• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

45

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4. 1 Penentuan Dua Waktu Sosoh Terbaik

Tahapan penyosohan pada penelitian ini akan memberikan suatu informasi baru terhadap aspek penyosohan dari ketiga jenis komoditi serealia yaitu sorgum, jewawut dan ketan hitam. Penelitian menggunakan sorgum dengan varietas Kawali karena varietas ini banyak digunakan dibeberapa daerah penghasil sorgum. Selain itu, varietas ini mudah dibiakkan dan memiliki potensi hasil yang tinggi (Suprapto & Mudjisihono, 1987). Ketan hitam yang digunakan adalah varietas Setail karena varietas ini dinilai cukup tahan terhadap hama wereng coklat, hawar daun bakteri, sesuai untuk lahan sawah irigasi dan telah banyak dibudidayakan di Indonesia khususnya di daerah Jawa Tengah (Anonymousc, 2008). Sedangkan untuk jewawut, digunakan varietas Pearl dengan pertimbangan varietas ini dinilai cukup produktif dan cukup banyak ditanam di Indonesia. Selain itu varietas ini tidak perlu diairi dan dipupuk secara intensif (Anonymousd, 2008).

Pada proses penyosohan, ketiga komoditi serealia disosoh berdasarkan pengamatan secara visual dan waktu, cara tersebut merupakan metode konvensional yang paling mudah, murah dan hingga saat ini paling banyak digunakan di beberapa negara penghasil serealia (Sudaryono et al, 2001). Dalam penelitian ini masing-masing serealia disosoh dengan 3 waktu penyosohan. Untuk sorgum waktu penyosohan yang digunakan adalah 0, 20, 60 dan 100 detik. Untuk jewawut 0, 100, 200 dan 300 detik dan untuk ketan hitam waktu penyosohan adalah 0, 5, 15 dan 25 detik. Waktu sosoh yang berbeda antar serealia disebabkan karakteristik fisik dari setiap serealia berbeda. Penggunaan mesin penyosoh yang sama juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan waktu sosoh antar serealia harus berbeda. Apabila waktu penyosohan disamakan untuk setiap serealia, perbedaan bentuk, ukuran serta berat serealia akan menyebabkan proses penyosohan tidak dapat berjalan optimal. Serealia yang berukuran lebih kecil akan melewati saringan mesin penyosoh dan tidak tersosoh secara sempurna.

Pembedaan waktu penyosohan untuk masing-masing serealia dimaksudkan untuk mengetahui tingkat efisiensi penyosohan terhadap aktivitas antioksidan

(2)

46 setelah disosoh. Mujisihono et al (1991) menyatakan bahwa pada lapisan testa dalam perikarp pada sorgum, banyak terdapat senyawa fenolik. Ditambahkan oleh Rooney et al (1980), yang mengemukakan bahwa ada dua jenis pigmen pada biji sorgum dan jewawut yaitu senyawa karotenoid dan senyawa polifenol yang terdapat pada lapisan testa. Pembedaan waktu penyosohan juga dimaksudkan untuk melihat tingkat penerimaan panelis pada berbagai tingkat penyosohan dan pengaruh penyosohan terhadap aktivitas imunomodulator ketiga komoditi serealia. Berdasarkan hal tersebut, maka dinilai perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan metode penyosohan dan alat penyosohan yang lebih spesifik untuk masing-masing serealia. Untuk mengetahui kondisi awal serealia setelah disosoh, dilakukan analisa meliputi penghitungan rendemen, analisa proksimat (kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat), fenol total serta aktivitas antioksidan (DPPH).

4. 1. 1 Komposisi Proksimat Serealia pada Berbagai Waktu Sosoh

Dilakukannya analisis proksimat bertujuan untuk mengetahui kondisi awal serealia secara kimia baik sebelum disosoh maupun setelah disosoh. Perbandingan hasil analisa proksimat dari ketiga jenis serealia baik yang telah disosoh maupun yang belum disosoh disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Hasil analisa proksimat sorgum, jewawut dan ketan hitam sebelum dan sesudah disosoh

Jenis serealia Waktu sosoh (detik) Komposisi kimia (%)

Kadar air Kadar abu Protein Lemak Karbohidrat

Sorgum 0 11,42 1,77 6,55 0,99 79,27 20 10,34 1,49 6,23 0,98 80,96 60 8,62 1,17 5,91 0,88 83,42 100 7,31 0,97 5,39 0,82 85,51 Jewawut 0 8,59 3,02 7,64 2,03 78,71 100 7,61 1,77 7,29 1,63 81,52 200 5,93 1,07 7,11 1,46 84,35 300 5,12 0,95 7,01 1,39 85,49 Ketan hitam 0 13,14 1,77 5,65 1,28 78,09 5 12,53 1,51 5,22 1,23 79,51 15 10,70 1,03 5,05 1,09 82,14 25 8,14 0,92 4,44 0,98 85,52

(3)

47 Data pada Tabel 10 menunjukkan bahwa sorgum, dan ketan hitam non sosoh memiliki kadar air yang lebih tinggi dibandingkan jewawut non sosoh, hal ini mungkin disebabkan jewawut yang dibeli di pasar burung Bogor disimpan di tempat terbuka dan terkena sinar matahari secara langsung. Sedangkan sorgum dan ketan hitam dibeli di daerah Jawa Tengah secara langsung dari petani setelah proses pemanenan. Adanya intensitas panas dari sinar matahari tersebut diduga berpengaruh menguapkan air pada biji jewawut non sosoh. Menurut Viraktamath et al (1991), pengeringan dengan menggunakan sinar matahari selama 6 jam dapat menurunkan kadar air dari biji sorgum sebanyak 2-6 % dengan kadar air awal biji sorgum 18 %.

Setelah dilakukan penyosohan terjadi penurunan kadar air pada masing-masing serealia (Tabel 10). Penurunan kadar air disebabkan gesekan antara biji serealia dengan batu gerinda pada mesin penyosoh. Gesekan tersebut akan menimbulkan panas dan menguapkan sebagian kecil air pada biji serealia. Proses penyosohan juga menyebabkan sebagian air yang terdapat pada lapisan kulit ari yang terkikis ikut terbuang sehingga mempengaruhi jumlah air pada biji serealia. Faktor lain yang mempengaruhi persentase kadar air serealia setelah disosoh adalah kadar air awal dari biji serealia. Desroiser (1988) menyatakan bahwa kadar air suatu produk dipengaruhi oleh bentuk dan sifat bahan serta kadar air awal. Walaupun demikian kadar air dari serealia baik sebelum disosoh maupun setelah disosoh tidak melewati batas toleransi SNI 01-3157-1992 untuk biji sorgum yaitu 14%. Ditambahkan oleh Nurmala (1997), yang menyatakan bahwa kadar air serealia tidak boleh melebihi batas toleransi maksimal 14% karena serealia akan cepat rusak dalam proses penyimpanan. Untuk level industri kadar air maksimal dari serealia ditetapkan 14 %.

Hasil analisa kadar abu pada Tabel 10 menunjukkan adanya penurunan kadar abu dari serealia setelah disosoh. Proses penyosohan akan menurunkan kadar abu dari serealia karena proses penyosohan mengikis bagian kulit ari dari serealia yang memiliki komponen gizi termasuk mineral seperti Ca, P, Fe dan Zn. Dykes dan Rooney (2006) menyatakan bahwa pada bagian kulit ari dari sorgum dan jewawut terdapat berbagai komponen gizi seperti lemak, protein, vitamin dan mineral.

(4)

48 Hasil analisa kadar abu (Tabel 10) menunjukkan bahwa jewawut non sosoh memiliki kadar abu tertinggi, diikuti oleh sorgum dan ketan hitam non sosoh. Rao dan Deosthale (1983) menyatakan bahwa jewawut memiliki kandungan mineral yang lebih baik dibanding beberapa serealia lain seperti beras, jagung dan sorgum. Menurut Sudaryono et al (2001) kadar abu dari biji sorgum non sosoh adalah 2,3%, ditambahkan oleh Nurmala (1997) yang menyatakan bahwa kadar abu dari biji jewawut non sosoh adalah 3,86%, sedangkan Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (2000) menyatakan bahwa kadar abu dari ketan hitam non sosoh adalah 2%. Dari data-data tersebut diketahui bahwa jewawut memang memiliki kadar abu lebih tinggi dibanding sorgum dan ketan hitam, tetapi data hasil analisa (Tabel 10) menunjukkan kadar abu pada ketiga jenis serealia sedikit lebih rendah dari literatur. Perbedaan ini diduga disebabkan oleh perbedaan varietas dari serealia yang digunakan. Sudaryono et al (2001) menyatakan bahwa perbedaan varietas pada serealia dapat menyebabkan perbedaan sifat-sifat fisik maupun komposisi kimianya. Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian dari Suarni dan Patong (2002) yang mendapatkan kadar abu dari 10 jenis varietas sorgum yang dianalisa menunjukkan nilai yang berbeda antar setiap varietas. Teow (2005) menambahkan bahwa perbedaan komposisi kimia pada berbagai varietas tanaman dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti: lokasi tanam, iklim, tipe tanah, musim panen, lama tanam dan kondisi genetik.

Kadar protein dan lemak serealia juga menunjukkan penurunan setelah disosoh (Tabel 10). Proses penyosohan dinilai akan menurunkan nilai gizi serealia karena mengikis lapisan kulit ari yang mengandung komponen gizi termasuk lemak dan protein. Menurut Li et al (2007), protein dari beras pecah kulit sebagian besar terdapat pada lapisan aleuron dan sebagian kecil tersebar pada lapisan embrio dan endosperm. Ditambahkan oleh Earp et al (2004) yang menyatakan bahwa sebagian besar dari komponen nutrisi dari sorgum berupa vitamin dan mineral berada pada lapisan aleuron dan embrionya. Perlakuan penyosohan dalam intensitas tinggi akan menyebabkan sisa lapisan aleuron dan embrio menjadi sedikit sekali atau bahkan hilang sehingga secara langsung akan menurunkan nilai nutrisi dari serealia.

(5)

49 Tabel 10 menunjukkan jewawut non sosoh memiliki kadar protein dan lemak lebih tinggi dibanding sorgum dan ketan hitam non sosoh. Menurut Sudaryono et al (2001) kadar protein dan lemak dari biji sorgum non sosoh adalah 9,5% dan 3%, ditambahkan oleh Nurmala (1997) yang menyatakan bahwa kadar protein dan lemak dari biji jewawut non sosoh adalah 11,38% dan 2,53%, sedangkan Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (2000) menyatakan bahwa kadar protein dan lemak dari ketan hitam non sosoh adalah 7% dan 0,70%.

Adanya perbedaan data-data tersebut dengan data hasil analisa (Tabel 10) diduga disebabkan adanya perbedaan varietas dari serealia. Penyebab lainnya adalah faktor pra panen seperti teknik penanaman, tingkat kesuburan tanah, faktor lingkungan seperti radiasi matahari dan suhu. Frekuensi dan intensitas pemupukan nitrogen, pengontrolan gulma serta pengelolaan air juga termasuk faktor yang perlu diperhatikan (Arief, 2007). Adanya perubahan kimiawi pada masa penyimpanan juga dinilai memiliki pengaruh terhadap kadar protein dan lemak dari serealia. Menurut Djafaar dan Rahayu (2007), proses penyimpanan yang kurang baik dapat menurunkan nilai gizi suatu bahan pangan termasuk memicu timbulnya radikal bebas yang bisa terbentuk dari lemak.

Kadar karbohidrat tertinggi didapat pada sorgum non sosoh yaitu sebesar 79,27%. Setelah sorgum serealia yang memiliki kadar karbohidrat tertinggi adalah jewawut non sosoh yaitu sebesar 78,71%, diikuti oleh ketan hitam non sosoh yaitu sebesar 78,09%. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan yang disampaikan oleh Nurmala (1997) yang menyatakan bahwa jumlah karbohidrat pada biji serealia berkisar antara 72% - 80%.

4. 1. 2 Rendemen Penyosohan Serealia pada Berbagai Waktu Sosoh

Pengukuran rendemen hasil penyosohan pada serealia bertujuan untuk mengetahui seberapa besar kehilangan pada biji serealia akibat pengaruh proses penyosohan. Rerata rendemen serealia akibat pengaruh perlakuan waktu penyosohan dapat dilihat pada Gambar 14.

(6)

50

Gambar 14. Rerata rendemen akibat pengaruh perlakuan waktu penyosohan Keterangan :

Setiap data merupakan rerata dua kali ulangan

SNS = Sorgum non sosoh JNS = Jewawut non sosoh KNS = Ketan hitam non sosoh SS1 = Sorgum sosoh 20 detik JS1 = Jewawut sosoh 100 detik KS1 = Ketan hitam sosoh 5 detik SS2 = Sorgum sosoh 60 detik JS2 = Jewawut sosoh 200 detik KS2 = Ketan hitam sosoh 15 detik SS3 = Sorgum sosoh 100 detik JS3 = Jewawut sosoh 300 detik KS3 = Ketan hitam sosoh 25 detik

Data pada Gambar 14 menunjukkan rerata rendemen sorgum, jewawut dan ketan hitam dengan tiga waktu penyosohan berkisar antara 50,2% hingga 97,9%. Menurut Mudjisihono et al (1991), penyosohan biji sorgum dengan kadar air 13% menggunakan mesin penyosoh Satake Grain Mill akan menghasilkan rendemen giling sebesar 50-70% atau kehilangan bahan 30-50%. Semakin tinggi intensitas penyosohan yang dilakukan, semakin rendah jumlah rendemen dari serealia (Gambar 14). Hal tersebut dinilai wajar karena proses penyosohan akan menghilangkan atau mengurangi lapisan kulit ari yang otomatis akan menurunkan berat akhir dari biji serealia. Mudjisihono et al (1991) menyatakan bahwa penyosohan biji sorgum mempunyai dua aspek, yaitu menghilangkan kulit biji dan memoles daging biji sehingga lapisan bekatulnya terlepas.

4. 1. 3 Pengaruh Penyosohan Terhadap Kadar Fenol Total

Fenol adalah senyawa yang mempunyai sebuah cincin aromatik dengan satu atau lebih gugus hidroksil. Senyawa fenol dapat berperan sebagai antioksidan primer karena mampu menghentikan reaksi rantai radikal bebas pada oksidasi lipid. Aktivitas fenol sebagai antioksidan berhubungan dengan kemampuannya untuk menyumbangkan atom hidrogen (Singh et al, 2002). Pengukuran kadar

100 85.6 62.6 52.2 100 72 59.4 50.8 100 97.9 94.5 91.1 0 20 40 60 80 100 120 SNS SS1 SS2 SS3 JNS JS1 JS2 JS3 KNS KS1 KS2 KS3 R e n d e m e n so so h (%) Perlakuan

(7)

51 fenol total dimaksudkan untuk menentukan 2 waktu penyosohan dari masing-masing serealia untuk proses pemasakan dan uji organoleptik. Asam tanat digunakan sebagai standar dimana hasil pengujian dibaca sebagai mg TAE/g biji. Nilai tersebut menunjukkan kesetaraan jumlah fenol total 1 gram serealia dengan 1 mg asam tanat yang dinyatakan sebagai TAE yaitu tannic acid equivalent. Kadar fenol total dari ekstrak serealia akibat pengaruh perlakuan waktu penyosohan disajikan pada Gambar 15.

Gambar 15. Rerata kadar fenol total sorgum, jewawut dan ketan hitam akibat pengaruh perlakuan waktu penyosohan

Keterangan :

Setiap data merupakan rerata dua kali ulangan

Angka pada gafik yang mempunyai huruf beda pada masing-masing serealia menyatakan beda nyata (BNT α = 5%)

SNS = Sorgum non sosoh JNS = Jewawut non sosoh KNS = Ketan hitam non sosoh SS1 = Sorgum sosoh 20 detik JS1 = Jewawut sosoh 100 detik KS1 = Ketan hitam sosoh 5 detik SS2 = Sorgum sosoh 60 detik JS2 = Jewawut sosoh 200 detik KS2 = Ketan hitam sosoh 15 detik SS3 = Sorgum sosoh 100 detik JS3 = Jewawut sosoh 300 detik KS3 = Ketan hitam sosoh 25 detik

a. Sorgum

Hasil analisis fenol total menunjukkan bahwa sorgum non sosoh memiliki kandungan fenol total sebesar 6.31 mg TAE/g biji, sedangkan setelah diberi perlakuan penyosohan kisaran fenol total menjadi 2.13 hingga 3.38 mg TAE/g biji (Gambar 15). Kandungan fenol total sorgum non sosoh tersebut lebih tinggi bila dibandingkan fenol total rye, barley, dan gandum hasil penelitian Ragaee et al (2006), yaitu berurutan 1.026, 0.879, dan 0.562 mg TAE/g biji. Senyawa fenolik

6.31 a 3.38 b 2.26 c 2.13 c 5.12 a 3.51 b 1.78 c 1.56 c 20.46 a 16.12 b 15.41 bc 14.63 c 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 SNS SS1 SS2 SS3 JNS JS1 JS2 JS3 KNS KS1 KS2 KS3 Fe no l T o ta l ( m g TA E/g bij i) Perlakuan

(8)

52 yang dominan terdeteksi pada sorgum adalah senyawa golongan tanin yang biasa terdapat pada tanaman jenis serealia. Awika (2003) menyatakan bahwa sorgum mengandung berbagai komponen bioaktif yang salah satunya adalah senyawa fenolik yang biasanya berperan dalam pertahanan alami tanaman melawan hama dan penyakit. Ditambahkan oleh Awika dan Rooney (2004) yang mengemukakan bahwa jenis komponen fenolik yang terdapat pada biji sorgum terdiri dari asam fenolik, flavonoid dan tanin. Menurut Mudjisihono (1990), diantara bahan pangan jenis serealia, sorgum memiliki kandungan tanin tertinggi, dari 24 varietas sorgum kandungan tanin berkisar dari 0,05-3,67 katekin ekivalen.

Analisis anova pada Lampiran 9 menunjukan adanya pengaruh waktu penyosohan terhadap kandungan fenol total sorgum. Uji lanjut BNT menunjukkan semua perlakuan waktu sosoh memiiki fenol total yang berbeda nyata pada α=0,05 dengan sorgum tanpa sosoh. Kandungan fenol total terendah adalah pada perlakuan waktu penyosohan 100 detik, dimana nilainya tidak berbeda nyata dengan waktu penyosohan 60 detik, sedangkan fenol total tertinggi pada sorgum sosoh adalah pada waktu penyosohan 20 detik (Gambar 15). Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa semakin lama waktu penyosohan akan menyebabkan penurunan kandungan fenol total pada sorgum. Sorgum diduga memiliki komponen fenolik yang mayoritas merupakan senyawa tanin yang sebagian besar berada pada lapisan testa dari biji sorgum (Earp et al, 2004). Berdasarkan hasil tersebut diduga bahwa komponen fenolik seperti tanin yang dominan terdeteksi pada ekstrak sorgum berada pada bagian kulit luar dari serealia yaitu pada lapisan testa yang terkikis pada proses penyosohan. Menurut Rooney et al (1980) kandungan senyawa fenolik golongan tanin yang terdapat pada lapisan testa dan perikarp biji sorgum kadarnya cukup tinggi yaitu berkisar antara 3,6-5,4%. Adanya senyawa tanin pada biji sorgum juga dilaporkan oleh Awika et al (2003) yang menyatakan bahwa senyawa polifenol yang terdapat pada bagian testa dari biji sorgum terdiri dari antosianidin, leukoantosianidin dan tanin. Dua waktu sosoh terpilih berdasarkan kandungan fenol total pada sorgum adalah 20 dan 100 detik. Hal tersebut berdasarkan pada kandungan fenol total tertinggi sorgum setelah penyosohan adalah 20 detik, sedangkan kandungan fenol total sorgum terendah adalah pada waktu sosoh 100 detik yang tidak berbeda nyata dengan 60 detik.

(9)

53

b.Jewawut

Hasil analisis fenol total menunjukkan bahwa jewawut non sosoh memiliki kandungan fenol total sebesar 5.12 mg TAE/g biji, sedangkan setelah diberi perlakuan penyosohan kisaran fenol total menjadi 3.51 hingga 1.56 mg TAE/g biji (Gambar 15). Kandungan fenol total jewawut non sosoh tersebut lebih tinggi bila dibandingkan kadar fenol total rye, barley, dan gandum hasil penelitian Ragaee et al (2006), yaitu berurutan 1.026, 0.879, dan 0.562 mg TAE/g biji. Senyawa fenolik yang dominan terdeteksi pada jewawut adalah senyawa golongan tanin yang biasa terdapat pada tanaman jenis serealia. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Rooney et al (1980) bahwa beberapa bahan makanan yang mengandung condensed tanin antara lain adalah biji sorgum, jewawut, lobak, fava bean dan beberapa biji-bijian lain yang mengandung minyak. Pernyataan tersebut dipertegas oleh Rooney dan Serna (2000) yang melaporkan bahwa pada jewawut terdapat senyawa tanin yang merupakan golongan senyawa fenolik.

Analisis anova pada Lampiran 9 menunjukan adanya pengaruh perlakuan waktu penyosohan terhadap kandungan fenol total jewawut. Uji lanjut BNT menunjukkan semua perlakuan waktu sosoh memiiki fenol total yang berbeda nyata pada α=0,05 dengan sorgum non sosoh. Kandungan fenol total terendah adalah pada perlakuan waktu penyosohan 300 detik, dimana nilainya tidak berbeda nyata dengan waktu penyosohan 200 detik, sedangkan fenol total tertinggi pada jewawut sosoh adalah pada waktu penyosohan 100 detik (Gambar 15). Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa semakin lama waktu penyosohan akan menyebabkan penurunan kandungan fenol total pada jewawut. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa komponen fenolik seperti tanin yang dominan terdeteksi pada ekstrak jewawut juga berada pada bagian kulit luar dari jewawut yaitu pada lapisan testanya yang terkikis pada proses penyosohan. Hal tersebut dipertegas oleh Dykes dan Rooney (2006) yang melaporkan adanya senyawa flavonoid dan tanin pada jewawut, dimana senyawa tanin dan flavonoid tersebut berada pada bagian testa dari biji jewawut utuh. Senyawa flavonoid pada jewawut yang telah teridentifikasi diantaranya adalah orientin dan vitexin (Hilu et al, 1978), luteolin dan tricin (Watanabe, 1999) serta apigenin (Sartelet et al, 1996).

(10)

54 Dua waktu sosoh terpilih berdasarkan kandungan fenol total pada jewawut adalah 100 dan 300 detik. Hal tersebut berdasarkan pada kandungan fenol total tertinggi jewawut setelah penyosohan adalah 100 detik, sedangkan kandungan fenol total jewawut terendah adalah pada waktu sosoh 300 detik yang tidak berbeda nyata dengan 200 detik.

c. Ketan Hitam

Hasil analisis fenol total menunjukkan bahwa ketan hitam non sosoh memiliki kandungan fenol total sebesar 20.46 mg TAE/g biji, sedangkan setelah diberi perlakuan penyosohan kisaran fenol total menjadi 14.63 hingga 16.12 mg TAE/g biji (Gambar 15). Kandungan fenol total ketan hitam non sosoh tersebut lebih tinggi bila dibandingkan fenol total rye, barley, dan gandum hasil penelitian Ragaee et al (2006), yaitu berurutan 1.026, 0.879, dan 0.562 mg TAE/g biji. Berbeda dari sorgum dan jewawut, untuk ketan hitam komponen fenolik yang dominan terdeteksi adalah senyawa antosianin. Adanya senyawa antosianin pada ketan hitam dibuktikan oleh penelitian dari Aligitha (2007) yang melakukan isolasi antosianin dari ketan hitam dengan cara ekstraksi secara maserasi menggunakan pelarut metanol yang mengandung 1% asam hidroklorida pekat dan mendapatkan bahwa isolat yang diperoleh dari hasil ekstraksi pada ketan hitam merupakan antosianin terasilasi jenis sianidin 3 – glikosida.

Analisis anova pada Lampiran 9 menunjukan adanya pengaruh waktu penyosohan terhadap kandungan fenol total ketan hitam. Uji lanjut BNT menunjukkan semua perlakuan waktu sosoh memiiki fenol total yang berbeda nyata pada α=0,05 dengan ketan hitam tanpa sosoh. Kandungan fenol total terendah adalah pada perlakuan waktu penyosohan 25 detik, dimana nilainya tidak berbeda nyata dengan waktu penyosohan 15 detik, sedangkan fenol total tertinggi pada ketan hitam sosoh adalah pada waktu penyosohan 5 detik (Gambar 15). Fenomena yang didapat tidak jauh berbeda dengan sorgum dan jewawut yaitu proses penyosohan pada ketan hitam akan menyebabkan penurunan nilai fenol total dari ekstrak aseton ketan hitam secara nyata, dimana semakin tinggi intensitas waktu penyosohan yang dilakukan pada ketan hitam, semakin rendah nilai fenol total dari ekstak ketan hitam. Data tersebut menunjukkan bahwa

(11)

55 komponen fenolik golongan antosianin yang dominan terdeteksi pada ekstrak ketan hitam berada pada bagian kulit luar dari ketan hitam yaitu pada lapisan aleuronnya yang terkikis pada proses penyosohan. Adanya antosianin pada lapisan aleuron ketan hitam dibuktikan oleh penelitian dari Hanum (2000) yang melakukan isolasi senyawa antosianin dari bekatul ketan hitam menggunakan metode HPLC dengan pelarut metanol dan mendapatkan dua komponen antosianin pada ketan hitam yang teridentifikasi sebagai apigenidin dan apigenin. Adanya senyawa antosianin pada ketan hitam juga dilaporkan oleh Ryu et al (1998) yang mengidentifikasi senyawa antosianin dari beberapa varietas ketan hitam menggunakan metode High Performance Liquid Chromatography (HPLC) dan mendapatkan jenis antosianin pada ketan hitam adalah sianidin 3-glukosida dan peonidin 3-glikosida.

Dua waktu sosoh terpilih berdasarkan kandungan fenol total pada ketan hitam adalah 5 dan 25 detik. Hal tersebut berdasarkan pada kandungan fenol total tertinggi ketan hitam setelah penyosohan adalah 5 detik, sedangkan kandungan fenol total ketan hitam terendah adalah pada waktu sosoh 25 detik yang tidak berbeda nyata dengan 15 detik.

4. 1.4 Pengaruh Penyosohan Terhadap Aktivitas Antioksidan

Antioksidan didefinisikan sebagai inhibitor yang bekerja menghambat oksidasi dengan cara bereaksi dengan radikal bebas reaktif membentuk radikal bebas tak reaktif yang relatif stabil (Pokorny et al, 2008). Pengukuran aktivitas antioksidan pada penelitian ini juga dimaksudkan untuk menentukan 2 buah waktu penyosohan dari masing-masing serealia untuk proses pemasakan dan pengujian secara organoleptik. Asam askorbat digunakan sebagai standar dimana hasil pengujian dibaca sebagai mg vitamin C eqivalen/g biji, dimana nilai tersebut menunjukkan kesetaraan aktivitas antioksidan 1 gram biji serealia dengan 1 mg vitamin C.

Vitamin C digunakan sebagai pembanding terhadap aktivitas antioksidan dari ekstrak serealia, dimaksudkan untuk mengetahui perbandingan kemampuan antioksidan ekstrak bila dinyatakan dalam daya peredaman radikal bebas oleh vitamin C. Semakin tinggi konsentrasi dari vitamin C, semakin rendah nilai absorbansinya (Lampiran 2). Menurut Pokorny (2008), vitamin C mudah

(12)

56 dioksidasi menjadi asam dehidroaskorbat. Dengan demikian maka vitamin C dinilai berperan dalam menghambat reaksi oksidasi yang berlebihan dalam tubuh dengan cara bertindak sebagai antioksidan. Nilai aktivitas antioksidan dari ekstrak serealia akibat pengaruh perlakuan waktu penyosohan disajikan pada Gambar 16.

Gambar 16. Rerata aktivitas antioksidan sorgum, jewawut dan ketan hitam akibat pengaruh perlakuan waktu penyosohan

Keterangan :

Setiap data merupakan rerata dua kali ulangan

Angka pada gafik yang mempunyai huruf beda pada masing-masing serealia menyatakan beda nyata (BNT α = 5%)

SNS = Sorgum non sosoh JNS = Jewawut non sosoh KNS = Ketan hitam non sosoh SS1 = Sorgum sosoh 20 detik JS1 = Jewawut sosoh 100 detik KS1 = Ketan hitam sosoh 5 detik SS2 = Sorgum sosoh 60 detik JS2 = Jewawut sosoh 200 detik KS2 = Ketan hitam sosoh 15 detik SS3 = Sorgum sosoh 100 detik JS3 = Jewawut sosoh 300 detik KS3 = Ketan hitam sosoh 25 detik

a. Sorgum

Hasil analisis aktivitas antioksidan menunjukkan bahwa sorgum non sosoh memiliki aktivitas antioksidan sebesar 16.45 mg vitamin C eq/g biji, sedangkan setelah diberi perlakuan penyosohan kisaran aktivitas antioksidan menjadi 3.80 hingga 6.88 mg vitamin C eq/g biji (Gambar 16). Nilai aktivitas antioksidan sorgum non sosoh tersebut lebih tinggi bila dibandingkan aktivitas antioksidan gandum, oat, dan beras yaitu berurutan 13.57, 13.21, dan 9.87 mg vitamin C eq/g biji (Fardet et al, 2008), tetapi lebih rendah bila dibandingkan dengan jagung yaitu 31.89 mg vitamin C eq/g biji (Fardet et al, 2008).

16.45 a 6.88 b 4.25 c 3.80 c 12.27 a 5.34 b 4.73 bc 3.90 c 35.96 a 27.86 b 16.46 c 12.33 d 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00 40.00 SNS SS1 SS2 SS3 JNS JS1 JS2 JS3 KNS KS1 KS2 KS3 A kti vi ta s A nti o ks ida n (m g vi ta m in C e qiv al e n/ g bij i) Perlakuan

(13)

57 Analisis anova pada Lampiran 10 menunjukan adanya pengaruh waktu penyosohan terhadap nilai aktivitas antioksidan sorgum. Uji lanjut BNT menunjukkan semua perlakuan waktu sosoh memiiki nilai aktivitas antioksidan yang berbeda nyata pada α=0,05 dengan sorgum tanpa sosoh. Aktivitas antioksidan terendah adalah pada perlakuan waktu penyosohan 100 detik, dimana nilanya tidak berbeda nyata dengan waktu penyosohan 60 detik, sedangkan aktivitas antiosidan tertinggi pada sorgum sosoh adalah pada waktu penyosohan 20 detik (Gambar 16). Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa semakin lama waktu penyosohan akan menyebabkan penurunan aktivitas antioksidan pada sorgum. Aktivitas antioksidan dari sorgum diduga berasal dari adanya komponen fenoliknya yang mayoritas merupakan senyawa tanin dan antosianin. Menurut Awika et al (2005) sorgum memiliki aktivitas antioksidan dengan adanya senyawa tanin yang dimilikinya, dimana tanin pada sorgum yang berwarna coklat dan hitam diketahui memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi, yaitu sepuluh kali lebih kuat dibanding sorgum yang berwarna putih atau merah.

Penurunan aktivitas antioksidan sorgum setelah disosoh tersebut diduga karena ikut terbuangnya komponen fenolik pada bagian kulit, Kesesuaian ditunjukkan dari hasil analisis fenol total (Gambar 15) yaitu terjadinya penurunan fenol total pada sorgum dengan semakin tingginya waktu sosoh. Menurut Suarni (2004)b, Proses penyosohan pada biji sorgum menyebabkan terlepasnya lapisan pericarp, tegmen, sebagian besar lapisan aleuron dan embrio sehingga secara tidak langsung mengikis pula berbagai komponen gizi dan komponen bioaktif sorgum yang menurut Dykes dan Rooney (2007) terdapat pada lapisan kulit luar dari biji sorgum yaitu pada lapisan pericarp dan testa. Pernyataan tersebut dipertegas oleh Earp et al (2004) yang menyatakan bahwa senyawa fenolik golongan tanin pada sorgum yang memiliki aktivitas antioksidan berada pada lapisan testanya. Sehingga semakin tinggi intensitas penyosohan pada biji sorgum akan semakin banyak terjadinya kehilangan komponen bioaktif yang memiliki berbagai fungsi biologis termasuk komponen fenoliknya yang dapat berperan sebagai antioksidan.

Dua waktu sosoh terpilih berdasarkan aktivitas antioksidan pada sorgum adalah 20 dan 100 detik. Hal tersebut berdasarkan pada aktivitas antioksidan tertinggi sorgum setelah penyosohan adalah 20 detik, sedangkan nilai aktivitas antioksidan sorgum terendah adalah pada waktu sosoh 100 detik yang tidak berbeda nyata dengan 60 detik.

(14)

58

b.Jewawut

Hasil analisis aktivitas antioksidan menunjukkan bahwa jewawut non sosoh memiliki aktivitas antioksidan sebesar 12.27 mg vitamin C eq/g biji, sedangkan setelah diberi perlakuan penyosohan kisaran aktivitas antioksidan menjadi 3.90 hingga 5.34 mg vitamin C eq/g biji (Gambar 16). Nilai aktivitas antioksidan jewawut non sosoh tersebut lebih tinggi bila dibandingkan aktivitas antioksidan beras yaitu 9.87 mg vitamin C eq/g biji (Fardet et al, 2008), tetapi lebih rendah dibandingkan jagung, gandum, dan oat yang nilainya berurutan adalah 31.89, 13.57, dan 13.21 mg vitamin C eq/g biji (Fardet et al, 2008).

Analisis anova pada Lampiran 10 menunjukan adanya pengaruh waktu penyosohan terhadap nilai aktivitas antioksidan jewawut. Uji lanjut BNT menunjukkan semua perlakuan waktu sosoh memiiki nilai aktivitas antioksidan yang berbeda nyata pada α=0,05 dengan jewawut non sosoh. Aktivitas antioksidan terendah adalah pada perlakuan waktu penyosohan 300 detik, dimana nilanya tidak berbeda nyata dengan waktu penyosohan 200 detik, sedangkan waktu penyosohan 200 tidak berbeda nyata dengan 100 detik (Gambar 16). Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa semakin lama waktu penyosohan akan menyebabkan penurunan aktivitas antioksidan pada jewawut.

Aktivitas antioksidan dari jewawut berasal dari komponen fenoliknya yang mayoritas merupakan senyawa tanin. Menurut Dykes dan Rooney (2006), jewawut memiliki aktivitas antioksidan dengan adanya senyawa tanin yang dimilikinya, dimana jewawut yang berwarna gelap memiliki kandungan tanin lebih banyak dan memiliki aktivitas antioksidan lebih tinggi dibanding jewawut yang berwarna putih. Dengan demikian penurunan aktivitas antioksidan akibat penyosohan tersebut diduga disebabkan karena ikut terbuangnya komponen fenolik bersama dengan kulit atau dedak. Pernyataan tersebut didukung oleh hasil penelitian Dykes dan Rooney (2006) yang melaporkan bahwa komponen fenolik pada jewawut selain berada pada endosperm juga berada pada bagian kulit, yaitu pada bagian perikarp dan testa.

Dua waktu sosoh terpilih berdasarkan aktivitas antioksidan pada jewawut adalah 100 dan 300 detik. Hal tersebut berdasarkan pada aktivitas antioksidan tertinggi jewawut setelah penyosohan adalah 100 detik, sedangkan nilai aktivitas antioksidan jewawut terendah adalah pada waktu sosoh 300 detik yang tidak berbeda nyata dengan 200 detik.

(15)

59

c. Ketan Hitam

Hasil analisis aktivitas antioksidan menunjukkan bahwa ketan hitam tanpa sosoh memiliki aktivitas antioksidan sebesar 35.96 mg vitamin C eq/g biji, sedangkan setelah diberi perlakuan penyosohan kisaran aktivitas antioksidan menjadi 12.33 hingga 27.86 mg vitamin C eq/g biji (Gambar 16). Nilai aktivitas antioksidan ketan hitam tanpa sosoh tersebut lebih tinggi bila dibandingkan aktivitas antioksidan jagung, gandum, oat, dan beras berurutan adalah 31.89, 13.57, 13.21, dan 9.87 mg vitamin C eq/g biji (Fardet et al, 2008).

Analisis anova pada Lampiran 10 menunjukan adanya pengaruh waktu penyosohan terhadap nilai aktivitas antioksidan ketan hitam. Uji lanjut BNT menunjukkan semua perlakuan waktu sosoh memiiki nilai aktivitas antioksidan yang berbeda nyata pada α=0,05 dengan ketan hitam tanpa sosoh, begitu pula dengan masing-masing waktu penyosohan memiliki nilai aktivitas antioksidan yang saling berbeda nyata. Sehingga dapat dikatakan bahwa nilai aktivitas antioksidan ketan hitam mengalami penurunan yang nyata dengan semakin tingginya intensitas waktu penyosohan (Gambar 16). Adanya aktivitas antioksidan pada ketan hitam berasal dari senyawa antosianin yang dimilikinya. Aktivitas antioksidan dari senyawa antosianin pada ketan hitam dibuktikan oleh Hu et al (2003) yang mengisolasi senyawa antosianin ketan hitam menggunakan metode filtrasi gel dan mendapatkan turunan antosianin ketan hitam yaitu senyawa sianidin 3-glukosida dan peonidin 3-glukosida. Berdasarkan hasil tersebut diduga bahwa penurunan aktivitas antioksidan pada ketan hitam dikarenakan penyosohan menghilangkan antosianin pada lapisan luar ketan hitam yang ikut terbuang akibat penyosohan. Senyawa antosianin yang memiliki aktivitas antioksidan pada lapisan aleuron, dibuktikan oleh penelitian dari Chung dan Woo (2001) yang mengisolasi dan mengidentifikasi aktivitas antioksidan senyawa quinolone alkaloid yang merupakan turunan dari antosianin pada lapisan aleuron dari ketan hitam.

Dua waktu sosoh terpilih berdasarkan aktivitas antioksidan pada ketan hitam adalah 5 dan 10 detik. Hasil tersebut didapat berdasarkan dua aktivitas antioksidan tertinggi pada ketan hitam setelah dilakukannya proses penyosohan.

(16)

60

4.1.5 Korelasi antara Senyawa Fenolik dengan Aktivitas Antioksidan

Hasil analisis menunjukkan adanya korelasi (r = 0.89) antara fenol total dan aktivitas antioksidan pada serealia (Gambar 17). Hasil tersebut sesuai dengan Xin et al (2004) yang melaporkan bahwa senyawa fenolik berkonstribusi secara langsung terhadap aktivitas antioksidan. Korelasi positif antara aktivitas antioksidan dan fenol total tanaman berasal dari efektivitas donor hidrogen dalam senyawa fenolik. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Awika et al (2003), yang melaporkan adanya korelasi (r = 0.98) antara nilai fenol total dan aktivitas antioksidan pada sorgum. Grafik korelasi antara fenol total dengan aktivitas antioksidan pada serealia disajikan pada Gambar 17.

Gambar 17. Grafik korelasi antara fenol total dengan aktivitas antioksidan pada serealia

Gambar 17 menunjukkan semakin tinggi fenol total serealia, semakin tinggi aktivitas antioksidannya, sehingga hubungan antara fenol total dengan aktivitas antioksidan adalah berkorelasi positif. Fenol total memberikan pengaruh sebesar 79,9% terhadap perubahan aktivitas antioksidan, yang ditunjukkan dengan koefisien determinasi R2 = 0,799. Aktivitas antioksidan dari masing-masing serealia diduga berhubungan dengan ketersediaan senyawa fenolik.

y = 1.346x + 2.119 R² = 0.799 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00 40.00 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 A kti vi ta s A nti o ks ida n (m g vi ta m in C e qiv al en/g bij i)

(17)

61 Menurut Widyawati (2002), hingga saat ini belum diketahui metabolisme senyawa fenol secara pasti, tapi beberapa ilmuan sepakat bahwa jenis fenol flavonoid dapat membantu reaksi redoks terhadap fungsi vitamin C pada dinding pembuluh darah dan sebagai antioksidan yang aktivitasnya tergantung pada bentuk, dosis, sistem enzim atau deoksidasinya. Hal tersebut juga didukung oleh Tahir et al (2003) yang menyatakan bahwa jumlah senyawa fenol berpengaruh secara langsung terhadap aktivitas antioksidan.

Dengan teridentifikasinya komponen-komponen kimia yang terdapat pada serealia yang merupakan komponen senyawa dari golongan fenolik dan flavonoid memberi suatu ulasan bahwa pada serealia terdapat senyawa-senyawa fenolik yang dapat memberikan kontribusi sebagai antioksidan potensial. Scalbert et al (2005)a menyatakan bahwa senyawa antioksidan alami tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol dan asam-asam organik polifungsional. Ditambahkan oleh Scalbert et al (2005)b, golongan flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan meliputi flavon, flavonol, isoflavon, katekin dan flavonol. Sementara turunan asam fenolik meliputi asam kafeat, asam ferulat dan asam klorogenat. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa senyawa-senyawa antioksidan alami yang telah diketahui sebagian besar merupakan senyawa-senyawa dari golongan fenolik dan flavonoid.

Data hasil analisa fenol total dan aktivitas antioksidan mengindikasikan bahwa sebagian besar komponen fenolik yang memiliki aktivitas antioksidan pada serealia sebagian besar berada pada lapisan aleuron atau lapisan kulit ari yang dikenal juga sebagai lapisan dedak, sehingga dinilai perlu dilakukan penelitian lebih spesifik terhadap lapisan aleuron atau dedak serealia untuk melihat peranannya lebih mendalam berkaitan dengan aktivitas antioksidannya dan pengaruhnya terhadap kesehatan manusia. Hasil Analisis fenol total dan aktivitas antioksidan dipilih dua waktu sosoh terbaik untuk tahap selanjutnya. Waktu sosoh terpilih untuk sorgum adalah 20 dan 100 detik, jewawut waktu sosoh 100 dan 300 detik, serta ketan hitam waktu sosoh 5 dan 15 detik.

(18)

62

4. 2 Penentuan Satu Waktu Sosoh Terbaik dengan Uji Organoleptik

Sebelum dilakukan uji organoleptik, masing-masing serealia dimasak terlebih dahulu hingga menjadi bubur. Proses pemasakan pada penelitian ini dilakukan secara konvensional, bertujuan untuk melakukan pengolahan minimal pada serealia hingga menjadi bubur yang siap untuk dikonsumsi. Proses pembuatan bubur serealia pada penelitian ini tidak jauh berbeda dengan proses pembuatan bubur nasi dari beras, hanya pada pelaksanaannya dilakukan pembedaan terhadap waktu pemasakan dan perbandingan air. Untuk sorgum waktu pemasakan adalah 40 dan 45 menit dengan perbandingan air 1:10 dan 1:11 g/ml. Untuk jewawut, waktu pemasakan adalah 20 dan 25 menit dengan perbandingan air 1:7 dan 1:8 g/ml. Sedangkan untuk ketan hitam waktu pemasakan adalah 25 dan 30 menit dengan perbandingan air 1:7 dan 1:8 g/ml. Waktu pemasakan dan perbandingan air masing-masing serealia berbeda-beda karena bentuk, ukuran, struktur sel, umur serta berbagai sifat fisik dan kimianya berbeda-beda. Menurut Subeki (1998) pada bahan pangan perbedaan jenis, bentuk, ukuran, struktur sel, umur serta sifat fisik dan kimia lainnya akan mempengaruhi cara dan waktu pemasakan dari suatu bahan pangan.

Proses pemasakan dilakukan dengan menggunakan panci stainles steel dan kompor gas dengan besaran api yang sama. Hal tersebut dimaksudkan agar difusi panas terjadi secara merata sehingga kontak langsung bahan dengan medium air panas menjadi lebih baik. Menurut Winarno (2004), proses pemasakan yang baik terjadi dengan adanya panas yang merata pada bahan sehingga proses degadasi dinding sel dan kehilangan sifat turgor sel yang menyebabkan air dapat berdifusi kedalam sel akan berlangsung lebih cepat.

Uji organoleptik pada penelitian ini merupakan jenis uji deskripsi, bertujuan untuk mengetahui tingkat kesukaan terhadap suatu produk tertentu. Pada uji organoleptik bubur serealia dibandingkan dengan bubur oatmeal untuk melihat perbedaan karakteristik sensori dari bubur serealia dengan produk bubur oatmeal yang telah dikenal masyarakat. Skor nilai rerata untuk berbagai atribut sensori dari sorgum, jewawut dan ketan hitam disajikan pada Tabel 11.

(19)

63

Tabel 11. Skor nilai rerata berbagai atribut sensori pada sorgum, jewawut dan ketan hitam

Sorgum Jewawut Ketan Hitam

Perlakuan Atribut Sensori Perlakuan Atribut Sensori Perlakuan Atribut Sensori

Rasa Warna Aroma Tekstur Rasa Warna Aroma Tekstur Rasa Warna Aroma Tekstur S1 4.83a 5.50c 5.24c 4.54b J1 6.64a 9.61a 6.32b 6.64ab K1 4.81a 5.53b 5.47b 6.39a S2 4.97a 5.65bc 5.30c 4.69b J2 6.12a 9.12a 6.07b 6.48abc K2 4.42a 5.77b 5.41b 5.97a S3 5.25a 7.33a 5.91bc 4.83ab J3 6.10a 8.86a 6.45b 5.78bc K3 4.02a 5.92b 4.95b 5.71a S4 4.97a 5.97abc 5.80bc 4.73b J4 5.87a 8.63a 6.33b 5.30c K4 4.24a 6.00b 4.95b 6.20a S5 5.07a 5.93abc 5.50c 5.59ab J5 5.73a 9.57a 6.51b 7.10ab K5 4.41a 4.85b 4.36b 5.40a S6 5.07a 7.13ab 5.74c 5.41ab J6 6.46a 9.19a 6.30b 7.30a K6 4.33a 4.74b 4.56b 5.31a S7 5.22a 6.86abc 6.20bc 5.22ab J7 6.22a 9.60a 6.60ab 7. 24a K7 4.40a 5.19b 4.47b 5.31a S8 5.22a 6.99abc 6.21bc 5.60ab J8 6.34a 9.45a 6.81ab 7.04ab K8 4.28a 4.88b 4.74b 5.56a

Oatmeal 5.96a 7.44a 7.13a 6.28a Oatmeal 6.78a 7.28b 7.87a 6.49abc Oatmeal 4.92a 7.63a 7.74a 5.74a

Keterangan :

Perlakuan untuk sorgum

- S1 = waktu sosoh 20 detik, waktu pemasakan 40 menit, perbandingan air 1:10 - S2 = waktu sosoh 20 detik, waktu pemasakan 40 menit, perbandingan air 1:11 - S3 = waktu sosoh 20 detik, waktu pemasakan 45 menit, perbandingan air 1:10 - S4 = waktu sosoh 20 detik, waktu pemasakan 45 menit, perbandingan air 1:11 - S5 = waktu sosoh 100 detik, waktu pemasakan 40 menit, perbandingan air 1:10 - S6 = waktu sosoh 100 detik, waktu pemasakan 40 menit, perbandingan air 1:11 - S7 = waktu sosoh 100 detik, waktu pemasakan 45 menit, perbandingan air 1:10 - S8 = waktu sosoh 100 detik, waktu pemasakan 45 menit, perbandingan air 1:11

Perlakuan untuk ketan hitam

- K1 = waktu sosoh 5 detik, waktu pemasakan 25 menit, perbandingan air 1:7 - K2 = waktu sosoh 5 detik, waktu pemasakan 25 menit, perbandingan air 1:8 - K3 = waktu sosoh 5 detik, waktu pemasakan 30 menit, perbandingan air 1:7 - K4 = waktu sosoh 5 detik, waktu pemasakan 30 menit, perbandingan air 1:8 - K5 = waktu sosoh 15 detik, waktu pemasakan 25 menit, perbandingan air 1:7 - K6 = waktu sosoh 15 detik, waktu pemasakan 25 menit, perbandingan air 1:8 - K7 = waktu sosoh 15 detik, waktu pemasakan 30 menit, perbandingan air 1:7 - K8 = waktu sosoh 15 detik, waktu pemasakan 30 menit, perbandingan air 1:8

Perlakuan untuk Jewawut

- J1 = waktu sosoh 100 detik, waktu pemasakan 20 menit, perbandingan air 1:7 - J2 = waktu sosoh 100 detik, waktu pemasakan 20 menit, perbandingan air 1:8 - J3 = waktu sosoh 100 detik, waktu pemasakan 25 menit, perbandingan air 1:7 - J4 = waktu sosoh 100 detik, waktu pemasakan 25 menit, perbandingan air 1:8 - J5 = waktu sosoh 300 detik, waktu pemasakan 20 menit, perbandingan air 1:7 - J6 = waktu sosoh 300 detik, waktu pemasakan 20 menit, perbandingan air 1:8 - J7 = waktu sosoh 300 detik, waktu pemasakan 25 menit, perbandingan air 1:7 - J8 = waktu sosoh 300 detik, waktu pemasakan 25 menit, perbandingan air 1:8

(20)

64

4. 2. 1 Rasa

Rasa merupakan komponen penting yang timbul pada perasaan seseorang setelah mencicipi suatu makanan. Umumnya makanan tidak terdiri dari satu rasa tetapi merupakan gabungan berbagai macam rasa secara terpadu sehingga menimbulkan rasa yang utuh (Kartika, 1989). Rasa dinilai dengan adanya tanggapan rangsangan kimiawi oleh indra pencicip (lidah) dan merupakan faktor yang paling penting dalam keputusan terakhir konsumen untuk menerima atau menolak suatu makanan. Walaupun warna, aroma dan tekstur baik, namun jika rasanya kurang disukai maka konsumen akan menolak makanan tersebut.

Rerata nilai rasa terbaik didapat pada bubur sorgum perlakuan S3 dengan skor 5,25 (Tabel 11). Data tersebut menunjukkan bahwa panelis menyukai rasa bubur sorgum dengan waktu sosoh lebih cepat, waktu pemasakan lebih lama dengan perbandingan air lebih rendah. Hasil analisis ragam (Lampiran 11) menunjukkan bahwa pada semua perlakuan untuk atribut sensori rasa bubur sorgum tidak terdapat perbedaan yang nyata pada α=0,05 dengan kontrol oatmeal. Jadi diketahui bahwa panelis menilai bubur sorgum memiliki rasa yang tidak berbeda dengan oatmeal untuk semua perlakuan.

Untuk bubur jewawut rerata nilai rasa terbaik didapat pada perlakuan J1 dengan skor 6,64 (Tabel 11). Data tersebut menunjukkan bahwa panelis menyukai rasa bubur jewawut dengan waktu sosoh lebih cepat, waktu pemasakan sebentar dengan perbandingan air yang rendah. Hasil analisis ragam pada Lampiran 12 menunjukkan bahwa pada semua perlakuan untuk atribut sensori rasa jewawut tidak terdapat perbedaan yang nyata pada α=0,05 dengan kontrol oatmeal. Jadi diketahui bahwa panelis menilai jewawut memiliki rasa yang tidak berbeda dengan oatmeal untuk semua perlakuan.

Pada bubur ketan hitam perlakuan terbaik didapat pada K1 dengan skor sebesar 4,81 (Tabel 11). Data tersebut menunjukkan bahwa panelis menyukai bubur ketan hitam dengan waktu sosoh lebih cepat, waktu pemasakan sebentar dengan perbandingan air yang rendah. Seperti pada bubur sorgum dan jewawut, bubur ketan hitam tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada α=0,05 dengan kontrol oatmeal pada semua perlakuan (Lampiran 13). Jadi dapat disimpulkan bahwa panelis menilai ketan hitam memiliki rasa yang tidak berbeda dengan bubur oatmeal untuk semua perlakuan.

(21)

65

4. 2. 2 Warna

Warna memegang peranan penting dalam penerimaan suatu makanan, karena warna dapat memberikan petunjuk perubahan kimia dalam makanan (Kartika, 1988). Kesan pertama yang didapat dari bahan pangan adalah parameter warna. Terkadang warna akan menentukan diterima atau tidaknya suatu produk oleh konsumen.

Rerata skor warna terbaik didapat pada bubur sorgum perlakuan S3 dengan skor 7,33 (Tabel 11). Data tersebut menunjukkan bahwa panelis menyukai warna bubur sorgum dengan waktu sosoh lebih cepat, waktu pemasakan lebih lama dengan perbandingan air lebih rendah. Hasil analisis ragam (Lampiran 11) menunjukkan bahwa pada perlakuan S3, S4, S5, S6, S7 dan S8 untuk atribut sensori warna pada bubur sorgum tidak terdapat perbedaan yang nyata pada α=0,05 dengan bubur oatmeal. Jadi diketahui bahwa panelis menilai bubur sorgum memiliki rasa yang tidak berbeda dengan bubur oatmeal untuk perlakuan S3, S4, S5, S6, S7 dan S8. Perbedaan yang nyata (α=0,05) dengan bubur oatmeal didapat pada bubur sorgum perlakuan S1 dan S2 (Lampiran 11). Data tersebut menunjukkan bahwa bubur sorgum pada perlakuan S1 dan S2 memiliki warna yang berbeda dari bubur oatmeal. Dimana warna bubur oatmeal lebih disukai oleh panelis dibanding bubur sorgum perlakuan S1 dan S2.

Untuk bubur jewawut, rerata skor warna terbaik didapat perlakuan J1 dengan rerata skor warna sebesar 9,61 (Tabel 11). Dari data tersebut diketahui bahwa panelis menyukai warna bubur jewawut dengan waktu sosoh lebih cepat, waktu pemasakan lebih singkat dengan perbandingan air lebih rendah. Hasil analisa data untuk bubur jewawut pada Lampiran 12 menunjukkan bahwa semua perlakuan bubur jewawut memiliki perbedaan yang nyata pada α=0,05 dengan bubur oatmeal. Data tersebut menunjukkan bahwa bubur jewawut pada semua perlakuan memiliki warna yang berbeda dan lebih disukai dibanding bubur oatmeal. Hal tersebut diduga karena panelis cenderung lebih menyukai warna kuning cerah yang merata pada jewawut.

Untuk bubur ketan hitam, rerata skor warna terbaik didapat pada perlakuan K4 dengan skor 6,00 (Tabel 11). Data tersebut menunjukkan bahwa panelis lebih menyukai warna bubur ketan hitam dengan waktu sosoh lebih singkat, waktu pemasakan lebih lama dengan perbandingan air lebih banyak. Semua perlakuan

(22)

66 bubur ketan hitam memiliki perbedaan yang nyata pada α=0,05 dengan bubur oatmeal (Lampiran 13), dimana secara keseluruhan bubur ketan hitam memiliki skor warna lebih rendah dibanding bubur oatmeal. Data tersebut menunjukkan bahwa bubur oatmeal pada semua perlakuan memiliki warna yang berbeda dan lebih disukai dibanding bubur ketan hitam. Lebih disukainya warna bubur oatmeal dibanding ketan hitam diduga karena panelis cenderung lebih menyukai warna putih cerah pada oatmeal dibanding warna hitam pada ketan hitam yang terkesan buram.

4. 2. 3 Aroma

Bau atau aroma merupakan suatu senyawa yang dapat menimbulkan kesan tertentu bila dicium (Kartika, 1988). Menurut Winarno (2004), syarat terjadinya bau atau senyawa yang menghasilkan bau harus dapat menguap dan mengadakan kontak dengan penerima berupa reseptor pada sel olfaktori didalam rongga hidung. Aroma atau bau bahan makanan banyak menentukan kelezatan bahan makanan tersebut.

Tabel 11 menunjukkan rerata skor aroma terbaik bubur sorgum didapat pada perlakuan S8 dengan skor 6,21. Data tersebut menunjukkan bahwa panelis cenderung menyukai aroma bubur sorgum dengan waktu sosoh lama, waktu pemasakan lama dan perbandingan air lebih banyak. Hasil analisis ragam (Lampiran 11) menunjukkan bahwa pada semua perlakuan untuk atribut sensori aroma bubur sorgum berbeda nyata pada α=0,05 dengan bubur oatmeal. Data tersebut menunjukkan bahwa panelis menilai bubur sorgum berbeda dengan bubur oatmeal, dimana aroma bubur oatmeal lebih disukai oleh panelis dibanding aroma bubur sorgum.

Untuk bubur jewawut rerata skor aroma terbaik didapat pada perlakuan J8 dengan skor 6,81 (Tabel 11). Data tersebut menunjukkan bahwa panelis cenderung lebih menyukai bubur jewawut dengan waktu sosoh lama, waktu pemasakan lebih lama dan perbandingan air lebih banyak. Hasil analisis ragam pada Lampiran 12 menunjukkan bahwa pada perlakuan J7 untuk atribut sensori aroma bubur sorgum tidak terdapat perbedaan yang nyata pada α=0,05 dengan kontrol oatmeal. Jadi diketahui bahwa pada perlakuan J7 panelis menilai bubur sorgum memiliki rasa yang tidak berbeda dengan bubur oatmeal. Perbedaan yang

(23)

67 nyata (α=0,05) didapat pada perlakuan J1, J2, J3, J4, J5 dan J6 (Lampiran 12). Pada perlakuan-perlakuan tersebut panelis menilai bahwa bubur jewawut memiliki aroma yang berbeda dengan bubur oatmeal, dimana aroma bubur oatmeal lebih disukai oleh panelis dibanding aroma bubur jewawut.

Tabel 11 menunjukkan pada ketan hitam rerata skor aroma terbaik didapat pada perlakuan K1 dengan skor 5,47. Data tersebut menunjukkan bahwa panelis menyukai warna bubur ketan hitam dengan waktu sosoh singkat, waktu pemasakan singkat dengan perbandingan air yang rendah. Semua perlakuan bubur ketan hitam memiliki perbedaan yang nyata pada α=0,05 dengan bubur oatmeal (Lampiran 13). Data tersebut menunjukkan bahwa panelis menilai aroma bubur ketan berbeda dengan bubur oatmeal, dimana aroma bubur oatmeal lebih disukai oleh panelis dibanding aroma bubur ketan hitam.

4. 2. 4 Tekstur

Tekstur merupakan parameter yang penting dari tingkat mutu suatu makanan. Tekstur mempengaruhi citra makanan karena dapat menilai makanan yang lunak dan renyah (Kartika, 1988). Penilaian terhadap tekstur dapat berupa kekerasan, elastisitas dan kerenyahan.

Tabel 11 menunjukkan rerata nilai tekstur terbaik didapat pada sorgum perlakuan S8 dengan skor 5,60. Data tersebut menunjukkan bahwa panelis cenderung menyukai bubur sorgum dengan waktu sosoh lama, waktu pemasakan lama dan perbandingan air lebih banyak. Hasil analisis data pada bubur sorgum (Lampiran 11) menunjukkan bahwa pada perlakuan S3, S5, S6, S7 dan S8 bubur sorgum tidak berbeda nyata pada α=0,05 dengan bubur oatmeal. Tetapi pada perlakuan S1, S2 dan S4 bubur sorgum berbeda nyata (α=0,05) dengan bubur oatmeal. Data tersebut menunjukkan bahwa bubur sorgum perlakuan S1, S2 dan S4, bubur sorgum memiliki tekstur berbeda dengan bubur oatmeal, dimana tekstur bubur oatmeal lebih disukai panelis dibanding tekstur bubur sorgum pada perlakuan S1, S2 dan S4.

Untuk jewawut rerata skor tekstur terbaik didapat pada perlakuan J6 dengan skor 7,30 (Tabel 11). Data tersebut menunjukkan bahwa panelis menyukai tekstur bubur jewawut yang disosoh lebih lama, waktu pemasakan yang singkat dengan perbandingan air lebih banyak. Hasil analisa ragam pada lampiran 12 untuk tekstur bubur jewawut menunjukkan bahwa pada bubur jewawut perlakuan

(24)

68 J1, J2, J5, J6, J7 dan J8 tidak berbeda nyata pada α=0,05 dengan bubur oatmeal. Perbedaan yang nyata (α=0,05) antara tekstur bubur jewawut dengan bubur oatmeal didapat pada perlakuan J3 dan J4 (Lampiran 12). Hal tersebut menunjukkan bahwa tekstur bubur jewawut perlakuan J3 dan J4 berbeda dengan tekstur bubur oatmeal dimana panelis lebih menyukai tekstur bubur oatmeal dibanding bubur jewawut perlakuan J3 dan J4.

Tabel 11 menunjukkan bahwa rerata skor tekstur terbaik untuk bubur ketan hitam didapat pada perlakuan K1 dengan skor 6,39. Data tersebut menunjukkan bahwa panelis menyukai tekstur bubur ketan hitam dengan waktu sosoh singkat, waktu pemasakan singkat dan perbandingan air yang rendah. Hasil analisa ragam pada Lampiran 13 menunjukkan bahwa pada semua perlakuan untuk tekstur bubur ketan hitam tidak berbeda nyata pada α=0,05 dengan bubur oatmeal. Jadi diketahui bahwa panelis menilai bubur ketan hitam memiliki tekstur yang tidak berbeda dengan bubur oatmeal.

Dari hasil uji organoleptik, didapat sorgum dengan perlakuan S3 (waktu sosoh 20 detik, waktu pemasakan 45 menit, perbandingan air 1:10), jewawut perlakuan J1 (waktu sosoh 100 detik, waktu pemasakan 20 menit, perbandingan air 1:7) dan ketan hitam perlakuan K1 (waktu sosoh 5 detik, waktu pemasakan 25 menit, perbandingan air 1:7) untuk dilanjutkan ke uji in vitro proliferasi sel limfosit manusia. Pemilihan perlakuan terbaik untuk uji sel limfosit berdasarkan parameter rasa yang terbaik.

4.3 Uji Proliferasi Sel Limfosit Manusia Secara In Vitro

Salah satu parameter untuk melihat aktivitas imunomodulator suatu komponen adalah kemampuan stimulasi yang dapat diberikannya terhadap aktivitas proliferasi dari sel limfosit. Proses proliferasi pada sel limfosit adalah proses pendewasaan dan perbanyakan sel melalui pembelahan sel atau mitosis. Pada proses pembelahan tersebut, akan dihasilkan sel-sel efektor aktif yang berperan pada respon imun spesifik dan non spesifik untuk eliminasi mikroorganisme patogen dan zat asing lainnya. Proliferasi merupakan fungsi dasar biologis limfosit dan respon stimulasi secara in vitro yang dapat menggambarkan fungsi limfosit (Rosse et al, 1994). Aktivitas sel limfosit T dan B yang berproliferasi ini dapat diukur melalui nilai indeks stimulasi (IS) dengan bantuan mitogen (Zakaria et al, 2000).

(25)

69 Pengujian aktivitas proliferasi dilakukan secara spektrofotometri menggunakan reagen MTT. Penggunaan metode ini didasarkan pada penyerapan warna biru dari kristal formazan yang dihasilkan dari reaksi antara enzim suksinat dehidrogenase dengan garam tetrazolium (MTT). Metode MTT digunakan untuk melihat aktivitas proliferasi dari sel limfosit yang hidup, selain itu metode ini juga dapat digunakan untuk melihat aktivitas proliferasi dari sel kanker (James et al, 1994). Proses perubahan struktur MTT menjadi kristal formazan dapat dilihat pada Gambar 18.

Gambar 18. Proses perubahan struktur MTT menjadi kristal formazan (James et al, 1994).

Pada penelitian ini juga digunakan senyawa mitogen untuk memicu terjadinya proliferasi non spesifik dari sel limfosit, dimana mitogen digunakan sebagai pembanding dalam melihat aktivitas stimulasi sel limfosit terhadap ekstrak serealia. Stimulasi limfosit dengan antigen atau mitogen akan mengakibatkan berbagai reaksi biokimia didalam sel, diantaranya fosforilasi nukleoprotein, pembentukan DNA dan RNA serta peningkatan metabolisme lemak dan lain-lain yang dapat memicu aktivitas proliferasi sel (Freshney, 1994). Mitogen yang digunakan pada penelitian ini adalah lipopolisakarida (LPS) dan pokeweed (PKW). LPS yang digunakan berasal dari dinding sel bakteri gram negatif Salmonella typhii, sedangkan pokeweed yang merupakan golongan lektin berasal dari tumbuhan Phytolacca Americana.

Pemilihan mitogen LPS dan pokeweed pada penelitian ini didasarkan pada kemampuan spesifik dari mitogen yang mampu menginduksi pembelahan sel T dan sel B. Pokeweed dapat berikatan dengan N-acetylchitobiose dan bersifat mitogenik terhadap sel T dan B, sedangkan lipopolisakarida dapat berungsi sebagai mitogen bagi sel B (Kuby, 1992). Konsentrasi mitogen yang ditambahkan pada tiap sumur adalah 50 µg/ml. Penentuan konsentrasi mitogen ini didasarkan

(26)

70 pada penelitian Watzl et al (1999) yang menyimpulkan bahwa kultur sel dengan penambahan mitogen LPS dan pokeweed konsentrasi 50 µg/ml sebanyak 20 µl pada sumur kultur dengan waktu inkubasi 72 jam akan memberikan aktivitas proliferasi terhadap sel limfosit. Nilai indeks stimulasi dari berbagai ekstrak serealia yang dibandingkan dengan kontrol dan mitogen disajikan pada Gambar 19.

Gambar 19. Nilai indeks stimulasi (IS) sel limfosit ekstrak serealia dengan kontrol dan mitogen

Keterangan :

Setiap data merupakan rerata dua kali ulangan

Angka pada gafik yang mempunyai huruf beda pada masing-masing serealia menyatakan beda nyata (BNT α = 5%)

Kontrol = Media RPMI SA = Ekstrak air sorgum SC = Ekstrak aseton sorgum LPS = Lipopolisakarida JA = Ekstrak air jewawut JC = Ekstrak aseton jewawut Con A = Concanavalin A KA = Ekstrak air ketan hitam KC = Ekstrak aseton ketan hitam

Gambar 19 menunjukkan mitogen memiliki nilai indeks stimulasi lebih tinggi dibandingkan kontrol standar berupa media RPMI. Rerata nilai mitogen tertinggi didapat pada LPS sebesar 1,301 diikuti oleh PKW yaitu sebesar 1,100. Data tersebut menunjukkan bahwa mitogen LPS dan Con A yang digunakan masih memiliki kemampuan yang baik dalam menginduksi aktivitas proliferasi dari sel limfosit. Sebagai pembanding, Krismawati (2007) melaporkan bahwa nilai indeks stimulasi dari mitogen LPS adalah 1,54. Nilai indeks stimulasi pada Gambar 19 juga menunjukkan bahwa perlakuan SA, JA, KA, SC, JC dan KC memiliki nilai indeks stimulasi lebih tinggi dibanding kontrol. Hasil tersebut menunjukkan bahwa semua perlakuan dapat menstimulasi aktivitas proliferasi sel

1.000 c 1.301 bc 1.100 c 5.340 a 2.614 b 1.646 bc 1.358 bc 1.318 bc 1.425 bc 0.000 1.000 2.000 3.000 4.000 5.000 6.000 Kontrol LPS PKW SA JA KA SC JC KC In d eks S ti mula si

(27)

71 limfosit lebih baik dibanding kontrol. Aktivitas imunomodulator ekstrak serealia salah satunya diduga berasal dari adanya senyawa fenolik yang dimilikinya. Awika et al (2003) melaporkan bahwa jenis senyawa polifenol yang terdapat pada biji sorgum terdiri dari antosianin, leukosianidin dan tanin terkondensasi. Ditambahkan oleh Hulse et al (1980) yang melaporkan bahwa jewawut memiliki senyawa polifenol golongan flavonoid dan tanin terkondensasi. Untuk ketan hitam, penelitian yang dilakukan oleh Aligitha (2007) membuktikan bahwa senyawa fenolik pada ketan hitam adalah dari golongan antosianin. Senyawa-senyawa fenolik tersebut dapat berperan sebagai antioksidan dan meningkatkan fungsi dari sistem imun. Sesuai dengan yang dilaporkan oleh Craig (2001) bahwa senyawa flavonoids, triterpenes atau alkaloid yang terdapat pada akar, kulit kayu dan juga herba yang kaya flavonoid dan karoten dapat meningkatkan fungsi dari sistem imun.

Fungsi senyawa fenolik sebagai imunomodulator diduga berhubungan dengan peranannya sebagai antioksidan dalam proses perlindungan membran sel limfosit dari oksidasi yang disebabkan oleh radikal bebas. Meydani et al (1995) menyatakan bahwa keseimbangan oksidan dan antioksidan adalah salah satu hal yang menentukan fungsi sel-sel imun. Keseimbangan oksidan dan antioksidan memiliki peran penting dalam menjaga keutuhan dan fungsi membran lipid, protein dan asam nukleat karena persentase tertinggi dari membran plasma adalah asam lemak yang mudah teroksidasi. Fungsi lain dari senyawa fenolik adalah menstimulasi proliferasi sel limfosit melalui peningkatan sekresi berbagai sitokin seperti pembentukan interleukin (IL). Menurut Paraskevas dan Forester (1999), pembentukan senyawa fenolik dengan kompleks protein dapat berperan sebagai antigen yang selanjutnya akan dikenali oleh reseptor sel T maupun sel B. Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian Erniati et al (2007) yang melaporkan bahwa komponen flavonoid bubuk kakao bebas lemak dapat berperan sebagai komponen yang dapat menstimulasi proliferasi sel limfosit T melalui peningkatan produksi sitokin, terutama IL-1, IL-2 dan IL-4. Ditambahkan oleh Mao et al. (2000) yang melaporkan bahwa prosianidin dari kakao dalam bentuk oligomer yang dimurnikan mampu mengakibatkan ekspresi mRNA dan sekresi sitokin seperti IL-1, IL-2 dan IL-4 dimana produksi IL-4 mengakibatkan peningkatan respon oleh sel T efektor.

(28)

72 Penentuan konsentrasi ekstrak serealia pada sumur kultur didasarkan pada asumsi perhitungan konsentrasi ekstrak serealia yang berada didalam darah setelah mengkonsumsi 100 gram serealia. Konsentrasi ekstrak serealia pada sumur kultur dengan volume 100 µl dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Konsentrasi ekstrak serealia pada sumur kultur

Jenis Serealia Konsentrasi ekstrak serealia pada sumur kultur (µg/ml)

Aquadest Aseton

Sorgum 700 521

Jewawut 765 529

Ketan Hitam 1066 924

Tabel 12 menunjukkan adanya perbedaan konsentrasi ekstrak masing-masing serealia pada sumur kultur. Perbedaan konsentrasi ekstrak serealia tersebut disebabkan karena adanya perbedaan jumlah rendemen ekstrak serealia. Nilai konsentrasi ekstrak pada sumur kultur berbanding lurus dengan nilai rendemen ekstrak serealia, artinya semakin tinggi nilai rendemen ekstrak maka konsentrasi ekstrak pada sumur kultur juga semakin tinggi. Konsentrasi ekstrak serealia pada Tabel 12 juga menunjukkan bahwa ekstrak serealia pada konsentrasi tersebut dapat menstimulasi aktivitas proliferasi sel limfosit manusia yang berada pada sumur kultur (Gambar 19). Berdasarkan nilai indeks stimulasi yang didapat pada Gambar 19, ekstrak serealia pada konsentrasi tersebut (Tabel 12) tidak bersifat toksik terhadap sel limfosit manusia. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai indeks stimulasi ekstrak serealia yang lebih tinggi dibandingkan nilai indeks stimulasi kontrol standar, walaupun dinilai masih perlu dilakukan uji ketahanan sel limfosit terhadap pengaruh ekstrak serealia dengan ruang lingkup konsentrasi yang lebih luas agar dapat diketahui efek toksisitas dari ekstrak serealia terhadap sel limfosit secara lebih spesifik.

Hasil analisis data pada Lampiran 14 menunjukkan bahwa perlakuan jenis pelarut memberikan pengaruh yang nyata pada α=0,05 terhadap nilai indeks stimulasi. Hasil tersebut menunjukkan jenis pelarut yang digunakan mempengaruhi nilai indeks stimulasi yang didapat. Gambar 19 menunjukkan bahwa ekstrak air serealia memiliki kemampuan lebih baik dibanding ekstrak aseton dalam menstimulasi proliferasi sel limfosit. Penggunaan pelarut aquadest diharapkan dapat mewakili komponen bioaktif serealia yang bersifat polar seperti

(29)

73 senyawa tanin. Menurut Hart (1990), senyawa fenolik dapat larut dalam air maupun etanol karena senyawa fenolik memiliki gugus hidroksil yang melekat pada cincin aromatik. Pemilihan pelarut aquadest juga dinilai dapat memudahkan dalam proses kultur sel limfosit karena media kultur yaitu media RPMI yang digunakan bersifat polar.

Roitt (1991) menjelaskan bahwa sifat polar yang dimiliki pelarut air dapat membawa komponen protein dan peptida yang dapat terdenaturasi oleh etanol atau senyawa polar lain yang tidak dapat larut dalam etanol dimana senyawa peptida ini secara umum memiliki efek farmakologis terhadap sistem imun. Alasan keamanan juga merupakan salah satu faktor dalam penggunaan ekstrak air pada penelitian ini. Selain itu, untuk proses ekstraksi suatu bahan pangan yang komponen kimianya belum diketahui secara jelas disarankan menggunakan pelarut air untuk alasan keamanan (Depkes, 2000). Sedangkan penggunaan pelarut aseton dimaksudkan untuk mendapatkan ekstrak yang mewakili komponen non polar dari serealia. Menurut Waterman dan Mole (1994), pelarut aseton dinilai mampu mengekstrak komponen-komponen antioksidan dari serealia termasuk senyawa fenolik yang memiliki aktivitas antioksidan.

Tingkat kelarutan berbagai senyawa fenolik pada masing-masing serealia diduga menjadi salah satu penyebab ekstrak air serealia pada perlakuan SA, JA dan KA memiliki nilai indeks stimulasi lebih tinggi dibanding ekstrak aseton. Lee dan Yoon (2005) menyatakan bahwa senyawa fenolik dapat larut dalam air maupun etanol karena senyawa fenolik memiliki gugus hidroksil yang melekat pada cincin aromatik. Diperkirakan sebagian besar komponen fenolik pada ekstrak serealia bersifat lebih larut air sehingga proses ekstraksi dengan pelarut air menghasilkan nilai indeks stimulasi yang lebih tinggi. Hal tersebut didukung oleh Pratt (1995) yang menyatakan bahwa senyawa fenolik sering ditemukan berikatan dengan protein atau gula glikosida sehingga cenderung bersifat mudah larut air karena mempunyai gugus hidroksil (OH) yang cenderung mudah larut air.

Hasil analisis data pada Lampiran 14 menunjukkan bahwa perlakuan jenis serealia, jenis pelarut dan interaksi antara kedua perlakuan memberikan pengaruh yang nyata (α=0,05) terhadap nilai indeks stimulasi. Hasil uji lanjut BNT menunjukkan bahwa perlakuan JA berbeda nyata dengan semua perlakuan termasuk kontrol dan mitogen pokeweed tetapi tidak berbeda nyata dengan LPS, Sedangkan perlakuan SA berbeda nyata (α=0,05) dengan perlakuan lainnya termasuk terhadap kontrol dan mitogen LPS maupun pokeweed. Perlakuan SA

(30)

74 dan JA memiliki nilai indeks stimulasi lebih tinggi dibanding perlakuan KA walaupun nilai aktivitas antioksidannya lebih rendah dari ketan hitam (Gambar 19). Nilai indeks stimulasi yang tinggi pada perlakuan SA dan JA diduga berasal dari aktivitas senyawa bioaktifnya yang lain selain senyawa fenolik yang dimilikinya. Salah satu senyawa yang diduga berperan besar dalam peningkatan indeks stimulasi sorgum adalah glukan. Almatsier (2005) menyatakan bahwa β-glukan dapat menurunkan kadar kolestrol darah dan sering ditemukan pada biji-bijian serealia.

Menurut Vetvicka dan Vetvickova (2007), β-glukan dikenal sebagai biopolisakarida yang merupakan suatu golongan polimer unik yang disintesis dari dinding tumbuhan, yeast, bakteri dan jamur. Struktur β-glukan merupakan rantai panjang molekul polisakarida yang tersusun dari monomer glukosa dengan ikatan β-glikosida atau secara teknis β-glukan adalah molekul polisakarida yang sebagian besar dibuat dari glukosa. Sebagai suplemen nutrisi, β-1,3 glukan termasuk dalam kategori GAS (Generally Regarded as Save) oleh Dept. Food and Drug Organization (FDA) di USA sehingga aman digunakan dan dikonsumsi manusia. Struktur β-1,3 glukan disajikan pada Gambar 20.

Gambar 20. Struktur β-1,3 glukan (Roubroeks et al,2001)

Adanya β-glukan pada sorgum dibuktikan oleh penelitian dari Niba and Hoffman (2003) yang melaporkan bahwa kadar β-glukan pada sorgum adalah sebesar 0,12%. Penelitian lain mengenai β-glukan serealia dilakukan oleh Ramesh dan Tharanathan (2000) yang melaporkan bahwa β-glukan sorgum adalah β-D-glukan yang terdapat pada lapisan aleuron biji sorgum, dimana β-D-glukan tersebut dapat mengaktivasi 30% sel makrofag peritoneal tikus pada konsentrasi 100 µg/ml. Berbagai penelitian telah mengklaim peranan β-glukan sebagai biological defence modifier yang berpotensi mengaktifkan sistem imun tubuh

(31)

75 melalui sel makrofag imun. Agar berfungsi secara imunologi, makrofag harus melewati kondisi aktivasi yang melibatkan berbagai perubahan morfologi dan perubahan metabolik yang memproduksi sitokin sebagai regulator internal dari sistem imun (Vetvicka dan Vetvickova, 2005).

Stone dan Clarke (1992) melaporkan bahwa riset aplikasi oral dari β-1,3-glukan menunjukkan aktivitas antidiabetes β-glukan pada sitokin IL-1 sehingga meningkatkan produksi insulin dan menyebabkan penurunan kadar gula darah. Ditambahkan oleh Novak & Vetvicka (2008) yang menyatakan bahwa studi efek sistem glukan spesifik yang pertama kali dilakukan pada manusia yang terkena infeksi HIV dilakukan pada pertengahan tahun 1980. Walaupun seseorang menderita defisiensi imun yang sangat parah akibat HIV akan tetapi tetap terjadi peningkatan serum sitokin IL-1 dan IL-2 serta interferonnya.

Li et al (2006) mengemukakan beberapa mekanisme biologis β-glukan dari dinding sel Saccharomyces cereviciae adalah sebagai berikut ; (1) Aktivasi makrofag, menunjukkan peningkatan kemampuan fagosit nonspesifik yang membuat makrofag mampu menghancurkan patogen lebih efisien, dan melindungi terhadap penyakit. (2) Melepaskan sitokin penting, seperti IL-1 dan IL-2 lebih daripada yang lain. Mengawali reaksi bertingkat sistem immun dan memicu produksi sel lain yang berhubungan seperti sel limfosit T dan sel limfosit B. (3) Melepaskan faktor penstimulasi koloni yang meningkatkan produksi sumsum tulang. (4) Menurunkan kolesterol melalui aktivasi sel dan perlindungan sel dari radikal bebas. Dengan adanya dugaan komponen lain yang berperan dalam tingginya indeks stimulasi pada sorgum yaitu β-glukan, maka dapat dilakukan penelitian lebih lanjut tentang deteksi terhadap senyawa β-glukan dan komponen bioaktif lain serta sinergisme antar berbagai senyawa tersebut pada sorgum, jewawut dan ketan hitam untuk menemukan berbagai mekanisme lain yang terjadi pada proses proliferasi sel limfosit.

Berdasarkan hasil uji proliferasi terhadap sel limfosit yang dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa diantara ketiga jenis serealia tersebut yang memiliki IS tertinggi adalah perlakuan SA diikuti oleh perlakuan JA. Pemilihan didasarkan pada nilai IS yang berbeda nyata dengan kontrol standar. Untuk melihat pengaruh aktivitas proliferasi sel limfosit secara lebih spesifik terhadap sel darah manusia maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut secara in vivo pada ketiga jenis serealia terutama pada sorgum dan jewawut.

Gambar

Tabel 10.  Hasil  analisa  proksimat  sorgum,  jewawut  dan  ketan  hitam  sebelum dan sesudah disosoh
Gambar 14. Rerata rendemen akibat pengaruh perlakuan waktu penyosohan
Gambar 15.  Rerata  kadar  fenol  total  sorgum,  jewawut  dan  ketan  hitam  akibat pengaruh perlakuan waktu penyosohan
Gambar 16. Rerata  aktivitas  antioksidan  sorgum,  jewawut  dan  ketan  hitam  akibat pengaruh perlakuan waktu penyosohan
+3

Referensi

Dokumen terkait

Pengertian kalibrasi menurut ISO/IEC Guide 17025:2005 dan Vocabulary of International Metrology (VIM) adalah serangkaian kegiatan yang membentuk hubungan antara

Dipping dengan Menggunakan Larutan Kaporit terhadap Tampilan Total Bakteri dan Derajat Keasaman Susu Sapi Perah” dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh berbagai

diterapkan karena di lapangan menunjukkan kenyataan-kenyataan bahwa, manajemen berbasis pusat yang selama ini telah dipraktekkan memiliki banyak kelemahan, antara lain:

Perancangan media ini dipilih untuk membuat para pemuda-pemudi tertarik untuk mempelajari tentang pentingnya ulos di dalam adat istiadat Batak dan menjadi media

Kuadran 2 merupakan gaya terpadu yang menunjukkan orientasi yang tinggi pada tugas atau pekerjaan dan juga pada hubungan atau orang, sehingga responden yang

Penelitian yang telah dilakukan oleh Frankwick dkk (2001) sendiri telah menunjukkan hasil bahwa peningkatan status hubungan antara para tenaga penjualan dengan

Pada penelitian ini diteliti pengaruh pemberian meloxicam pada tikus Wistar yang diberikan cyclophosphamide terhadap jumlah eritrosit, leukosit total, limfosit, neutrofil,

Dalam menentukan usia menopause dan usia menarke pada wanita di Kabupaten Bandung menggunakan metode ingatan dan metode status quo untuk mendapatkan data usia menoapusnya