• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBENTUKAN STRUKTUR AGRARIA Dl DESA SINTUWU DAN DESA BERDIKARI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMBENTUKAN STRUKTUR AGRARIA Dl DESA SINTUWU DAN DESA BERDIKARI"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBENTUKAN STRUKTUR AGRARIA

Dl

DESA

SINTUWU DAN DESA BERDIKARI

Sumber-sumber agraria yang mendukung kehidupan masyarakat kedua desa berada dalam kawasan desa dan di luamya di kawasan hutan negara. Proses terbentuknya struktur agraria saat ini merupakan fungsi dari dinamika kepemilikan, penguasaan, dan pengusahaan yang tejadi bersamaan dengan pembentukan sistem sosial masyarakatnya. Struktur agraria juga terbentuk bersarnaan dengan institusi keterjaminan keamanan sosial ekonomi penduduknya. yang secara bersama-sama kemudian rnenentukan status stabilitas dan keberlanjutan ekosistem serta sosial ekonominya.

StruMur Agraria dan Proses Pembentukannya

Kornposisi Surnber-Surnber Agraria serta Penggunaannya

Wlayah kedua desa sebelumnya ditutupi oleh hutan dan baru dibuka penduduk pada era 1960-an. Setelah hutan dibuka penduduk berusahatani padi ladang dan jagung. serta menanam kopi sebagai garis batas tanahnya. Setelah kakao dikenal penduduk, dan rnarak semenjak awal tahun ?990-an, maka hampir seluruh tanah kering saat ini ditanami kakao, bahkan termasuk dengan mengkoversi tanah sawah.

Saat ini kedua desa rnemiliki ragam sumber-sumber agraria yang hampir sama, meskipun luas Desa Sintuwu hampir dua kali Desa Berdikari. Kedua desa memiliki topografi datar dan didominasi oleh tanah kering sebagaimana diperlihatkan pada tabel 4.

(2)

Tabel 4. Jenis dan luas penggunaan tanah di Desa Sintuwu dan Berdikari tahun 2001.

Jenis Penggunaan Desa Sintuwu Desa Berdikari Luas (Ha) Persen Luas (Ha) Penen 1. Tanah pertanian:

Sawah iflgasi Sawah tadah hujan Perkebunan Kolam 2. Pekarangan

3. Tanah desa (kantor, sekolah, ternpat ibadat, kuburan, Ipg. OR) 4. Hutan

5. Belum diusahakan 6. Lainnya

T o t a l 1923 100,O . 2014 100.0

Sumber: Kecamatan Patolo Datam Angka 1999. Data Dasar Profil Desa Sintuwu 1999. dan Data Dasar Profil Desa Berdikari 2000.

Desa Sintuwu merniliki luas 1923 ha dengan topografi agak landai, dan bagian terendah ada dibagian utarat3. Wilayahnya didominasi tanah kering (95,7 persen) dan berbentuk harnpir b e ~ p a segitiga dengan panjang dari tirnur-barat lebih kurang 6 km dan bagian terpanjang utara-selatan 4 km. Batas wilayah di utara mengikuti sungai Gurnbasa dan di selatan mengikuti garis batas TN Lore Lindu (jalan jepang). (Peta nama tempat dan penggunaan tanah, serta gambar transek dapat dilihat pada larnpiran 2. 3. dan 4).

Bagian-bagian wilayah dalam desa selain dibagi menurut dusun {ada 3 dusun), diberi narna oleh penduduk yang penamaannya berdasarkan nama sungai di dekatnya. Terdapat 3 buah sungai yang agak besar yaitu sungai Katopi. Kana. dan Tobe yang semuanya mengalir dari kawasan

TNLL

menuju sungai Gumbasa.

'

3 M e n u ~ t buku Data Dasar Profil Desa Sintuwu tahun 1999 luasnya adalah 2800 ha, sedangkan dalam daftar isian STORMA adalah 2400 ha.

(3)

Terdapat enarn buah lokasi persawahan yang sernpit-sempit, dimana yang terluas adalah di bagian utara dekat Sungai Gumbasa. Sawah yang mendapat pasokan air stabil sepanjang tahun dapat ditanami padi terus rnenerus, terutarna sawah di Katopi Bawah. Dan selumh sawah, 32 ha di antaranya rnempakan sawah tadah hujan yang hanya dapat ditanami satu kali padi dilanjutkan palawija. Ada juga sawah yang ditelantarkan atau hanya ditanarni jagung dan sayur-sayuran, karena semakin rnengecilnya pasokan air dari sungai. Kebun kakao harnpir menutup seluruh areal Desa Sintuwu. Harnpir tidak ada penduduk yang tidak rnenanarn kakao, setidaknya di pekarangannya.

Desa Berdikari juga didominasi oleh tanah keriw- (89 persen) yang sebagian besar telah menjadi kebun kakao yang rnulai banyak ditanarn semenjak awal tahun 1990-an. Witayah Desa Berdikari rnemiliki bentuk rnemanjang dari barat ke tirnur rnengikuti jalan raya utarna yang rnernbelahnya. Bagian utara desa dengan jarak krvariasi antara 1 km sampai 5 km dari jalan adalah hutan negara berupa bukit-bukit. Areal desa terbagi dua karena dipisahkan oleh Desa Bahagia, yaitu dusun 1 dibagian barat, setia dusun 2 dan 3 di bagian tirnur (lihat peta lampiran 5, 6 . dan 7 ).

Seluruh batas desa menggunakan batas alarn termasuk yang rnenjadi batas antar dusun. Batas dusun 1 dengan Desa Rejeki dan Ampera di barat dan Desa Tanah Harapan di selatan adalah Sungai Clwetewu. Batas barat dusun 2 dengan Desa Bahagia adalah sungai Toranda, sernentara batas dusun 2 dan 3 dengan Desa Tanah Harapan di selatan adalah Sungai Sopu, dan di bagian timur dengan Desa Tongoa adalah Sungai Sibaga. Batas di utara terhadap hutan negara adalah patok batas kehutanan yang dibuat dl sepanjang kaki bukit. Terpotongnya Desa Berdikafi adalah karena berdiri sendirinya Desa Bahagia yang dulu m e ~ p a k a n bagian dari Desa Berdrkari. Luas Desa Bahagia yang

(4)

kurang dari setengah luas Desa Berdikari merupakan areal transmtgran dari Jawa sernenjak tahun 1965.

Banyak terdapat sungai-sungai besar dan kecil yang sekaligus menjadi penanda untuk rnernberi narna tempat Sungai yang paling

besar

adalah Sungai Sopu yang menjadi muara dari sungai-sungai kecil yang bersumber di kawasan hutan negara. Semenjak dahulu Sungai Sopu suka banjir [2

-

3 kakali setahun), terutarna pada bulan Oesernber dan ~ a n u a r i ~ ~ . Sungai-sungai kecil juga semakin sering banjir tahun-tahun belakangan ini, misalnya Sungai Meno dan Uwetewu yang menjadi surnber pengairan sawah di dusun 1. Banjir juga terjadi pada Sungai Menawa untuk surnber air di sawah dusun 2 dan sungai Kora di dusun 3 yang mulai banjir 5 tahun ini setiap musirn hujan yang ketika banjir meluap selarna 1

-

2 hari.

Setengah dari seluruh sawah di Berdikari berada di dusun 1, dirnana sebagian besar sawah (94 ha) dapat ditanami terus rnenerus. Sebagian sawah di dusun 2 merupakan sawah tadah hujan (17 ha) yang hanya dapat ditanarni sekali padi ditanjutkan palawija (biasanya jagung). Pernbukaan sawah dulu dilakukan bertahap, dirnana sampai tahun 1980 belum semua sawah dibuka di dusun 1, karena mernbuka sawah membutuhkan tenaga yang besar.

Kedua desa berbatasan langsung dengan wilayah hubn negara, yaitu TN Lore Lindu di Sintuwu dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) di Berdikari. Kedua wilayah kehutanan ini terbukti telah memainkan peranan yang tidak dapat diabaikan daJam menunjang kehidupan masyarakat. Mereka telah memanfaatkan kedua wilayah yang terlarang ini tidak lama setelah mereka datang dan semakin marak saat ini. Dahulu pengambilan kayu untuk keperluan sendiri dibolehkan rneskipun sering disalahgunakan penduduk karena dijual ke luar desa.

24 Setiap banjir bejangka sarnpai seminggu. Sungai ini lelah "mengambil" -4 ha kolam ikan dan 600 pohon kakao di dusun 3, serta belasan h e m sawah di dusun 2.

(5)

Pengambilan rotan juga sudah urnum dilakukan dari dulu, khususnya di kawasan TNLL meskipun kadang-kadang tertangkap petugas.

Pernanfaatan kawasan hutan negara secara sepihak oleh masyarakat tersebut disebut

oleh

pihak pemerintah sebagai "penyerobotan", sehingga istilah inipun sudah urnum digunakan oleh seluwh kalangan temlasuk penduduk di kedua desa. Khuws untuk TN Lore Lindu, penyerobotan ini berkaitan dengan persoalan penetapan patok batas, dimana penetapan patok baru tahun 1982 tidaic rnengikuti patok yang sebelurnnya diakui pendud~k2~.

Luas areal TN Lore Lindu adalah 23T.000 ha dengan dua tipe vegetasi, didominasi 90 persen oleh hutan hujan pegunungan (1000-2500 mdpl) dan sisanya berupa hutan hujan dataran r d a h (200-1000 rndpl) (hngaji, 2000: 8

9). Taman ini merupakan penyatuan dari tiga daerah yang diiindungi sebelumnya, yaitu Suaka Margasatwa Lore Kalamanta yang dibecltuk tahun 1972, Hutan wisata Danau Lindu tahun 1978, dan Suaka Margasatwa Lore Lindu tahun 198lZ6. Kawasan yang behatasan langsung dengan Sintuwu adalah Suaka Margasatwa Lore Lindu.

Keberadaan TNLL dimulai dengan keluamya Vemyataan Menteri Pertanian No. 736mnentanlX11982 tanggal 14 O k t h r 4982 yang mengurnurnkan ketiga daerah dilindungi tersebut rnenjadi suatu kawasan taman nasionat. Antara tahun 1993 sampai dengan 1997, kawasan ini berada di bawah pengeialaan

25 Hal ini menimbulkan konflik yang juga dialami oleh S e l u ~ h penduduk yang tinggal d i sekitar TNLL,seIain d i kecamatan Palolo. Daiam Lokakarya Pertemuan Konsultasi Masyarakat di sekitar TNLL di Ngata Tom (27-30 Sept 2000) yang dihadiri LSM, pernerintah. dan masyarakat; dijurnpai persoalan hitangnya hak adat untuk memanfaatkan hutan dan tumpang tindih perkebunan rakyat dengan TNLL. Persoalan ini disebabkan tak adanya koordinasi antara masyarakat dengan instansi terkait ketika membuatnya, serta kesalahan konsultan yang tidak mengikuti peta panduan. Konflik ini diwarnai dihapuskannya hak tradisional masyarakat terhadap hutan berdasarkan SK Gubemur Sulawesi Tengah No. 592.213311993 yang tak lagi mengakui adanya tarlah adat di wilayah propinsi ini.

26 Keterangan dipemleh dari wawancara dengan 8p. Helmi sebagai Kepala seksi

Konservasi Taman Nasional Lore Lindu di kantornya, didukung Orosur yang diterbitkan Balai TNLL.

(6)

Balai Konservasi Syrnber Daya Alam (BKSDA) sesuai dengan SK menteri 5931Kpts-11/1993 tanggal 5 Oktober 1993. Barn kemudian tahun 1997 dibangun balainya yang berlokasi di kota Palu, dan semenjak tahun 1998 mulai beroperasi secara penuh.

Salah satu aMivitas sernenjak tahun IS82 adalah penetapan patok batas yang dilakukan olefi pemerintah daerah dibantu konsu-hn. Patok barn tersebut rnempakan suatu perluasan karena batas yang dikenal penduduk berada lebih ke dalam (lebih kurang 2 km dari jalan jepang). Patok tersebut telah rnengarnbil wilayah HPH Kebun Sari yang saat itu belurn habis masa operasinya, walau sudah tidak berproduksi lagi karena kayunya sudah t~abis.'~ Sebagian areal ini sudah ditanami penduduk semenjak dulu, sehingga mereka yang masih meneruskan usaha pertaniannya di sana dicap sebagai perambahZ8.

Pemanfaatan TNLL sebagai kebun kakao dan jagung sernenjak dulu terbatas diakukan oleh penduduk yang berrnukim dekat areal taman yang rumahnya di sepanjang jatan jepang, yaitu: suku Kulawi, Kaili Ledo dan Kaili Tara. Saat ini seluruh areal taman yang berbatasan langsung dengan Desa Sintuwu telah ditanami penduduk kecuali pada tanah-tanah yang terlalu miring.

.

Ssmenjak demonstrasi menuntut hak pengolahan taman nasional bulan Oktober tahun 1998 yang diikuti oleh rnasyarakat dari 9 desa temasuk desa Sintuwu, tak ada lagi petugas yang berpatroli, sehingga pengambilan kayu dan penanaman kakao dilakukan secara terang-terangan, bahkan termasuk membangun wrnah.

27 Operasi Kebun Sari secara ekonomi dinyatakan rugi di daerah ini karena hanya

mampu mendapatkan 4 sampai 5 meter kubik kayu agatis per hektar (informasi dari Bapak Baharudin mantan karyawan HPH Kebun Sari).

''

Mungkin inilah yang disebut salah satu bentuk penyerobotan dalarn penelitian Schweithelm (1 992: lo), karena batas-batas taman nasional yang 'belurn jelas" dan

(7)

Sementara itu, hutan negara yang berdekatan dengan wilayah Desa Berdjkari m e ~ p a k a n bagian dari 464.800 ha Hutan Produksi Terbatas yang berada di bawah otoritas Dinas Kehutanan dan Perkebunan Tingkat 11 Kabupaten Donggala. Kawan hutan ini dapat berstatus menjadi areal yang diproduksi, misalnya dengan diberikan hak produksinya kepada swasta (perusahaan Hak Pengusahaan Hutan), narnun sampai saat ini belum dilakukan.

Sesungguhnya penduduk kedua desa sudah mengetahui bahwa areal desa hanyalah bagian t-ata, dan batas dengan T N t L ataupun hutan negara berada di sepanjang kaki-kaki. bukit. Sesuai dengan izin Bupati kepada penduduk Berdikari, areal untuk desa (pemukiman dan pertanian) hanyalah dari Sungai Sopu di selatan sampai ke kaki-kaki &kit di utara, Namun masyrakat tidak mengakuisecara terus terang, dan seolah ingin mernasukkan kawasan hutan tersebut sebagai rnilik komunitasnya. Hal ini tampak dari data yang dibuat oleh aparat desa (Data Dasar Profil Desa Berdikari tahun 2000) yang memasukkan data areal desa yang berupa hutan seluas 4.039 ha, yang terbagi menjadi apa yang disebutnya dengan "hutan rnilik wargdsuku" seluas 2651 ha, "hutan asli" 230 ha, "hutan produksi tetkp" 370 ha, 'hutan produksi terbatas" 150

ha,

dan "hutan konversi" 638 ha.

Secara topografi kedua kawasan terlarang ini tidak layak untuk usaha pertanian intensif. karena merupakan perbukitan yang te jal dan semestinya hanya untuk fungsi konseffasi sebagaimana sudah ditetapkan oleh pemerintah. Areal kehutapan ini merupakan sumber agraria yang penting bagi penduduk, khususnya untuk kebutuhan air yang sumber mata aimya berada disana, baik air irigasi maupun untuk kebutuhan rumah tangga. Dengan mulai rusaknya habitat areal tangkapan ini telah mengakibatkan tidak stabilnya debit air sungai serta mengancam pemenuhan kebutuhan air minum pada jangka panjang.

(8)

Konfigurasi penggunaan tanah yang dijumpai saat ini merupakan suatu proses perubahan penggunaan dari masa ke masa. Ketika migran pertama datang, kedua wilayah desa tertutup oleh hutan berisi pohon-pohon kayu, bambu dan rotan. Secara umum terdapat tiga pola proses perubahan penggunaan tanah yaitu: pertama, pola 'hutan-sawah', bagi tanah yang cowk menjadi sawah. Namun di Sintuwu sebagian berlanjut menjadi "hutan-sawah-kebun kakao". Kedua, pola "hutan-padi ladang-kakao" untuk tanah kering. Ketiga, pola "hutan- kakao" khusus di kawasan hutan.

Tejadinya tiga pola perubahan tersebut merupakan pengaruh dari faktor perbedaan aksesibilitas (hukum) serta strategi ekonomi rumah tangga masing- masing suku dalam konteks keterjaminan keamanan sosial ekonomi berhadapan dengan tarikan ekonomi pasar. Perubahan hubn Jangsung menjadi kakao di areal kehutanan disebabkan karena tingginya tarikan pasar kakao semenjak era 1990-an, ditambah lemahnya pengawasan pada periode perrnintaan lahan pertanian semakin tinggi. Sebaliknya, padi ladang tidak ditanam di areal kehutanan karena tahapan usahatani padi ladang yang terjadi pada periode subsistensi (1960-an dan 1970-an) belum merasakan kekurangan lahan.

Perbedaan status hukum tanah dan tarikan pasar dihadapi secara berbeda oleh tiap suku. Suku Bugis yang lebih dahulu mengenal pasar kakaa langsung mengkonversi tanahnya menjadi tanaman kakao, sehingga mernperoleh akseierasi ekonomi lebih -pat dibandingkan suku iain. Keuntungan dari kakao ITIWJpakan modal untuk membeli tanah suku-suku iain. Sebaliknya, ha1 ini berdampak sebagai gejala kekurangan tanah bagi suku-suku yang terlambat merubah strategi usahataninya kepada tanaman kakao, dan akibatnya terpaksa melakukan ekspansi Ice areal kehutanan meskipun aksesibilitasnya t~dak terjamin.

(9)

Di Berdikan kakao mula1 dftanam akhrr 3980-an dan rarnai mulai tahun 1993 ketika masih berharga Rp. 500 /kg. Kakao lebih disukai daripada cengkeh, karena penanganan pasca panennya lebih mudah yang cukup dikupas kemudian dijemur 4 sampai 5 hari. Berbeda dengan di Sintuwu, di Berdikari tidak ada tanah sawah yang dikonversi rnenjadi kebun. Mereka yang mengkoversi sawah menjadi kebun kakao di S i n t i adalah Suku Bugis, sementara di Berdikari sawah umumnya adalah rniiik Suku Kutawi yang ~ e f l d e ~ n g memperluas kebun kakaonya di tanah milik kehutanan. Di wilayah Kora misalnya. suatu areal kehutanan dekat dusun 3, saat ini ada ratusan penduduk berkebun serta membangun pondok di dalamnya. Daerah Kawere-were di hulu sungai Uwetewu dekat Desa Rejeki juga sudah luas yang ditanami kakao oleh masyarakat

Keberadaan Kelompolc-Kdompok Kepentingan

Ada tiga kelompok kepentingan yang berperan sebagai kerangka pembentuk struktur agraria di wilayah penelitian, yaitu: pemerintah. swasta, dan masyarakat.

Pemenntah

Kewenangan pemerintah terhadap hutan negara telah secara tegas disosialisasikan sehingga telah menjadi pengetahuan umum bagi masyarakat. Masyarakat di Palolo sudah lama tahu bahwa semenjak zaman Belamla wilayah yang sekarang menjadi T N Lore Lindu sudah diiarang untuk perladangan. Hal ini dirasakan secara langsung oleh Suku Kaili Taa penduduk Desa Bakubakulu yang dulu berladang di dalamnya sehingga akhimya dipaksa pindah ke Sintuwu. Untuk menjaga kawasan hutan, pemerintah membangun pos-pos penjagaan dan patroli petugas jagawana (polisi kehutanan) disertai tindakan-tindakan represif bagi para pelanggar selain melakukan penyuluhan di kantor desa.

(10)

Khusus untuk kawasan desa, seluruh tanah merupakan tanah-tanah pribadi. Meskipun sebagian besar tanah-tanah tersebut belum memiliki sertifikat resmi, namun masyarakat sudah saling mengetahui dan menghormati siapa pemilik masing-masing petak tanah tersebut Pemerintah hanya membantu dengan program pensertifikatan tanah meskipun tingkat keberhasilannya masih rendah.

Secara umum dahulu banyak tanah di Palolo dikapling oleh berbagai instansi pemerintah untuk dibagikan kepada para pegawainya. Di Sintuwu ada tanah yang saat ini dikuasai mantan pegawai pengadilan (di dusun 1) dan mantan gubemur {di dusun 2). Dinas Pertanian dahulu juga pernah memiliki tanah di dusun 1, namun karena jauh dan tanah belum benilai (tahun 1970-an), maka tanah tsrsebut tidak diberi patok batas dan belum pemah diusahakan. Akibatnya, tanah tersebut diusahakan oleh para pendatang, sehingga akhirnya menjadi milik pribadi si pengolah tersebut

Di Berdikari didapati tanah-tanah pribadi milik tentara Korem 132 Sulawsi Tengah baik yang masih aktif maupun pumawirawan seluas 360 ha, serta mantan pegawai KBN dan UNTAD seluas 120 ha yang saat ini sedang dalam konflik, yang ketiganya berada di dusun 3. Selain itu Dinas Pertanian Tanarnan Pangan TK I Sulawesi Tengah memiliki UPT berupa Kebun Bibit Utama Hortikultura untuk pembibitan tanaman buah-buahan seluas 4.2 ha di dusun 2.

Kineja institusi pemerintahan desa sangat lemah, namun eksistensi lembaga ini sangat terasa dalam masalah keagrariaan. la betwenang mengeluarkan segala bentuk surat yang berhubungan dengan tanah, baik surat sebagai tanda kepemilikan maupun dalarn jual beli dan kadang-kadang dalam hubungan penyewaan. Pemerintah desa juga dianggap rnemiliki kewenangan dalam pemanfaatan kawasan hutan. Semenjak dahulu pengambilan kayu oleh 70

(11)
(12)

surat pertanahan tersebut tidak disertai peta yang menyebutkan dimana lokasinya dan nornor persilnya, rneskipun kadang-kadang ada disebutkan pemilik-pemilik pada keempat sisi batas tanah tersebu?.

Swasta

Pihak swasta tidak terlibat secara langsung dalarn pemanfaatan surnber- surnber agraria di daerah penelitian, rneskipun ia rnemainkan peranan penting dalarn mempengaruhi bagairnana masyarakat mempedakukan tanahnya. Sarnpai tahun 1980-an ada satu perusahaan swasta di Sinknrvu dalarn pengelolaan Hak Pengusahaan Hutan, yaitu Perusahan Kebun Sari yang kemudian berhenti karena operasinya tidak ekonornis Isgi. Bekas areainya kernudian dijadikan sebagai perluasan kawasan TN

Lore

Lindu yang diindai dengan pemasangan patok batas tahun 1982.

Ada dua bentuk keterlibatan pihak swasta, yaitu metaiui lernbaga pasar yang legal dan non pasar yang cenderung ilegal. Pengaruh swasta yang bekeja rnelalui sinyal-sinyal pasar terutama bmUpa permintaan terhadap produk pertanian khususnya kakao, sedangkan keterlibatan secara tidak langsung yang tergolong ilegaf adalah mernbiayai dan menarnpung hasil kehutanan (kayu dan mtan).

Kakao tme~pakan satu komoditas pertanian yang masuk kedalam pasar intemasional melalui para pedagang-pedagang rnulai dari pedagang pengumpul di desa-desa, sampai kepada pedagang besar di Palu. dilanjutkan eksportimya di Makasar dan Surabaya. Tingginya harga kakao yang disebabkan memburnbungnya nilai dolar terhadap rupiah, telah menjadi sinyal yang sangat rnenggairahkan petani untuk menanarn kakao. Secara tak langsung, permintaan pasar kakao dunia telah mendorong penanam kakao dalam kawasan hutan negara, karena didukung oleh tanah hutan yang subur dan perawaian kakao 30 Hal ini diperoleh dari penelusuran puluhan surat tanah yang ada di sekretaris desa.

(13)

yang ringan khususnya semenjak tahun 1997. Para pedagang bertindak agresif dengan memberi hutang terlebih dahulu kepada petani bempa barang-barang elektronik dan bahan bangunan (semen, tegei, dll). Hal ini menyebabkan petani tersebut harus rnernenuhi hutangnya dengan rnenyetor hasil panen kakao ke pedagang bersangkutan.

Berbeda dengan kakao, peran swasta datam eksploitasi kayu dan rotan dalam kawasan hubn dilakukan secara ilegal. Para pemodal yang berada di Palu rnewadahi para pencuri kayu dan rotan dengan rnenyediakan truk dan biaya akomodasi lainnya. Merelca beke jasama dengan para petugas yang menjaga di pos-pos penjagaan di jalan raya, meskipun petugas tersebut tidak mengakuinya3'. Namun. dengan bukti begitu mudahnya iruk-truk kayu melewati mereka setiap hari, pastilah itu karena mereka memberi kemudahan*.

Pencurian kayu tersebut sudah menjadi rahasia umum yang diketahui oleh aparat maupun rnasyarakat. tnvestigasi terhadap masalah ini sulit dilakukan. karena mereka saling menutupi informasi. Di Sintuwu rnisalnya, kita dapat mendengar bunyi gergaji mesin setiap hari di bukii-bukit TNLL yang suaranya terdengar jelas di selumh desa, namun tidak ada penduduk yang mengaku memiliki gergaji mesin. Mereka mengatakan bahwa yang banyak memiliki gergaji rnesin adalah Suku KaiR Daa warga Desa

ahm me.

31

Beberapa petugas jaga pos polisi kehutanan yang ditemui mengaku sering menangkap truk-truk kayu yang Mat dan tidak memiliki surat izin, kemudian ditumpuk di Tempat Penumpukan Kayu (TPK) di K a ~ m b a , kecarnatan Tawaeii.

"

Hal ini dialami sendiri oleh seorang responden di Bedikari yang dulu pemah menjadi

pencari rotan yang dibiayai oleh seorang China d i Palu. Setiap melewati pos kehutanan ia haNS membayar Rp. 100.000 per truk. Hat ini dianggap sebagai biaya yang harus dikeluarkan. la dulu mengambil mtan di desa Lemban Tongoa dengan 30 orang buruh masuk ke dalam kawasan TNLL sejauh f 0 km selama seminggu. Deflgan hasil 12 ton ia menjual Rp. 15001kg = Rp. 18 juta. Biaya yang dikeluarkan adalah sewa truk Rp. 500.000. pembelian mtan Rp. 12 juta. dan sogokan untuk Sap pos kehutanan adalah 5 pos x Rp. 100.000 x 2 truk = Rp. 1 juta. Sehingga keuntungan yang diperoleh adalah Rp.

Rp. 4.5 jr~ta.

"

lnvestigasi majalah Tempo (23 September 2001: 58) menemukan bahwa selama bulan Agustus-September 2001. berf-iasil ditahafl 125 truk berisi kayu hasil jarahan dari TNLL di berbagar tempat.

(14)

Masvarakat Desa .

lnteraksi rnasyarakat dengan surnber-sumber agraria perlu dibedakan atas tanah dalarn desa dan di luar desa. Struktur agraria pada level rnasyarakat tidak bisa dilepaskan dari stNktur masyarakatnya yang dibangun atas dasar sentirnen suku per suku.

Di Sintuwu, sawah yang terluas di Katopi Bawah seluas lebih kurang 15 ha dikuasai oleh Kaili Taa Kristen, satu tempat dekat jalan jepang dikuasai oleh suku Kulawi, dua bagian agak sernpit di Tobe dikuasai oleh Kaili Taa Islam, dan satu bagian tagi seluas lebih kurang 5 ha di dusun I dekat sungai Gurnbasa dikuasai para petani guntay dari Wsa B o b . Penduduk Sintuwu pemilik sawah hanyalah suku Kaili Taa dan Kulawi sedangkan yang tidak merniliki sawah adalah Bugis, serta Kaiti Tara dan Ledo.

Pemilik kebun kakao terluas

secara

agregat di Sintuwu adalah suku Bugis, dengan lokasi rnerata di s e l u ~ h desa diselingi rnilik Suku Kaili dan Kulawi. Karena pernukirnan agak rnengelompok berdasarkan suku, rnaka lokasi kebun kakao tiap suku juga agak mengelornpok.

Dernikian juga halnya di Berdikari, dimana wernilikan tanah umurnnya berdasarkan ternpat tinggal, rneskipun ada juga penduduk suatu dusun punya tanah di dusun lain. Dusun 1 yang didorninasi oleh Suku Kulawi merniliki tanah sawah dan kebun. Di sebelah tirnur Sungai Meno sarnpai dengan perbatasan dengan Desa Bahagia dihuni Suku Bugis yang juga rnerniliki tanah kebun dan sedikit sawah. DI dusun 2 sebagian besar penduduk bersawah terutarna Suku Kulawi. Di dusun 3 Suku Bugis hanya mengolah tanah-tanah yang berada dekat p~nggir jalan serta tanah UNTAD dan KBN, sementara Suku Toraja dan Manado merniliki atau rnenyakap tanah milik Korem dan KBN.

Pernanfaatan surnber-sumber agraria dalarn kawasan hutan juga dapat drterangkan kepada psrilaku suku per suku Tidak ~ e l u ~ h suku merniliki kebun

(15)

kakao di dalarn kawasan. Mereka yang sejak dub telah banyak berkebun dalarn dalarn kawasan hutan di Berdtkari berasai dari Suku Kulawi serta suku Kaili Daa dari desa Karnarora, sedangkan di TNLL adalah suku Kulawi. Kaili Tara, Kaili Ledo, dan Kaili Taa. Sarnpai sekarang Suku Bugis tidak memiliki kebun dalam kawasan hutan. Penduduk yang berdiam paling dekat dengan kawasan TNLL adalah pemifik kebun paling banyak, namun Suku Bugis tidak melakukannya meskipun mereka juga banyak berdiarn di jalan jepang. Dua keluarga Bugis yang saat ini memiliki tanah dalarn kawasan TNLL dulu sudah mernbeli dan mengusahakan sebelum pemasangan patok tahun 1 ~ 8 2 ~ ~ . Penanarnan kakao dalam TNLL terbesar tejadi setelah demonstrasi b h u n 1998. Kepala desa sendiri yang kemudian mengatur pembagian lahan untuk berkebun bagi penduduk di areal tersebut, dan bahkan ikut berkebun di dalamnya.

Diperkirakan ada 100 KK yang sudah rnemiliki kebun di areal TNLL saat ini khususnya yang dekat Desa Sinbwu, termasuk Suku Kaili Daa dari Desa Rahrnat. Seluruh tanah yang berbatasan Langsung dengan Desa Sintuwu telah dikapling-kapling penduduk, kecuali tanah-tanah yang terlalu miring. Penanaman kakao dalam hutan negara di Berdikari tampak iebih luas dan juga lebih leluasa karena "dilegatkan" oleh kepala desanya. Untuk mencegah ini sudah pernah dilakukan berbagai penyuluhan di kantor desa, rneskipun belum pemah dilakukan tindakan hukurnS.

34 Saiah satunya adalah Bapak Lasiri yang mengaku jadi pernimpin demonstrasi tahun 1998. la mempejuangkan tanahnya yang Iterambil" semenjak pemasangan batas baru tahun 1982. Tanah tersebut merupakan areal yang datar yang sudah digarapnya sejak tahun 1972, dan tarnpak sekali pemasangan patok tersebut hanya mengikuti garis lums padahal kaki bukit di areal tersebut bebelok. la hanya meflggarap tanah itu saja dan tidak ikut-ikutan mernperluas garapannya ke pinggang bukit.

35 Terakhir ada intruksi Supati Donggala No. 188.45fOf 3012001 tanggal 23 Januari 2001

tentang larangan penebangan pohon bakau dan penebangan pohon di kawasan hutan lindung. Agar meninrfak tegas bagi masyarakat yang menebang pohon di hutan lindung. Surat ini ditindaklanjuti dengan Surat Camat Palolo kepada Kepala-Kepala Oesa No. 522.5/22.02/\1/2001 tangal 9 Mei 2001 tentang larangan penebangan liar di TNLL dan sekitamya. Agar Kepala Desa mengawasi dan melarang serta menindak tegas kepasa siapapun yang ditemukan melakukan penebangan liar.

(16)

Penguasaan Tanah Cara Perolehannya

Sebagai desa bentukan baru cara perolehan dan penguasaan tanah seseorang saat ini berkaitan dengan waktu kedatangannya serta jaringan sosial yang membantunya. Struktur penguasaan tanah serta cara perolehan tanah di kedua desa memiliki banyak kesamaan, dimana sentirnen suku menjadi faktor penentu untuk memperoleh tanah.

Desa Sintuwu

Seluruh penduduk di-Sintuwu saat ini rnemiliki tanah kering sendiri atau rnenyakap, sementara hanya sedikit yang memiliki sawah (lampiran 8) Namun ada juga responden yang hanya memiliki tanah pekarangan sedangkan kebunnya berada di areal TNLL dengan status 'rnemakai". Secara agregat penguasaan tanah oleh Suku Bugis terluas dibandingkan suku-suku lain.

Secara umurn, ditemukan perubahan pola

cara

perolehan tanah dari waktu ke w a W . Pada era 1960-an setiap pendatang dapat mengambil tanah seluas yang ia mampu garap dengan seizin kepala desa. Semenjak tahun 1980- an, ketika tanah dalam desa sudah habis terbagi, mulai banyak jual beli tanah. sehingga pendatang baru hams memperoleh tanah dengan cara mernbeli.

Cara memperoleh tanah garapan ditentukan oleh dua faktor, y a k waktu kedatangan pertama kali atau waktu ia menginginkan tanah, serta identitas suku. Meskipun tiap pendafang pada dua dasawarsa pertama berkesernpatan membuh bnah secara langsung, namun suku Bugis lebih suka membeli tanah yang sudah dibuka. Tabel berikut menjabarkan cam responden berbagai suku rnernperdeh tanah yang saat ini dikuasasinya (Data cam perolehan per suku dijabarkan dalarn tabel lampiran 9, 10, dan 11).

Suku Kaili Taa sebagai pendatang pertarna dulunya IneIUpakan pernilik tanah yang terluas, namun kemudian banyak menjual tanah-tanahnya. Para 76

(17)

pendatang pertama. suku Kaili Taa dari Desa Bakubakulu dan Bunga, memperoleh tanah pada tahun 1960-an dengan membuka langsung hutan setelah melaporkan kedatangnya kepada kepala desa. Tanah yang dibuka ditanami jagung dengan diberi batas misalnya dengan tanaman kopi. Dengan bukti ini sudah cukup untuk menjadi pemilik syah tanah tersebut.

Pendatang Kaili Taa lain adakalanya diberi tanah oieh keluarganya yang datang lebih dahulu. Hal ini banyak tejadi ketika tanah masih sangat murah. Memberi tanah kepada kerabat lain juga merupakan sh-ategi untuk menarik penduduk yang lebih banyak Re desa ini ketika penduduk masih jarang. Setelah periode ini. kerabat baru yang datang biasanya menyakap atau membeli tanah dengan harga yang masih murah dari kerabat sendiris. Memperoleh tanah dengan cara mernbeli dari sesama kerabat menjadi pola yang sangat urnurn pada Suku Kaili ~ a a ~ ~ . Hal ini berakar dari prinsip "mempajagai haria memomoilinfa

fona"

yang bemakna agar harta tidak berpindah kepada orang lain yang menjadi pegangan secara adat (Mattulada. 1990: 90).

Dan tabel 5 terlihat. dari 43 kasus persil tanah yang teridentifikasi, cam perolehan tanah oleh suku Kaili yang terbanyak adalah membeli dari kerabat (32.5%) dan diberi oleh kepala desa atau kerabat (30.2%). Responden yang rnenjawab "diberi" dalam ha1 ini berarti ia memperoleh tanah tersebut karena diberikan oleh keluarganya, terutama orang tua. Fenornena "diberi oleh keluarga" merupakan pola kedua setelah sebelumnya dibuka oleh anggota keluarga tersebut. Pemberian lahan secara curnacuma kepada keluarga lain semakin jarang semenjak tahun 1990-an ketika harga tanah semakin tinggi.

--

36 Seorang Bugis mantan pegawai HPH menceritakan. bahwa di bawah tahun 1970-an. satu helai kemeja Msa ditukar dengan satu hektar tanah.

37 Pemilik tanah tertuas di Sirrtuwu (22 ha), yaitu seorang turunan China yang kawin dengan perempuan Kaili Taa. membeli dari kerabat sendiri dengan alasan 'menyelematkan keluarga", dengan harga murah. Kalau ia yang beli dijanjikan si penjual masih dapat bekerja di tanah tersebut dengan -bapetak" atau baQi hasil.

(18)

Tabet 5. Cara prolehan tanah berdasarkan suku di Desa Sintuwu, 2001 (menurut jumlah persil).

Jumlah respanden dan cara Suku

perolehan tanah Kaili

I

Bugis

1

Kulawi

1

Total

I I I

]

Jumlah responden (orang)

1

I 8

1

8

1

5

[

31 Cara perolehan tanah (persil)

a. Diberi b. Membeli c. Sakap dan sewa d. Arnbil di TNLL

Dalam kategori "membeli" kebanyakan adaiah mernbeli dari sesarna Kaili. Tidak ditemukan satupun kasus suku KaiIi yang membeli dari suku Bugis, namun

T o t a l

banyak yang mengaku membeli dari kepala desa. Ini bukan berarti kepala desa 13

14 8

8

memiliki banyak tanah, namun banyak tanah kosong yang belum ada pemiliknya Sumber: data primer, 2001.

43

diakui sebagai tanah rnilik kepala desa sendiri.

7

16 4 0

Suku Kaili Ledo dan Kaili Tara yang datang relatif terlambat (tahun 1980- 27

an) diberi tanah oleh kepala desa di dusun 3 yang hanya cukup untuk pekarangan. Ketidakcukupan uang untuk membeli tanah yang sudah mulai tinggi

4 8 1 2

menyebabkan mereka berkebun di dalarn areal taman nasional. Dari I 8 orang 24

38 13 10

15

responden suku Kaili (lampiran 8) ditemukan 8 kasus yang saat ini berkebun

85

kakao dalam kawasan tarnan nasional, dengan luas bervariasi antara 0.17 sampai 2 ha. atau total 5, 92 ha (tabel 6). Mereka mulai berkebun di sana semenjak tahun 198f sampai tahun 2001.

Sama sepeti~ migran yang lain, suku Bugis juga tidak memiliki modal uang yang cukup ketika pertarna pindah ke desa Sintuwu, karena itulah mereka yang datang pertama apabila tak mampu membeli tanah ada yang "bapetak" di

(19)

sawah orang lain atau menyewa, barn kemudian membeli. Dari tabel 5 terlihat, berbeda dengan suku Kaili, sebagian besar responden Suku Bugis mendapatkan tanah rnelalui membeli (59,2%), dan hanya 26 % yang diberi. Dalam kasus diberi seluruhnya diberi oleh kerabat sendiri baik orang tua (warisan) maupun saudara. Orang tua biasa memberi tanah kepada anaknya yang baru berumah tangga. Memberi tanah antar kerabat banyak tejadi ketika harga b n a h masih rendah pada tahun 1970-an.

Tabel 6. Cara prolehan tanah berdasarkan suku di Desa Sintuwu, 2001 (menurut luas tanah).

Tidak ditemukan seorangpun Suku Bugis yang memiliki kebun dalam Cara perolehan tanah

a. Dibeti b. Membeli c. Sakap dan sewa d. Ambil di TNLL

T o t a l

areal taman nasionalJ8. Sikap mematuhi hukum dan pencapaian keberhasilan Suku Bugis secara ekonomi dilandasi oleh nilai-nilai budaya si#, pacoe, dan

Sumber: data primer, 2001.

Suku

sipahtan yang direalisasikan dalam bentuk kerja keras serta saling bantu sesama kerabap. Sifat rajin orang Bugis dalam bertani diakui oleh seturuh

Total 19.58 26,85 21 -95 8.42 76.80 Kaili 7.50 9.57 10.95 5.92 33.94

penduduk di desa Sintuwu. Mereka sudah ke ladang s a t matahari belum muncul

38 Dua orang yang merniliki tanah dalam kawasan TNLL sesungguhnya sudah merniliki tanah tersebut sebelum tahun 1982 dengan membeli dari orang lain (lampiran 10). Bapak Lasiri misalnya rnernperoleh tanah tersebut dafl mertuanya seorang Kaili. Lagi pula tanah tersebut masih berada pada daerah rata, dan belum mencapai kaki bukit.

3g Nilai siflmenjadi daya pendorong untuk mernbanting tulang, bekerja sungguh-sungguh derni suatu pekejaan, nitai pame menjadi daya dorong yang dapat menirnbulkan solidaritas yang kokoh, sedangkan nilai sipakatan merupakan konsep ketebukaan yang dalam hubungan bisnis berarti saling menghidupi mefalui kegiatan usaha yang saling rnenguntungkan (Syafar, 1998: 34-38; Mattutada. 1985: 62)

Bugis 11.50 12.25 10.00 0 33.75 Kulawi 0.58 5.03 1.00 2.50 9.1 1

(20)

dan sering pulang senja hari, terutama dulu ketika kehidupan di Sintuwu rnasih sulit. Sebagian orang Bugis yang sudah berhasil secara ekonomi, banyak yang menyerahkan pengusahaan kebun kakaonya kepada kerabat lain dengan sistem sakap bagi hasil, sedangkan mereka tinggal di kota Palu. Sebagian mereka ada yang sudah rnenceri bnah lain di Napu (Kecamatan Wuasa Kabupaten Donggala) karena disana tanah masih murah.

Dibandingkan dengan Suku Kaili dan Bugis, Suku Kulawi memiliki tanah di dalarn desa yang paling sempit. Hal ini disebabkan karena mereka datang paling terlambat (akhir tahun 1980-an), ketika sudah tidak tersedia lagi tanah kosong di dalam desa. ~ e r e k a diberi izin untuk bermukim di sepanjang jalan jepang di dusun 1. namun sebagian ada yang mendapat tanah pertanian

meskipun tidak luas (tabel lampiran 31). Selain berkebun di pekarangan, mereka juga berkebun dalarn areal taman nasional. Penduduk Suku Kulawi jarang melakukan transaksi tanah baik menjual ataupun membeli. Untuk menjual tanahnya sempit, sedangkan untuk membeti mereka tidak mampu. Dengan alasan itu, berkebun di areal TNLL menjadi pilihan mereka4'.

Di Sintuwu terdapat 7 keluarga Suku Sunda yang datang tahun 1987. Ketika datang pertama kali mereka menumpang bertani pada tanah searang China yang tinggal di Palu serta sebagian menumpang kepada keluarga Suku Kaili Taa tanpa membayar apapun. Setelah memiliki cukup uang barulah kemudian mereka membeli tanah, temtama dari Suku Kaili. Tanah yang dibeli adalah tanah rawa dekat sungai Gumbasa yang lebih murah namun butuh penanganan berat. Selain memitiki tanah sendiri sebagian juga menyewa tanah dari keluarga Kaili Taa untuk memperluas lahan garapannya.

40

Pelaku penyerobotan pertama dari suku Kulawi sebagaimana penuturannya sendiri adalah Bapak Langkai. yang sesungguhnya adalah seorang yang dianggap sebagai kepala suku Kulawi di desa ini, serta juga anggota Lembaga Adat desa Sintuwu. Meskipun ia sudah berumur 50 tahun lebih. ia rnelakukannya untuk cucunya katanya.

(21)

Dan uraran dl atas dapat d~buat skema umum pola perolehan tanah yang juga sekaligus menunjukkan bagaimana transaksi lahan antar suku (tarnpiran 12). Sumber agraria tanah di desa S i d w dapat dibagi dua, yaitu tanah yang berada dalam desa dan tanah di areal TNLL Tanah dalam desa diperoleh melalui dua cara yaitu mernbuka sendifl dengan

izin

kepala desa (= diberi kepala desa) atau rnembeli dari kepala desa. Kepala

desa

mernberi tanah

secara

gratis kepada semua pendatang asalkan masih tersedia tanah kosong, namun yang terbanyak memperolehnya adalah Suku Kaili Taa. Tanah yang diberikan ini kemudin dipejuaibelikan lagi kepada sesama suku namun banyak yang berpindah tangan ke orang Bugis. Suku Kaili Ledo, Kaili Tara dan Kulawi juga memperoleh pembagian tanah dari kepala desa meskipun lebih sempit

Selanjutnya, tanah dalam desa yang dijwl kepala desa banyak dibeii oleh Suku Bugis dan sedikit oleh Suku Kaili. Bagi Suku Bugis transaksi selanjutnya hanya kepada kerabat sendrri, namun tanah-tanah yang dimiliki Kaili Taa kemudian banyak juga yang dijual iagi ke orang Bugis.

Tanah di kawasan TNLL hanya diinami oleh suku-suku Kaili Taa. Tara, Ledo dan Kulawi. Tidak sebagaimana tanah didatam desa, transaksi ianah ini sangat jarang, karena status hukum yang beium kuat Jika pun ada jual beli tanah hanya sesama Suku Kaili dan Kulawi saja. Sampai sekarang tidak ada Suku Sugis yang mau mernbeli tanah di areal bman nasional meskipun harganya sangat rnurah.

Desa Berdikari

Penguasaan tanah pada Suku Bugis saat ini paling luas dihodingkan Suku Kulawi dan Toraja, meskipun Suku Kulawi dahulu adalah pemilik tanah teriuas yang kemudian banyak menjual tanahnya kepada pendatang berikutnya terutama kepada orang Bugis (lampiran 13). Dari selumh responden, hanya 8 1

(22)

orang Kulawi yang rnerniliki kebun di areal kehutanan negara. Setiap rurnah tangga mengusahakan tanah kering berupa kebun yang ditanami kakao, rneskipun ada yang hanya rnenyakap. Sawah lebih banyak dirniiiki oleh Suku Kulawi yang urnumnya digarap sendiri. Sawah di dusun 1 dan 2 hampir seluruhnya dirniliki oleh suku Kulawi. dan sawah di dusun 3 berimbang antara Bugis, Toraja. Manado dan Kulawi. Berbeda dengan tanah kering, tanah sawah agak jarang diperjualbetikan.

Tabel 7 berikut mernperlihatkan,

bahwa

dari 30 orang responden atau I 0 0 persil tanah, terfihat pala cara perolehan tanah yang cukup berbeda. Responden Suku Kulawi rnernperoleh tanah dengan membeli (38,5 %) dan diberi (35.9%). yang keduanya berasal dari keluarga atau kerabat sendiri. Sebaliknya Suku Bugis sangat dominan rnernperoleh tanah dengan

cara

rnembeli (60%),

baik dari Suku Kulawi rnaupun dari sesama Bugis, sernentara Suku Toraja sebagian besar menyakap.

Tabel 7 . Cara protehan tanah berdasarkan Suku di Berdikari. 2001 (hrdasarkan jurnlah persil).

I

Jumlah responden (orang)

1 1 2 1 g l g 1 3 0 1

Jumlah responden dan cara perolehan tanah

I I I I 1 I

Surnber: data primer, 2001.

Suku

Cara perolehan tanah (persil) a. Diberi

b. Membeli c. Sakap dan sewa d. Ambit di hutan negara

T o t a l ,

Sebagai daerah tujuan migrasi, tahun kedatangan seorang migran sangat Kulawi

menentukan bagaimana cara perolehan tanahnya, selain strategi elconomi 14

15 0 10 39

masing-masing suku. khususnya antara dua suku besac Suku Kulawi dan Bugis

Totat Bugis 6 21 8 0 35 Toraj-a nado. dlf 1 12 13 0 26 21 48 21 10 100

(23)

(lebih detail dijabarkan pada lampiran 14, 15, dan 16). Suku Kulawi adalah pendatang pertama ketika di daerah ini belum ada penduduk satupun. Tabel 7 memperlihatkan bahwa dari 39 persil sampel tanah, 18 persil diperoleh dengan membuka sendiri tanpa membeli (8 persil membuka di wilayah desa karena diberi kepala desa dan 10 di wilayah kehutanan). Dari kasus yang membuka di dalam desa, 6 kasus diberi oleh orang tua sendiri. Dalarn kategori membuka sendiri berarti mereka membuka secara Iangsung ianah hutan yang berum ada pemiliknya dibawah otoritas kepala desa yang menentukan luas dan lokasinya.

Dan segi luas tanah, rata-rata luas kebun orang Kulawi di dalam areal hutan adalah 1,5 ha, lebih luas dibandingkan pengwsaan karena diberi dan membeli (tabel 8). Sementara itu, dengan rnembandingkan data di tabel 7 dan 8, terlihat bahwa pada Suku Toraja dan Manado penguasaan dari menyakap dan menyewa dua kali lebih luas dibandingkan karena mernbeli, yaitu 24,l ha untuk 1 3 persil berbanding 10,79 ha untuk 12 persil.

Tabel 8. Cara prokhan tanah berdasarkan Suku di Berdikari, 2001 (berdasarkan luas tanah).

Cara perolehan tanah

Cara perolehan tanah a. Dibefl

b. Membeli c. Sakap dan sewa d. Ambil di hutan negara

Setelah diurutkan menurut tahun memperoleh tanah yang saat ini digarapnya, maka terlihat membuka bagi Suku Kulawi tejadi dari dulu sampai

Suku I I 1 1 Kulawi 10,83 7.34 0 1 5.05 T o t a l I i 1 Bugis 2.46 36.55 13.50 0

Sumber data primer. 2001. 33.22 Torajahla nado, dl1 2.0 10.79 24.10 0 Total 15,29 54.68 37.60 15.05 122.62 52,51 36,89

(24)

sekarang. Jika dahulu membuka langsung hutan dalam kawasan desa, narnun semenjak tahun 1980-an mereka sudah mernbuka dalam kawasan hutan negara.

Dari 15 kasus perolehan dengan cara membeli. 12 kasus (80%) diantaranya adalah rnembeii sesama Kulawi dan umurnnya dari kerabat sendiri. Saling menjwl tanah sesama kerabat merupakan kebiisaan yang umurn. Diternukan ada orang Kulawi yang menjual tanah ke anaknya sendiri dan dari nenek ke cuamya. Hal ini merupakan suatu kebiasaan dan bukti masih kwtnya ikatan kekerabatan, agar tanah tidak lepas ke tangan orang lain.

Dalam kasus "diberi", urnurnnya adalah karena warisan dari orang tua yang biasa dibagikan tidak lama setelah anak berumah tangga, baik kepada anak laki-laki maupun perernpuan. Setelah dibagi-bagikan rnasih tersiss tanah untuk persiapan biya kernatian bagi dirinya sendiri yang biasanya dijual ketika ia meninggal dunia. Oalam memilih pernbeli mereka akan mengutamakan kepada lingkar keluarganya dulu, namun karena kematian sering &tang mendadak dan selamatannya h a ~ S segera dilakukan, maka pihak keluarga belum siap dengan uang tunai sehingga biasanya tanah dijual ke Suku Bugis yang rnemiliki uang. DaIam ha1 menjual tanah, suku Kulawi tergolong suku yang paling banyak melakukannya dengan alasan untuk biaya pesta perkawinan dan selamatan kernatian, serta aiasan lain misalnya mernbangun rurnah atau biaya berobat. Selain suku Kulawi. suku tain yang banyak menjual tanah di Berdikari adalah Suku Kaili yang dahulu tinggal di Berdikari, narnun sekarang sudah pindah lagi ke desa asalnya ke Desa Bunga dan Bobo.

Secara urnurn penguasaan tanah suku Kulawi semakin mengecil djbandingkan dulu, sebaliknya yang bertarnbah luas adalah suku Bugis. Namun demikian, beberapa orang suku Kulawi yang lebih berhasil ekonominya, saat ini banyak yang membeli tanah di desa tetangga Desa Tanah Harapan, khususnya

(25)

di dusun Sopu yang berlokasi di seberang Sungai Sopu. suatu wilayah yang dekat dengan dusun 2.

Berbeda dengan Kulawi yang umumnya rnernbuka tanah tanpa rnernbeli, Bugis umumnya rnernperoleh tanah dengan membeli (sebagaimana di Sinhnrvu). Dari 35 persil sampel, kasus rnernbeli dijurnpai 21 kasus (60%). Dalarn membeli tanah sebagian besar orang Bugis mernbeli dari Suku Kulawi, dan hanya sebagian dari sesama Bugis, Kaili. atau dari orang Jawa (khusus untuk tanah di desa Bahagia). Pembelian tanah dari sesama Bugis terjadi antar sesarna kezabat juga. Orang Bugis juga banyak membeli tanah dad Kades Rou dahulu, padahal tidak diternukan kasus kades rnenjual tanah kepada orang Kulawi. Mernbuka hutan secara langsung tidak umurn bagi migran Bugis, karena d a i n membutuhkan tenaga, juga irepastian hukurn (secure tenure) tarnpaknya rnerupakan ha1 penting

bagi mereka.

Cara perolehan tanah dengan

cara

"garap bagi" terutarna terjadi pada tanah-tanah guntay rnilik tentara Korem 432 yang berlokasi di dusun 3, karena pemiliknya tinggal di Palu. Tanah yang masih kosong b e ~ p a hutan dengan pohon-pohon kecil dibuka dan ditanarni kakao. Setelah kakao berbuah (3 sarnpai 4 tahun) dilakukan bagi dua tanah antara pernilik dan penggarap. Selain itu ada juga yang sarnpai sekarang menyakap 'bagi hasil" tanah Korern tersebut dengan pola 1/3 unbk pernilik dan 2/3 untuk penggarap.

Meskipun rnigran Bugis Iebih suka membeli, bukan berarti mereka ketika datang sudqh punya uang cukup. Pertarna datang umurnnya mereka mencari modal dengan "bapetak" pada sawah-sawah orang Kulawi atau menjadi buruh tani di sawah orang lain. Selanjutnya rnereka muiai rnenyewa, dan baru rnernbeli tanah seteiah uangnya cukup. Mereka dikenal lebih rajin bekeja dan juga rajin menabung, sehingga mereka dapat membeli tanah setelah menetap 2-3 tahun.

(26)

Suku Bugis umumnya dulu bersawah sebagai jaian untuk mencari modal, dan baru beralih berkebun semenjak harga kakao mulai meningkat4'.

Dengan menghubungkan saat kedatangan dengan cara perolehan tanah, maka tak heran hampir seluwh sawah saat ini dimiliki oleh orang Kulawi. karena sebagai pendatang pertama mereka berkesempatan memilih Iebih dahulu wilayah yang lebih subur tersebut terutama di dusun 1. Penyebab hinnya adalah karena harga sawah lebih mafial, sehingga orang Bugis hanya sanggup rnembeli tegalan, yang pada era 3980-an masih rnurah. Di dusun 3 cukup banyak Bugis berusahatani sawah penyakap tanah milik Korem dengan sistem garap bagi atau "hak pakai" b n a h sengketa antara UNTAD dan K B N ~

Suku Manado dan Toraja yang bejumlah wkup banyak di Berdikari (setelah Suku Kulawi dan Bugis),

tergolong

sebagai pendatang terakhir. Pendatang pertama dari mereka sebelumnya adalah para pegawai di kantor- kantor pemerintahan di kota Palu atau guru di Palolo. Sebagian besar pegawai KEN dan tentara Korem

-

dua instansi yang punya tanah di Eerdikari - berasal dari k e d w suku ini. Pendatang pertama datang secara sendiri-sendiri, sedangkan pendatang terbanyak tahun $990-an merupakan pensiunan Korem dan KEN yang mendapat tanah dari instansinya tersebut. meskipun rnereka tidak langsung menetap di Berdikari. Sebagian menyakapkan tanahnya kepada kerabatnya sendiri sesama suku Toraja yang kemudian mengajak keluarganya yang lain unktk rnenjadi petani penyakap pada tanah Korem lain meskipun tidak

4' lsteri ~ a ~ a k Mesiara mengaku bahwa suku Bugis-lah yang pertama memilih berkebun

karena 'lebih tahan menderita'. Maksudnya, k-a hasil kebun membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan padi, misalnya kakao yang bacu 4 tahun kemudian rnemberikan hasil. Namun strategi ini temyata lebih tepat karena saat ini kakao memberi hasil lebih tinggi dibandingkan padi.

42

Bapak H. Amborape (Bugis) bersama kerabatnya saat ini memperoleh hak garap tanah sengketa antara KBN dan UNTAD seluas 15 ha yang diianami dengan padi dan palawija. Mereka hanya boleh menggunakan sernentara tanah tersebut, dan berjanjl akan menyerzhkannya nanti kepada pihak yang memenangkan perkaranya. Mereka disarankan untuk tidak mengusahakan tanaman keras berumur panjang rnisalnya kakao.

(27)

rnerniliki hubungan IceIuarga. Dari tabel 7 terlihat, 9 dari 15 persil sarnpel tanah yang dikuasai suku Toraja adalah tanah sakapan, sebagai tenaga k e j a yang rnenerima gaji bulanan, atau "hak pakai" dari tanah-tanah milik Korem. Hanya ada 6 kasus yang yang memperoleh tanahnya dengan rnembeli, baik dibeii dari sesama Toraja ataupun dari Suku Kulawi. Ada belasan keluarga Toraja saat ini menyerobot tanah-tanah sengketa antara tanah KSN dan UNTAD43.

Dari uraian di atas dapat diringkaskan suatu skerna umum transaksi tanah di desa Berdikari (larnpiran 17). Sumber agraria dapat dibedakan menjadi tanah dalarn desa, tanah milik instansi, dan tanah-tanah kehutanan. Bagi tanah dalam desa, eksekusi tanah dilakukan dalam dua bentuk diberikan

secara

gratis atau dijuaf oleh kepala desa Rou Lologau. Suku Kulawi yang lebih dahulu datang paling banyak diberi tanah. Penjualan tanah &lam desa oleh Kades

R w

Lologau hanya dtlakukan kepada orang Bugis. Khusus untuk tanah-tanah milik instansi (Korem, KBN, dan UNTAD). mereka mempemlehnya melalui izin Bupati sernenjak tahun 1974. Pemilik ianah ini urnurnnya adalah suku Toraja dan Manado, namun saat ini sebagian kecil sudah dijual ke orang lain misainya kepada orang Bugis atau disakap oleh orang lain.

Areal hutan negara sudah d~tanami kebun oleh Suku Kulawi dan Suku Kaili Daa (warga desa Karnarora) sernenjak tahun 1970-an dan masih beriangsung sarnpai sekarang. Setiap orang yang ingin mengambil tanah dalam kawasan hutan sebelurnnya meminta izin dari kepala desa yang kernudian mernbekalin* dengan Surat Keterangan Pengolahan Lahan (SKPL). Sebagian dari tanah ini juga sudah berpindah tangan kepada kerabat sendiri dan sebagian kecil juga ada yang dijual kepada orang Bugis.

43 Luas tanah ini adalah 120 ha. namun saling berhirnpit sehingga menirnbulkan konflik

(28)

Jual beli tanah sangat marak di desa ini rnulai di era 1970-an sampai awal 1990-an, narnun saat ini sudah jauh rnenumn karena menjual tanah sangat rnerugikan. Harga tanah tergantung kepada apakah si penjual ya'ng butuh uang atau si pembeli (dikenal dengan "tanah can uang" ataukah %ang yang can tanah"), tahun pernbelian, lokasi tanah (dipinggir jalan atau bukan), serta apakah pernbelinya -rnasih satu kerabat atau orang lain. Tanah pekarangan rnemperoleh harga paling tinggi, diikuti sawah. dan yang terrnurah adalah kebun. Tanah di areal kehutanan juga diperjualbelikan, yang disebut dengan -ganti kerugian" tenaga yang rnernbukanya pertarna kali. Artinya, yang d i p e j w t belikan bukan tanahnya namun hanya hak pakainya. Tanah kehutanan berharga paling rnurah dibandingkan yang lain, karena status hukurnnya lemah.

Secara

urnurn sulit rnembuat pola tertentu tentang harga tanah di desa inp.

Pada tahun 1960-an rnernbeli tanah di desa ini tidak rnesti dengan uang. karena bisa dengan emas atau barang-barang elektronik rnisainya tape dan televisi. Sekarang juga rnasih ada pembelian tanah menggunakan sepeda motor dan video compact disc. Selain itu, adakalanya juga tejadi pertukaran tanah. rnisalnya tanah untuk pekarangan yang sempit di pinggir jalan diganti dengan tanah kebun yang lebih luas narnun jauh dari jalan mya.

44 Tahun f 983 tanah pekarangan seluas 0.75 ha berhatga Rp. 800.000 (= Rp. 100tm2).

namun tahun 2000 pekarangan seluas 11 x 36 m berharga 4.5 juta (= Rp. 11 .000tm2). namun tahun 2004 untuk luas 240 m2 seharga 1.5 juta <= Rp. 6.250lm2). Khusus untuk tanah kehutanan, pada tahun 1980 a& tanah kehutanan yang ganti ruginya untuk 1 ha adalah Rp. 200.00 antara Kufawi ke suku Bugis. namun tahun 1990 tercatat 3 ha dijual hanya seharga Rp. 125.000, dan untuk tahun 1993 aday yang menjual Rp. 1 juta untuk luas 4 ha. Harga tanah Korem tergolong murah, bahkan ada yang menjual hanya seharga Rp. 33.000 untuk 2 ha, sesama anggota Korem juga. karena si pemilik tidak mau menggarapnya. Untuk tanah kebun dalam desa. tahun 1993 berharga Rp. 200.000ma untuk yang masih kosong. tahun 2000 sudah naik. yaitu Rp. 5 juta untuk 2 ha namun sudah ada kopi dan wklat yang berproduksi (dibeli deh Bugis). Untuk tanah kering yang kosong tahun 1982 ada yang menjual Rp. 50.000 per ha. karena tidak tahu rnau menanam apa. namun tahun 3998 ada yang Rp. 30 juta untuk 10 ha di Balimbi ketika sudah ditanami sebagian. Tahun 2001 untuk kebun datar dan sudah produksi wklat ada yang Rp. 20 juta per ha, namun ada juga hanya Rp. 8 juta untuk 1.5 ha meskipun sudah ditanami kakao.

(29)

Keterjaminan Keamanan Sosial Ekanomi

Keterjarninsn keamanan sosial ekonorni rnerupakan konsep yang terbangun dalarn kelornpok sosial berkenaan dengan keamanan hidup dan sekaligus ancarnan terhadapnya pada rnasa sekarang maupun masa yang akan datang. Penilaian temadap tingkat keterjaminan keamanan sosial ekonorni menjadi latar yang rnernbentuk perilaku ekonorni rurnah tangga, terutarna bagaimana rnereka rnernperlakukan sumber daya ekonorni yang dirnilikinya (tanah).

Secara umurn dapat dikelornpokkan ada tiga faktor yang menentukan keterjaminan kearnanan sosial ekonorni. yaitu: (1) Struktur ekonorni rurnah tangga yang terbentuk dari kepernilikan sumber daya ekonorni, terutarna penguasaan tanah. (2) lntitusi penjamin keamanan sosial ekonomi (soci~nomic welfare institution), yaitu kelompok sosial yang dapat diandalkan untuk pernenuhan kebutuhan hidup. (3) Kepastian berusaha, terutarna berkaitan dengan kepastian akses (hukurn) terhadap tanah sebagai sumber agraria terpenting.

Strukur Ekonomi Rumah Tangga dan Hubungan-Hubungan Sosial dalam Produksi

Kondisi ekonorni rnasyarakat secara umurn dapat diindikasikan misalnya oleh kondisi rurnah tinggal. Di Desa Sintuwu, rnenurut data statistik desa, kondisi Nmah tinggal beragam dan relatif seirnbang antar kategori, yaitu: rumah permanen 75 buah, semi permanen 97 buah, dan gubuk sebanyak 78 buah. Jika diuNt dari rurnah yang paling bagus, maka Suku Bugis merniliki rurnah yang lebih baik. Banyak dari mereka yang sudah memiliki rumah berdinding ternbok sejak tama. sementara sebagian bempa rumah kayu namun besar dan kokoh.

(30)

Orang Kaili Taa di Sintuwu juga banyak yang memiliki ~ r n a h tembok, meskipun yang dominan adalah rumah kayu. Sebagian rumahnya berukuran kecil dan bahkan bedinding barnbu berlantai tanah atau semen kasar. Penduduk Suku Kaili Tara sebagian besar memiliki Nmah tembok dan tampak masih baru. Rumah yang kondisi fisiknya paling rendah adalah milik S u b Kulawi, karena kebanyakan berupa ~ m a h kayu atau bambu berukuran kecil.

Kondisi ekonomi rumah tangga di Bedikari relatif sama dengan di Sintuwu. Menurut data dasar Profil Desa Bedikari tahun 2000. tercatat 34 persen rumah tangga tergolong pra sejahtera. namun 29 persen sebagai keluarga Sejahtera ill. Artinya ada stmtifkasi yang tegas dalarn tingkat ekonomi rumah tangga. Hal ini secara visual terlihat pula dari kondisi mmah tinggal. Mereka yang menempati ~ m a h berdinding tembok

besar

adalah golongan ekonomi atas yang banyak diternukan di pinggir-pinggir jalan, terutama orang Bugis. Di bagian dalam banyak ditemukan rumah-rumah kecil bedinding bambu dan berlantai tanah milik orang Kulawi.

Penduduk dari Suku Bugis berada pada golongan ekonomi atas desa, karena selain tanah-tanah kebunnya lebih luas, rnereka juga banyak bergiat di peke jaan non-pertanian dengan modal besar, misalnya usaha mobil angkutan penurnpang dan penggilingan pad?. Suku Kulawi memiliki kondisi rumah yang kurang baik, karena masih banyak yang berupa rumah kayu meskipun beberapa orang ada yang memiliki parabola, demikian pula dengan suku Toraja.

Terb~tuknya kondisi struktur ekonomi rumah tangga demikian adalah gambaran pemilikan sumber daya ekonomi, terutama tanah, yang terjadi daiam rentang waktu selama 40 tahun. Posisi ekonorni Suku Bugis yang lebih tinggi

" 5 lnformasi dari seorang sopir angkutan, bahwa dari 80 buah mobil angkutan trayek Palu-Palolo saat ini dominan dimiliki oleh orang Bugis baik yang tinggal di Palu maupun di berbagai desa di Palolo. Dari 3 penggilingan padi di dusun 1. dua adalah milik China dan sebuah lagi milik orang Bugis.

(31)

sesuai dengan penguasaan tanahnya yang lebih luas, yaitu 2.32 ha di Sintuwu dan 5,31 di Berdikari. Sernentara itu, rata-rata penguasaan Suku Kulawi hanya

2.06 di Sintuwu dan 2.35 di Berdikari, dan Suku Kaili di Sintuwu yang paling

sernpit yaitu 1.77 ha. Apalagi sebagian tanah milik Suku Kulawi dan Kaili tersebut banyak yang bempa sawah yang pendapatannya lebih rendah dibandingkan kakao (lihat larnpiran 8 dan 13).

Status ekonomi masing-masing mrnah tangga tergantung kepada struktur pendapatan dan pengeluarannya, baik pengeluaran untuk kebutuhan pangan sehari-hari rnaupun untuk k e w a j i n sosial budaya. Tarnpaknya ada hubungan anta& identitas suku dengan shuldur pendapatan dan pengeluaran. Orang Bugis yang dikenaf lebih rajin, lebih pandai bertani, serta banyak rnerniliki kebun kakao, rnemperoleh pendapatan yang (ebih Cnggi. Sebaliknya. Suku Kaili di

Sintuwu

dan Kutawi di Berdikari memperoleh pendapatan yang lebih rendah karena kebun kakao yang lebih sernpit, namun rnemiiiki pengeluaran yang besar berupa kewajiban sosiat budaya untuk pesta perkawinan dan selamatan kernatian. Hal ini rnendorong rnereka terpaksa menjual tanah kepada orang lain, yang sesungguhnya mempakan straiegi yang salah untuk keterjarninan keamanan sosial ekonorni rurnah tangga.

Penciapatan mmah tangga pertanian tergantung kepada luas penguasaan tanah dan pendapatan usahatani dari pilihan kornoditas yang diusahakan. Secara umurn, tanaman kakao mernberi hasil yang lebih rnenguntungkan dibandingkan usahatani padi sawahe. Dalam pengaturan ekonomi rumah

Produksi kakao per ha adalah 100 kg pada musim kering dan 200 kg pada musim basah dengan panen 2 kali sebulan. Dengan harga rata-rata Rp. 9000 rnaka sebulan dipemleh antara Rp. 1.8 sampai 3.6 juta. Biaya usahatani bempa biaya panen iebih kurang 10% dari nilai jual. Sementara hasil produksi padi adalah 70-100 karung gabah kering (3.5-4 ton) per ha. Setelah dikluarkan bagian untuk yang 'bapetaks. rnaka bagian pemilik menjadi 75 sampai dengan 80 persen, atau sisa ratsrata 2.5 tun lebih atau hasil beras 1500 k g x Rp. 1800/kg = Rp. 2.7 juta. Biaya yang dikeluarkan : traktor Rp. 400.000, menyiang Up. 2C0.000. dan pupuk Rp. 150.000 (=total Rp. 750.000). Sisa keuntungan = Rp. 2 juta/ha. Jika padi hanya 1-2 kali setahun. kakao berproduksi sepanjang tahun.

(32)

tangga, orang Bugis dikenal lebih irit dan senang menabung untuk mernbeli tanah dan naik haji. sebaliknya orang Kaili dan Kuiawi tidak4'.

Bagi Suku Kaili dan Kulawi, upacara perkawinan rnestilah dengan kehormatan yang rnernadai. Pelaksanaan perkawinan yang sederhana tanpa pesta yang cukup hanya pengesahan di kantor KUA "diejekm dengan sebutan "kawin B S ~ . Secara urnum memang orang Kaili dan Kulawi lebih banyak pengeluaran untuk pesta dibandingkan Bugis. Pesta perkawinan misalnya biasa rnenghabiskan biaya Rp. 6-7 juta narnun "pernasukannya' kecil, karena para tamu masing-masing hanya membawa 2 liter beras, namun ketika pulang wadah beras tersebut harus diisi dengan makanan. Sementara itu, untuk suku Bugis biaya pestanya lebih kecil (Rp. 3-4 juta), narnun "pernasukkannya" kbih besar. Mereka tidak harus rnernotong babi, sementara para tarnu yang datang rnembawa uang rata-rata Rp.lO.OOO per orang, dan tak ada bingkisan ketika tamu mau pulang.

Suku Kaili dan Kulawi rnerniliki lebih banyak jenis selamatan dibandingkan Bugis. Selarnatan kematian merupakan fangkaian prosesi yang paling panjang dan rnembutuhkan biaya yang paling besar. karena selamatan mulai dilaksanakan sernenjak hari kernatian dilanjutkan setiap 10 hari sampai hari ke seratus. Selamatan yang paling besar adalah saat kernatian yang biasanya perlu rnemotong 2-3 ekor babi ditarnbah seekor sapi, serta selamatan

47 Tidak sebagairnana hakekat naik haji pada sebagian besar orang sebagai bukti

keberhasilan ekonorni, menu- seorang tokoh masyarakat Bugis, naik haji bagi suku Bugis adakalnya merupakan suatu 'tangkah awal'. Saat di depan Kaabah dimanfaatkan untuk berdoa memohon petunjuk Atfah SVVT thadap berbagai ha1 dalam hidup termasuk ditunjukkan usaha apa yang sesuai dengan dirinya.

48

-6s-

adalah sebutan bagi barang yang berkualiias rendah sehingga dikeluarkan ketika

dilakukan grading dalarn tata niaga. Artinya, kawin seperti itu tidak mendapat kehormatan yang layak. Kawin BS adakalanya dilakukan bagi mereka yang kurang pantas. misalnya tidak direstui keluarga, atau karena ia sebelumnya berstatus janda. Jadi semata-mata bukanlah karena tidak rnemiliki biaya. Namun, tidak bersedia mengeluakan biaya besar dalam pesta kawin dianggap suatu yang di luar kepatutan.

(33)

kematian 40 hari yang setidak-setidaknya rnemotong 3-4 ekor babi ditambah seekor sapi.

Selain itu, bagi orang Kulawi masih ada lagi pesta-pesta lain, misalnya selamatan bayi (biasanya memotong 2 ekor babi). pindah rumah, syukuran ketika sembuh dari sakit, dan natal yang adakalnya juga memotong babi. Orang 8ugis hanya mengenal selamatan bayi yang biasa rnemotong f-2 ekor kambing ("ekahan3. Lagi pula, harga seekor babi jauh lebih rnahal (Rp. 700.000 sampai lebih Rp. 1 juta). dibandingkan harga kambing (di bawah Rp. 500.000 per ekor). Bagi orang Toraja, pelaksanaan pesta perkawinan dan kernatian lebih ringan dibandingkan suku Kaili dan Kulawi walau masih kbih mahal dibandingka orang Bugis. Petaksanaan selamatan kematian mereka paling sederhana, dimana selamatan hanya ketika mayat disemayamkan ("mbadong7 sampai mayat dikubur, biasanya 1 minggu setelah kematian (ada juga yang hanya disemayamkan selama 3 hari).

Secara umum perekonomian masyarakat terasa membaik semenjak meningkatnya harga kakao dan lancamya p e m a ~ a r a n ~ ~ . Tanaman kakao dipilih karena pasarnya selalu terbuka dan juga perawatannya lebih mudah, meskipun harus menunggu selama 3

-

4 tahun untuk mulai berbuah. Suku Kaili kurang sabar menunggu selama itu, apalagi mengingat jumlah lahannya yang lebih sempit, yang apabita diinarni kakao akan rnengurangi pendapatan jangka pendeknya dari padi dan jagung. Suku Bugis berani menanam kakao meskipun h a ~ s mengvrangi pengeluaran ~ m a h tangga harian, sehingga secara rata-rata orang Bugis rnemitiki lebih banyak kebun kakao dibandingkan Kaifi dan Kulawi sekarang ini.

''

Pedagang terbesar di Palu semenjak dulu adalah Toko Bintang Fajar. S e l u ~ h pedagang besar kakao di Palu berasal dari turunan China dengan kaki tangannya di desa berasal dari suku Bugis mapun Kaifi. Ada belasan pedagang kakao di Palu yang seluruhnya berkerabat.

(34)

lnstitusi Penjamin Keamanan Sosial Ekonorni yang Berdasatican lkatan Genealogis

StuMur rnasyarakat kedua desa be-ntuk kelompok-kelompok yang didasarakan ikatan sesuku. Kelompok sosial yang didasarkan ikatan kekerabatan (genealogis) mempakan suatu wadah untuk membangun keterjaminan keamanan sosial ekonomi. lkatan dengan dasar genealogis bettingkat-tingkat mulai dari bentuk hubungan sesuku yang terluas, kepada hubungan sesuku dengan asal desa yang sarna, dan selanjutnya kepada satu keluarga b s a r

(extended

family) dan keluaga inti (nuclear family)- tkatan genealogis ini

bertambah erat dengan kebiisaan kawin dengan sesama sukunya sendiri. Suku Bugis umumnya memilih pasangan dari keluarga dekat teiutama yang masih beqarak 1-2 kali sepupu. sementara Suku Kaili dan Kulawi mulai dari sepupu 3 kali.

Sentirnen kesarnaan agama juga direalisasikan dalam organiasi kerja. khususnya pada suku Kulawi di Berdikari yang membentuk organisasi PKW (Perhimpunan Kaum Wanita) bagi kaum wanita di bawah gereja BK. P W di dusun 2 beranggotakan 50 orang yang te-s bagi wanita Kulawi saja. Tiap anggoia menyisihkan masing-masing Rp 1000 ketika kelompok mereka dipanggil bekeja. Uang yang terkumpul dibelikan berbagai alat dapur yang dtpinjarnkan bagi anggota yang mengadakan pesta. Jika seorang anggota mengadakan pesta. maka sesama anggota hams rnenyumbang masing-masing Rp. 2000 ditambah bawaan lain berupa beras.

Kuatnya ikatan genealogis juga terlihat dalam pilihan tamu-tamu yang akan diundang ketika mengadakan pesta. Setiap suku akan mengundang sukunya sendiri khususnya yang berasal dari desa asal yang sama. Orang Ku!awi Kantewu misalnya akan mengundang semua perantau dari Desa 94

(35)

Kantewu (Kec. Kulawi) di Desa Berdikati

dan

desa-desa lain, sementara undangan suku lam hanyalah yang sedusun dengannya. Demikian juga pada Suku Bugis yang akan mernprioritaskan kerabatnya sendiri meskipun bertempat tingga! di Palu. Pa& prioritas kedua, baru ~ e l u ~ h Bugis dalam satu desa, sementara suku lain hanya yang tinggal sedusun saja.

Kelompok kekerabatan yang didasarkan hubungan tali dawh (genealogis) behimpit dengan agama yang dianut Di Berdikari sebagai contoh, selumh orang Kulawi beragama Kristen Pmtestan di *ah Organisasi Bala Keselamatan dan sedikit yang Pantekosta. Orang Toraja juga rnemiliki gereja sendiri yang disebut gereja Toraja, sernentara orang Bugis seluruhnya beragama Islam.

Bentuk jaminan dalam masmg-masing tingkatan kelompdc sosial berbeda-beda. Untuk memperoleh tanah garapan, peran utarna digantungkan kepada keiuarga inti, misalnya melalui mekanisme warisan atau pembagian tanah dari orang

tua

ke anak-anaknya. Memberikan tanah kepada anak yang baru menikah t'ne~pakan kebiasaan yang ada pada semua suku. temasuk bagi anaknya yang b adatang sebagai penduduk ~ baru.

Untuk perolehart tanah dengan cara membeli, keluarga luas dan sesuku dapat dijadikan harapan. Lingkungan keluarga sendiri lebih diutarnakan sebagai pembeli tanah meskipun dengan harga yang lebih murah. Selanjutnya, dafam hubungan antara pemilik tanah dengan petani "bapetaK: hubungan sesarna kerabat dekat dan sesuku juga dijadikan pertimbangan deh pemilik tanah untuk memilih talon petani yang berminat, atau sebaliknya: menjadi pertirnbangan seorang petani untuk mengajukan diri kepada pemilik sawah.

Selanjutnya, daiarn rnembantu pelaksanaan pesta, terutama &lam pembiayaan, keluarga inti merupakan pihak utarna yang diharapkan akan rnembantu. Kelompok sesuku misalnya bagi Suku Kulawi di Berdikari juga fne~pakan gaotungan untuk rnembantu, karena rnereka rnemiliki Rukun Topo 95

(36)

Uma. Untuk membantu biaya pesta secara langsung, pada Suku Kailt biasa dibantu oleh keluarga dekat, sedangkan pada suku Bugis hanyalah kedua orang tua mempelai saja. Di sisi lain, pilihan tamu yang diundang berrnakna pula sebagai petunjuk kepada keIompok mana seseorang lebih menjaga hubungan sosialnya. Dengan mengutamakan mengunclang kerabat dekat dan sesuku menunjukkan bah-wa kepada merskalah bantuan tebih bisa diharapkan dibandingkan kepada orang lain apabila suatu saat mernbutuhkan bantuan. Dengan alasan itu pihak yang rnembuat pesta rela bersusah payah mendatangi kerabat-kerabatnya sendiri meskipun me- tinggal jauh di daerah &in.

Menguatnya ikatan sosial berdasarkan garis kerabat dan sesuku merupakan suatu sikap yang muncul karena posisinya sgbagai migran (migran culfurally). Meskipun tdah bejalan selama 40 tahun, tampaknya kedua

desa

yang merupakan 'desa bentukan' belum marnpu membangun suatu kelembagaan sedesa yang cukup kuat dengan ikatan teritoriai, uniuk rnemberi jaminan sosial ekonomi bagi seluruh penduduknya. Jadi, menguatnya kelornpok- kelornpok sosial bedasarkan ikatan genealogis merupakan suatu strategi hidup yang masuk aka1 ketika belurn adanya kontrak sosial antar suku yang mampu mernbentuk s e b w h institusi sedesa yang kuat.

Administrasi

dan

Hukum Pertanahan

Kepastian akses tefhadap tanah sebagai sumber agraria terpenting dalam usaha pertanian, rnenjadi prasyarat yang mampu membangun perasaan aman (secufe) dalam bentsaha dan menjalani kehidupan sehari-hati. Tanah- tanah dalam desa merupakan milik pribadi yang diakui kepernilikannya meskipun belum semuanya memiliki sertifikat sebagai bukti kepemilikan terkwt. Sementara terhadap tanah di wilayah kehutanan tidak seorang petanipun yang memiliki surat kepemifikan syah.

Gambar

Tabel  4.  Jenis  dan  luas  penggunaan  tanah  di  Desa  Sintuwu  dan  Berdikari  tahun  2001
Tabel 6.  Cara prolehan tanah berdasarkan suku di Desa Sintuwu, 2001 (menurut  luas tanah)
Tabel 7 berikut mernperlihatkan,  bahwa  dari  30  orang  responden atau  I 0 0   persil  tanah,  terfihat  pala  cara  perolehan  tanah  yang  cukup  berbeda
Tabel  8.  Cara prokhan tanah berdasarkan Suku di Berdikari, 2001 (berdasarkan  luas tanah)

Referensi

Dokumen terkait

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 63 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Pasal 39 Peraturan Menteri

Menurut Sudiyono (2001), lemahnya posisi petani dalam pemasaran pertanian disebabkan oleh: (1) bagian pangsa pasar (market share) yang dimiliki petani umumnya sangat

Nilai total kapasitas Penambahan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) kabupaten Padang Pariaman adalah sebesar 6.833,84 ST (Tabel 11). Keadaan ini me- nunjukan bahwa dengan

Perubahan Penduduk Sementara yang telah memperoleh izinTinggal tetap dari pejabat yang berwenang, wajib melaporkan diri kepada Kepala Desa/ Lurah melalui

Dengan ini diumumkan bahwa berdasarkan Ketetapan Panitia Pengadaan Barang/Jasa di lingkungan Kantor Wilayah Kementerian Agama Prov. Demikian pengumuman ini

Pelajaran bahasa indonesia dan pelajaran biologi sangat berbeda dikarenakan biologi adalah ilmu paten sedangkan bahasa indonesia adalah ilmu

Lanjut usia mungkin tidak patuh pada regimen obat karena kemungkinan terjadi efek yang tidak diinginkan, ketidakmampuan membaca etiket produk, atau informasi

[r]