• Tidak ada hasil yang ditemukan

Permasalahan Pidana Uang Pengganti Terkait Teori Pemidanaan, Berdasarkan Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Permasalahan Pidana Uang Pengganti Terkait Teori Pemidanaan, Berdasarkan Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Permasalahan Pidana Uang Pengganti Terkait Teori Pemidanaan,

Berdasarkan Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Rizkisyah Karoen Nasution1, Gandjar Laksmana Bonaprapta2 Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Indonesia

Email: rizkisyah.karoen@windowslive.com

Abstrak

Skripsi ini akan membahas mengenai arti, baik secara konsep maupun tujuan dari pidana uang pengganti yang akan dianalisis dengan menggunakan teori pemidanaan yang ada dalam hukum pidana Indonesia. Pengembalian kerugian negara melalui penjatuhan pidana uang pengganti diatur dalam Pasal 18, dengan berbagai permasalahan yang mengakibatkan terpidana untuk lebih memilih pidana penjara subsider daripada memenuhi tuntutan pidana uang pengganti. Hal ini mengakibatkan lambatnya pertumbuhan Indonesia sebagai negara berkembang, karena keuangan negara yang diharapkan dapat kembali melalui penjatuhan pidana uang pengganti tidak dapat terwujud. Penelitian dengan judul Permasalahan Pidana Uang Pengganti Terkait Teori Pemidanaan, Berdasarkan Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang diarahkan pada hukum positif untuk kemudian dikaitkan dengan teori pemidanaan. Penelitian ini menjelaskan mengenai konsep dan tujuan dari pidana uang pengganti beserta pidana penjara subsider yang melekat kepadanya, dan dipaparkan permasalahan yang terkait dengan pencapaian tujuan pemidanaan dari pidana uang pengganti.

The Proposition of The Compensatorial-Money Punishment in Relation With The Theory of Crime and Punishment, based upon Statutory No. 31 of 1999 about

The Eradication of Corruption Abstract

This article will discuss about the meaning, both in concept and purpose of the Compensatorial-Money Punishment which will be analyzed by using the theory of crime and punishment as they lived under the Indonesian criminal law. The effort of returning the state losses through the compensatorial-money punishment is provided with the Article 18, with those variety of problems that leads the convict in prefer for the subsidiary-imprisonment than meet the obligation of the compensatorial-money punisment. This has resulted a slow growth of Indonesia as a developing country, where the evaporated state finances that once were expected to be return through the imposition of the compensatorial-money punishment can’t possibly be realized. This study which titled The Proposition of The Compensatorial-Money Punishment in Relation With The Theory of Crime and Punishment, based upon Statutory No. 31 of 1999 about The Eradication of Corruption is done by using a normative juridical research that aimed at the positive law for later be associated with the theory of crime and punishment. This study describes both about the concept and purpose of the compensatorial-money punishment and the subsidiary-imprisoment that attached to it, and described the problems that associated with the achivement of the objectives of the compensatorial-money punishment.

Keywords: Punishment, The Objective of Punishment, Compensatorial-Money Punishment, Subsidiary-Imprisonment Punishment.

1 Mahasiswa, Program Studi Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2 Pembimbing, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

(2)

Pendahuluan

Pidana (pemidanaan) merupakan komponen paling mendasar dalam kajian hukum pidana. Bahkan tidak berlebihan kalau digambarkan bahwa hukum pidana tanpa pidana, bukanlah hukum pidana. Ditegaskan, meskipun ada perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana, apalah artinya kalau tidak ada “pidana”. Itulah sebabnya seringkali dinamakan hukum pidana sebagai hukum sanksi yang istimewa.3

Menurut Sudarto, sejarah hukum pidana pada hakekatnya yang hakiki adalah sejarah dari pidana dan pemidanaan itu sendiri. Pidana yang termasuk juga tindakan (maatregel,

masznahme), bagaimanapun merupakan suatu penderitaan atau suatu rasa tidak enak oleh

yang dikenai. Oleh karena itu orang tidak henti – hentinya untuk mencari dasar, hakekat dan tujuan pidana dan pemidanaan, untuk memberikan alasan pembenar dari pidana itu.4 Karena

sebuah tujuan dari sebuah pidana ataupun pemidanaan akan menjadi dasar pembenar yang utama dalam pelaksanaannya, dimana nantinya akan didampingi bersamaan dengan filsafat, serta jenis pemidanaannya.

Sejatinya tujuan dari suatu pidana bersumber dari teori pemidanaan, sebagaimana pula seharusnya hidup dalam setiap jenis pemidanaan, dan tidaklah terbatas pada undang – undang pidana umum seperti KUHP. Namun juga harus hidup dalam setiap perundang – undang pidana yang khusus, dan sudah sepatutnya tujuan ataupun teori pemidanaan tersebut dapat lebih jelas terlihat dan lebih berkesesuaian dengan jenis tindak pidana yang diatur didalamnya.

Seperti halnya dalam Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sudah selayaknya tujuan dan teori pemidanaan tetap hidup didalamnya. Terlebih bagi indonesia, pendekatan hukum pidana sebagai salah satu instrumen dalam memerangi korupsi masih menjadi pilihan utama,5 sehingga dalam usahanya

memberantas korupsi diperlukan jenis pemidanaan yang tepat dengan tujuan dan teori pemidanaan yang sesuai dengan tujuan pemberantasan tindak pidana korupsi.

3 Andi Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, (Jakarta:

Akademika Pressindo, 1983), hal. 19.

4 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), hal. 30.

5 Ismansyah, Penerapan dan pelaksanaan Pidana Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi, Jurnal

(3)

Dikerenakan korupsi yang telah nyata menggerogoti dan membahayakan keuangan dan perekonomian negara, maka jika bangsa ini tidak segera menyadari korupsi sebagai akar masalah, sampai kapan pun akan sulit bagi Indonesia untuk berkembang, dan keluar dari fase negara berkembang. Atas dasar pemikiran itulah maka Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung, Artidjo Alkotsar mengatakan terdapatnya semangat pengembalian aset negara didalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memiliki misi untuk mengembalikan uang negara. Dimana selain dibekali dengan ancaman pidana pokok penjara dan denda dengan minimum khusus. UU No. 31 Tahun 1999 juga dibekali dengan pidana tambahan, hal ini seperti yang diatur dalam Pasal 17 jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa selain dapat dijatuhi pidana pokok, terdakwa dalam perkara korupsi dapat dijatuhi pidana tambahan, dimana salah satu bentuknya adalah pidana uang pengganti.

Hal ini menjadikan pidana uang pengganti sebagai nafas dalam menjalankan semangat pengembalian aset negara, dan sudah sepatutnya dilaksanakan semaksimal mungkin dengan mempertahankan tujuan pemidanannya.Disaat pidana denda dirasa tidak efektif karena disandingkan dengan pidana kurungan, maka lahirlah pidana tambahan uang pengganti yang disubsiderkan dengan pidana penjara. Secara eksplisit terlihat sudah tujuan pemidanaan yang mengedepankan pengembalian kerugian negara. Hal ini menjadi nyata mengingat dibutuhkannya keuangan negara yang sehat dalam melalui fase negara berkembang, serta menyelesaikan akar permasalahan dalam masalah kesejahteraan negara. Selain itu, Indonesia memiliki kepentingan untuk mendapatkan kembali uangnya yang telah dikorupsi dengan berdasarkan beberapa alasan yaitu:6  

1. Berdasarkan data kerugian negara dari berbagai sumber baik nasional maupun internasional menunjukkan Indonesia sebagai negara korban korupsi.

2. Dana atau aset yang dikorupsi adalah harta kekayaan negara Indonesia yang seharusnya diperuntukkan bagi pembangunan negara dan rakyat Indonesia demi meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Yang mana hal tersebut merupakan hak segenap rakyat Indonesia. Dengan adanya tindak pidana korupsi terhadap dana tersebut mengakibatkan terhambat, berkurangnya, bahkan hilangnya kesempatan rakyat Indonesia dalam hal menikmati haknya tersebut, bahkan menempati sebagian besar rakyat Indonesia dibawah garis kemiskinan.

6 Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003

(4)

3. Negara memiliki kewajiban untuk melindungi dan menciptakan kesejahteraan bagi rakyat, yang salah satunya pos dana-nya dapat diambil dari dana alternative yaitu pengembalian uang hasil korupsi.

4. Pengembalian uang hasil korupsi memiliki makna preventif (pencegahan) dan represif. Makna preventif terlihat pada pengungkapan kepada publik bahwa tidak ada tempat yang aman untuk menyembunyikan uang hasil korupsi dan negara pasti akan berusaha untuk mendapatkan lagi uang negara yang dikorupsi. Makna represif terlihat pada pemidanaan para pelaku tindak pidana korupsi untuk mengembalikan kerugian negara.

Namun pula dalam pelaksanaannya, terdapat permasalahan – permasalahan yang menyebabkan pemidanaan uang pengganti tidak sesuai dengan tujuan dan semangat yang dimilikinya karena masih ada kekurangan. Hal ini menyebabkan keuangan negara yang diharapkan dapat kembali untuk kemudian dimanfaatkan, menjadi hilang. Sama halnya dengan tidak tercapainya tujuan pemidanaan dari pidana uang pengganti, beserta munculnya beberapa implikasi lainya.

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan, maka terdapat beberapa pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian, yaitu:

1. Apakah tujuan pemidanaan dari pidana uang pengganti yang diatur oleh Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan teori pemidanaan?

2. Apakah pidana uang pengganti sudah sejalan dengan tujuan pemidanaannya berdasarkan Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?

Berdasarkan latar belakang serta pokok permasalahan di atas, maka tujuan dari pembahasan dalam peneltian ini adalah sebagai berikut:

1. Memahami secara penuh dan menyeluruh atas asal – usul serta konsep dan tujuan dari pidana uang pengganti.

2. Mendapatkan titik terang terhadap tidak seimbangnya jumlah pidana uang pengganti dengan subsider penjaranya.

3. Mencari jalan keluar terhadap berbagai problematika pidana uang pengganti agar kembali sejalan dengan teori dan tujuan pemidanaannya.

(5)

Tinjauan Teoretis

A. Tujuan Pemidanaan di Indonesia

Kebijakan menetapkan sanksi pidana sebagai bagian dari usaha penanggulangan kejahatan tidak dapat dilepaskan dari tujuan negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum dengan berlandaskan pada Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945. Dalam konsep yang sedemikian rupa, maka sudah menjadi tugas negara di satu pihak untuk melindungi dan mensejahterakan masyarakat pada umumnya dari perbuatan – perbuatan jahat, dan di lain pihak pula berarti melindungi dan mensejahterakan si pelaku kejahatan. Hal ini berarti pemidanaan di Indonesia ialah berada dalam konsepsi yang bertujuan:

“untuk melindungi dan mensejahterakan masyarakat sekaligus juga mengandung pengertian untuk melindungi, memperbaiki, mendidik, dan mensejahterakan si pelaku kejahatan itu sendiri”7

Berkaitan dengan tujuan pemidanaan di Indonesia, Muladi mengemukakan bahwa Indonesia ialah tepat apabila menganut aliran gabungan. Ia berpendapat bahwa pandangan yang bersifat pembalasan tidak perlu ditonjolkan secara eksplisit karena dianggap sudah

implied/terwakilkan pada tujuan pemidanaan yang lainnya. Yang perlu ditonjolkan adalah

sifat pencegahan umum demi perlindungan masyarakat, perbaikan pelaku, kedamaian masyarakat, dan rasa bebas bersalah dari terpidana.8

Di lain pihak, Tongat9 berpendapat yang pada intinya sejalan dengan pendapat Muladi. Ia menyatakan bahwa di Indonesia, teori pemidanaan yang paling cocok digunakan dalam sistem hukum pidana Indonesia ialah suatu gabungan atau kombinasi tujuan pemidanaan yang didasarkan pada aspek sosiologis, ideologis, dan yuridis filosofis dari masyarakat indonesia itu sendiri. Beliau mengemukakan bahwa teori pemidanaan ini disebut dengan Teori Pemidanaan Integratif (Kemanusiaan dalam Sistem Pancasila), suatu tujuan pemidanaan yang sedemikian didasarkan pada asumsi bahwa suatu delik merupakan manifestasi dari gangguan terhadap pengimbangan / keseimbangan.

7 Barda Nawawi Arief (a), Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara,

(Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1996), hal. 6 – 7.

8 Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit

Universitas Diponegoro, 2002), hal. 154.

9 Tongat, Pidana Seumur Hidup Dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia, Cet. 1, (Jakarta: Universitas

(6)

Dan untuk mewujudkan tujuan pemidanaan yang integratif, seperangkat pemikiran dan tujuan tersebut haruslah terpenuhi dengan catatan bahwa tujuan manakah yang menjadi titik berat dan harus bersifat kasuistis. Dengan pola pikir seperti itu, maka pada akhirnya pemenuhan salah satu tujuan pemidanaan tidak boleh menghilangkan /mengabaikan tujuan pemidanaan yang lain. Namun sejatinya dalam hukum positif Indonesia saat ini, belum ada perumusan tentang tujuan pemidanaan secara gamblang. Selama ini penafsiran dan pencarian mengenai tujuan pemidanaan di Indonesia hanya dan masih bersifat teoritis.

Pada akhirnya melalui pendapat Romli Atmasasmita,10 ia menegaskan bahwa perumusan empat tujuan pemidanaan dalam Rancangan KUHP Nasional telah memiliki kesimpulan bahwa terdapatnya pandangan social deffence, pandangan rehabilitasi dan resosialisasi terpidana, serta terdapatnya nafas hukum adat dan tujuan – tujuan yang bersifat spiritual berdasarkan pancasila.

B. Konsep dan Tujuan dari Pidana Uang Pengganti11

Sebelum membahas konsep dari suatu pemidanaan, konsep dari dibentuknya suatu undang – undang menjadi perihal pertimbangan yang utama. Terlebih pidana uang pengganti merupakan remedium utama dalam mengembalikan kerugian negara yang hilang akibat tindak pidana korupsi yang menjadi salah satu tujuan dari Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam penjelasan umum Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 disebutkan bahwa: “Undang – undang ini dimaksudkan untuk menggantikan Undang – Undang Nomor

3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diharapkan mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya”12

10 Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, (Bandung: Mandar Maju, 1995),

hal. 90.

11 Alamando Jefri, Masruchin dan Aprilianda, Efektivitas Pelaksanaan Pidana Pembayaran Uang

Pengganti Oleh Kejaksaan Dalam Tindak Pidana Korupsi, (Malang: Pasca Sarjana Universitas Brawijaya), hal

4. Pidana uang pengganti bukanlah jenis pidana yang baru, karena sejak tahun 1960-an jenis pemidanaan ini telah dikenal dalam Undang – Undang Nomor 24 Prp. Tahun 1960 mengenai Tindak Pidana Korupsi meskipun dengan kualifikasi nama yang berbeda. Istilah pidana uang pengganti disebut juga dengan “membayar uang pengganti yang jumlahnya sama dengan harta-benda yang diperoleh dari korupsi”.

12 Penjelasan Atas Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan

(7)

Kemudian diterangkan pula bahwa tindak pidana korupsi dalam Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil, sehingga pelaku tindak pidana korupsi tetap akan diajukan ke pengadilan dan tetap dapat dipidana meskipun hasil korupsi telah dikembalikan, berlawanan dengan sebagaimana yang dahulu diatur oleh Undang – Undang No. 3 Tahun 1971 yang menekankan pada unsur timbulnya kerugian negara. Situasi dengan pengaturan UU No. 3 tahun 1971 menjadikan korupsi sebagai suatu delik yang tidaklah ditakuti karena terdapat celah dimana para pelaku tidak dapat diberikan pidana, sehingga permasalahannya hanya terletak pada sejauh mana korupsi pada masa itu dapat diketahui dan ditangani. Karena apabila seseorang mengetahui bahwa dirinya diselidiki, ia akan mengembalikan hasil korupsinya sehingga dirinya tidak dipidana. Hal tersebut karena perumusan tindak pidana pada masa UU No. 3 Tahun 1971 dalam praktik sering diartikan sebagai delik materiil yakni delik yang selesai jika telah timbul akibat yaitu merugikan keuangan atau perekonomian negara.13

Melalui hasil penelitian terhadap Risalah Rapat Undang – Undang No. 31 Tahun 1999, maka dapat dikatakan bahwa konsep dari pidana tambahan uang pengganti ialah suatu pemidanaan dengan karakteristik over penalization yang sedemikian dirancang untuk menciptakan suatu tekanan psikologis dengan diberikannya peringatan melalui pidana penjara subsider yang menjadi stressing dalam menegakkan pidana uang pengganti, sebagai terobosan baru untuk memenuhi tujuan pemidanaannya dalam tekad memberantas tindak pidana korupsi. Mengenai tujuan pemidanaan dari pidana tambahan uang pengganti akan dijelaskan berikut.

Suatu jenis pemidanaan ialah erat kaitannya dengan tujuan yang diembannya, dimana hubungan antara delik dengan sanksi apa yang akan dikenakan menjadi titik penting dalam pertimbangannya. Sehubungan dengan hal tersebut, Sudarto mengungkapkan bahwa perbuatan (delik) yang hendak diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana haruslah merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki yang pula mendatangkan kerugian (materiil maupun spiritual), dan semua itu ditujukan untuk kesejahteraan dan pengayoman masyarakat yang sejalan pula dengan tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur.14

13 Rancangan Penjelasan Atas Rancangan Undang – Undang Republik Indonesia Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi dari Pemerintah.

(8)

Dalam hal ini korupsi yang telah merugikan perekonomian dan keuangan negara dimana telah menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional, sudah sepatutnya disandingkan dengan jenis pemidanaan yang mengemban tujuan pemidanaan yang sepadan dengan kondisi yang diakibatkannya. Karena itulah arti penting dari pidana tambahan uang pengganti ialah untuk menyelamatkan, mengamankan, dan memulihkan kerugian atas keuangan negara.15

Berdasarkan penelitian terhadap Risalah Rapat Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 dan ditopang oleh teori yang bersifat tafsiran doktrinair terhadap pidana uang pengganti, maka ditetapkannya pidana uang pengganti dalam Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 merupakan suatu mekanisme pemidanaan yang dimaksudkan untuk memulihkan keseimbangan yang terganggu akibat suatu tindak pidana, agar suatu pidana dan pemidanaan menjadi efektif yang bertujuan untuk mengembalikan kerugian negara yang hilang akibat tindak pidana korupsi.

Dimana Bentham berpendapat bahwa suatu hukuman tanpa ada ganti rugi ternyata tidaklah efektif karena masyarakat masih tercekam oleh begitu banyaknya kekhawatiran yang timbul berkaitan dengan tidak terpulihkannya akibat atau kerugian yang diderita oleh korban kejahatan,16 dalam hal ini negara yang menjadi korban. Lanjut ia mengatakan, selama ganti rugi gagal terpenuhi maka kejahatan tetap berada pada tingkat yang sama tanpa ada pemulihan.17

Metode Penelitian

Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif dimana penulis mengarahkan penelitian pada hukum positif dan norma tertulis,18 juga terhadap asas hukum. Penelitian yang dilakukan penulis adalah penelitian fact

finding-problem solution,19 yang bertujuan untuk menemukan fakta lalu kemudian mengatasi masalah

yang ada.

15 Dedyng Wibiyanto Atabay, “Pidana Tambahan Pembayaran Uang Pengganti Atas Kerugian Keuangan

Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi”, (Tesis Magister Universitas Indonesia, Jakarta: 2005), hal. 80.

16 Jeremy Bentham, diterjemahkan oleh Nurhadi, Teori Perundang – undangan (Prinsip – Prinsip

Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana), (Bandung: Nusamedia & Nuansa, 2006). hal. 317 – 318.

17 Ibid., hal. 319.

18 Sri Mamudji, et. al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, 2005), hal. 10.

(9)

Sesuai dengan metode yang digunakan, maka jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data sekunder yang diperoleh melalui bahan-bahan kepustakaan dan dokumentasi, juga didukung dengan wawancara narasumber. Penulis mewawancarai beberapa narasumber yaitu Prof. Andi Hamzah sebagai perumus dari Undang – Undang No. 31 Tahun 1999, Bpk. Asri Agung dari pihak JAMPIDSUS sebagai eksekutor dan penuntut umum, serta Bpk. Gusrizal selaku Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Hakim Tinggi Kresna Menon pada Pengadilan Tinggi Jakarta, dimana para narasumber merupakan pihak yang terkait dengan permasalahan dan sedang giat dalam membahas permasalahan yang terdapat dalam Pidana Uang Pengganti. Penelitian akan dilaksanakan di daerah DKI Jakarta dan sekitarnya agar mempermudah penulis untuk mendapatkan data yang dibutuhkan dalam proses penelitian.

Bahan hukum yang digunakan mencakup bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan. Untuk menjelaskan bahan hukum primer tersebut digunakan pula bahan hukum sekunder berupa buku-buku, skripsi, tesis, disertasi, jurnal dan artikel-artikel dari surat kabar dan internet. Sedangkan untuk penunjang digunakan bahan hukum tersier berupa kamus dan literatur tambahan lainnya.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan alat pengumpulan data berupa studi dokumen dan wawancara. Studi dokumen menggunakan penelitian kepustakaan, dan wawancara dilakukan terhadap narasumber yang memiliki latar belakang pendidikan hukum dan juga aktif dalam isu terkait, serta berprofesi sebagai aparat hukum atau akademisi sehingga dapat menjelaskan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan penulis. Sedangkan untuk Metode Analisis Data menggunakan pendekatan kualitatif yakni suatu prosedur yang mengembangkan konsep, pemikiran, dan pemahaman dari pola-pola yang sudah ada.20

Hasil Penelitian

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, tujuan pemidanaan dari pidana uang pengganti adalah untuk mengembalikan kerugian negara dengan tujuan pemidanaan yang bersifat represif. Dan selama penelitian berlangsung, disimpulkan bahwa pidana uang pengganti dimanfaatkan dengan kurang sejalan / sesuai dengan tujuan pemidanaannya yang bersifat represif tersebut.

(10)

Pembahasan

Mengawali analisa dalam bab ini, ingin dikemukakan bahwa problema pada penegakan hukum pidana merupakan masalah yang tidak sederhana, bukan saja karena kompleksitas sistem hukum itu sendiri terutama sistem peradilan pidana yang meliputi aspek substansi, struktur dan kultur,21 tetapi juga rumitnya jalinan hubungan antar sistem hukum dengan sistem sosial, politik, dan ekonomi, dan budaya masyarakat, termasuk status lembaga penegak hukum sebagai suatu organisasi birokratis. Problema tersebut juga berkaitan dengan karakteristik penegakan hukum pidana yang dilaksanakan oleh lembaga hukum tertentu yang telah ditentukan secara limitatif berdasarkan undang – undang dan bersifat open system.22 Sehubungan dengan argumentasi diatas, maka pembahasan permasalahan pidana tambahan uang pengganti akan dilihat dari aspek substansi yaitu permasalahan yang terkait dengan kebijakan hukum pidana, kemudian juga aspek struktur yaitu konteks organisasi lembaga penegak hukumnya, dan aspek kultur yang termasuk masyarakat didalamnya.

Secara eksplisit permasalahan substantif yang ada pada pidana uang pengganti berdasarkan Pasal 18 Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 ialah sifat fakultatif dari upaya sita lelang yang menempati tahap pertama dalam pemenuhan uang pengganti dimana seharusnya bersifat imperatif. Namun dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa permasalahan utama yang berkenaan langsung dengan pencapaian tujuan pemidanaan uang pengganti ialah permasalahan yang terkait dengan pidana penjara subsider, karena pidana penjara subsider merupakan faktor yang secara nyata menentukan keberhasilan pidana uang pengganti.

Berdasarkan pada permasalahan pidana uang pengganti yang telah dijelaskan, maka untuk memperbaiki, menjawab, dan sekaligus mewujudkan rasa keadilan masyarakat sebagai korban atas terjadinya tindak pidana korupsi, salah satu pendekatan yang dapat diambil ialah melalui pendekatan model kebijakan hukum pidana.

21 Bandingkan dengan Encyclopedia of Crime and Justice, Vol.2, editor Sanford H. Kadish yang

menyatakan bahwa Criminal Justice System (CJS) atau Sistem Peradilan Pidana dapat dilihat dari 3 aspek yang integral, yaitu sebagai sistem normatif (normative system); sebagai sistem administratif (administrative system); dan sebagai sistem sosial (social system), Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Sistem Penegakan Hukum

Dengan Pendekatan Religius Dalam Konteks Siskumnas dan Bankumnas, Makalah Seminar “Menembus

Kebuntuan Legalitas Formal Menuju Pembangunan Hukum dengan Pendekatan Hukum Progresif, FH. Undip, 19 Desember 2009. hal. 3. Bandingkan pendapat Barda Nawawi Arief (b), Pendekatan Keilmuan dan

Pendekatan Religius Dalam Rangka Optimalisasi dan Reformasi Penegakan Hukum (Pidana) di Indonesia,

(Semarang: Badan Penerbit Undip Semarang, 2011), hal. 45. Bahwa sistem peradilan penegakan hukum pada hakikatnya merupakan kesatuan sistem substansial, sistem struktural, dan sistem kultural.

22 Prof. Dr. Sunarto, Problematika Hukum Sanksi Pidana Uang Pengganti Dalam Perkara Tindak Pidana

(11)

Sebagai Lex Specialis,23 undang – undang pidana yang bersifat khusus seperti Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 tentu dapat lebih mudah diperbaharui. Melihat undang – undang pemberantasan korupsi saat ini yang merupakan perubahan dari Undang – Undang No. 3 Tahun 1971 yang juga merupakan perubahan dari sejak tahun 1960, maka perlu diperhatikan dengan seksama terhadap model kebijakan hukum yang akan dilekatan kepadanya, yang harus berbasiskan pada paradigma keadilan substansial yaitu mengutamakan kepentingan masyarakat.24

Namun terdapat beberapa permasalahan yang berkenaan langsung terhadap pencapaian tujuan pemidanaan dari pidana uang uang pengganti, yaitu permasalahan yang terkait pidana penjara subsider terhadap pencapaian tujuan pemidanaan uang pengganti. Pertama adalah permasalahan mengenai lamanya pidana penjara subsider yang dijatuhkan, yang bersinggungan langsung dengan permasalahan yang kedua yaitu kekosongan hukum mengenai pengaturan korelasi antara jumlah pidana uang pengganti dengan pidana penjara subsidernya yang menimbulkan beberapa akibat lainnya yang akan dibahas dalam sub – bab berikut.

A. Permasalahan Penjatuhan Lamanya Pidana Penjara Subsider

Mengingat tujuan pemidanaan dari uang pengganti adalah untuk mengembalikan kerugian negara, maka parameter keberhasilan dari pencapaian tujuan pemidanaan terhadap pidana uang pengganti ialah sejauh mana terpidana dapat memenuhi tuntutan pidana uang pengganti yang dibebankan kepadanya.

Setelah memahami tujuan dan sifat dari pidana penjara subsider terhadap pidana uang pengganti, maka dapat dikatakan bahwa lamanya pidana penjara subsider yang merupakan alat pemaksa bagi terpidana untuk membayar uang pengganti, merupakan kunci yang akan menentukan keberhasilan pidana uang pengganti yang diatur dalam Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 dalam mencapai tujuan pemidanaannya. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka penerapan pidana penjara subsider seharusnya diimplementasikan dengan mempertimbangkan dan mengindahkan harapan – harapan dari para pembuat undang – undang, yaitu dengan jumlah yang tinggi agar benar –benar terwujud sifat memaksa dan penekanan aspek psikologis yang ingin ditimbulkan dalam memenuhi pidana uang pengganti.

23 Adiwinata, Istilah Hukum Latin – Indonesia, cet. Ke-2, (Jakarta: PT. Intermasa, 1986), hal. 63. Artinya:

undang – undang khusus / istimewa.

(12)

Namun apabila dicermati dari beberapa putusan pengadilan, ternyata tidak ada keseimbangan antara uang pengganti yang dijatuhkan dalam jumlah yang besar, dengan subsider pidana penjara yang relatif rendah antara 6 (enam) bulan sampai dengan 2 (dua) tahun.25 Dengan fakta putusan pengadilan tersebut, terpidana lebih banyak memilih pidana penjara daripada membayar uang pengganti yang akhirnya kerugian negara tidak dapat ditarik melalui pidana tambahan uang pengganti.26 Seperti pada beberapa putusan pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,27 dimana terpidana lebih memilih subsider penjaranya sebagai berikut:

No. Terpidana Uang Pengganti Penjara Subsider 1. Drs. H. Zain Mansyur Rp. 16.378.000.000,00 1 (satu) Tahun 2. Ir. Adi Warsito Rp. 21.772.500.000,00 1 (satu) Tahun 3. Ir. H. A. Fattah Rp. 4.594.500.000,00 1 (satu) Tahun 4. Drs. Yusron Syarif Rp. 800.000.000,00 1 (satu) Tahun 5. Ismail Syaefudin Rp. 2.716.740.913,00 1 (satu) Tahun 6. Gunawan Budi H. Rp. 5.599.347.046,00 2 (dua) Tahun 7. Yudi Kartolo Rp. 55.227.742.098,00 2 (dua) Tahun

Bandingkan dengan beberapa putusan tindak pidana korupsi dimana terpidana memenuhi tuntutan pidana uang pengganti dibandingkan dengan menjalani subsider penjaranya sebagai berikut:28

No. Terpidana Uang Pengganti Penjara Subsider 1. Ir. Nurdin Hippy, M.M. Rp. 183.840.900,00 1 (satu) Tahun 6 (enam) Bulan 2. Dr. Thamrin Podungge Rp. 477.551.000,00 1 (satu) Tahun 3. Emilyan Mamuki, S.E. Rp. 177.500.000,00 1 (satu) Tahun 4

(empat) bulan 4. Asriyati Hudji, A.Md. Rp. 177.500.000,00 1 (satu) Tahun 4

(empat) bulan

25 Efi Laila Kholis, Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi, (Jakarta: Solusi Publishing,

2010), hal. 33.

26 Ibid.

27 Data Putusan Pengadilan tentang Uang Pengganti di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat pada Soemarno,

“Eksekusi Pembayaran Uang Pengganti Tindak Pidana Korupsi dalam Sistem Peradilan Pidana”, (Tesis Magister Universitas Indonesia, Jakarta: 2008), hal. 86.

28 Data Pidana Uang Pengganti yang dibayarkan terdakwa, Sie. Pidana Khusus bagian Tindak Pidana

Korupsi Kejaksaan Negeri Kota Gorontalo. Terhadap Terdakwa Emilyan dan Asriyati merupakan perbarengan namun dakwaan dipisahkan / splitsing oleh JPU.

(13)

Maka jelas bahwa permasalahan utama pencapaian tujuan pemidanaan dari pidana uang pengganti ialah mengenai lamanya pidana penjara subsider yang dijatuhkan. Jika lamanya pidana penjara subsider dijatuhkan dalam jumlah yang kecil atau yang tidak seimbang dengan jumlah pidana uang penggantinya seperti dalam beberapa contoh putusan diatas, maka pidana penjara subsider tersebut dapat dikatakan kehilangan sifat memaksanya yang semakin menjauhkan terpidana untuk membayar pidana uang pengganti, yang dapat dipandang sebagai parameter pencapaian tujuan pemidanaan dari pidana uang pengganti.

Berdasarkan pengaturan pada Pasal 18 ayat (3) Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 mengenai pidana penjara subsider yang diperbolehkan untuk mencapai 20 tahun, dan apabila kita kembali kepada tujuan utama dari Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 yaitu untuk mengembalikan kerugian negara, maka penulis berpendapat bahwa seharusnya penjatuhan lamanya pidana penjara subsider itu lebih tinggi daripada pidana penjara pada pidana pokok terutama terhadap tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian negara yang besar. Karena pengembalian kerugian negara yang merupakan fungsi represif dalam Undang – Undang No. 31 tahun 1999 harus lebih diutamakan dibandingkan dengan fungsi preventif yang diberikan melalui pemberian pidana penjara pada pidana pokok. Semua pihak yang sangat anti korupsi hendaknya mengingat, bahwa tindakan represif semata apalagi dilakukan dengan setengah hati tidak akan ada hasilnya.29

Apabila kita mencermati pengaturan mengenai pidana penjara subsider pada Undang – Undang No. 31 Tahun 1999, sebagai asas legalitas dalam undang – undang tidak menutup kemungkinan untuk memberikan pidana penjara subsider terhadap uang pengganti kepada seorang terpidana lebih tinggi dari pidana penjara pokok yang dijatuhkan.

Pola pikir ini perlu diutarakan karena lebih sesuai dengan tujuan represif yang ingin dicapai oleh Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 dan juga agar strategi pemberantasan tindak pidana korupsi tidak menitikberatkan pada pemberian pidana badan saja, namun pada optimalisasi pengembalian kerugian negara. Berkaitan dengan asas legalitas penjatuhan pidana penjara tersebut, pemberian pidana penjara yang dalam penelitian ini terkait pada pidana penjara subsider terhadap uang pengganti, maupun pidana penjara pokok, tetap harus mengingat dan mengacu pada Pasal 12 ayat (4) KUHP, bahwa pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada seseorang selama waktu tertentu sekali – kali tidak boleh melebihi 20 (dua

29 Andi Hamzah, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, (Jakarta: Sinar Grafika,

(14)

puluh) tahun. Sehingga tidak akan ada permasalahan apabila seorang jaksa dalam requisitor, atau hakim dalam putusannya yang menjatuhkan pidana penjara subsider terhadap uang pengganti lebih tinggi daripada pidana penjara pada pidana pokok, selama jumlah dari kedua jenis pidana penjara tersebut tidak melebihi 20 (dua puluh) tahun.

Konstruksi sebagaimana dimaksud tentunya akan lebih sesuai dengan cita – cita dari dibentuknya Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 yang bersifat represif, dibandingkan jika hanya mengutamakan dipidananya para pelaku tindak pidana korupsi melalui pidana pokok namun tidak tercapainya tujuan pengembalian kerugian negara. Hal ini sejalan dengan tujuan pemidanaan di Indonesia menurut Muladi,30 yaitu sifat pembalasan yang tidak perlu lagi ditonjolkan dan seharusnya pemidanaan itu lebih menonjolkan pada sifat pencegahan umum dan perbaikan demi perlindungan masyarakat.

B. Permasalahan Korelasi Antara Pidana Uang Pengganti Dengan Pidana Penjara Subsider

Salah satu permasalahan pidana uang pengganti terhadap pencapaian tujuan pemidanaannya ialah permasalahan kekosongan hukum mengenai pengaturan korelasi antara jumlah uang pengganti dengan pidana penjara yang disubsiderkan kepadanya. Sebagaimana dijelaskan bahwa pidana penjara subsider terhadap uang pengganti merupakan terobosan baru, maka tentu akan menimbulkan permasalahan dalam penegakkannya, dikarenakan belum adanya peraturan perundang – undangan yang mengatur mengenai prosedur pelaksanaan pidana uang pengganti secara lengkap yang terkait dengan perbandingan jumlah pidana uang pengganti terhadap lamanya pidana penjara subsider. Hal ini merupakan permasalahan yang sangat kasuistis, yaitu permasalahan terhadap terpidana yang membayar uang pengganti sebagaian atau membayar tidak secara penuh.

Permasalahan ini berkaitan dengan asas legalitas, bahwa tidak ada pengaturan mengenai pengurangan pidana penjara subsider dalam pengaturannya melalui Undang – Undang No. 31 Tahun 1999. Pola pikir seperti ini juga didasari oleh asas lex certa dan lex scripta31 atas bunyi dari sebuah putusan hakim, dimana apa yang berbunyi dalam suatu putusan hakim maka tidak dapat ditafsirkan lain selain penafsiran baku bahwa jaksa harus melaksanakan putusan sebagaimana adanya amar putusan hakim.32

30 Muladi, Op.Cit., hal. 154.

31 Adiwinata, Op.Cit., hal. 62. Artinya: asas kepastian hukum, dan asas hukum tertulis. 32 Kresna Menon, Wawancara, Selasa 23 Desember 2014.

(15)

Untuk menghormati asas kepastian hukum berdasarkan peraturan perundang – undangan yang berlaku, maka terhadap terpidana yang dijatuhi putusan dengan pidana uang pengganti dan tidak membayar secara penuh, maka seharusnya berdasarkan hukum ia tetap menjalani subsider penjaranya secara penuh. Karena belum ada pengaturan mengenai pengurangan pidana penjara subsider atas pembayaran dari sebagian pidana uang pengganti.

Sedangkan berlawanan dengan argumentasi diatas, jika memang seorang terdakwa sudah beritikad baik dan semampunya tanpa ada kebohongan atau tipuan bahwa harta bendanya memang tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti, apa ia juga tetap menjalani pidana penjara subsidernya secara penuh? Inilah yang menjadi permasalahan yang dapat dikatakan sangat kasuistis dan subjektif, namun tetap bersinggungan dengan pencapaian tujuan pemidanaan dari pidana uang pengganti.

Menanggapi argumentasi tersebut, pencipta dari asas legalitas yang berpandangan klasik yaitu Cesare Becaria menyatakan bahwa jika kita berdasar pada asas Nulla Poena Sine Lege,33 maka tidak ada penegak hukum dalam suatu penanganan tindak pidana yang berhak untuk menginterpretasikan lain, dan disaat suatu undang – undang telah disahkan maka harus dipandang dalam arti yang harfiah, sehingga dalam proses penegakan hukum pidana, para penegak hukum hanyalah bertugas untuk menentukan apakah seseorang dapat dikenakan suatu pidana atau tidak, bukan terhadap interpretasi pidana dan pemberian pidananya.34

Dengan berdasar pada Undang – Undang No. 31 Tahun 1999, maka penegakan pidana uang pengganti beserta pidana penjara subsidernya haruslah sebagaimana adanya dalam peraturan perundang – undangan. Hal ini perlu dimengerti untuk mendukung asas kepastian hukum terutama dalam usaha mengembalikan kerugian negara yang hilang akibat tindak pidana korupsi. Adanya permasalahan – permasalahan terhadap pidana uang pengganti terutama pada permasalahan yang bersifat kasuistis memang menimbulkan dilema, terutama terhadap rasa keadilan bagi terpidana. Namun dengan mengutamakan asas legalitas, mengedepankan tujuan dari suatu pemidanaan, serta menghormati semangat yang dileburkan oleh para pembuat Undang – Undang No. 31 Tahun 1999, maka lex dura sed tamen scripta.35

33 Cesare Beccaria, Of Crime and Punishment, (New York, Marsilio Publisher), hal. 15 – 18. Yang

diartikan bahwa tidak akan ada suatu delik jika delik tersebut tidak ditentukan oleh hukum (peraturan perundang – undangan), maka tidak ada pula pidana/hukuman selain yang ditentukan oleh hukum (peraturan perundang – undangan).

34 Ibid.

35 Adiwinata, Op.Cit., hal. 62. Artinya: jika undang – undang adalah keras, memang begitulah wajah

(16)

Kesimpulan

Setelah pemaparan teori dan penguraian beberapa analisa, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan guna menjawab pokok permasalahan, yaitu sebagai berikut :

1. Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan undang – undang represif, yang juga telah diuraikan bahwa tujuan pengembalian kerugian negara yang bersifat represif tersebut dilekatkan pada pidana tambahan uang pengganti, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 dan disubsiderkan dengan pidana penjara, yang merupakan perbedaan utama dari Undang – Undang No. 3 Tahun 1971. Hal ini merupakan bentuk keseriusan dan penyempurnaan dari para pembuat undang – undang dalam usaha pengembalian kerugian negara yang ingin dicapai oleh Undang – Undang No. 31 Tahun 1999, melalui pengaturan pidana uang pengganti yang disubsiderkan dengan pidana penjara dan bukanlah dengan pidana kurungan. Maka Pidana penjara subsider adalah kunci yang menentukan berat atau ringannya pidana uang pengganti. Dengan konsep dan tujuan sebagai berikut:

a) Sebagaimana rumusan pidana uang pengganti yang telah dirancang sedemikian berat karena disubsiderkan bukan dengan pidana kurungan melainkan pidana penjara dan pula dirumuskan untuk dapat mencapai 20 tahun, maka seharusnya pidana penjara subsider bagi pidana uang pengganti dimanfaatkan sesuai dengan konsep dan cita – cita para pembuat undang – undang agar semaksimal mungkin dapat menjadi alat pemaksa, dan bukanlah menjadi pilihan bagi para terpidana untuk mengelak dari pemenuhan pidana uang pengganti. Hal ini harus dipahami dengan tepat, terutama karena seringkali terpidana lebih memilih untuk melaksanakan pidana penjara subsider daripada membayar pidana uang pengganti jika hukuman subsidernya lebih menguntungkan daripada pembayaran uang pengganti, dan memang dikarenakan oleh suatu pemahaman bahwa pidana badan merupakan ultimum remedium dalam pemenuhan tuntutan pidana.

b) Maka dapat dikatakan bahwa lamanya pidana penjara subsider yang merupakan alat pemaksa bagi terpidana untuk membayar uang pengganti, merupakan kunci yang akan menentukan keberhasilan pidana uang pengganti yang diatur dalam Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 dalam mencapai tujuan pemidanaannya.

(17)

2. Apabila kita mencermati pengaturan mengenai pidana penjara subsider pada Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 sebagai dasar terhadap asas legalitas, maka tidak menutup kemungkinan untuk memberikan pidana penjara subsider terhadap uang pengganti kepada seorang terpidana lebih tinggi dari pidana penjara pokok yang dijatuhkan. Pola pikir ini perlu diutarakan karena lebih sesuai dengan tujuan represif yang ingin dicapai oleh Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 dan juga agar strategi pemberantasan tindak pidana korupsi tidak menitikberatkan pada pemberian pidana badan saja, tapi pada optimalisasi pengembalian kerugian negara. Namun tetap harus mengingat dan mengacu pada Pasal 12 ayat (4) KUHP, bahwa pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada seseorang selama waktu tertentu sekali – kali tidak boleh melebihi 20 (dua puluh) tahun. Sehingga tidak akan ada permasalahan apabila seorang jaksa dalam requisitor, atau hakim dalam putusannya yang menjatuhkan pidana penjara subsider terhadap uang pengganti lebih tinggi daripada pidana penjara pada pidana pokok, selama jumlah dari kedua jenis pidana penjara tersebut tidak melebihi 20 (dua puluh) tahun. Apabila pidana penjara subsider terhadap pidana uang pengganti dijatuhkan lebih tinggi dari pidana penjara pada pidana pokok, hal ini tentu akan memaksimalkan upaya represif dari Undang – Undang No. 31 tahun 1999, yang merupakan cita-cita dari diterapkannya pidana penjara subsider sebagai alat pemaksa untuk membayar uang pengganti

Saran

1) Perlu dilakukan perbaikan sistem pemidanaan terhadap pidana uang pengganti melalui pendekatan reformulasi kebijakan hukum pidana, yaitu dengan membuat Undang – Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru.

2) Untuk menunjang upaya pengembalian kerugian negara melalui Undang – Undang No. 31 Tahun 1999, perlu dilakukan resosialisasi terhadap penggunaan / pemanfaatan Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 3) Tidak perlu lagi para penegak hukum untuk menitikberatkan pemidanaan terhadap

tindak pidana korupsi melalui pidana badan, yang dalam hal ini adalah pidana penjara pada pidana pokok. Harus segera diberitahukan kepada para penegak hukum mengenai logika dan hakekat pemidanaan dari Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 yang bersifat represif, sehingga penerapan pidana uang pengganti beserta pidana penjara subsidernya harus lebih diutamakan dibandingkan dengan pemberian pidana pokok. Hal

(18)

ini dirasa penting dan krusial agar Indonesia sebagai negara berkembang dapat segera keluar dari fase negara berkembang itu sendiri, dan mencapai kategori negara kesejahteraan atau negara maju. Setelah Indonesia menjadi negara maju dan sejahtera, maka tidaklah fatal jika para penegak hukum ingin kembali menitikberatkan pemidanaan melalui pidana badan semata, sebagai upaya preventif.

Dikarenakan perbaikan sistem pemidanaan terhadap pidana uang pengganti melalui pendekatan formulasi kebijakan hukum pidana tentunya akan memakan waktu yang lama, maka resosialisasi mengenai penggunaan / pemanfaatan Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 yang dipaparkan dalam penelitian ini merupakan langkah yang paling efektif dan efisien, demi terwujudnya Indonesia yang sejahtera.

Daftar Referensi Buku:

Adiwinata. (1986). Istilah Hukum Latin – Indonesia. Jakarta: PT. Intermasa.

Arief, Barda Nawawi (a). (1996). Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan

dengan Pidana Penjara. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Arief, Barda Nawawi (b). (2011). Pendekatan Keilmuan dan Pendekatan Religius Dalam

Rangka Optimalisasi dan Reformasi Penegakan Hukum (Pidana) di Indonesia. Semarang:

Badan Penerbit Undip Semarang.

Ashshofa, Burhan. (2004). Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.

Atmasasmita, Romli. (1995). Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi. Bandung: Mandar Maju.

Beccaria, Cesare. Of Crime and Punishment. New York: Marsilio Publisher.

Bentham, Jeremy. (2006). Diterjemahkan oleh Nurhadi. Teori Perundang – undangan

(Prinsip – Prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana). Bandung: Nusamedia &

(19)

Hamzah, Andi. (2005). Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara. Jakarta: Sinar Grafika.

Hamzah, Andi dan Siti Rahayu. (1983). Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di

Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo.

Jefri, Alamando, dkk. Efektivitas Pelaksanaan Pidana Pembayaran Uang Pengganti Oleh

Kejaksaan Dalam Tindak Pidana Korupsi. Malang: Pasca Sarjana Universitas Brawijaya.

Kholis, Efi Laila. (2010). Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi. Jakarta: Solusi Publishing.

Mamudji, Sri et. al. (2005). Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Muladi. (2002). Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Soekanto, Soerjono. (2010). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. Sudarto. (1981). Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni.

Tongat. (2004). Pidana Seumur Hidup Dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia. Jakarta: Universitas Muhammadiyah Malang.

Yanuar, Purwaning M. (2007). Pengembalian Aset Hasil Korupsi berdasarkan Konvensi PBB

Anti Korupsi 2003 dalam Sistem Hukum Indonesia. Bandung: PT. Alumni.

Jurnal / Artikel:

Ismansyah. (2007). Jurnal Demokrasi (ejournal.unp.ac.id). Penerapan dan pelaksanaan

Pidana Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi, Vol. 6, No. 2.

Sunarto. (2013). disampaikan dalam rangka Hari Ulang Tahun Ikatan Hakim Indonesia Ke – 60. Problematika Hukum Sanksi Pidana Uang Pengganti Dalam Perkara Tindak Pidana

(20)

Tesis:

Atabay, Dedyng Wibiyanto. (2005). Pidana Tambahan Pembayaran Uang Pengganti Atas

Kerugian Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi. Tesis Magister, Program

Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta.

Soemarno. (2008). Eksekusi Pembayaran Uang Pengganti Tindak Pidana Korupsi dalam

Sistem Peradilan Pidana. Tesis Magister, Program Pascasarjana Universitas Indonesia,

Jakarta

Artikel dari Pusatdata:

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (1999) Arsip dan Dokumentasi Sekretariat Jendral DPR-RI. Penjelasan Atas Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun

1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Diambil 10 Oktober 2014 dari Arsip

dan Dokumentasi DPR-RI.

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (1999) Arsip dan Dokumentasi Sekretariat Jendral DPR-RI. Rancangan Penjelasan Atas Rancangan Undang – Undang Republik

Indonesia Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dari Pemerintah. Diambil 10

Oktober 2014 dari Arsip dan Dokumentasi DPR-RI.

Laporan Penelitian:

Kejaksaan Negeri Gorontalo. (2014). Data Pidana Uang Pengganti yang Dibayarkan Terdakwa. Seksi Pidana Khusus bagian Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan Negeri Kota Gorontalo.

Referensi

Dokumen terkait

Data-data yang diperoleh dari penelitian baik melalui pengamatan (observasi), wawancara, tes, atau dengan menggunakan metode yang lain kemudian diolah dengan analisis

Terhadap jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1)

To conclude, the researchers’ reason to conduct this research are based on the importance subject-verb agreement in the succes of writing, the result of the previous research

Hal ini disebabkan karena pengeringan menggunakan oven blower memiliki prinsip konveksi dimana perpindahan panas yang disertai dengan zat perantaranya, sedangkan

Disamping instrumen tersebut di atas, yang termasuk dalam kelompok ini adalah berupa instrumen yang bilahnya tergantung diantaranya penyacah, jublag dan jegogan

Metode survey adalah penelitian yang dilakukan pada populasi besar maupun kecil, tetapi data yang dipelajari adalah data dari sampel yang diambil dari populasi tersebut,

moral pada generasi muda merupakan salah satu fungsi peradaban yang paling utama, (3) Peran sekolah sebagai pendidik karakter menjadi semakin penting ketika

Setelah lolos pengujian validitas dan reliabilitas dengan model CFA, maka tahap selanjutnya adalah menganalisis kecocokan data dengan model secara keseluruhan atau dalam