• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA. kegiatan manusia, baik masa lampau maupun sekarang (FAO. 1975, dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA. kegiatan manusia, baik masa lampau maupun sekarang (FAO. 1975, dalam"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kajian Pustaka

2.1.1. Lahan dan Penggunaan Lahan

Lahan adalah suatu lingkungan fisik terdiri atas tanah, iklim, relief, hidrologi, vegetasi, dan benda-benda yang ada di atasnya yang selanjutnya semua faktor-faktor tersebut mempengaruhi penggunaan lahan. Termasuk di dalamnya juga hasil kegiatan manusia, baik masa lampau maupun sekarang (FAO. 1975, dalam Arsyad, 1989).

Penggunaan lahan (land use) dapat diartikan sebagai campur tangan manusia terhadap lahan, baik secara menetap maupun berkala untuk memenuhi kebutuhan hidup baik material maupun spiritual (Arsyad, 1989, Talkurputra, et.al. 1996).

Penggunaan lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar, yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan secara garis besar ke dalam macam penggunaan lahan berdasarkan penyediaan air dan lahan yang diusahakan. Berdasarkan hal itu dikenal macam penggunaan lahan seperti sawah, tegalan, kebun, kebun campuran, lalang, perkebunan dan hutan. Penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan ke dalam penggunaan kota atau desa (pemukiman), industri, rekreasi dan sebagainya (Arsyad, 2000).

(2)

Hasil penelitian yang dilakukan Suharto (1994) tentang optimalisasi alokasi penggunaan lahan di DAS Solo Hulu, Jawa Tengah, ditinjau dari segi erosi, sedimentasi, dan debit menunjukkan erosi yang terbesar terjadi pada penggunan lahan tegalan buruk, kemudian diikuti oleh lahan pekarangan, lahan tegalan baik, lahan hutan, dan yang paling rendah lahan sawah. Limpasan permukaan dan sedimentasi yang terjadi pada tiap sub DAS didominasi oleh penggunaan lahan tegalan buruk. Kekritisan lahan yang termasuk tingkat kekritisan berat juga terjadi pada penggunaan lahan tegalan buruk.

2.1.2. Pengertian DAS

Daerah aliran sungai (DAS) dalam bahasa Inggris diistilahkan sebagai drainage area atau catchment area atau river basin atau watershed.

DAS ialah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis yang menampung, menyimpan, dan mengalirkan air hujan ke sungai atau danau, dan akhirnya ke laut. Kawasan itu dipisahkan dengan kawasan lainnya oleh pemisah topografis, yaitu punggung bukit dan keadaan geologi terutama formasi batuan. Suatu DAS yang sangat luas terdiri atas beberapa sub-DAS dan masing-masing sub-DAS terdiri atas beberapa sub-sub DAS.

Bentuk DAS berbeda-beda dan masing-masing mempunyai sifat-sifat yang berlainan. Bentuk-bentuk tersebut adalah: DAS berbentuk bulu burung. DAS berbentuk paralel, DAS berbentuk radial (kipas atau lingkaran), dan DAS berbentuk gabungan atau kompleks. Bentuknya merupakan campuran dari beberapa

(3)

bentuk DAS (Sosrodarsono dan Takeda, 1977, dalam Asdak, 2002).

Soejono Paembonan (1982, dalam Dradjad, 1990) mengatakan DAS adalah suatu ekosistem dengan unsur-unsur utamanya adalah vegetasi, tanah, air, dan manusia yang mempunyai hubungan saling mempengaruhi dalam suatu keseimbangan dinamik. Vegetasi, tanah dan air merupakan unsur-unsur yang perlu didayagunakan dengan sebaik-b a i k n y a , a g a r d a p a t m e m e n u h i k e b u t u h a n m a n u s i a s e c a r a berk esi nambun gan. M an usi a berperan seb agai p elaku di dal am pend a yagu naan u nsur-unsu r ters eb ut.

Pengelolaan DAS perlu dilakukan agar daerah tersebut secara keseluruhan dapat berperan atau memberikan manfaat sebesar-besarnya secara lest ari bagi m anus ia dal am mem enuhi kebu tuhan hi dup dan kehidupan serta kesejahteraannya. Hal itu berarti bahwa untuk menangani suatu DAS, perlu memandang DAS sebagai suatu sistem.

De n g a n d e m i k i a n m e l a l u i p e n ge l o l a a n D A S ya n g t e r p a d u (pendekatan holistik) antara daerah hulu, daerah tengah dan daerah hilir dapat diketahui keadaan erosi yang terjadi pada suatu wilayah akibat dari penggunaan lahan yang ada (present land use), apakah erosi yang terjadi sudah membahayakan atau masih dalam batas yang dapat dibiarkan (Sinukaban, 1986; Manik, et al, 1997; Asdak, 2002).

2.1.3. Kebijakan Umum Pengelolaan DAS

Salah satu fokus kegiatan Departemen Kehutanan untuk melaksanakan amanat Kabinet Indonesia Bersatu adalah pengelolaan DAS. Seperti diketahui

(4)

terdapat 458 DAS kritis di Indonesia. Dari jumlah DAS kritis tersebut, 60 DAS merupakan prioritas I, 222 DAS termasuk prioritas II dan sisanya 176 DAS tergolong prioritas III dalam upaya penanggulangan/rehabilitasinya. Sedangkan lahan kritis di wilayah DAS kritis di Indonesia sangat luas dan terbagi ke dalam lahan sangat kritis seluas 6.890.567 hektar, dan 23.306.233 hektar merupakan lahan kritis (Darori, 2008).

Berbicara tentang pengelolaan DAS, maka tidak akan terlepas dari permasalahan pengelolaan hutan, meskipun seluruh titik di muka bumi ini merupakan bagian dari DAS. Seperti diketahui bahwa luas kawasan hutan di Indonesia mencapai 120,35 juta hektar atau 63% dari luas daratan, dan terdiri dari hutan konservasi 20,50 juta hektar, hutan lindung seluas 33,50 juta hektar, dan hutan produksi seluas 66,35 juta hektar. Dari luas kawasan hutan tersebut kondisi kawasan yang tidak berhutan (terjadi deforestasi) seluas 30,83 juta hektar atau 25,6% dari luas kawasan hutan. Tercatat laju deforestasi pada tahun 2000 hingga 2005 mencapai 1,08 juta ha/tahun (Gambar 1).

Kawasan hutan yang kritis semakin meningkat karena laju deforestasi tersebut jauh lebih besar dibandingkan laju rehabilitasi yang hanya 500 ribu hingga 700 ribu hektar per tahun (Hutabarat, 2008).

Khusus di Sumatera Utara, lahan kritis dan sangat kritis pada 21 kabupaten seluas 2.126.780 hektar yang terbagi di DAS Asahan Barumun seluas 1.148.050 hektar dan DAS Wampu seluas 978.730 hektar (28,38% dari luas DAS di Provinsi

(5)

Sumatera Utara seluas 7.491.695,34 hektar) (Hutabarat, 2008). Laju deforestasi dan rehabilitasi dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Laju Deforestasi Versus Laju Rehabilitasi (Hutabarat, 2008)

Menurut Hutabarat, (2008), terdapat tiga faktor utama penyebab degradasi DAS-DAS di Indonesia, yaitu:

1. Keadaan alam geomorfologi (geologi, tanah, dan topografi) yang rentan terjadi erosi, banjir, tanah longsor dan kekeringan (kemampuan lahan/daya dukung wilayah).

2. Iklim/curah hujan tinggi yang potensial menimbulkan daya merusak lahan/ tanah (erosivitas tinggi).

3. Aktivitas manusia yang terdiri dari penebangan hutan ilegal (pencurian kayu hutan), kebakaran hutan, perambahan hutan, eksploitasi hutan dan lahan berlebihan (HPH, tambang, kebun, industri, permukiman, jalan, pertanian dan lain lain), penggunaan/pemanfaatan lahan tidak menerapkan kaidah konservasi tanah dan air.

(6)

Begitu luasnya lahan kritis di kawasan DAS yang menyebabkan terjadinya DAS kritis, maka pengelolaan kawasan berdasarkan konsep DAS mutlak diperlukan. Pengelolaan DAS pada dasarnya merupakan pembangunan berkelanjutan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang mendayagunakan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana, mewujudkan keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara sumber daya manusia, dalam memanfaatkan sumber daya buatan dan sumber daya alam, serta mengupayakan kelestarian fungsi sumber daya alam dalam jangka panjang (Nasution, 2008).

Dengan demikian, tujuan pengelolaan DAS terdiri dari (Darori, 2008; Hutabarat, 2008):

1. Terwujudnya koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi antarmulti pihak dalam pengelolaan SDA dan lingkungan DAS.

2. Terbentuknya kelembagaan pengelolaan DAS yang mantap.

3. Terwujudnya kondisi tata air DAS yang optimal meliputi kuantitas, kualitas dan distribusinya menurut ruang dan waktu.

4. Terjaminnya pemanfaatan/penggunaan hutan, tanah dan air yang produktif sesuai daya dukung dan daya tampung DAS.

5. Terwujudnya peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Tahapan pelaksanaan pengelolaan DAS terdiri dari kegiatan pengelolaan DAS, sasaran lokasi kegiatan pengelolaan DAS dan pelaksanaan kegiatan pengelolaan DAS itu sendiri. Kegiatan pengelolaan DAS meliputi: pemanfaatan dan penggunaan hutan, lahan dan air, restorasi hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan dan

(7)

lahan, konservasi hutan, tanah dan air. Sedangkan sasaran lokasi kegiatan pengelolaan DAS meliputi: kawasan budidaya di bagian hulu dan hilir DAS, kawasan lindung di bagian hulu dan hilir DAS. Pelaksanaan kegiatan pengelolaan DAS didasarkan atas: a) kriteria teknis sektoral, b) persyaratan kelestarian ekosistem DAS, dan c) pola pengelolaan hutan, lahan dan air.

Satu kalimat yang menjadi dambaan bagi kita semua untuk diwujudkan dalam pengelolaan DAS adalah “Save Our Forest, Land and Water”, demi keberlangsungan peradaban ummat manusia di muka bumi ini (Hutabarat, 2008).

2.1.4. Erosi dan Sedimentasi pada Suatu DAS

Erosi dan sedimentasi merupakan proses penting dalam pembentukan suatu daerah aliran sungai (DAS) serta memiliki konsekwensi ekonomi dan lingkungan yang penting di DAS tersebut. Erosi dan sedimentasi secara alami akan mempengaruhi pembentukan landskap suatu DAS dan sebaliknya bentuk dan kondisi fisik suatu DAS akan sangat berpengaruh terhadap laju erosi dan sedimentasi (Linsley, dkk, 1996).

Erosi merupakan salah satu penyebab utama degradasi lahan. Besarnya erosi pada suatu lahan ditentukan oleh lima faktor yaitu (Arsyad, 2006): (1) jumlah dan intensitas hujan (erosivitas hujan), (2) kepekaan tanah terhadap erosi (erodibilitas tanah), (3) bentuk lahan (kemiringan dan pajang lereng), (4) vegetasi penutup tanah, dan (5) tingkat pengelolaan tanah. Erosivitas hujan merupakan faktor alami yang hampir tidak mungkin untuk dikelola, sedangkan erodibilitas tanah dapat diperbaiki

(8)

dengan meningkatkan/menjadikan kemantapan agregat tanah yang ideal melalui penambahan bahan amelioran seperti bahan organik.

Kemiringan dan panjang lereng serta faktor vegetasi dan pengelolaan tanah merupakan faktor yang paling sering dikelola untuk mengurangi jumlah aliran permukaan serta menurunkan laju dan jumlah erosi (Agus dan Widianto, 2004; Arsyad, 2006).

Pada dasarnya terdapat dua macam erosi yaitu erosi geologi atau erosi normal dan erosi yang dipercepat. Erosi geologi (erosi normal) juga disebut erosi alami merupakan proses-proses pengangkutan tanah yang terjadi di bawah keadaan vegetasi alami. Biasanya terjadi pada keadaan lambat yang memungkinkan terbentuknya tanah yang tebal yang mampu mendukung pertumbuhan vegetasi secara normal. Proses geologi meliputi terjadinya pembentukan tanah di permukaan bumi secara alami. Dalam hal ini erosi yang terjadi tidak melebihi laju pembentukan tanah. Erosi dipercepat adalah pengangkutan tanah yang menimbulkan kerusakan tanah sebagai akibat perbuatan manusia yang mengganggu keseimbangan antara proses pembentukan dan pengangkutan tanah. Oleh sebab itu, hanya erosi dipercepat inilah yang menjadi perhatian konservasi tanah. Dalam pembahasan selanjutnya, istilah erosi yang dipergunakan menggambarkan erosi dipercepat yang disebabkan oleh air (Rahim, 2003; Arsyad, 2006).

Di daerah beriklim tropis basah, air merupakan penyebab utama erosi tanah, sedangkan angin tidak mempunyai pengaruh yang berarti. Proses erosi air merupakan kombinasi dua proses yaitu (1). Penghancuran struktur tanah menjadi butir-butir

(9)

primer oleh energi tumbukan butir-butir hujan yang menimpa tanah dan perendaman oleh air yang tergenang (proses dipersi), dan pemindahan (pengangkutan) butir-butir tanah oleh percikan hujan, dan (2). Penghancuran struktur tanah diikuti pengangkutan butir-butir tanah tersebut oleh air yang mengalir di permukaan tanah.

Air hujan yang menimpa tanah-tanah terbuka akan menyebabkan tanah terdispersi. Sebagian dari air hujan yang jatuh tersebut akan mengalir di atas permukaan tanah. Banyaknya air yang mengalir di permukaan tanah tergantung pada hubungan antara jumlah dan intensitas hujan dengan kapasitas infiltrasi tanah dan kapasitas penyimpanan air tanah (Rahim, 2003).

Tumbuh-tumbuhan yang hidup di atas permukaan tanah dapat memperbaiki kemampuan tanah menyerap air dan memperkecil kekuatan perusak butir-butir hujan yang jatuh, dan daya dispersi dan daya angkut aliran di atas permukaan tanah. Perlakuan atau tindakan-tindakan yang diberikan manusia terhadap tanah dan tumbuh-tumbuhan di atasnya akan menentukan apakah tanah itu akan menjadi baik dan produktif atau menjadi rusak (Rahim, 2003; Arsyad, 2006).

Setelah penghancuran butir-butir tanah oleh energi kinetik curah hujan akan terjadi aliran permukaan apabila kapasitas infiltrasi tanah berkurang. Jumlah aliran permukaan yang meningkat di samping menyebabkan erosi lebih besar, juga mengurangi kandungan air tersedia dalam tanah yang mengakibatkan pertumbuhan tumbuhan menjadi kurang baik. Berkurangnya pertumbuhan berarti berkurangnya sisa-sisa tumbuhan yang kembali ke tanah dan berkurangnya perlindungan, yang mengakibatkan erosi menjadi lebih besar (Arsyad, 2006).

(10)

Erosi merupakan faktor eksternal penyebab tanah-tanah pertanian menjadi sakit atau bahkan mati. Erosi pada awalnya akan memindahkan bahan organik dan liat dari dalam tanah (selektivitas erosi) ke badan-badan air (sungai) yang kemudian diendapkan di buffer area sungai atau terbuang ke muara dan ke lautan. Erosi yang terus berlanjut akan mengikis permukaan tanah atau bagian tanah yang lembut (horizon A dan B), sehingga horizon C (bahan induk) dan bahkan horizon R (batuan induk) muncul ke permukaan (Arsyad, 2006).

Fenomena ini tejadi secara berkelanjutan pada hampir semua lahan pertanian di Indonesia, terutama pada sistem pertanian lahan kering di kawasan hulu suatu DAS. Pada tahap ini tanah dikategorikan sakit parah dan bahkan dapat dikatakan sebagai tanah yang mati (Arsyad, dkk, 1992).

Sedangkan prediksi erosi pada sebidang tanah dapat dilakukan menggunakan model yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1978 dalam Arsyad, 2006) yang diberi nama Universal Soil Loss Equation (USLE) dengan persamaan sebagai berikut:

A = R.K.L.S.C.P...(1)

yang menyatakan:

A = banyaknya tanah tererosi (ton/(ha.thn))

R = faktor curah hujan dan aliran permukaan, yaitu jumlah satuan indeks erosi hujan tahunan yang merupakan perkalian antara energi hujan total (E) dengan intensitas hujan maksimum 30 menit (I30).

(11)

K = faktor erodibilitas tanah, yaitu laju erosi per indek erosi hujan (R) untuk suatu tanah yang didapat dari petak percobaan standar, yaitu petak percobaan yang panjangnya 72,6 kaki (22,1 meter) terletak pada lereng 9%, tanpa tanaman.

L = faktor panjang lereng yaitu nisbah antara besarnya erosi dari tanah dengan suatu panjang lereng tertentu terhadap erosi dari tanah dengan panjang lereng 72,6 kaki (22,1 meter) di bawah keadaan yang identik.

S = faktor kecuraman lereng yaitu nisbah antara besarnya erosi yang terjadi dari suatu tanah dengan kecuraman lereng tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah dengan lereng 9% di bawah keadaan yang identik.

C = faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman yaitu nisbah antara besarnya erosi dari suatu tanah dengan vegetasi penutup dan pengelolaan tanaman tertentu terhadap besarnya erosi tanah dari tanah yang identik tanpa tanaman.

P = faktor tindakan-tindakan khusus konservasi tanah (pengolahan dan penanaman menurut kontur, penanaman dalam strip, guludan, teras menurut kontur), yaitu nisbah antara besarnya erosi dari tanah yang diberi perlakuan tindakan konservasi khusus tersebut terhadap besarnya erosi dari tanah yang diolah searah lereng, dalam keadaan yang identik. Saifuddin Sarief (1980) dalam bukunya yang berjudul “Beberapa Masalah Pengawetan Tanah dan Air”, penelitian yang telah dilakukan untuk menentukan pengikisan dan penghanyutan tanah menggunakan metode pengukuran besarnya

(12)

tanah yang terkikis dan aliran permukaan (run-off) untuk satu kali kejadian hujan. Metode ini disebut “Pengukuran Erosi Petak Kecil”, metode ini ditujukan untuk mendapatkan data-data sebagai berikut:

1. Besarnya erosi.

2. Pengaruh faktor tanaman.

3. Pemakaian bahan pemantap tanah (soil conditioner). 4. Pemakaian mulsa penutup tanah, dan

5. Pengelolaan tanah.

Dengan berpegangan pada pendapat Konhke dan Bertrand (1959). Bahwa petak kecil yang biasanya berbentuk persegi panjang dipergunakan untuk mendapatkan besarnya pengikisan dan penghanyutan yang disebabkan oleh pengaruh faktor-faktor tertentu untuk suatu tipe tanah dan derajat lereng tertentu (Kartasapoetra, 1990).

Menurut penelitian Saidi (2001) hasil pendugaan erosi dengan menggunakan rumus USLE bahwa perkiraan erosi pada Sub DAS Sumani, Lembang, Gawan, Aripan dan Imang cukup besar yakni berkisar 141,94-436,7 ton/(ha.thn), kehilangan tanah sebesar ini sudah cukup menghilangkan lapisan bagian atas hanya dalam tempo yang sangat singkat, dengan demikian perlu diimbangi dengan tindakan konservasi tanah dan air, terutama pada lahan yang berlereng terjal.

Erosi yang terjadi pada hutan sekunder dengan komponen utama pinus dan rumput pakan alami di Sub DAS Cikapundung Bandung Utara sebesar

(13)

126,71ton/(ha.thn), sedangkan pada hutan sekunder dengan komponen utama pinus dan rumput pakan ternak sebesar 289,51 ton/(ha.thn) (Sutrisna dan Sitorus, 2009).

Aryanto, et al, (2008) melaporkan bahwa erosi pada hutan yang tidak terusik di DTA Waduk Sempor Kabupaten Kebumen Jawa Tengah sebesar 34,2 ton/(ha.thn) sementara erosi pada hutan yang terusik di kawasan yang sama sebesar 65,9 ton/(ha.thn).

Sukresno (1993) melaporkan bahwa erosi yang terjadi di kawasan hutan Waduk Gajah Mungkur (di hulu DAS Bengawan Solo) sebesar 82,2 ton/(ha.thn), sedangkan pada lahan pekarangan yang merupakan kebun campuran erosinya sebesar 138 ton/(ha.thn) dan pada lahan tegalan yang ditanami tanaman semusim (padi gogo, jagung, kedele, kacang tanah dan ketela pohon) di sekitar Waduk Gajah Mungkur tersebut erosinya berkisar antara 211,5-729,4 ton/(ha.thn).

Erosi yang terjadi pada sistem agroforestri atau kebun campuran di Sub DAS Cibogo DAS Ciliwung sebesar 71-197 ton/(ha.thn) dan di Sub DAS Cigadog DAS Ciliwung sebesar 65-170 ton/(ha.thn) (Pawitan dan Sinukaban, 2007).

Rauf (2004) juga mendapatkan bahwa erosi yang terjadi pada sistem agroforestri di kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), terutama pada tipe agrosilvikultur dengan kemiringan lereng 30-40% berkisar antara 47,00-262,17 ton/(ha.thn) atau rata-rata sebesar 136,79 ton/(ha.thn). Sistem agroforestri yang dapat menekan laju erosi menjadi rata-rata sebesar 79,84 ton/(ha.thn) di kawasan penyangga TNGL adalah sistem agroforestri dengan tipe

(14)

agrosilvopastural yang merupakan kombinasi antara pepohonan hutan dengan tanaman pertanian dan rumput pakan ternak di lahan selanya.

Supangat dan Savitri (2001) juga mendapatkan bahwa erosi yang terjadi di lahan tegalan yang ditanami jagung di DAS Surakarta, tepatnya di DAS Miro Dukuh Kebondalen Desa Sukorejo dan Mojosari Kecamatan Mojotengah Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah, sebesar 188,91 ton/(ha.thn), juga mendapatkan bahwa erosi yang masih diperkenankan di lahan pertanaman tumpang sari (agrosilvicultural) antara sengon muda dengan kopi muda di DAS Surakarta (lokasi kajian di DAS Miro Dukuh Kebondalen Desa Sukorejo dan Mojosari Kecamatan Mojotengah Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah) sebesar 42 ton/(ha.thn), sedangkan pada tumpang sari sengon tua dengan kopi tua sebesar 40,8 ton/(ha.thn), dan antara sengon tua dengan kopi muda sebesar 49,2 ton/(ha.thn). Erosi ditoleransikan (diperkenankan) pada pertanaman tumpang sari sengon dengan kopi di wilayah tersebut cukup tinggi bila dibandingkan erosi yang masih dapat diperkenankan pada lahan tegalan yang digunakan untuk pertanaman jagung sebesar 25,2 ton/(ha.thn).

2.1.5. Faktor yang Mempengaruhi Erosi

2.1.5.1. Faktor iklim

Di daerah beriklim basah, faktor iklim yang menyebabkan terdispersinya agregat tanah, aliran permukaan dan erosi adalah hujan (Sinukaban, 1986). Menurut Arsyad (1989), besarnya curah hujan serta intensitas dan distribusi butir hujan menentukan kekuatan dispersi hujan terhadap tanah, jumlah dan kecepatan aliran permukaan, dan erosi. Air yang jatuh menimpa tanah-tanah terbuka akan

(15)

menyebabkan tanah terdispersi, selanjutnya sebahagian dari air hujan yang jatuh tersebut akan mengalir di atas permukaan tanah. Banyaknya air yang mengalir di atas permukaan tanah tergantung pada kemampuan tanah untuk menyerap air (kapasitas infiltrasi).

Besarnya hujan adalah volume air yang jatuh pada suatu areal tertentu. Oleh karena itu, besarnya curah hujan dapat dinyatakan dalam meter kubik per satuan luas atau secara lebih umum dinyatakan dalam tinggi air yaitu milimeter. Besarnya curah hujan dapat dimaksudkan untuk satu kali hujan atau masa tertentu seperti per hari, per bulan, per tahun atau per musim.

2.1.5.2. Faktor tanah

Berbagai tipe tanah mempunyai kepekaan terhadap erosi yang berbeda-beda. Kepekaan erosi tanah adalah mudah tidaknya tanah tererosi yang merupakan fungsi dari berbagai interaksi sifat-sifat fisika dan kimia tanah. Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi kepekaan erosi adalah (1) sifat-sifat tanah yang mempengaruhi laju infiltrasi; (2) sifat-sifat tanah yang mempengaruhi ketahanan struktur tanah terhadap dispersi dan pengikisan oleh butir-butir hujan yang jatuh dan aliran permukaan.

Utomo (1989), tanah andosol terbentuk dari bahan abu vulkan muda dengan kandungan bahan organik yang tinggi, tekstur lapisan tanah atas pasir berlempung sampai berlempung, tekstur lapisan bawah lempung berliat, memiliki thixotropi, sangat porous, bersolum dalam sehingga kapasitas infiltrasi dan perkolasinya tinggi. Berdasarkan sifat-sifat tersebut, pengukuran erodibilitas tanah dengan nomograph menunjukkan bahwa indeks erodibilitas andosol bervariasi dari 0,10 sampai 0,25.

(16)

mengikuti klasifikasi kelas erodibilitas yang diusulkan Utomo (1985), maka andosol mempunyai indeks erodibiltas sangat rendah sampai sedang. Jadi sebenarnya cukup tahan terhadap erosi yang ditimbulkan oleh pukulan air hujan dan kikisan limpasan permukaan. Tetapi karena umumnya andosol mempunyai sifat thixotropic, maka jika jenuh air (karena intensitas hujan sangat tinggi), tanahnya mudah mengalami erosi massa (creep dan slip erosion). Karena tingkat perkembangan tanahnya baru pada tingkat lemah sampai sedang.

Menurut Arsyad (2000), beberapa sifat tanah yang mempengaruhi erosi adalah tekstur, struktur, bahan organik, kedalaman, sifat lapisan tanah, dan tingkat kesuburan tanah, sedangkan kepekaan tanah terhadap erosi yang menunjukkan mudah atau tidaknya tanah mengalami erosi ditentukan oleh berbagai sifat fisika tanah.

Tekstur adalah ukuran tanah dan proporsi kelompok ukuran butir-butir primer bagian mineral tanah. Tanah-tanah bertekstur kasar seperti pasir dan pasir berkerikil mempunyai kapasitas infiltrasi yang tinggi dan jika tanah tersebut dalam, erosi dapat diabaikan. Tanah-tanah bertekstur pasir halus juga mempengaruhi kapasitas infiltrasi cukup tinggi, akan tetapi jika terjadi aliran permukaan, butir halus akan mudah terangkut. Tanah-tanah yang mengandung liat dalam jumlah yang tinggi dapat tersuspensi oleh butir-butir hujan yang jatuh menimpanya dan pori-pori lapisan permukaan akan tersumbat oleh butir-butir liat.

Struktur adalah ikatan butir primer kedalam butiran sekunder atau agregat. Terdapat dua aspek struktur yang penting dalam hubungannya dengan erosi. Pertama adalah sifat-sifat fisika-kimia liat yang menyebabkan terjadinya flokulasi dan yang

(17)

kedua adalah adanya bahan pengikat butir-butir primer sehingga terbentuk agregat yang mantap.

Bahan organik berupa daun, ranting dan sebagainya yang belum hancur yang menutupi permukaan tanah merupakan pelindung tanah terhadap kekuatan perusak butir-butir hujan yang jatuh. Bahan organik yang telah mulai mengalami pelapukan mempunyai kemampuan menyerap dan menahan air yang tinggi. Bahan organik dapat menyerap air sebesar dua sampai tiga kali beratnya, akan tetapi kemampuan itu hanya faktor kecil dalam pengaruhnya terhadap aliran permukaan. Pengaruh bahan organik dalam mengurangi aliran permukaan terutama berupa perlambatan aliran, peningkatan infiltrasi dan pemantapan agregat tanah.

Tanah-tanah yang dalam dan permeabel kurang peka terhadap erosi daripada tanah yang permeabel, tetapi dangkal. Kedalaman tanah sampai lapisan kedap air menentukan banyaknya air yang dapat diserap tanah dan dengan demikian mempengaruhi besarnya aliran permukaan.

Sifat lapisan bawah tanah yang menentukan kepekaan erosi tanah adalah permeabilitas lapisan tersebut. Permeabilitas dipengaruhi oleh tekstur dan struktur tanah. Tanah yang lapisan bawahnya berstruktur granuler dan permeabel kurang peka erosi dibandingkan dengan tanah yang lapisan bawahnya padat dan permeabilitasnya rendah.

Perbaikan kesuburan tanah akan memperbaiki pertumbuhan tanaman. Pertumbuhan tanaman yang lebih baik akan memperbaiki penutupan tanah yang lebih baik dan lebih banyak sisa tanaman yang kembali ke tanah setelah panen.

(18)

Kepekaan erosi tanah haruslah merupakan pernyataan keseluruhan sifat-sifat tanah dan bebas dari pengaruh faktor-faktor penyebab erosi lainnya. Menurut Hodson (1992), kepekaan erosi didefinisikan sebagai mudah tidaknya tanah untuk tidak tererosi, sedangkan menurut Arsyad (2000), kepekaan erosi tanah didefinisikan sebagai erosi per satuan indeks erosi hujan untuk suatu tanah dalam keadaan standar. Kepekaan erosi tanah menunjukkan besarnya erosi yang terjadi dalam ton tiap hektar tiap tahun indeks erosi hujan, dari tanah yang terletak pada keadaan baku (standar). Tanah dalam standar adalah tanah yang terbuka tidak ada vegetasi sama sekali terletak pada lereng 9% dengan bentuk lereng yang seragam dengan panjang lereng 72,6 kaki atau 22 m. Nilai faktor kepekaan erosi tanah yang ditandai dengan huruf K, dinyatakan dalam persamaan berikut:

K= A/R, ... (2) dengan K adalah nilai faktor kepekaan erosi suatu tanah, A adalah besarnya erosi yang terjadi dari tanah pada petak standar (ton/(ha.thn)), dan R adalah EI30 tahunan.

2.1.5.3. Faktor topografi

Jika keadaan lereng di lapangan tidak sama dengan baku, maka faktor panjang lereng dan kemiringan lereng harus dikembalikan pada keadaan baku, yaitu panjang lereng 22 m dan kemiringan lereng 9 persen dengan persamaan berikut:

0,00138

2 0,00965 0,0138

L S S

LS ... (3)

Dengan L adalah lereng dalam meter, S adalah persen kemiringan lereng dalam keadaan baku.

(19)

Lereng yang lebih curam, selain memerlukan tenaga dan biaya yang lebih besar dalam penyiapan dan pengelolaan, juga menyebabkan lebih sulitnya pengaturan air dan lebih besar masalah erosi yang dihadapi. Di samping itu, lereng-lereng dengan bentuk yang seragam dan panjang memerlukan pengelolaan yang berbeda dengan lereng-lereng pada kemiringan yang sama, tetapi mempunyai bentuk yang tidak seragam dan pendek. Pada lereng yang panjang dan seragam, air yang mengalir di permukaan tanah akan terkumpul di lereng bawah sehingga makin besar kecepatannya daripada di lereng bagian atas. Akibatnya tanah lereng bagian bawah mengalami erosi lebih besar daripada lereng bagian atas. Sebaliknya, lereng yang panjang dan tidak seragam biasanya diselingi oleh lereng datar dalam jarak pendek. Akibatnya aliran air yang terkumpul di lereng bawah tidak begitu besar dan erosi yang terjadi lebih kecil dibandingkan dengan lereng yang panjang dan seragam (Arsyad, 1989).

Kemiringan lereng dinyatakan dalam derajat atau persen. Dua titik yang berjarak horizontal 100 m yang mempunyai selisih tinggi 10 m membentuk lereng 10%. Kecuraman lereng 100% sama dengan kecuraman 45º. Selain dari memperbesar jumlah aliran permukaan, makin curamnya lereng juga memperbesar kecepatan aliran permukaan yang dengan demikian memperbesar energi angkut air. Dengan makin curamnya lereng, jumlah butir-butir tanah yang terpercik ke atas oleh tumbukan butir hujan semakin banyak. Jika lereng permukaan dua kali lebih curam, banyaknya erosi 2 sampai 2,5 kali lebih besar (Sinukaban, 1986).

(20)

Panjang lereng dihitung mulai dari titik pangkal aliran permukaan sampai suatu titik air masuk ke dalam saluran atau sungai, atau dengan kemiringan lereng berkurang sedemikian rupa sehingga kecepatan aliran air berubah. Air yang mengalir di permukaan tanah akan berkumpul di ujung lereng. Dengan demikian, lebih banyak air yang mengalir akan makin besar kecepatannya di bagian bawah lereng mengalami erosi lebih besar daripada di bagian atas. Akibatnya adalah tanah-tanah di bagian bawah lereng mengalami erosi lebih besar daripada bagian atas. Makin panjang lereng permukaan tanah, makin tinggi potensial erosi karena akumulasi air aliran permukaan semakin tinggi. Kecepatan aliran permukaan makin tinggi mengakibatkan kapasitas penghancuran dan deposisi makin tinggi pula (Wischmeier dan Smith, 1978).

2.1.5.4. Faktor vegetasi

Pengaruh vegetasi terhadap aliran permukaan dan erosi dapat dibagi dalam lima bagian, yakni (a) intersepsi hujan oleh tajuk tanaman, (b) mengurangi kecepatan aliran permukaan dan kekuatan perusak air, (c) pengaruh akar dan kegiatan-kegiatan biologi yang berhubungan dengan pertumbuhan vegetatif, (d) pengaruhnya terhadap stabilitas struktur dan porositas tanah, dan (e) transpirasi yang mengakibatkan kandungan air berkurang (Arsyad, 2000).

Pola pertanaman dan jenis tanaman yang dibudidayakan sangat berpengaruh terhadap erosi dan aliran permukaan karena berpengaruh terhadap penutupan tanah dan produksi bahan organik yang berfungsi sebagai pemantap tanah. Menurut FAO (1965, dalam Sinukaban, 1986) pergiliran tanaman terutama dengan tanaman pupuk

(21)

hijau atau tanaman penutup tanah lainnya, merupakan cara konservasi tanah yang sangat penting. Tujuannya adalah memberikan kesempatan pada tanah untuk mengimbangi periode pengrusakan tanah akibat penanaman tanaman budidaya secara terus-menerus. Keuntungan dari pergiliran tanaman adalah mengurangi erosi karena kemampuannya yang tinggi dalam memberikan perlindungan oleh tanaman, memperbaiki struktur tanah karena sifat perakaran, dan produksi bahan organik yang tinggi.

Pada lahan hutan pelaksanaan pencacahan dan pengukuran pohon merupakan hal yang paling penting dilakukan, karena dapat mengetahui atau menduga potensi suatu tegakan ataupun suatu komunitas tertentu pada hutan tersebut, diameter pohon merupakan dimensi pohon yang sangat penting dalam pendugaan potensi pohon dan tegakan. Data diameter bukan hanya diperlukan untuk menghitung nilai luas bidang dasar suatu tegakan melainkan juga dapat digunakan untuk menentukan volume pohon dan tegakan, berguna dalam pengaturan penebangan dengan batas diameter tertentu serta dapat digunakan untuk mengetahui struktur suatu tegakan hutan (Novarianti, 2009).

2.1.5.5. Faktor manusia atau tindakan konservasi (P)

Pada akhirnya manusialah yang menentukan apakah tanah yang diusahakannya akan rusak dan tidak produktif atau menjadi baik dan produktif secara lestari. Banyak faktor yang menentukan apakah manusia akan memperlakukan dan merawat serta mengusahakan tanahnya secara bijaksana sehingga menjadi lebih baik dan dapat memberikan pendapatan yang cukup untuk jangka waktu yang tidak

(22)

terbatas, antara lain dengan (a) luas tanah pertanian yang diusahakan, (b) tingkat pengetahuan dan penguasaan teknologi, (e) harga hasil usaha tani, (f) perpajakan, (g) ikatan hutang, (h) pasar dan sumber keperluan usahatani, dan (i) infrastruktur dan fasilitas kesejahteraan (Arsyad, 2000).

Rencana konservasi tanah harus mempertimbangkan keterbatasan atau hambatan dalam pemanfaatan tanah disamping faktor-faktor yang bersifat mendukung program konservasi. Faktor penting yang harus dilakukan dalam usaha konservasi tanah, yaitu teknik inventarisasi dan klasifikasi bahaya erosi dengan tekanan daerah hulu (upstream area). Untuk menentukan tingkat bahaya erosi suatu bentang lahan diperlukan kajian terhadap empat faktor, yaitu jumlah, macam dan waktu berlangsungnya hujan serta faktor-faktor yang berkaitan dengan iklim, jumlah dan macam tumbuhan penutup tanah, tingkat erodibilitas di daerah kajian, dan keadaan kemiringan lereng (Asdak, 1995)

Pengolahan tanah meliputi pemeliharaan kandungan bahan organik tanah, praktek pembajakan, dan penstabilan tanah. Penambahan bahan organik ke dalam tanah berfungsi tidak saja untuk mempertahankan kesuburan tanah, tetapi juga dapat meningkatkan kapasitas tanah untuk meretensi air, dan menstabilkan agregat tanah. Tanah dengan kandungan bahan organik kurang dari 2 persen biasanya paling peka terhadap erosi. Karena itu perlu penambahan bahan organik hingga angka tersebut. Penambahan bahan organik ke tanah perlu memperhatikan jenis tanah, karena hal itu berhubungan dengan faktor isohumik jumlah humus yang dihasilkan persatuan bahan organik (Rahim, 2003).

(23)

Pada pengolahan lahan menurut kontur, pembajakan dilakukan menurut kontur atau memotong lereng, sehingga terbentuk jalur-jalur tumpukan tanah dan alur menurut kontur. Pengolahan lahan menurut kontur akan lebih efektif apabila diikuti dengan penanaman menurut kontur pula, yaitu larikan tanaman dibuat sejajar dengan kontur.

Efek utama pengelolaan menurut kontur adalah terbentuknya penghambat aliran permukaan yang memungkinkan penyerapan air dan menghindarkan pengangkutan tanah. Oleh karena itu, di daerah kering, pengolahan menurut kontur sangat-sangat efektif dalam pengawetan air.

Teras adalah suatu bangunan pengawetan tanah dan air secara mekanis yang dibuat untuk memperpendek lereng dan atau memperkecil kemiringan, dan merupakan suatu metode pengendalian erosi dengan membangun semacam saluran lebar melintang lereng tanah. Pengelolaan lahan dengan kontur tanah pertanian selalu dikombinasikan dengan teras. Karena penterasan memerlukan investasi tambahan dan menyebabkan perubahan dalam prosedur bertani maka tindakan penterasan hanya dipertimbangkan di mana tindakan pertanaman atau pengelolaan tanah lainnya, sendiri-sendiri atau bersama, tidak memberikan pengendalian yang cukup.

Fungsi teras adalah mengurangi panjang lereng, karena itu mengurangi sheet dan riil, mencegah terbentuknya gully, dan menahan aliran permukaan di daerah kurang hujan. Di sebagian besar daerah, graded teras lebih efektif dalam mengurangi erosi daripada aliran permukaan (runoff), sedangkan level teras lebih efektif dalam mengurangi runoff di samping mengendalikan erosi.

(24)

Di dalam perencanaan teras, diperlukan berbagai pertimbangan khusus, antara lain keadaan tata guna lahan pada daerah yang bersangkutan, pembuatan saluran pembuangan (outlet), penentuan tata letak teras (terrace lay-out) dan rencana pertanian yang diusahakan.

Berdasarkan fungsinya, teras dibedakan kedalam dua jenis, yaitu: teras intersepsi (interseption terrace), dan teras disversi (diversion terrace). Pada teras intersepsi, aliran permukaan ditahan oleh saluran yang memotong lereng, sedangkan pada teras disversi berfungsi untuk mengubah arah aliran sehingga tersebar ke saluran lahan dan tidak terkonsentrasi kesuatu tempat. Menurut bentuknya teras dibedakan ke dalam beberapa bentuk, yaitu teras kredit, teras guludan, teras datar, teras bangku, teras kebun dan teras individu (Hardjoamidjojo dan Sukandi, 2008).

Teras tradisional berupa teras adanya rorak penampung aliran permukaan dan tanpa penguat bibir teras menggunakan rerumputan dapat mendorong lebih tingginya erosi pada lahan kemiringan 34-37% ini. Apalagi teras yang dibangun kebanyakan masih belum seluruhnya mengikuti garis kontur sesuai landskap yang ada sehingga bidang teras pada salah satu atau kedua sisi horizontalnya selalu menjadi parit dari bagian dasar teras yang lainnya. Hal ini jelas akan memperbesar terjadinya erosi yang tinggi meskipun terdapat bangunan terasnya. Pembuatan teras bangku atau teras gulud dengan standart desain dan bangunan yang baik disertai dengan penggunaan mulsa sisa tanaman dan atau tanaman penutup tanah dengan kerapatan tinggi pada lahan dengan kemiringan lebih dari 15% mutlak diperlukan agar degradasi lahan

(25)

tidak terjadi (erosi tidak melebihi erosi yang ditoleransikan) (Sinukaban, Suwardjo dan Barus, 2007).

Erwiyono (2008) menyebutkan bahwa dalam mengendalikan kesuburan fisik tanah pada pertanaman kopi di lahan miring dapat dilakukan dengan pembuatan rorak yang ke dalamnya dibenamkan bahan organik sisa tanaman (mulsa vertikal). Dengan cara ini permeabilitas tanah dapat meningkat dari 3,69 cm/jam (pada perlakuan mulsa secara tebar) menjadi 24,24 cm/jam pada perlakuan mulsa yang dibenamkan kedalam rorak sedalam 30-45 cm. Dengan demikian, tanah dapat lebih banyak menyerap air sehingga limpasan permukaan menjadi sangat kecil dan erosi dapat terkendali.

Pertanaman jeruk di Taiwan pada kemiringan lereng 28% yang diperlakukan dengan teknik konservasi berupa teras bangku datar dapat meniadakan erosi sama sekali (erosi = 0,0 ton/(ha.thn)) dari erosi sebesar 156,4 ton/(ha.thn) pada pertanaman jeruk dengan pengolahan tanah bersih. Pada perlakuan konservasi tanah yang lain seperti teras bangku miring menghasilkan erosi 6,54 ton/(ha.thn), penanaman rumput bahia rapat disertai pemberian mulsa erosinya sebesar 0,94 ton/(ha.thn) dan penanaman rumput bahia dalam strip di sertai pemberian mulsa erosinya hanya 2,8 ton/(ha.thn) (Liao and Wu dalam Haryati, 2008).

Selanjutnya Harper and El-Swaify dalam Haryati (2008) menyebutkan bahwa besarnya erosi pada pola pertanaman jagung-padi gogo-kedele dengan tanpa perlakuan teknik konservasi pada lahan dengan kemiringan 35% di Thailand menyebabkan erosi sebesar 155-284 ton/(ha.thn), sementara pada perlakuan teras bangku erosinya dapat ditekan menjadi 34-81 ton/(ha.thn). Pada pola pertanaman

(26)

padi gogo-jagung-sayuran yang tidak diberi tindakan konservasi tanah menyebabkan erosi sebesar 136 ton/(ha.thn) sedangkan pada pola pertanaman yang sama yang disertai teknik konservasi berupa teras gulud, erosinya dapat ditekan menjadi 89 ton/(ha.thn).

2.1.6. Laju Erosi Ditoleransikan (T)

Laju erosi yang masih dapat dibiarkan atau ditoleransikan agar terpelihara suatu kedalaman tanah yang cukup bagi pertumbuhan tanaman/tumbuhan yang memungkinkan tercapainya produktivitas yang tinggi secara lestari disebut erosi yang masih dapat dibiarkan atau ditoleransikan yang diberi lambang T. Batas tertinggi erosi yang masih dapat dibiarkan kadang-kadang dapat juga ditetapkan dengan tujuan utama untuk pengendalian kualitas air atau untuk mengendalikan laju pendangkalan waduk (Arsyad, 2006).

Besarnya erosi ditoleransikan (T) secara sederhana dapat dikatakan bahwa tidak boleh melebihi proses pembentukan tanah. Sebagai bahan perbandingan ditentukan laju erosi yang masih dapat ditoleransikan untuk setiap penggunaan lahan yang sedang diukur tingkat bahaya erosinya (Utomo, 1989).

2.1.7. Tingkat Bahaya Erosi (TBE)

Asdak, 1995 menyatakan bahwa keberhasilan pelaksanaan program konservasi tanah salah satu informasi penting yang harus diketahui adalah tingkat bahaya erosi (TBE) dalam suatu DAS atau sub-DAS yang menjadi kajian. Dengan mengetahui TBE suatu DAS atau masing-masing sub-DAS, prioritas rehabilitasi tanah dapat ditentukan.

(27)

Tingkat bahaya erosi pada dasarnya dapat ditentukan dari perhitungan nisbah antara laju erosi tanah (A) dengan laju erosi erosi yang masih ditoleransikan.

Batas Toleransi Erosi adalah batas maksimal besarnya erosi yang masih diperkenankan terjadi pada suatu lahan. Besarnya batas toleransi erosi dipengaruhi oleh kedalaman tanah, batuan asal pembentuk tanah, iklim, dan permeabilitas tanah. Evaluasi bahaya erosi merupakan penilaian atau prediksi terhadap besarnya erosi tanah dan potensi bahayanya terhadap sebidang tanah. Evaluasi bahaya erosi ini didasarkan dari hasil evaluasi lahan dan sesuai dengan tingkatannya. Menurut Arsyad (2000) evaluasi bahaya erosi atau disebut juga tingkat bahaya erosi ditentukan berdasarkan perbandingan antara besarnya erosi tanah aktual dengan erosi tanah yang dapat ditoleransikan (tolerable soil loss). Untuk mengetahui kejadian erosi pada tingkat membahayakan atau suatu ancaman degradasi lahan atau tidak, dapat diketahui dari tingkat bahaya erosi dari lahan tersebut.

Tingkat Bahaya Erosi dikategorikan ke dalam sangat ringan hingga sangat berat. Pada tanah dengan solum dalam (kedalaman >90 cm) seperti pada wilayah kajian, tingkat bahaya erosi dikatakan sangat ringan (SR) bila jumlah erosi < 15 ton/(ha.thn), ringan (R) bila jumlah erosi antara 15-60 ton/(ha.thn), sedang (S) bila jumlah erosi 60-180 ton/(ha.thn), berat (B) bila jumlah erosi 180-480 ton/(ha.thn) dan sangat berat (SB) bila erosinya > 480 ton/(ha.thn) (Saptarini, dkk, 2007).

Dari hasil penelitian yang dilakukan diperoleh nilai tingkat bahaya erosi yang tinggi (berat) hingga sangat tinggi (sangat berat) sebagaimana terjadi pada kawasan hutan di DTA Waduk Sempor Kabupaten Jawa Tengah (Ariyanto, et al, 2008).

(28)

Erosi ditoleransikan (diperkenankan) pada pertanaman tumpang sari sengon dengan kopi di wilayah tersebut cukup tinggi bila dibandingkan erosi yang masih dapat diperkenankan pada lahan tegalan yang digunakan untuk pertanaman jagung sebesar 25,2 ton/(ha.thn) (Supangat dan Savitri, 2001).

2.2. Kondisi Umum DAS Wampu

Secara geografis Daerah Aliran Sungai Wampu terletak antara 02º58’51”– 04º36’00” Lintang Utara dan 97º 48’ 03” – 98º38’50” Bujur Timur dengan luas sekitar 410714,75 hektar atau 4107,15 Km2 (BP-DAS Wampu Sei Ular, 2008). Sedangkan menurut administratif terletak di Kabupaten Langkat, Karo, Deli Serdang, Simalungun dan Kota Binjai Provinsi Sumatera Utara (Gambar 2), dengan batas-batas wilayah sebagai berikut (Misran, 2008; BP-DAS Wampu Sei Ular, 2008): Sebelah Utara berbatas dengan Selat Malaka

Sebelah Selatan berbatas dengan DAS Lau Renun dan DTA Danau Toba Sebelah Timur berbatas dengan DAS Belawan, Deli, Percut dan Ular Sebelah Barat berbatas dengan Provinsi NAD

Daerah Aliran Sungai (DAS) Wampu dengan luas 410.714,75 hektar tersebut terbagi ke dalam 4 (empat) wilayah Sub DAS (Gambar 2) yaitu (BP DAS WU, 2008): (a). Sub DAS Wampu Hulu seluas 204.679,85 hektar (49,83%); (b). Sub DAS Sei Bingei seluas 79.046,91 hektar (19,25%); (c). Sub DAS Wampu Hilir seluas 32.737,53 hektar (7,97%), (d). Sub Das Lau Biang seluas 94.250,45 hektar (22,95%).

(29)

Wilayah kecamatan yang masuk ke dalam DAS Wampu meliputi 16 kecamatan di Kabupaten Karo, 11 kecamatan di Kabupaten Langkat, 2 kecamatan di Kabupaten Deli Serdang, 2 kecamatan di Kabupaten Simalungun, dan 5 kecamatan di Kota Binjai (Tabel 1).

Sementara wilayah kecamatan yang masuk ke dalam Sub DAS Lau Biang sebanyak 19 kecamatan dengan luas wilayah masing-masing sebagaimana disajikan pada Tabel 2.

Dari segi kemiringan lereng, bentuk lahan dominan di DAS Wampu adalah agak curam hingga sangat curam (kemiringan > 26%) selaus 282.179,86 hektar atau 68,7% dari luas DAS Wampu. Bentuk kemiringan lereng lainnya berikut luasnya disajikan pada Tabel 3.

Tabel 1. Luas Wilayah Kecamatan, Kabupaten dan Kota yang Masuk ke dalam DAS Wampu Luas Kecamatan/Kabupaten Ha % Kabupaten Karo: 1. Barus Jahe 2. Berastagi 3. Dolat Rakyat 4. Kaban Jahe 5. Lau Baleng 6. Mardingding 7. Merdeka 8. Merek 9. Munte 10. Namanteran 11. Payung 12. Kuta Buluh 13. Tiga Binanga 14. Tiganderket 15. Tiga Panah 16. Simpang Empat Jumlah Kabupaten Langkat: 1. Bahorok 2. Binjai 9548,74 2341,99 2042,32 4311,29 3026,28 12808,45 2540,34 12130,48 7901,31 7698,06 3071,95 23457,62 6333,69 12247,33 9516,64 7281,31 126257,80 103357,41 2918,01 2,32 0,57 0,50 1,05 0,74 3,12 0,62 2,95 1,92 1,87 0,75 5,71 1,54 2,98 2,32 1,77 30,73 25,17 0,71

(30)

3. Hinai 4. Kuala 5. Salapian 6. Secanggang 7. Sei Bingei 8. Selesai 9. Tanjung Pura 10. Wampu 11. Stabat Jumlah Kota Binjai: 1. Binjai Barat 2. Binjai Kota 3. Binjai Selatan 4. Binjai Timur 5. Binjai Utara Jumlah Kabupaten Simalungun: 1. Dolok Silau 2. Silimakuta Jumlah Kabupaten Deli Serdang:

1. Kutalimbaru 2. Sunggal Jumlah 3791,08 21379,31 48314,93 12985,46 33029,15 16468,91 6969,22 6225,41 4894,16 260333,10 1236,61 429,99 3033,75 766,49 540,74 6007,58 4933,66 6872,22 11805,88 6265,20 45,21 6310,41 0,92 5,21 11,76 3,16 8,04 4,01 1,70 1,52 1,19 63,39 0,30 0,10 0,74 0,19 0,13 1,46 1,20 1,67 2,87 1,53 0,01 1,54 Jumlah 410714,75 100,00

Sumber: BP-DAS Wampu Sei Ular (2008)

Tabel 2. Luas wilayah kecamatan pada Sub DAS Lau Biang

Kecamatan Luas (Ha) % dari luas Sub DAS Lau Biang

1. Silimakuta 6872,220 7,29 2. Dolok Silau 4933,664 5,23 3. Merek 12130,468 12,87 4. Barus Jahe 9548,745 10,13 5. Tiga Panah 9516,642 10,10 6. Kabanjahe 4311,296 4,57 7. Dolatrakyat 2042,315 2,17 8. Bersatagi 2341,986 2,48 9. Simpang Empat 7281,310 7,73 10. Merdeka 2366,886 2,51 11. Namanteran 7523,418 7,98 12. Munthe 7901,312 8,38 13. Payung 3071,953 3,26 14. Tiganderket 9283,204 9,85 15. Kuta Buluh 2863,562 3,04 16. Tiga Binanga 2185,782 2,32 17. Kutalimbaru 1,374 0,001 18. Salapian 24,847 0,03 19. Sei Bingei 49,473 0,05

Luas Sub DAS Lau Biang 94.250,454 100,00

Sumber: BP-DAS Wampu Sei Ular (2008). Lanjutan Tabel 1

(31)

Curah Hujan di kawasan Daerah Aliran Sungai Wampu antara 1.154,5 mm/thn sampai 4.127,2 mm/tahun. Debit sungai di DAS Wampu sebesar 180 m³/detik. Sedangkan penutupan lahan (Land Cover) DAS Wampu disajikan pada Tabel 4.

Tabel 3. Kelas Kemiringan Lereng di Kawasan DAS Wampu

No Lereng (%) Bentuk Lahan Ha %

1 < 2 Datar 30851,025 7,51 2 2 – 8 Landai 27809,410 6,77 3 9-15 Bergelombang 67114,834 16,34 4 16-25 Berbukit 2759,617 0,67 5 26-40 Agak Curam 104853,056 25,53 6 41-60 Curam 77465,902 18,86 7 > 60 Sangat Curam 99860,902 24,31 Jumlah 410714,747 100,00

Sumber: BP-DAS Wampu Sei Ular (2008).

Permasalahan khusus di DAS Wampu antara lain adalah:

(1) Banyaknya penggarapan-penggarapan liar di era reformasi, sehingga banyak lahan hutan yang rusak dan beralih fungsi di daerah hulu saat ini, sehingga dapat menimbulkan besarnya sedimentasi di daerah hilir;

(2) Pola usaha tani yang kurang mengikuti kaedah konservasi tanah di Sub DAS Lau Biang (tanaman hortikultural) Kabupaten Karo;

(3) Pada bagian hilir DAS adalah terjadinya penyempitan dan pendangkalan sungai di Sub DAS Wampu Hilir, Sub DAS Bingei Kabupaten Langkat dan Kota Binjai (Misran, 2008).

(32)

Tabel 4. Jenis dan Luas Penggunaan Lahan di Setiap Sub DAS dalam Kawasan DAS Wampu

No Sub Das Penggunaan Lahan Ha %/Kec.

1 Lau Biang Belukar 985,451 1,05

Danau/air 123,127 0,13

Hutan Tanaman Industri 1069,320 1,13

Hutan lahan kering sekunder 9710,761 10,30

Pemukiman 504,698 0,54

Pert. lahan kering campur semak 805,643 0,85

Pertanian lahan kering 80169,822 85,06

Sawah 567,371 0,60

Terbuka 314,261 0,33

94.250,454 100,00

2 Sei Bingei Belukar 2706,732 3,42

Hutan lahan kering sekunder 12589,229 15,93

Pemukiman 3605,944 4,56

Perkebunan 11830,809 14,97

Pert. lahan kering campur semak 30411,443 38,47

Pertanian lahan kering 15494,856 19,60

Rawa 20,249 0,03

Sawah 1711,881 2,17

Terbuka 675,768 0,85

79046,911 100,00

3 Wampu Hilir Belukar 2199,217 6,72

Hutan belukar rawa 5111,674 15,61

Hutan mangrove sekunder 18,732 0,06

Pemukiman 1222,289 3,73

Perkebunan 4234,642 12,94

Pert. lahan kering campur semak 7914,319 24,17

Pertanian lahan kering 5960,24 18,21

Rawa 261,864 0,80

Sawah 1529,18 4,67

Tambak 3753,854 11,47

Terbuka 531,517 1,62

32737,528 100,00

4 Wampu Hulu Belukar 9883,575 4,83

Danau/air 7,167 0,004

Hutan lahan kering primer 40837,661 19,95

Hutan lahan kering sekunder 63941,95 31,24

Pemukiman 389,488 0,19

Perkebunan 24605,028 12,02

Pert. lahan kering campur semak 43683,562 21,34

Pertanian lahan kering 17639,344 8,62

Sawah 2444,487 1,19

Terbuka 1247,592 0,61

204679,854 100,00

Total DAS Wampu 410714,747

Gambar

Gambar 1. Laju Deforestasi Versus Laju Rehabilitasi (Hutabarat, 2008)  Menurut  Hutabarat,  (2008),  terdapat  tiga  faktor  utama  penyebab  degradasi  DAS-DAS di Indonesia, yaitu:

Referensi

Dokumen terkait

Katekismus Heidelberg menegaskan bahwa penghiburan sejati berupa pengharapan yang pasti dan tidak berubah hanya di dalam Kristus yang telah menebus orang percaya

Disamping itu, manfaat atau pentingnya pembuatan neraca awal yaitu dapat memberikan informasi yang jelas kepada Pemerintah Kabupaten Belu (Manajemen Pemerinatah

Definisi laporan keuangan dalam akuntansi bank syariah adalah laporan keuangan yang menggambarkan fungsi bank Islam sebagai investor, hak dan kewajibannya, dengan

Tujuan dari penelitian tugas akhir ini adalah melakukan analisis teoritis dan simulasi untuk menemukan pengaruh variasi geometri die pada tegangan penarikan kawat dengan

Hal ini dapat diketahui dari responden beberapa penduduk baik yang bekerja disektor industri maupun non industri, yang mana untuk penduduk yang bekerja disektor industri

berarti Penawaran Umum Terbatas III Kepada Para Pemegang Saham Dalam Rangka Penerbitan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (“HMETD) Untuk Membeli Saham Biasa Atas Nama Disertai

Dari slip upah tersebut maka bagi kartu jam kerja yang mencatat upah dan merekap serta menghitung keseluruhan total upah, dari total produksi setiap harinya dan untuk

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi dan masukan bagi perusahaan e-commerce khususnya Lazada untuk mengetahui pengaruh dari kualitas