiliki perilaku yang dapat diteladani peserta didik.
c. Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 merupakan kemampuan yang berkenaan dengan penguasaan materi pembelajaran bidang studi secara luas dan mendalam yang mencakup penguasaan substansi isi materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materi kurikulum tersebut, dan menambah wawasan keilmuan sebagai guru. Elemen kompetensi tersebut memiliki sub kompetensi dan indikator esensial sebagai berikut:
(1) Menguasai substansi keilmuan bidang studi dan ilmu lain yang terkait dengan bidang studi yang diampu. Sub kompetensi ini memiliki indikator esensial:
(a) memahami materi ajar yang terdapat dalam kurikulum sekolah;
d. Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 adalah berkenaan dengan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, dan orangtua/wali peserta didik, serta masyarakat sekitar sekolah. Kompetensi ini memiliki sub kompetensi dengan indikator esensial sebagai berikut:
(1) Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik. Subkompetensi ini mempunyai indikator esensial: berkomunikasi secara efektif dengan peserta didik.
(2) Mampu menjalin komunikasi dan bergaul secara efektif dengan sesama guru dan tenaga kependidikan.
(3) Dapat berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan orangtua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar untuk kepentingan pendidikan.
Empat kompetensi di atas pada dasarnya tidak terpisah secara eksplisit satu sama lain, tetapi menyatu menjadi satu kesatuan sebagai kompetensi guru. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah bahwa kompetensi seseorang, termasuk guru, adalah tidak tetap dari waktu ke waktu, ada saatnya mengembang tetapi adakalanya juga menurun. Oleh karena itu, guru perlu selalu berusaha untuk meningkatkan kompetensinya.
2.1.5 Profesi Guru
mengabdikan dirinya pada suatu jabatan atau pelayan karena orang tersebut merasa terpanggil untuk menjabat pekerjaan itu. Sedangkan Ramayulis (2013), mengartikan profesi sebagai suatu pekerjaan tertentu yang menuntut persyaratan khusus dan istimewa sehingga memperoleh kepercayaan pihak yang membutuhkan.
tempat bagi guru memperjuangkan hak-haknya dan juga untuk meningkatkan wawasan dan profesionalismenya, dan memahami norma yang harus dipedomani dan di patuhi.
Berdasarkan pasal 41 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 dijelaskan bahwa sebagai suatu profesi, maka guru memiliki organisasi profesi. Organisasi profesi yang dibentuk tersebut bersifat independen dan berfungsi untuk memajukan profesi, meningkatkan kompetensi dan karier, wawasan kependidikan, perlindungan profesi dan kesejahteraan, serta pengabdian kepada masyarakat. Pada pasal ini juga dijelaskan bahwa guru wajib menjadi anggota organisasi profesi.
2.1.6 Kualitas Pembelajaran
Kualitas pembelajaran sangat menentukan tinggi rendahnya kualitas pendidikan. Kualitas pembelajaran dipengaruhi oleh ketersediaan sarana dan prasarana pembelajaran, serta aktivitas dan kreativitas guru dan siswa dalam proses belajar mengajar (Depdiknas 2004).
positif dalam kegiatan belajar mengajar. Sedangkan interaksi belajar mengajar antara guru dengan siswa yang positif akan mewujudkan budaya kelas yang positif dan impresif atau iklim kelas (classroom climate) yang mendukung untuk proses belajar siswa. Oleh karena itu, seluruh pendukung kegiatan belajar mengajar harus
tersedia sebagaimana dikatakan Cox (2006) bahwa ”the quality of an instructional program is comparised of three elements, materials (andequipment), activities and people”.
Secara garis besar, terdapat dua variabel yang dapat mempengaruhi keberhasilan belajar siswa, yaitu ketersediaan dan dukungan input, serta kualitas proses
pembelajaran (Depdiknas 2004). Input terdiri dari siswa, guru, dan sarana-prasarana pembelajaran. Sedangkan kualitas pembelajaran merupakan ukuran yang menunjukkan seberapa tinggi kualitas interaksi guru dengan siswa dalam proses pembelajaran dalam rangka pencapaian tujuan tertentu. Kemudian kegiatan belajar mengajar tersebut dilaksanakan dalam suasana tertentu dengan dukungan sarana dan prasarana pembelajaran tertentu pula. Dengan demikian, keberhasilan proses pembelajaran sangat bergantung kepada guru, siswa, sarana pembelajaran, lingkungan kelas, dan budaya kelas. Keseluruhan indikator tersebut harus saling mendukung dalam sebuah sistem kegiatan pembelajaran yang berkualitas.
kualitas pembelajaran yang direduksi kedalam sepuluh indikator. Kesepuluh indikator kualitas pembelajaran tersebut meliputi:
1. Lingkungan fisik mampu menumbuhkan semangat siswa untuk belajar;
2. Iklim kelas kondusif untuk belajar;
3. Guru menyampaikan pelajaran dengan jelas dan semua siswa mempunyai keinginan untuk berhasil; 4. Guru menyampaikan pelajaran secara sistematis
dan terfokus;
5. Guru menyajikan materi dengan bijaksana;
6. Pembelajaran bersifat riil (autentik dengan permasalahan yang dihadapi masyarakat dan siswa); 7. Ada penilaian diagnostik yang dilakukan secara
periodik ;
8. Membaca dan menulis sebagai kegiatan yang esensial dalam pembelajaran;
9. Menggunakan pertimbangan yang rasional dalam memecahkan masalah;
10. Menggunakan teknologi pembelajaran, baik ketika mengajar maupun untuk kegiatan belajar siswa.
2.1.7 Pelayanan Pendidikan Bermutu
Istilah mutu selama ini sama artinya dengan kualitas. Berkaitan dengan kualitas ini, Vincent Gaspersz (2001), mengemukakan bahwa :
a. Kualitas terdiri dari sejumlah keistimewaan produk, baik berupa keistimewaan langsung, maupun keistimewaan atraktif yang memenuhi keinginan pelanggan dan dengan demikian memberikan kepuasan atas penggunaan produk itu.
b. Kualitas terdiri dari segala sesuatu yang bebas dari kekurangan atau kerusakan.
adalah jaminan bahwa proses penyelenggaraan pendidikan di sekolah sesuai dengan yang seharusnya terjadi dan sesuai pula dengan yang diharapkan agar mutu pendidikan itu sesuai dengan apa yang seharusnya dan apa yang diharapkan yang dijadikan pagu (benchmark)" (Depdiknas 2004).
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka yang dimaksud dengan mutu pelayanan pendidikan adalah adanya jaminan proses atau layanan penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dan mampu memenuhi keinginan para siswa dan masyarakat (kepuasan pelanggan).
Lebih lanjut tentang alasan pentingnya pelayanan pendidikan yang bermutu Ikke Dewi Sartika (2002), mengemukakan bahwa jaminan kualitas pada hakekatnya berhubungan dengan bagaimana menentukan dan menyampaikan apa yang dipromosikan kepada konsumen, kemudian memperbaiki proses penentuan apa yang pelanggan inginkan untuk merancang kualitas produksi dan prosesnya menggunakan metode seperti penyebaran fungsi kualitas (Quality Function Development). Akan tetapi jika kualitas ditetapkan sebagai kepuasan pelanggan, maka produksi mengikuti kualitas yang diharapkan melalui proses yang melayani pelanggan.
karena itu, mutu pendidikan berkaitan erat dengan proses pendidikan dan tanpa adanya proses pelayanan pendidikan yang bermutu maka tidak mungkin diperoleh produk layanan yang bermutu, atau dengan kata lain tidak akan pernah ada kepuasan pelanggan (para siswa dan masyarakat).
Menurut Dedi Supriadi (1999), guru ideal harus mampu memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu bagi siswa dengan bertindak sebagai pelatih, konselor, dan manajer belajar. Sebagai pelatih (coach), guru perlu berperan seperti pelatih olahraga. Dia akan lebih banyak membantu siswa ketika dalam “permainan”. Hanya bedanya permainan tersebut adalah belajar (game of learning). Sebagai konselor guru akan menjadi sahabat bagi siswa, teladan dalam pribadi yang mengundang rasa hormat dan keakraban dari siswa. Sedangkan sebagai manajer belajar guru akan bertindak ibarat manajer perusahaan yaitu membimbing siswanya dalam belajar, mengambil prakarsa, dan mengeluarkan ide-ide terbaik yang dimilikinya. Akan tetapi di pihak lain, dia merupakan bagian dari siswa, yang
ikut belajar bersama mereka sebagai “pelajar”. Guru juga belajar dari teman seprofesinya melalui model “team teaching” yang sudah dikenal.
2.2 Kajian Riset Terdahulu
Terkait dengan penelitian evaluasi ini, telah ada beberapa penelitian yang terdahulu, yaitu:
1. Penelitian oleh Badrun Kartowagiran (2011), dengan judul Kinerja Guru Profesional Pasca Sertifikasi, yang menyimpulkan bahwa kinerja sebagaian guru profesional di kabupaten Sleman belum baik, karena dari 17 indikator yang diteliti, sebanyak 7 indikator pada kategori baik, sedangkan 10 indikator lainnya pada kategori belum baik. Selengkapnya hasil penelitian tersebut sebagai berikut:
(1) dapat (a) menyusun RPP dan (b) melaksanakan pembelajaran dengan baik; (2) berdasarkan penilaian kepala sekolah, (a) kompetensi kepribadian dan (b) kompetensi sosial nya sangat baik; (3) upaya sebagian besar guru dalam membimbing siswa mengikuti lomba atau olimpiade baik; (4) usaha sebagian besar guru dalam (a) membuat modul dan (b) membuat media pembelajaran baik; (5) upaya atau aktivitas sebagian besar guru dalam (a) melakukan penulisan artikel, (b) penelitian, (c) membuat karya seni/teknologi, (d) menulis soal UNAS, (e) menelaah (mereview) buku, (f) mengikuti kursus Bahasa Inggris, (g) mengikuti diklat, dan (h) mengikuti forum ilmiah belum baik meskipun ada sebagian (47,5%) guru yang gigih mencari informasi diklat atau forum ilmiah yang mungkin diikuti; dan (6) aktivitas di organisasi: (a) (47,5%) guru menjadi pengurus organisasi sosial, dan (b) 30% menjadi pengurus organisasi pendidikan.
paedagogik dan kompetensi profesional guru-guru Madrasah Ibtidaiyah masih pada taraf sedang.
3. Penelitan yang dilakukan oleh Yasbiati (2010) dengan judul Pengaruh persepsi guru tentang sertifikasi terhadap kualitas pembelajaran di SDN Nagarawangi Tasikmalaya menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara persepsi guru tentang sertifikasi dengan kualitas pembelajaran di SD Negeri Nagarawangi 1 Tasikmalaya. Hasil penelitian ini terkait dengan penelitian yang akan penulis lakukan karena penulis ingin mengetahui keterkaitan antara pemberian tunjangan profesi dengan peningkatkan mutu pembelajaran khususnya di tingkat SMP.
4. Penelitian yang dilakukan oleh Lyimo (2014), yang berjudul Analysis of Teachers’ Low Payment in Tanzania:
5. Penelitian yang dilakukan Meke (2013), yang berjudul
Teacher Motivation and Implementation of Continuing Professional Development Programmes in Malawi
2.3 Kerangka Pikir Penelitian
Gambar 1. Alur Penelitian Evaluasi Program Tunjangan Profesi guru di SMP Negeri 1 Pageruyung
Tujuan Program yang telah ditetapkan
Kemdikbud RI
1. Menentukan/menetapkan Tujuan atau sasaran-sasaran
2. Mengklasifikasi tujuan atau sasaran-sasaran
3. Menegaskan sasaran dalam bentuk perilaku
4. Menemukan situasi-situasi dalam pencapaian tujuan yang dapat dilihat
Pemberian Tunjangan Profesi Guru di SMP
N 1 Pageruyung
5. Memilih teknik pengukuran
6. Mengumpulkan data hasil kerja
7. Membandingkan data hasil kerja dengan tujuan yang telah ditetapkan
Rekomendasi
Berdasarkan pada tujuan program tunjangan profesi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2013, maka diketahui terdapat aspek evaluasi, yaitu:
a. Evaluasi Input yang meliputi aspek: (1) Mengangkat martabat guru. (2) Meningkatkan kompetensi guru. (3) Memajukan profesi guru.
b. Evaluasi Output yang meliputi aspek: (1) Meningkatkan mutu pembelajaran.
(2) Meningkatkan pelayanan pendidikan yang bermutu
Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi tingkat ketercapaian tujuan program tunjangan profesi di SMP Negeri 1 Pageruyung Kabupaten Kendal, dengan menggunakan langkah-langkah evaluasi model Ralph Winfred Tyler, yaitu:
a. Menentukan tujuan secara jelas;
b. Mengklasifikasikan tujuan-tujuan tersebut;
c. Mendefinisikan tujuan-tujuan dalam istilah perilaku terukur;
d. Temukan situasi dimana prestasi atau tujuan dapat diperlihatkan;
e. Mengembangkan atau memilih teknik - teknik pengukuran;
f. Mengumpulkan data, dan
g. Membandingkan data dengan tujuan-tujuan yang dinyatakan dalam perilaku terukur.