• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODUL 11 : KEBIJAKAN PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN MASYARAKAT PESISIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MODUL 11 : KEBIJAKAN PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN MASYARAKAT PESISIR"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

KEBIJAKAN PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN

MASYARAKAT PESISIR

11.1. Latar Belakang

Wilayah pesisir merupakan kawasan sumberdaya potensial di Indonesia. Kawasan ini adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Sumberdaya ini sangat besar yang didukung oleh adanya garis pantai Indonesia mencapai sepajang sekitar 81.000 km (Dahuri et al. 2001). Garis pantai yang panjang ini menyimpan potensi kekayaan sumberdaya alam yang besar. Potensi itu merupakan sumberdaya hayati dan non hayati. Potensi hayati misalnya: perikanan, hutan mangrove, dan terumbu karang, sedangkan potensi non-hayati misalnya: mineral dan bahan tambang serta pariwisata. Di daerah ini juga berdiam para nelayan yang sebagian besar masih miskin dan atau prasejahtera.

Pengelolaan berbasis masyarakat atau biasa disebut Community-Based Management (CBM) menurut Nikijuluw (2002), merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya pesisir yang meletakkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaannya. Pengetahuan masyarakat tersebut juga memiliki akar budaya yang kuat dan biasanya tergabung dalam kepercayaannya (religion). Mubyarto, dkk. (1983), memberikan definisi strategi yang berpusat pada manusia sebagai : “Suatu strategi untuk mencapai tujuan pembangunan, dimana pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan di suatu daerah berada di tangan organisasi-organisasi dalam masyarakat di daerah tersebut”. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam sistem pengelolaan ini, masyarakat diberikan kesempatan dan tanggung jawab dalam melakukan pengelolaan terhadap sumberdaya yang dimilikinya, dimana masyarakat sendiri yang mendefinisikan kebutuhan, tujuan dan aspirasinya serta masyarakat itu pula yang membuat keputusan demi kesejahteraannya.

(2)

Dengan demikian pengelolaan wilayah pesisir berbasis masyarakat adalah pendekatan pengelolaan yang melibatkan kerja sama antara masyarakat setempat dalam bentuk pengelolaan secara bersama dimana masyarakat berpartisipasi aktif baik dalam perencanaan sampai pada pelaksanaan dan pengawasannya. Pemikiran ini didukung oleh tujuan jangka panjang pembangunan wilayah pesisir di Indonesia antara lain adalah:

1. Peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui perluasan lapangan kerja dan kesempatan berusaha.

2. Pengembangan program dan kegiatan yang mengarah kepada peningkatan pemanfaatan secara optimal dan lestari sumberdaya di wilayah pesisir dan lautan.

3. Peningkatan kemampuan peran serta masyarakat pesisir dalam pelestarian lingkungan.

4. Peningkatan pendidikan, latihan, riset dan pengembangan di wilayah pesisir dan lautan.

Dari beberapa tujuan tersebut diatas maka pemanfaatan secara optimal dan berkelanjutan adalah salah satu dasar yang menjadi pertimbangan utama di dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Pemanfaatan secara berkelanjutan hanya akan dicapai jika sumberdaya dikelola secara bertanggung jawab (FAO, 1995). Sumberdaya yang dimaksud adalah sumberdaya manusia, alam, buatan dan sosial. Sementara itu, pengembangan dan pengelolaan daerah pesisir di Indonesia bukan hanya tanggung jawab dari pemerintah pusat tetapi kewenangan tersebut telah dilimpahkan kepada pemerintah daerah dengan dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999 yang memberikan kewenangan pada daerah dalam mengelola pesisir dan lautnya sejauh 12 mil untuk propinsi dan 1/3 nya untuk kabupaten (UU No. 22 tahun 1999).

Pengembangan wilayah pesisir dan kelautan, sebagai salah satu sektor strategis dalam pembangunan ekonomi saat ini, merupakan sektor yang masih perlu dioptimalkan mengingat potensi kelautan yang ada belum dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan. Kondisi kemiskinan di kalangan sebagian besar masyarakat pesisir (nelayan)

(3)

tersebut tidak terlepas dari serangkaian kebijakan pembangunan yang selama ini masih : (a) lebih banyak menempatkan masyarakat sebagai obyek ketimbang sebagai subyek pembangunan, (b) lebih memprioritaskan pertumbuhan industri ketimbang sektor pertanian dan kelautan, (c) serta kebijakan pembangunan yang kurang mengacu pada karakteristik masing-masing kondisi lokal di daerah, dan (d) profesi nelayan masih dipandang sebagai pekerjaan yang tidak memerlukan tingkat keterampilan (skill) yang tinggi dan (e) dari sudut pandang ekonomis, sering kali komunitas nelayan/ masyarakat pesisir diposisikan sebagai kelompok marginal yang dipersepsikan sedikit sekali memiliki potensi untuk dikembangkan. Hal ini berakibat pada lambatnya proses intervensi teknologi, penguatan kapasitas masyarakat dan inovasi di kalangan nelayan. Sebagai contoh kasus pembangunan pariwisata di Jimbaran dan Kedonganan Bali yang menggusur perkampungan nelayan tanpa adanya good will untuk mensinergikan kedua komunitas yang ada yakni nelayan dan pariwisata.

Dengan dikeluarkannya UU No. 22 dan 25 tahun 1999 yang berkaitan dengan otonomi daerah, menunjukkan adanya komitmen pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan masyarakat melalui penciptaan lapangan kerja sekaligus meningkatkan perekonomian daerah. Salah satu faktor penting dan esensial dari UU tersebut adalah semakin didorongnya peranan masyarakat di daerah untuk secara bersama-sama merencanakan dan melaksanakan pembangunan secara berkesinambungan. Pengentasan kemiskinan diwujudkan dalam berbagai program pemberdayaan masyarakat, yakni kegiatan yang diarahkan untuk masyarakat agar dapat menolong dirinya sendiri dalam memperbaiki kondisi materiil dan non materiil dari kehidupannya sendiri.

Keperluan atas adanya program pemberdayaan masyarakat nelayan/ pesisir ini mengingat sampai saat ini sebagian besar masyarakat pesisir di Indonesia masih berpenghasilan rendah. Program pemberdayaan ini sekaligus juga ditujukan untuk pengentasan kemiskinan melalui program pembangunan berkelanjutan. Bertolak dari kesemuanya itu, maka diperlukan adanya suatu

(4)

upaya yang komprehensif terhadap program pemberdayaan masyarakat, khususnya nelayan mjskin di Lumajang.

Dari beberapa hasil penelitian, kondisi wilayah pesisir Indonesia tergolong padat penduduknya dengan tingkat kesejahteraan, baik secara ekonomi, sosial dan budaya tergolong masih rendah. Namun jika dilihat dari segi potensi sumberdaya pesisirnya, khusunya di desa Worgalih, Kecamatan Yosowilangun, Kabupaten Lumajang, sebenarnya menyimpan potensi yang cukup tinggi, khususnya pasir besi, sebagai pendukung industri b aja dan semen. Hanya saja “keikutsertaan” pemerintah maupun korporasi dalam bentuk penyediaan fasititas serta sarana dan prasarana dirasakan relatif masih kurang. Disamping itu beberapa hasil penelitian juga memperlihatkan kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai teknologi modern dan ramah lingkungan serta upaya kreatif untuk peningkatan pendapatan khususnya dalam musim paceklik, dimana hasil melaut sangat terbatas.

Pada musim paceklik, berdasarkan fenomena yang berkembang, seba-gian istri nelayan/ masyarakat pesisir dengan terpaksa menjual segala barang rumahtangga yang dianggap berharga atau menggadaikannya ke lembaga-lembaga pegadaian untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pada saat demikian, mereka berharap keberpihakan atau perhatian pemerintah maupun korporasi untuk ikut serta meringankan beban kehidupan yang menekan ini. Sementara itu, para penguasa di daerah sering menyalahkan nelayan/ masyarakat pesisir tersebut karena dianggap boros membelanjakan uang ketika musim ikan dan tidak ekonomis sehingga kualitas kesejahteraan hidup mereka sulit meningkat. Mereka juga mengatakan bahwa tanggung jawab mengatasi kehidupan yang sulit tersebut sepenuhnya menjadi urusan nelayan. Penyikapan demikian tidak akan pernah bisa megurangi persoalan kesulitan hidup nelayan yang masih diterpa kemiskinan tersebut (Kusnadi, 2003).

(5)

13.1.1 Masalah Kemiskinan

Dari uraian diatas, masalah kemiskinan masih merupakan masalah utama dalam pembangunan wilayah pesisir dan nelayan kecil. Masalah tersebut bersifat multi dimensi. Kemiskinan ditandai oleh keterbelakangan dan pengangguran yang selanjutnya meningkat menjadi pemicu ketimpangan pendapatan antar golongan penduduk. Penduduk miskin adalah yang paling rendah kemampuannya. Pada saat ini mereka terpusat di kantong kerniskinan, seperti di desa pesisir dan kepulauan atau daerah pasang surut.

Dari sejumlah studi menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin dan termiskin di pedesaan masih cukup besar. World Bank (2002) melaporkan bahwa, akibat kerentanan ekonomi rumahtangga penduduk miskin terhadap setiap perubahan lingkungan sosial-ekonomi-politik, jumlah penduduk miskin secara dinamis dapat berubah dari 27,0% penduduk dapat menjadi 50,0 %. Sekalipun program pengentasan kemiskinan telah menunjukkan perbaikan kondisi kesejahteraan masyarakat miskin, namun kemiskinan masih menjadi bagian dari komunitas, struktur dan kultur pedesaan pesisir. Dengan adanya kemajuan program pembangunan, diperkirakan masih separuh dari jumlah itu benar-benar berada dalam kategori sangat miskin (the absolute poor). Kondisi mereka sungguh memprihatinkan, antara lain ditandai oleh tingkat pendidikan yang rendah, bahkan sebagian besar buta huruf dan rentan terhadap penyakit. Jumlah penghasilan dari kelompok ini hanya cukup untuk makan. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila perkembangan pengetahuan mereka berjalan sangat lambat. Kelambanan itu terasa ketika dalam kehidupan mereka diintroduksi teknologi baru yang berbeda dari yang sudah ada. Mereka cenderung memberi respon dengan tingkat penerimaan sangat lambat.

Pemerintah maupun korporasi, khususnya PT. ANTAM RESOURCINDO telah berkomitmen mengembangkan dan melaksanakan suatu strategi untuk mengurangi kemiskinan melalui dukungan program Corporate Social Responsibility (CSR) Dengan adanya kesepakatan politik untuk pelaksanaan otonomi daerah, maka kita semakin memerlukan

(6)

peningkatan sikap keprihatinan bersama antara pemerintah Daerah dan Korporasi dalam mengurangi kemiskinan tersebut Pemerintah

Daerah dalam menghadapi tantangan pengurangan kemiskinan saat ini masih berdasarkan kerangka kebijakan yang berorientasi pada pendekatan top-down. Pada waktu yang akan datang diperlukan kebijakan yang dibangun atas dasar kesepakatan bersama antara Pemerintah Daerah dan Korporasi yang berbasis kearifan masyarakat lokal di wilayah otonomi daerah secara luas (Muhammad, dkk, 2009).

Berdasarkan hal diatas, maka kegiatan pemberdayaan masyarakat miskin perlu diarahkan untuk merubah strategi penanggulangan penduduk miskin agar semakin menjadi lebih baik berdasarkan kebutuhan dan

harapan penduduk miskin itu sendiri pada tingkat lokal. Perencanaan dan

implementasi pemberdayaan sudah seharusnya berisi usaha untuk penguatan usaha ekonomi produktif mereka berdasarkan “pandangan dan kebutuhan mereka”, sehingga penduduk miskin mempunyai akses pada sumber-sumber sosial-ekonomi dan politik secara mandiri. Untuk meningkatkan kemampuan penduduk miskin, sekurang-kurangnya harus ada perbaikan aksesabilitas sosial-ekonomi dan budaya terhadap empat hal, yaitu : (1) akses terhadap sumberdaya alam, (2) akses terhadap teknologi yang lebih efisien, (3) akses terhadap pasar dan (4) akses terhadap sumber pembiayaan (Sumodiningrat, 1998).

Akses masyarakat pesisir pada sumber-sumber ekonomi sampai kini, khususnya penduduk miskin di desa pantai masih memprihatinkan (Word Bank, 2002). Dengan demikian, usaha memberdayakan masyarakat desa pantai (pesisir) serta upaya untuk mengatasi kemiskinan dan kesenjangan di pedesaan pantai masih harus menjadi agenda penting dalam kegiatan pembangunan. Dengan perkataan lain, pembangunan masyarakat pesisir miskin di pedesaan pantai masih sangat relevan untuk ditempatkan sebagai prioritas pembangunan, mencakup implementasi program peningkatan pemberdayaan masyarakat (community development) dan tidak hanya

(7)

melalui distribusi berupa bantuan sosial langsung tunai (BLT) uang dan jasa untuk menenuhi kebutuhan dasar sehari-hari mereka.

Dengan demikian, pemberdayaan masyarakat pesisir miskin di desa pantai adalah merupakan rangkaian upaya dengan jangkauan kegiatan yang menyentuh pemenuhan berbagai macam akses dan kebutuhan pokok pangan, pendidikan, perumahan dan kesehatan, termasuk pemenuhan kebutuhan untuk berpartisipasi dalam pengurangan kemiskinan mereka, sehingga segenap anggota masyarakat miskin di pedesaan pantai dapat mandiri, percaya diri, tidak bergantung dan dapat lepas dari belenggu struktur sosial budaya dan ekonomi yang membuat mereka miskin (Wahyono, at al., 2001).

Hendaknya kita sadari, bahwa kemiskinan yang mereka hadapi bersifat multi demensi dan multi level faktor sosial, ekonomi, kebijakan dan budaya. Mereka memiliki potensi pentagon aset, yaitu aset sosial, SDM, finansial, sumberdaya alam dan aset fisik, walaupun aset tersebut masih terbatas (DFID, 2000). Mereka menjadi miskin karena pemilikan aset yang rendah, sehingga tingkat pendapatannya rendah yang diakibatkan oleh rendahnya akses mereka terhagap potensi ekonomi lokal. Tingkat pendapatan rendah karena keterampilannya (aset SDM) yang rendah dan skala usaha mereka kecil. Mengingat keterampilan yang rendah, maka akses terhadap pekerjaan yang ada di sekitarnya juga rendah. Sekalipun mereka memiliki usaha secara mandiri, tapi dengan skala usaha kecil. Dengan peralatan sederhana (aset fisik) yang mereka miliki mereka bekerja bersama anak atau keluarga mereka. Sumber penghasilan rumahtangga mereka bukan saja dari kerja keras suaminya, tapi juga kerja keras isteri dan anak-anak mereka. Begitu selanjutnya, nelayan miskin berada dalam lingkaran syetan kemiskinan.

Skala usaha masyarakat pesisir miskin adalah kecil, karena akses modal rendah. Mereka harus dilepaskan dari belenggu lingkaran kemiskinan ini. Menghadapi kenyataan kehidupan yang demikian maka ada dua fenomena yang dilakukan rumahtangga nelayan miskin, yaitu : (a) menyesuaikan diri dengan

(8)

perkembangan lingkungan, dan (b) melakukan perlawanan dengan kekerasan. Pilihan pertama mungkin dilakukan dengan merespon secara terbatas terhadap perubahan sosial ekonomi yang terjadi disekitarnya. Menurut Betke (1987) dari hasil penelitiannya di desa Lekok, Jawa Timur ditemukan bahwa nelayan kecil / masyarakat pesisir pada dasarnya memberikan respon secara positif untuk mengakses pengenalan teknologi perikanan sekalipun sangat lambat.

Adapun penyesuaian diri masyarakat pesisir miskin terhadap perubahan kondisi sosial ekonomi sekitarnya dalam bentuk “perlawanan” , yaitu dengan melakukan kegiatan melaut menggunakan bahan kimia atau peledak yang akibatnya sangat buruk dan merusak. Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia (potasium) dan peledak jelas merupakan jalan pintas dari reaksi ketidakberdayaan nelayan miskin untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari hidupnya (Wahyono, at al., 2001).

Dengan demikian program pengurangan kemiskinan bersifat multi dimensi, multi tingkat dari berbagai aspek. Hasil penelitian selama tiga tahun 2006 – 2008 disimpulkan pendekatan pemberdayaan memerlukan tujuh aspek aksesabilitas (heptagon access) untuk mengurangi penduduk miskin di pedesaan pantai, yaitu : akses dalam (a) peningkatan mutu SDM melalui pendidik, (b) perbaikan pelayanan fisik lingkungan, (c) penguatan jaringan sosial-budaya, (d) keberpihakan politik kebijakan PEMDA, (e) perluasan pasar, (f) perbaikan kondisi sumberdaya alam yang ada di lingkungannya dan (g) akses pelayanan permodalan. Oleh karenanya program untuk mengurangi jumlah dan pemberdayaan penduduk miskin di pesisir harus didekati secara multi-dimensi dan multi tingkat (Mukherjee, Hardjono and Carriere, World Bank, 2002).

(9)

13.1.2

Implimentasi

Perencanaan

dan

Pelaksanaan

Pemberdayaan

Rendahnya akses masyarakat pesisir miskin terhadap sumber-sumber potensi pembangunan lebih diperparah, karena selama ini para perencana pembangunan sering bias dalam memandang masyarakat nelayan/ pesisir Nelayan / masyarakat pesisir cenderung diperlakukan sama dengan petani. Dalam arti luas, perikanan memang dapat dipandang sebagai bagian dari kegiatan pertanian. Namun jika kita lihat dari sifat sumberdayanya maupun sistem mata pencaharian dan pemilikan lahan, ada perbedaan sangat mendasar antara nelayan dan petani. Dalam hal pemanfaatan lahan, para petani mengenal batas-batas pemilikan lahan secara jelas, sedangkan pada usaha perikanan, para nelayan menghadapi kenyataan dimana laut adalah milik umum (common property), sehingga siapa saja yang menguasai dan memiliki modal dan teknologi yang paling efisien adalah mereka yang mampu meningkatkan hasil tangkapan. Para nelayan melakukan eksploitasi sumberdaya secara bebas-masuk (open access) tanpa ada batas-batas wilayah yang jelas seperti halnya dalam pemanfaatan sumberdaya lahan pertanian. Oleh karena itu, dalam kegiatan perikanan, pemanfaatan sumberdaya lebih ditentukan oleh pemilikan modal dan penguasaan teknologi.

Kesalahan yang juga sering terjadi dalam pemberdayaan masyarakat, para perencana pembardayaan sering kurang memperhitungkan kondisi lokal sasaran program. Program pemberdayaan masyarakat yang tidak memperhatikan keunikan pola hubungan kerja dan sosial budaya yang terjadi pada masyarakat kelompok sasaran akan selalu menemui kegagalan. Oleh karena itu asumsi dasar yang melandasi kebijakan pemberdayaan masyarakat nelayan / pesisir selama ini perlu ditinjau kembali. Satu hal yang perlu dilakukan adalah perlunya identifikasi respon nelayan terhadap perubahan lingkungan dan kelembagaan permodalan di tingkat lokal. Dengan demikian, sasaran penelitian ini adalah merupakan pendalaman hasil penelitian tahun 2006 – 2008 dan penelitian Strategis Nasional tahun 2009 yang menyimpulkan Model Kemitraan

(10)

Sosial sebagai pendekatan pemberdayaan yang direkomendasikan. Dengan demikian Rencana pemberdayaan masyarakat (RPM) ini akan difokuskan untuk memahami dan merumuskan pola dan arah pemberdayaan rumahtangga masyarakat pesisir/ nelayan miskin serta peran kelembagaan lokal dalam mendampingi rumahtangga nelayan melalui pendekatan Kemitraan Sosial dalam penguatan usaha, ketahanan pangan rumahtangga, permodalan dan pemasaran berwawasan gender di tingkat lokal agar pendekatan peningkatan kesejahteraan ekonomi rumahtangga nelayan dapat dilakukan lebih cocok dengan kebutuhan hidup dan budaya masyarakat nelayan tersebut.

Untuk melaksanakan pemberdayaan ekonomi masyarakat sebenarnya memerlukan kepedulian dan komitmen korporasi/ perusahaan terhadap pemberdayaan masyarakat sekitar sehingga akan terwujud keseimbangan yang harmonis saling menguntungkan kedua belah pihak. Oleh karenanya perusahaan PT. ANTAM RESOURCINDO menyatakan kesanggupannya tertuang dalam Dokumen Rencana Pemberdayaan Masyarakat atau melaksanakan program corporate social responsibility (CSR)

Berdasarkan UUD 1945 wadah yang tepat untuk melaksanakan pemberdayaan ekonomi masyarakat adalah dengan membangun sistem ekonomi kerakyatan melalui wadah Koperasi. Dengan berkehidupan ekonomi koperasi berarti pemberdayaan ekonomi masyarakat dapat diwujudkan secara tepat guna dan berdaya guna sehingga meningkatkan kesejahteraan anggota. Untuk dapat mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumberdaya alam yang ada, Indonesia sangat membutuhkan investor yang memiliki teknologi tinggi, modal yang kuat, untuk kepentingannya membuat infra struktur sendiri. Oleh karena itu diperlukan program pemberdayaan dalam rangka penyaluran kepedulian korporasi terhadap lingkungan masyarakat sekitarnya. Melalui program pemberdayaan tersebut diharapkan tumbuh hubungan harmonis antara korporasi dan masyarakat, disamping sebagai wujud kepedulian korporasi terhadap pembangunan ekonomi masyarakat miskin di sekitarnya.

(11)

13.2 Tahap-Tahap Pemberdayaan

13.2.1. Konsep Pemberdayaan

Konsep "empowerment" (pemberdayaan), yang dibidani oleh Friedmann (1992), muncul karena adanya dua premis mayor, yakni kegagalan dan harapan. Kegagalan yang dimaksud, adalah gagalnya model-model pembangunan ekonomi dalam menanggulangi masalah kemiskinan dan lingkungan yang berkelanjutan. Sedangkan harapan, muncul karena adanya alternatif-alternatif pembangunan yang memasukkan nilai-nilai demokrasi, persamaan gender, persamaan antar generasi, dan pertumbuhan ekonomi yang memadai. Kegagalan dan harapan, menurut Friedmann (1992) bukanlah merupakan alat ukur dari hasil kerja ilmu-ilmu sosial, melainkan lebih merupakan cermin dari nilai-nilai normatif dan moral. Kegagalan dan harapan, akan terasa sangat nyata pada tingkat individu dan masyarakat. Dengan demikian, "pemberdayaan masyarakat", pada hakekatnya adalah nilai kolektif dari pemberdayaan individual.

Konsep "empowerment", sebagai suatu konsep alternatif pembangunan, pada intinya memberikan tekanan pada otonomi pengambilan keputusan dari suatu kelompok masyarakat, yang berlandaskan pada sumberdaya pribadi, langsung, partisipatif, demokratis, dan pembelajaran sosial melalui pengalaman langsung (Friedmann, 1992). Sebagai titik fokusnya adalah lokalitas, sebab "civil society" menurut Friedmann (1992) akan merasa siap diberdayakan lewat issue--issue lokal. Namun Friedmann mengingatkan, bahwa adalah sangat tidak realistis apabila kekuatan-kekuatan ekonomi dan struktur di luar "civil society" diabaikan. Oleh karena itu, menurut Friedmann pemberdayaan masyarakat tidak hanya sebatas sosial-ekonomi saja namun juga secara “politis”, sehingga pada akhirnya masyarakat akan memiliki posisi tawar baik secara regional maupun nasional.

Konsep "empowerment", menurut Friedmann (1992) merupakan hasil kerja dari proses interaktif baik ditingkat ideologis maupun praksis. Ditingkat

(12)

ideologis, konsep "empowerment" merupakan hasil interaksi antara konsep "top-down dan bottom-up", antara "growth strategy dan people-centered strategy". Sedangkan di tingkat praksis, interaktif akan terjadi lewat pertarungan antar rumahtangga-masyarakat yang otonom. Beberapa pertanyaan kunci berikut dari Friedman (1982:167-171) akan lebih memperjelas konsep "empowerment"/ atau pemberdayaan yang dikenalkannya, sebagai berikut :

(1) Apa pinsip yang digunakan oleh pemerintah dalam pemberdayaan kelembagaan masyarakat ?.

(2) Apakah pendekatan pemberdayaan masyarakat dilakukan terhadap individu agar mampu bersaing atau pendekatan rumahtangga agar dapat mengakses potensi sosial di lingkungannya ?.

(3) Apakah ada insentif yang dapat diperoleh masyarakat untuk mengorganisasikan lingkungannya untuk melakukan prakarsa perbaikan diri dan rumahtangganya oleh mereka sendiri ?

(4) Apa saja yang mendorong peran masyarakat, pemerintah dan LSM dalam proses pemberdayaan masyarakat untuk berkembang secara mandiri ?

(5) Bagaimana penguatan masyarakat berbasis kondisi masyarakat lokal dapat dilakukan ?

(6) Bagaimana upaya untuk mendukung penghidupan rumahtangga yang tidak berdaya dapat diorganisasikan?

(7) Bagaimana model perencanaan yang cocok dengan kondisi rumahtangga dan masyarakat agar mampu memberdayakan dirinya sendiri ?

(8) Apa kendala dalam struktur dan kebijakan yang harus diatasi untuk menjadikan pengembangan masyarakat berlangsung sebagai jalan yang dapat dipilih secara berkelanjutan ?.

(13)

13.2.2 Tahapan Pemberdayaan

Pemberdayaan masyarakat pesisir/ nelayan kecil (miskin) pada dasarnya identik dengan tahap-tahap pemberdayaan secara umum yang terdiri dari 3 (tiga) tahapan, yaitu pemberdayaan individu/ rumahtangga, pemberdayaan ikatan antar individu/ kelompok, dan pemberdayaan politik. Upaya pemberdayaan dimulai dengan pemberdayaan individu (rumahtangga) keluarga yang dilanjutkan dengan pemberdayaan ikatan antar individu/ kelompok dan politik. Pentahapan pemberdayaan ini dilakukan secara tumpang tindih, artinya dimulainya tahap pemberdayaan tidak perlu menunggu selesainya proses pemberdayaan tahap yang mendahuluinya. Secara rinci tahap-tahap pemberdayaan diuraikan sebagai berikut.

(a) Pemberdayaan Individu (Houshold Model)

Pemberdayaan individu yang dimaksud disini adalah pemberdayaan keluarga (rumahtangga) dan setiap anggota keluarga. Asumsi yang dibangun adalah, apabila setiap anggota keluarga dibangkitkan keberdayaannya maka unit-unit keluarga berdaya ini akan membangun suatu jaringan keberdayaan yang lebih luas lagi. Jaringan yang lebih luas ini kemudian akan membentuk apa yang dinamakan sebagai keberdayaan sosial. Keluarga (rumahtangga), di dalam konsep pemberdayaan ini didudukkan sebagai produser sekaligus konsumer.

Pemberdayaan individu dan keluarga, pada hakekatnya adalah upaya menciptakan suatu lingkungan yang mampu membangkitkan keyakinan diri, memberikan peluang dan motivasi agar setiap individu dalam rumahtangga mampu meningkatkan kemampuan dirinya meraih atau mengakses sumber-sumber daya sosial dan ekonomi bagi pengembangan dan kemajuan kehidupannya. Adapun beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk membangun keberdayaan individu adalah sebagai berikut

1. Pemberdayaan waktu, yang diartikan sebagai usaha mengurangi pemborosan waktu yang dihabiskan oleh individu untuk memenuhi

(14)

kebutuhan dasarnya (pangan, pendidikan, perumahan, air bersih, kesehatan dan transport). Penyediaan fasilitas air bersih dan transportasi yang baik, akan sangat membantu individu-individu untuk memanfaatkan waktunya bagi kegiatan-kegiatan ekonomi produktif. Juga informasi dan pelayanan kesehatan harus tertuju langsung pada jarak yang relatif dekat terhadap setiap individu;

2. Pemberdayaan psikologis, yang berarti pembangunan keyakinan diri bahwa para individu berkemampuan untuk menularkan atau menarik individu-individu lain yang belum beruntung untuk bergabung ke dalam kegiatan usahanya;

3. Pemberdayaan usaha ekonomi, melalui suatu proses yang mengarah pada terbentuknya jaringan usaha antar anggota keluarga, antar tetangga, antar kelompok masyarakat, kemudian mengkait memasuki ekonomi pasar (baik formal maupun informal). Pemberdayaan ini juga mengarah pada terbangunnya keberlanjutan usaha ekonomi antar generasi (inter-generational continuity).

(b) Pemberdayaan Ikatan Antar Individu/Kelompok (Spiral Model) :

Penguatan Permodalan dan Pemasaran

Pada hakekatnya individu dengan individu lainnya diikat oleh suatu ikatan yang disebut keluarga. Demikian pula antar keluarga (rumahtangga) satu dengan keluarga (rumahtangga) yang lain diikat oleh suatu ikatan

kebertetanggaan. Begitu seterusnya sampai pada tingkatan yang lebih tinggi. Pada tingkatan yang pertama, hubungan yang terjadi dapat disebabkan oleh adanya saling percaya satu terhadap lainnya, keyakinan keagamaan,

kesamaan keturunan, kesamaan nasib, dan atau kedekatan bertetangga. Pada tingkatan yang lebih tinggi, hubungan ini dapat terwujud di dalam suatu gerakan masyarakat, organisasi politik, dan sebagainya.

Tantangan utama di dalam pemberdayaan ikatan ini adalah bagaimana memberdayakan sumberdaya : (1) waktu, (2) ketrampilan dan (3) modal yang

(15)

dimiliki oleh keluarga-keluarga nelayan di daerah pesisir ke dalam domain-domain (a) ekonomi, (b) politik, dan (c) sosio-kultural. Penguatan hubungan ikatan ini berlangsung secara bertahap mengikuti suatu lintasan spiral mulai dari penguatan individu, antar kelompok, terus naik ke atas menuju pada domain sosial-politik yang lebih luas lagi, sampai pada domain ekonomi meso dan makro. Dalam kaitan ini, konsep keterkaitan (linkage) menjadi sangat penting, sehingga diperlukan adanya aktor (organizer) yang dapat dan mampu memainkan atau menggerakkan spiral ini dari bawah (tingkat individu) sampai pada tingkat ekonomi meso dan makro secara institusional.

Sangat disadari, bahwa di dalam perjalanannya dalam praktek pemberdayaan, lintasan spiral institusional ini akan banyak menghadapi paradoks dan dialektika antara : (1) syarat-syarat ekonomi rasional melawan nilai-nilai sosio-kultural (moral), (2) ekonomi formal melawan ekonomi informal, (3) akumulasi kapital melawan ekonomi subsistensi, (4) ruang kehidupan biologi-sosial melawan ruang kegiatan ekonomi. Adapun beberapa langkah untuk membangun keberdayaan institusi adalah sebagai berikut :

1. Memperkuat ikatan antar individu, antar keluarga yang bertetangga dekat, dan antar kelompok keluarga, melalui penciptaan ketergantungan yang rasional antara kegiatan usaha ekonomi dan nilai-nilai sosio-kultural yang hidup di dalam masyarakat.

2. Penguatan ikatan melalui penciptaan ketergantungan yang rasional antara kegiatan usaha ekonomi dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat dimaksudkan agar kegiatan usaha ekonomi yang dikembangkan dapat berlanjut antar keturunan atau antar generasi (inter-generational continuity);

3. Pengembangan (pengguliran) aset dan kegiatan usaha ekonomi memanfaatkan dan mempertimbangkan ikatan-ikatan sosio kultural yang telah ada. Pada tahap-tahap awal program, pengguliran institusional (kelembagaan) diberikan kepada individu atau kelompok yang memiliki

(16)

dasar-dasar keterkaitan sosio-kultural dalam komunitas masyarakat pesisir;

4. Pada pengembangan selanjutnya, keterkaitan antara kegiatan usaha ekonomi individu, keluarga dan atau kelompok ini dengan domain sosial-ekonomi pada tingkatan meso dan makro perlu dikembangkan, dalam rangka membawa lintasan spiral tersebut ke atas. Dalam tingkatan ini, selain diperlukan adanya aktor (organizer) pemimpin yang mampu membawa lintasan spiral ini ke atas, juga diperlukan adanya pemberdayaan politik yang menyertainya.

(c) Pemberdayaan Kelembagaan (Institution Model)

Pada hakekatnya pemberdayaan politik di sini dimaksudkan sebagai lawan dari pengabaian politik (political exclusion). Pada praktek ekonomi yang terjadi saat ini telah ditemukan adanya pengabaian politik dan ekonomi (economic and political exclusion) oleh "urban-metropolitan economy" dan "multinational economy" terhadap si-miskin, termasuk nelayan miskin di wilayah pesisir. Pengabaian ekonomi dan politik nampak pada tidak dimasukkannya para pemduduk miskin di pesisir ke dalam proses dan struktur akumulasi kapital dari "multinational" maupun "national/regional corporation". Dengan demikian, konsep pemberdayaan politik yang ditawarkan disini merupakan konsep penataan terhadap fenomena-fenomena yang dilukiskan diatas. Beberapa konsep dasar untuk membangun keberdayaan politik dari para nelayan miskin di pesisir ini adalah sebagai berikut:

1. Bahwa pemberdayaan politik yang dituju di sini adalah terbentuknya kepedulian dan partisipasi serta "kesalingterkaitan" antara kekuatan negara (state power), kekuatan ekonomi (economic power) dan kekuatan sosial (social power);

2. Dalam peta "kesalingterkaitan" antara kekuatan-kekuatan tersebut dapat ditunjukkan letak inti (core) dari masing-masing kekuatan tersebut. Pada

(17)

negara (state), inti kekuatan terletak pada lembaga-lembaga formal kepemerintahan dan perangkat-perangkat hukum yang dimiliki yang menjangkau masyarakat sampai tingkat pedesaan. Pada kekuatan sosial (civil society), inti kekuatan terletak pada institusi keluarga melebar ke institusi sosial (keagamaan, kesenian, dan sebagainya). Pada kekuatan ekonomi, inti kekuatan terletak pada institusi-institusi yang berujud dalam korporasi dan atau kegiatan / jaringan ekonomi sampai pada tingkat lokal .

3. Jadi, pada tingkat praksis, pemberdayaan politik di sini akan mengarah pada terbangunnya "kesalingterkaitan" (linkage) antara keluarga-keluarga miskin di pesisir dengan lembaga-lembaga pemerintah dan kegiatan jaringan ekonomi baik regional maupun nasional.

Secara praksis, langkah-langkah pemberdayaan politik adalah sebagai berikut :

1. Mendorong agar kelompok-kelompok individu berkembang menjadi "civil society" yang memiliki kekuatan tawar-menawar (bargaining position); 2. Mendudukkan lembaga-lembaga pemerintah sebagai tulang punggung

(backbone) bagi terbangunnya keterkaitan antara kekuatan-kekuatan sosial masyarakat pesisir dengan jaringan ekonomi regional dan nasional dan nasional;

3. Melalui kekuatan lembaga-lembaga pemerintah, korporasi jaringan ekonomi regional dan nasional diminta untuk membuka pasarnya bagi produk-produk yang dihasilkan oleh komunitas pesisir, atau memberikan sebagian dari kegiatan produksinya kepada para keluarga miskin di daerah pesisir melalui mekanisme sub-kontrak dan bentuk kemitraan yang sesuai sosial budaya masyarakat pesisir.

Dalam perspektif spasial, pembangunan masyarakat pesisir dalam kaitannya dengan konsep pemberdayaan lebih diartikan sebagai penguatan territory based identities dan kepemimpinan masyarakat lokal. Pemberdayaan masyarakat pesisir, salah satunya adalah penguatan identitas dan kepemimpinan yang berbasis teritori lokal tersebut. Dan identitas ini tidak begitu saja diseragamkan

(18)

atas nama pembangunan. Dengan demikian proses pengembangan masyarakat pesisir, seyogyanya tidak didasari oleh rencana standar yang sama dan/atau seragam untuk seluruh wilayah, namun di dasarkan pada kondisi dan potensi sumber daya alam, SDM / pemimpin dan kegiatan usaha yang ada dan akan berkembang di tingkat lokal maupun regional.

13.3. Pendekatan Penguatan Kelembagaan Ekonomi Masyarakat

Pesisir

Secara umum pemberdayaan nelayan miskin/ masyarakat pesisir dapat dilakukan dengan cara meningkatkan aksesibilitas mereka pada sumber-sumber kekayaan sosial, ekonomi dan budaya. Secara sosial, beban kemiskinan yang mereka hadapi akan dapat diatasi dengan cara menyediakan untuk mereka bantuan sosial. Secara ekonomi, beban meraka akan juga dapat diatasi melalui dukungan modal. Secara budaya, beban mereka akan dapat mereka atasi sendiri dengan cara membangkitkan etos kerja dan kemampuan bekerja melalui peningkatan keterampilan kerja mereka. Pendekatan sosial, ekonomi atau budaya semata untuk memberdayakan nelayan atau petani ikan hanya akan berdampak sekejap atau jangka pendek. Pemberdayaan nelayan atau petani ikan mengandung makna penyelesaian masalah pemberdayaan dan penaggulangan kemiskinan multi dimensi sosial, ekonomi dan budaya. Oleh karena itu pendekatan pemecahan masalah adalah bersifat multi dimensi dan komprehensif.

(a) Penguatan Organisasi Ekonomi

"Desa" adalah unit dasar dari kehidupan pedesaan. Disini "desa" mengandung arti sebagai "desa alamiah" atau dukuh tempat orang hidup dalarn ikatan keluarga dalam suatu kelompok perumahan dengan saling ketergantungan yang besar di bidang sosial dan ekonomi, tidak ada keharusan untuk sama dengan unit administratif setempat. Komunitas desa dalam ekonomi yang sedang berkembang untuk sebagian besar memenuhi kebutuhan sendiri dan berorientasi pada kebutuhan pokok, sungguhpun hubungan pasar dengan sektor perkotaan

(19)

dapat juga berlangsung. Berlainan dengan ekonomi pasar di daerah perkotaan dengan pembagian fungsinya yang menyolok antara perusahaan dan rumahtangga, antara bidang produksi dan konsumsi. Produksi seorang nelayan dan petani ikan tidak dapat dipisahkan dengan konsumsi keluarganya. Komunitas desa mengatur kegiatan ekonomi nelayan dengan mengadakan koordinasi dalarn pemakaian sumberdaya yang langka melalui adat kebiasaan dan kelembagaan. Seorang nelayan merupakan satu unit produksi yang terlalu kecil untuk dapat berbuat banyak demi menanggulangi kepentingan bersama.

Bagi komunitas desa adalah merupakan suatu keharusan untuk menyusun tindakan secara kolektif dan mendorong kerja sama dalarn satu komunitas. Faktor utama lain yang mendorong kerja sama antara para nelayan adalah permintaan akan pekerja yang sifatnya sangat bergantung pada musim dan produksi perikanan. Pada masa-masa puncak musim, jumlah pekerja yang melebihi kapasitas kerja keluarga selalu diperlukan untuk memenuhi jadwal kerja. Disamping itu, merupakan hal yang lazim, bahwa penduduk desa pantai terbagi dalam berbagai sub-klas nelayan. Hanya saja dalam komunitas pedesaan pantai, bahkan bagi mereka yang tidak memiliki alat produksi merasa berhak atas pemakaian alat produksi (kapal) bukan miliknya dengan cara khas penetapan seperti sistem bagi basil.

Seperti lazimnya di dalam perjanjian bagi hasil, di dalam komunitas desa ada kecenderungan yang amat kuat untuk mengaitkan berbagai transaksi ekonomi menjadi hubungan yang sangat pribadi sifatnya. Seorang pemilik perahu tidak hanya menerima bagian perahu atas hasil tangkapannya, dia ada kewajiban menanggung biaya-biaya produksi, bahkan memberikan kredit untuk para pekerja yang selanjutnya disebut pendega memenuhi keperluan konsumsinya. Sering pula, para pemilik kapal, yang selanjutnya disebut juragan, bertindak sebagai pelindung (patron) terhadap si pendega.

Hubungan semacam ini biasanya disebutkan sebagai hubungan antara bapak dan anak buah (patron-client relationship), dalarn hal ini hubungan

(20)

juragan dan anak buah kapal (ABK). Dalam hubungan ini, seseorang dengan status sosial-ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber-sumber yang dimilikinya untuk memberikan perlindungan atau keuntungan bagi individu yang statusnya lebih rendah (client), dan sebaliknya para client tadi membalas dengan memberikan dukungan kepada bapak (patron) tadi. Kelembagaan yang menguasai ekonomi nelayan tersebut yang bercirikan cara-cara produksi seperti digambarkan di atas, lebih merupakan adat kebiasaan dan prinsip-pinsip moral dari pada perjanjian resmi. Prinsip moral yang tertanam adalah "saling menolong dan berbagi pendapatan di kalangan nelayan".

(b) Pendekatan Ekonomi Dari Sudut Moral

Adat kebiasaan dan prinsip moral dijalankan melalui interaksi sosial dalam komunitas desa. Oleh karena tradisi, kekerabatan, pertalian karena tempat tinggal yang sama dan kebutuhan untuk kerja sama demi keamanan dan daya tahan hidup pada tingkat minimal, maka suatu interaksi sosial yang akrab merupakan ciri masyarakat nelayan.

Para ahli ekonomi moral mempunyai pandangan bahwa hubungan sosial pada komunitas nelayan prakapitalis disesuaikan untuk menjamin kebutuhan pokok yang minimum bagi seluruh anggota komunitas. Biasanya para nelayan dan petani ikan gurem memenuhi nafkahnya pada tingkat yang hampir mendekaii kebutuhan pokok minimum untuk hidupnya. Para nelayan gurem (pendega) selalu dihadapkan pada bahaya pendapatan mereka mungkin menurun di bawah tingkat kebutuhan pokok yang terendah yang disebabkan oleh berbagai hal yang terjadi di luar mereka, seperti cuaca atau terjadinya keadaan yang tidak diinginkan dalam keluarganya, misalnya sakit.

Menurut Hayami dan Kikuchi (1987), bahwa pandangan para ahli ekonomi moral tentang kecenderungan masyarakat desa pra-kapitalis mengarah menjadi dua aliran, yaitu

(21)

1. Aliran pertama : menduga orientasi masyarakat desa pra-kapitalis untuk membangun kontrol sosial terhadap warga yang berkecukupan supaya ikut serta menggunakan kekayaannya dalam upaya memenuhi kebutuhan minimum bagi orang miskin. Kontrol sosial dernikian berlangsung melalui interaksi.

2. Aliran kedua : menduga bahwa komunitas pedesaan (petani atau nelayan) prakapitalis tidak berorientasi untuk melindungi yang miskin. Aliran ini berpendapat bahwa kelembagaan tradisional desa dan hubungan bapak-anak buah tidak mempunyai motivasi maupun daya guna untuk menjamin kebutuhan pokok para anggota komunitas miskin. Mereka berpendapat, bahwa di dalam komunitas petani tradisional, motivasi orang-orang dalam komunitas itu lebih banyak terarah untuk mencapai keuntungan pribadi daripada untuk mencapai kepentingan kelompok, seperti melindungi masyarakat miskin. Oleh karena itu, ketika ekonomi pasar berhasil menembus ekonomi pedesaan pra-kapitalis, maka prinsip-prinsip moral yang dibangun oleh masyarakat pedesaan cenderung "mengalah" atau "dikalahkan". Dengan membaurnya ekonomi pasar ini, prinsip moral untuk menjamin keperluan pokok melaui "jaringan sosial" bagi angota komunitas telah digantikan oleh pertimbangan ekonomi yang keras untuk mencari untung sebanyak-banyaknya. Hubungan tolong-menolong antara Bapak-Anak Buah menjadi lemah.

Dengan meletakkan tekanan pada prinsip moral tradisional dan interaksi (aksesibilitas) sosial dalam komunitas desa, maka pendekatan pemberdayaan ini lebih menekankan "pendekatan ekonomi dari sudut moral dalam arti luas". Pengertian moral sosial dalam arti luas, bahwa untuk mengatasi kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat nelayan di pedesaan pantai tidak cukup hanya atas dasar "redistribusi pendapatan" melalui kebijakan anggaran publik, tapi juga penyiapan prasarana dan aksesibilitas sosial -ekonomi nelayan kecil untuk mendukung kegiatan produktif rumahtangga nelayan.

(22)

13.3.1. Pendekatan Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Berbasis Komunitas (PSBK)

Proses pembangunan yang berlangsung di banyak negara berkembang selama ini diwarnai oleh mata rantai pemithosan paradigma pembangunan yang mendasarinya. Pertanyaan who gets, of what, how much mulai menggugat production oriented development yang berorientasi pada paradigma pertumbuhan (Tjokrowinoto, 1996). Kemudian, pada tahun 1970-an pemithosan paradigma kearah pendekatan kesejahteraan yang menjanjikan kesejahteraan rakyat dan keadilan. Menurut Tjokrowinoto (1996) pendekatan tersebut masih mengandung kelemahan mendasar karena dua hal, yaitu : (a) sentralistik, dan (b) birokrasi tidak mampu memberikan pelayanan sesuai kebutuhan rakyat (baca : rakyat miskin).

Pada tahun 1980-an, pendekatan welfare-oriented development atau equity – oriented development digugat. Kemudian lahir paradigma people – centred development yang kemudian melandasi wawasan Community – Based Resource Mangement (CBRM). Tjokrowinoto (1996) menterjemahkan CBRM menjadi Pengelolaan Sumber Daya Lokal (PSDL). Tim Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya (1999) menterjemahkan CBRM dengan istilah Pmanfaatan Sumberdaya Perikanan Berbasis Komunitas (PSBK).

Ciri managemen PSBK tersebut mengacu pada pendapat Konten (Tjokrowinoto, 1996) adalah sebagai berikut :

(1) Pembangunan oleh masyarakat;

(2) Managemen oleh komunitas;

(3) Merupakan proses belajar sosial; dan

(4) Menerapkan managemen strategis .

Alasan penerapan PSDL (PSBK) adalah :

(1) Sumberdaya pembangunan dari Pusat tidak akan mencukupi untuk menjangkau seluruh masyarakat dalam lapisan bawah (miskin);

(23)

(2) Program dari Pusat sukar menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat lokal;

(3) PSDL (PSBK) lebih tanggap terhadap heterogenitas lokal;

(4) PSDL memungkinkian partisipasi masyarakat secara optimal;

(5) PSDL menempatkan tanggung jawab pembangunan pada masyarakat (miskin) setempat.

Tindakan rasional secara ekonomi dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan “milik bersama (common property)” bisa berdampak irrasional. Kata Hardin (1968) dapat menimbulkan tragedy of the common. Pada tingkat komunitas, masyarakat dengan kearifan lokal memungkinkan untuk membangun tindakan rasional secara sosial melalui kelembagaan kerjasama yang berbasis masyarakat. Dalam pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat terjadi suatu proses pemberian wewenang, hak dan tanggung jawab masyarakat untuk mengelola sumberdaya perikanan oleh, dari dan untuk masyarakat sendiri. Dalam hal ini, kerjasama merupakan solusi untuk menghindarkan diri masyarakat dari tragedi yang tidak diinginkan.

Dengan adanya kerjasama, masyarakat dalam konsep PSBK adalah komunitas atau kelompok orang yang memiliki tujuan yang sama. Dari sudut pandang wilayah, masyarakat disini adalah mereka yang tinggal di suatu kawasan tertentu. Kawasan yang dimaksud dapat mencakup beberapa pemukiman, desa, kecamatan, kota, kabupaten, propinsi atau negara. Misalnya, masyarakat Teluk Jakarta adalah masyarakat yang berasal dari beberapa dusun, desa, pulau, kecamatan, kabupaten/kota atau propinsi bergantung pada cakupan wilayah yang kita maksudkan. Selat Bali didiami oleh warga nelayan mencakup penduduk Propinsi Jawa Timur dan Bali. Kawasan Selat Madura mencakup kawasan nelayan dari penduduk Kabupaten/Kota yang membatasi Selat Madura, seperti Sumenep, Pamekasan, Probolinggo, Situbondo dan Banyuwanngi dengan adat istiadat dan kebiasaan yang berbeda.

(24)

Dari sudut pandang status sosial dan pekerjaan, masyarakat yang tinggal di kawasan tertentu, orang yang berkepentingan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan dapat terdiri dari para nelayan, pedagang ikan, pembudidaya ikan/ rumput laut, pengolah ikan, pemilik kapal, tokoh adat ataupun pimpinan formal. Dengan adanya klasifikasi masyarakat yang berbeda, maka PSBK dapat dibedakan atas dasar :

(1) Administrasi pemerintahan/ kawasan : PSBK dusun pada tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi atau kawasan Selat/ Teluk tertentu;

(2) Kegiatan ekonomi masyarakat : PSBK gill-net, petani rumput laut dan lain-lainnya.

13.3.2 Pendekatan Lembaga Keuangan Masyarakat Pesisir

(LKMP

)

Untuk mengembangkan entrepreneurship rumahtangga nelayan miskin memerlukan kemampuan enterpreneural skill disamping pengaturan atas dasar hak, izin atau bebas masuk. Sebagaimana kita ketahui, bahwa sumberdaya laut merupakan pabrik perairan produsen primer. Ikan mengambil makanan dari perairan pesisir. Pada budidaya perairan yang berazaskan IPTEK, petani harus menggunakan kecerdasan otaknya untuk meningkatkan penguasaan terhadap semua faktor lingkungan yang mempengaruhi. pertumbuhan biota ikan/ non-ikan atau tanaman laut.

Nelayan yang melakukan usaha menangkap ikan di laut harus memiliki keterampilan yang lebih luas daripada pekerja pabrik, karena petani atau nelayan disamping sebagai juru tani juga sebagai pengelola bisnis. Sebagai pengelola bisnis, seorang nelayan harus "menguasai" keterampilan bisnis. Untuk mengembangkan bisnis perikanan secara berhasil, maka para nelayan memerlukan kernampuan untuk "menguasai" jalur bisnis perikanan secara utuh, yaitu :

(25)

(1) Penyediaan input kegiatan melakukan penangkapan ikan di laut, seperti perahu dan alat tangkap ikan.

(2) Kegiatan menangkap ikan di laut.

(3) Pengolahan pasca panen.

(4) Pemasaran dan distribusi output ikan atau produk lainnya.

Dalam aktivitas pernberdayaan nelayan skala kecil/ miskin perlu dikaji

secara mendalam mutu SDM dan kemungkinan untuk dikembangkan keterampilannya, khususnya dalam kegiatan pemberdayaan sosial dan ekonomi nelayan kecil dalam menguasai bisnis perikanan sebatas kemampuan enterpreunur nelayan. Untuk kelengkapan pemahaman masyarakat lokal (nelayan miskin) terhadap keterampilan bisnis yang diperlukan, maka dilakukan identifikasi keperluan usaha ekonomi untuk mengurangi kemiskinan nelayan kecil.

Pembangunan usaha penangkapan ikan di laut memiliki kesamaan dengan proses pembangunan pertanian dalam arti luas. Pakar pembangunan pertanian AT. Mosher (1973) menyatakan bahwa untuk meningkatkan produktifitas pertanian dan aksesibilitas petani, ketika usaha petani semakin berkembang maka semakin bergantung kepada sumber-sumber dari luar lingkungannya. Khususnya bisnis ikan yang cepat busuk, dimana kebutuhan pasar merupakan bagian tak terpisahkan bagi nelayan, karena sebagian besar ikan yang diproduksi dijual di pasar, dan hanya sebagian kecil saja yang dikonsumsi rumahtangga nelayan atau petani ikan.

Ada lima fasilitas dan jasa (akses) yang harus tersedia bagi para petani, termasuk pembudidaya ikan maupun nelayan, jika nelayan atau petani ikan gurern hendak dimajukan. Masing-masing merupakan syarat pokok. Tanpa salah satu dari padanya, tidak akan ada pembangunan nelayan kecil. Syarat pokok yang dimaksud adalah :

(26)

(2) Teknologi ramah yang terus berubah agar penangkapan ikan bisa bekerja lebih efisien;

(3) Tersedianya sarana produksi dan peralatan secara lokal;

(4) Perangsang produksi dengan harga ikan yang layak;

(5) Prasarana dan pengangkutan;

Apabila semuanya lengkap, selanjutnya ekonomi rumahtangga nelayan dan petani ikan akan tumbuh berkembang karena dukungan faktor pelancar. Sebagai faktor pelancar yang dapat mempercepat proses pertumbuhan ekonomi nelayan kecil / gurem, yaitu :

(1) Pendidikan dan pelatihan pembangunan (pendampingan);

(2) Kredit produksi atau akses permodalan produktif;

(3) Kegiatan kelompok bersama oleh nelayan;

(4) Perbaikan/konservasi/ perluasan lahan usaha penangkapan ikan;

(5) Pelibatan komunitas nelayan dalam perencanaan pembangunan khususnya dalam skala lokal.

Adapun kajian Model Kemitraan Sosial pemberdayaan nelayan skala kecil yang akan dilakukan mengacu pada teori pemberdayaan oleh Friedman (1992) dengan pendekatan pusat pertumbuhan perekonomian dengan strategi penciptaanStruktur Pedesaan Progresif (SPP). Sebagaimana dinyatakan oleh AT. Mosher bahwa SPP mempunyai berbagai unsur, yaitu :

(1) Pasar input maupun output usaha penangkapan ikan;

(2) Prasarana jalan menuju dan keluar lokasi.

(3) Penguatan adopsi teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan secara lokal.

(4) Aparat penyuluhan perikanan dan pendamping pemberdayaan yang terampil.

(27)

(5) Fasilitas kredit dan dukungan modal produktif untuk kegiatan produksi perikanan.

Dalam pandangan ekonomi moral untuk memberdayakan nelayan skala kecil di pedesaan memerlukan dukungan kelembagaan permodalan atau pembiayaan yang sesuai kondisi sosial-ekonomi nelayan, dimana hasil tangkapan tidak menentu dan rentan terhadap pengaruh musim ikan. Untuk menyiapkan kelembagaan tersebut perlu disesuaikan dengan daya dukung SDM dan budaya lokal untuk melaksanakan kegiatan. Menurut hasil kajian IBRD/ World Bank (2000) kelemahan yang berkaitan dengan penyediaan pembiayaan untuk pemberdayaan masyarakat miskin adalah karena program pemberdayaan dibatasi waktu kegiatan (proyek) yang pada umumnya bersifat sangat jangka pendek (satu tahun). Menurt IBRD/ World Bank (2000) perlu dicari terobosan pembinaan permodalan non-bank (jaminan permodalan) untuk pembiayaan usaha masyarakat miskin yang dapat dilakukan sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 20 tahun (jangka panjang), misalnya dikaitkan dengan penyediaan modal bersumber dari dukungan masyarakat (kaya) dengan mengefektifkan basis religi melalui pendaya-gunaan zakat, infak dan shadaqah (ZIS) produktif.

Dengan demikian dalam kajian ini akan dirumuskan penguatan Lembaga Permodalan Progresif (LP2) yang secara berkelanjutan melakukan pembinaan untuk melayani perekonomian masyarakat (nelayan kecil/ miskin). Oleh karena itu, ada empat kegiatan utama dalam kajian pengembangan enerepreneuralship nelayan kecil dalam kerangka pengembangan Model Kemitraan Sosial, yaitu :

(1) Pengembangan lembaga keuangan mikro;

(2) Pengembangan usaha ekonomi produktif;

(3) Pelatihan dan penguatan kapasitas entrepreneurial skill masyarakat lokal; dan

(28)

Selanjutnya, dengan mempertimbangkan upaya pemberdayaan yang dilakukan nelayan, secara hipotetis desain pemberdayaan kelembagaan keuangan mikro masyarakat pesisir akan difokuskan pada pemberdayaan aksesibilitas (sosial-ekonomi) nelayan kecil yang bertujuan untuk meningkatkan pemberdayaan sosial ekonomi (entrepreneurial skill) melalui pengembangan infrastruktur sosial- ekonomi (socio-economical infrastructure) dan penguatan kapasitas kelembagaan dan keterkaitan (lingkages) baik pada aspek bio-fisik, spasial dan kelembagaan (spatial and institution) yang didasarkan atas dasae territory based identities sumberdaya lokal.

13.4 Pendekatan Pemberdayaan Rumahtangga Masyarakat Pesisir

Pendekatan yang dipakai dalam program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir Wotgalih adalah sebagai berikut :

1. Partisipatif

Pendekatan partisipatif masyarakat dalam pembangunan pada dasarnya merupakan pencerminan dari konsep bottom up planning serta salah satu perwujudan dari upaya pemberdayaan masyarakat. Pendekatan partisipatif dilaksanakan untuk dapat lebih menjamin keberhasilan pelaksanaan program pembangunan maupun pemanfaatan hasil yang telah tercapai dari program-program pembangunan tersebut.

Pelaksanaan program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir pada hakekatnya adalah upaya untuk mengikutsertakan semua pihak terkait, khususnya dari pihak masyarakat dalam keseluruhan tahapan kegiatan pelaksanaan program Pemberdayaani Masyarakat Pesisir yang secara garis besar akan mencakup tahapan perencanaan, implementasi, pemanfaatan, dan pengendalian (monitoring dan evaluasi). Namun dalam hal ini, perlu dihindari kecenderungan implementasi yang tidak mengikutsertakam masyarakat dalam pembangunan (cenderung bersifat parsial). Hal ini misalnya terjadi pada tahap

(29)

perencanaan, dimana masyarakat hanya dilibatkan pada studi awal dalam proses identifikasi kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan, sedangkan pengambilan keputusan terhadap program pembangunan yang akan dijalankan tetap dilakukan oeh pihak lain (top-down planning).

Pentingnya pendekatan partisipatif dalam program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir disebabkan karena tindakan yang akan diambil serta hasil pelaksanaan program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir pada hakekatnya adalah ditujukan untuk kepentingan masyarakat itu sendiri.

Berangkat dari hal tersebut, maka kegiatan dalam program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Wotgalih harus dirancang sedemikian rupa sehingga masyarakatlah yang akan lebih banyak menentukan arah dan langkah pelaksanaan program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat . Dalam hal ini, Tenaga Pendamping Desa (TPD) beserta tokoh kelembagaan lokal terkait akan bertindak sebagai fasilitator yang akan mendampingi, membimbing, dan membantu masyarakat dalam mengidentifikasi dan menganalisis permasalahan, merumuskan alternatif rencana pemecahan berikut konsekuensinya. Dengan metode seperti ini diharapkan dapat menimbulkan rasa kepemilikan dan tanggungjawab dari masyarakat dalam pelaksanaan dan pemeliharaan kegiatan-kegiatan dalam program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Wotgalih.

2. Kemandirian

Dalam program Pemberdayaani Masyarakat salah satu strategi pendekatan yang dipakai adalah pendekatan kemandirian atau keswadayaan, dimana dengan dilaksanakannya strategi ini dalam program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat diharapkan akan timbul kemandirian dari masyarakat dalam pembangunan masyarakat dan wilayahnya sendiri dengan potensi-potensi sumberdaya yang dimiliki oleh daerahnya.

Strategi kemandirian atau keswadayaan pada dasarnya adalah melaksanakan pembangunan yang bertumpu pada kekuatan, kemampuan, dan modal atau biaya sendiri. Pada pelaksanaan program Pemberdayaan Masyarakat, maka masyarakat didorong untuk mampu secara mandiri

(30)

mengatasi permasalahan dalam rangka pembangunan diri dan lingkungannya. Selama mengikuti program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, dimana masyarakat tidak hanya terpaku pada proses peningkatan produksi, distribusi, dan pemasaran tetapi juga belajar untuk mengatasi permasalahan. Dengan demikian pada akhir program masyarakat telah memiliki modal untuk memelihara dan mengembangkan hasil-hasil program serta menghadapi tantangan ke depan secara mandiri dan berkelanjutan.

3. Kemitraan

Pendekatan kemitraan dalam program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Wotgalih digunakan untuk membentuk jaringan kemitraan antara masyarakat, tokoh lokal, aparat pemerintah dan swasta dalam mengembangkan kegiatan-kegiatan yang ada dalam program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat.

Upaya untuk menciptakan jaringan kemitraan tersebut difasilitasi dengan mempertemukan antara semua sektor dan stakeholders yang terkait dalam pembangunan dan pengembangan ekonomi kawasan pesisir. Sektor-sektor yang terkait dihimpun dalam jaringan kemitraan sedemikian rupa sehingga diantara masing-masing sektor terbentuk suatu kesepakatan dalam pembangunan dan pengembangan ekonomi kawasan pesisir sesuai dengan fungsi, peran dan kapasitas kewenangannya masing-masing.

13.4.1 Prinsip Pengelolaan Program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir

Prinsip pengelolaan program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir oleh PT. ANTAM Tbk. yang dilaksanakan di Kecamatan Yosowilangun, Kabupaten Pasuruan meliputi :

(31)

1. Acceptability

Metode ini diimplementasikan dalam wujud pelaksanaan pengambilan keputusan yang didasarkan pada proses musyawarah sehingga memperoleh legitimasi dan dukungan dari seluruh anggota masyarakat. Hal ini perlu dilakukan karena pada dasarnya program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Wotgalih dipilih, dirumuskan dan dilaksanakan sendiri oleh masyarakat dalam forum-forum pertemuan pada masing-masing jenjang daerah pemerintahan (dukuh, Desa, Kecamatan, Kabupaten). Agar proses musyawarah ini benar-benar dapat mencerminkan kata mufakat dari semua pihak, maka dengan sendirinya dalam kegiatan musyawarah ini semua pihak terkait harus dapat terwakili.

2. Transparency

Pengelolaan kegiatan dalam program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Wotgalih dilakukan secara terbuka, diinformasikan dan diketahui oleh masyarakat sehingga masyarakat dapat ikut memantaunya, dengan adanya keterbukaan ini diharapkan masyarakat dapat mengetahui dengan jelas maksud, tujuan dan alokasi dana untuk program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Wotgalih. Upaya penyebaran informasi ini dilakukan melalui kegiatan sosialisasi.

3. Accountability

Prinsip ini berarti bahwa pelaksanaan program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Perlunya pertanggungjawaban kepada masyarakat ini karena pada dasarnya masyarakatlah yang merasakan dampak dan manfaat dari program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Wotgalih.

4. Responsiveness

Kegiatan yang dilakukan dalam program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Wotgalih ditujukan sebagai bentuk kepedulian atas beban penduduk pesisir yang kurang berdaya atau miskin.

(32)

5. Quick Disbursement

Penyampaian bantuan modal kepada masyarakat sasaran dalam program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Wotgalih diharapkan dapat dilakukan secara cepat dan tepat.

6. Democracy

Dalam program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Wotgalih proses pemilihan peserta yang nantinya akan mendapatkan bantuan dana ekonomi produktif dilakukan secara musyawarah.

7. Sustainability

Pengelolaan program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Wotgalih diharapkan dapat memberikan manfaat secara optimal dan berkelanjutan.

8. Equality

Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Wotgalih memberikan kesempatan yang sama kepada orang atau kelompok lain yang belum memperoleh kesempatan mendapatkan dana ekonomi produktif, dengan ini diharapkan agar semua masyarakat dapat merasakan manfaat secara langsung dari program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Wotgalih.

.

9. Competitiveness

Dalam program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Wotgalih setiap ketentuan dalam pemanfaatan dana ekonomi produktif masyarakat diharapkan dapat mendorong terciptanya kompetisi yang sehat dan jujur dalam mengajukan usulan kegiatan yang layak.

(33)

13.4.2 Model Kemitraan Sosial Pemberdayaan Masyarakat

Pesisir

Atas dasar konsep pemberdayaan, pentahapan dan kelembagaan masyarakat untuk mendukung rencana pemberdayaan pemberdayaan berkelanjutan, maka model pemberdayaan selanjutnya kita kembangkan Model Kemitraan Sosial, dengan pertimbangan :

(a) Ada pelapisan sosial-ekonomi masyarakat pedesaan.

(b) Aset dan akses sosial masyarakat masih mendominasi kegiatan untuk mendukung keberlanjutan penghidupan masyarakat di pedesaan pesisir.

Pemberdayaan dengan Model Kemitraan Sosial dilakukan sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.2. Prinsip penerapannya adalah sebagai berikut : (1) Multi tingkat, dimulai dengan pemberdayaan sikap produktif rumahtangga,

modal usaha produktif untuk kelompok dan kemandirian kelembagaan kelompok.

(2) Multi dimensi, mencakup dimensi sosial, ekonomi, budaya, lingkungan dan kebijakan.penganggaran PEMDA.

(3) Multi tahun, dalam hal ini minimal 8 tahun.

(4) Pendampingan secara berkelanjutan dan professional oleh Pendamping Desa.

(5) Kesetaraan peran (equal roles) sebagai prinsip kemitraan sosial dalam bentuk “bantuan sosial” oleh Penyandang Dana (donor) kepada kelembagaan lokal : Lembaga Ekonomi Pemberdayaan Desa, Mitra Desa dan Kelompok Produktif (KUB).

(6) Multi sumberdana (donor, mencakup sumber CSR, dukungan PEMDA dan dana Zakat, Infak Shodaqih (ZIS) dari masyarakat.

(7) Human Centered development (Pemberdayaan berpusat pada peran serta manusia)

(34)
(35)

Gambar 13.1 Model Kemitraan Sosial Untuk Pemberdayaan

DONOR

PROG. APBD CSR KORPORASI SHADAQAH

(2)

KELOMPOK USAHA

BERSAMA

KOMUNITAS

(3)

(4) DULATAN/ /REVOLVING/ JASA MODAL SHADAQAH MENABUNG

PEMBERDAYAAN

RUMAHTANGGA

(a) Budaya Produktif

PELAYANAN AMANAH

KEUANGAN PRODUKTIF

PEMBERDAYAAN KELOMPOK

PEMBERDAYAAN KELOMPOK

(b) MOTIVASI BISNIS

PEMBERDAYAAN

KELEMBAGAAN

(c) MANDIRI

TAHAP PERTAMA TAHAP KEDUA TAHAP KETIGA LEPD MD KP PENGUATAN MODAL

(36)

13.5 Pembentukan Kelompok Usaha Bersama (KUB)

Pertanyaan yang muncul dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat miskin adalah urgensi kerjasama kelompok dan apa media praktis yang dapat kita gunakan untuk membuat mereka berfikir inovatif. Ada 6 instrumen dalam upaya pengembangan swadaya masyarakat, (Verhagen, 1996), yaitu :

(1) Identifikasi penduduk dan kelompok sasaran;

(2) Konsultasi managemen;

(3) Pengembangan jaringan dengan pihak ketiga;

(4) Perluasan proses dan pengembangan gerakan;

(5) Pemanfaatan dan evaluasi diri terus menerus;

(6) Penguatan kelompok berbasis komunitas.

Dalam penguatan kelompok ada 7 komponen kapasitas di tingkat komunitas (UNICEF, 1999) yang harus dikembangkan untuk dapat mendorong aktifitas ekonomi anggota kelompok melalui usaha ekonomi produktif, yaitu :

(1) Comunity leader : siapa saja orang-orang berpengaruh untuk mendorong penguatan kelompok ekonomi produktif;

(2) Comunity technology : teknologi apa yang digunakan masyarakat untuk memproduksi sesuatu;

(3) Comunity fund : apakah ada mekanisme penghimpunan dana dari masyarakat;

(4) Comunity material : sarana apa saja yang dapat digunakan masyarakat yang berguna untuk pengembangan kelompok, apakah ada modal usaha keluarga / kelompok;

(5) Comunity knowledge : apa persepsi masyarakat berkaitan dengan usaha meraka, apa harapan terhadap pelayanan ekonomi produktif, selanjutnya

(37)

sejauh mana kepercayaan masyarakat terhadap pelaku pelayanan usaha peroduktif;

(6) Comunity decision marking : apakah masyarakat terlibat dalam program secara keseluruhan;

(7) Comunity organization : usaha ekonomi mana yang dapat dikembangkan menjadi organisasi usaha ekonomi produktif.

13.5.1 Penguatan KUB

Penguatan kelompok merapkan alternatif pemberdayaan kelompok masyarakat. Sistematika penguatan kelompok usaha didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut :

1. Nilai Strategis KUB

Keberadaan Kelompok Usaha Bersama (KUB) bagi fakir miskin di tengah-tengah masyarakat wahana untuk (1) meningkatkan usaha ekonomi produktif (khususnya dalam peningkatan pendapatan), (2) menyediakan sebagian kebutuhan yang diperlukan bagi keluarga fakir miskin, (3) menciptakan keharmonisan hubungan sosial antar warga, (4) menyelesaikan masalah sosial yang dirasakan keluarga fakir miskin, (5) pengembangan diri dan sebagai wadah berbagi pengalaman antar anggota.

Kehadiran KUB Fakir Miskin merupakan media untuk (1) meningkatkan motivasi warga miskin untuk lebih maju secara ekonomi dan sosial, (2) meningkatkan interaksi dan kerjasama dalam kelompok, (3) mendayagunakan potensi dan sumber sosial ekonomi lokal, (4) memperkuat budaya kewirausahaan, (5) mengembangkan akses pasar dan (6) menjalin kemitraan sosial ekonomi dengan berbagai pihak yang terkait.

(38)

Melalui kelompok, setiap keluarga miskin dapat (1) saling berbagi pengalaman, (2) saling berkomunikasi, (3) saling mengenal, (4) dapat menyelesaikan berbagai masalah dan kebutuhan yang dirasakan. Dengan sistem KUB, kegiatan usaha yang tadinya dilakukan secara sendiri-sendiri kemudian dikembangkan dalam kelompok, sehingga setiap anggota dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam kegiatan usaha ekonomi produktif, usaha kesejahteraan social serta kemampuan berorganisasi.

Kegiatan yang berkaitan dengan usaha kesejahteraan sosial dapat berupa : (1) pengeIoaan santunan hidup, (2) Iuran Kesetiakawanan Sosial (IKS), (3) arisan, (4) pengajian, (5) perkumpulan kematian, (6) usaha simpan pinjam, (7) pelayanan koperasi, usaha tolong menolong atau gotong royong, (8) usaha pelayanan sosial untuk membantu orang tidak mampu, (9) usaha-usaha untuk mencegah timbulnya permasalahan sosial di lingkungannya, dan (10) usaha-usaha UKS lainnya. Kegiatan yang berkaitan dengan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) dapat berupa (1) usaha dagang, (2) jasa, (3) pertanian, dan lain-lain, sedangkan kegiatan yang bersifat penataan kelembagaan, seperti: (1) pengelolaan keuangan, (2) pencatatan dan pelaporan kegiatan bersama.

Melalui KUB diharapkan dapat (1) meningkatkan pengetahuan dan wawasan berfikir para anggota karena mereka dituntut suatu kemampuan manajerial untuk mengelola usaha yang sedang dijalankan, dan (2) berupaya menggali dan memanfaatkan sumber-sumber rizki yang tersedia di lingkungan untuk keberhasilan kelompoknya. Selain itu, diharapkan dapat (3) menumbuh kembangkan sikap-sikap berorganisasi dan (4) pengendalian emosi yang semakin baik serta dapat menumbuhkan rasa kebersamaan, kekeluargaan, kegotongroyongan, rasa kepedulian dan kesetiakawanan sosial, baik di antara keluarga binaan sosial maupun kepada masyarakat secara luas.

(39)

KUB dibentuk dilandasi oleh nilai filosofis “dari”, “oleh” dan “untuk” masyarakat. Artinya bahwa keberadaan suatu kelompok KUB di manapun (desa atau kota) adalah berasal dari dan berada di tengah-tengah masyarakat. Pembentukannya oleh masyarakat setempat dan peruntukannya juga adalah untuk anggota dan masyarakat setempat. Karena konsep yang demikian, maka pembentukan dan pengembangan KUB harus bercirikan nilai dan norma budaya setempat, harus sesuai dengan keberadaan sumber-sumber dan potensi yang tersedia di lingkungan setempat, juga harus sesuai dengan kemampuan SDM (anggota KUB) yang ada.

KUB harus diwujudkan dalam bentuk kerjasama yang berlangsung secara terus menerus, bukan hanya untuk jangka pendek tetapi jangka panjang. Kerjasama yang tulus biasanya hanya dapat diwujudkan bila dilandasi oleh dengan semangat kekeluargaan, kegotongroyongan, dan kesetiakawanan sosial. Dalam kelompok terjadi interaksi atau hubungan yang saling ketergantungan, dan saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya yang pada akhirnya menimbulkan semangat kekeluargaan, kegotongroyongan dan kesetiakawanan sosial di antara mereka, bahkan dengan lingkungan eksternal kelompok.

KUB dimaksudkan untuk mewujudkan keberfungsian sosial para anggota KUB dan keluarganya, yang meliputi meningkatnya kemampuan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup sehari-hari dan berubahnya sikap dan tingkah laku dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi serta meningkatnya kemampuan dalam menjalankan peranan-peranan sosialnya dalam masyarakat. Keberadaan usaha-usaha ekonomis produktif yang bersifat ekonomis dalam kelompok KUB hanya sebagai sarana bukan sebagai tujuan. Banyak orang beranggapan bahwa aspek usaha ekonomi produktif atau UEP dalam KUB sebagai tujuan dan sering dijadikan sebagai ukuran keberhasilan KUB. ini adalah suatu hal yang keliru. Berkelompok dalam KUB adalah berarti berkeinginan untuk

Referensi

Dokumen terkait

Masalah kesehatan pada lansia tentu saja berbeda dengan jenjang umur yang lain karena pada penyakit pada lansia merupakan gabungan dari kelainan-kelainan yang timbul akibat

Nilai relasional yang terkandung dalam fitur-fitur gramatika tersebut digunakan oleh seluruh partisipan seminar (moderator, pemrasaran, pembanding utama, dan

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap pengaruh pelatihan manajemen diri terhadap hasil belajar Mata Kuliah Manajemen Pendidikan pada mahasiswa Program Studi

Dalam menentukan derajat ini kita harus memperhitungkan pangkat dari peubah dan turunannya; misal y(dy/dx) adalah berderajat dua karena y dan dy/dx masing-masing

Angka kejadian stroke perioperatif pada pasien yang menjalani tindakan pembedahan jantung dan pembuluh darah serta neurologi lebih tinggi karena adanya penggunaan mesin bypass

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas promoter keratin dan heat shock pada ikan koi Cyprinus carpio , yang disambungkan dengan gen Green Fluorescent

1) Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) PPL yang professional dalam bidang pendidikan, sehingga mahasiswa praktikan diberikan pengalaman, masukan dan saran untuk

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas siswa, respon siswa dan untuk mengetahui perbedaan hasil belajar siswa pada mata pelajaran Mekanika teknik