• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI PROGRAM PASCASARJANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI PROGRAM PASCASARJANA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PROGRAM PASCASARJANA

DESENTRALISASI

DALAM PENGELOLAAN AIR IRIGASI TERSIER

(Suatu Studi dengan Kerangka Konsep Desentralisasi Teritorial dan Fungsional di Kabupaten dan Kota Tegal-Jawa Tengah, di Kabupaten Jembrana-Bali, serta di

Hulu Langat Selangor Malaysia)

RINGKASAN EKSEKUTIF DISERTASI

Disusun Oleh

IRFAN RIDWAN MAKSUM 890231005Y

Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan Mencapai Gelar Doktor dalam Ilmu Administrasi

D E P O K Januari, 2007

(2)

Latar Belakang

Konstitusi di berbagai Negara mengamanatkan akan pentingnya pengelolaan air

oleh Negara.31 Di Indonesia, dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945 pun

tercantum perihal air dalam salah satu pasalnya, yakni pasal 33 ayat (3): ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Oleh karena itu, pemerintah memiliki kewajiban untuk mewujudkan pengelolaan air bagi warganya termasuk air bagi pertanian (irigasi).

Pengelolaan air bagi warga dalam lingkup tugas-tugas kepemerintahan dalam sebuah negara meliputi berbagai urusan. Salah satu di antaranya adalah urusan pengairan (irigasi) yang sejak dulu di Indonesia sudah diserahkan kepada daerah otonom. Hoessein dalam disertasinya menyebutkan bahwa urusan pengairan (irigasi) merupakan urusan pangkal dalam pembentukan beberapa daerah otonom di Indonesia pada masa UU No. 22 Tahun 1948 yang meliputi empat rincian kegiatan bagi Provinsi; 3 rincian kegiatan medebewind bagi Kota Besar dan kabupaten; dan 2 rincian kegiatan medebewind bagi Kota Kecil.32

Hal itu menandakan bahwa dikembangkannya berbagai kegiatan dalam urusan pengairan (irigasi) pada tingkatan daerah otonom di Indonesia diwadahi oleh instrumen desentralisasi. Sebagian para ahli seperti Amrah Muslim33, Hoessein34 dan Koswara35 menyebutkan bukan hanya desentralisasi territorial semata, melainkan dikembangkan pula desentralisasi fungsional dalam urusan

31Lihat konstitusi Negara Malaysia, Belanda, Jerman, Negara bagian di USA seperti New York dan California, dan masih banyak Negara lain, terdapat pengaturan mengenai sumberdaya air yang dikelola oleh Negara.

32Hoessein, Bhenyamin,. Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi

Daerah Tingkat II, Disertasi Program Doktor Ilmu Administrasi Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta: 1993. hal. 148

33Muslim, Amrah., Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, (Bandung: 1978), hal 15

34Hoessein, Bhenyamin., Loc.cit. hal. 70

35Koswara, E., ‘Otonomi Daerah: Untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat, Pariba, Jakarta: 2001, hal 58.

(3)

ini. Para ahli tersebut menyatakan bahwa terdapat organisasi pengelolaan air di masyarakat Bali yang dikenal dengan Subak dan berbagai ‘otorita’ sebagai contoh dari praktek desentralisasi fungsional. Praktek pengelolaan irigasi di Indonesia dengan landasan desentralisasi fungsional sesungguhnya telah ada sejak Hindia Belanda pada 1920 seperti diutarakan Wolhoff sebagai duplikasi

apa yang dikembangkan di negeri Belanda.36

Persoalan pengelolaan air irigasi di Indonesia turut berubah ketika UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah berlaku menggantikan UU No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Pada masa UU No. 5 Tahun 1974 tersebut, irigasi untuk pertanian secara umum dikembangkan oleh instansi Dinas Provinsi dan aparatusnya hingga ke tingkat Kabupaten/ Kotamadya. Urusan irigasi pada jenjang tersier memang telah diserahkan kepada Kabupaten/ Kotamadya. Namun irigasi primer dan sekunder, meskipun wilayah irigasinya berada di dalam wilayah Kabupaten/ Kotamadya tertentu, sebelum UU No. 22 Tahun 1999 masih dikelola oleh Dinas Provinsi. Dengan berlakunya UU No. 22 tahun 1999, medebewind yang dilakukan oleh Kabupaten/ Kotamadya dalam irigasi sejak bertahun-tahun kemudian di-desentralisasikan kepada Daerah Kabupaten/ Kota.

Hutapea, Kristyanto, dan Warsito37 mengakui bahwa masalah

pengelolaan pengairan (irigasi) adalah suatu masalah yang sangat rumit. Diakui oleh ketiga peneliti tersebut bahwa pengelolaan irigasi bukan hanya

36Wolhoff, GJ,. dalam bukunya ‘Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Cet. II Timun Emas. Jakarta: 1960. hal 285, mencatat ditetapkannya ‘Wet. Ind. Staatblad 1919 ditambahkan Regeringsreglement bab XI baru (Ind. Staatsregeling Bab XII pasal 186) yang memungkinkan pembentukan persekutuan Hukum Publik semacam ‘Waterschappen’ dengan ordonantie. Dituliskan oleh Amrah Muslim sebagai berikut: “Pemerintah Belanda tidak hanya melakukan territoriale decentralisatie, tetapi juga menjalankan functionale desentralisatie, yaitu mengadakan persekutuan hukum yang menyelenggarakan kepentingan pengairan, yaitu di Daerah-Daerah Swapraja Solo dan Yogyakarta (lihat Vorstenlandse Waterschapsordonantie Stb. 1920 – 722, beberapa kali diubah, perubahan terakhir Stb. 1935 – 451).” Subak di Bali tidak diatur dan ditetapkan dengan satu ordonantie pun melainkan dengan hukum adat semata.

37Hutapea, Richard, S., Kristyanto, Aris., Warsito, Rukmadi., Petak Tersier Percontohan

dan Dharma Tirta di Daerah Pengairan Pemali-Comal, Jurnal Cakrawala, No. 3 Tahun XI, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga: 1979, hal 28.

(4)

menyangkut segi-segi teknis pengairan (irigasi) khususnya dan pertanian pada umumnya, akan tetapi menyangkut berbagai segi sosial-ekonomi. Pengelolaan irigasi tersebut perlu memperhatikan aspek-aspek non-teknis.

Baik Dharma Tirta maupun Subak, sebagai organisasi pengelola air irigasi tersier di tingkatan grassroot, bekerja pada suatu jangkauan wilayah kerja hidrologis karena karakter irigasi tidak mengenal batas-batas administratif. Hanya saja karena tingkatan-nya berupa tersier, maka daerah administratif yang dilewati pun sebatas antar Desa atau kelurahan atau antar bagian-bagian wilayah dari beberapa Kecamatan.

Kecilnya jangkauan tersier hampir tidak mungkin terjadi antar daerah otonom Kabupaten/ Kota, meskipun bila ditarik lingkupnya pada irigasi sekunder atau primer menjadi sangat besar kemungkinannya. Inilah sebabnya, diaturnya kawasan khusus dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah, apakah juga terkait dengan kelembagaan irigasi tersebut.

Dilihat dari karakter fungsinya, yang menjadi basis konstruksi pengembangan kawasan khusus UU No. 32 Tahun 2004, memiliki kemungkinan adanya keterkaitan antara kawasan khusus dengan fungsi apapun dalam pemerintahan termasuk fungsi irigasi. Namun, dilihat dari faktor lingkungan kebijakan yang ada sangat mungkin pula konstruksi kawasan khusus tidak ditujukan dan tidak terkait dengan fungsi irigasi pada khususnya atau fungsi-fungsi pemerintahan lainnya yang tidak memiliki daya dukung ekonomi politik yang memadai pada umumnya.

Dari fakta empirik yang ditemui pada awal penelitian, dapat disimpulkan adanya persoalan utama berupa ketidak-jelasan praktek Subak dan P3A dharma Tirta sebagai organisasi pengelola irigasi tersier dalam konteks pemerintahan daerah dan desentralisasi serta sistem administrasi negara RI termasuk dalam pengembangan ‘kawasan khusus’ pada UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Ketidakjelasan tersebut adalah mengenai lokus dari praktek tersebut yang beranjak di satu sisi perlu mengikuti kaidah

(5)

hidrologi38 dalam penentuan yurisdiksi fungsi irigasi, di sisi lain juga perlu mengikuti kaidah teritori administrasi pemerintahan karena bangun struktur pemerintahan di Indonesia secara makro terdiri atas satuan-satuan pemerintahan atas dasar wilayah.

Ketidakjelasan tersebut berimplikasi antara lain: pertama, dapat terjadi dominasi karakter informal kelembagaan irigasi tersier yang berdampak pada rendahnya kinerja kelembagaan tersebut, ketidak-sinkronan aktivitas kelembagaan irigasi tersier dalam konteks yang lebih luas, dan arah perkembangan kelembagaan yang tidak menentu. Kedua, dapat terjadi ketidak-utuhan pengaturan kelembagaan tersebut dalam sistem peraturan formal Pemerintahan dalam konteks distribusi urusan irigasi antara Pusat dan Daerah; dan ketiga, dapat terjadi kekeliruan aturan formal yang dikembangkan dalam menata keberadaan kelembagaan tersebut dalam rangka kepentingan masyarakat petani.

Ketidak jelasan tersebut tidak dapat dipahami dengan memuaskan tanpa membandingkan praktek pengelolaan air irigasi tersier di Negara lain. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan di Kabupaten dan Kota Tegal Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Jembrana Provinsi Bali dan Daerah Hulu Langat Selangor Malaysia. Adapun alasan dan proses mengangkat ke-empat lokasi tersebut diuraikan lebih jauh pada Bab III Karya utuh penelitian ini dan disinggung sedikit pada bagian metode penelitian dalam ringkasan ini.

B. Fokus Masalah

Berangkat dari pemaparan di atas, karya ini mengkaji fokus-fokus permasalahan sebagai berikut: (1) Perbandingan pengelolaan air irigasi tersier bagi pertanian antara di Hulu-Langat-Selangor-Malaysia dan praktek di Kabupaten dan Kota Tegal Jawa Tengah serta di Kabupaten Jembrana Bali; (2) Perspektif

stakeholder dalam memahami fenomena praktek pengelolaan sumberdaya air

38Kodoatie, Robert, J., dan Sjarief, Roestam, Pengelolaan Sumberdaya Air Terpadu, Andi-Press, Jogjakarta: 2005, hal 65-100.

(6)

irigasi tersier bagi pertanian di Kabupaten dan Kota Tegal, di Jembrana, serta di Hulu Langat terkait dengan sistem pemerintahan daerah yang dibangun; (3) Perspektif stakeholder terhadap arah pengaturan kawasan khusus dalam UU No. 32 Tahun 2004, terkait dengan pengelolaan sumberdaya air irigasi.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah: (1) membandingkan praktek pengelolaan irigasi tersier bagi pertanian di Hulu-Langat-Selangor-Malaysia dan di Kabupaten dan Kota Tegal Jawa Tengah serta di Kabupaten Jembrana Bali. (2) menganalisis perspektif stakeholder dalam memahami praktek penanganan sumberdaya air irigasi tersier bagi pertanian di empat lokasi tersebut terkait dengan sistem pemerintahan daerah yang di bangun. (3) mengidentifikasi perspektif stakeholder terhadap arah pengaturan kawasan khusus dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah kaitannya dengan kawasan yang tercipta akibat pengelolaan sumberdaya air irigasi.

D. Signifikansi Penelitian

Penelitian ini memiliki signifikansi akademik dan praktis. Penelitian-penelitian sebelumnya mengenai lembaga irigasi umumnya datang dari disiplin ilmu di luar administrasi negara, sedangkan penelitian desentralisasi yang ada sebelumnya umumnya berlandaskan pada konsep desentralisasi teritorial yang merupakan satu bagian yang membentuk konsep desentralisasi secara total bersamaan dengan konsep desentralisasi fungsional dalam sebuah administrasi negara. Oleh karena itu, secara akademik, belum adanya riset di bidang administrasi negara yang mengkhususkan pada konsep desentralisasi fungsional menjadikan penelitian ini merupakan jalan untuk memberikan suatu sumbangan berharga bagi pengayaan wawasan dan keilmuwan dalam kajian pemerintahan pada umumnya dan kajian administrasi (pemerintahan) daerah pada khususnya.

(7)

Disamping itu, secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan sumbangan pengembangan kebijakan yang berkaitan dengan desentralisasi dan pemerintahan daerah.

E. Kerangka Konseptual

Seperti dikemukakan di muka, pengelolaan air irigasi berhubungan erat dengan sistem pemerintahan yang dikembangkan di suatu negara. Hal tersebut dapat dikembangkan baik melalui desentralisasi teritorial maupun desentralisasi fungsional. Di Belanda dikenal melalui waterschappen yang pengembangannya didasari oleh mekanisme desentralisasi fungsional. Di negara berkembang, menurut pakar-pakar pemerintahan daerah konsep desentralisasi fungsional hampir dirancukan oleh konsep delegasi seperti diakui oleh Cheema, Rondinelli dan Nellis. Cheema, Rondinelli dan Nellis melukiskannya sebagai berikut:

“In developing countries, responsibilities have been delegated to public corporations, regional development agencies, special function authorities, semi autonomous project implementation units, and a variety of parastatal organization.”39

Sementara itu Amrah Muslim40 mendefiniskan desentralisasi fungsional sebagai berikut:

“Desentralisasi fungsional adalah pemberian hak dan kewenangan pada golongan-golongan mengurus suatu macam atau golongan kepentingan dalam masyarakat, baikpun terikat atau pun tidak pada suatu daerah tertentu, umpama mengurus kepentingan irigasi bagi golongan tani dalam suatu atau beberapa daerah tertentu (waterschap; subak di Bali).”

Desentralisasi fungsional menurut pendapat tersebut, membawa adanya otonomi bagi segolongan masyarakat hanya pada fungsi tertentu. Sejalan dengan pendapat di atas, Koswara mengartikan desentralisasi fungsional

39Cheema, G, Shabir,. Dan Rondinelli, Dennis, A,. Op cit. hal. 14 40Muslim, Amrah., Op.cit, hal 15

(8)

sebagai “Pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus sesuatu atau

beberapa kepentingan tertentu”.41 Disamping itu Hoessein merujuk pustaka

Indonesia mengungkapkan sebagai berikut:

“…sedangkan desentralisasi fungsional adalah pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus fungsi tertentu. Batas pengaturan tersebut adalah jenis fungsi. Subak di Bali merupakan contoh dari desentralisasi fungsional”42

Seperti diakui pula oleh Hoessein43 bahwa di Perancis sebutan terhadap

desentralisasi fungsional dikenal dengan desentralisasi teknik. Sarwoto menuliskan desentralisasi teknik di Perancis sebagai berikut:

“Desentralisasi teknik (desentralisation technique atau decentralization par service) menjelmakan instansi-instansi yang mengambil peranan amat penting dalam kehidupan Perancis modern yaitu pelbagai macam ‘etablissements publics’ yang berwujud instansi-instansi yang memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam bidang-bidang atau sektor-sektor khusus.”44

Sarwoto melihat adanya berbagai lembaga modern di Perancis yang berperan dalam sektor tertentu (khusus) dan amat penting bagi masyarakat dengan didasari oleh instrument yang dikenal sebagai desentralisasi teknik. Belanda menganut lebih tegas lagi bahwa disamping adanya pemerintahan daerah yang lahir akibat desentralisasi territorial, di sana juga dikenal desentralisasi fungsional yang melahirkan lembaga semacam pemerintahan daerah dengan bidang yang khusus (tertentu).

Antara praktek di Belanda dan di Perancis terdapat persamaan yang besar menyangkut otonominya dan organ yang dibentuk seperti dituliskan oleh Sarwoto berikut:45

41Koswara, E., ‘Otonomi Daerah: Untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat,

Pariba, (Jakarta: 2001), hal 58.

42Hoessein, Bhenyamin., Disertasi-FISIP-UI (1993), Loc cit., hal 70 43Hossein, Bhenyamin., Ibid.,, hal 65

44Sarwoto. Administrasi Pemerintahan Perancis. Ghalia Indonesia. Jakarta.

1981.hal 37.

(9)

“Sebagai instansi atau institusi yang diciptakan atas dasar desentralisasi (teknik) establissement publics pada umumnya berstatus otonom, merupakan badan hukum yang mempunyai anggaran pendapatan dan belanja sendiri, mempunyai baik organ eksekutif maupun deliberatif (permusyawaratan) dan tunduk pada tutelle kewenangan pemerintah Pusat. Kedudukan establissements publics dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat berdampingan dengan administrasi pemerintahan.”

Terlihat dari pendapat di atas, bahwa desentralisasi fungsional menciptakan pemerintahan khusus (specific) di tingkat lokal yang otonom. Bersifat khusus karena mengenai satu fungsi spesifik (tertentu) yang diembannya dan memiliki otonomi. Disamping itu dalam praktek Belanda dan Perancis terdapat penyebutan peristilahan desentralisasi yang berbeda secara eksplisit terhadap praktek yang secara substansial sama. Pendapat tersebut juga mengindikasikan bahwa dari segi otonomi antara desentralisasi fungsional di Belanda dan desentralisasi teknik di Perancis terdapat perbedaan.

Otonomi dari lembaga yang dibentuk secara eksplisit dengan terminologi ‘desentralisasi fungsional’ di Belanda menandakan adanya keterlibatan warga setempat dengan adanya lembaga permusyawaratan. Oleh karena itu, di Belanda melibatkan otonomi masyarakat (konstituen) dari lembaga otonom tersebut, sedangkan di Perancis tidak melibatkan otonomi masyarakat (konstituen) dari lembaga otonom yang tercipta.

Cheema dan Rondinelli46 mengakui bahwa pengembangan lembaga khusus ini lebih luas tidak hanya untuk penanganan air semata, misalnya di Indonesia dikenal dengan adanya pengembangan otorita.47 Oentarto, Suwandi, dan Riyadmadji48

46Cheema, G, Shabir,. Dan Rondinelli, Dennis, A,. Decentralization and Development:

Policy Implementation in Developing Countries. Sage Publication. London: 1983. hal. 14

47Kasus-kasus yang hampir sama dengan bentuk perwujudan desentralisasi fungsional sebenarnya tidak hanya penanganan air semata, masih ada otorita Batam, Kawasan Bebas Sabang, kawasan bandara Kemayoran, Taman Mini Indonesia Indah, dan Kawasan Gelora Bung Karno di Jakarta. Beberapa kasus tersebut keberadaanya secara hukum sebagai sebuah ‘UPT’ dari Sekretariat Negara yang semangat pembentukannya mirip dengan desentralisasi fungsional. Kasus lain yang hampir senafas adalah “Kawasan Berikat’ yang dibuat atas dasar Keputusan Menteri Keuangan (KMK) dengan kewenangan yang tidak kalah dari otorita seperti tertuang dalam UU No. 53 Tahun 1986.

(10)

mengakuinya sebagai model ketiga dari devolusi dengan terminologi delegasi sebagai berikut:

”Model ketiga dari kebijakan desentralisasi dalam arti luas adalah kebijakan delegasi (delegation). Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan pelaksanaan suatu tugas tertentu kepada suatu lembaga atau unit pemerintahan yang khusus dibentuk untuk keperluan termaksud. Pemerintah Indonesia sebagai contoh membentuk badan usaha Milik negara (BUMN) untuk menyelenggarakan kegiatan ekonomi tertentu seperti penerbangan oleh Garuda, perminyakan oleh Pertamina, Listrik oleh PLN, pembentukan otorita Batam, pembentukan kawasan khusus lainnya, untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus dan /atau berskala nasional.”

Tampaklah dari pandangan ketiga penulis buku tersebut dalam penyebutan contoh-contoh praktek model ketiga dari desentralisasi, otorita Batam dan kawasan khusus disejajarkan dengan pembentukan BUMN. Definisi tersebut tampaknya mengikuti apa yang dikemukakan oleh Cheema dan Rondinelli yang menyebutkan adanya intsrumen dengan terminology ‘delegation’ di antara berbagai kemungkinan adanya kebijakan desentralisasi dalam sebuah sistem administrasi negara.

Cheema dan Rondinelli menyebutkan istilah delegation

sebagai berikut:

“Another form of decentralization is the delegation of decision making and management authority for specific funstions to organizations that are not under the direct control of central government ministries. Often the organizations to which development functions are delegated have semi-independent authority to perform their responsibilities and may not even be located within regular government structure.” 49

Dilihat dari segi pemahaman yang melahirkan otonomi (decision

making and management authority) dan menyangkut fungsi khusus

(specific function), maka ‘delegation’ menurut kedua pakar adalah

tidak sama dengan desentralisasi fungsional yang dipahami oleh

48Oentarto, Suwandi, I Made., Riyadmadji, Dodi,. Menggagas Format Otonomi

daerah Masa Depan. Samitra Media Utama. Jakarta: 2004. hal. 10

(11)

Koswara

50

, dan Muslim

51

. Pandangan Rondinelli mengarah kepada

praktek ‘desentralisasi teknik’ di Perancis yang tidak menyangkut

otonomi bagi masyarakat, sedangkan pendapat Koswara dan

Muslim tentang desentralisasi fungsional mengarah kepada adanya

otonomi kepada masyarakat walaupun menyangkut fungsi tertentu

saja.

Berkaitan dengan administrasi negara, Cheema dan

Rondinelli, menuliskan sebagai berikut:

“Administrative theorists argued that public corporations or regional development authorities –most used the Tennessee Valley Authority in the USA as implicit model- had distinct advantages over regular government agencies in that they could make decisions more expeditiously, free from the red tape and political maneuvering found in bureaucracies in most developing nations,...”52

Dengan demikian delegasi ini menciptakan struktur yang tidak biasa (non-regular) dalam suatu sistem administrasi negara terlebih lagi desentralisasi fungsional yang menyangkut otonomi bagi masyarakat dengan fungsi tertentu seperti dikatakan oleh Fesler53 karena sifatnya yang khusus --administrasi khusus daripada Negara.

Adanya lembaga deliberatif (permusyawaratan/ perwakilan),

membedakan organisasi desentralisasi fungsional dengan penciptaan ‘organisasi parastatal’ seperti desentralisasi teknik di Perancis atau makna kata ’delegation’ menurut Cheema dan Rondinelli. Organisasi parastatal tidak memerlukan organ permusyawaratan karena merupakan kepanjangan dari salah satu organ di dalam lingkungan sektoral pemerintah yang membutuhkan otonomi dalam aktivitasnya sesuai sektor tersebut dan umumnya berorientasi

50Koswara, E., Op cit., hal 68

51Muslim, Amrah., Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, (Bandung:

1978), hal 15

52Cheema, G, Shabir,. dan Rondinelli, Dennis A,. Op cit., hal 21-22 53Fesler, James W., Op.cit.,. hal. 6-8

(12)

bisnis bukan dalam kerangka ejawantah dari golongan masyarakat (lokal) seperti dalam desentralisasi fungsional. Organisasi parastatal juga dapat diciptakan oleh unit organisasi dari dalam pemerintah Kabupaten/ kota atau Provinsi (sebutan desentralisasi teritorial). Organisasi Desentralisasi fungsional bukan merupakan bagian dari unit organisasi desentralisasi teritorial tetapi tetap tunduk kepada kekuasaan tutelle Pemerintah Pusat.

Antara perangkat Negara dan perangkat pemerintahan khusus (selanjutnya disingkat ‘administrasi khusus’) ini memiliki hubungan yang lebih luwes katimbang antara perangkat Negara dengan perangkat pemerintahan pelayanan tingkat lapangan (selanjutnya disingkat ‘administrasi lapangan’) yang lebih ketat. Hubungan perangkat Negara dengan Administrasi khusus diwujudkan melalui desentralisasi fungsional, sedangkan antara perangkat Negara dengan Administrasi lapangan diwujudkan melalui desentralisasi Administrasi (dekonsentrasi). Sementara delegasi sebagai dasar penciptaan organisasi parastatal dapat terjadi baik di dalam tubuh organ Pemerintah Pusat maupun organ Pemerintah Daerah melalui upaya independensi manajerial sebagai sama-sama organ badan hukum publik.

Desentralisasi territorial menghubungkan perangkat Negara dengan administrasi umum lokal.54 Fesler meyakinkannya dengan menuliskan sebagai berikut: “The devolution of authority can take place either along functional lines

54Bisa dilihat dari berbagai literatur antara lain: E. Koswara dalam ‘Otonomi

Daerah: Untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat, Pariba, (Jakarta: 2001) , Situmorang (2003), Amrah Muslimin (1982), Worldbank (1992). Di sini ada perbedaan sebutan antara pengertian dari Eropa daratan dan Inggris Amerika (anglo-saxon). Eropa daratan menyebut pelimpahan kewenangan yang tidak berakibat adanya otonomi hanya sebagai pelaksana saja adalah dekonsentrasi dimana perangkat yang menerima kewenangan sebenarnya masih merupakan bagian dari Pemerintah Pusat, sedangkan Inggris-Amerika memiliki sebutan Desentralisasi-administrasi untuk hal tersebut. Karya ilmiah ini tidak akan menelusuri definisi desentralisasi walaupun arti dari desentralisasi merupakan konsep yang paling mendasar dalam karya ini. Seperti diketahui bahwa pengelompokan definisi ini mengalami pergeseran sejak Worldbank (1992) mengeluarkan rincian definisi terbaru berdasarkan penelitiannya yang kemudian diikuti oleh Cohen dan Peterson (1999) bahkan Rondinelli (2003) dalam kelompok Worldbank.

(13)

at the center or along areal lines emphasizing the usefulness of government and field service areas.55

Selain itu, Fesler dalam Hoessein yang menuliskan

desentralisasi

di

Perancis

yang

tidak

memasukkan

dekonsentrasi sebagai bagian dari definisinya dengan kalimat

berikut:

“In French usage decentralization is a term reserved for the transfer of power from a central government to an areally or functionally specialized authority of distinct legal personality…”56

Kedua uraian di atas, sama-sama mengakui dua bentuk desentralisasi (teritorial dan fungsional) yang bisa berjalan berbarengan. Baik ‘wilayah administrasi umum’ yang muncul akibat desentralisasi teritorial maupun ‘wilayah administrasi khusus’ akibat desentralisasi fungsional dapat menerima wewenang pemerintahan dan administratif umum. Oleh karena itu, nomenklatur ‘umum’ dalam terminologi ‘wilayah administrasi umum’ tidak sama dengan nomenklatur ‘umum’ pada terminologi wewenang pemerintahan/ administrasi umum.

Atmosudirdjo mengingatkan hal semacam dengan kalimat:

“Kita perlu membedakan “Administrasi” sebagai badan atau aparatur pemerintahan (the Administration, de administratie) dan “administrasi” sebagai proses kegiatan-kegiatan (bestuur dalam arti dinamis). Administrasi dalam arti institusional adalah keseluruhan (aggregate, het geheel) daripada badan-badan (aparatur) yang menyelenggarakan tugas/ kegiatan-kegiatan kenegaraan di bawah pimpinan Pemerintah.”57

Karya ini menyimpulkan bahwa kata ‘umum’ dalam frasa ‘wewenang pemerintahan (administrasi) umum’ bermakna kegiatan atau fungsi, sedangkan kata ‘umum’ dalam frasa ’pemerintahan wilayah umum’ menandakan badan yang berkategori umum seperti kata Fesler di muka.

55Fesler, James W,. Op cit,. hal 16.

56Hoessein, Bhenyamin (1993), loc cit., hal 60 (b)

(14)

Di negara-negara maju seperti Belanda, Jepang, USA, dan Jerman pengembangan praktek lembaga desentralisasi fungsional ditandai oleh sifat-sifat otonom yang sejajar dengan pemerintah daerah dalam konstelasi sistem administrasi negaranya. Lembaga ini bersifat khusus dan otonom di tingkat lokal mengerjakan fungsi yang spesifik. Baik di negara Kesatuan maupun negara Federal terdapat lembaga tersebut. Lembaga ini pertanda sebagai kompleksnya sistem administrasi negara dimana persoalan sosial-ekonomi masyarakat tidak melulu diselesaikan oleh tingkatan pemerintahan yang selama ini dikenal, melainkan dapat dikembangkan lembaga khusus yang otonom tersebut yang menciptakan regime khusus di tingkat lokal.

Dari uraian praktek di empat negara tersebut di atas dapat diambil intisari karakter penyelenggaraan desentralisasi fungsional melalui aspek-aspek yang melekat di dalamnya: (1) struktur organisasi (2) wewenang;(3) wilayah kerja (yurisdiksi); (4) letak (lokus);(5) proses terbentuknya; (6) pola intervensi Pemerintah (pusat); (7) Mekanisme pemilihan pimpinan kelembagaan; (8) pembiayaan; (9) kepegawaiannya; (10) mekanisme pertanggungjawaban lembaganya; dan, (11) partisipasi masyarakat. Berikut ini ringkasan dari aspek-aspek tersebut dalam tabel:

Referensi

Dokumen terkait

DSN merupakan satu- satunya lembaga yang mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah serta mengawasi

Keputusan petani untuk tidak mengkonversi pada tipologi lahan sawah irigasi teknis di Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur dipengaruhi secara signifikan oleh variabel: harga gabah

6. Pera"at melakukan pemeriksaan )ital sign yang diperlukan. Pera"at melakukan pemeriksaan )ital sign yang diperlukan. Pera"at memberikan rekam medis ke

Masyarakat yang berkepentingan adalah masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL berdasarkan alasan-alasan antara lain sebagai berikut:

a) Untuk dapat memperbaiki kondisi eksisting dengan nilai Posture Evaluation Index (PEI) yang baik, sebaiknya produk harus memiliki dimensi sesuai dengan data antropometri,

Sesuai dengan namanya Amalan Menutup Ilmu Orang Lain ini memiliki kegunaan untuk menutup ilmunya orang lain agar tidak jalan atau tidak berfungsi pada sementara waktu..

Surat Ketetapan Pajak (SKP) baru dikeluarkan apabila terhadap Wajib Pajak dilakukan pemeriksaan baik pemeriksaan sederhana oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP),

2.9.3 Anak mampu menunjukkan sikap perduli terhadap orangtua melalui kegiatan membuat juz apel dengan senang hati(LOTS) 3.3.1 Anak mampu mengkombinasikan gerak motorik kasar