• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rasionalitas Komunikatif Habermas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Rasionalitas Komunikatif Habermas"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Rasionalitas Komunikatif Habermas

Ansori

*)

*)Penulis adalah Magister Agama (M.Ag.), dosen tetap Jurusan Hukum Islam (Syari’ah) STAIN Purwokerto, dan sedang

melanjutkan studi S-3 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Abstract: Habermas known as one who continue and renew critical Rationality Theory from Frankfurt scholar. Habermas was success to break stagnation and showing enlightenment for critical Rationality Theory. Habermas offer Rationality Communicative concept. Whereas critical rationality orientated on work paradigm, communicate rationality oriented on communication paradigm. With communicative rationality, Habermas struggling social relation network that form inside communication that free from domination. Habermas’ communicative Rationality is based on “communication paradigm “that implied on “understanding emancipator praxis” with dialog and communicative action that resulting enlightenment. Keywords: communication, rationality, inter-subjective.

PENDAHULUAN

Berdasarkan analisis para tokoh, ilmu alam yang bernuansa positivistis itu lahir dari rasio pencerahan (1350 – 1800). Pencerahan merupakan momentum manusia untuk keluar dari mitos dan menuju logos. Mitos-mitos yang menyelimuti tabir kehidupan mulai disingkap dengan rasionalitas.Pada masa itu, umat manusia memasuki kondisi ‘akil balig’. Dengan kata lain, era pencerahan adalah era yang mensyaratkan keberanian manusia untuk menggunakan rasionalitasnya dalam memahami alam, tanpa harus terbayang-bayangi oleh otoritas apapun.

Akhirnya, melalui rasio, manusia mencapai pengetahuan tentang alam yang dihuninya. Adapun cara kerja pengetahuan tersebut adalah manusia melakukan penjarakan dengan alam yang hendak diketahui. Cara inilah yang kemudian dikenal dengan istilah ‘objektivisme ilmu pengetahuan’.

Dalam perkembangannya, objektivisme ilmu pengetahuan (rasio pencerahan) ini, ternyata tidak menawarkan sejumlah praksis yang emansipatoris bagi kehidupan karena hanya berorientasikan ilmu untuk ilmu atau pengetahuan untuk pengetahuan. Tidak ada konsekuensi logis dari penemuan atau penelitian dari pengetahuan untuk melakukan pembenahan terhadap ketimpangan atau penyimpangan yang ada (mandul dalam dataran praksisnya). Akibat yang ekstrim dari semua itu (tidak adanya pertautan antara teori/pengetahuan dengan dunia riil) adalah manusia menjadi terasing satu sama lain, bahkan mereka cenderung memperlakukan manusia lainnya sebagai benda untuk mencapai tujuan mereka masing-masing. Inilah problem yang menjadi kegelisahan Habermas. Sekalipun hal yang sama juga menjadi kegelisahan kawan-kawannya yang terhimpun dalam Madzhab Frankfurt generasi pertama.1

BIOGRAFI HABERMAS

Jurgen Habermas dilahirkan di Gummersbach pada tahun 1929. la belajar kesusastraan Jerman, sejarah, dan filsafat di Gottingen. Di samping itu, ia juga mempelajari bidang-bidang lain, misalnya, psikologi dan ekonomi. Selang beberapa setelah ia pindah ke Zurich, Habermas melanjutkan studi filsafatnya di Universitas Bonn, tempat ia memperoleh gelar doktor bidang filsafat setelah ia mempertahankan desertasinya yang berjudul “Das Absolute und die Geschichte” (Yang Absolut dan

Sejarah). Dalam karya tulis ini, ia banyak mendapat pengaruh dari pemikiran Heidegger.

Disamping tekun dalam meniti kariernya di bidang filsafat, ia mempelajari bahkan menekuni bidang politik, dan banyak berpartisipasi dalam diskusi tentang “persenjataan kembali” (rearmament) di Jerman. Pada tahun 1956, ia bergabung dengan

(2)

Lembaga Penelitian Sosial di Frankfurt dan menjadi asisten Adorno (Theodor W. Adorno). la berpartisipasi dalam suatu proyek riset tentang sikap politik para mahasiswa di Universitas Frankfurt, terutama ia mengerjakan segi teoretisnya.

Pada awal tahun 60-an, Habermas sangat populer di kalangan mahasiswa Jerman dan oleh beberapa golongan dianggap sebagai ideolog mereka, khususnya beberapa golongan “Sozialistische Deut-sche Studentenbund” (Ikatan Mahasiswa Sosialis Jerman). Akan tetapi, ketika aksi-aksi mahasiswa mulai melewati batas karena mulai menggunakan kekerasan, Habermas tidak segan mengemukakan kritiknya sehingga ia terlibat konflik dengan mahasiswa. Pada tahun 1969, ia menerbitkan buku yang berjudul Protesbewegung und Hochschul-reform (Gerakan Perlawanan dan Pembaharuan Perguruan Tinggi), yaitu suatu evaluasi kritis tentang gerakan protes para mahasiswa. Tahun 1970, Habermas meninggalkan Frankfurt dan pindah ke Starnberg untuk menerima tawaran menjadi direktur pada ‘Max Planck Institut’, sebuah lembaga yang mempelajari kondisi-kondisi kehidupan dalam dunia ilmiah-teknis.

Karya tulisnya cukup banyak dan seperti pendahulu-pendahulunya dalam Mazhab Frankfurt, ia juga mencoba mempraktikkan filsafat dan sosiologi tanpa membedakan secara tajam antara dua jenis disiplin ilmu tersebut (Bertens, 1990).2

RASIONALITAS KRITIS

Sebelum lebih jauh membahas Habermas dan rasionalitas komunikatifnya, terlebih dahulu dalam sub judul ini, penulis paparkan rasionalitas kritis dan rasionalitas instrumental Madzhab Frankfurt generasi pertama. Hal ini karena pemikiran rasionalitas komunikatif Habermas mempunyai landasan historis dengan pemikiran rasionalitas kritis dan rasionalitas instrumental Madzhab Frankfurt generasi pertama.

Sebagaimana paparan dalam pendahuluan di atas, bahwa rasionalitas yang sebelumnya dianggap mampu menyelamatkan manusia dari kebodohan dan kemiskinan, justru menjadi sumber dari malapetaka di dalam peradaban manusia itu sendiri. Oleh karena itu, maka para ilmuwan yang tergabung dalam Madzhab Frankfurt generasi pertama berusaha menganalisis untuk menemukan akar permasalahan dari krisis tersebut.3

Bagi Mazhab Frankfurt generasi pertama, krisis di dalam peradaban manusia modern sudah total, terutama karena tidak ada lagi yang bisa dijadikan sandaran harapan untuk mencapai pembebasan. Rasionalitas justru telah menjadi senjata yang paling ampuh untuk menghancurkan manusia itu sendiri.

Adapun proyek pertama yang mereka lakukan adalah mencari akar dari segenap permasalahan masyarakat modern. Dalam bahasa lain, Marcuse menyebutnya sebagai proses reifikasi, tempat relasi antarindividu tampak sebagai relasi komoditas. Hubungan antarmanusia menjadi sebuah hubungan komoditas yang sifatnya pertukaran ekonomis-politis belaka. Jika dirunut ke belakang, hal ini terpengaruh oleh teori revolusi Karl Marx. Oleh karena terjebak pada paham saintifik, Karl Marx menjadi semata-mata terfokus pada bidang produksi (ekonomi). Dengan seperti itu, hubungan manusia dimaknai sebatas hubungan kerja.4

Madzhab Frankfurt, dengan tokoh sentralnya Adorno, Horkheimer (direktur yang menjabat institut pada masa itu), dan ditambah dengan Herbert Marcuse, selanjutnya menyerukan adanya pertautan antara teori dengan praksis sebagai solusi dari krisis keterasingan relasi antarmanusia. Langkah yang mereka tempuh berikutnya adalah mencoba mengkonstruksi epistemologis kritis (rasionalitas kritis).5

Dengan rasionalitas kritis ini, mereka berusaha mengkritisi mitos keampuhan rasionalitas modern sebagai ganti dari mitos tradisional. Rasionalitas modern meniscayakan segala kemampuan diinstrumentalisasikan manusia dalam rangka produksi yang efektif dan efisien. Menurut Madzhab Frankfurt, di satu sisi, memang semangat rasionalitas modern dalam peradaban manusia telah berhasil melepaskan manusia dari penindasan dan kungkungan tradisi lama, tetapi di sisi lain, rasionalitas modern justru melahirkan bentuk penindasan baru, antara manusia dan manusia. Dalam rasionalitas modern, logika manusia tereduksi dalam kepentingan teknis semata sehingga mengesampingkan kepentingan-kepentingan lain yang terdapat dalam masyarakat, beserta nilai-nilai kemanusiaan. Hubungan antarindividu hanya sekadar hubungan objektivisasi sehingga manusia saling menindas satu-sama lain.

(3)

Dalam perkembangannya, rasionalitas kritis mengalami kebuntuan ketika setiap bentuk antitesis akhirnya melahirkan sintesis kemapanan baru, yang juga memiliki potensi reduksi dan penindasan. Hal itu terjadi karena rasionalitas kritis berangkat dari mendialektikakan antara mitos dengan logos, yang akhirnya melahirkan logos baru.

Kegagalan rasionalitas kritis di atas, kemudian melahirkan rasional instrumental. Rasional instrumental memfokuskan pada sistem kontrol untuk mencapai sasaran. Kalau komunikasi atau interaksi terkait dengan alam, maka akan memunculkan dominasi pekerjaan, dan kalau terkait dengan manusia akan memunculkan tindakan strategis. Tindakan strategis dalam rasionalitas instrumental, komunikasi yang diharapkan adalah agar lawan bicara melakukan “apa yang saya harapkan” sehingga cenderung mengendalikan lawan bicara (orang lain) dan monologis. Dalam komunikasi ini, ada bujukan rekayasa, manipulasi, paksaan, dan lain-lain.

Komunikasi semacam itu (rasionalitas instrumental), menurut Habermas bukan komunikasi dalam arti yang sebenarnya karena tujuannya untuk mencapai hasil yang sudah ditetapkan sebelumnya, bukan kesepakatan bersama yang dihasilkan dari proses komunikasi.6Oleh karena itu, Habermas menawarkan konsep rasional komunikatif. Berbeda dengan

rasionalitas instrumental, yang hanya membangun komunikasi subjek-objek, dalam rasionalitas komunikatif yang dibangun adalah relasi subjek-objek. Dalam rasionalitas instrumental yang ingin dicapai adalah produksi (product oriented) atau pertumbuhan produksi, sedangkan dalam rasionalitas komunikatif adalah proses emansipasi.7

Namun demikian, dengan rasionalitas semacam itu menjadikan manusia akan terasing satu sama lain, terutama karena mereka memperlakukan manusia lainnya sebagai benda untuk mencapai tujuan mereka masing-masing. Di samping itu, dengan rasio instrumental, manusia berlaku terhadap di luar dirinya dalam hubungan subjek-objek.8Tidak hanya kepada

alam, melainkan juga kepada sesama manusia. Konsekuensi dari hal ini, pengetahuan yang lahir dari rasio instrumental adalah pengetahuan yang dapat mendefinisikan objek di luar dirinya. Dalam konteks kebuntuan di atas, Habermas muncul dengan menawarkan perangkat lain, yakni rasio komunikatif. Rasio komunikatif ini, ia bedakan secara tegas dengan rasio instrumental. Dalam rasio komunikatif, relasi yang dibangun adalah relasi subjek-subjek. Proses mengetahui bukan dalam rangka mendefiniskan objek di luar dirinya, melainkan membangun pemahaman intersubjektif antarsubjek dalam ‘dunia kehidupan’.

RASIONALITAS KOMUNIKATIF

Sebagaimana telah dipaparkan di atas, rasionalitas instrumental adalah komunikasi subjek–objek, sedangkan rasionalitas komunikatif menekankan pada komunikasi intersubjektif (subjek–subjek). Dalam konsep komunikasi intersubjektif ini, Habermas menghendaki bahwa komunikasi yang dilakukan antara dua subjek sama kedudukannya, dia-logis, dan didasarkan atas argumen yang rasional, saling pengertian. Dengan demikian, konsensus atau kesepakatan yang dihasilkan adalah lahir dari pemahaman intersubjektif peserta diskusi.

Tampak Habermas adalah sosok yang anti-fasis. Dalam kerangka besar teorinya, ia tidak ingin menyelesaikan masalah dengan cara kekuasaan atau kekerasaan, melainkan dengan cara adu argumentasi. Dalam proses adu argumen tersebut, peserta diskusi yang kalah (baca: salah) dalam menyusun atau memberikan pendapatnya harus mengakuinya secara jujur dan bijaksana. Dari proses ini, koreksi kesalahan (falsifikasi) dapat terjadi. Harapan dari koreksi atas kesalahan ini, peserta diskusi dapat melakukan proses refleksi diri.

Proses komunikasi intersubjektif semacam ini yang menurut Habermas dapat mengembalikan pesona dunia. Manusia berinteraksi bukan hanya karena tujuan-tujuan tertentu saja, melainkan juga dalam rangka membantu memahami yang lain. Egosentrisme tidak harus melulu ada dalam proses interaksi masyarakat manusia.

Keseriusan ini juga terungkap dalam tindakan-tindakannya. Habermas turut serta melakukan aksi pengkritisan ketika pemerintah Jerman Barat ingin menceburkan diri dalam aliansi NATO. Ia juga berteriak lantang ketika teknologi clonning terhadap manusia atau pun binatang ditemukan oleh para saintis. Untuk itu, ia mendorong agar masyarakat diajak berdiskusi

(4)

atas suatu permasalahan.9Dalam konteks tersebut, Habermas menggariskan bahwa diskusi akan optimal ketika jauh dari

tekanan dan dalam kesederajatan posisi.

Dari dua karya besarnya, Habermas menggarisbawahi bahwa komunikasi intersubjektif sebagai bentuk praksis emansipatoris dapat terjadi ketika setiap individu meneguhkan empat klaim validitas; kebenaran, kejujuran, kejelasan, dan ketepatan. Selain itu, ia juga menggariskan bahwa komunikasi harus jauh dari tekanan atau dominasi. Di samping itu, komunikasi intersubjektif akan terbangun ketika individu berada dalam posisi yang sederajat serta menetralkan kepentingan-kepentingannya. Konsepsi besar ini merupakan kritik atas rasionalitas intrumental yang menjerembabkan manusia pada nestapa kehidupan dan tragedi kemanusiaan. Selain itu, melalui teorinya, praksis yang emasipatoris akan tercapai ketika individu sampai pada pemahaman intersubjektif.10

Sebagaimana Madzhab Frankfurt, pemikiran Habermas juga banyak dipengaruhi oleh Marxisme11. Di antara pengaruh

Marx terhadap Habermas adalah teori Revolusionesme Konflik.12Di samping itu, Habermas juga dipengaruhi oleh Hegel

melalui teori Dialektikanya.13Konsep rasio komunikatif adalah representasi dari keterpengaruhan tersebut.

Lewat rasionalitas komunikatifnya, Habermas mengurai konstelasi kepentingan-kepentingan dalam masyarakat. Ia menawarkan suatu bentuk masyarakat ideal dalam kritik-kritiknya. Berbeda dari para pendahulunya, Habermas tidak terpaku dalam sorotan terhadap kepentingan teknis (rasionalitas instrumental) semata. Menurut Habermas, masyarakat memiliki tiga jenis kepentingan yang masing-masing memiliki pendekatan dan rasionya masing-masing. Pertama, kepentingan teknis, yaitu kepentingan untuk menyediakan sumberdaya natural. Oleh karena sifatnya yang sangat instrumental—dengan tugas yang konkret—kerja, maka pada dasarnya adalah kepentingan yang “teknis”. Kedua, kepen-tingan interaksi. Oleh karena kerjasama sosial amat dibutuhkan untuk bertahan hidup, maka Habermas menamakannya kepentingan “praktis”. Kepentingan kedua ini mencakup kebutuhan-kebutuhan manusia untuk saling berkomunikasi beserta praktik-praktiknya. Ketiga, kepentingan kekuasaan. Tatanan sosial, secara alamiah cenderung pada distribusi kekuasaan, namun pada saat yang sama, kita juga memiliki kepentingan untuk membebaskan diri dari dominasi.14Kekuasaan mengarah

pada distorsi terhadap komunikasi. Dengan menjadi sadar akan adanya ideologi-ideologi yang dominan di masyarakat, suatu kelompok kemudian dapat memberdayakan dirinya untuk mengubah keadaan. Karena itu, kepentingan kekuasaan adalah kepentingan yang “emansipatoris”.

Dalam realitasnya, masyarakat selalu mengandung ketiga jenis kepentingan ini. Pertentangan antar-kepentingan-kepentingan yang ada, hanya dapat diselesaikan tanpa dominasi salah satu antar-kepentingan-kepentingan di atas yang lain, melalui perdebatan yang rasional. Di sinilah Habermas memperkenalkan konsep Ruang Publik.15

Baginya, Ruang Publik adalah wahana, tempat setiap kepentingan terungkap secara gamblang, setiap warga masyarakat memiliki akses yang sama untuk berpartisipasi, kemudian mereka terdorong untuk mendahulukan kepentingan bersama dan mencapai konsensus mengenai arah masyarakat tersebut ke depan dan menemukan solusi bersama dalam memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi. Ruang Publik hanya dapat mencapai fungsinya ketika telah tercipta situasi berbicara yang ideal. Situasi yang ideal ini adalah keadaan tempat klaim-klaim yang diperdebatkan dapat dibicarakan dan diargumentasikan secara rasional. Dalam situasi ideal ini, kebenaran tidak menjadi objek dari kepentingan tersembunyi dan permainan, melainkan muncul lewat argumentasi. Ruang publik ini juga merupakan jembatan interaksi antara penguasa dan masyarakat. Kekuasaan mencapai legitimasi dan pengakuan masyarakat, serta memahami arah yang diinginkan masyarakat melalui dialog dalam ruang publik. Sementara itu, masyarakat dapat menyuarakan kepentingannya agar dapat diakomodir oleh penguasa. Hanya melalui ruang publik inilah dapat terwujud masyarakat yang dewasa dan bebas dari penindasan-penindasan dan menanggulangi krisis yang mereka hadapi.16

Selanjutnya, seperti yang sering dialami oleh para pemikir, adanya pujian juga berarti adanya kritik. Teori Habermas yang brilian ini pun tidak bebas dari kritik, terutama dari kritik yang dilontarkan oleh para pemikir post-modern, seperti Derrida, Lyotard, ataupun Foucault.17

(5)

universal, ontologis, dan berasal dari refleksi metafisika. Konsep rasionalitas komunikatif pun mereka tuduh sebagai solusi universal yang menggendong elemen penindasan di baliknya.

Elemen penindasan tersebut terletak pada klaim universalnya yang dianggap mengeliminasi perbedaan, lokalitas, serta segala sesuatu yang bersifat partikular. Jika refleksi filsafat jatuh pada satu konsep kunci yang dianggap mampu mendefinisikan dan menjadi solusi bagi semua permasalahan manusia yang berbeda-beda, maka solusi tersebut sebenarnya sudah menjadi problem baru. Hal ini dikarenakan perbedaan manusia dengan segala pluralitas kehendak, kebertubuhan, ideologi, pemahaman, dan latar belakang sosial direduksi ke dalam terma-terma yang mengklaim dirinya universal, padahal sebenarnya menindas.

Para pemikir postmodern pun mencap Habermas sebagai salah satu filsuf yang berpikir dalam paradigma filsafat subjek, yang cenderung mengeliminir perbedaan, dan karena itu menindas. Dengan kata lain, Habermas telah merumuskan sebuah pemikiran yang membenarkan penindasan atas nama universalitas.

Kritik para pemikir postmodern tersebut memang layak diperhatikan, tetapi kritik tersebut lebih berada di tataran refleksi filosofis. Mereka tidak menyangkal kegunaan praktisnya sebagai alternatif solusi di dalam menjembatani perbedaan yang ada melalui komunikasi yang sehat, inklusif, bebas dominasi, egaliter, serta dilandasi kejujuran, ketepatan, kebenaran, dan komprehensibilitas.

Jika dikaitkan dengan kondisi masyarakat Indonesia, tentu konsep rasionalitas komunikatif Habermas mempunyai nilai praksis dan relevansi yang tinggi. Kondisi masyarakat Indonesia yang majemuk, yang semakin banyak problem muncul akibat perbedaan persepsi, ideologi, agama, serta kepentingan. Tentunya kemampuan berkomunikasi yang baik untuk mencapai kesalingpengertian bersama mutlak diperlukan sehingga integrasi masyarakat yang terdiri dari elemen-elemen sosial yang berbeda dapat terus dipertahankan.

PENUTUP

Berdasarkan semua paparan di atas, jelas bahwa munculnya pemikiran Habermas adalah akibat kegelisahannya atas problematika rasio modern (pencerahan) yang cenderung berorientasi pada dimensi teknis-instrumental, yakni bentuk rasionalitas yang mengutamakan kontrol/dominasi manusia atas alam ataupun dominasi manusia atas manusia lainnya untuk menghasilkan efektifitas, efisiensi, dan prioritas pada hasil yang paling maksimal. Akibatnya, manusia menjadi terasing satu sama lain, terutama karena mereka memperlakukan manusia lainnya sebagai benda untuk mencapai tujuan mereka masing-masing.

Oleh karena itu, yang salah adalah rasionalitas manusia yang telah melulu instrumental, maka solusi menurut Habermas adalah rasionalitas yang bersifat komunikatif, yang terletak pada kemampuan manusia untuk mencapai kesalingpengertian terhadap manusia lainnya. Hubungan antarmanusia tidak didasarkan pada dominatif-oriented, tetapi pada

understanding-oriented.

Pada dasarnya, rasionalitas komunikatif ini sudah tertanam dalam akal budi manusia itu sendiri sehingga ia akan selalu ada dan tidak mungkin dihilangkan selama manusia itu masih ada. Hanya masalahnya, komunikasi tersebut bersifat dominatif ataukah bersifat komunikatif sehingga efektif. Dalam hal ini, menurut Jurgen Habermas (dengan meminjam analisis filsuf Jerman), komunikasi efektif mensyaratkan tiga unsur dasar. Pertama, dalam mengungkapkan sesuatu, seseorang harus benar-benar mengemukakan kebenaran. Kedua, dalam mengemukakan kebenaran itu, seseorang harus mengupayakan keadilan terhadap yang lain. Ketiga, disyaratkan adanya ketulusan hati saat menjalin relasi dengan yang lain, meskipun terhadap rival sekalipun.

(6)

1Madzhab Frankfurt (Frankfurt School) adalah sekelompok pemikir yang diasosiasikan dengan Institut for Sozialforschung (Institut for social

research) didirikan di Frankfurt tahun 1923 oleh Felix J. Weil, Carl Grunberg, M. Horkhreimer, dan Friedrich Pollock. Alex Lanur, “Madzhab Frankfurt”,

dalam Majalah Filsafat Driyarkara,Edisi xxiii, No. I, 1997, hal. 4.

2E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat (Jakarta: Kanisius, 1999), hal. 87–88.

3Misi dari pemikiran Madzhab Frankfurt adalah bermaksud memperjelas secara rasional struktur yang dimiliki oleh masyarakat industri dan melihat

akibat-akibat struktur tersebut dalam kehidupan manusia dan dalam kebudayaan. Majalah Filsafat,hal. 5.

4Kerja menurut Karl Marx adalah proses yang terdapat antara manusia dengan alam, suatu proses karena manusia melalui tindakannya:

menengahi, mengatur, dan mengawasi pertukaran barang-barang yang mereka miliki dengan alam. E. Sumaryono, Hermeneutika: sebuah Metode

Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hal. 89.

5Http://mengintip-dunia.blogspot.com/Kritik atas Rasionalitas Masyarakat/diakses pada 24 September 2008. 6Frans Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke-20 (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hal. 220-221.

7Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin (ed.), Hermeneutika Transendental (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), hal. 201-202. 8Ibid.

9Inilah yang disebut Habermas dengan tindakan komunikatif. Tindakan yang menunjuk kepada interaksi, sekurang-kurangnya dari dua orang yang

mempunyai kemampuan berbicara dan bertindak, serta dapat membentuk hubungan antarpribadi, baik secara verbal maupun non verbal. Adapun konsep pokok dalam tindakan komunikatif ini adalah ‘interpretasi’. E. Sumaryono,Hermeneutika, hal. 88.

10Dalam hal ini, Habermas membedakan antara penjelasan dan pemahaman. Penjelasan menuntut penerapan proposisi-proposisi teoritis

terhadap fakta yang berbentuk secara bebas melalui pengamatan semantik. Adapun pemahaman adalah suatu kegiatan yang melibatkan pengalaman dan pengertian teoretis berpadu menjadi satu. Ibid., hal. 84.

11Sekalipun pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Karl Marx, tetapi di satu sisi, ia juga mengkritik Karl Marx, dan pemikirannya tentang rasionalitas

komunikatif adalah salah satu bentuk kritiknya kepada teori Marx yang anti dialogis. Ahmad Ali Riyadi, “Hermeneutika Ilmu-ilmu Sosial (Studi Atas Pemikiran Jurgen Habermas)”, dalam Hermeneutika Transendental (Yogyakarta: IRCISoD, 2003), hal. 214.

12Dalam pandangan Marx, sebenarnya ketenangan dan harmonitas masyarakat berdiri di atas konflik dan hegemoni kelompok status quo. Konflik

masyarakat tersebut menunjukkan bahwa masing-masing elemen dalam masyarakat itu memerebutkan kepentingan yang disebut dominasi sosial. Proses perebutan dominasi sosial tersebut terus berjalan dan tidak pernah berhenti. Kelompok status quo tersebut akan terus mendapat ujian dari kelompok-kelompok kepentingan lainnya. Demikianlah, melalui konflik kualitas kelompok dominan akan teruji dalam frame teori “survival of fittest”, bahwa sesuatu yang akan survive adalah yang paling tahan banting dalam berelaborasi dan berpartisipasi dalam masyarakat. Franz Magnis Suseno, Filsafat

Sebagai Ilmu Kritis(Yogyakarta: Kanisius, 1992), hal. 114.

13Dialektika berarti sesuatu telah benar bila dilihat dari seluruh hubungannya. Hubungan ini disebut ‘negasi’. Hanya melalui negasilah kita bisa maju

dan menemukan keutuhan. Dialektika memandang apapun yang ada sebagai ‘kesatuan dari apa yang berlawanan’, sebagai ‘perkembangan melalui langkah-langkah yang saling berlawanan’. Arif Fahrudin, “Jurgen Habermas dan Program Dialektika Hermeneutika-Sains”, dalam Nafisul Atho’-Arif Fahrudin (Ed.), Hermeneutika Transendental, hal. 193-194.

14Http://outstandjing.blogspot.com/Perspektif Habermas Menuju Ruang Publik/ diakses pada 24 Sepetember 2008. 15Ibid.

16Dengan istilah lain, hermeneutika Habermas adalah hermeneutika dialektis, yang memandang antara subjek dan objek memiliki hak untuk

menyodorkan wacana dirinya secara terbuka. Tidak ada dominasi karena di sana ada saling kritik-konstruktif-dinamis.

17Http://rezaantonius.wordpress.com/Rasionalitas komunikatif/ dibaca tanggal24 September 2008.

DAFTAR PUSTAKA

Atho’, Nafisul, Fahrudin, Arif (ed.). 2003. Hermeneutika Transendental. Yogyakarta: IRCISoD.

Fahrudin, Arif. 2003. “Jurgen Habermas dan Program Dialerktika Hermeneutika-Sains”, dalam Nafisul Atho’Arif Fahrudin (ed.), Hermeneutika

Transendental, Yogyakarta: IRCISoD.

Lanur, Alex. 1997. “Madzhab Franfurt”, dalam Majalah Filsafat Driyarkara,Edisi xxiii, No. I.

Riyadi, Ahmad Ali. 2003. “Hermeneutika Ilmu-ilmu Sosial (Studi Atas Pemikiran Jurgen Habermas)”, dalam Hermeneutika Transendental. Yogyakarta: IRCISoD.

(7)

. 2000. 12 Tokoh Etika Abad ke-20. Yogyakarta: Kanisius.

Http://mengintip-dunia.blogspot.com/Kritik atas Rasionalitas Masyarakat

Http://outstanding.blogspot.com/Perspektif Habermas Menuju Ruang Publik/dibaca. Http://rezaantonius.wordpress.com/Rasionalitas komunikatif.

Referensi

Dokumen terkait

Purnami Widyaningsih, Respatiwulan, Sri Kuntari, Nughthoh Arfawi Kurdhi, Putranto Hadi Utomo, dan Bowo Winarno Tim Teknis.. Hamdani Citra Pradana, Ibnu Paxibrata, Ahmad Dimyathi,

 Peserta didik dapat mengerjakan soal-soal pada ulangan harian dengan baik berkaitan dengan materi mengenai bentuk aljabar, memodelkan pernyataan menjadi bentuk aljabar,

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan sumber pencemaran lingkungan Sungai Karang Mumus adalah dari aktifitas sehari-hari masyarakat sekitar,

Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan apakah pendekatan cooperative learning tipe STAD dapat meningkatkan keterampilan membuat Bantal Karakter pada anak

2 Gusti Ayu Putu Suarni, Lulup Endah Trupalupi1 , Iyus Akhmad Haris2, Universitas Analisis Faktor yang Mempengar uhi Keputusan Nasabah dalam Pengambilan Kredit pada

Akhirnya kepada para pembaca, kami berharap artikel-artikel yang terhimpun pada edisi jurnal kali ini dapat memberikan informasi, pencerahan dan pemahaman secara komprehensif

per unit dihitung dengan cara membagi total biaya pesanan tertentu dengan jumlah satuan pesanan yang dihasilkan pada pesanan yang bersangkutan. Untuk mengetahui