• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KELUARGA SAKINAH MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG N0MOR 1 TAHUN 1974

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KELUARGA SAKINAH MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG N0MOR 1 TAHUN 1974"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KELUARGA SAKINAH MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG N0MOR 1 TAHUN 1974

A. Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Perkawinan merupakan suatu kejadian yang sangat penting dalam kehidupan seseorang. Bagi bangsa Indonesia ritual perkawinan tidak hanya dipandang sebagai peristiwa sosial keduniawian, melainkan juga dipandang sebagai peristiwa sakral. Setelah selesai ritual, timbullah ikatan perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang menimbulkan akibat dalam berbagai bidang, meliputi hubungan lahiriah dan spiritual di antara mereka (suami-isteri) itu sendiri secara pribadi dan kemasyarakatan, serta hubungan antara mereka dengan harta kekayaan yang diperoleh sebelum selama, dan sesudah perkawinan.

Seorang laki-laki dan seorang wanita yang dulunya merupakan pribadi yang bebas tanpa ikatan hukum, setelah perkawinan menjadi terikat lahir dan batin sebagai suami isteri. Ikatan yang ada di antara mereka adalah ikatan lahiriah, rohaniah-spiritual dan kemanusiaan. Ikatan perkawinan ini menimbulkan akibat hukum terhadap diri masing-masing suami isteri, maupun akibat berupa hubungan hukum di antara suami isteri yang berupa hak dan kewajiban. Apabila dalam perkawinan tersebut dilahirkan seorang anak, maka anak tersebut mempunyai kedudukan

(2)

sebagai anak sah. Selanjutnya ikatan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita juga mempunyai pengaruh terhadap masyarakat sekitarnya.

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dewasa dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Menurut Undang-Undang Perkawinan barulah ada perkawinan apabila dilakukan antara seorang pria dan seorang wanita, berarti

perkawinan sama dengan perikatan.1 Tentulah tidak dinamakan

perkawinan apabila yang terikat dalam perjanjian itu 2 (dua) orang pria saja ataupun 2 (dua) orang wanita saja. Demikian juga tidaklah merupakan perkawinan bila dilakukan antara banyak pria dan banyak wanita. Tentulah juga mungkin tidak merupakan perkawinan kalau sekiranya ikatan lahir batin itu tidak bahagia, atau perkawinan itu tidak kekal dan tidak berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Perjanjian dalam perkawinan mempunyai atau mengandung 3 (tiga) karakter yang khusus, yaitu:

a. Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa unsur suka rela dari kedua belah pihak

1 Hilman Hadikusumo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1990),

(3)

b. Kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) yang mengikat persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian tersebut berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-hukumnya.

c. Persetujuan perkawinan itu mengatur batas-batas hukum mengenai hak

dan kewajiban masing-masing pihak.2

Persetujuan perkawinan itu pada dasarnya tidaklah sama dengan persetujuan-persetujuan yang lainnya, misalnya persetujuan jual beli, sewa-menyewa, tukar menukar.

Perbedaan antara persetujuan perkawinan dan persetujuan-persetujuan yang lainnya adalah:

”Dalam persetujuan biasa para pihak pada pokoknya. Penuh merdeka untuk menentukan isi dari persetujuan itu sesuka hatinya, dengan ketentuan bahwa persetujuan itu tidak bertentangan dengan Undang-Undang kesusilaan dan ketertiban umum. Sebaliknya dalam suatu perkawinan sudah sejak semula ditentukan oleh

hukum, isi dari persetujuan antara suami istri itu”3

Kalau seorang perempuan dan seorang laki-laki berkata sepakat untuk melakukan perkawinan satu sama lain ini berarti mereka saling berjanji akan taat pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku mengenai kewajiban dan hal-hal masing-masing pihak selama dan sesudah hidup bersama itu berlangsung, dan mengenai kedudukannya dalam masyarakat

2 Mohammad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999),

hlm. 15

3

(4)

dan anak-anak keturunannya. Juga dalam menghentikan perkawinan, suami dan istri tidak leluasa penuh untuk menentukan sendiri syarat-syarat untuk penceraian itu, melainkan terikat juga pada peraturan hukum perihal itu.

Menurut Undang-Undang Perkawinan asas yang dianut adalah asas monogami yang secara otentik diatur di dalam Pasal 3 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut:

”Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”.

Kaidah Pasal 3 ayat (1) tersebut terdapat kemiripan dengan bunyi Pasal 27 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa:

”Dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai istrinya, seorang

perempuan hanya satu orang laki-laki sebagai suaminya”.4

Perbedaannya terletak pada Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan bahwa:

”Pengadilan dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.

Dengan adanya pasal tersebut berarti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut Asas Monogami terbuka, sebab tidak tidak tertutup kemungkinan dalam keadaan terpaksa suami melakukan poligami.

4

(5)

Sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan di dalam penyelarasannya bahwa pengadilan dalam memberikan putusan selain memeriksa apakah syarat yang tersebut dalam Pasal 4 dan Pasal 5 telah dipenuhi. Bunyi kedua pasal tersebut adalah sebagai berikut:

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yakni:

(1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang ini, maka diwajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya. (2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan ijin kepada suami yang beristri lebih dari seorang apabila:

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, berbunyi:

(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Adanya persetujuan dari istri

b. Adanya kepastian bahwa suami menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

(6)

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) menurut pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istrinya/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada cacat dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.

Dengan adanya akad nikah, maka bagi suami istri timbul hak dan kewajiban diantara keduanya. Hak dan kewajiban itu adalah:

1) Suami wajib menegakkan rumah tangga yang merupakan sendi masyarakat.

2) Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang, masing-masing berhak melakukan perbuatan hukum. Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga.

3) Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap dan bersama-sama.

4) Suami istri wajib saling mencintai, saling menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin satu sama lain.

5) Suami wajib melindungi istri dan memberikan keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya dan istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Dan jika masing-masing lalai melakukan kewajibannya, masing-masing dapat melakukan gugatan.

(7)

Akibat hukum sebagaimana tersebut dalam UUP tersebut kalau kita bandingkan dengan ketentuan dalam Al-Qur'an, maka terdapat persesuaian.

Beberapa ketentuan dalam Al-Qur'an yang menunjukkan hak dan

kewajiban suami istri itu adalah:5

Al-Qur'an Surat Annisa' ayat 19 yang artinya: ”Dan bergaullah

kamu dengan istri kamu dengan makruf”. Kata-kata makruf di sini berarti

menunjukkan iktikat baik, baik mengenai hubungan orang dengan orang, maupun mengenai hubungan orang dengan orang yang di dalamnya tersangkut harta kekayaan.

Allah swt berfirman:









”Wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah dan memelihara diri”.

(Q.S. An-Nisa: 4)

Memelihara diri di sini berarti memelihara rumah tangganya, memelihara rahasia suaminya serta rahasia keluarganya.

Allah swt berfirman:





























”Dan dari pertanda Tuhan menjadikan antara suami istri itu mawaddah

cinta menyintai dan ramah santun menyantuni”. (Q.S. Ar-Rum: 21)

5 KN. Sofyan Hasan, Dasar-dasar Memahami Hukum Islam di Indonesia, (Surabaya:

(8)

Sedangkan mengenai tanggung jawab suami sebagai kepala keluarga terdapat di dalam Qur'an Surat Annisa' ayat 34. Sedangkan persediaan tempat bagi pihak istri oleh pihak suami terdapat dalam Qur'an Surat Al-Talak ayat 6 artinya: ”Berilah tempat istrimu itu di mana kamu

bertempat tinggal menurut kesanggupan kamu”.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 2 disebutkan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau misaqan galizan untuk mentaati perintah Allah dan

melaksanakannya merupakan ibadah.6 Sedangkan dalam Bab Ketentuan

Umum pada pasal 1 huruf c disebutkan bahwa akad nikah ialah rangkaian

ijab yang diucapkan oleh wali dan qabul yang diucapkan oleh mempelai

pria atau wakilnya serta disaksikan oleh dua orang saksi.7

Definisi tersebut serupa dengan definisi yang dikemukakan oleh H. Moch. Anwar, bahwa nikah menurut istilah ilmu fiqh, ialah akad antara seorang calon suami dengan seorang wali nikah yang menjamin halalnya

bersetubuh antara istri dan suaminya dengan kalimat nikah atau kawin.8

Definisi ini mengandung pengertian, bahwa dalam suatu perkawinan izin calon istri tidak diperlukan, asal ada kesepakatan antara wali istri dan calon suami maka perkawinan telah dianggap sah. Tidak jauh berbeda dengan Anwar, perkawinan menurut syara’ didefinisikan oleh Zahri

6

Cik Hasan Bisri dkk, Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 140.

7 Ibid., hlm. 139.

8 Moch. Anwar, Hukum Perkawinan dalam Islam, dan Pelaksanaannya Berdasarkan

(9)

Hamid sebagai akad (ijab qabul) antara wali calon istri dan mempelai laki-laki dengan ucapan-ucapan tertentu dan memenuhi rukun serta syaratnya.

Sedangkan menurut Abdul Fatah, an-nikah secara bahasa berarti mengumpulkan, dan secara syara’ berarti akad yang terkenal dan memenuhi rukun-rukun serta syarat yang telah ditetapkan untuk

berkumpul9. Adapun dasar hukumnya adalah firman Allah

10

Adapun menurut Slamet Abidin, suatu pernikahan merupakan

sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluknya, baik pada

manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan11. Disamping itu, Slamet

Abidin juga mengemukakan beberapa pandangan ulama seputar pengertian pernikahan, yaitu ulama Hanafiyah mendefinisikan pernikahan sebagai sesuatu yang berguna untuk memiliki mut‟ah dengan sengaja. Artinya, seorang laki-laki dapat menguasai perempuan dengan seluruh anggota badannya untuk mendapatkan kesenangan atau kepuasan. Dan ulama

Syafi‟iyyah berpendapat bahwa pernikahan adalah suatu akad dengan

mengunakan lafal nikah atau zauj. Adapun ulama Malikiyah berpendapat bahwa pernikahan adalah suatu akad yang mengandung arti mut‟ah untuk

mencapai kepuasan dengan tidak mewajibkan adanya harga12. Sedangkan

ulama Hanabilah berpendirian bahwa pernikahan adalah akad dengan

menggunakan lafal inkah atau tazwij untuk mendapatkan kepuasan,

9

Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi, Fiqh Islam Lengkap, cet. ke-2, (Jakarta : Rineka Cipa, 1994), hlm. 198.

10 An-Nisa (4) : 3.

11 Slamet Abidin, Fiqih Munakahat I, cet. ke-1, (Bandung : Pustaka Setia, 1999), hlm. 9 12 Ibid., hlm. 10.

(10)

artinya, seorang laki-laki dapat memperoleh kepuasan dari seorang

perempuan, begitu juga sebaliknya13.

Sedangkan menurut Sulaiman Rasyid, pernikahan adalah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong

menolong antar seorang laki-laki dan perempuan yang bukan mahram14.

Adapun menurut M. Talib, Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

ke-Tuhan-an Yang Maha Esa15. Namun, disisi lain Zahri mengemukakan

bahwa perkawinan menurut hukum Islam ialah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk hidup bersama dalam suatu bahtera rumah tangga dan untuk berketurunan, yang

dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan Hukum Syari’at Islam16.

Definisi Zahri yang terakhir ini hampir sama dengan definisi perkawinan yang terdapat dalam Undang-undang perkawinan dan ynag dikemukakan oleh Mawardi, yaitu akad nikah antara calon suami-istri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut Syari’at. Dan yang dimaksudkan dengan akad adalah ijab dari wali pihak perempuan (calon istri) dan qabul dari pihak

calon suami.17

13 Ibid., hlm. 11.

14 Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam; Hukum Fiqh Lengkap, cet. ke-18, (Bandung : Sinar Baru

Algesindo, 1995), hlm. 374.

15

M. Thalib, Fiqih Nabawi, (Surabaya: Al-Ikhlas, t.th.), hlm. 208.

16 Zahri Hamid, Pokok-pokok Hukum Perkaiwnan Islam dan Undang-undang Perkawinan

di Indonesia, cet. ke-1, (Yogyakarta: Bina Cipta, 1978), hlm. 1.

17 Mawardi A.I., Hukum Perkawinan dalam Islam, cet. ke-3, (Yogyakarta: BPFE, 1984),

(11)

Sedangkan menurut Ali Maqri al-Fayumi, sebagaimana yang dikutip oleh Kamal Mukhtar, pernikahan menurut bahasa mempunyai dua arti yaitu arti yang sebenarnya (haqiqat) dan arti kiasan (majaz). Arti yang sebenarnya dari pernikahan adalah Dam, yang berarti menghimpit, menindih atau berkumpul, sedang arti kiasannya adalah wata‟ yang berarti

bersetubuh atau aqad yang berarti mengadakan perjanjian pernikahan18,

sebagaimana definisi yang dipaparkan oleh Muallif.

Disamping itu, Peunoh Daly mengemukakan bahwa sebenarnya kata nikah dan kawin sudah umum dipakai masyarakat dengan pengertian yang sama, seperti dalam naskah mir‟at at-tullab yang merupakan karya besar Syeikh Abdul Rauf Singkel, yang dijadikan salah satu obyek penelitiannya dalam penulisan buku ini, begitu juga dalam al-Qur’an dan al-Hadis yang menggunakan kata nikah dan tazwij. Secara etimologis, masih menurutnya, nikah berarti bergabung dan berkumpul, tetapi dipergunakan juga pengertian wata‟ atau akad nikah, namun yang sering dipergunakan adalah untuk akad nikah. Sedangkan secara syara’ berarti akad yang memperbolehkan seorang laki-laki bergaul bebas dengan perempuan tertentu dan pada waktu akad dipergunakan lafal “nikah” atau

“tazwij” atau terjemahannya19

.

Berbeda dengan definisi di atas, Ramulyo dan Mawardi mengemukakan bahwa suatu perkawinan dikatakan sah karena adanya

18 Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, cet. ke-3, (Jakarta: Bulan

Bintang, 1993), hlm. 1.

19 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan

(12)

akad. Tetapi yang melaksanakan akad adalah para pihak yang akan melakukan perkawinan itu sendiri yaitu calon suami dan calon istri. Jadi, bukan wali calon istri dengan calon suami seperti yang selama ini terjadi, bahkan ia tidak menyebutkan sama sekali peran wali ketika

mendefinisikan perkawinan20. Sedangkan definisi perkawinan secara

bahasa, masih menurut Ramulyo, adalah hubungan seksual, sedangkan menurut arti majazi (methaporik) atau arti hukum ialah aqad yang menjadikan halalnya hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang

pria dengan seorang wanita.21 Hal ini sejalan dengan definisi yang

dikemukakan oleh Sudarsono bahwa perkawinan ialah aqad untuk menghalalkan hubungan serta membatasi hak dan kewajiban, tolong menolong antara laki-laki dan perempuan dimana antara keduanya bukan

mahram.22

Secara etimologi, nikah atau ziwaj dalam bahasa Arab artinya adalah mendekap atau berkumpul. Sedangkan secara terminologi, nikah adalah akad atau kesepakatan yang ditentukan oleh syara’ yang bertujuan agar seorang laki-laki memiliki keleluasaan untuk bersenang-senang dengan seorang wanita dan menghalalkan seorang wanita untuk bersenang-senang dengan seorang laki-laki.

20 Mohd. Idrim Ramulyo, Tinjauan beberapa pasal Undang-undang Nomor I Tahun 1974;

dari Segi Hukum Perkawinan Islam, cet. ke-1, (Jakarta : tnt., 1985), hlm. 1.

21 Ibid. 22

(13)

Menurut Syara’, nikah adalah aqad antara calon suami isteri untuk

membolehkan keduanya bergaul sebagai suami isteri.23 Aqad nikah artinya

perjanjian untuk mengikatkan diri dalam perkawinan antara seorang

wanita dengan seorang laki-laki.24

Menurut pengertian fukaha, perkawinan adalah aqad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan kelamin dengan lafadl

nikah atau ziwaj yang semakna keduanya.25

Menurut golongan Malikiyah, nikah adalah aqad yang mengandung ketentuan hukum semata-mata untuk membolehkan watha‟, bersenang-senang dan menikmati yang ada pada diri wanita yang boleh nikah

dengannya.26

Pengertian (ta‟rif) perkawinan menurut Pasal 1 Kompilasi Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu: aqad yang sangat kuat atau mitsaaqaan

ghaaliizhan untuk mentaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya

merupakan ibadah.27 Melakukan perbuatan ibadah berarti melaksanakan

ajaran agama. Perkawinan salah satu perbuatan hukum yang dapat dilaksanakan oleh mukallaf yang memenuhi syarat.

23 Asmin, Status Perkawinan antarAgama Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974, (Jakarta: PT. Dian Rakyat, 2006), hlm. 28

24 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2004),

hlm. 63.

25 Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqih Jilid 2, (Yogyakarta: Dana Bhakti, 2005), hlm. 37

26 Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, (Bengkulu: Dina Utama Semarang (DIMAS), 2003),

hlm. 3.

27

(14)

Barang siapa yang kawin berarti ia telah melaksanakan separoh lagi, hendaklah ia taqwa kepada Allah SWT, demikian sunnah qauliyah (sunnah dalam bentuk perkataan) Rasullullah SAW.

Berkaitan dengan akad, al-Qur’an telah menggambarkan sifat yang luhur bagi sebuah ikatan yang dijalin oleh dua orang insan yang berbeda jenis kelamin dalam ikatan perkawinan, dengan gambaran yang dikemukakan melalui beberapa ayat, antara lain dalam surat an-Nisa’ ayat

21.28 Dalam ayat tersebut ikatan perkawinan diungkapkan dengan kata

yaitu suatu ikatan janji yang kokoh, sebagaimana definisi perkawinan yang dipaparkan dalam KHI pasal 2. Gambaran serupa juga

terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 187 yang berbunyi: 29

. Dalam ayat ini, ikatan perkawinan diibaratkan bagaikan hubungan antara pakaian yang saling menutupi antara yang satu dengan yang lainnya. Namun menurut Annemarie Schimmel, fenomenologi agama menafsirkan ayat ini dalam pengertian bahwa yang satu secara teknis selalu menjadi alter ego dari yang lain sebab pakaian (sebagai bagian atau aspek dari seseorang) sering digunakan pars pro toto untuk mewakili seseorang30.

2. Syarat-syarat Perkawinan

Dalam Undang-Undang Perkawinan dinyatakan bahwa suatu perkawinan baru sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

28

An-Nisa’ (4) : 21.

29 Al-Baqarah (2) : 187.

30 Annemarie Schimmel, Jiwaku adalah Perempuan; Aspek Feminis dalam Spiritualitas

(15)

agama dan kepercayaannya, hal ini diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Di samping itu ada keharusan untuk melakukan pencatatan perkawinan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, adapun bunyi pasal tersebut ialah ”Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Pencatatan perkawinan sama halnya dengan pencatatan suatu peristiwa hukum dalam kehidupan seseorang. Misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam daftar pencatatan yang disediakan khusus untuk itu.

Di dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan menitikberatkan kepada adanya pencatatan perkawinan yang secara rinci diatur bahwa:

a) Ketentuan tentang pencatatan perkawinan:

1) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan

perkawinannya menurut agam Islam dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.

2) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan

perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.

(16)

3) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagai mana ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 peraturan itu. (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975). b) Ketentuan mengenai tempat pemberitahuan dan tenggang waktu antara

saat memberitahukan dengan pelaksanaannya.

c) Tata cara pemberitahuan kehendak untuk melakukan perkawinan ditentukan bahwa pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau oleh orang tua atau wakilnya.

d) Pemberitahuan tersebut mengharuskan pegawai pencatat untuk melakukan hal-hal yaitu :

1. Meneliti apakah syarat-syaratnya perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut Undang-Undang.

2. Selain itu pegawai pencatat meneliti pula: a. Kutipan akta kelahiran calon mempelai

b. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat tinggal orang tua calon mempelai.

c. Ijin tertulis atau ijin pengadilan apabila salah satu calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 tahun.

d. Ijin pengadilan dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih beristri.

(17)

e. Surat kematian istri atau suami yang terdahulu atau dalam hal pencatatan bagi perkawinan untuk kedua halnya atau lebih.

f. Ijin tertulis dari pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya anggota angkatan bersenjata.

g. Surat kuasa otentik atau di bawah tangan yang disahkan oleh pegawai pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang

tertulis, sehingga mewakilkan kepada orang lain.31

Selain terdapat syarat dan rukun yang harus dipenuhi, dalam suatu

ikatan perkawinan juga terdapat beberapa asas yang harus dilaksanakan,32

di antaranya adalah (1) kesukarelaan antara kedua calon mempelai dan keluarganya, (2) persetujuan antara kedua belah pihak, (3) kebebasan memilih pasangan, (4) kemitraan suami istri, (5) untuk selama-lamanya, (6) monogami terbuka, maksudnya diperbolehkan poligami asal memenuhi beberapa syarat yang telah ditentukan.

Pencatatan perkawinan dilakukan hanya oleh dua instansi, yakni: 1. Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk

2. Kantor Catatan Sipil

Pencatatan Perkawinan dalam pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama

31 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hlm. 17. 32 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di

(18)

Nomor 3 dan 4 Tahun 1975 Bab II Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

Pencatatan itu perlu untuk kepastian hukum, maka perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan yang dilakukan menurut peraturan perundang-undangan yang lama adalah sah.

Sebab dengan dilakukannya pencatatan perkawinan tersebut akan diperoleh suatu alat bukti yang kuat sebagai alat bukti otentik berupa akta nikah (akta perkawinan), yang di dalamnya memuat sebagai berikut: a. Nama, tanggal dan tempat lahir, agama atau kepercayaan, pekerjaan dan

tempat kediaman suami istri. Jika pernah kawin disebutkan juga nama suami atau istri terdahulu.

b. Nama, agama atau kepercayaan, pekerjaan, dan tempat kediaman orang tua mertua.

c. Ijin kedua orang tua bagi yang belum mencapai umur 21 tahun/dari wali atau pengadilan.

d. Dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua bagi yang melakukan perkawinan dibawah umur 19 tahun bagi pria dan di bawah umur 16 tahun bagi wanita.

e. Ijin pengadilan bagi seorang suami yang akan melangsungkan perkawinan lebih dari seorang istri.

(19)

g. Ijin dari pejabat yang ditunjuk Menteri Hankam/Pangab bagi anggota ABRI.

h. Perjanjian perkawinan jika ada

i. Nama, umur, agama atau kepercayaan, pekerjaan dan kediaman para saksi, dan wali nikah bagi yang beragama Islam.

j. Nama, umur, agama atau kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.

Hal-hal yang harus dimuat dalam Akta Perkawinan tersebut di atas

merupakan ketentuan minimal, sehingga masih dimungkinkan

ditambahkannya hal-hal lain, misalnya yaitu mengenai: a. Nomor Akta.

b. Tanggal, Bulan, Tahun pendaftaran.

c. Jam, Tanggal, Bulan dan Tahun Pernikahan dilakukan. d. Nama dan Jabatan dari Pegawai Pencatat.

e. Tanda tangan para mempelai, saksi dan bagi yang beragama Islam wali nikah atau yang mewakilinya, Pegawai Pencatat.

f. Bentuk dari maskawin.

Sesaat sesudah dilangsungkan purkawinan maka kedua mempelai menandatangani Akta Perkawinan yang telah ditetapkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, yang kemudian diikuti oleh kedua orang saksi, dan wali nikah. Penandatangan tersebut juga dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yang bersangkutan, maka sejak saat itu perkawinan telah tercatat secara resmi.

(20)

Akta Perkawinan itu oleh Pegawai Pencatat Perkawinan dibuat rangkap 2 (dua). Helai pertama disimpan di Kantor Pencatatan (KUA atau Kantor Catatan Sipil), sedang helai kedua dikirim ke Pengadilan yang daerah hukumnya mewilayahi Kantor Pencatatan tersebut. Hal ini untuk memudahkan pemeriksaan oleh pengadilan bila di kemudian hari terjadi Talak atau Gugatan Perceraian.

Kepada suami istri masing-masing diberikan Kutipan Akta Perkawinan, yang mirip dengan Buku Nikah dengan isi yang sama. Kutipan Akta Perkawinan tersebut adalah merupakan bukti otentik bagi masing-masing yang bersangkutan karena dibuat oleh, Pegawai Umum.

Dengan adanya akta perkawinan maka suami istri tersebut mempunyai alat bukti kawin sah berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang dapat digunakan dimana perlu baik sebagai suami istri maupun sebagai orang tua.

3. Akibat Hukum dari Perkawinan yang Sah

Perkawinan dalam aspek relegius maupun kehidupan sosial kemasyarakatan merupakan peristiwa yang sakral, namun dalam apabila kita tinjau dari aspek hukumnya perkawinan bukan hanya suatu peristiwa yang sakral saja akan tetapi juga merupakan suatu peristiwa hukum yang memiliki akibat-akibat hukum tertentu.

Perkawinan yang sah menurut hukum akan menimbulkan akibat hukum sebagai berikut:

(21)

b. Timbulnya harta benda dalam perkawinan

c. Timbulnyan hubungan antara orang tua dan anak.33

Akibat perkawinan terhadap suami isteri menimbulkan hak dan kewajiban antara suami isteri.

Lebih lanjut Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur hak dan kewajiban antara suami isteri, sebagai suatu konsekuensi dari perkawinan, yaitu sebagai berikut:

a. Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat;

b. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan masyarakat; c. Suami-isteri berhak melakukan perbuatan hukum;

d. Suami adalah kepala rumah tangga dan isteri ibu rumah tangga. Disamping itu suami wajib memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga dengan kemampuannya dan isteri wajib mengatur rumah tangga sebaik-baiknya;

e. Suami isteri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin satu kepada yang lain;

f. Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap dan tempat kediaman tesebut ditentukan oleh suami isteri bersama.

33 Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, (Semarang: Badan Penerbit Universitas

(22)

Selanjutnya apabila suami atau isteri melalaikan kewajiban, maka masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan. Sedangkan akibat perkawinan yang menyangkut harta benda dalam perkawinan, diatur dalam Pasal 35 sampai Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974, yang menetapkan sebagai berikut:

a. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sedangkan harta bawaan dari masing-masing suami atau isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang tidak ditentukan lain oleh suami-isteri. Apabila ditentukan oleh suami isteri, maka harta bawaan suami isteri tersebut menjadi harta bersama. Untuk menentukan agar harta bawaan suami dan isteri menjadi harta bersama, maka suami dan isteri tersebut harus membuat perjanjian kawin. Perjanjian kawin harus dibuat secara tertulis dan disahkan oleh Pegawai

Pencatat Perkawinan sebelum atau pada saat perkawinan

dilangsungkan;

Perjanjian kawin adalah perjanjian perjanjian yang dibuat calon suami dan isteri untuk mengatur akibat-akibat perkawinannya terhadap

harta kekayaan mereka.34

Perjanjian kawin diatur dalam Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974, yang menetapkan:

34 Ko Tjay Sing, Hukum Perdata Jilid I Hukum Keluarga (Diktat Lengkap), Fakultas

(23)

a) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian kawin yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

b) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum agama dan kesusilaan.

c) Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan

d) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk

merubah dan Perubahan tidak merugikan pihak ketiga.35

b. Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Adapun hak suami dan isteri untuk mempergunakan atau memakai harta bersama dengan persetujuan kedua belah pihak secara timbal balik, menurut Riduan Syahrani adalah sewajarnya, mengingat hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam

35

(24)

masyarakat, dimana masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan

hukum.36

c. Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Menurut penjelasan Pasal 37 UU No. 1 tahun 1974, yaitu hukum agama (kaidah agama), hukum adat dan hukum-hukum lainnya.

Akibat perkawinan terhadap anak yang lahir dalam perkawinan, menimbulkan hak dan kewajiban antara orang tua dan anak secara timbal balik.

a. Keadaan orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak sebaik-baiknya, sampai anak itu kawin atau kawin atau dapat berdiri sendirindiri. Selanjutnya kewajiban itu berlaku terus meskipun perkawinan kedua orang tua putus;

b. Dalam praktek, apabila perkawinan putus karena perceraian atau karena atas putusan Pengadilan, maka atas permohonan dari pihak suami atau isteri, Pengadilan akan menyerahkan anak-anak tersebut kepada suami atau isteri yang benar-benar beriktikad baik, untuk dipelihara dan dididik secara baik;

c. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin, berada di bawah kekuasaan orang tuanya, selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya;

36 Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, (Bandung: Alumni, 1985),

(25)

d. Orang tua mewakili anak tersebut, mengenai segala perbuatan hukum baik di dalam dan di luar Pengadilan;

e. Orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang yang dimiliki oleh anaknya yang belum berumur 18 tahun belum pernah kawin sebelumnya, kecuali kalau untuk kepentingan anak tersebut yang menghendaki.

f. Kekuasaan salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih, untuk waktu tertentu atas permintaan orang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan

saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang.37

Kekuasaan orang tua dapat dicabut dengan alasan, ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya atau ia berkelakuan buruk sekali. Meskipun tetap berkewajiban memberi biaya pemeliharaan anak

mereka.38

Apabila No. 1 sampai dengan No. 5 di atas diperhatikan secara seksama, maka sebenarnya No. 1 sampai dengan No. 5 tersebut merupakan kewajiban orang tua kepada anak mereka. Kemudian, mana yang menjadi hak anak mereka, menurut penulis, yaitu apa yang menjadi kewajiban orang tua itu merupakan hak dari anaknya.

Sebaliknya, anak tidak hanya mempunyai hak terhadap orang tuanya saja, akan tetapi anak juga mempunyai kewajiban terhadap orang tuanya. Kewajiban tersebut, yaitu:

37 Mulyadi, Op. Cit, hlm. 45 38

(26)

a. Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik;

b. Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bila mereka memerlukan bantuannya.

Menurut Mulyadi, apa yang menjadi kewajiban anak terhadap

orang tuanya itu, merupakan hak dari orang tuanya.39

Kedudukan anak menurut UU No. 1 tahun 1974 diatur dalam dalam Pasal 42 sampai dengan Pasal 44. Atas dasar Pasal tersebut dapat disimpulkan, bahwa UU No. 1 Tahun 1974 membedakan antara anak sah dengan anak luar kawin Anak sah, yaitu anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Dengan demikian anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah disebut anak luar kawin. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya, keluarga ibunya.

Kemudian meskipun anak itu dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah, namun bilamana suami dapat membuktikan, bahwa isterinya telah berzinah dan anak itu akibat dari perzinahan, maka suami dapat menyangkal keabsahan anak tersebut.

Penyangkalan keabsahan seorang anak harus diajukan kepada Pengadilan. Kemudian pengadilan memberikan keputusan tentang sah dan tidaknya anak, atas permintaan pihak yang berkepentingan.

39

(27)

Apabila kita lihat isi Pasal 43 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 jo. Surat Edaran Mahkamah Agung tanggal 20 Agustus 1975 No. MA/Pemb.0807, tentang Petunjuk-petunjuk Mahkamah Agung Mengenai Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 dapat diketahui, bahwa Pasal 42 sampai dengan Pasal 44 tersebut belum dapat diperlakukan secara efektif.

Dengan demikian untuk kedudukan anak, dengan sendirinya masih diperlakukan ketentuan-ketentuan dan perundang-undangan lama, yaitu Hukum Agama (Keadaan Agama), Hukum Adat dan KUHPerdata (Pasal

66 UU No. 1 Tahun 1974).40

B. Keluarga Sakinah

1. Pengertian Keluarga Sakinah

Kata sakinah yang ada dalam Surat aR-Rum ayat 21 tersebut

tertulis yang berasal dari berarti diam, tenang setelah

sebelumnya goncang dan sibuk.41 dan adalah isim fa‟il yang

berfungsi sebagai kata sifat. yang berarti tenang, tentram.42 Dari sini,

rumah dinamai sakana karena disana tempat memperoleh ketenangan setelah sebelumnya penghuni sibuk di luar rumah. Sehingga, perkawinan melahirkan ketenangan batin disamping ketenangan lahir.

40 Ibid, hlm. 46-47

41 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah……, hlm. 35

42 Ismah Salman, Keluarga Sakinah „Aisyiyah: Diskursus Jender di Organisasi Perempuan

(28)

Jalaludin Rakhmat berpendapat bahwa, keluarga adalah “dua orang atau lebih yang tinggal bersama dan terikat karena darah, perkawinan dan adopsi”. 43

Ali Akbar berpendapat bahwa, keluarga adalah masyarakat terkecil yang sekurang-kurangnya terdiri dari pasangan suami istri sebagai anggota inti, berikut anak (anak-anak) yang lahir dari mereka. Jadi setidak-tidaknya anggota keluarga adalah sepasang suami istri bila belum ada anak atau

tidak punya anak sama sekali.44

Djuju Sudjana dalam Rahmat dan Gandaatmaja berpendapat bahwa, keluarga meliputi orang tua dengan anak (anak) -nya lima ciri khas yang di miliki keluarga, yaitu (1) adanya hubungan berpasangan antara kedua jenis kelamin, (2) adanya perkawinan yang mengkokohkan hubungan tersebut, (3) pengakuan terhadap keturunan, (4) kehidupan

ekonomi bersama, dan (5) kehidupan berumah tangga.45

Singgih dan Y. Singgih D. Gunarsa berpendapat bahwa, Keluarga adalah tempat yang penting di mana anak memperoleh dasar dalam membentuk kemampuannya agar kelak menjadi orang berhasil di

masyarakat.46

Yunasril Ali menyatakan keluarga sakinah dalam perspektif al-Qur'an dan hadis adalah keluarga yang memiliki mahabbah, mawaddah,

43 Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif. (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 120-121 44

Ali Akbar, Merawat Cinta Kasih. (Jakarta: Pustaka Antara, 1994), hlm. 10

45 Jalaluddin Rakhmat dan Muhtar Gandaatmaja, Keluarga Muslim dalam Masyarakat

Modern. (Bandung: Remaja Rosda karya, 1993), hlm. 690

46 Singgih dan Y. Singgih D. Gunarsa, Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan Keluarga.

(29)

rahmah, dan amanah.47 Menurut M. Quraish Shihab, kata sakinah terambil dari bahasa Arab yang terdiri dari huruf-huruf sin, kaf, dan nun yang mengandung makna “ketenangan” atau antonim dari kegoncangan dan pergerakan. Berbagai bentuk kata yang terdiri dari ketiga huruf tersebut kesemuanya bermuara pada makna di atas. Misalnya, rumah dinamai

maskan karena ia adalah tempat untuk meraih ketenangan setelah

penghuninya bergerak bahkan boleh jadi mengalami kegioncangan di luar

rumah.48

Menurut M. Quraish Shihab, keluarga sakinah tidak datang begitu saja, tetapi ada syarat bagi kehadirannya. Ia harus diperjuangkan, dan yang pertama lagi utama, adalah menyiapkan kalbu. Sakinah/ketenangan bersumber dari dalam kalbu, lalu terpancar ke luar dalam bentuk aktivitas. Memang, al-Qur'an menegaskan bahwa tujuan disyariatkannya pernikahan adalah untuk menggapai sakinah. Namun, itu bukan berarti bahwa setiap

pernikahan otomatis melahirkan sakinah, mawaddah, dan rahmat.49

Pendapat M. Quraish Shihab di atas, menunjukkan bahwa keluarga sakinah memiliki indicator sebagai berikut: pertama, setia dengan pasangan hidup; kedua, menepati janji; ketiga, dapat memelihara nama baik; saling pengertian; keempat, berpegang teguh pada agama.

Kembali pada pengertian keluarga sakinah, bahwa penggunaan nama sakinah diambil dari al-Qur'an surat 30 ayat 21, demikian juga dalam

47 Yunasril Ali, Tasawuf Sebagai Terapi Derita Manusia, (Jakarta: Serambi. 2002), hlm.

200

48 M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), hlm. 136 49

(30)

hadits. Litaskunu ilaiha, yang artinya bahwa Tuhan menciptakan perjodohan bagi manusia agar yang satu merasa tenteram terhadap yang lain.

Dalam bahasa Arab, kata sakinah di dalamnya terkandung arti tenang, terhormat, aman, penuh kasih sayang, mantap dan memperoleh pembelaan. Pengertian ini pula yang dipakai dalam ayat-ayat al-Qur'an dan hadis dalam konteks kehidupan manusia. Jadi, keluarga sakinah adalah kondisi yang sangat ideal dalam kehidupan keluarga, dan yang ideal biasanya jarang terjadi, oleh karena itu ia tidak terjadi mendadak, tetapi ditopang oleh pilar-pilar yang kokoh, yang memerlukan perjuangan serta butuh waktu serta pengorbanan terlebih dahulu. Keluarga sakinah merupakan subsistem dari sistem sosial menurut al-Qur'an, bukan

bangunan yang berdiri di atas lahan kosong.50

Pernikahan sebagai perbuatan hukum antara suami dan isteri, bukan saja bermakna untuk merealisasikan ibadah kepada-Nya, tetapi sekaligus menimbulkan akibat hukum keperdataan di antara keduanya. Namun demikian karena tujuan perkawinan yang begitu mulia, yaitu membina keluarga bahagia, kekal, abadi berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa maka perlu diatur hak dan kewajiban suami dan istri masingmasing. Apabila hak dan kewajiban masing-masing suami dan

50 Achmad Mubarok, Psikologi Keluarga dari Keluarga Sakinah Hingga Keluarga Besar,

(31)

isteri terpenuhi, maka dambaan suami isteri dalam bahtera rumah

tangganya akan dapat terwujud, didasari rasa cinta dan kasih saying.51

Suami dan istri adalah sama-sama bertanggung jawab atas segala sesuatu dalam hidup bersama. Kebahagiaan bagi salah satu dari keduanya adalah juga kebahagiaan bagi yang lain, dan kesusahan bagi salah satunya adalah pula kesusahan bagi yang lain. Hendaknya kerjasama antara keduanya dibangun di atas dasar cinta kasih yang tulus. Mereka berdua bagaikan satu jiwa di dalam dua tubuh. Masing-masing mereka berusaha untuk membuat kehidupan yang lain menjadi indah dan mencintainya sampai pada taraf ia merasakan bahagia apabila yang lain merasa bahagia, merasa gembira apabila ia berhasil mendatangkan kegembiraan bagi yang lainnya. Inilah dasar kehidupan suami isteri yang berhasil dan bahagia dan juga dasar dari keluarga yang intim yang juga merupakan suasana di mana

putera-puteri dapat dibina dengan budi pekerti yang mulia.52

Antara suami isteri dalam membina rumah tangganya agar terjalin cinta yang lestari, maka antara keduannya itu perlu menerapkan sistem keseimbangan peranan, maksudnya peranannya sebagai suami dan peranan sebagai isteri di samping juga menjalankan perananperanan lain sebagai

tugas hidup sehari-hari.53 Dengan berpijak dari keterangan tersebut, jika

suami isteri menerapkan aturan sebagaimana telah diterangkan, maka

51

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 181

52 Abdul Aziz Arusy, Menuju Islam Yang Benar, terj. Agil Husain al- Munawwar dan Badri

hasan, (Semarang: Toha Putra, 1994), hlm. 168

53

(32)

bukan tidak mungkin dapat terbentuknya keluarga sakinah, setidak-tidaknya bisa mendekati ke arah itu.

Keluarga sakinah adalah keluarga yang penuh dengan kecintaan dan rahmat Allah. Tidak ada satupun pasangan suami isteri yang tidak mendambakan keluarganya bahagia. Namun, tidak sedikit pasangan yang menemui kegagalan dalam perkawinan atau rumah tangganya, karena diterpa oleh ujian dan cobaan yang silih berganti. Padahal adanya keluarga bahagia atau keluarga berantakan sangat tergantung pada pasangan itu sendiri. Mereka mampu untuk membangun rumah tangga yang penuh cinta kasih dan kemesraan atau tidak. Untuk itu, keduanya harus mempunyai landasan yang kuat dalam hal ini pemahaman terhadap ajaran Islam.

Keluarga atau rumah tangga, oleh siapapun dibentuk, pada dasarnya merupakan upaya untuk memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Keluarga dibentuk untuk menyalurkan nafsu seksual, karena tanpa tersalurkan orang bisa merasa tidak bahagia. Keluarga dibentuk untuk memadukan rasa kasih dan sayang di antara dua makhluk berlainan jenis, yang berlanjut untuk menyebarkan rasa kasih dan sayang keibuan dan keayahan terhadap seluruh anggota keluarga (anak keturunan). Seluruhnya jelas-jelas bermuara pada keinginan manusia untuk hidup lebih bahagia dan lebih sejahtera. Apa yang diidam-idamkan dan di idealkan, apa yang seharusnya, dalam kenyataan tidak senantiasa berjalan sebagaimana mestinya. Kebahagiaan yang diharapkan dapat diraup dari

(33)

kehidupan berumah tangga, kerap kali hilang dan kandas tak berbekas, yang menonjol justru derita dan nestapa.

Problem-problem pernikahan dan keluarga amat banyak sekali, dari yang kecil-kecil sampai yang besar-besar. Dari sekedar pertengkaran kecil sampai ke perceraian dan keruntuhan kehidupan rumah tangga yang menyebabkan timbulnya "broken home". Penyebabnya bisa terjadi dari kesalahan awal pembentukan rumah tangga, pada masa-masa sebelum dan menjelang pernikahan, bisa juga muncul di saat-saat mengarungi bahtera kehidupan berumah tangga. Dengan kata lain, ada banyak faktor yang menyebabkan pernikahan dan pembinaan kehidupan berumah tangga atau berkeluarga itu tidak baik, tidak seperti diharapkan, tidak dilimpahi "mawaddah wa rahmah," tidak menjadi keluarga "sakinah."

Pernikahan sebagai perbuatan hukum antara suami dan isteri, bukan saja bermakna untuk merealisasikan ibadah kepada-Nya, tetapi sekaligus menimbulkan akibat hukum keperdataan di antara keduanya. Namun demikian, karena tujuan perkawinan yang begitu mulia, yaitu membina keluarga bahagia, kekal, abadi berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa, maka perlu diatur hak dan kewajiban suami dan istri masing-masing. Apabila hak dan kewajiban masing-masing suami dan isteri terpenuhi, maka dambaan suami isteri dalam bahtera rumah tangganya

akan dapat terwujud, didasari rasacinta dan kasih sayang.54

54 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000),

(34)

Suami dan istri adalah sama-sama bertanggung jawab atas segala sesuatu dalam hidup bersama. Kebahagiaan bagi salah satu dari keduanya adalah juga kebahagiaan bagi yang lain, dan kesusahan bagi salah satunya adalah pula kesusahan bagi yang lain. Hendaknya kerja sama antara keduanya dibangun di atas dasar cinta kasih yang tulus. Mereka berdua bagaikan satu jiwa di dalam dua tubuh. Masing-masing mereka berusaha untuk membuat kehidupan yang lain menjadi indah dan mencintainya sampai pada taraf ia merasakan bahagia apabila yang lain merasa bahagia, merasa gembira apabila ia berhasil mendatangkan kegembiraan bagi yang lainnya. Inilah dasar kehidupan suami isteri yang berhasil dan bahagia dan juga dasar dari keluarga yang intim yang juga merupakan suasana di mana

putera-puteri dapat dibina dengan budi pekerti yang mulia.55

Antara suami isteri dalam membina rumah tangganya agar terjalin cinta yang lestari, maka antara keduannya itu perlu menerapkan sistem keseimbangan peranan, maksudnya peranannya sebagai suami dan peranan sebagai isteri, di samping juga menjalankan peranan-peranan lain sebagai

tugas hidup sehari-hari.56 Dengan berpijak dari keterangan tersebut, jika

suami isteri menerapkan aturan sebagaimana diterangkan di atas, maka bukan tidak mungkin dapat terbentuknya keluarga sakinah, setidak-tidaknya bisa mendekati ke arah itu.

Keluarga sakinah adalah keluarga yang penuh dengan kecintaan dan rahmat Allah. Tidak ada satupun pasangan suami isteri yang tidak

55 Abdul Aziz Arusy, Menuju Islam Yang Benar, terj. Agil Husain al-Munawwar dan Badri

Hasan, Semarang: Toha Putra, 1994, hlm. 160

56

(35)

mendambakan keluarganya bahagia. Namun, tidak sedikit pasangan yang menemui kegagalan dalam perkawinan atau rumah tangganya, karena diterpa oleh ujian dan cobaan yang silih berganti. Padahal adanya keluarga bahagia atau keluarga berantakan sangat tergantung pada pasangan itu sendiri. Mereka mampu untuk membangun rumah tangga yang penuh cinta kasih dan kemesraan atau tidak. Untuk itu, keduanya harus mempunyai landasan yang kuat dalam hal ini pemahaman terhadap ajaran Islam.

Adapun faktor-faktor yang diperlukan untuk membentuk keluarga

sakinah adalah pertama, terpenuhinya kebutuhan ekonomi; kedua,

terpenuhinya kebutuhan seksual; ketiga, saling pengertian, dapat memahami perbedaan dan berpegang teguh pada agama.

2. Fungsi Keluarga

Secara umum sudah dapat dimengerti bahwa keluarga mempunyai suatu fungsi yang utama bagi pertumbuhan dan perkembangan manusia. Sebab sebagaimana dinyatakan di atas bahwa manusia mengawali tumbuh dan berkembangnya dari lingkungan keluarga demikian pula kebanyakan waktunya juga dihabiskan dalam lingkungan keluarga.

Sebelum, membahas tentang fungsi keluarga, terlebih dahulu akan dikemukakan tujuan perkawinan menurut undang-undang. Sebab keluarga terbentuk dari sebuah perkawinan yang didasarkan atas undang-undang baik dalam bentuk konstitusi maupun agama (dasar agama).

Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Bab I pasal 1 tentang Dasar Perkawinan dinyatakan bahwa “perkawinan ialah ikatan lahir batin

(36)

antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa”57

Lain dari itu perkawinan adalah merupakan cara pembentukan rumah tangga, yang memberikan kesempatan kepada manusia untuk melampiaskan fitrahnya dengan baik, dan memenuhi

kebutuhan-kebutuhan biologis dan psikologisnya.58

Dari dasar pembentukan keluarga yang telah dikemukakan di atas secara umum dapat diambil pengertian bahwa keluarga mempunyai fungsi mewujudkan suatu kehidupan keluarga yang tenang, aman, dan damai atau bahagia atas dasar nilai-nilai ke- Tuhanan yang menjadi sumber dalam menanamkan dasar kepribadian yang ikut menentukan corak dan

gambaran kepribadian seseorang setelah dewasa.59

Adapun secara terperinci fungsi keluarga menurut sebagian ahli ada beberapa dimensi hidup, seperti Jalaluddin Rahkmat menyebutkan : a. Fungsi ekonomis: keluarga merupakan satuan social yang mandiri, yang

di situ anggota-anggotanya keluarga mengkonsumsi barang-barang yang diproduksinya.

b. Fungsi sosial: keluarga memberikan prestise dan status kepada anggota- anggotanya.

57 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam

Pedoman Pegawai Pencatat Nikah ( PPN ). ( Jakarta: Badan Kesejahteraan Masjid, 1993 ), hlm.

87

58 Nabil Muhammad Taufik As-Samaluthi, Pengaruh Agama Terhadap Struktur Keluarga.

(Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987), hlm. 237

59

(37)

c. Fungsi educatif: keluarga memberikan pendidikan kepada anak-anak dan juga remaja.

d. Fungsi protektif: keluarga melindungi anggota-anggotanya dari ancaman fisik, ekonomis dan psikososial.

e. Fungsi rekreatif: keluarga merupakan pusat rekreasi bagi ang:gota- anggotanya.

f. Fungsi efektif: kelurga memberikan kasih sayang dan melahirkan

keturunan.60

Dalam fungsi keluarga dari sudut orientasi, seperti Singgih D. Gunarsa menyebutkan:

a. Sudut biologis: keluarga berfungsi untuk melanjutkan keturunan

b. Sudut psikologi perkembangan: keluarga berfungsi untuk

mengembangkan seluruh aspek kepribadian, sehingga tercapai gambaran kepribadian yang matang, dewasa dan harmonis

c. Sudut pendidikan: keluarga berfungsi sebagai tempat pendidikan informal untuk mengembangkan kemampuan dasar yang dimiliki anak d. Sudut sosiologi: keluarga sebagai tempat menanamkan aspek sosial

agar mampu berinteraksi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial

e. Sudut agama: keluarga sebagai tempat persemaian bagi benih-benih adanya sesuatu yang luhur, yang Maha Kuasa, Sang Pencipta, ke-Tuhan

60

(38)

Y.M.E. dan norma-norma ethis moral seperti tindakan baik buruk, yang dijadikan pegangan dalam perilaku sehari hari.

f. Sudut ekonomi: keluarga sebagai organisasi ekonomi agar mampu meningkatkan ketrampilan dalam usaha ekonomi produktif, sehingga

tercapai peningkatan pendapatan keluarga guna memenuhi

kebutuhannya.61

Fungsi-fungsi keluarga tersebut di atas sama dengan pendapat Haryono Suyono, namun dia menambahkan satu fungsi lagi yaitu fungsi budaya. “Fungsi ini merupakan fungsi pelestarian budaya bangsa melalui

keluarga”.62

Dari beberapa fungsi yang telah disebutkan di atas menunjukkan

suatu fungsi yang dinamis. Artinya bahwa keluarga harus

mengembangkan satu fungsi yang membawa nilai-nilai positif bagi anggota-anggotanya. Dalam keterangan yang lebih lengkap dan panjang A. Suhaenah Suparno menjelaskan:

Keluarga berfungsi sebagai lembaga di mana setiap orang (anggotanya) dapat mengembangkan dirinya dalam keserasian pergaulan dengan anggotanya maupun dengan oaring lain. Tempat para anggota keluarga berbagi rasa dan pengalaman. Tempat anggota keluarga dapat tumbuh dalam suasana saling memberi dan menerima. Kelurga juga adalah tempat menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan tertentu, apakah berupa prestasi atau untuk

membangun kebiasaan-kebiasaan yang baik.63

61

Singgih dan Y Singgih D. Gunarsa, Psikologi Praktis…, hlm. 230-231

62 Haryono Suyono, Upaya Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia, dalam Majalah

Bulanan Nasehat Perkawinan dan kelurga. ( Ttp: Tp, 1993 ), hlm. 47

63 A. Suhainah Suparno, Untuk Nikah, Perlu Kedewasaan dan Kemandirian, dalam

(39)

Oleh karena itu fungsi keluarga harus dijaga, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ahmad Sanusi dalam Rahmat dan Gadaatmaja bahwa “memelihara jaringan kerja, hubungan dan prestasi sosial budaya didukung

oleh motivasi, komitmen ketrampilan serta alat-alat“.64 Hal ini harus

dipersiapkan bersama-sama oleh masing-masing personal dalam keluarga terutama orang tua (suami istri).

3. Beberapa Faktor dalam Membentuk Keluarga Sakinah

Faktor-faktor yang diperlukan untuk membentuk keluarga sakinah adalah pertama, terpenuhinya kebutuhan ekonomi; kedua, terpenuhinya kebutuhan seksual; ketiga, saling pengertian, dapat memahami perbedaan dan berpegang teguh pada agama.

Keharmonisan kehidupan suatu keluarga sesungguhnya terletak pada erat tidaknya hubungan silaturahmi antar anggota keluarga, sebagaimana firman Allah tersebut terutama hubungan antar suami dan istri. Banyak orang berpendapat bahwa kebahagiaan suatu perkawinan terutama tergantung pada hubungan suami istri semata yang menitikberatkan kepada faktor: "cinta" dan "pemenuhan biologis" saja. Bekal cinta pemenuhan biologis saja tidak cukup. Akan tetapi pada hakikatnya suatu perkawinan terletak pada sampai berapa jauh kemampuan masing-masing pasangan untuk saling berintegrasi dan dua kepribadian yang berbeda. Cinta dan kepuasan biologik mungkin menyenangkan pada awal perkawinan, tetapi tidak akan berlangsung lama,

64

(40)

karena masing-masing pasangan tidak mampu untuk saling berintegrasi dan beradaptasi menjaga hubungan silaturahmi. Dua orang profesor dari Universitas Nebraska (AS) yaitu Nick Stinnet dan John DeFrain (1987) dalam studinya yang berjudul ''The National Study on Family Strength" mengemukakan enam hal sebagai suatu pegangan atau kriteria menuju hubungan perkawinan/keluarga yang sehat dan bahagia atau enam

pedoman keluarga sakinah.65

Pertama, ciptakan kehidupan beragama dalam keluarga. Sebab dalam agama terdapat nilai-nilai moral atau etika kehidupan. Krisis yang dihadapi negara-negara modern dan industri ialah adanya ketidakpastian yang fundamental di bidang nilai, moral dan etika kehidupan.

Semua itu harus dilandasi moral dan etika. Begitu juga sikap seorang anak, baik lelaki maupun perempuan, terhadap bapak, atau ibunya. Landasan utama dalam kehidupan keluarga berdasarkan ajaran agama ialah kasih sayang. Cinta-mencintai dan kasih-mengasihi. Artinya, silaturahmi jangan terputus, tetapi diperbaiki dan dikembangkan hubungan rasa kasih sayang tersebut.

Menurut Hawari keluarga yang tidak religius yang komitmen agamanya lemah dan keluarga-keluarga yang tidak mempunyai komitmen agama sama sekali mempunyai risiko empat kali untuk tidak berbahagia

65

(41)

dalam keluarganya. Bahkan berakhir dengan broken home, perceraian

perpisahan, tak ada kesetiaan- kecanduan alkohol dan sebagainya.66

Kedua, waktu untuk bersama keluarga itu harus ada. Seringkali bapak sibuk tidak ada waktu Ibu sibuk tidak ada waktu. Anak bagaimana? Jadinya ke teman dan mungkin sekali pengaruhnya negatif. Atau anak banyak komunikasi dengan televisi saja. Sesibuk-sibuknya ayah harus ada waktu untuk istri dan anak. Sesibuk-sibuknya ibu harus ada waktu untuk anak Jadi ini hanya masalah manajemen waktu. Kalau dituruti tidak ada waktu memang tidak akan ada waktu. Pantaskah seorang ayah ada waktu untuk orang lain, sedang untuk keluarganya sendiri tidak ada?

Perlu dicatat bahwa sakinah bukan sekadar apa yang terlihat pada ketenangan lahir yang tercermin pada kecerahan raut muka karena yang ini bisa muncul akibat keluguan, ketidaktahuan, atau kebodohan.

Akan tetapi, sakinah terlihat pada kecerahan raut muka yang disertai dengan kelapangan dada, budi bahasa yang halus, yang dilahirkan oleh ketenangan batin akibat menyatunya pemahaman dan kesucian hati serta bergabungnya kejelasan pandangan dengan tekad yang bulat. Itulah makna sakinah secara umum dan makna-makna tersebut yang diharapkan dapat menghiasi setiap keluarga yang hendak menyandang nama keluarga

sakinah.67

Di samping sakinah, al-Qur'an menyebut dua kata lain dalam konteks kehidupan rumah tangga, yaitu mawaddah dan rahmat. Shihab

66 Dadang Hawari, Al-Qur'an, Ilmu Kedokteran Jiwa Dan Kesehatan Jiwa, (Yogyakarta:

Dana Bhakti Primayasa. 1996), hlm. 283

67

(42)

menyadari bahwa ia mengalami kesulitan yang sangat besar untuk menemukan padanan kata mawadah dalam bahasa Indonesia karena kata cinta belum menggambarkan secara utuh makna kata tersebut. Karena kesulitan itu, di sini Shihab hanya akan melukiskan dampak mawaddah bila telah bersemai dalam jiwa seseorang. Ketika itu, yang bersangkutan tidak rela pasangan atau mitra yang tertuang kepadanya mawaddah disentuh oleh sesuatu yang mengeruhkan pasangannya, kendati boleh jadi si penyandang mawaddah memiliki sifat dan kecenderungan kejam.

Seorang penjahat yang bengis sekalipun, yang dipenuhi hatinya oleh mawaddah, tidak akan rela pasangan hidupnya disentuh sesuatu yang buruk. Dia bahkan bersedia menampung keburukan itu atau mengorbankan diri demi kekasihnya. Ini karena makna asal kata mawaddah, mengandung arti kelapangan dan kekosongan. Ia adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Kalau menginginkan kebaikan dan mengutamakannya untuk orang lain berarti orang itu telah mencintainya. Tetapi, jika seseorang menghendaki untuknya kebaikan serta tidak menghendaki untuknya selain itu apa pun yang terjadi mawaddah telah menghiasi hati seseorang. Mawaddah adalah jalan menuju terabaikannya pengutamaan kepentingan dan kenikmatan pribadi untuk siapa yang tertuju kepadanya mawaddah itu.

Siapa yang memilikinya, dia tidak pernah akan memutuskan hubungan, apa pun yang terjadi. Jika demikian, kata ini mengandung makna cinta, tetapi ia adalah cinta plus. Makna kata ini mirip dengan

(43)

makna kata rahmat. Hanya saja, rahmat tertuju kepada yang dirahmati, sedangkan yang dirahmati itu dalam keadaan butuh. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa rahmat tertuju kepada yang lemah, sedangkan

mawaddah tidak demikian. Mawaddah dapat tertuju juga kepada yang

kuat.68

Rumah tangga juga demikian, ada konsepnya, isteri bukan sekedar perempuan pasangan tempat tidur dan ibu yang melahirkan anak, suami bukan sekedar lelaki, tetapi ada konsep aktualisasi diri yang berdimensi horizontal dan vertikal. Orang bisa saja menunaikan hajat seksualnya di jalanan, dengan siapa saja, tetapi itu tidak iden- tik dengan kebahagiaan. Hubungan seksual dengan pelacur atau perselingkuhan mungkin bisa memuaskan syahwat dan hawa nafsunya, tetapi tidak pernah melahirkan rasa ketenteraman, ketenangan dan kemantapan psikologis.

Konsep keluarga bahagia yang Islami, biasanya disebut dengan istilah Keluarga Sakinah. Sudah menjadi sunnatullah dalam kehidupan, segala sesuatu mengandung unsur positif dan negatif. Dalam membangun keluarga sakinah juga ada faktor yang mendukung ada faktor yang menjadi kendala. Faktor-faktor yang menjadi kendala atau penyakit yang

menghambat tumbuhnya "sakinah" dalam keluarga adalah:69

a. Akidah yang keliru atau sesat, misalnya mempercayai kekuatan dukun, majic dan sebangsanya. Bimbingan dukun dan sebangsanya bukan saja

68 Quraish Shihab, Perempuan. (Jakarta: Lentera Hati, 2006), hlm. 139

69 Achmad Mubarok, Psikologi Keluarga dari Keluarga Sakinah Hingga Keluarga Besar,

(44)

membuat langkah hidup tidak rationil, tetapi juga bisa menyesatkan pada bencana yang fatal.

b. Makanan yang tidak halalan thayyiba. Menurut hadis Nabi, sepotong daging dalam tubuh manusia yang berasal dari makanan haram, cenderung mendorong pada perbuatan yang haram juga (qith'at al lahmi

min al haram ahaqqu ila an nar). Semakna dengan makanan juga

rumah, mobil, pakaian dan lain-lainnya.

c. Kemewahan. Menurut al Qur'an, kehancuran suatu bangsa dimulai dengan kecenderungan hidup mewah, mutrafin (QS. 17:16), sebaliknya kesederhanaan akan menjadi benteng kebenaran. Keluarga yang memiliki pola hidup mewah mudah terjerumus pada keserakahan dan perilaku menyimpang yang ujungnya menghancurkan keindahan hidup berkeluarga.

d. Pergaulan yang tidak terjaga kesopanannya (dapat mendatangkan WIL dan PIL). Oleh karena itu suami atau isteri harus menjauhi "berduaan" dengan yang bukan muhrim, sebab meskipun pada mulanya tidak ada maksud apa-apa atau bahkan bermaksud baik, tetapi suasana psikologis "berduaan" akan dapat menggiring pada perselingkuhan.

e. Kebodohan. Kebodohan ada yang bersifat matematis, logis dan ada juga kebodohan sosial. Pertimbangan hidup tidak selamanya matematis dan logis, tetapi juga ada pertimbangan logika sosial dan matematika sosial.

(45)

f. Akhlak yang rendah. Akhlak adalah keadaan batin yang menjadi penggerak tingkah laku. Orang yang kualitas batinnya rendah mudah terjerumus pada perilaku rendah yang sangat merugikan.

g. Jauh dari agama. Agama adalah tuntunan hidup. Orang yang mematuhi agama meski tidak pandai, dijamin perjalanan hidupnya tidak menyimpang terlalu jauh dari rel kebenaran. Orang yang jauh dari agama mudah tertipu oleh sesuatu yang seakan-akan "menjanjikan" padahal palsu.

4. Keluarga Sakinah sebagai Tujuan Perkawinan

Tujuan keluarga adalah mencapai kualitas hidup sakinah yang berpangkal dari cinta kasih yang tulus antara dua pribadi dari dua jenis. Membina hubungan yang akrab antra pria oleh wanita itu dalam kehidupan manusia adalah kenyataan fitrah yang amat penting. Pernikahan adalah cara alami dan wajar untuk mewujudkan kecenderungan seorang alami laki-laki.

Pernikahan yang setia berada dalam santunan Allah dan perlindungan-Nya. Pernikahan yang setia itu sesungguhnya dibuat dan ditegakkan dibawah nama-Nya. Sebagaimana dalam firman Allah:



























































”Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan

Referensi

Dokumen terkait

Pada bab ini membahas tentang gambaran umum tentang pemilihan lomba keluarga sakinah teladan, tata pelaksanaan perlombaan keluarga sakinah teladan se Kalimantan Tengah

Upaya yang dilakukan untuk menciptakan keluarga sakinah masing-masing harus menjalankan kewajibannya dengan baik, membangun komunikasi, menerima segala kekurangan suami/ istri

Adapun upaya mereka dalam melaksanakan keluarga yang harmonis adalah sebagai berikut: Menurut Bapak Yusuf: “saya selalu mengajak keluarga memenuhi kewajiban orang islam,

Di dalam keluarga pastinya ada peraturan yang harus diketahui baik dari suami maupun istri, hak-hak tidak hanya di miliki oleh seorang suami, istri pun juga mempunyai

Dalam kehidupan sosial apalagi dalam suatu masyarakat pedesaan yang umumnya belum individualis, baik buruknya sebuah keluarga dapat dengan mudah dinilai oleh orang lain,

Seperti makhluk lainnya, manusia adalah makhluk ciptaan Allah, ia diciptakan secara alamiah karena Allah menciptakan Adam dari tanah. Tetapi manusia berbeda dari

Untuk poin yang kedua dalam kepemimpinan dalam keluarga pastinya dalam sebuah hubungan menginginkan keluarga tersebut harmonis sejahtera aman dan damai oleh sebab

Dengan ini pula pernikahan dapat menuju terbentuknya rumah tangga yang sakinah.5 Tujuan untuk membina keluarga yang harmonis samara tidak akan tercapai tanpa adanya kemampuan memahami