• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menyelamatkan Subspesies Badak Sumatera yang Tersisa di Kalimantan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Menyelamatkan Subspesies Badak Sumatera yang Tersisa di Kalimantan"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

Vol. V/No. 3/2016 BALAI PENELITIAN

DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM

Menyelamatkan

Subspesies Badak Sumatera

yang Tersisa di Kalimantan

Profil

PROF. DR. ANI MARDIASTUTI

MENGENAL

SOSOK DAHU

(DRACONTOMELON DAO)

TAXUS SUMATRANA:

TEMUAN POPULASI BARU

DI GUNUNG DEMPO

HERBARIUM

BOTANI HUTAN

JALAN-JALAN KE

DANDENONG RANGES NATIONAL PARK,

VICTORIA, AUSTRALIA

(2)

Salam Redaksi

01

Klik

Profil

Prof. DR. Ani Mardiastuti

02

[Ardiyanto W. Nugroho]

[

Mukhlisi

]

08

Mengenal Sosok Dahu

(Dracontomelon dao)

15

Badak Sumatera

yang ditemukan

di Kutai Barat

20

[

Mira Kumala Ningsih dan Nanda Farhazakia

]

22

[

Rizki Ary Fambayun dan Adi Susilo

]

Taxus sumatrana: Temuan Populasi Baru

di Gunung Dempo, Kota Pagaralam,

Sumatera Selatan

Herbarium Botani Hutan

“Ketika Seranting

Daun Kering Berbicara”

27

[

Denny dan Rizki Ary Fambayun

]

Jalan-jalan ke Dandenong

Ranges National Park,

Victoria, Australia

30

36

Tajuk Utama

Artikel

Lintas Peristiwa

Menyelamatkan

Subspesies Badak Sumatera

yang Tersisa di Kalimantan

(3)

Salam Konservasi,

“Menyelamatkan Subspesies Badak

Kalimantan yang Tersisa di Kalimantan” menjadi tema utama

Majalah Swara Samboja Vol V/No. 3/Th 2016. Rilis temuan terbaru terhadap sejumlah individu badak sumatera di Kutai Barat baru-baru ini menjadi salah satu penanda keberadaan badak sumatera di pulau Kalimantan. Fakta keberadaan individu badak ini menjadi harapan sekaligus tantangan untuk menentukan strategi konservasi yang paling tepat untuk menyelamatkannya dari kepunahan. Upaya-upaya penyelamatan apa saja yang bisa dilakukan? Mukhlisi, S.Si, M.Si akan membahas secara lengkap dalam tajuk utama kali ini. Tak ketinggalan rublik klik kali ini juga menampilkan dokumentasi badak sumatera yang ditemukan di Kutai Barat yang diabadikan oleh Tri Atmoko, S.Hut, M.Si.

Dalam rubrik artikel, Mira Kumala Ningsih dan Nanda Farhazakia teknisi litkayasa Balitek KSDA akan memperkanalkan pohon dahu dalam tulisannya “Mengenal Sosok Dahu (Dracontomelon dao). Pohon ini memiliki banyak kegunaan baik pemanfaatkan kayu, non kayu, ekologi dan sosial budaya. Manfaat secara lengkap dari pohon Dahu dapat pembaca simak dalam tulisan ini.

“Tazus sumatrana: Temuan Populasi Baru di Gunung Dempo, Kota Pagaralam, Sumatera Selatan” akan dikupas oleh Rizki Ary Fambayun dan Adi Susilo (Puslitang Hutan). Pohon yang dipercaya memiliki khasiat melawan kanker diketahui keberadaannya tersebar di Hutan Lindung Gunung Dempo. Denny dan Rizki Ary Fambayun selanjutkan akan membahas kiprah “Herbarium Botani Hutan” . Herbarium yang didirikan sejak tahun 1917 ini dikelola oleh Kelti Botani dan Ekologi Hutan Puslitbang Hutan merupakan salah satu herbarium yang dimiliki Badan Litbang dan Inovasi selain Herbarium Wanariset Samboja.

Jika pembaca ingin mengikuti “Jalan-jalan ke Dandenong Ranger National Park, Victoria, Australia” pembaca dapat menikmati keseruannya dalam tulisan Ardiyanto W. Nugroho, S.Hut, M.Sc. Tulisan ini merupakan kegiatan yang didokumentasikannya saat studi di Melbourne.

Pada kesempatan ini Swara Samboja mengetengahkan profil ahli ekologi satwa liar dari Institut Pertanian Bogor, Prof. Dr. Ani

Mardiastuti, yang akan berbagi informasi terkait satwa liar dan

menginspirasi para peneliti maupun para pejuang konservasi satwa liar.

Rubrik Lintas peristiwa menyajikan kegiatan Balitek KSDA antara lain “Balitek KSDA Juara III Karnaval HUT RI se Kecamatan Samboja”, “Kunjungan Kerja Balitek KSDA di ArealKonservasi PT. Citra Usaha Lestari”, “Lokakarya Hutan Samboja Warisan Tak Ternilai”, “Survei Kehati di Hutan Lindung Wehea”.

Kali ini Swara Samboja juga menampilkan profil singkat buku iptek yang diterbitkan Balitek KSDA maupun hasil kerjasama dengan istansi lain. Buku tersebut adalah “Satwa Liar di Objek Wisata Alam Bekantan Sungai Hitam-Samboja”, “Budaya Masyarakat Dayak Benuaq dan Potensi Flora Hutan Lembonah”, “Satwa Liar di Hutan Lembonah” dan “Jenis Tumbuhan Pakan Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis harrissoni) di Kalimantan”.

Pembaca kami yang budiman, akhir kata, selamat membaca dan salam hangat.

Ahmad Gadang Pamungkas Kepala Balai

Salam

Redaksi

alamat redaksi

Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam Jl. Soekarno - Hatta Km. 38 PO BOX 578 Balikpapan 76112 Samboja - Kalimantan Timur Phone. (0542) 7217663, Fax. (0542) 7217665 E-mail : [email protected]

DIPA BPTKSDA 2016

Join us Majalah Swara SambojaGroup Majalah Swara Samboja

PENANGGUNG JAWAB :

DEWAN REDAKSI :

Ahmad Gadang Pamungkas, S.Hut, M.Si

Dr. Chandradewana Boer Dr. Hendra Gunawan Tri Atmoko, S.Hut, M.Si

REDAKSI PELAKSANA :

Drinus Arruan, S.Hut Eka Purnamawati, S.Hut Deny Adiputra, S. Hut

redaksi

Majalah Swara Samboja merupakan majalah ilmiah populer mengenai konservasi yang diterbitkan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Konservasi S umber Daya Alam setiap caturwulan (4 bulan) sekali.

Redaksi menerima artikel untuk Majalah Swara Samboja dengan ketentuan sebagai berikut :

- Naskah diketik diatas kertas kuarto (A4) dengan huruf Times New Roman 12 point dengan 1,5 spasi dan maksimal 3000 karakter.

- Naskah dilengkapi dengan gambar atau foto pendukung dengan resolusi >300 dpi

(4)

Nama Lengkap

Prof. DR. Ir. ANI MARDIASTUTI, M.Sc.

Suami

Tanggal Lahir

25 September 1959

Dr. Tonny Soehartono

Jabatan

Professor, Department of Forest Resources

Conservation and Ecotouris, Faculty of Forestry,

Bogor Agricultural University

Pendidikan

simple

energetic

patient

Dokumen Pribadi

Profil

Prof. DR.

Ani Mardiastuti

Alamat

Fakultas Kehutanan - Institut Pertanian Bogor, P.O. Box 168 Bogor 16001 Indonesia,

Phone: +62-251-8621947; Fax: +62-251-8621256

Email

[email protected]

1992 : Ph. D, Wildlife Biology and

Management, Michigan State

University, Michigan, USA

1987 : Master of Science, Wildlife Biology

and Ecology, Michigan State

University, Michigan, USA

1982 : Bachelor Degree, Forestry, Faculty

of Forestry, Bogor Agricultural

University, Indonesia

(5)

Riwayat Pekerjaan

National Co-Ordinator for Indonesia, TRAFFIC Southeast Asia, January 2007 – March 2008.

Senior Policy Advisor, Indonesian Biodiversity Foundation (Yayasan KEHATI), September 2005 - December 2006. Head, Department of Forest Resources Conservation, Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University, March 1996 – February 2004.

Technical Assistant to the Executive Director, Yayasan KEHATI, January 1998 – September 2005.

Program Manager, Research Institute, Bogor Agricultural University, December 1999- 2003.

Head, Committee for Education Administration, Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University, December 1993 - May 1996.

Vice Secretary for Finance and Monetary, Research Institute, Bogor Agricultural University. November 1993 – October 1996.

Member, Board of Senate, Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University. March 1996 – present.

Member, Board of Senate, Bogor Agricultural University, November 1999 – February 2004.

Pengalaman di luar kedinasan

Executive Director (Ad Interim), Yayasan Pembangunan Berkelanjutan (Foundation for Sustainable Development), December 2012 – present

Executive Director, Yayasan Nata Samastha, January 2009 - present

National Programme Director, LEAD Indonesia, December 2012 - present.

Chairperson of Board, Burung Indonesia, 2003 – present. Chairperson of Board, Yayasan Pembangunan Berkelanjutan (Foundation for Sustainable Development), 2012 – present. Founder, Burung Indonesia (BirdLife Indonesia), a national NGO working to conserve wild birds and their habitat. Founder and Board Member, HCV Network Indonesia, 2011- 2015.

Founder and Board Member, Yayasan Peduli Konservasi Indonesia (PEKA), a Bogor-based NGO, working on conservation and local community empowerment, 2008-present.

Chairperson of Board, Lembaga Alam Tropika (LATIN), a

Training (10 th terakhir)

Sustainability Report Writing for Small and Medium Enterprise, Global Reporting Initiative – Yayasan Pembangunan Berkelanjutan, Bogor, 25-28 April 2014. Technopreneurship untuk Dosen. RAMP-IPB. Bogor. 11-13 Maret 2014.

Ecological Footprint Calculation, Global Footprint Network - Ministry of Public Works Republic of Indonesia, Jakarta, 9-11 October 2013.

NGO Transforamtion to Social Enterprise. British Council, Indonesia. Jakarta, 7-9 September 2013.

Training on Carbon Accounting for REDD. Evergreen Hotel, Cisarua, 3 August 2009. Ministry of Forestry.

Sustainable Production and Legal & Wood Certification of Home Furnishing Industry. Yayasan Pembangunan Berkelanjutan/ LEAD-Senada USAID. Jakarta, 2-3 July 2009. Developing Sustainable Business with AtKisson Sustainability Accelerator Tools. Yayasan Pembangunan Berkelanjutan/LEAD. Jakarta, 23-24 October 2008.

Training to Assess Certification for University Lecturer. December 2008.

Reviewer dan editor

Reviewer, Journal of Forestry Science, 2009 - present. Peer review, ASEAN Journal on Hospitality and Tourism, 2002- present

Peer Review, Yayasan Kehati, May 1997 – 2003.

Peer Review, Jurnal Primatologi Indonesia, Primate Research Center, Bogor Agricultural University, 1998 - present. Peer Review, Jurnal Biodiversitas Indonesia, Department of Biology, University of Indonesia, March 1997 - present. Peer Review, Journal Media Konservasi, Department of Forest Resources Conservation. Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University. December 1993 - present.

Junior Editor, Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. Research Institute, Bogor Agricultural University. February 1994 - 1997.

Editor, International Journal for Tropical Agriculture. Research Institute, Bogor Agricultural University. January 1995 - present.

(6)

Bersama Duta Besar Denmark dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Publikasi (10 tahun terakhir)

Soehartono, T. & A. Mardiastuti. 2014. The voice of National Parks in Kalimantan. Nata Samastha Foundation. Bogor. Mardiastuti, 2009. Tambling: Sehampar RImba Belantara yang Mempesona (bi-langual). PT Adhiniaga Kreasinusa. Jakarta.

Soehartono, T & A. Mardiastuti. 2009. Hunian baru untuk harimau sumatera. PT Adhiniaga Kreasinusa. Jakarta. Komar, T.E. & A. Mardiastuti. 2009. Information gaps toward sustainable management and conservation of ramin. Forestry Research and Development Agency-ITTO-CITES. Bogor.

Mardiastuti, A. 2008. Tindak pidana terhadap tumbuhan dan satwa liar. Modules (3 volumes) for the Research Center and Training of the Attorney General of Indonesia.

Mardiastuti, A. Ekologi burung Indonesia. In prep.

Buku Mardiastuti, A. 2016. Determination of synurbanization

avian species of cities in Java, Indonesia. Journal of Indonesian Natural History. In pres.

Dewi, L.K.; Y.A. Mulyani, A. Mardiastuti, F. N. Tirtaningtyas. 2014. Variasi bobot tubuh burung Gereja Erasia (Passer montanus) pada awal dan akhir musim hujan di Kampus IPB Dramaga. Media Konservasi. In press.

Kusrini, M. D. Kusrini, A.Mardiastuti, Mumpuni, A. Riyanto, S.M. Ginting & Badiah. 2014. Asiatic Soft-shell Turtle Amyda cartilaginea in Indonesia: A Review of its Natural History and Harvest. Journal of Indonesian Natural History.In press. Hernowo, J.B.; A. Mardiastuti, H.S. Alikodra & C. Kusmana. 2011. Population analysis of the Javan Green Peafowl (Pavo muticus muticus Linnaeus 1758) in Baluran and Alas Purwo National Parks, East Java. Biodiversitas 1292):99-106. Hernowo, J.B.; A. Mardiastuti, H.S. Alikodra & C. Kusmana.

Jurnal

Mardiastuti, A. 2008. Top News on the Environment in Asia 2007: Indonesia. Institute for Global Environmental Strategies (IGES). Japan

Mardiastuti, A. 2007. Top News on the Environment in Asia 2006: Indonesia. Institute for Global Environmental Strategies (IGES). Japan

Prosiding

Mendampingi Prince Charles dari Inggris di Hutan Harapan, Jambi

(7)

Mengasuh cucu bersama suami

H

Bisa diceritakan awal dari ketertarikan Ibu dengan bidang ekologi satwa liar?

utan hujan tropis di Indonesia adalah salah satu “rumah” bagi berbagai jenis satwa liar. Kekayaan jenis satwa yang ada di Indonesia tidak lepas dari wilayah biogeografinya yang mencakup wilayah Oriental, Australasia dan ekosistem unik Wallacea yang dibatasi oleh garis imaginer Wallace dan Webber. Kondisi tersebut menyebabkan Indonesia memiliki keanekaragaman jenis satwa liar yang cukup tinggi. Pengelolaan dan pelestarian kekayaan jenis satwa liar tersebut memerlukan strategi yang tepat di bawah tekanan kerusakan hutan yang terus berlangsung. Pada kesempatan ini Swara Samboja mengetengahkan profil ahli ekologi satwa liar dari Institut Pertanian Bogor, Ani Mardiastuti, yang akan berbagi informasi terkait satwa liar dan menginspirasi para peneliti maupun para pejuang konservasi satwa liar.

Sewaktu saya bergabung dengan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 1983, kami sedang merintis mendirikan Jurusan baru, yakni Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Lawas (scope) keilmuan Jurusan ini sudah jelas, yakni konservasi secara umum, satwa liar, ekowisata, tumbuhan obat dan jasa lingkungan. Saat itu saya ingin mengikuti jejak Bp. Hadi S. Alikodra – pembimbing saya – yang memilih spesialisasi satwa liar. Kebetulan pada waktu itu sangat sedikit dosen yang memiliki keilmuan satwa liar, baik di IPB atau pun di Indonesia.

Saya sendiri memang dari awal sangat tertarik dengan satwa liar dan telah melakukan penelitian S1 tentang bekantan di Kalimantan Selatan. Belakangan, pada saat saya mengambil program S2 dan S3 di Amerika Serikat, saya terpaksa berpindah dari keilmuan primata ke burung karena ketiadaan pembimbing di sana.

Teknologi yang mungkin memang tidak dikembangkan khusus untuk satwa liar saat ini dapat digunakan untuk mendukung bidang ekologi dan konservasi satwa liar. Contoh beberapa teknologi yang sering kami manfaatkan secara rutin di kampus adalah SIG (Sistem Informasi Geografis (SIG)) dengan berbagai peralatan penunjangnya, serta penggunaan drone untuk mengamati habitat. Kami juga memakai camera trap untuk menentukan keberadaan, distribusi dan menghitung populasi satwa, bekerjasama dengan pihak lain.

Bioteknologi banyak dapat membantu konservasi satwa, namun memang kita masih jarang memanfaatkannya karena kendala biaya dan peralatan. Berbagai teknik bioteknologi ini akan sangat membantu pengelolaan satwa yang terancam punah, misalnya untuk DNA mapping, superovulasi, surrogate mother techniques, penyimpanan semen beku, serta teknik Inovatif lain terkait pengembangbiakan satwa. Dalam hal ini,

Teknologi saat ini berkembang sedemikian cepat. Sejauh mana penggunaan teknologi tersebut dalam bidang ekologi satwa liar?

(8)

para pakar satwa perlu bekerjasama dengan biologiwan, dokter hewan dan pakar peternakan.

Strategi umum yang dapat kita pakai adalah keharmonisan alam. Saat populasi manusia bertambah dan mendesak keberadaan satwa, manusia sudah selayaknya mau berbagi tempat dengan satwa. Hal ini tentu tidak mudah karena dapat terjadi konflik antara manusia dengan satwa yang dianggap mengganggu atau mengancam manusia. Political will, upaya yang terus menerus, disertai pemikiran yang kreatif dan inovatif tentunya sangat dibutuhkan untuk mencapai keharmonisan alam ini.

Buku tentang CITES ini saya tulis bersama dengan suami saya, Dr. Tonny Soehartono. Buku tersebut kami tulis karena dua alasan

Terkait konservasi satwa liar terancam punah, strategi apa yang paling tepat diterapkan dalam situasi dan kondisi Bangsa Indonesia saat ini?

Bisa diceritakan sedikit terkait buku Ibu yang berjudul “Pelaksanaan konvensi CITES di Indonesia”

penting: diseminasi data yang tersedia, dan sharing informasi tentang CITES. CITES adalah konvensi internasional terkait perdagangan (ekspor-impor) satwa liar terancam punah. Peraturan tentang CITES ini banyak dan rumit, serta menuntut untuk dipelajari agar dapat memahaminya. Mengingat bahwa Indonesia merupakan produsen berbagai satwa untuk ekspor, maka tentu saja CITES ini merupakan pengetahuan umum yang dapat dipelajari untuk mencapai perdagangan satwa yang lestari.

Tantangan terbesar untuk upaya konservasi sumberdaya alam hayati di Indonesia adalah mempertahankan keberadaan dan kelestarian sumberdaya. Jumlah manusia semakin banyak dan semakin kreatif dalam memanfaatkan sumberdaya. Sayangnya, kreativitas manusia ini banyak yang bersifat negatif, sehingga cenderung merusak sumberdaya yang kita miliki.

Menurut Ibu, apa tantangan terbesar dalam upaya konservasi sumber daya alam di masa yang akan datang?

Bersama Rektor ITS Surabaya dan Prof. Emil Salim Penelitian di hutan Lambusango (Sulawesi Tenggara) bersama rekan dan mahasiswa

Menjadi juri internasional pada kompetisi QuaryLife-Heidelberg Cement

(9)

Hal apa yang selalu memberikan semangat dan menginspirasi Ibu untuk bekerja dan terus berkarya?

Beberapa saran Ibu bagi para peneliti muda Indonesia agar dapat bersaing dengan peneliti asing?

Selain rutinitas mengajar, bisa diceritakan kegiatan ibu yang lain?

Semangat dan inspirasi saya sekarang berasal dari orang-orang terdekat: keluarga, sahabat dan mahasiswa saya. Rasanya banyak sekali yang dapat saya kerjakan, namun terkendala dengan waktu. Keluarga dan sahabat memberikan kebahagiaan dan dorongan semangat, sementara interaksi saya dengan mahasiswa senantiasa mendorong saya untuk terus belajar, berkarya dan bekerja secara efisien.

Kita semua – termasuk peneliti – musti bersyukur bahwa alam Indonesia memberikan peluang yang amat sangat besar untuk melaksanakan penelitian dan membuat inovasi. Manfaatkan peluang ini untuk dapat berkarya. Dahulu kita memiliki kendala dalam mendapatkan paper/makalah yang diterbitkan dalam jurnal internasional. Saat ini kendala tersebut sudah sangat minimal, sehingga kini tidak ada alasan lagi bagi peneliti muda untuk tidak mampu berkarya dan bersaing dengan peneliti asing.

Sebagai pengajar (dosen), kewajiban saya termasuk meneliti dan melaksanakan pengabdian kepada masyarakat. Penelitian saya saat ini terfokus pada pelestarian burung pada lanskap yang didominasi manusia, termasuk di perkotaan, perdesaan, permukiman, areal pertanian dan perkebunan, dan pertambangan. Intinya adalah menemukan keharmonisan antara satwa liar (dalam hal ini adalah burung) dan manusia.

Untuk kegiatan pegabdian masyarakat, saya wujudkan dalam membantu mengurus 3 organisasi nir-laba: Yayasan Nata Samastha (sebagai Direktur Eksekutif ), Yayasan Pembangunan Berkelanjutan (sebagai Pelaksana Direktur Eksekutif/Ketua Dewan Pengurus) dan Perhimpunan Burung Indonesia (sebagai ketua Dewan Pengurus). Yayasan Nata Samastha melakukan riset dan formulasi kebijakan terkait konservasi, kehutanan dan keanekaragaman hayati. Yayasan Pembangunan Berkelanjutan adalah sebuah LSM yang dibentuk oleh Prof. Emil Salim, bergerak dalam penguatan sumberdaya manusia dalam bidang pembangunan berkelanjutan. Sementara itu, Perhimpunan Burung Indonesia merupakan LSM yang melakukan pelestarian burung dan habitatnya, khususnya di daerah Wallacea dan Sumatra (di Hutan Harapan, Jambi).

Pada saat-saat senggang, saya mengurus kebun sayur organik di belakang rumah, belajar memainkan karya Chopin pada piano saya, atau sekedar bersantai dengan suami. Akhir minggu biasanya saya dan suami menjadwalkan untuk menonton film di bioskop.

Ini pertanyaan yang sulit karena saya merasa memiliki “multi-dimensi” sebagai seorang ibu, istri, pengurus rumah tangga, pengurus organisasi, dan staf pengajar/dosen, sehingga keberadaan saya sulit bisa dituliskan dengan tiga kata. Kalau saya harus memilih tiga kata untuk menggambarkan diri saya, maka ketiga kata itu adalah simple, energetic, patient. I am simple dalam artian kehidupan dan keinginan saya tidak rumit, sederhana, tidak neko-neko. I am energetic karena saya merasa selalu aktif dan tidak bisa diam. I am patient, karena cukup sabar dalam menghadapi orang lain.

Apa tiga kata yang dapat menggambarkan Ibu?

(10)

08

Mukhlisi

[ Peneliti pada Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam ] e-mail: [email protected]

Menyelamatkan

Subspesies Badak Sumatera

yang Tersisa di Kalimantan

Tri Atmoko

(11)

Pendahuluan

Satwa Paling Terancam Punah Abad 21

Selama ini ketika setiap orang membicarakan badak sumatera maka umumnya pikirannya akan selau tertuju terhadap badak di Pulau Sumatera. Hal ini sangat wajar sebab terdapat “embel-embel” nama Sumatera di belakang kata badak, sehingga orang akan mengasosiasikannya dengan sebuah tempat bernama Pulau Sumatera. Padahal, di Kalimantan atau Borneo secara umum (meliputi Malaysia dan Brunei Darussalam) juga merupakan sebaran alami populasi badak sumatera. Hanya saja, memang harus diakui jika informasi tentang badak sumatera di Kalimantan sangat minim sekali dibandingkan kerabatnya di Pulau Sumatera.

Populasi yang sangat kecil menyebabkan informasi tentang Badak Sumatera di Kalimantan sangat terbatas, hal ini berimplikasi terhadap catatan ilmiah maupun non ilmiah yang diterbitkan juga menjadi sangat terbatas. Rilis temuan terbaru terhadap sejumlah individu badak sumatera di Kutai Barat baru-baru ini menjadi salah satu penanda keberadaannya masih eksis di Kalimantan. Fakta keberadaan individu badak ini menjadi harapan sekaligus tantangan untuk berhitung kembali tentang strategi konservasi yang paling tepat untuk menyelamatkannya dari kepunahan.

Badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) adalah salah satu satwa liar yang paling terancam punah di abad 21. Badak bercula dua tersebut telah masuk dalam daftar merah IUCN dengan kategori Critically Endangered (van Strien et al., 2008). Posisi ini tentunya sangat tidak menguntungkan sebab memiliki makna bahwa populasi badak sumatera sudah sangat kritis mengalami kepunahan. Jika tidak ada upaya konservasi secara nyata, maka satu langkah lagi badak sumatera akan terjerumus pada posisi Extinct in The Wild. Sebagai informasi tambahan, secara lokal badak sumatera di Sabah - Malaysia telah resmi dinyatakan Extinct in The Wild sejak tahun 2015 (Havmoller et al., 2015).

Perburuan untuk mendapatkan culanya telah menjadi faktor dominan dalam mereduksi populasinya di alam secara sangat signifikan. Umumnya cula badak dijual ke China melewati Singapore untuk dijadikan bahan baku pengobatan tradisional. Fenomena ini telah berlangsung sejak ratusan tahun silam. Tekanan ekologi terhadap badak di Kalimantan juga diperparah dengan terjadinya fragmentasi dan alih fungsi hutan menjadi peruntukan lain. Dari aspek sistem reproduksi, badak sendiri termasuk kategori satwa liar yang bersifat slow breeding. Berbagai kombinasi ini semakin menyebabkan populasi badak semakin terpuruk dewasa ini.

Hewan Purba Yang Tersisa

Jejak Sebaran di Kalimantan

Secara taksonomis Badak Sumatera terpisah ke dalam tiga anak jenis, yaitu D.s. sumatrensis tersebar di Pulau Sumatera, Semenanjung Malaysia hingga Thailand (punah di Thailand); D.s. lasiotis tersebar di India, Bhutan, Bangladesh dan Myanmar (hanya tersisa sedikit di Myanmar); serta D.s.harrissonii yang endemik di Pulau Borneo (van Strien et al., 2008). Pemisahan subspesies Borneo ini baru dilakukan pada tahun 1965 oleh taksonom berkebangsaan Jerman yaitu Groves. Kala itu nama ilmiah yang diberikan adalah Didermocerus sumatrensis harrisonii. Dalam perkembangannya, nama ilmiah yang disepakati secara internasional menjadi Dicerorhinus sumatrensis harrissonii (Groves, 1965).

Keunikan badak sumatera dibandingkan 5 jenis badak lain yang masih tersisa di muka bumi adalah terletak pada ukuran tubuhnya yang paling kecil dan juga paling primitif. Julukan primitif disematkan karena pada tubuhnya diselimuti rambut menyerupai badak purba “woolly rhinoceros” (Coelodonta antiquitatis) yang hidup pada zaman es. Selanjutnya, dari hasil bukti evolusi DNA para ilmuwan meyakini jika badak sumatera terpisah silsilah keturunannya dengan C. antiquitatis sejak zaman Oligosen (Orlando et al., 2003).

Diperkirakan jenis badak di Kalimantan terpisah dengan kerabat dekatnya di Pulau Sumatera dan daratan utama Asia, ketika Kalimantan terpisah akibat tenggelamnya sebagian daratan ribuan tahun lalu. Wilayah biogeografi yang meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Semenanjung Malaysia tersebut dikenali sebagai Sundaland dan dulunya pernah terhubung dalam satu daratan. Tak heran jika banyak biodiversitas yang mirip di antara kawasan tersebut, termasuk di antaranya badak.

Dulu, subspesies badak sumatera di Kalimantan memiliki riwayat sebaran yang cukup luas di seantero rimba. Kini, sebarannya terpisah-pisah dalam kantung-kantung habitat kecil dengan subpopulasi yang juga sangat kecil. Untuk mengetahui di mana saja tanda-tanda perjumpaan badak pernah tercatat di Kalimantan, berikut ini ditampilkan kompilasi sebarannya dari berbagai sumber pustaka (Tabel 1). Sebagai catatan tambahan, dari keseluruhan lokasi prediksi perjumpaan badak yang ditampilkan, hanya wilayah Kutai Barat yang sampai saat ini memiliki bukti akurat keberadaannya.

(12)

10

Badak di Kalimantan, Apakah Pernah Punah?

Sejak rilis tentang penemuan individu badak sumatera di Kutai Barat oleh Dephut dan WWF Indonesia tahun 2013, pada berbagai artikel kerap dinyatakan bahwa badak sumatera di Kalimantan pernah dinyatakan punah tahun 1990an lalu ditemukan kembali. Sebagian ada yang menyebutkan punah beberapa dekade lalu, bahkan sebagian ada yang menganggap penemuan badak di Kalimantan adalah sebuah penemuan baru di mana sebelumnya badak sumatera belum pernah tercatat secara ilmiah di Kalimantan.

Penulis mencoba untuk mencari tahu sejak kapan sebetulnya badak sumatera di Kalimantan pernah dinyatakan punah sebab dari penelusuran pustaka tidak ditemukan bukti sahih yang menyatakan hal tersebut, atau setidaknya belum pernah menemukan literatur yang menyatakan punah secara resmi. Sayangnya, IUCN Red List sebagai lembaga yang melakukan assessment status kerentanannya juga tidak memiliki data secara spesifik khusus untuk subspesies badak satu ini. Penulis juga tidak menemukan laporan resmi pihak Pemerintah Indonesia (Departemen Kehutanan) yang menyebutkan badak sumatera telah punah di Kalimantan.

Beberapa jurnal ilmiah paling mutakhir sebelum badak sumatera di Kutai Barat ditemukan, seperti Meijaard (1996) memang menyebutkan setelah tahun 1980an tidak lagi ditemukan tanda-tanda badak di Kalimantan, sehingga ia menganggap populasinya sudah tidak viable. Namun demikian, dalam pernyataan lain Meijaard (1996) masih meyakini jika badak sumatera di Kalimantan mungkin belum punah hanya saja populasinya sangat kecil dan jarang sekali. Bahkan, peneliti satwa liar dari Universitas Mulawarman Samarinda, Dr. Chandradewana Boer dalam laporannya tahun 2002 menyebutkan masih menemukan tanda-tanda keberadaan badak sumatera di Kutai Barat seperti dari informasi masyarakat dan bukti sisa-sisa organ tubuh badak.

Agaknya minimnya populasi serta bukti tanda-tanda perjumpaannya membuat sebagian besar peneliti meragukan kepastian keberadaan badak di Kalimantan. Sebagian besar peneliti telah menggunakan pilihan kata “sedikit” atau “hampir punah” akibat tidak adanya bukti perjumpaan terhadap badak lagi di Kalimantan sejak puluhan tahun silam. Untuk memperjelas mengenai sebenarnya apakah badak sumatera di Kalimantan pernah dinyatakan punah atau tidak, berikut ini disarikan perbandingan berbagai studi histori estimasi populasi badak di Kalimantan dan Sabah (termasuk Sarawak) pada Tabel 2.

Tabel 1. Prediksi sebaran badak sumatera di Kalimantan

No Provinsi Prediksi sebarankantung habitat Referensi

1 Kalimantan Barat · Bentuang Karimun

· Bentuang Karimun ; Hulu Kapuas;

· Foose dan Strien (1997) · Meijaard (1996)

2 Kalimantan Tengah · Muara Teweh

· Sungai Murung · Republika (2014) · Meijaard (1996) -· · · ·

· Foose dan Strien (1997) ·

· · Kalimantan Timur – Utara

WWF-Dephut (2013) Boer et al. (2015) Meijaard (1996)

Keterangan: Bentuang Karimun = Betung Kerihun saat ini 4

Gunung Meratus, Kayan Mentarang, Perbatasan Sabah

Kutai Barat – Mahulu Berau

Kutai Lama; Sungai Sebuku; Gunung Bekayan (Malinau); Pegunungan Meratus; Apo Kayan (Sungai Irun dan Iwan); Hulu Sungai Bahau - Apau Ping; Sungai Punjungan-Kat; Buringajok (Kutai Barat); Sungai Boh; Batu Majang (Long Bagun); Ulu Sembakung; Bukit Batuajau Kalimantan Selatan

(13)

No Acuan Estimasi Populasi

Sabah (Ekor) Sarawak (Ekor) Kalimantan (Ekor)

1 Wallace (1874) Tidak melimpah Tidak melimpah Tidak melimpah

2 Mjoeberg (1929) Kurang umum Umum /

3 Harrison (1955) Beberapa 2-3 Sedikit

4 Burgess (1961) 20-30 / /

5 Harrisson (1965) 11-13 / 5-10

6 Silva (1968) / Hampir punah /

7 Strien (1974) Sedikit Mungkin punah Sedikit

8 Harrisson (1975) 10-20 0 1-2

9 Rookmaaker (1977) 10-20 0-3 5

10 Strien (1979) / / Hampir punah

11 Davies dan Payne (1982) 15-30 / /

12 Khan (1989) >38 5-15 Mungkin masih ada di

perbatasan dengan Sabah

13 Martin (1989) >100 Sangat sedikit /

14 Rabinowitz (1992) 13-23 / /

15 Khan (1993) 40-60 / /

16 Meijaard (1996) / / Mungkin belum punah tapi

populasi sangat kecil dan jarang

17 Khan et al.(1999) 50-70 / /

18 WWF –Dephut (2013) / / Ditemukan bukti gambar di

Kutai Barat

19 Putro (2015) / / 3

20 BORA (2015) 0 / /

21 Kretzschmar et al. (2016) 0 Tidak ada

tanda-tanda lagi di Sarawak dan Brunei

Darussalam

/

22 Havmoller et al.(2015) Punah di Alam Liar / /

Tabel 2. Histori estimasi populasi di Kalimantan, Sabah, dan Sarawak

Keterangan: Tanda “/ “ berarti tidak dilakukan studi pada kawasan tersebut; data dikompilasi dari Kretzschmar et al. (2016)

dan studi pustaka terkini

Kegiatan pengumpulan sampel herbarium tumbuhan pakan badak Sumatera di Kalimantan

(14)

12

Peluang Kepunahan

Salah satu langkah awal yang harus dilakukan untuk melakukan konservasi pada tingkat jenis adalah dengan mengetahui Minimum Viable Population (MVP). Secara sederhana MVP dapat diartikan sebagai batas terendah ukuran populasi suatu jenis satwa liar yang mampu terus bertahan dalam jangka waktu tertentu. Berapa jangka waktu yang dimaksud? Ukuran skala waktu yang biasa digunakan adalah 40-50 generasi, namun ada juga yang menggunakan spektrum waktu 100 tahun saja. Ukuran MVP untuk setiap spesies sendiri tidak pernah sama karena MVP dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti genetika-demografi, karakteristik biologi tiap jenis, serta berbagai variabel lingkungan di sekitarnya.

Untuk mengetahui MVP dan prediksi kepunahan badak maka perlu dilakukan kajian tersendiri. Saat ini telah berkembang pesat perangkat lunak yang bisa diandalkan untuk memodelkan dinamika populasi. Hal lain yang juga patut diperhatikan adalah Effective Population Size (Ne), yaitu ukuran populasi ideal untuk menjamin variasi genetik agar tidak terjadi tekanan silang dalam (inbreeding). Secara umum patokan ukuran populasi yang umum digunakan untuk manajemen populasi satwa liar, khususnya badak dalam IUCN SSC Asian Rhino Action Plan adalah sebagai berikut: (1) Ukuran populasi efektif (Ne): > 500 ekor; (2) Total ukuran metapopulasi: > 2000 ekor; (3) Jumlah subpopulasi badak: > 10; dan (4) Jumlah individu tiap subpopulasi: > 100.

Meskipun jumlah populasi akurat badak di Kalimantan belum diketahui dengan pasti, namun diperkirakan populasinya tidak akan sampai pada level aman seperti ambang batas yang disebutkan pada 4 kriteria tersebut di atas. Fenomena ini juga sebagian telah terjadi pada badak di Pulau Sumatera yang secara keseluruhan populasinya terus menurun tinggal 185 ekor sampai 2006 (SRAK Badak, 2007). Jumlah subpopulasi badak di Kalimantan yang sudah pasti teridentifikasi baru sebanyak 3 subpopulasi, tersebar pada 3 kantung habitat di wilayah Kabupaten Kutai Barat dan Kabupaten Mahakam Ulu. Dari ketiga kantung habitat tersebut baru satu kantung habitat di Kutai Barat (kantung habitat-3) yang diketahui populasinya sebanyak 3 ekor (Putro, 2015). Catatan tambahan penulis, satu individu di antaranya telah mati bulan April 2016 dalam proses translokasi ke habitat yang lebih baik.

Upaya penyelamatan terhadap populasi badak yang tersisa di Kalimantan perlu dilakukan secara progresif dan radikal. Untuk itu, peran semua pihak dan sinergitas di antaranya mutlak diperlukan. Faktor viabilitas populasi badak bukan alasan untuk pesimistis dalam menyelamatkan badak dari kepunahan. Dengan bantuan teknologi dan strategi pengelolaan yang tepat permasalahan tersebut masih berpeluang untuk bisa di atasi.

Upaya Penyelamatan

Kegiatan eksplorasi pakan badak di areal Hutan Peraq, Desa Beusi', Kab. Kutai Barat, Kalimantan Timur tanggal 28 Januari hingga 8 Februari 2016

(15)

3. Menetapkan kawasan konservasi untuk habitat badak yang saling terkoneksi. Langkah ini bila dilakukan di Kutai Barat – Mahakam Ulu dan sekitarnya pada sebaran kantung habitat yang teridentifikasi mungkin bukan langkah populer, khususnya dari segi ekonomi karena habitat badak menempati kawasan dengan status hutan produksi. Meskipun demikian, hal ini dapat menjadi alternatif langkah penyelamatan untuk melindungi populasi badak liar yang tersisa pada kantung-kantung habitat kecil. Konektivitas habitat diharapkan dapat menghubungkan aliran genetik antar subpopulasi kecil. Bila prediksi umum yang menyebutkan populasi badak di lanskap Hulu Mahakam berkisar 10-12 ekor maka ini dapat menjadi justifikasi pengusulan kawasan tersebut menjadi kawasan konservasi, seperti Taman Nasional atau Suaka Margasatwa. Kawasan konservasi diharapkan mampu menjamin MDA (Minimum Dynamic Area), yaitu luasan habitat yang cocok dihuni agar MVP dapat tercapai.

4. Formulasi kebijakan dan kelembagaan. Dalam Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Badak (SRAK) di Indonesia 2007-2017 belum memasukkan target pengelolaan habitat badak di Kalimantan secara spesifik. Dengan ditemukannya kantung habitat baru Beberapa langkah awal untuk menyelamatkan badak

Kalimantan dari kepunahan telah diformulasikan dan diupayakan sebagai berikut:

1. Estimasi populasi dan sebaran kantung habitat badak secara menyeluruh di Kalimantan. Di lanskap Hulu Mahakam, saat ini masih ada dua kantung habitat yang belum diketahui populasinya secara pasti yaitu di kantung habitat 2 dan 1. Selain itu, merujuk pada Meijaard (1996) masih ada setidaknya 5 lokasi prioritas yang belum diketahui populasinya secara pasti di Kalimantan Utara dan Kalimantan Barat.

2. Membangun kawasan sanctuary dan pusat penelitian breeding badak Kalimantan. Upaya ini pernah dilakukan dengan mencoba translokasi untuk individu badak di kantung habitat 3 walau belum berhasil, namun langkah ini perlu dilakukan untuk meningkatkan populasi di sanctuary dan peluang untuk rilis kembali jika berhasil. Keberhasilan breeding badak sumatera di Sumatran Rhino Sanctuary (SRS) – Taman Nasional Way Kambas dapat diadopsi di Kalimantan. Satu hal yang perlu dipastikan adalah terkait keragaman genetik yang dimiliki, sebab individu badak yang ingin ditangkarkan masih berasal dari satu kantung habitat.

Tim eksplorasi pakan badak kerjasama Balitek KSDA dan WWF Indonesia

(16)

14

direformulasi pada SRAK berikutnya termasuk kelengkapan kelembagaan yang menyertainya.

Upaya penyelamatan badak di Kalimantan ibarat berkejaran dengan waktu. Secara alami dengan memperhitungkan faktor viabilitas populasinya saja, kepunahan sepertinya hanya masalah tinggal menunggu waktu. Belum lagi ditambah dengan resiko perburuan dan kehilangan habitat. Untuk itu, langkah konservasi mutlak dilakukan secara cepat dan terukur dengan kolaborasi berbagai pihak. Selain itu, pemanfaatan teknologi manajamen habitat dan populasi terkini juga sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan konservasi. Tanpa langkah nyata, nasib subspesies badak sumatera di Kalimantan akan sama saja seperti halnya nasib subspesies harimau jawa dan harimau bali yang telah lebih dulu punah.

Boer, C., A.L. Manurung, Y. Kurniawan, & A.D. Kusuma. 2015. How do rhinos still exist in tropical rain forest of Kalimantan. Majalah Swara Samboja 4 (2): 12-14. Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam. Samboja

Borneo Rhino Alliance (BORA). 2015. Borneo Rhino Sanctuary (BRS) Programme. six monthly report: covering the period January – June 2015. Sabah Wildlife Department and Borneo Rhino Alliance.

Penutup

Daftar Pustaka

Foose, T.J & N. van Strein. 1997. Asian rhinos – status survey and conservation action plan. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK.

Havmøller, RG., J. Payne, W. Ramono, S. Ellis, K. Yoganand, B. Long, E. Dinerstei, A.C. Williams, R.H. Putra, J. Gawi, B.K. Talukdar, & N. Burgess. 2015. Will current conservation responses save the Critically endangered Sumatran rhinoceros Dicerorhinus sumatrensis? Oryx: 1-5 . Short Communication.

Kretzschmar P., S. Kramer-Schadt, L. Ambu, J. Bender, T. Bohm, M. Ernsing, F.R. Göritz, J. Payne, S. Schaffer, S.T. Thayaparan, Z.Z. Zainal, T.B. Hildebrandt, & H. Hofer. 2016. The catastrophic decline of the Sumatran rhino (Dicerorhinus sumatrensis harrissoni) in Sabah: Historic exploitation, reduced female reproductive performance and population viability. Global Ecology and Conservation 2: 257-275. Maharani, E. 2014. Jejak badak sumatera ditemukan di Kalteng. Republika, 19 Desember

2014

Meijaard, E. 1996. The Sumatran rhinoceros in Kalimantan, Indonesia: its possible distribution and conservation prospects. Pachyderm 21: 15-23

Orlando, L., J.A. Leonard, A. Thenot, V. Laudet, C. Guerin, & C. Hanni. 2003. Ancient DNA analysis reveals woolly rhino evolutionary relationships. Mol Phylogenet Evol 28: 485–499.

Putro, HR. 2015. Kebijakan penyelamatan badak sumatera di Kalimantan. Paper pada workshop strategi konservasi badak sumatera di Kalimantan. Balikpapan, 21-22 September 2015.

Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Badak 2007-2017. Departemen Kehutanan. Jakarta.

van Strien, N.J., B. Manullang, Sectionov, W. Isnan, M.KM. Khan, E. Sumardja, S. Ellis, K.H. Han, Boeadi, J. Payne, & E. Bradley Martin. 2008. Dicerorhinus sumatrensis. The IUCN Red List of Threatened Species 2008.

WWF – Dephut. 2013. Ditemukan bukti video badak sumatera di Kalimantan.

Baccaurea pyriformis Uncaria cordota Embelia javanica

Madhuca pierrei (F.N.Williams) H.J.Lam Aquilaria mallacensis Artocarpus integer

Beberapa jenis tumbuhan pakan badak Sumatera di Kalimantan yang dokumentasikan tim Balitek KSDA dan WWF

(17)

Nanda F.

Mira Kumala Ningsih dan Nanda Farhazakia

[Teknisi Litkayasa pada Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam ]

Mengenal Sosok

Dahu

(Dracontomelon dao)

(18)

16

PENDAHULUAN

MORFOLOGI POHON DAHU

TEMPAT TUMBUH DAN PENYEBARAN

Dahu atau yang dikenal dengan nama Dracontomelon dao (Blanco) Merrill & Rolf) adalah jenis pohon hutan yang memiliki banyak sekali kegunaan baik dari segi pemanfaatan kayu maupun non kayu. Selain dari segi pemanfaatan kayu dan non kayu, dahu juga memiliki manfaat ekologi dan sosial budaya baik yang dapat dirasakan secara langsung maupun tidak langsung. Manfaat yang dapat dirasakan langsung oleh makhluk hidup adalah sebagai penyedia unsur hara bagi tumbuhan, bahan pangan bagi manusia dan satwa, menjadi obyek dalam suatu penelitian, tempat bersarang, tempat bertengger dan tempat bermain untuk beberapa jenis burung dan tupai. Manfaat yang dirasakan secara tidak langsung adalah penyedia oksigen dan penyerap karbondioksida bagi makhluk hidup, mempertahankan air tanah, menahan air dan tanah serta mempengaruhi iklim mikro.

Tujuan dari penulisan ini adalah memberikan informasi manfaat ekonomi, ekologi dan sosial budaya serta ilmu pengetahuan jenis dahu.

Pohon dahu termasuk jenis pohon besar. Pohon dahu yang berada di dalam kawasan Arboretum Balitek KSDA Samboja memiliki tinggi total mencapai 18 m, tinggi bebas cabang 5 m dengan diameter 81 cm. Pohon ini memiliki banir papan dengan tinggi ±2,5 m. Memiliki batang utama berwarna cokelat dengan pertumbuhannya agak sedikit bengkok. Permukaan kulit batang luar bersisik cokelat kekuning-kuningan atau abu-abu cokelat yang terkelupas tak beraturan. Tajuk membentang hampir membulat dan bercabang banyak dengan daun yang lebat. Kulit batang bagian dalam lunak, berwarna kuning jerami hingga cokelat atau kuning terang hingga agak merah jambu, mengeluarkan getah cair merah jambu pucat. Daun majemuk menyirip ganjil tersusun spiral dan mengelompok diujung ranting besar. Anak daun berhadapan atau berselingan agak tidak simetris. Anak daun berbentuk bundar telur sampai membundar telur sungsang menyempit. Pangkal daun tidak simetris, tepi daun rata, bagian bawah helaian anak daun di samping tulang primer memiliki domatia. Ujung daun meruncing atau berekor, bentuk tulang tengah datar, urat daun sekunder menyirip, urat daun tersier menjala. Daun muda berwarna hijau muda dan daun tua berwarna hijau tua.

Secara umum dahu tersebar di hutan malar hijau hingga hutan lahan pamah agak meranggas, pada ketinggian hingga

500 m (Keßler & Sidiyasa, 1999). Jenis ini tumbuh subur pada hutan primer terganggu atau sekunder, evergreen (hijau sepanjang tahun) atau semi-gugur (musim) hutan di daerah tropis dengan rata-rata curah hujan tahunan 1800-2900 mm dan ketinggian 500-1000 m, ditemukan di daerah yang berdrainase baik, tanah liat sampai berbatu, organosols, tanah humus gley atau tanah podsolik merah kuning, di dataran alluvial dan di daerah rawa dan sepanjang tepi sungai (Lim, 2012).

Dahu tersebar luas di beberapa negara yaitu Cambodia, China, India, Indonesia, Malaysia, Myanmar, Papua New Guinea, Filipina, Kepulauan Solomon, Thailand (Orwa dkk., 2009). Dalam bahasa indonesia D. dao dikenal dengan nama dahu sedangkan di beberapa daerah, dahu dikenal dengan nama yang berbeda yaitu Inggris (Papua New Guinea walnut, Pacific walnut, New Guinea walnut, Argus pheasant tree); Filipina (dao); Jerman (Drachenapfel); Malaysia (dahu); Thailand (sang-kuan, phrachao ha phra ong, ka-kho, dao). Berdasarkan koleksi di Herbarium Wanariset, terdapat 25 (dua puluh lima) spesimen herbarium dari jenis dahu yaitu berasal dari provinsi Kalimantan Timur (13 spesimen), Kalimantan Utara (2 spesimen), Kalimantan Tengah (4 spesimen), Kalimantan Selatan (3 spesimen), dan Sulawesi Selatan (3 spesimen).

Jenis ini tergolong sebagai kayu perdagangan. Juga merupakan jenis kayu yang bercorak indah sehingga dapat digunakan untuk mebel, perlengkapan interior, kabinet, venir hias (disayat), kayu lapis, panel, moulding, lantai bangunan kapal. Kayu dahu juga dapat digunakan untuk lis, peti, korek api, barang bubutan, barang kerajinan seperti patung dan ukiran.

Selain manfaat kayunya, dahu juga memiliki manfaat lain (non kayu) yang tidak kalah pentingnya yaitu pohon berkhasiat obat. Di Semenanjung Malaysia, kulit kayu digunakan untuk menyembuhkan penyakit disentri (Lim, 2012) terbukti dengan ditemukannya ekstrak etanol batang dahu memiliki aktivitas antibakteri terhadap E. coli MDR dan bersifat bakterisid Hasanah & Yuniati, 2011). Rostiwati (2009) juga menyebutkan bahwa manfaat dari kulit batang dahu juga dapat membantu keluarnya ari-ari pada wanita bersalin. Selain itu hasil meta-analisis dengan menggunakan random effect model yang dilakukan

MENGENAL MANFAAT DARI DAHU

A. Manfaat ekonomi

1. Manfaat kayu

2. Manfaat Sebagai Obat

(19)

selain Nantu (Palaquium obovatum EngL), Beringin (Ficus nervosa Heyne), Matoa (Pometia pinnata), Kayu Bunga (Madhuca phillippinensis Merr), Molilipota/sengon (Albizzia lebbeck Benth), dan Cempaka (Elmerrillia ovalis Dandy). Relung ekologi (Niche) menjadikan jenis-jenis pohon penyusun utama ini menjadi tempat bernaung, tempat bermain, tempat tinggal, tempat bertengger, sumber makanan, tempat memanjat, sumber unsur hara bagi tumbuhan lain dan hewan (Hamidun & Baderan, 2014).

Selain itu, Buahnya juga dapat dimanfaatkan oleh satwa liar maupun manusia sebagai bahan pangan dengan rasa yang sedikit asam. Jenis satwa yang memanfaatkannya dibagi menjadi 2 yaitu satwa yang berada diatas pohon antara lain Tupai dahan yang mengkonsumsi buahnya dan Belalang yang mengkonsumsi daunnya sedangkan satwa di bawah pohon antara lain siput darat (Amphidromus perversus), siput telanjang (Parmarion pupillaris), dan semut hitam (Dolichoderus sp.). Selain itu, Sayektiningsih dan Rayadin (2012) menambahkan bahwa cabang utama dahu merupakan salah satu pohon yang di pilih oleh orangutan sebagai tempat bersarang.

Sebagai bagian dari ekosistem hutan, pohon dahu memiliki peranan ekologi yang penting diantaranya menghasilkan oksigen dan menyerap karbon dioksida melalui proses fotosintensis pada daunnya sebagaimana tumbuhan hijau lainnya, mempertahankan air tanah dan tanah serta mempengaruhi iklim mikro.

Manfaat bagi kepentingan sosial budaya merupakan manfaat yang juga bersifat ekstraktif dengan pemanenan yang dilakukan tanpa menebang. Manfaat ini diperoleh dengan mengambil bagian tanaman yang tidak mengakibatkan kematian. Manfaat sosial budaya dari pohon dahu adalah sebagai bahan kerajinan dan ukiran tradisional.

Berdasarkan bagian-bagian tumbuhannya, pohon dahu memiliki banyak manfaat dan dapat dikelompokkan dalam 8 C. Manfaat Bagi Kepentingan Sosial Budaya

oleh Merindasari dkk. (2014) menunjukkan bahwa D. dao memiliki efek hepatoprotektif in vitro terbaik dilihat dari nilai EC50 yang paling efektif artinya memiliki potensi dalam mengobati penyakit hepatitis. Etnis asli Kalimantan memanfaatkan bagian dari dari pohon hutan ini sebagai obat sakit perut, diare dan ambeien (Noorcahyati, 2012). Kemudian untuk membuktikan hal tersebut Lukas (2008), Soegihardjo, Hidayat (2005) dalam Noorcahyati dkk. (2012) juga menambahkan bahwa dahu mengandung senyawa dichloromethane. Hal ini membuktikan bahwa dahu dapat dikatakan sebagai tanaman obat sebagaimana dikemukakan oleh Suriawiria (2000) bahwa tumbuhan berkhasiat obat adalah tanaman atau tumbuhan yang diyakini atau dipercaya dapat dimanfaatkan sebagai penghilang rasa sakit atau sebagai salah satu obat penyembuh dari suatu penyakit.

Selain itu juga, dahu juga bermanfaat di bidang kuliner. Bunga dan daun juga digunakan sebagai b u m b u u n t u k p e n y e d a p m a k a n a n d a n menghilangkan rasa pahit pada makanan oleh suku di Maluku. Di Thailand dan Malaysia, buah digunakan untuk penambah rasa (bumbu) dan bahan pangan bagi masyarakat. Bunga, buah dan daun muda yang dimakan dimasak sebagai sayuran yaitu di Vietnam, Thailand, Malaysia Timur dan Papua Guinea Baru (Lim, 2012).

Manfaat bagi kepentingan ekologi diantaranya adalah sebagai pakan satwa, bagian/komponen ekosistem dan manfaat jasa lingkungan. Manfaat ekologi ini merupakan manfaat yang dapat dirasakan jika jenis ini tetap dipertahankan hidup, tumbuh dan berkembang.

Di kawasan hutan Nantu-Boliyohuto, dahu menjadi salah B. Manfaat Bagi Kepentingan Ekologi

(20)

No. Bagian tumbuhan Manfaat Keterangan 1 2 3 4 5

Akar (termasuk banir)

Batang

Kulit batang

Cabang utama

Dahan, ranting dan pohon

Penahan air Mempertahankan tanah Bahan ukiran Kayu gergajian Mebel/furniture Perlengkapan interior Lantai bangunan kapal Kabinet

Venir hias Lis Peti Korek api

Bahan obat tradisional

Tempat sarang orangutan

Bahan pulp dan kertas Barang kerajinanan Kayu bakar

Manfaat ekologi

Manfaat ekonomi, & sosial budaya

Manfaat ekonomi, & sosial budaya

Manfaat ekologi

Manfaat ekologi dan ekonomi

6 Daun Muda Pakan orangutan Penambah rasa (bumbu) Sayuran

Penghasil oksigen dan penyerap karbon

Manfaat ekologi dan Sosial budaya

18

Nanda F. Nanda F. Nanda F. Nanda F. Nanda F. Nanda F.

(21)

Pohon dahu dapat memberi manfaat secara langsung maupun tidak langsung bagi makhluk hidup. Manfaat yang dapat dirasakan langsung adalah sebagai penyedia unsur hara bagi tumbuhan, bahan pangan bagi manusia dan satwa, tempat bersarang, tempat bertengger dan tempat bermain untuk beberapa jenis burung dan mamalia kecil lainnya. Sedangkan manfaat secara tidak langsung adalah penyedia oksigen dan penyerap karbondioksida bagi makhluk hidup, mempertahankan air tanah, menahan air dan tanah serta mempengaruhi iklim mikro.

Berdasarkan manfaat dan kepentingannya secara umum, dapat dikelompokkan menjadi 4, yakni manfaat bagi kepentingan ilmu pengetahuan, ekonomi, ekologi maupun sosial budaya.

Buharman, D. F. Djam'an, N. Widyani dan S. Sudradjat. 2011. Atlas Kayu Indonesia Jilid II, Vol. 5 : 1. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan. Bogor. Hamidun, M.S. dan D.W.K. Baderan. 2014. Habitat, Niche, dan Jasa Lingkungan Penyusun

Utama Vegetasi Kawasan Hutan Nantu-Boliyohuto. Universitas Negeri Gorontalo. Gorontalo.

Hasanah, N. dan Yuniati. 2011. Kajian Aktivitas Antibakteri Batang Dracontomelon dao terhadap Bakteri Escherichia coli Multiple Drug Resistance. Makalah pada Seminar Nasional PERHIPA & KONAS IV Obat Tradisional Indonesia Hotel Sahid Jaya. Solo.

KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

Keßler, P.J.A. dan K. Sidiyasa. 1999. Pohon-Pohon Hutan Kalimantan Timur (Pedoman Mengenal Jenis Pohon Pilihan di Daerah Balikpapan-Samarinda). MOFEC-Tropenbos-Kalimantan Project. MOFEC-Tropenbos-Kalimantan Series 2. Balikpapan. Lim, T.K. 2012. Dracontomelon dao. Edible Medicinal and Non-Medicinal Plants (Fruits). Vol.

1. Hal 75-78. http://www.springer.com/us/book/9789048186600. Diakses tanggal 08 Agustus 2016

Merindasari, D., S. Paramita, dan S. Ismail. 2014. Efek Hepatoprotektif Secara In Vitro Terhadap Tanaman Obat (Studi Terhadap Skripsi Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman Angkatan 2001- 2009). JIMKI Vol. 2:2. Samarinda. Noorcahyati, Z. Arifin dan M.K. Ningsih. 2012. Potensi Etnobotani Kalimantan sebagai

Sumber Penghasil Tumbuhan Berkhasiat Obat. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian BPTKSDA (Hasil-Hasil Riset untuk Mendukung Konservasi yang Bermanfaat dan Pemanfaatan yang Konservatif). Hal 27-37. Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumberdaya Alam. Samboja.

Orwa dkk., 2009. Agroforestry Database: a tree reference and selection guide, version 4.0. Hal 1-5. http://www.worldagroforestry.org/treedb/AFTPDFS/Dracontomelon_dao .PDF. Diakses tanggal 22 Mei 2016

Rostiwati, T. 2009. Teknik Budidaya Tanaman Hutan Berkhasiat Obat (Bunga Rampai Biofarmaka Kehutanan Indonesia). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor.

Sayektiningsih, T dan Y. Rayadin. 2012. Karakteristik Sarang Orangutan (Pongo pygmaeus morio) di Kawasan Zona Penyangga Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian BPTKSDA (Hasil-Hasil Riset untuk Mendukung Konservasi yang Bermanfaat dan Pemanfaatan yang Konservatif). Hal 127-138. Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumberdaya Alam. Samboja. Suriawiria, U. 2000. Obat mujarab dari pekarangan rumah. Penerbit Papas Sinar Sinanti.

Jakarta.

No. Bagian tumbuhan Manfaat Keterangan

7

8

Bunga

Buah

Penambah rasa (bumbu) Sayuran

Pakan satwa liar dan manusia Penambah rasa (bumbu) Sayuran

Manfaat Sosial budaya

Manfaat ekologi

Nanda F.

(22)

Badak Sumatera yang ditemukan di Kutai Barat didokumentasikan 17 Maret 2016

(23)

Rizki Ary Fambayun dan Adi Susilo

[ Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Bogor ]

Taxus sumatrana:

Temuan Populasi Baru

di Gunung Dempo, Kota Pagaralam, Sumatera Selatan

Pendahuluan

Cemara sumatera (Taxus sumatrana) adalah pohon berkhasiat obat untuk melawan kanker. Di dunia dikenal sebagai Sumatran Yew (cemara sumatera) masuk dalam famili Taxaceae dari sub-devisi Gymnospermae. Taxus mulai dikenal setelah diketahui mengandung taxane pada seluruh bagian pohon seperti daun, kulit, akar, dan biji (Shen et al., 2005, Iszkulo et al., 2013). Taxane diekstraksi untuk mendapatkan paclitaxel yaitu zat aktif yang mampu mengobati kanker khususnya kanker ovarium (rahim), kanker payudara, dan kanker lainnya (Shen et. al. 2005, Kingston dan Newman 2007). Taxus bermanfaat bukan hanya untuk penyembuhan kanker tetapi juga penyakit non kanker seperti alzheimer, sarkoma kaposi (tumor jaringan pembuluh darah), dan sklerosis ginjal (Bramilla et al., 2008, Chai et al., 2000).

Kandungan taxane pada Taxus sangat kecil yaitu sekitar 0.02% - 0.1 % dari berat keringnya dan bervariasi baik dalam maupun antar individu dan varietas . Diperlukan 2.5 – 3 g paclitaxel untuk satu kali perlakuan pengobatan kanker, sehingga perlu menebang 7.5 pohon dewasa untuk diambil kulit kayunya. Taxane diterpenoids yang diekstrak dari kulit, daun, cabang, ranting, dan akar dari genus Taxus telah dipasarkan dengan merek dagang Taxol. Produksi 1 kg Taxol membutuhkan sekitar 30.000 kg biomasa. Kebutuhan Taxol untuk Amerika Utara dan Eropa saja sekitar 400kg/tahun atau setara dengan 12 juta kg biomas (Smith dan Cameron 2001). Dengan tingkat eksploitasi seperti sekarang ini, populasi Taxus khususnya di Asia akan terus menurun

Jenis ini masuk dalam Apendiks II CITES sejak tahun 2005 dan dalam Red List IUCN 2009, Taxus dikategorikan ke dalam jenis hampir punah (endangered).

Di Indonesia Taxus sumatrana dikabarkan hanya d i t e m u k a n d i G u n u n g K e r i n c i ( M a s f u d , 2 0 1 0 ,

http://wartametropolitan.blogspot.co.id/2010/09/taxus-(Cope 1998)

(Shi et al,. 1999; Huang et

al., 2008).

sumatrana-si-pembunuh-virus.html). Pada saat eksplorasi ini dilakukan tidak ada informasi keberadaan Taxus sumatrana di Gunung Dempo. Hasil eksplorasi dan penelitian Flora Gunung Dempo yang dilakukan tim LIPI (Ismaini et. al. 2012, Ismaini et. al. 2014) juga tidak mencantumkan keberadaan Taxus sumatrana. Meskipun belum ada informasi akurat tentang kehadiran T. sumatrana di Hutan Lindung Gunung Dempo, namun diduga kondisi habitat di Hutan Lindung Gunung Dempo mirip dengan Gunung Kerinci yang merupakan kesatuan gugusan pengunungan Bukit Barisan. Oleh kerena itu dilakukan eksplorasi untuk memastikan keberadaan Taxus sumatrana di Gunung Dempo.

Gambar 1. Taxus sumatrana di dekat pintu masuk jalur pendakian Rimo, Gunung Dempo

(24)

23

Pencarian Taxus sumatrana

Secara grografis Hutan Lindung Gunung Dempo, Kota Pagar Alam, Provinsi Sumatera Selatan berada pada posisi

o o

103 13” bujur timur dan 04 03' lintang selatan. Kawasan Hutan Lindung Gunung Dempo memiliki luas 3.750 ha dan berada pada ketinggian antara 1.200 – 3.159 m dpl, dengan kemiringan

o o

lereng antara 14 – 70 . Kawasan Hutan Lindung Gunung Dempo merupakan hutan alami dengan vegetasi yang mencerminkan hutan pegunungan dan diperkirakan memiliki keragaman jenis hayati tinggi. Berdasarkan ketinggiannya zonasi hutan lindung ini terbagi atas sub montana (1.200-1.500 m dpl), motana (1.500-2.400 m dpl.), dan sub alpin (240 – 3.159m dpl.)

Gunung Dempo memiliki dua jalur pendakian ke pucak yaitu jalur pendakian lama yang dimulai dari kampung IV dan Jalur pedakian baru atau jalur Rimo. T. sumatrana dicari dengan mengikuti dua jalur tersebut. Bila T. sumatrana ditemukan maka dilakukan pengukuran diameter pohon setinggi dada dan tinggi pohon, dicatat posisi geografis dengan GPS Garmin Oregon dan diambil data abiotiknya yaitu kemiringan lahan dengan clinometer, suhu dan kelembaban udara dengan thermohygro meter dan ph Tanah dengan soil tester Takemura DM5. Semai T. Sumtrana dicari pada radius 10 m dengan pusat pohon induknya.

en.wik

ipedia.or

g

Gambar 2. Lokasi Penelitian, Hutan Lindung Gunung Dempo

Hasil Pencarian

Penelusuran pada jalur pendakian dilakukan hingga ketinggian 2.300 m dpl di jalur Kampung IV dan 2200 di jalur Rimo. Di kedua jalur tersebut ditemukan 13 pohon Taxus sumatrana dengan diameter setinggi dada antara 22 cm – 120 cm. Di lokasi ini T. sumatrana ditemukan pada ketinggian tempat antara 1.853 m -2.133 m dpl. Data pohon disarikan pada Tabel 1. Sebaran pohon cenderung mengelompok seperti terlihat pada Gambar 1. Pengukuran faktor abiotik disekitar pohon Taxus menunjukkan bahwa Taxus tumbuh pada lereng dengan kemiringan lahan antara 40°-60°, kelembaban udara antara 70 – 85%, suhu udara 18º C hingga 24.5º C, pH tanah berkisar antara 6,0-6,9 (Susilo et. al. 2014).

T. sumatrana bukan pohon emergan yang menjulang diatas rata-rata pohon hutan. T. Sumatrana biasanya berada pada lapisan tajuk tengah. Hal yang sama ditemukan pula pada tegakan Taxus cuspidate di China (Zu et al. 2006) dimana struktur vegetasi pohon terlihat unik karena pohon T. cuspidate hanya ada pada strata pohon dan jarang pada strata yang lebih rendah.

Pencarian anakan di sekitar pohon tidak mendapatkan hasil sama sekali. Taxus umumnya berumah dua (dioecious) kecuali Taxus canadensis (Allison 1991), sehingga cenderung

(25)

sangat sulit dalam regenerasinya dan pertumbuhannya sangat lamban (Zu et al. 2006). Bila di bawah pohon jantan tentunya sulit mendapatkan anakannya.

Semai yang jarang juga ditemukan pada studi lainnya (Li et al. 2006, Chybicki et al. 2011). Kelangkaan semai kemungkinan disebabkan karena buah Taxus yang berwarna merah dan berasa manis telah dihabiskan oleh burung sebelum terpencar ke lantai hutan. Penelitian Taxus chinensis di China menunjukkan bahwa hanya sedikit semai ditemukan karena kebanyakan buah telah dimakan burung sebelum jatuh dan hanya sedikit buah/biji yang sampai ke lantai hutan dan berkecambah (Li et al. 2006). Biji mungkin juga dipencarkan ke lokasi yang tidak cocok untuk perkecambahan dan pertumbuhan. Semai yang jarang juga ditemui

Gambar 3. Lokasi Penelitian Hutan Lindung Gunung Dempo

Tabel 1. Posisi pohon Taxus sumatrana di Hutan Lindung Gunung Dempo

Titik Altitudem dpl Pohon (cm)Diameter Tinggi(m) S Lokasi Geografis E

DPO 1 2023 66 25 103o08’37.9” DPO 2 2037 25 27 04o02’11.6” 103o08’36.9” DPO 3 2046 43 28 04o02’09.5” 103o08’37.0” DPO 4 2068 120 33 04o02’09.5” 103o08’36.6” DPO 5 2032 84 35 04o02’09.9” 103o08’39.7” DPO 6 2050 22 20 04o02’09.2” 103o08’36.1” DPO 7 2133 77 25 04o02’04.3” 103o08’31.3” DPO 8 1858 85 28 04o01’08.3” 103o09’06.6” DPO 9 1984 96 30 04o01’27.5” 103o09’06.0” DPO 10 1997 38 19 04o01’27.8” 103o09’02.0” DPO 11 2081 83 27 04o01’30.1” 103o08’55.1” DPO 12 1935 53 23 04o01’27.8” 103o09’08.2” DPO 13 1853 65 25 04o01’30.5” 103o09’16.2” o 04 02'11.5”

(26)

di habitat T. baccata di berbagai lokasi penelitian (Hulme 1996; Thomas dan Polwart 2003 Garcia et al. 2000 Chybicki et al. 2011). Sebagai contohnya kepadatan tinggi pada T. baccata dewasa menyebabkan lantai hutan yang gelap di lokasi penelitian Chybicki et al.(2011), sehingga tidak memungkinkan adanya regenerasi. T. baccata bisa berkecambah dengan kepadatan yang tinggi namun demikian hanya bisa bertahan hingga umur dua tahun (Chybicki et al. 2011). Peneltian Iszkulo et al. 2009, menunjukkan bahwa populasi T. baccata yang sudah tua proporsi betina lebih kecil daripada jantan. Hal ini mungkin karena pohon betina memerlukan energi yang lebih besar dalam aktivitas reproduksi bila dibandingakan dengan pohon jantan (Obeso 2002), sehingga pohon betina kalah bersaing dengan pohon jantan. Selain itu pohon betina T. baccata memerlukan lebih banyak air daripada pohon jantan (Iszkulo et al. 2009). Jantan T. baccata dapat tumbuh baik pada lahan kering maupun basah, sementara pohon betina hanya dapat hidup pada lahan yang basah. Dengan proporsi pohon betina yang lebih sedikit daripada pohon jantan menyebabkan terganggunya proses regenerasi. Kondisi serupa mungkin ada pada T. Sumatrana. Kelangkaan semai T. sumatrana mungkin dikarenakan proporsi pohon betina yang sedikit. Pohon betina hanya dapat diidentifikasi bila sedang berbuah. Dalam

eksplorasi ini tidak ditemukan pohon yang sedang berbuah sehingga tidak diketahui apakah ke 13 pohon Taxus yang ditemukan memiliki populasi pohon betina yang cukup.

Di Indonesia T. sumatrana tersebar secara alami di Sumatera dan Sulawesi. Dari penelusuran koleksi herbarium Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Bogor menunjukkan bahwa spesimen T. sumatrana sudah dikoleksi dari sejak jaman Belanda dengan deskripsi bahasa Belanda. Spesimen Taxus dikoleksi dari Karolenden (Sumatera Oostk), Malili (Celebes), dan Goa (Celebes). Explorasi tahun 2013 membuktikan bahwa T. sumatrana ada di Sumatera Utara. Hasil eksplorasi ini menemukan populasi T. sumatrana di Hutan Lindung Sibuatan, Kecamatan Merek, Kabupaten Karo. Sepanjang 2 km jalur rintis ditemukan 13 pohon dengan diameter setinggi dada antara 22 cm – 110 cm. Di lokasi ini T. sumatrana ditemukan pada ketinggian tempat antara 1543m -1663m dpl (Susilo et al. 2013). Taxus sumatrana juga ditemukan di Taman Nasional Kerinci Seblat tepatnya di resort Gunung Kerinci dan resort Gunung tujuh.

Sebaran T. Sumatrana selain di Gunung Dempo

25

(27)

Taxus sumatrana ditemukan pula di beberapa negara yang memiliki iklim subtropis dan tropis seperti - Afghanistan, Tibet, Nepal, Vietnam, India, Buthan, Burma, China, Philipina, dan Taiwan (Earle 2015). Taxus biasanya tumbuh di daerah perbukitan di dataran tinggi atau di lembah pada ketinggian tempat 1.500 – 2.800 m dpl (Huang et al. 2008).

Selain lokasi-lokasi eksplorasi tersebut, kemungkinan T. sumatrana juga dapat ditemukan di Gunung-gunung lain di sepanjang pegunungan Bukit Barisan, misalnya di Sumatera Barat (Gunung Singgalang, Talamau, Talang), Sumatera Utara (Gunung Sibuaten, Sibanyak), Bengkulu (Gunung Seblat) dan lain-lain.

Allison, T.D. 1991. Variation in sex expression in Canada Yew (Taxus Canadensis). American Journal of Botany 78(4):569-578.

Bramilla L., A. Romanelli, M. Bellinvia (2008) Weekly paclitacel for advaced aggressive classic Kaposi sacoma: experience in 17 cases. Br J Dermatol 158:1339-1344.

Chai J., T. Zheng, and R. Masood (2000) Paclitaxel induces apoptoisi in AIDS-releted Kapos's sarcoma cells. Sarcoma 4:37-45.

Chybicki, I.j., A Oleksa, and J Burczyk. 2011. Increased inbreeding and strong kinship structure in Taxus baccata estimated from both AFLP and SSR data. Heredity 107: 589–600

Cope E. A. 1998. Taxaceae: the genera and cultivatied species. Bot Rev 64:291-322. Earle, C.J. 2015. Taxus sumatrana (Miquel) de Laubenfels. 1978.

[http://www.conifers.org/ta/Taxus_sumatrana.php, diakses, 8 April 2015].

Gracia D, Zamora R, Hodar JA (2000) Yew (Taxus baccata L.) regeneration is facilitated by fleshy-fruited shrubs in Mediterranean environments. Biol Conserv 95:31–38. doi:10.1016/S0006-3207(00)00016-1

Huang, C., T Chiang, T. Hsu. 2008. Isolation and characterization of microsatellite loci in Taxus sumatrana (Taxaceae) using PCR-based isolation of microsatellite arrays (PIMA). Conservation Genetic 9:471-473.

Hulme P (1996) Natural regeneration of yew (Taxus baccata L.), microsite, seed or herbivore limitation? J Ecol 84:853–861. doi:10.2307/2960557 Ismaini L., Rustandi, Masfiro Lailati. 2012. Laporan Eksplorasi Dan Penelitian Flora

Gunung Dempo, Sumatera Selatan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Ismaini, L., Masfiro Lailati. 2014. Eksplorasi dan Kajian Potensi Flora Gunung Dempo Sumatera Selatan. Prosiding Ekspose dan Seminar Pembangunan Kebun Raya Daerah. 297 – 306

Iszkulo, G., P. Kosinski, M. Hajnos. 2013. Sex influences the taxanes content in Tasus baccata. Acta Physiol Plant 35:147-152.

Kingston DG and Newman DJ (2007). Taxoids: cancer-fighting compounds from nature. Curr Opin Drug Discov Devel 10:130-144.

Li, Y.C., W.Y. Tao, L. Cheng (2009) Paclitaxel production using co-culture of Taxus suspension cells and paclitaxel-producing endophytic fungi in a co-bioreactor. Appl Mecrobiol Biotechnol 83:233-2239

Li XL, Yu XM, Guo WL et al (2006) Genomic diversity within Taxus cuspidate var. nana revealed by random amplified polymorphic DNA markers. Russ J Plant Physiol 53:684–688. doi:10.1134/S102144370605013X

Masfud, 2010, http://wartametropolitan.blogspot.co.id/2010/09/taxus-sumatrana-si-pembunuh-virus.html).

Obeso, J.R. 2002. The cost of reproducion in plant. New Phytologist 155 (3):321-348

Shen, Ya-Chen, K. Cheng, Y. Lin, Y Cheng, A.T. Khalil, J Guh, C. Chien, C. Teng, Y. Chang. 2005. Three New Taxane Diterpenoids from Taxus sumatrana. J. Nat. Prod. 68(1): 90-93

Shi QW., T. Oritani, and T. Sugiyama (1999). Two new taxane diterpenoids from the seeds of the Chinese yew, Taxus yunnanensis. J. Asian Nat. Prod. Tes. 2:71-79.

Smith R and S. Cameron. 2001. Ground hemlock (Taxus canadensis). Why Interest? www.nrcan-rncan.gc.ca. Tanggal akses 22 Februari 2012.

Thomas PA, A. Polwart (2003) Taxus baccata L. Biological flora of the British Isles 229. J Ecol 91:489–524. doi: 10.1046/j.1365-2745.2003.00783.x Susilo, A., T. Kalima, A. Subiakto, G. Pasaribu, Suhendar, S. Difan, G.W. Rusmana.

2014. Teknologi Konservasi Eks-situ untuk Pelestarian Taxus sumatrana Laporan Hasil Penelitian Sumber Dana RM/PNP. Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan

Zu Yuan-Gang; Chen Hua-Feng; Wang Wen-Jie; Nie Shao-Quan, 2006. Population structure and distribution pattern of Taxus cuspidate in Muling ragion of Heilongjiang Province, China. Journal of Foresty 17(1):80-82.

(28)

Herbarium Botani Hutan yang didirikan pada tahun 1917 dan dikelola oleh Kelti Botani dan Ekologi Hutan Puslitbang Hutan merupakan salah satu herbarium yang dimiliki Badan Litbang dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Herbarium Botani Hutan saat ini dipimpin oleh seorang kepala herbarium yang bernama Dr. Ismayadi Samsoedin, M.Sc. dan yang bertindak sebagai curator adalah Dra. Titi Kalima, M.Si. dan Dra. Marfuah Wardani, MP. Kemudian terdapat juga beberapa peneliti yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan herbarium yaitu Ir. Adi Susilo, M.Sc., Ir. Bugris, Rizki Ary Fambayun dan Denny. Selain itu juga terdapat satu orang teknisi herbarium yaitu Edi Laksana dan dibantu oleh Anggi Maulana dan Giri W. Rusmawan sebagai pemelihara herbarium.

Herbarium Botani Hutan memiliki koleksi sekitar 60% dari jumlah spesimen merupakan koleksi zaman Kolonial Belanda yang dikoleksi mulai tahun 1913 dengan nama kolektor di

27

Denny dan Rizki A. Fambayun

[Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan ]

Herbarium

Botani Hutan

“Ketika Seranting Daun Kering Berbicara”

Gambar1. Foto bersama di depan gedung Herbarium Botani Hutan

antaranya Chr. Versteegh, C.J. van der Zwan, T.H. Endert, B. de Yong , Dr den Berger, Ir. C.N.A. de Voogd dan K. Heyne. Koleksi spesimen tersebut memiliki kode “bb” (Bosch flora Buitenbezittinge) dengan duplikat koleksi tersimpan di beberapa Herbarium seperti Herbarium Bogoriensis-LIPI, Herbarium Universitas Cendrawasih di Papua, National Herbarium of Malaysia-FRIM, the Singapore Botanic Gardens Herbarium, NHN Leiden-Belanda. Selanjutnya, pada tahun 2006 Herbarium Botani Hutan tercantum dalam buku Index Herbariorum Indonesianum yang diterbitkan oleh Herbarium Bogoriensis-LIPI (Wardani dkk., 2015).

Gambar

Tabel 1. Prediksi sebaran badak sumatera di Kalimantan
Tabel 2. Histori estimasi populasi di Kalimantan, Sabah, dan Sarawak
Gambar 1.  Taxus sumatrana di dekat pintu masuk jalur  pendakian Rimo, Gunung Dempo
Gambar 2.  Lokasi Penelitian, Hutan Lindung Gunung Dempo
+5

Referensi

Dokumen terkait

Dengan hasil penelitian ini diharapkan MI Sindangraja dapat lebih meningkatkan pemberdayaan pemberian penugasan agar hasil belajar siswa lebih baik dan perlu

Selain daging buah jambu biji getas merah yang rasanya manis, daging Buah Tanaman Jambu biji getas merah ini juga memiliki khasiat yang sangat baik, di dalam daging buah jambu

Sebab setelah dikenakan pajak, produsen akan berusaha mengalihkan (sebagian) beban pajak tersebut kepada konsumen, yaitu dengan jalan menawarkan harga jual yang lebih tinggi6.

Teknik monitoring korosi dapat dibagi menjadi beberapa metode yaitu kinetika ( weight loss ) dan elektrokimia (diagram polarisasi, linear polarization resistance ,

lateral yang arahnya saling tegak lurus dan sejajar dengan sumbu-sumbu utama ortogonal denah struktur gedung secara keseluruhan. 5) Sistem struktur gedung tidak

Produk yang akan dihasilkan dalam usaha ini adalah makanan ringan berupa dawet yang dibuat dengan memanfaatkan Jagung, yang digunakan untuk mengoptimalkan pemanfaatan Jagung..

humas untuk merumuskan strategi media relations yang lebih baik, melalui pembentukan hubungan antarpribadi dengan jurnalis yang didasari atas.

Kapasitas didefinisikan sebagai arus lalu lintas maksimum yang dapat melintas dengan stabil pada suatu potongan melintang jalan pada keadaan (geometrik, pemisahan arah, komposisi