• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Tinjuan Umum Tentang Public Relations 2.1.1 Pengertian Public Relations

Public Relations atau sering juga disebut hubungan publik sebenarnya

merupakan yang timbul akibat adanya saling ketergantungan antar individu, individu dengan kelompok, maupun antar kelompok dengan masyarakat. Pada saat yang sama, semakin mengakarnya kekuatan individu dalam kelompok publik membuat hubungan ini menjadi penting.

Moore mengungkapkan dalam Public Relations terdapat empat unsur dasar, yaitu :

”Pertama, hubungan publik merupakan filsafat manajemen yang bersifat sosial; Kedua, hubungan publik adalah suatu pernyataan tentang filsafat tersebut dalam keputusan kebijaksanaan; Ketiga, hubungan publik adalah tindakan akibat kebijaksanaan tersebut; Keempat, hubungan publik merupakan komunikasi dua arah yang menunjang kearah penciptaan kebijaksanaan ini kemudian menjelaskan, mengumumkan, mempertahankan, ke dalam public sehingga memperoleh saling pengertian dan itikad baik. (Moore, 1987:7)

Menurut Effendy, mengungkapkan bahwa unsur-unsur Public Relations adalah :

(2)

1. Citra baik (Good Image) 2. Itikad baik (Good Will)

3. Saling pengertian (Mutual Understanding) 4. Saling mempercayai (Mutual Confidence) 5. Saling menghargai (Mutual Appreciation) 6. Toleransi (Tolerence)

(Effendy, 1992:3)

Maka dari itu perkembangan Public Relations kemudian menjadi suatu konsep yang dijadikan objek studi ilmiah. Dalam suatu organisasi keberadaan

Public Relations ini merupakan hal yang sangat penting sehubungan dengan

upaya membina komunikasi yang harmonis yang baik ke dalam maupun keluar organisasi.

Definisi Purel itu ialah rumusan Dr. Rex Harlow, yang dengan dana dari ”Public Relations Research and Education” Setelah mengkaji kurang lebih 472 lebih definisi Humas, (IPRA) 1978, menyatakan bahwa definisi dari Public

Relations menurut Dr. Rex Harlow dalam buku (Prof. Drs. Onong Uchjana

Effendy. M.A.) adalah :

“Public Relations adalah fungsi manajemen yang khas dan mendukung pembinaan, pemeliharaan jalur bersama antara dengan publiknya, menyangkut aktifitas komunikasi, pengertian, penerimaan dan kerja sama; melibatkan manajemen dalam menghadapi persoalan/permasalahan, membantu manajemen untuk mampu menanggapi opini public; mendukung manajemen dalam mengikuti dan memanfaatkan perubahan secara efektif; bertindak sebagai sistem peringatan dini dalam mengantisipasi kecenderungan penggunaan penelitian serta teknik komunikasi yang sehat dan etis sebagai sarana utama.” (Effendy, 1978)

(3)

Definisi tersebut di atas adalah definisi yang paling lengkap dan akomodatif terhadap perkembangan dan dinamika Humas/Public Relations, sebab terdapat aspek cukup penting dalam Public Relations, yaitu teknik komunikasi dan komunikasi yang sehat dan etis.

Menurut J.C Hoofman menyatakan bahwa :

”Untuk menumbuhkan opini publik yang positif terhadap suatu badan, publik harus diberi penerangan-penerangan yang lengkap dan objektif mengenai kgiatan-kegiatan yang menyangkut kepentingan mereka, sehingga demikian akan timbul pengertian daripadanya. Selain dari pada itu pendapat-pendapat dan saran-saran dari publik mengenai kebijaksanaan badan harus diperhatikan dan dihargai.” (Abdurachman, 1986:26)

Vincent Lowe dalam bukunya Asian Public Relations menyatakan bahwa: ”Public relations melibatkan usaha-usaha jangka panjang dan terus menerus, sehingga tidak hanya mendapat goodwill dari publik tetapi menjaga dan berkesinambungan. Tujuan utama dari usaha-usaha ini adalah untuk memantapkan saling pengertian dan komunikasi dua arah antara perusahaan dan publik-publiknya. (Lowe, 1986:5)

Walaupun berbagai definisi Public Relations memiliki redaksi yang saling berbeda akan tetapi prinsip dan pengertiannya sama. Sebagai acuan, salah satu definisi Humas / Public Relations, yang diambil dari The British Institute of

Public Relations, berbunyi :

a. “Public Relations activity is management of communications between an organization and ots publics.” (Aktifitas Public Relations adalah mengelola

(4)

b. “Public Relations practice is deliberate, planned and sustain effort to establish and maintain mutual understanding between an organization and its public.” (Praktik Public Relations adalah memikirkan, merencanakan dan

menurahkan daya untuk membangun dan menjaga saling pengertian antara perusahaan dan publiknya).

2.1.2 Ruang Lingkup Public Relations

Keberadaan dan manfaat profesi Public Relations pertama sekali mulai di kenal pada tahun 1906. Oleh seorang jurnalis bernama Ivy Ledbetter Lee yang kemudian dikenal sebagai Bapak “Humas Dunia”. Ia memanfaatkan fungsi kegiatan Public Relations melalui publikasi (publicity) , publikasi (publications), periklanan (advertising), promosi (promotions), hubungan dengan publik (public

relations), sebagai lingkup fungsi dan tugas kehumasan (Roeslan,1997:5)

Dalam aktivitasnya, Public Relations berusaha menyelenggarakan komunikasi timbal balik (two – way communication) antara perusahaan atau lembaga dengan pihak publik yang bertujuan untuk menciptakan saling pengertian dan dukungan bagi tercapainya suatu tujuan tertentu, kebijakan, kegiatan produksi barang atau pelayanan jasa dan sebagainya, demi kemajuan perusahaan atau citra positif bagi lembaga bersangkutan.

Pada pelaksanaan kegiatan komunikasi pada prakteknya tidak terlepas dari hubungannya dengan publik diluar lembaga / instansi. Hal ini di karenakan bahwa kegiatan humas tersebut bertujuan untuk memperoleh dan memelihara hubungan baik dengan publik. Sasaran kegiatan public Relations terbagi menjadi dua, yaitu :

(5)

1. Internal Public Relations, adalah orang-orang yang berada atau tercakup oleh lembaga / instansi, seluruh pegawai mulai dari staf sampai karyawan bawahan. 2. Eksternal Public Relations, adalah orang-orang yang ada di luar lembaga /

instansi yang ada hubungannya dan di harapkan ada hubungannya. (Effendy, 1989:110)

Dengan adanya kegiatan tersebut di harapkan terpeliharanya komunikasi yang baik antara publik dengan khalayaknya.

Dari beberapa perincian yang dikemukakan mengenai kelompok yang menjadi sasaran dari kegiatan humas, maka sehubungan dengan itu M.O. Palapah dan Atang Syamsudin menyatakan bahwa; Sistem hubungan dalam kegiatan

Public Relations terbagi dalam dua bagian yaitu :

1. Internal Relations

a. Employee Relations, umumnya memelihara hubungan baik dengan

karyawan, dalam rangka kepegawaian secara formil.

b. Humas Relations, umumnya memelihara hubungan khusus antara

perusahaan publiknya secara informal sebagai manusia dan bukan hubungan antara manusia yang formil.

c. Labour Relations, umumnya memelihara hubungan antara perusahaan

dengan serikat buruh di dalam perusahaan dan turut menyelesaikan masalah-masalah yang timbul di antara keduanya.

(6)

d. Stockholder Relations, umumnya memelihara hubungan dengan para

member.

2. Eksternal relations

a. Press Relations, mengatur dan memelihara hubungan dengan pers dan

umumnya media massa.

b. Government Relations, mengatur dan memelihara hubungan dengan

pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah atau dengan jabatan-jabatan resmi yang berhubungan dengan usaha perusahaan.

c. Community Relations, mengatur dan memelihara hubungan dengan

pelanggan.

d. Suplier Relations, mengatur dan memelihara hubungan dengan para

reveransir agar segala kebutuhan perusahaan dapat di terima secara teratur dengan harga dan syarat-syarat yang wajar.

e. Customer Relations, mengatur dan memelihara hubungan dengan para

langganan, sehingga hubungan itu selalu dalam situasi bahwa langgananlah yang sangat membutuhkan perusahaan, bukan sebaliknya perusahaan membutuhkan langganan. (Palapah & Syamsuddin, 1976:26)

Dalam Public Relations terdapat suatu usaha untuk mewujudkan suatu hubungan yang baik antara suatu badan dengan publiknya. Usaha-usaha untuk memberikan atau menanamkan kesan yang menyenangkan, sehingga akan timbul opini Public yang menguntungkan bagi kelangsungan hidup badan itu. Hal ini

(7)

tentang apa yang telah dilaksanakan,dan direncanakannya, salah satu aplikasinya, yaitu memberikan keterangan atau penjelasan kepada Public dengan jujur, sehingga Public merasa well-informed dan diikutsertakan dalam usaha badan tersebut.

Public Relations pada dasarnya berfungsi untuk menghubungkan public-public atau pihak-pihak yang berkepentingan di dalam suatu instansi atau

perusahaan. Hubungan yang efektif antara pihak yang berkepentingan itu, adalah hal yang penting demi tercapainya kepentingan dan kepuasan pelanggan.

Di dalam Public Relations terdapat “Two way communications” sebagai ciri khas dari Public Relations. Wilbur Schram di dalam bukunya The Process

Effect of Mass Communications, mengemukakan bahwa bila kita mengadakan

komunikasi berarti kita berusaha untuk mengadakan persamaan dengan orang lain. Sesuai dengan definisi-definisi di atas maka kata-kata atau message (pesan) yang disampaikan komunikator harus mempunyai pengertian yang sama dengan komunikan agar dapat dimengerti. Sehingga komunikator akan mengetahui bagaimana reaksi dan respon dari komunikan terhadap pesan yang akan disampaikan. Hal ini merupakan salah satu faktor utama di dalam Public

Relations sesuai dengan fungsinya. Tanpa pengertian maka reaksi dan responden

yang diharapkan didalam Public Relations mungkin tidak akan tercapai. Dengan adanya reaksi Public, maka seluruh proses komunikasi akan terjadi di dalam

public relations. Adapun penulis menitikberatkan terhadap Customer Relations,

(8)

Relations tersebut dalam mengatur dan memelihara hubungannya sehingga

tercipta loyalitas yang baik dari Hotel Horison Bandung.

2.1.3 Tujuan Public Relations

Tujuan utama Public Relations adalah untuk mempengaruhi publiknya, antara lain sejauh mana mereka mengenal dan mengetahui kegiatan lembaga atau instansi yang diwakilinya, yang ada akhirnya menjadi dikenal dan disukai publikasinya.

Dalam hal ini untuk mencapai tujuannya, seorang Public Relations harus mengembangkan goodwill dan memperoleh opini public yang favourable atau menciptakan kerja sama berdasarkan hubungan yang harmonis dengan berbagai publik. Kegiatan Public Relations harus di kerahkan ke dalam (Internal Public

Relations) dan ke luar (Eksternal Public Relations).

Secara universal tujuan Public Relations itu adalah “untuk menciptakan, memelihara, meningkatkan dan memperbaiki citra perusahaan atau organisasi dimata publik yang disesuaikan dengan kondisi-kondisi dari pada publik yang bersangkutan”.

Citra adalah gambaran atau penilaian yang dilihat dan dirasakan oleh orang lain, secara keseluruhan. Beberapa cara memperoleh citra atau image positif ini antara lain :

(9)

c. Public Support (dukungan publik)

d. Pubilc Cooperation (kerjasama publik)

Salah satu pokok professional public relations sesuai dengan tujuannya adalah menciptakan dan memperhatikan citra yang sudah dimiliki oleh perusahaan yang bersangkutan. Menurut Frank Jefkins, ada lima citra yang ada dalam perusahaan atau lembaga, yaitu antara lain :

1. Citra Bayangan (Mirror Image)

Citra bayangan adalah citra yang di anut oleh orang dalam mengenai pandangan luar terhadap lembaganya. Citra ini cenderung bersifat positif dan biasanya citra ini melekat pada orang dalam atau anggota-anggota lembaga, biasanya adalah pimpinannya, mengenai anggapan pihak luar tentang lembaga/instansinya..

2. Citra yang berlaku (Current image)

Citra yang berlaku adalah suatu citra atau pandangan yang melekat pada pihak-pihak luar mengenai suatu lembaga. Citra ini cenderung negative, karena dari sifat citra ini tidak selamanya, bahkan jarang, sesuai dengan keyakinan karena semata-mata terbentuk dari pengalaman atau pengetahuan dari orang-orang yang bersangkutan.

3. Citra yang Harapkan (Wish Image)

Citra yang diharapkan maksudnya adalah suatu citra yang diinginkan oleh pihak manajemen. Biasanya ciitra ini lebih baik atau lebih menyenanhkan daripada citra yang sebenarnya atau citra yang ada.

(10)

4. Citra Perusahaan (Corporate Image)

Yang dimaksud citra perusahaan adalah citra suatu lembaga secara keseluruhan, jadi bukan citra atas produk dan pelayanannya. Yang meningkatkan citra perusahaan antara lain adalah sejarah perusahaan, dan prestasi perusahaan.

5. Citra Majemuk (Multiple Image)

Citra majemuk dapat dikatakan bahwa citra ini adalah citra yang berasal dari keseluruhan unit dan individu yang ada dalam perusahaan, yang memiliki peranan dan perilaku sendiri.

6. Citra yang baik dan buruk

Sebelumnya dikatakan bahwa citra humas yang ideal adalah atau kesan yang benar, yakni sepenuhnya berdasarkan dari pengalaman. Pngetahuan serta pemahaman atas kenyataan yang sesungguhnya. Ini berarti citra tidak selamanya di poles agar lebih indah dari warna aslinya, melainkan citra dapat dimunculkan kapan saja, termasuk ditengah terjadinya masalah atau musibah. (Jefkins, 1992)

2.1.4 Proses Public Relations

Ahli Public Relations Cutlip dan Center mengakibatkan Public Relations sebagai gunung es. Sebuah gunung es yang tampak dari jauh muncul diatas permukaan laut, sering disangka orang yang muncul itulah keseluruhan gunung es tersebut. Kenyataannya tidaklah demikian .yang tampak hanyalah kira-kira

(11)

seperempat dari gunung es. Tiga perempat bagian lainnya lagi tidak keluhatan, karena berada di bawah permukaan laut.

Demikian pula halnya dengan Public Relations, banyak orang yang menyangka Public Relations itu hanyalah kegiatan yang tampak. Sebenarnya kegiatan yang tampak oleh publik itu hanyalah satu tahap saja dari seluruh kegiatan Public Relations Tahap-tahap kegiatan lainnya tidak kelihatan. Seperti dikatakan dimuka, Public Relations adalah kegiatan, aktivitas, proses kegiatannya melalui 4 tahap, yakni tahap-tahap penelitian (research), perencanaan (planning), penggiatan (action), dan penilaian (evaluation). Tahap-tahap humas itu berlangsung secara berkesinambungan. Seorang Public Relations dari suatu perusahaan, umpamanya, pada suatu ketika diminta managernya untuk meneliti dengan cepat tanggapan publik. Dalam hal itu akan mengadakan penyelidikan, mencari fakta (fact finding). Dan Public Relations harus melakukan perencanaan (planning).lalu melakukan penggiatan (action),dan yang terakhir humas melakukan penilaian (evaluation).

Seringkali Public Relations diserahi tugas, dimana Public Relations bersama para petugas Public Relations melakukan keempat tahap kegiatan tanpa diselingi tugas-tugas lain. Public Relations berturut–turut melakukan penelitian, kemudian perncanaan, lalu penggiatannya dan seterusnya mengadakan penilaian.

Tugas apa saja yang diserahkan kepada Public Relations, dalam penyelengaraannya perlu melalui keempat tahap tadi, demi suksesnya pekerjaan. Terutama dalam menyelenggarakan tugas yang menyangkut biaya, pentahapan itu

(12)

penting, karena dengan pentahapan itu bias diperoleh hasil sebanyak-banyaknya dengan biaya yang seminimal mungkin.

Penelitian (research) , tahap ini merupakan kegiatan mendapatkan data dan fakta (fact finding) yang erat sangkut pautnya dengan pekerjaan yang akan digarap. Segala keterangan harus diperoleh selengkap mungkin, jangan sampai dikemudian hari ternyata ada sesuatu yang tertinggal, yang untuk mendapatkannya diperlukan lagi waktu, tenaga, dan biaya. Sehubungan dengan itu, imajinasi memegang peranan penting. Dengan imajinasi yang mendalam akan dapat diperoleh gambaran yang luas mengenai segala sesuatu yang akan digarap. Dengan imajinasi yang mendalam akandapat dikumpulkan keterangan-keterngan mengenai hal-hal yang mungkin akan menyebabkan kegagalan dalam pelaksanaannya kelak. Dalam tahap penelitian tersebut Public Relations berusaha mencari keterangan yang merupakan data factual . keterangan yang mentah itu harus diolah terlebih dahulu. Disini Public Relations mengadakan perbandingan, pertimbangan, dan penilaian, sehingga akhirnya dapat diperoleh kesimpulan sampai dimana derajat ketelitian dan derajat kebenaran dari data yang diperoleh itu. Data yang sudah matang itu lalu dipisah-pisahkan, diklasifikasikan, dikelompok-kelompokkan, dan sebagainya. Data tersebut disusun sedemikian rupa, sehingga memudahkan nanti dalam penggunannya.

Penelitian bisa bersifat “opinion research” atau bersifat “motivation

research”. Opinion Research ialah penelitian terhadap pendapat khalayak

(13)

usaha untuk mengukur, secara kualitatif dan kuantitatif, sikap public terhadap sebuah perusahaan dagang, industri atau lainnya, terhadap kebijaksanaannya, personilnya, pelayanannya, atau produksinya (the attempt to measure, both

quantitatively and qualitatively, public attitudes towards a company, industry, or other organization and toward its policies, personnel, services , or products). Motivation Research adalah cabang dari marketing research “penelitian

pemasaran“ yang meneliti keinginan dan kebutuhan khalayak.

Perencanaan (Planning), dari tahap penelitian meningkat ke tahap perencanaan. Dalam tahap ini Public Relations melakukan penyusunan daftar masalah (Problem). Dengan adanya daftar tersebut akan dapat dilakukan pemikiran dengan cepat untuk mengatasinya dan sekaligus menentukkan orang-orangnya yang akan menggarap pelaksanaannya nanti. Semua masalah yang mungkin dihadapi kelak ditulis dan disusun dengan rapih dan jelas. Demikian pula pemikiran-pemikiran yang mungkin dapat memecahkan masalah-masalah tadi. Perencanaan ini perlu dipikirkan dengan matang, oleh karena kegiatan ini merupakan salah satu tahap yang turut menentukkan suksesnya pekerjaan Public

Relations seluruhnya. Perencanaan ini menghendaki penglihatan yang jauh ke

muka, ke belakang, dan ke sekelilingnya. Perencanaan disusun dengan berpijak pada data dan fakta yang diperoleh pada tahap penelitian tadi. Fakta adalah hal-hal yang dilihat sendiri atau hasil-hasil Interview dengan orang-orang yang bersangkutan dengan pekerjaan yang digarap. Data dan fakta itu adalah apa adanya, tanpa interprestasi. Jadi, perencanaan itu disusun semata-mata berdasarkan fakta, bukan berdasarkan keinginan Public Relations.

(14)

Sebuah rencana adalah campuran dari kebijaksanaan (Policy) dan tata cara (Procedure). Kebijaksanaan dari pimpinan Public Relations ini, yakni humas menjadi pedoman bagi pemikiran dan tindakan para petugas. Dan tata cara meliputi pemilihan tindakan yang akan dijalankan kelak dalam tahap pelaksanaannya. Perencanaan tersebut bermanfaat sekali bagi Public Relations dan para petugas pelaksana .

Penggiatan (Action), sampailah kepada tahap penggiatan. Public Relations melakukan Action. Memang tahap Action (penggiatan) dari kegiatan Public

Relations merupakan kegiatan komunikasi. Bahkan ahli Cutlip dan Center

menanamkan tahap penggiatan. “Communicating“ (pentahapan proses Public

Relations humas menurut Cutlip dan Center adalah Fact Finding – Planning – Communicating –Evaluation )

Penilaian (Evaluation), adalah tahap terakhir setelah tahap-tahap penelitian, perencanaan dan penggiatan. Dimuka telah dijelaskan bahwa pentahapan proses

Public Relations itu dalam prakteknya berlangsung secara berkesinambungan,

sehingga tidak tampak kapan dimulainya perencanaan dan kapan dimulainya penilaian. Sebab sebelum penilaian berakhir, telah dimulai pula dengan penelitian untuk mencari fakta. Tidak jarang terjadi perubahan suatu program yang telah direncanakan. Dan memang setiap program dalam tahap perencanaan harus kenyal, tidak kaku, demi lancarnya kegiatan yang dilakukan. Tujuan utama dari penilaian ialah untuk mengetahui apakah kegiatan Public Relations benar-benar dilaksanakan menurut rencana berdasarkan hasil penelitian atau tidak. Jadi,

(15)

kelancaran kegiatan Public Relations yang telah berlangsung. Seperti dalam tahap-tahap lainnya, dalam tahap penilaian ini pun Public Relations hendaknya bekerja teliti dan seksama. Dalam hubungan ini kejujuran merupakan factor yang penting. semua data harus faktual. Public Relations tidak boleh memberikan tafsiran, apalagi menyelewengkan fakta.

2.1.5 Public Relations sebagai Kegiatan Komunikasi

Mengenai keterkaitan antara Public Relations dengan komunikasi, dapat dilihat dari uraian Effendy sebagai berikut: “Hubungan publik mempunyai yang biasa dikenal sebagai technique of Communication atau “Metode Komunikasi.” (Effendy, 1992:18).

Konsep Public Relations sebagai teknik komunikasi mengandung pengertian bahwa kegiatan komunikasi dalam Public Relations dilakukan berdasarkan teknik komunikasi seperti yang dianjurkan dalan studi ilmu komunikasi. Yang penting dalam konsep ini bahwa Public Relations adalah kegiatan semua pimpinan organisasi yang memiliki publik intern dan ekstern sebagai sasaran kegiatannya.

Public Relations sebagai metode komunikasi mempunyai pengertian

bahwa Public Relations dari suatu organisasi bersifat kelembagaan, dalam arti ada bagian tertentu yang khusus menangani kegiatan public Relations. Selanjutnya kegiatan public Relations perencanaannya, dijabarkan kedalam teknik-teknik

(16)

keterampilan komunikasi yang bersifat informative, persuasif atau koersif, serta kalau perlu bersifat rekreatif.

2.1.6 Peranan Public Relations

Dalam menjalankan tugas dan operasionalnya sebagai seorang profesionalis, peranan Public Relations dituntut untuk dapat membentuk manajemen krisis (crisis management), memulihkan citra setelah pasca krisis (rectification and image recovery), manajemen Public Relations, yaitu melakukan proses transfer dari situasi negative diupayakan menjadi situasi positif yang menguntungkan, khususnya merekayasa dan menggalang Opini Public sesuai dengan tujuan dari Public Relations itu sendiri, yaitu untuk memperoleh citra yang lebih baik bagi perusahaan / lembaga yang diwakilinya. (Roeslan, 1997:7)

Menurut Dozier, D.M.1992, mengatakan bahwa :

“Peranan praktisi Public Relations dalam suatu orang/perusahaan merupakan salah satu kunci untuk memahami fungsi Public Relations dan komisi orang, disamping itu juga merupakan kunci untuk pengembangkan peranan praktisi Public Relations / Humas dan pencapaian professional dalam Public

Relations.” (Ruslan, 1997:21)

Dalam kutipan pada buku “Kiat dan Strategi–Kampanye Public Relations, 1997” Rosady Roeslan, S.H mengatakan bahwa “Public Relations Are Power Of

Opinion”, yakni ”Peranan Public Relations tersebut sama dengan jurnalistik yang

memiliki kekuatan dan kekuasaannya untuk membentuk opini”. Perbedaannya adalah media pers dan wartawan merupakan alat kontrol sosial, sedangkan Public

(17)

yang diwakilinya dengan public yang menjadi target sasarannya (Target

Audience).

Oleh karena itu, kredibilitas seseorang Public Relations Officer (PRO) sangat diperlukan dalam melaksanakan peranannya, khususnya dalam berkampanye dan berpropaganda untuk tujuan promosi, publikasi, meningkatkan kesadaran dan pemahaman pengertian, hingga membujuk dan mempengaruhi, untuk mencari dukungan tertentu dari public sasarannya.

Tugas dan tanggung jawab Public Relations dalam peranannya adalah menciptakan, kepercayaan, kejujuran dan dapat memberikan inforlasi/publikasi yang baik kepada masyarakat, tentunya di dukung dengan kiat dan strategi, serta teknik-teknik yang digunakan pada program yang hendak dilaksanakannya.

Prof. Drs. Onong Uchjana Effendy, M.A dalam “Hubungan Masyarakat Suatu Komunikasi” (Roeslan, 1997:10) memberi kesimpulan mengenai peran utama Public Relations yang pada intinya adalah sebagai berikut :

a. Sebagai Communicator atau penghubung antara orang atau lembaga yang diwakilinya dengan publiknya:

Prosesnya berlangsung dalam dua arah timbal balik (Two – Way Refficreciprocal

Communications). Dalam hal ini, disatu pihak melakukan fungsi komunikasi

merupakan bentuk penyebaran informasi, dilain pihak komunikasi berlangsung dalam bentuk penyampaian pesan dan menciptakan opini (Public Opinion).

(18)

b. Membina Relationship, yang berupa membina hubungan yang positif dan saling menguntungkan dengan pihak publik sebagai target sasarannya, baik internal maupun eksternal publik:

Khususnya dalam menciptakan saling mempercayai (Mutually Understanding), dengan saling memperoleh manfaat bersama (Mutually Simbiosis), antara lembaga atau organisasi perusahaan dan publiknya.

c. Peranan Back-up Management, yakni sebagai pendukung dalam fungsi manajemen orang atau perusahaan:

Dijelaskan bahwa Public Relations melekat pada fungsi manajemen, berarti ia tidak dapat dipisahkan dari manajemen. Proses tersebut dalam teorinya melalui tahapan yang dikenal dengan “POAC”, yaitu Planning (perencanaan), Organizing (perorganisasian), Actuating (penggiatan), dan Controling (pengawasan).

Public Relations sebagai alat manajemen mempunyai keterkaitan yang kuat dalam

tiga hal, yang mana :

1. Pada dasarnya manajemen membantu penerapan konsep-konsep pada kehidupan manusia.

2. Pada dasarnya manajemen untuk Public Relations adalah sebagai strategi Public

Relations, strategi dalam mengahadapi perubahan lingkungan.

3. Proses Public Relations merupakan pendekatan manajerial yang dimulai dari proses pengumpulan fakta  aksi dan komunikasi  evaluasi

(19)

d. Membentuk Coorporate Image, artinya peranan Public Relations berupaya menciptakan citra diri bagi instansi atau lembaganya.

Menciptakan citra perusahaan merupakan tujuan (goals) akhir dari suatu aktifitas program kerja public relations campaign (kampanye public relations), baik untuk keperluan publikasi maupun promosi. (Roeslan, 1997:10)

2.1.7 Sasaran Public Relations

Sasaran Public Relations adalah public, yakni kelompok dalam masyarakat yang memiliki karakteristik kepentingan yang sama, jadi sasaran Humas bukanlah perorangan. Hal ini yang disampaikan sebagai personal relations.

Dalam praktek public ini dikelompokkan menjadi dua yakni public

internal dan public external, public internal mencakup karyawan, yakni mereka

yang bekerja dalam organisasi atau lembaga dengan karakteristik, kepentingan investasi yang aman terjaga, asset, public pengelola yang memiliki kepentingan terhadap peningkatan kinerja organisasi atau lembaga.

Public external, masing-masing organisasi atau lembaga biasanya

memiliki public external yang berbeda namun pada prinsipnya public ini berada diluar organisasi atau lembaga misalnya komunikasi lokal (tetangga) yang memiliki karakteristik kepentingan rasa aman, rasa bangga, keindahan dan keselamatan lingkungan, keselamatan kerja, penambahan penghasilan. Public pers yang memiliki kepentingan terhadap peristiwa-peristiwa yang memiliki nilai berita dan sumber-sumber public, pemerintah yang memiliki kepentingan terhadap

(20)

mitra pengelola, sumber daya alam dan lingkungan, pemasukan pajak, penyerapan tenaga kerja.

2.2 Pencitraan

Wacana tentang pencitraan makin banyak didiskusikan pada saat media menjadi sesuatu yang omnipresent (ada dimana-mana). Karena medialah yang dianggap sebagai agen pengejawantahan pencitraan. Pencitraan sendiri adalah bagaimana sesuatu dapat dikenali melalui tampilan yang dirancang oleh suatu entitas. Baik itu sebuah personal, institusi, maupun bentuk noumena lainnya. Makna noumena disini adalah ide, gagasan, karakter, dan juga pesan yang terdapat dalam sesuatu yang empiris. Dalam konteks kekinian, kebanyakan pencitraan kontra terhadap substansi. Ia menginginkan lingkungan di luar dirinya untuk mengimajinasikan persepsi tentangnya seperti apa yang entitas tersebut inginkan. Walaupun dalam beberapa hal ia berada diluar kesadaran. Sehingga dimensi empiris adalah keniscayaan dalam pencitraan.

Seperti dalam nomenklatur brand image, „brand‟ dapat dirujuk pada kata kerja „branding‟. Branding berarti sebuah aktivitas memberi nama atau sebuah identitas partikular untuk menarik simpati dan keberpihakan. Image menunjukkan pembayangan dan penganggapan atas sebuah noumena, bahwa apa yang ditampakkannya adalah seperti hal-hal yang melekat dalam kediriannya.

(21)

Di titik inilah, pencitraan, brand image, atau dapat kita katakan iklan, menjadi manifesto atas metode manipulatif. Konsep hiperealitas ini efektif untuk menunjukkan substansi (kualitas, sikap, moralitas) sebagaimana yang diinginkan subjek. Contoh empiris atas uraian ini adalah deretan baliho, spanduk, dan bendera yang biasanya berslogan. Selain itu iklan elektronik dari para calon wakil rakyat dalam pemilihan umum tahun 2009, juga tak luput dari permainan tanda yang dapat membunuh makna. Orang akan memberi justifikasi atas subtansi para calon sesuai dengan apa yang ditunjukkan calon tersebut secara empiris terhadap orang lain.

Bahkan Heidegger (dalam Piliang, 2003:207) berani mengklaim bahwa dunia kontemporer telah dipenuhi oleh gambar dan citraan yang menurutnya telah mendominasi dunia kasat mata. Sehingga dapat dikatakan ia kini menjadi semacam alam kedua kita. Gambar dan citraan yang dibayangkan oleh Heidegger adalah pengertian yang luas mencakup lukisan, foto, televisi, iklan, produk, dan arsitektur. Selanjutnya perspektif topografis, ilusi, akan menjadi fondasi atas memori-memori imajinatif manusia.

Imaginasi, menjadi mekanisme penting dalam sebuah identifikasi verbal maupun non-verbal. Apa yang orang katakan atas suatu hal adalah apa yang sedang dia bayangkan terhadap suatu hal tersebut (Ian Robertson, 2007: 37). Ketika orang mengatakan seekor harimau, maka dalam waktu yang beriringan bayangan akan sebuah benda mirip kucing, lebih besar, bertaring, bercakar, agresif, dan buas muncul darinya seketika. Bahkan dalam beberapa kasus,

(22)

imajinasi tersebut muncul sebelum aktivtas verbal dilakukan. Sehingga menyampaikan pesan dengan memberi kesan merupakan upaya membangun kekuasaan pengaruh untuk sebuah memori imajinatif.

Secara lebih khusus, realitas yang terjadi sekarang yakni serakan foto-foto di atas pancangan bambu dan di balik layar-layar perabot elektronik sebenarnya dapat dilihat dari argumentasi Barthes terhadap tipe empirik yang spesifik ini:

“Akan tetapi pada gambar tertentu (khususnya foto) terdapat relasi waktu yang khusus dibalik gambar. Seseorang pada sebuah foto, yang diambil pada masa lalu, dapat dianggap hadir di sini, di masa kini, di hadapan kita. Ia telah ada pada foto itu, artinya ia masih aka ada, layaknya sesuatu yang hidup.”

Argumentasi dari pemikir Prancis yang menonjol dengan pemakaian konsep sintatik-paradigmatik dalam menjelaskan gejala budaya berpendapat bahwa pencitraan senantiasa ditampilkan untuk menghadirkan masa lalu. Apa yang disebut romantisme sejarah, dapat termanifestasi melalui pencitraan yang sangat empiris ini. Hal ini dilakukan sekali lagi agar subjek menginginkan adanya pengakuan atas apa yang dia inginkan dari lingkungan eksternal diluar dirinya.

Menjadi sangat menarik ketika pencitraan juga dibingkai dengan konsep dramaturgi dari Erving Goffman. Anggota mazhab Chicago ini dalam dramaturgisnya membayangkan bahwa individu adalah aktor panggung yang tengah mempertunjukkan performanya di depan para penonton. Mekanisme panggung yang di dalamnya termasuk aktivitas di depan panggung dan di

(23)

belakang panggung adalah aspek penting dalam konsep ini. Individu sebagai manifestasi aktor panggung cenderung menampilkan hasil akhir dari proses pembentukan performance di depan audiennya. Sehingga jati diri aktor yang sebenarnya adalah bagian yang harus dinafikan.

Sedangkan bagian belakang panggung tidak perlu diperlihatkan, karena biasanya terdapat kekeliruan ketika latihan. Hal itulah yang menjadikan belakang panggung tidak boleh diketahui penonton agar pementasan berjalan lancar .

Konsep ini dapat membedah fenomena pencitraan yang dilakukan oleh para caleg. Slogan dan janji saja yang dikumadangkan dalam media sosialisasi, sebagai hasil pengharapannya untuk diminati rakyat. Namun, demi kesuksesan pementasan drama, proses atau cara untuk mencapai janji dan slogan tersebut hampir tidak pernah ditampilkan, karena hal itu berada pada wilayah belakang panggung.

Namun dibalik pencitraan sebagai sebuah epidermia dari substansi yang sering dinafikan, terdapat episentrum lain yang kita sebut dengan orientasi. Pada dasarnya orientasi berpangkal pada sebuah kesadaran melakukan. Kesadaran bahwa tujuan utama akan menjadi hasil akhir yang satu jalur dengan tujuan tersebut ternyata pada akhirnya mengalami “pelebaran” atau penyimpangan akibat.

Namun dalam konteks pencitraan, tampilan-tampilan yang diekspresikan cenderung bersifat efektif terhadap orientasi awal yang manipulatif. Sebagai

(24)

contoh adalah seorang menginginkan dirinya dianggap intelektual oleh orang lain. Maka tampilan berkaca mata dengan jinjingan buku-buku para penggagas teori menjadi sangat efektif pada pertama kali orang lain melihatnya. Sehingga pencitraan yang dilakukan olehnya adalah mempunyai akibat sesuai dengan orientasinya yang menginginkan lingkungan diluar dirinya mempersepsikan sesuai apa yang dia inginkan (sadar maupun tidak sadar).

Berbeda dengan apa yang disebut sebagai orientasi asimetris, penyimpangan akibat sangat dimungkinkan terjadi. Sebagai contoh ketika kampus menginginkan adanya penertiban tata ruang, kebersihan, dan kerapian infrastruktur fisik kampus, aturan ketat dan tegas adalah ekspresi atas orientasi pokok ini. Namun, akhirnya lingkungan eksternal, para mahasiswa, yang pada dasarnya sebagai entitas terbesar secara kuantitas memiliki pertimbangan berbeda dengan pembuat kebijakan. Intelektual muda cenderung mempersepsikan hal ini sebagai tindakan koersif dan tidak humanis, hal kebendaan yang mati lebih penting dari pada hak manusiawi.

Orientasi yang manipulatif dengan menafikan substansi sebenarnya cenderung mempunyai jalur akibat sama dengan tujuan awalnya. Orientasi asimetris bukan dilihat sebagai sebuah anomali pencitraan. Karena bagaimanapun juga, orientasi dalam kasus ini harus kita gesekkan pada ranah aksiologis, ranah yang menyangkut moralitas dan mentalitas. Identitas sejati adalah dia yang dapat mempertanggungjawabkan ekspresi-ekspresi epidermia atas pencitraan yang sadar maupun tidak sadar dia tampilkan. Namun, ketika kita sepakat dengan Heidegger

(25)

bahwa dunia kontemporer ini dipenuhi oleh „gambar-gambar‟, maka setiap entitas yang berkesadaran-berkehendak tidak lepas dari pencitraan atas kediriannya

Hingga tataran ini, tampak bahwa pencitraan bukanlah sebuah proses yang sederhana. Oleh karena itu, tulisan ini selanjutnya akan menguraikan pencitraan dari aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang merupakan tiga aspek yang paling dasar untuk melakukan pengkajian filsafati terhadap pencitraan sebagai aktivitas komunikasi.

2.2.1 Tinjauan Ontologis Terhadap Pencitraan

Ontologi membahas tentang apa yang ingin kita ketahui, hakikat apa yang dikaji (Karimah dan Wahyudin, 2010: 40). Tinjauan ontologis merupakan upaya untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan “apa”. Aristoteles menyebut pertanyaan itu sebagai the first philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi benda (Bakhtiar, 2004: 219). Jika diterapkan pada kajian tentang pencitraan maka bagian ini akan menguraikan tentang apa itu pencitraan?

Pencitraan jika diuraikan dari akar katanya berasal dari kata citra ditambah dengan awalan pe(n)- dan akhiran –an. Pemberian imbuhan pe- dan –an pada kata benda mengakibatkan perubahan kata benda tersebut menjadi kata kerja. Sebagai ilustrasi, pewarnaan. Berasal dari warna (kata benda) ditambah pe- dan –an. Dimaknai sebagai sebuah proses memberikan atau menjadikan sesuatu menjadi berwarna. Demikian pula pencitraan. Merupakan proses memberikan citra terhadap sesuatu, bisa berupa produk, diri pribadi, ataupun organisasi.

(26)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian citra adalah: (1) kata benda: gambar, rupa, gambaran; (2) gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi, atau produk; (3) kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase atau kalimat, dan merupakan unsur dasar yang khas dalam karya prosa atau puisi. Frank Jefkins dalam bukunya Public Relations Technique, mengartikan citra sebagai kesan seseorang atau individu tentang sesuatu yang muncul sebagai hasil dari pengetahuan dan pengalamannya. Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya, Psikologi Komunikasi menyebutkan bahwa citra adalah penggambaran tentang realitas dan tidak harus sesuai dengan realitas, citra adalah dunia menurut persepsi (dalam Soemirat dan Ardianto, 2002: 114). Berdasarkan berbagai definisi citra tersebut, dapat disimpulkan bahwa citra bukanlah sebuah benda berwujud melainkan sesuatu yang ada dalam ranah kognitif seseorang. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa citra adalah fragile commodity, komoditas yang rapuh, yang mudah rusak, karena citra sangat tergantung pada pemahaman orang dan pengalaman orang tentang sesuatu.

Lebih terperinci Frank Jefkins (1992: 17) menguraikan citra menjadi lima kategori, yaitu citra bayangan (mirror image), citra yang berlaku (current image), citra yang diharapkan (wish image), citra perusahaan (corporate image), dan citra majemuk (multiple image). Mirror image adalah citra yang dibayangkan (ada dalam benak) orang dalam (diri pribadi) tentang kesan orang luar (orang lain) terhadap dirinya atau organisasinya. Citra ini seringkali tidak tepat, karena hanya

(27)

yang berlaku adalah citra yang sebenarnya yang ada pada pihak luar atau pihak lain tentang diri atau organisasi kita. Dengan demikian tidak heran jika mirror image bisa sangat bertolak belakang dengan current image tergantung jumlah informasi yang dimiliki oleh masing-masing pihak. Wish image, merupakan citra yang diinginkan oleh pihak manajemen. Citra yang diharapkan inilah yang umumnya kemudian diperjuangkan agar bisa terwujud. Corporate image, merupakan citra organisasi secara keseluruhan. Citra ini terbentuk oleh banyak hal antara lain kinerja dan keberhasilan perusahaan, hubungan yang baik dengan stakeholders, dan sebagainya. Terakhir adalah multiple image, atau citra majemuk. Citra jenis ini muncul karena perusahaan umumnya terdiri dari banyak komponen yang membangun. Bisa jadi orang memiliki citra positif terhadap produk yang dihasilkan sebuah perusahaan namun pada waktu yang bersamaan publik memberikan citra negatif terhadap pelayanan yang diberikan oleh staf perusahaan.

Pada dasarnya, setiap orang atau perusahaan menginginkan citra yang sesuai dengan harapannya. Oleh karena itu, mereka akan berusaha mengarahkan agar ke empat jenis citra lainnya (mirror image, current image, corporate image, maupun multiple image) dapat memenuhi harapan mereka dengan cara melakukan pembentukan citra atau pencitraan. Hingga pada tataran ini, dapat dibuat simpulan sebagai jawaban atas pertanyaan ontologis, apa itu pencitraan? Pencitraan adalah upaya yang dilakukan seseorang atau perusahaan untuk membuat pihak lain dapat memiliki kesan tentang diri atau perusahaan mereka (citra) sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu pencitraan bisa dikatakan pula sebagai kegiatan

(28)

pembentukan citra atau kegiatan membangun citra (image building) agar orang lain dapat memberikan kesan positif terhadap diri maupun perusahaan.

2.2.2 Tinjauan Epistemologis Terhadap Pencitraan

Tinjauan epistemologis menyangkut pertanyaan filosofis kedua, yaitu bagaimana memperoleh pengetahuan? Pertanyaan epistemologis muncul ketika orang sudah memperoleh jawaban tentang hakikat sesuatu, tentang apa dan kemudian mempertanyakan ulang apakah keyakinannya itu benar, maka perlu ada penelusuran tentang bagaimana jawaban atas pertanyaan ontologis itu diperoleh. Berbagai metode bisa dilakukan untuk mendapatkan pengetahuan. Bakhtiar (2004:152) menyebutkan adanya metode deduktif, induktif, positivisme, kontemplatif dan dialektis sebagai cara untuk memperoleh pengetahuan.

Dalam konteks pencitraan, ketika kita membuat simpulan sementara atas pertanyaan pertama, bahwa pencitraan adalah proses untuk mendapatkan citra sesuai dengan harapan kita. Maka pertanyaannya kemudian adalah bagaimana proses itu dilakukan? Bagaimana citra yang diharapkan itu bisa kita dapatkan? Secara deduktif, upaya mencari jawaban atas pertanyaan ini bisa dimulai dari jawaban ontologis tentang hakikat citra. Citra adalah kesan yang timbul karena pemahaman atas sesuatu (Kasali, 1994: 28). Pemahaman itu sangat tergantung pada jumlah informasi yang dimiliki ataupun pengalaman yang dimiliki terhadap sesuatu itu. Sebagai ilustrasi, seorang adik akan memberikan kesan positif terhadap kakaknya yang menjadi pengamen jalanan, karena dia tahu persis bahwa

(29)

keluarganya. Sementara para pengendara jalan akan memberikan kesan negatif karena hanya mengetahui sedikit bahwa pengamen itu sudah mengganggu pengguna jalan. Berdasarkan ilustrasi tersebut, dapat dibuat simpulan bahwa kunci dari pencitraan terletak pada proses kognitif, bagaimana membuat publik memahami diri kita atau perusahaan kita sesuai dengan yang kita harapkan. Untuk itu perlu diberikan informasi yang lengkap dan memadai sehingga mereka bisa memiliki pemahaman yang benar tentang diri dan perusahaan kita.

2.2.3 Tinjauan Aksiologis Terhadap Pencitraan

Aksiologi berkaitan dengan cara bagaimana menggunakan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh secara epistemologis sebelumnya (Karimah dan Wahyudin, 2010: 44). Amsal Bakhtiar (2004: 163) mengutip definisi aksiologi dari Jujun S. Suriasumantri sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Definisi tersebut sejalan dengan arti kata aksiologi sendiri. Aksiologi berasal dari kata axios yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai.

Nilai bisa bersifat obyektif atau subyektif tergantung pada pandangan filsafatnya. Demikian pula dengan nilai yang dilekatkan pada pencitraan. Apakah nilai pencitraan itu bagi kita? Untuk mendapat jawaban atas pertanyaan aksiologis ini, maka kita perlu sedikit mundur ke simpulan ontologis dan epistemologis sebelumnya. Secara ontologis pencitraan adalah proses untuk membentuk atau mengarahkan kesan publik (citra) tentang diri atau perusahaan/ organisasi sesuai dengan yang kita harapkan. Secara epistemologis pencitraan dilakukan dengan

(30)

membangun pemahaman yang baik pada publik melalui pemberian informasi yang lengkap tentang obyek yang dicitrakan.

Permasalahannya kemudian adalah sebagian orang atau perusahaan justru “menghindari” pemahaman yang benar tentang diri atau perusahaannya yang sesungguhnya. Mereka khawatir jika publik mengetahui yang sebenarnya tentang diri atau organisasi yang dicitrakan. Akibatnya muncullah praktek pencitraan yang lebih mengarah pada praktek spin doctor. Awalnya, istilah spin doctor merujuk pada pakar yang berusaha menyodorkan informasi, analisis, dan interpretasi (yang menguntungkan pihak tertentu) sebagai bahan bagi ulasan dan berita yang akan disusun para jurnalis khususnya pada masa kampanye (Dhani, 2004: xxviii). Pada perkembangannya praktek spin doctor lebih identik dengan bagaimana memelintir atau merekayasa informasi agar apa yang dicitrakan menjadi tampak bagus. Bagaimana memoles obyek pencitraan agar tampak lebih indah dari warna aslinya.

Terkait dengan hal demikian, Frank Jefkins (1992: 20) menyebutkan bahwa pemolesan citra mungkin bisa mendatangkan keuntungan dalam jangka pendek, namun itu tidak ada artinya dibandingkan dengan kerugian jangka panjang yang dapat ditimbulkannya. Sebagai contoh, pada masa kampanye para calon berlomba untuk memoles citra dirinya sebaik mungkin. Dalam jangka pendek mungkin ia bisa mendapat keuntungan berupa suara atau bahkan kemenangan. Namun jika citra yang ditampilkan ternyata tidak sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya, lambat laun dalam jangka panjang publik akan

(31)

mengetahui dan bukan tidak mungkin akan menyebabkan kerugian yang luar biasa bagi dirinya.

Oleh karena itu, jika menggunakan prinsip kehumasan yang sesungguhnya berorientasi pada pelayanan publik, pencitraan seyogyanya dilakukan dengan didasari oleh kejujuran. Frazier Moore (2004: 7) menyebutkan bahwa humas adalah filsafat sosial dari manajemen yang meletakkan kepentingan masyarakat lebih dulu pada segala sesuatu yang berkenaan dengan perilaku organisasi. Dengan demikian, jika kita mengetahui bahwa ada yang kurang atau salah pada diri atau perusahaan kita maka perbaiki, benahi, tingkatkan kualitas diri atau perusahaan kita dan kemudian penuhi kebutuhan informasi publik tentang diri atau perusahaan atau organisasi kita secara lengkap sehingga citra positif pun akan kita peroleh tanpa harus melakukan pembohongan publik.

2.3 Konstruksi pemberitaan di media massa

Setiap media massa memiliki karakter dan latar belakang tersendiri, baik dalam isi dan pengemasan beritanya, maupun dalam tampilan serta tujuan dasarnya. Perbedaan ini di latarbelakangi oleh kepentingan yang berbeda dari masing-masing media massa. Baik yang bermotif politik, ekonomi, agama dan sebagainya. Dalam perkembangannya, bisa dibilang bahwa media masa merupakan kumpulan banyak organisasi dan manusia dengan segala kepentingannya yang beragam, bahkan termasuk yang saling bertentangan.

(32)

Adanya beragam kepentingan pada media massa adalah hal yang tidak bisa dipungkiri, bahwasanya media massa ada yang memiliki kepentingan politik, karena ia didanai dan di support oleh kekuatan politik tertentu, dan media massa juga ada yang bermotifkan ekonomi, dimana keuntungan secara materil adalah satu-satunya target dari media tersebut. Begitupun yang bermotifkan agama, dimana media massa didirikan oleh kelompok agama tertentu untuk menyampaikan ajaran agamanya.

Adanya kepentingan dari media massa turut mempengaruhi berita yang disampaikan kepada khalayak. Dan dari sini maka munculah sebuah anggapan bahwa fakta yang disampaikan bukanlah fakta yang objektif, melainkan fakta yang telah dikontruksi oleh media atau penulisnya/wartawan dengan latar belakang kepentingan tertentu.

Dalam pandangan kaum konstruksionis, ”berita yang kita baca pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalistik, bukan kaidah baku jurnalistik. Semua proses kontruksi (mulai dari memilih fakta, sumber, pemakaian kata, gambar, sampai penyuntingan) memberi andil bagaimana realitas tersebut hadir dihadapan khalayak.” (Eriyanto, 2002 : 26).

2.3.1 Konstruksionisme dan Kerja Wartawan Atas Berita

Konsep konstruksionisme ini diperkenalkan oleh seorang sosiolog intrepretatif, Peter L. Berger. Lalu bersama Thomas Luckman Ia banyak menulis karya dan menghasilkan tesis mengenai konstruksi sosial atas realitas.

(33)

Tesis utama Berger berkisar pada hakekat manusia dan masyarakat, dimana menurutnya masyarakat adalah produk dari manusia, namun masyarakat ini secara terus menerus mempunyai aksi kembali terhadap manusia (pembuatnya) sehingga manusia pun adalah produk masyarakat dan dalam hal ini terjadi proses dialektis.

Menurut Berger dan Luckman1, realitas sosial dikonstruksi melalui proses

eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Konstruksi sosial menurut mereka, tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat dengan kepentingan-kepentingan.

Lalu, seperti yang dikutip Eriyanto2, Berger memandang bahwa realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman ini realitas berwajah ganda/plural. Setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Setiap yang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan realitas itu dengan konstruksinya masing-masing.

Dalam kaitannya dengan media massa dan berita, kaum konstruksionis memandang bahwa realitas yang ada di media massa yakni berita adalah bukanlah realitas yang objektif, melainkan sebagai realitas yang telah dikonstruksi oleh pembuatnya, yakni wartawan/media itu sendiri. Hal ini berbeda dengan

1

(34)

pandangan positivis yang memahami bahwa realitas yang ada di media itu bersifat objektif.

Lebih jelasnya, mari kita simak pandangan kaum konstruksionis terhadap media, wartawan, dan berita, seperti yang dipaparkan Eriyanto3, yakni :

1) Fakta/peristiwa adalah hasil konstruksi. Bagi kaum konstruksionis, realitas itu bersifat subjektif. Realitas itu hadir, karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Disini tidak ada realitas yang objektif, karena realitas itu tercipta lewat konstruksi dan pandangan tertentu. Realitas bisa berbeda-beda, tergantung pada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang mempunyai pandangan yang berbeda. 2) Media adalah agen konstruksi. Kaum konstruksionis memandang media

bukanlah saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya. Disini media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefiniskan realitas. 3) Berita bukan refleksi dari realitas. Ia hanya konstruksi dari realitas.

Bagi Kaum konstruksionis berita itu ibaratnya seperti sebuah drama. Ia bukan menggambarkan realitas, tetapi merupakan potret dari arena pertarungan antara berbagai pihak yang berita dengan peristiwa.

4) Berita bersifat subjektif/Konstruksi atas realitas. Kaum konstruksionis memandang bahwa berita mempunyai sifat subjektif, hal ini dikarenakan berita adalah hasil konstruksi realitas yang dilakukan oleh wartawan dengan menggunakan subjektivitasnya.

(35)

5) Wartawan bukan pelapor. Ia agen konstruksi realitas. Kaum konstruksionis menilai wartawan sebagai aktor/agen konstruksi, dimana pekerjaannya bukan sebatas melaporkan sebuah fakta, tapi juga turut mengkonstruksi fakta yang didapatkannya untuk kemudian dijadikan berita.

6) Etika, pilihan moral, dan keberpihakan wartawan adalah bagian yang

integral dalam produksi berita. Kaum konstruksionis menilai bahwa

aspek etika, moral, dan nilai-nilai tertentu tidak mungkin dihilangkan dari pemberitaan media. Sisi subjektifitas dan penilaian atas fakta membuat wartawan memiliki posisi untuk terlibat dalam penuangan unsur moral, etika juga keberpihakan ketika ia mengkonstruksi realitas.

7) Nilai, Etika, pilihan moral, dan keberpihakan wartawan adalah

bagian yang integral dalam penelitian. Kaum konstruksionis

memandang bahwa peneliti bukanlah subjek yang bebas nilai, karena itulah etika dan moral serta keberpihakan peneliti menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses penelitian.

8) Khalayak mempunyai penafsiran tersendiri atas berita. Kaum konstruksionis memandang bahwa khalayak bukanlah subjek yang pasif, melainkan subjek yang aktif dalam menafsirkan apa yang dibaca, ditonton ataupun didengar.

Pada intinya konstruksionisme menyatakan bahwa realitas adalah hasil konstruksi, dan pada akhirnya realitas yang ada di dunia ini tidaklah bersifat objektif, semuanya memiliki subjektifitas dari yang membuat maupun yang

(36)

menerima realitas itu, perspektif atau cara pandang dalam realitas juga mempengaruhi terhadap penilaian sesuatu realitas.

2.4 Analisis Wacana

2.4.1 Macam-macam definisi wacana

Wacana : 1. Komunikasi verbal, ucapan dan percakapan, 2. Sebuah perlakuan formal dari subjek dalam ucapan ataupun tulisan, 3. Sebuah unit teks yang digunakan oleh linguis untuk menganalisis satuan lebih dari kalimat.4

Wacana : 1. sebuah percakapan khusus yang alamiah formal dan pengungkapannya diatur pada ide dalam ucapan dan tulisan, 2. Pengungkapan dalam bentuk nasehat, risalah, dan sebagainya; sebuah unit yang dihubungkan ucapan atau tulisan5.

Wacana : 1. rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain, membentuk satu kesatuan sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu, 2. kesatuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi dan berkesinambungan, mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tertulis.6

4

(37)

Analisis Wacana memfokuskan pada struktur yang secara alamiah terdapat pada bahasa lisan, sebagaimana banyak terdapat dalam wacana seperti percakapan, wawancara, komentar, dan ucapan-ucapan7.

Wacana : komunikasi kebahasaan yang terlibat sebagai sebuah pertukaran di antara pembicara dan pendengar, sebagai sebuah aktivitas personal di mana bentuknya ditentukan oleh tujuan sosialnya8.

Wacana : komunikasi lisan atau tulisan yang dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai, dan kategori yang masuk di dalamnya; kepercayaan di sini mewakili pandangan dunia; sebuah organisasi atau representasi dari pengalaman9.

Wacana : kadang kala sebagai bidang dari semua pernyataan (statement), kadang kala sebagai individualisasi kelompok pernyataan, dan kadang kala sebagai praktik regulatif yang dilihat dari sejumlah pernyataan

Perbedaan disiplin di atas dapat digambarkan sebagai berikut; dalam lapangan sosiologi wacana menunjuk terutama pada hubungan antara konteks sosial dari pemakaian bahasa. Dalam pengertian linguistic wacana adalah unit bahasa yang lebih besar dari kalimat. Analisis wacana dalam studi linguistic ini merupakan reaksi dari bentuk linguistic formal yang lebih memperhatikan pada unit kata, frase, atau kalimat semata tanpa keterkaitan di antara unsur tersebut. Analisis wacana kebalikan dari linguistic formal justru memusatkan perhatian

7

Crystal, 1987

8

(38)

pada level di atas kalimat seperti hubungan gramatikal (menurut bahasa) yang terbentuk pada level yang lebih besar dari kalimat. Analisis wacana dalam lapangan psikologi sosial diartikan sebagai pembicaraan. Wacana yang dimaksud di sini agak mirip dengan struktur dan bentuk wawancara dan praktik dari pemakainya. Sementara dalam lapangan politik analisis wacana adalah praktik pemakaian bahasa, terutama politik bahasa. Karena bahasa aspek sentral dari penggambaran suatu subjek, dan lewat bahasa ideologi terserap di dalamnya dan inilah yang dipelajari dalam analisis wacana.

2.4.2 Analisis Wacana Versus Analisis Wacana Kritis

Ada 3 pandangan mengenai bahasa dalam Analisis Wacana :

Pandangan Pertama diwakili oleh kaum Positivisme-Empiris. Oleh penganut aliran ini, bahwa bahasa dilihat sebagai jembatan antara manusia dengan objek di luar dari dirinya. Pengalaman- pengalaman manusia dianggap secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada kendala atau distorsi, sejauh ia dinyatakan dengan memakai pernyataan-pernyataan logis,

sintaksis dan memiliki hubungan dengan pengalaman empiris dan salah satu ciri

dari pemikiran ini adalah pemisahan antara pemikiran dan realitas. Dalam kaitannya dengan analisis wacana konsekuensi logis dari pemahaman ini adalah orang tidak perlu memahami makna-makna subjektif atau nilai yang mendasari pernyataannya, sebab yang paling penting adalah apakah pernyataan itu dilontarkan secara benar menurut kaidah sintaksis dan semantic. Oleh karena itu,

(39)

empiris tentang wacana. Analisis wacana dimaksudkan untuk menggambarkan

tata aturan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama. Wacana lantas diukur dengan pertimbangan kebenaran/ketidakbenaran (menurut sintaksis dan sematik).

Pandangan Kedua disebut sebagai Konstruktivisme. Pandangan ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran fenomenologi (Ilmu penentuan kesimpulan dari adanya gejala; aliran filsafat yang dipimpin oleh Edmun Husserl (1859-1938), tentang manusia dan kesadarannya. Manusia yang tahu dan mengalami; pengetahuan yang kita miliki hanya pengetahuan yang dapat dicapai oleh kesadaran manusa). Aliran ini menolak pandangan Positivisme-Empirisme yang memisahkan subjek dan objek bahasa. Dalam pandangan konstruktivisme bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami relitas objektif belaka dan yang dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pernyataan. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya. Dalam hal ini, subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Bahasa dipahami dalam paradigma ini diatur dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang bertujuan. Setiap pernyataan-pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri seta pengungkapan jati diri dari sang pembicara. Oleh karena itu, Analisis wacana dimaksudkan sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu. Wacana adalah suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subjek yang mengemukakan suatu pernyataan. Pengungkapan itu dilakukan di antaranya

(40)

dengan menempatkan diri pada posisi sang pembicara dengan penafsiran mengikuti struktur makna dari sang pembicara.

Pandangan ketiga disebut juga sebagai Pandangan Kritis. Pandangan ini mengoreksi pandangan konstruktivisme yang kurang sensitif pada proses produsi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional. Pandangan konstruktivisme masih belum menganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan yang inheren (bersatu padu) dalam setiap wacana, yang pada gilirannya berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu berikut perilaku-perilakunya. Dan hal inilah yang melahirkan aradigma kritis. Analisis wacana tidak dipusatkan pada kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran seperti pada analisis konstruktivisme. Analisis wacana dalam paradigma ini menekankan pada konstelasi (pengontrolan/peta) kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikirannya, karena sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat dan bahasa disini tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri sipembicara. Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi (penggambaran dari pengalaman) yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada di dalam setiap proses bahasa : batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai, dan topik apa yang dibicarakan.

(41)

hubungan kekuasaan, terutama dalam membentuk subjek, dan berbagai tindakan reprenstasi (gambaran) yang terdapat dalam masyarakat. Karena memakai

perspektif kritis, Analisis wacana yang ketiga itu juga disebut Analisis Wacana kritis (Critical Discourse Analysis).

2.4.3 Karakteristik Analisis Wacana Kritis

Wacana di sini tidak dipahami sebagai studi bahasa semata yang memang menggunakan bahasa dalam teks untuk dianalisis, tetapi bahasa yang dianalisis di sini agak berbeda dengan studi bahasa dalam pengertian linguistic tradisional. Bahasa bukan hanya untuk menggambarkan aspek kebahasaan semata, namun juga menghubungkan dengan konteks. Konteks di sini berarti bahasa itu dipakai untuk tujuan dari praktik tertentu, termasuk tujuan kekuasaan.

Menurut Fairclough dan Wodak10, analisis wacana kritis melihat wacana, pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan sebagai bentuk dari praktik sosial. Menggambarkan wacana sebagai praktik sosial menyebabkan sebuah hubungan dialektis (pemikiran berdasarkan kenyataan yang ada) diantara peristiwa diskursif (menyimpang) tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuknya. Dan bisa jadi praktik wacana bisa menampilkan efek ideologi : ia dapat memproduksi dan mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial, laki-laki dan wanita, kelompok mayoritas dan minoritas melalui mana perbedaan itu direpresentasekan dalam posisi sosial. Melalui wacana sebagai contoh; keadaan yang rasis (perbedaan ras), seksis, atau

(42)

ketimpangan dari kehidupan sosial dipandang sebagai suatu common sense, suatu kewajaran/alamiah, dan memang seperti itu kenyataannya. Analisis wacana kritis melihat bahasa sebagai faktor penting, yakni bagaimana bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan di masyarakat yang terjadi. Mengutip Fairclough dan Wodak, analisis wacana kritis menyelidiki bagaimana melalui bahasa kelompok sosial yang ada saling bertarung dan mengajukan versinya masing-masing. Berikut ini disajikan karakteristik penting dalam analisis wacana kritis :

Tindakan (Action). Wacana dipahami sebagai sebuah tindakan (action). Dengan pemahaman semacam ini mengasosiasikan (persekutuan) wacana sebagai bentuk interaksi dan wacana bukan di tempatkan seperti dalam ruang tertutup dan internal. Orang berbicara atau menulis bukan ditafsirkan sebagai ia menulis atau berbicara untuk dirinya sendiri, tetapi orang menulis, berbicara dan menggunakan bahasa untuk berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain, dengan pemahaman ini ada beberapa konsekuensi sebagaimana wacana harus dipandang : 1. Wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan, apakah untuk mempengaruhi, mendebat, membujuk, menyangga, bereaksi dan lain sebagainya, entah maksud dan tujuannya besar atau kecil. 2. Wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang di luar kendali atau diekspresikan di luar kesadaran.

Konteks. Analisis Wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana, seperti; latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. Wacana di sini

(43)

dipandang, diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Mengikuti Guy Cook, analisis wacana juga memeriksa konteks dari komunikasi; Siapa yang mengkomunikasikan dengan siapa dan mengapa, dalam jenis khalayak (tempat) dan situasi apa, melalui medium apa, bagaimana perbedaan tipe dari perkembangan komunikasi, dan hubungan untuk masing-masing setiap pihak. Titik tolak dari wacana di sini, bahasa tidak bisa dimengerti sebagai mekanisme internal dari linguistic semata, bukan suatu objek yang diisolasi dalam ruang tertutup, namun bahasa dipahami secara keseluruhan. Menurut Guy Cook, ada tiga hal yang sentral dalam pengertian wacana yaitu : 1. Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak dilembar kertas, tetapi semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra dan sebagainya. 2. Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti, partisipan dalam bahasa, situasi dimana teks tersebut diproduksi, fungsi yang dimaksudkan, dan sebagainya. 3. Dan Wacana di sini dimaknai sebagai teks dan konteks secara bersama-sama. Titik perhatian dari analisis wacana adalah menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam suatu proses komunikasi. Di sini dibutuhkan tidak hanya proses kognisi (pengamatan) dalam arti umum, tetapi juga gambaran spesifik dari budaya yang dibawa. Studi bahasa di sini yaitu : memasukkan konteks karena bahasa selalu berada di dalam konteks, dan tidak ada tindakan komunikasi tanpa partisipan, interteks, situasi, dan sebagainya.

(44)

Wacana tidak dianggap sebagai wilayah yang konstan, terjadi di mana saja, kapan saja dan dalam situasi apa saja. Wacana dibentuk sehingga harus ditafsirkan dalam kondisi dan situasi yang khusus. Wacana kritis Mendefinisikan teks dan percakapan pada situasi tertentu, meskipun demikian tidak semua konteks dimasukkan dalam analisis, hanya yang relevan dan dalam banyak hal berpengaruh atas produksi dan penafsiran teks yang dimasukkan dalam analisis. Beberapa konteks penting karena berpengaruh pada produksi wacana : 1. Partisipan wacana, latar siapa yang memproduksi wacana seperti; jenis kelamin, umur, pendidikan, kelas sosial, etnis, agama dan banyak hal relevan dalam menggambarkan wacana. Misalnya seorang berbicara dalam pandangan tertentu karena ia laki-laki atau karena berpendidikan. 2. Setting sosial tertentu seperti; tempat, waktu, posisi pembicara, dan pendengar atau lingkungan fisik adalah konteks yang berguna untuk mengerti suatu wacana. Misalnya berbicara ditempat kuliah berbeda dengan di jalan, di kantor dengan di kantin. 3. Setting seperti; tempat itu privat atau publik, dalam suasana formal atau non formal atau pada ruang tertentu memberikan wacana tertentu pula. Misalnya berbicara di pengadilan berbeda dengan di pasar, dirumah berbeda dengan di ruang kelas. Karena situasi sosial dan aturan yang melingkupinya berbeda pula, menyebabkan partisipan komunikasi harus menyesuaikan diri dengan konteks yang ada. Maka wacana mesti dipahami dan ditafsirkan dari kondisi dan lingkungan sosial yang mendasarinya.

(45)

Historis. Menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu, berarti wacana diproduksi dalam konteks tertentu dan tidak dapat dimengerti tanpa menyertakan konteks yang menyertainya. Salah satu aspek penting untuk bisa mengerti teks adalah dengan menempatkan wacana itu dalam konteks historis tertentu. Misalnya; kita melakukan analisis wacana teks selebaran mahasiswa menetang Soeharto. Pemahaman mengenai wacana teks ini hanya akan diperoleh kalau kita bisa memberikan konteks historis di mana teks itu diciptakan. Bagaimana situasi sosial politik pada saat itu, maka untuk melakukan analisis perlu tinjauan untuk mengerti mengapa wacana yang berkembang atau dikembangkan seperti itu ?, mengapa bahasa yang dipakai seperti itu ?, dan seterusnya.

Kekuasaan. Dalam tahap ini, setiap wacana yang muncul dalam bentuk teks, percakapan atau apapun tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan adalah salah satu kunci hubungan antara wacana dengan masyarakat. Seperti kekuasaan laki-laki dalam wacana mengenai seksisme, kekuasaan kulit putih terhadap kulit hitam dalam wacana mengenai rasisme. Dalam analisis wacana kritis tidak ada pembatasan diri pada detil teks atau struktur wacana saja, tetapi juga menghubungkan dengan kekuatan dan kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya tertentu. Percakapan antara majikan dengan buruh bukanlah percakapan yang alamiah, karena terdapat dominasi kekuasaan majikan

Referensi

Dokumen terkait

kebijakan dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementrian Pendidikan Nasional kemudian diambil kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas

Metode perancangan Work Preparation adalah metode perancangan form yang harus diisi oleh siswa sebagai persiapan untuk mengerjakan praktikum yang berisi tentang prosedur dan

 Peserta didik diberi stimulus atau rangsangan untuk melihat, mengamati, membaca contoh teks cerpen, dan memusatkan perhatian pada materi struktur dan ciri kebahasaan

Setelah mendapatkan hasil analisa perhitungan, simulasi koordinasi rele arus lebih, dan pengujian rele dengan circuit breaker terhadap suatu gangguan menggunakan

dengan menggunakan model pembelajaran konflik kognitif berbantuan peta konsep lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang mengikuti model pembelajaran

a) Dengan Sistem Web GIS penentuan rute terpendek menuju pusat kesehatan Kota Balikpapan menggunakan metode dijkstra ini dengan parameter Lokasi, data jalan dan rute,

Dengan demikian, perencanaan strategis harus menganalisa faktor faktor strategis suatu usaha (kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman) dalam kondisi yang ada pada saat