• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Kepercayaan (Trust)

Kepercayaan merupakan kesediaan seseorang untuk bertumpu dan memiliki perasaan yakin yang kemudian diberikan orang lain dalam suatu situasi tertentu. Bagaimana kepercayaan ini didasari oleh ketidak paksaan atas perasaan menerima apa adanya. Kepercayaan juga merupakan kondisi mental yang didasarkan oleh situasi seseorang dan konteks sosialnya. Secara umum, kepercayaan menjadi dasar dari hubungan jangka panjang antara karyawan terhadap organisasi perusahaan. Kepercayaan menjadi kompleksitas hubungan antar relasi manusia. Kepercayaan (trust) adalah suatu keadaan psikologis berupa keinginan untuk menerima kerentanan berdasarkan pengharapan yang positif terhadap keinginan ataupun tujuan dari perilaku orang lain (Rousseau, 2007).

Konsep ini mewakili komponen hubungan kualitas yang berpusat pada masa depan Trust menurut Johnson & Johnson, (1997) merupakan aspek dalam suatu hubungan dan secara terus menerus berubah. Johnson,(2006) trust merupakan dasar dalam membangun dan mempertahankan hubungan intrapersonal. dengan hubungan interpersonal yang baik tentunya akan menjadi peluang yang besar dalam menjalin kelekatan dan dukungan sosial antara karyawan kepada organisasi perusahaan. Kepercayaan terjadi ketika seseorang yakin dengan reliabilitas dan integritas dari orang yang dipercaya (Morgan & Hunt, 1994). Keyakinan terhadap pihak yang memiliki reliabilitas dan integritas

(2)

akan memberikan nilai kepercayaan terhadap pihak tersebut sehingga seseorang dapat memberikan kayakinan terhadap suatu.

Henslin,(dalam King, 2002) memandang trust sebagai harapan dan kepercayaan individu terhadap reliabilitas orang lain. Pondasi trust meliputi saling menghargai satu dengan lainnya dan menerima adanya perbedaan (Carter, 2001). Individu yang memiliki trust tinggi cenderung lebih disukai, lebih bahagia, dianggap sebagai orang yang paling dekat dibandingkan individu yang memiliki trust rendah (Marriages, 2001). Hanks,(2002) menyatakan bahwa trust merupakan elemen dasar bagi terciptanya suatu hubungan yang baik.

Trust yang dibentuk dalam lingkungan perusahaan dimulai dari kepercayaan yang ditanamkan oleh para karyawan. Sebagai harapan dan keyakinan terhadap reliabilitas organisasi kepada karyawan. Kepercayaan yang dibentuk meliputi perasaan saling menghargai satu dengan lainnya, menerina adanya perbedaan – perbedaan yang terjadi sesama karyawan ataupun dengan organisasi sekalipun. Menerima adanya perbedaan serta menghargai satu sama lain membutuhkan menerimaan dan dukungan antar pribadi.

Keuntungan dan kerugian tersebut adalah tergantung pada orang yang dipercaya dan ada kemungkinan bahwa kerugian yang diperoleh lebih besar dari pada keuntungan, dan sebaliknya ada juga kemungkinan bahwa keuntungan yang diperoleh lebih besar dari pada kerugian Deutsch (dalam Johnson & Johson, 2000). (Johnson dan Johnson, 2000) berpendapat bahwa kepercayaan (trust)

(3)

adalah adanya keyakinan bahwa anggota lain akan memberikan keuntungan dan terbentuk melalui sikap terbuka, menerima, mendukung, berbagi, dan kerja sama di antara anggota kelompok.

Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukakan di atas ditarik kesimpulan bahwa definisi trust adalah suatu elemen dasar bagi terciptanya suatu hubungan baik antara kedua belah pihak yang berisi tentang harapan dan kepercayaan individu terhadap reliabilitas seseorang.

2.1.1 Aspek Kepercayaan (Trust)

Johnson dan Johnson,( 2000) mengemukakan bahwa kepercayaan (trust) terdiri dari 5 (lima) aspek, yaitu:

1) Keterbukaan (Openness) Keterbukaan meliputi kesediaan individu untuk berbagi informasi, ide, pemikiran, perasaan, pendapat, dan reaksi terhadap hal yang sedang dialami.

2) Berbagi (Sharing) Berbagi berarti kesediaan individu untuk membagikan kemampuan dan sumber daya yang dimilikinya kepada orang lain untuk membantu pencapaian tujuan bersama.

3) Penerimaan (Acceptance) Penerimaan berarti melakukan komunikasi dengan orang lain dan menghargai pendapat orang lain tersebut tentang suatu hal yang sedang dibicarakan.

4) Dukungan (Support) Dukungan meliputi komunikasi yang dilakukan individu dengan orang lain sehingga orang lain mengenal kelebihannya dan percaya

(4)

bahwa orang lain tersebut mampu mengatur secara produktif situasi di mana mereka berada.

5) Bekerjasama (Cooperative Intentions) Bekerja sama meliputi harapan individu untuk bisa bersikap kooperatif dan bahwa orang lain juga akan bersikap kooperatif untuk mencapai tujuan bersama.

2.1.2 Dinamika Kepercayaan (Trust)

Kepercayaan yang dibentuk dari hubungan interpersonal seseorang melalui saling menghargai, menerima perbedaan dan memberi kesempatan untuk orang lain. Dari hubungan interpersonal bukan hanya berisi sekumpulan kebiasaan yang seharusnya terjalin pada sesama karyawan dan juga kepada organisasi perusahaan. Di dalamnya terdapat suatu struktur, perilaku yang stabil, memberi dan menerima, tuntutan dan komitmen Solomon,(2001). Dan dasar untuk membangun suatu hubungan interpersonal yang baik diperlukan rasa saling percaya (trust) antara satu dengan lainnya. Semua itu dapat dilakukan dengan keadaan yang stabil dan berlaku dalam pembentukan kepercayaan bersama. Adapun beberapa tahapan dalam dinamika trust, yaitu:

1) Membangun trust

Menurut Falcone & Castelfranci, (2004), trust merupakan suatu fenomena yang dinamis yang terjadi secara intrinsik pada suatu keadaan yang alamiah, dimana trust merupakan hal yang menyangkut masalah mental yang didasarkan oleh situasi seseorang dan konteks sosialnya, misalnya ketika seseorang untuk mengambil suatu keputusan, ia akan lebih memilih keputusan berdasarkan pilihan

(5)

dari orang-orang yang lebih dapat ia percayai dari pada yang kurang ia percayai. Begitu juga dengan lingkup perusahaan, Karyawan akan memahami apa saja kebijakan perusahaan, tanpa adanya perasaan dicurangi atau dimanfaatkan kelemahannya jika karyawan telah percaya kepada organisasi. Ketika karyawan telah memberikan kepercayaan terhadap perusaaan maka karyawan akan menerima berbagai resiko yang mungkin muncul atas keputusan ataupun kebijakan dari organisasi perusahaan. Pengalaman tidak mengecewakan mungkin menjadi peranan yang juga mempengaruhi kepercayaan antar karyawan kepada organisasi.

Hal tersebut juga diperkuat oleh Hoogendoorn, Jaffry & Treur, (2009) yang mengatakan bahwa trust tidak hanya tergantung pada pengalaman tetapi juga melibatkan hubungan dengan proses mental dimana terdapat adanya aspek kognitif dan afektif di dalamnya. Seseorang akan melibatkan proses berfikir dan penerimaan dan pengolahan perasaan atas apa yang diberikan oleh pemimpin, Hal ini menjelaskan bahwa trust tidak hanya tergantung pada pengalaman sebagai informasi yang diperoleh dari waktu ke waktu, tetapi juga melibatkan respon emosi dan perasaan yang berhubungan dengan pengalaman tersebut .

Untuk dapat trust, seseorang akan mengharapkan adanya sense of responsibility, percaya bahwa mereka akan berperilaku pada cara-cara yang dapat dipercaya. Untuk dapat trust, seseorang akan berharap bahwa orang yang ingin ia percaya akan mengerti harapannya dan mengetahui cara untuk mengatasi keterbatasannya, karena itu hal yang paling esensial dari trust adalah keterbukaan.

(6)

Keterbukaan karyawan diharapkan dapat memberikan stimulus kepada organisasi untuk memahami keterbatasan ataupun kendala – kendala yang menghambat kinerja dari karyawan.

Hal tersebut juga diperkuat oleh Gambetta,(dalam Falcone & Castelfranci,2004) yang mengatakan bahwa trust merupakan suatu kemungkinan yang subjektif dari seorang individu, yang mengharapkan individu lain untuk menunjukkan suatu tindakan tertentu, segala kemungkinan yang terjadi tergantung pada bagaimana perilaku yang ditunjukkan orang yang kita percayai tersebut kepada kita, bagaimana mereka dapat memenuhi perilaku yang kita harapkan. Karyawan akan menaruh kepercayaan bila dari pihak organisasi perusahaan menunjukan perilaku yang diharapkan oleh karyawannya. Untuk itu karyawan harus memahami bagaimana cara yang tepat untuk membangun kepercayan. Membangun trust diawali dengan menghargai dan menerima kepercayaan (trust) tersebut, melibatkan rutinitas sehari-hari dan latihan yang terus menerus. Dengan keadaan yang stabil akan memberikan kualitas kepercayaan yang didapat. Tanpa adanya perilaku nyata, pemahaman dan penerimaan kita akan trust pun tidak berarti apapun.

Membangun trust berarti memikirkan suatu kepercayaan (trust) dalam cara yang positif, membangun langkah demi langkah, komitmen demi komitmen. Jika trust dianggap sebagai sebuah bentuk resiko dan penuh ancaman, maka tidak ada hal positif yang bisa kita dapatkan. Memang trust selalu berdampingan dengan ketidakpastian, tapi kita harus berusaha membuat diri kita sendiri untuk berpikir bahwa ketidakpastian tersebut sebagai sebuah kemungkinan dan kesempatan,

(7)

bukan sebagai halangan (Solomon, dkk, 2001). Johnson & Johnson, (2000) menyatakan bahwa menerima dan mendukung kontribusi orang lain tidak berarti kita harus setuju dengan segala sesuatu yang mereka katakan. Kita bisa mengungkapkan rasa menerima dan mendukung atas keterbukaan dan sharing dari anggota lain dan saat yang sama mengungkapkan ide dan pandangan yang berbeda.

Kunci untuk membangun dan mempertahankan trust adalah menjadi trustworthy. Semakin acceptance dan supportive seseorang terhadap orang lain, maka orang lain akan semakin dapat mengemukakan pemikiranpemikirannya, ide-ide, teori-teori, kesimpulan-kesimpulan, perasaan dan reaksinya. Jika seseorang dalam merespon keterbukaan orang lain bersifat trustworthy, maka semakin dalam dan personal pemikiran yang akan dibagikan orang lain. Jika seseorang ingin meningkatkan trust, maka perlu ditingkatkan trustworthiness

Individu mengembangkan harapannya mengenai tingkat bagaimana seseorang dapat kepercayaan (trust) kepada orang lain, bergantung pada faktor-faktor dibawah ini Lewicki, (dalam Deutsch dan Coleman, 2006):

a. Predisposisi Kepribadian (Personality Presdiposition)

Penelitian menunjukkan bahwa individu berbeda di dalam predisposisi mereka untuk percaya kepada orang lain. Semakin tinggi tingkat individu dalam predisposisi untuk percaya, semakin besar harapan untuk dipercaya oleh orang lain.

(8)

b. Reputasi dan Stereotip (Reputation and Stereotype)

Meskipun individu tidak memiliki pengalaman langsung dengan orang lain, harapan individu dapat terbentuk melalui apa yang dipelajari dari teman ataupun dari apa yang telah didengar. Reputasi orang lain biasanya membentuk harapan yang kuat yang membawa individu untuk melihat elemen untuk trust dan distrust serta membawa pada pendekatan pada hubungan untuk saling percaya.

c. Pengalaman Aktual (Actual Experience)

Pada kebanyakan orang, individu membangun faset dari pengalaman untuk berbicara, bekerja, berkoordinasi, dan berkomunikasi. Beberapa dari faset tersebut sangat kuat di dalam kepercayaan (trust), dan sebagian mungkin kuat pada distrust. Sepanjang berjalannya waktu, baik elemen trust maupun distrust memulai untuk mendominasi pengalaman, untuk menstabilkan dan secara mudah mendefinisikan sebuah hubungan. Ketika polanya sudah stabil, individu cenderung untuk menggeneralisasikan sebuah hubungan dan menggambarkannya dengan tinggi atau rendahnya trust atau distrust.

d. Orientasi Psikologis (Psychological Orientation)

Deutsch, (dalam Deutsch dan Coleman, 2006) menyatakan bahwa individu membangun dan mempertahankan hubungan sosial berdasarkan orientasi psikologisnya. Orientasi ini dipengaruhi oleh hubungan yang terbentuk dan sebaliknya. Dalam artian, agar orientasinya tetap konsisten, maka individu akan mencari hubungan yang sesuai dengan jiwa mereka.

(9)

2) Terbentuknya Trust

Trust terjadi dikarenakan adanya keyakinan bahwa pasangan akan memberikan keuntungan, dan terbentuk melalui sikap menerima, mendukung, sharing, dan kerjasama pada diri seseorang (Johnson & Johnson, 1997). Artinya bahwa trust merupakan suatu situasi kita menerima pengaruh dari orang lain, dan kita percaya bahwa orang lain akan memberikan keuntungan bagi kita. Interaksi dan transaksi yang terjalin dalam perusahaan lebih kepada keyakinan masing – masing pihak untuk sama – sama saling menguntungkan dari bidang – bidang yang dijalani. Dalam perusahaan karyawan akan menaruh kepercayaan bila pengalaman yang didapat telah didapat karyawan. Pengalaman tersebut antara lain, organisasi memberikan fasilitas dan juga dukungan emosional yang memotivasi dan memberikan kepuasan kepada karyawanya.

Hubungan dapat berjalan dengan baik dan efektif apabila individu dapat membangun perasaan saling percaya (mutual trust). Trust terbentuk melalui rangkaian perilaku antara orang yang memberikan kepercayaan dan orang yang dipercayakan tersebut. Perilku – perilaku yang diharapkan karyawan dari organisasi perusahaan dapat mempengaruhi kadar kepercayaan ataupun keyakinan karyawan. Interpersonal trust dibangun melalui adanya resiko dan penerimaan dan dapat hancur karena adanya resiko dan tidak adanya sikap penerimaan. Tanpa resiko maka trust tidak akan terbentuk, dan hubungan tidak dapat maju dan berjalan (Johnson & Johnson, 1997).

(10)

Ketika karyawan harus memberikan keputusan maka karyawan akan bertumpu dan menyerahkan keputusan itu atas pertimbangan yang terbaik untuk karyawan atau organisasi perusahaan, berbagai pemikiran penerimaan resiko menjadi sesuatu yang telah diterima dan tidak menjadi suatu beban paksaan. Ketika seseorang mengambil resiko dengan terbuka (disclosing) dalam membicarakan pemikiran-pemikirannya, informasi, kesimpulan, perasaan dan reaksi pada suatu situasi dan pasangan akan memberikan respon yang positif berupa penerimaan, support, kooperatif dan membalas kita dengan menjadi terbuka (disclosing) dalam membicarakan pemikiran, ide, dan perasaan mereka, disitulah trust dapat terbentuk dan berkembang (Johnson & Johnson, 1997). Berbagai pertimbangan kognitif dan juga pengolahan emosi daripada karyawan akan memberikan respon yang baik terhadap kebijakan organisasi perusahaan. Dengan kepercayaan yag telah diberikan kepada karyawan tentunya akan menjalin suatu kelekatan dimana karyawan merasa nyaman sehingga karyawan akan lebih terbuka atas ide, pemikiran ataupun aspirasi lainnya, hal itu akan menjadi bahan evaluasi organisasi untuk lebih mengoptimalkan produktivitas perusahaan.

3) Fase Distrust

Menjalin suatu Trust bukan suatu yang mudah, Trust dapat berubah dari waktu ke waktu, karena orang yang terlibat di dalam trust tersebut juga pasti akan mengalami perubahan (Falcone & Castelfranci, 2004). Hal tersebut didukung oleh pendapat Johnson & Johnson, (1997) yang menyatakan bahwa Trust bukan suatu jaminan untuk tidak dapat berubah karena keadaan bisa menghilangkan kemampuan seseorang untuk trust. Karyawan yang telah mengambil sikap atas

(11)

kebijakan – kebijakan yang diberikan organisasi perusahaan tidak selamanya akan menetap pada perilaku tertentu. Di dalam interaksi nyata, karyawan tidak akan pernah mendapatkan situasi interaksi yang benar-benar sama dalam suatu waktu, dengan begitu suatu keadaan tertentu bisa saja mempengaruhi trust seseorang pada orang yang ia percayai. Trust berubah bukan hanya karena adanya suatu pengalaman tertentu, belum tentu suatu pengalaman yang menyenangkan akan meningkatkan trust dan sebaliknya. tetapi juga dengan adanya modifikasi dari berbagai sumber trust tersebut, misalnya pengalaman langsung di masa lalu, reputasi trustee (bagaimana pengalaman dan opini orang lain mempengaruhi kepercayaan trustier kepada trustee), perubahan sikap dan perilaku dari seseorang yang dipercayai, keadaan emosional trustier, dan dengan adanya modifikasi dari lingkungan yang menuntut seseorang untuk berperilaku tertentu (Falcone & Castelfranci, 2004).

Kesalahan ataupun perilaku yang tidak menyengkan yang ditampilkan oleh organisasi memberikan pengaruh yang cukup dominan untuk merubah kepercayaan karyawan. Hal – hal lainnya tergantung pada situasi yang dialami oleh karyawan atau organisasi perusahaan sekalipun. Dalam teori lain dapat dijelaskan bahwa Trust berubah juga karena adanya suatu faktor sebab akibat (causal attribution), kepercayaan seseorang pada orang lain akan bergantung pada bagaimana orang lain tersebut berperilaku dan sebaliknya. Karyawan akan berprilaku tertentu, atas dasar bagaimana organisasi perusahaan memperlakukan karyawan, baik itu menyenangkan ataupun perilaku yang tidak menyenangakan.

(12)

Solomon,(2001) menjelaskan bahwa, ada kalanya seseorang berada di dalam periode distrust yang ekstrim. Hal tersebut terjadi karena adanya pengkhianatan yang dilakukan oleh organisasi perusahaan ataupun para karyawan – karyawan yang melakukan pelanggaran yang tentunya merugikan salah satu pihak dan pelanggaran terhadap trust dan komitmen tersebut. Trust memang meliputi resiko dan konsekuensi dari resiko seringkali membuat kita kecewa dan merasa gagal. Walaupun trust merupakan sesuatu yang bersifat bebas, trust juga melibatkan resiko. Ada beberapa katagori dari kekecewaan tersebut, yang pertama adalah kekecewaan karena sesuatu tidak berjalan sebagai mana mestinya. Ada kemungkinan besar bahwa sesuatu tdk berjalan sebagai mana mestinya. Ini bukan berarti kesalahan seseorang. Disini trust merupakan dirinya sendiri dan trust di dalam perilaku nyata dan proses yang terhubung, menjadi sesuatu yang krusial. Dan hal yang paling esensial dari bagian ini adalah ketika orang tersebut tetap melanjutkan untuk percaya dengan orang lain dan dapat berpikir bahwa ini merupakan sebuah kebijaksanaan dan penerimaan kita setiap hari. Katagori kekecewaan yang kedua adalah karena adanya kesalahan. Terkadang hal ini disebabkan oleh sesuatu yang tidak berjalan sebagai mana mestinya dan karena kesalahan dari seseorang.

Setelah berada di dalam periode distrust, beberapa orang ada yang tidak dapat melupakan dan juga tidak dapat memaafkan, tetapi tidak sedikit pula mereka tetap berubah dan belajar untuk trust kembali kepada pasangannya. Reestablishing trust adalah membangun kembali struktur-struktir baru,

(13)

memulihkan dan kembali melakukan rutinitas sehari-hari dan membangun kembali hubungannya tersebut

2.1.3 Kepercayaan dalam Organisasi

Deutsch,(2006) mendefinisikan kepercayaan sebagai keyakinan suatu pihak akan menemukan apa yang diinginkan dari pihak lain bukan apa yang ditakutkan dari pihak lain. Mayer, Davis dan Schoorman,(1995) setuju bahwa kepercayaan adalah kemauan dari salah satu pihak untuk menjadi tidak berdaya (vulnerable) atas tkan pihak lainnya. Sementara Barney dan Hansen, (1994) berpendapat bahwa kepercayaan merupakan keyakinan mutual dari kedua pihak bahwa diantara keduanya tidak akan memanfaatkan kelemahan pihak lain. Costabile,(1998) kepercayaan atau trust didefinisikan sebagai persepsi akan keterhandalan dari sudut pandang karyawan didasarkan pada pengalaman, atau lebih pada urut-urutan transaksi atau interaksi yang dicirikan oleh terpenuhinya harapan akan kinerja dan kepuasan.

Definisi diatas memberikan beberapa elemen penting yaitu kesedian dari salah satu pihak untuk menjadi tidak berdaya, keyakinan bersama bahwa diantara mereka tidak akan saling memanfaatkan kelemahan mitranya, serta adanya harapan bahwa pihak lain dapat memberikan kepuasan atas kebutuhannya. Dapat dikatakan menurut berbagai definisi tersebut bahwa dalam situasi kepercayaan terdapat unsur resiko yang biasanya dikaitkan dengan hasil keputusan yang diambil. Sumber resiko tersebut adalah pada keinginan dan kesediaan pihak yang terlibat untuk bertindak tepat.

(14)

Kepercayaan merupakan sari dari kompleksitas hubungan antar manusia. Konsep ini mewakili komponen hubungan kualitas yang berpusat pada masa depan. Kepercayaan dapat dikatakan eksis ketika ada kerelaan konsumen untuk bersandar sepenuhnya pada perilaku perusahaan dimasa depan (Bruhn, 2003). Dalam upaya pembentukan kepercayaan ini dibutuhkan salah satu pihak yang lemah atau tidak berdaya (vulnerable) dimana terdapat ketidakpastian sebagai hasil dari keputusan yang diambil. Unsur ketidakpastian ini banyak terjadi dalam bidang jasa karena keunikan jasa seperti telah disebutkan diatas. Kepercayaan merupakan konsep yang memfokuskan diri pada masa depan, yang memberikan suatu jaminan bahwa patner termotivasi untuk tidak beralih dalam konteks pertukaran dengan pihak lain (Gurviez dan Korchia, 2003 )

Kepercayaan merupakan variabel kunci dalam jaringan pertukaran antara perusahaan dengan mitra-mitranya (Morgant & Hunt,1994). Secara psikologi kepercayaan merupakan suatu keyakinan dan kemauan atau dapat juga disebut sebagai kecenderungan perilaku Moorman, Zaltman & Deshpande, (dalam Ballester dkk 2003) kecenderungan perilaku ini lah yang memberikan stimulus melalui stategi yang ditampilkan oleh pemimpin ataupun pihak organisasi perusahaan, hal ini menunjukan bahwa respon yang ditampilkan oleh karyawan sangat dipengaruhi perilaku pemimpin yang juga ditampilkan kepada karyawan.

(15)

2.1.4 Peran karyawan dalam Pembentukan Kepercayaan

Ada banyak sekali hal – hal yang mempengaruhi dari pada produktivitas perusahaan. Karyawan merupakan aset yang penting bagi organisasi perusahaan oleh karena kemampuan elemen ini untuk menciptakan perbedaan yang dapat menciptakan kepuasan dan loyalitas. Organisasi akan merasa terbantu atas kesulitan dari hal lain yang mempengaruhi produktivitas dari sebuah perusahaan. Karna karyawanlah yang memegang peran aktif atas kinerja yang ditampilkan dan ditrampilkan. Kinerja karyawan sangat menentukan bagaimana proses pertukaran atau penambahan nilai tersebut berlangsung.

Ketanggapan, empati, jaminan dan kehandalan karyawan selama proses transfer menjadi stimulus bagi pembentukan persepsi karyawan akan kebijakan organisasi perusahaan. Emosi dan perasaan karyawan sangat dipengaruhi oleh pertemuan dengan organisasi. Emosi dan perasaan jangka pendek ini akan berpengaruh pada emosi dan perasaan jangka panjang tertutama berkaitan dengan customer retention (Lemmink & Mattsson, 2003). Menumbuhkan rasa kepercayaan dengan orang lain bukan suatu hal yang mudah, namun juga bukan suatu hal yang mustahil.

Berikut beberapa proses yang diperlukan untuk menumbuhkan kepercayaan adalah Doney & Canon,(1997)

(16)

1. Proses yang terkalkulasi

Menurut proses ini pihak tertentu yakin pada perilaku positif pihak lain ketika manfaat dari perilaku negatif pihak yang sama memiliki konsekuensi biaya yang lebih rendah.

2. Proses prediktif

Kepercayaan menurut proses ini sangat bergantung pada kemampuan pihak tertentu untuk mengantisipasi perilaku pihak lainnya.

3. Proses kemampuan

Proses ini berkaitan erat dengan perkiraan kemampuan pihak lain dalam memenuhi kewajibannya.

4. Proses intensi

Menurut proses ini kepercayaan didasarkan pada tujuan dan intensi pihak lain.

5. Proses transfer

Kepercayaan menurut proses ini mengacu pada penilaian pihak lain diluar pihak-pihak yang terlibat dalam proses transfer.

Bagaimana organisasi tanggap akan kesulitan yang dihadapi karyawan jauh sebelum karyawan mengungkapkan kesulitannya pada organisasi membuat kepercayaan karyawan akan kehandalan organisasi perusahaan.

(17)

2.1.5 Cara Meningkatkan Kepercayaan (Trust)

Menurut Robbins,(2001) terdapat 8 (delapan) cara untuk meningkatkan kepercayaan (trust), diantaranya:

1. Bersikap terbuka Bersikap terbuka akan membuat orang lain percaya terhadap kita. Bersikap terbuka yang dimaksud dalam hal ini adalah bersikap terbuka terhadap informasi yang dimiliki, memberitahu secara rasional bagaimana suatu keputusan dibuat dan berterus terang dalam menyatakan masalah yang sedang dihadapi.

2. Bersikap adil Sebelum membuat suatu keputusan, harus mempertimbangkan bagaimana orang lain akan menilai objektivitas dan keadilan keputusan kita. 3. Menyatakan perasaan dengan terus terang Menyatakan perasaan yang

sebenarnya tanpa memandang jabatan atau posisi kita dalam suatu organisasi akan membuat orang lain lebih menghargai kita, karena semua orang adalah manusia yang memiliki masalah dan perasaan.

4. Memberitahukan hal yang sebenarnya Bersikap jujur berarti kita bisa dipercaya. Apabila kejujuran merupakan hal yang penting dalam membangun kepercayaan (trust), maka kita harus menjunjung tinggi kejujuran.

5. Menunjukkan konsistensi Semua orang menginginkan sesuatu yang bisa diprediksi. Ketidakjujuran terjadi karena kita tidak mampu memprediksi sikap orang tersebut. Pikirkanlah tentang nilai dan kepercayaan yang dimiliki, kemudian biarkan nilai dan kepercayaan tersebut menjadi panduan dalam

(18)

mengambil tindakan. Apabila telah diperoleh suatu tujuan yang jelas, maka sikap yang dimiliki juga bisa diprediksi.

6. Menepati janji Salah satu dari aspek kepercayaan (trust) adalah orang tersebut bisa diharapkan, tapi tepatilah setiap komitmen dan janji yang telah diucapkan. 7. Bersikap percaya diri Setiap orang akan mempercayai orang yang bijaksana dan bisa dipercaya. Apabila kita memberitahukan suatu rahasia kepada orang lain, maka orang lain juga akan meragukan kita, dan tidak akan memberitahu rahasianya kepada kita karena kita dianggap sebagai orang yang tidak bisa dipercaya.

8. Menunjukkan kompetensi Salah satu cara untuk meningkatkan kepercayaan (trust) adalah dengan membuat orang lain menghargai dan mengagumi kita. Sehingga kita harus mengembangkan kompetensi kita dalam hal komunikasi, negoisasi, dan kemampuan interpersonal lainnya. Johnson & Johnson (2000) mengemukakan bahwa ciri-ciri individu dengan level kepercayaan (trust) tinggi adalah cenderung lebih terbuka dalam mengekspresikan pikiran, perasaan, reaksi, pendapat, informasi, dan ide-ide yang dimilikinya. Sedangkan ciri-ciri individu dengan level kepercayaan (trust) yang rendah adalah cenderung melakukan penolakan dan tidak jujur dalam melakukan komunikasi dengan orang lain

2.2 Kepemimpinan

Kartini Kartono,(2008) Pemimpin adalah pribadi yang memiliki kecakapan khusus dengan atau tanpa pengangkatan resmi dapat mempengaruhi

(19)

kelomok yang dipimpinnya, untuk melakukan usaha bersama mengarah pada pencapaian sasaran – sasaran tertentu.

Menurut Henry Pratt Fairchild,(1960), pemimpin yang luas adalah seseorang yang memimpin, dengan jalan memprakarsi tingkah laku sosial dengan mengatur, menunjukan, mengorganisasikanatau mengontrol usaha (upaya) orang lain atau melalui prestise, kekuasaan atau posisi. Definisi lain dari kepemimpinn dikemukakan oleh Boone dan Kurtz,(2000) yang mengemukakan bahwa kpemimpinan adalah tindakan memotivasi orang lain atau menyebabkan orang lain melakukan tugas tertentu dengan tujuan untuk mencapai tujuan spesifik. Kepemimpinan adalah aspek yang paling nyata dari kegiatan management.

Wahjosumidjo,(1987) meyatakan, bahwa kepemimpinan adalah kemampuan seseorang mempengaruhi orang lain agar berfikir dan berperilaku dalam rangka perumusan dan pencapaian tujuan organisasi dalam situasi tertentu. Dalam mencapai tujuan atau visi dari suatu organisasi, dibutuhkan usaha untuk memengaruhi para anggotanya yang mendorong karyawannya Mardjiin Sjam , (1966) juga mengungkapkan bahwa Kepemimpinan adalah keseluruhan tindakan guna mempengaruhi serta menggiatkan orang dalam usaha bersama untuk mencapai tujuan, atau dengan definisi yang lebih lengkap dapat dikatakan bahwa Kepemimpinan adalah proses pemberian bimbingan atau pemimpinn tu tuladan dan pemberian jalan yang mudah (fasilitas) dari pada pekerjaan orang – orang yang terorganisir dalam organiasasi formal guna mencapai tujuan yang telah ditetepkan. hal ini dapat menjelaskan bahwa untuk menggerakan anggora ataupun karyawan dibutuhkan bimbingan yang memberikan arahan yang tepat

(20)

untuk mencapai tujuan dalam suatu organisasi perusahaan. Oleh karenanya kepemimpinan yang baik haruslah seseorang yang dapat memberikan pengaruh.

Hingga saat ini kepemimpinan masih menjadi topik yang menarik untuk selalu dibahas, pasalnya walaupun telah banyak teori ataupun kajian – kajian yang mengupas tentang pemimpin yang efektif menjadi pemimin bukan merupaan suatu hal yang mudah. Kepemimpinan merupakan tema yang popular, tanpa adanya pemimpin para karyawan tidak akan dapat bekerja dengan baik, karena fungsi pemimpin di sini diperlukan untuk mempengaruhi, memotivasi karyawan serta ikut serta dalam proses pengambilan keputusan. Kepemimpinan akan berkaitan dengan segala pengaturan sistematis dalam suatu perusahaan itu sebabnya manajemen seringkali disamakan dengan kepemimpinan. Abraham Zaleznik, (dalam Robbins, 2002) misalnya, berpendapat bahwa pemimpin dan manajemen sangat berbeda.

Mereka berbeda dalam motivasi, sejarah pribadi, dan cara berpikir serta bertindak. Zaleznik Abraham Zaleznik,(dalam Robbins, 2002) mengatakan bahwa manajer cenderung mengambil sikap impersonal dan pasif terhadap tujuan, sedangkan pemimpin mengambil sikap pribadi dan aktif terhadap tujuan. Sedangkan Kotter (dalam Robbins, 2002) menganggap baik kepemimpinan dan manajemen sama pentingnya bagi keefektifan organisasional yang optimal. Munandar,(2001) melihat kepemimpinan sendiri lebih berhubungan dengan efektivitas sedangkan manajemen lebih berhubungan dengan efisiensi. Kepemimpinan merupakan sesuatu yang penting bagi manajer. Para manajer

(21)

merupakan pemimpin (dalam organisasi mereka), sebaliknya pemimpin tidak perlu menjadi manajer.

Kepemimpinan merupakan tolak ukur dari keberhasilan dalam menentukan sikap kerja dan juga produktivitas yang optimal pada karyawan. Tanpa adanya pemimpin yang baik para karyawan tidak akan bisa bekerja dengan maksimal, karena fungsi pemimpin selain sebagai pengendali hubungan dalam kelompok. Dengan begitu pemimpin haruslah bisa mempengaruhi karyawannya untuk meningkatkan motivasinya dengan kinerja terbaik Kepemimpinan menurut Kartono dalam bukunya yang berjudul Pemimpin dan Kepemimpinan (2005), “Kepemimpinan adalah kemampuan dan keterampilan teknis serta sosial pemimpin dalam menerapkan teori-teori kepemimpinan pada praktek kehidupan serta organisasi melingkupi konsep-konsep pemikiran perilaku sehari-hari dan semua peralatan yang dipakainya.

Teknik kepemimpinan dapat juga dirumuskan sebagai cara bertindaknya pemimpin dengan bantuan alat-alat fisik dan macam-macam kemampuan psikis untuk mewujudkan kepemimpinannya.” Kepemimpinan melibatkan serangkaian teknik – teknik yang mempermudah pemimpin dalam menetapkan target tujuannya. Kepemimpinan menurut Robbins,(2001) menjelaskan bahwa kepemimpinan merupakan titik sentral dan penentu kebijakan dari kegiatan yang akan dilaksanakan dalam organisasi.” Bagaimanapun keadaanya pemimpin merupkan sosok yang memiliki keputusan dalam beragam kebijakan dalam organisasi perusahaan.

(22)

Menurut Slamet,(2002) mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan untuk memengaruhi suatu kelompok untuk mencapai tujuan. Kepemimpinan merupakan suatu kemampuan, proses, atau fungsi pada umumnya untuk memengaruhi orang-orang agar berbuat sesuatu dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Hal tersebut berkaitan dengan proses mempengaruhi dan penetapan kebijakan dengan beragam upaya untuk sampai pada tujuan.

Selain itu kepemimpinan membutuhkan keterampilan dalam hubungan interpersonal karena kemampuan meyakinkan orang lain merupakan salah satu tugas dari seorang pemimpin. Menurut Samsudin,(dalam kartobo 2006) menerangkan kepemimpinan adalah kemampuan meyakinkan dan menggerakkan orang lain agar mau bekerja sama di bawah kepemimpinannya sebagai suatu tim untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

Kepimimpinan secara luas menurut Robbins,(2002) yaitu sebagai kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok ke arah tercapainya tujuan. Menurut Siagian,(1995) kepemimpinan merupakan keterampilan dan kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain, melalui komunikasi baik langsung, maupun tidak langsung dengan maksud untuk menggerakan orang-orang tersebut agar dengan penuh pengertian dan kesadaran bersedia mengikuti kehendak-kehendak pemimpin tersebut.

Berdasarkan uraian tentang definisi kepemimpinan di atas, menurut Nitisemito,(dalam kartono,2008) dapat disimpulkan bahwa unsur kunci kepemimpinan adalah pengaruh yang dimiliki seseorang dan akibat pengaruh itu

(23)

bagi orang yang hendak dipengaruhi. Kemampuan mempengaruhi adalah yang dominan dari kepemimpinan, dan keberhasilan seorang pemimpin adalah bagaimana ia bisa memotivasi dan menginspirasi orang lain. Teori-teori kepemimpinan dengan demikian dapat diterapkan pada manajer. Dalam hal ini manajemen dapat kita anggap sebagai kepemimpinan dalam perusahaan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan merupakan sebuah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain atau kelompok dengan berbagai upaya strategi atau keterampilan untuk mencapai tujuan tertentu dalam mencapai keberhasilan organisasi.

Menurut Munandar,(2001) kepemimpinan merupakan pengertian yang meliputi segala macam situasi yang dinamis, yang berisi:

a. Seorang manajer sebagai pemimpin yang mempunyai wewenang untuk memimpin.

b. Bawahan yang dipimpin, yang membantu manajer sesuai dengan tugas mereka masing-masing.

c. Tujuan atau sasaran yang harus dicapai oleh manajer bersama-sama dengan bawahannya.

Efektifitas kepemimpinan biasanya dipertimbangkan dari segi tercapainya suatu tujuan. Orang memandang kepemimpinan itu efektif atau tidak efektif dari segi kepuasan yang diperoleh dari pengalaman pekerjaan seluruhnya. Penerimaan dari pengarahan atau perintah seorang pemimpin sebagian besar tergantung dari harapan para bawahannya, apabila mereka menanggapinya secara baik, maka

(24)

akan mendapatkan hasil yang menarik. Pemimpin yang baik harus memiliki empat macam kualitas yaitu kejujuran, pandangan ke depan, mengilhami pengikutnya, dan kompeten. Pemimpin yang tidak jujur tidak akan dipercaya dan akhirnya tidak mendapat dukungan dari pengikutnya. Pemimpin yang memiliki pandangan ke depan adalah pemimpin yang memiliki ke depan lebih baik. Pemimpin yang baik juga harus mampu mengilhami pengikutnya dengan penuh antusiasme dan optimisme. Pemimpin yang baik juga harus memiliki kompetensi dalam menjalankan tugas secara efektif, mengerti kekuatannya, dan menjadi pembelajar terus menerus Tampubolon, (dalam kartono 2008).

Selain itu, pemimpin yang efektif adalah yang 1. bersikap luwes,

2. sadar mengenai diri, kelompok, dan situasi,

3. memberi tahu bawahan tentang setiap persoalan dan bagaimana pemimpin pandai dan bijak menggunakan wewenangnya,

4. mahir menggunakan pengawasan umum di mana bawahan tersebut mampu menyelesaikan pekerjaan dalam batas waktu yang ditentukan,

5. selalu ingat masalah mendesak, baik keefektifan jangka panjang secara individual maupun kelompok sebelum bertindak,

6. memastikan bahwa keputuan yang dibuat sesuai dan tepat waktu baik secara individu maupun kelompok,

7. selalu mudah ditemukan bila bawahan ingin membicarakan masalah dan pemimpin menunjukan minat dalam setiap gagasannya,

(25)

8. menepati janji yang diberikan kepada bawahan, cepat menangani keluhan, dan memberikan jawaban secara sungguh-sungguh dan tidak berbelit-belit serta

9. memberikan petunjuk dan jalan keluar tentang metode/mekanisme pekerjaan dengan cukup, meningkatkan keamanan dan menghindari kesalahan seminimal mungkin.

2.2.1 Teori Kepemimpinan

Teori kepemimpinan merupakan satu penggeneralisasian dari perilaku pemimpin dan konsep- konsep kepemimpinannya dengan menonjolkan latar belakang historis, sebab musabab, timbulnya kepemimpinannya, persyaratan menjadi pemimpin, sifat – sifat utma pemimpin, tugas – tugas pokok dan fungsinya serta profesi kepemimpinan.(Kartini Kartono,2008)

Teori kepemimpinan merupakan pembahasan mengenai bagaimana seseorang menjadi pemimpin, atau bagaimana timbulnya seorang pemimpin. Teori-teori kepemimpinan menurut Thoha,(2003) yaitu :

1. Teori Sifat

Dalam teori ini menjelaskan bahwa dalam kepemimpinan tidak ada korelasi antara sebab dan akibat dalam keberhasilan pemimpin, pendapat itu dikemukakan oleh Keith Davis yang menyimpulkan ada empat sifat umum yang berpengaruh terhadap keberhasilan kepemimpinan organisasi, yaitu :

a. Kecerdasan, Kecerdasan ini menerangkan bahwa pemimpin memiliki tingkat kecerdasan yang lebih tinggi bila dibandingkn oleh yang dipimpin.

(26)

Namun demikian pemimpin tidak bisa melampaui terlalu banyak dari kecerdasan pengikutnya

b. Kedewasaan dan keleluasaan hubungan social, Seorang pemimpin memiliki emosi yang stabil sehingga memiliki kecenderungan menjadi lebih matang, serta mempunyai perhatian yang luas terhadap aktivitas-aktivitas social. Dia mempunyai keinginan menghargai dan dihargai

c. Motivasi dan dorongan prestasi, para pemimpin memiliki orientasi untuk berprestasi sehingga pemimpin memiliki dorongan motivasi yang kuat untuk terus mencapai kepuasan prestasi. Mereka berusaha mendapatkan penghargaan yang instrinsik dibandingkan dari yang ekstrinsik.

d. Sikap - sikap hubungan kemanusiaan, para pemimpin yang berhasil mau mengakui harga diri dan kehormatan para pengikutnya dan mampu berpihak kepadanya, dalam istilah penelitian Universitas Ohio, pemimpin itu mempunyai perhatian, dan kalau mengikuti istilah penemuan Michigan, pemimpin itu berorientasi pada karyawan bukan berorientasi pada produksi.

2. Teori kelompok

Teori ini beranggapan bahwa, supaya kelompok bisa mencapai tujuannya, maka harus terdapat suatu pertukaran yang positif di antara pemimpin dan pengikut-pengikutnya. Teori kelompok ini dasar perkembangannya pada psikologi sosial. Thoha, (2003)

(27)

3. Teori Situasional

Dalam teori ini menyatakan bahwa beberapa variable situasional mempunyai pengaruh terhadap peranan kepemimpinan, kecakapan, dan pelakunya termasuk pelaksanaan kerja dan kepuasan para pengikutnya. Beberapa variable situasional diidentifikasikan, tetapi tidak semua ditarik oleh situasional ini. (Thoha, 2003).

4. Teori kepemimpinan kontijensi

Model kepemimpinan yang dikemukakan oleh Fielder sebagai hasil pengujian hipotesa yang telah dirumuskan dari penelitiannya terdahulu. Model ini berisi tentang hubungan antara gaya kepemimpinan dengan situasi yang menyenangkan dalam hubungannya dengan dimensi-dimensi empiris berikut ini (Thoha, 2003) :

a. Hubungan pimpinan anggota, variable ini sebagai hal yang paling menentukan dalam menciptakan situasi yang menyenangkan.

b. Derajat dari struktur tugas. Dimensi ini merupakan urutan kedua dalam menciptakan situasi yang menyenangkan.

c. Posisi kekuasaan pemimpin yang dicapai lewat otoritas formal. Dimensi ini merupakan urutan ketiga dalam menciptakan situasi yang menyenangkan.

5. Teori jalan tujuan (Path-Goal theory)

Teori path-goal dipergunakan untuk menganalisis dan menjelaskan pengaruh perilaku pemimpin terhadap motivasi, kepuasan, dan pelaksanaan kerja bawahan. Ada dua factor situasional yang telah diidentifikasikan yaitu sifat

(28)

personal para bawahan, dan tekanan lingkungan dengan tuntutan-tuntutan yang dihadapi oleh para bawahan. Untuk situasi pertama teori pathgoal memberikan penilaian bahwa perilaku pemimpin akan bias diterima oleh bawahan jika para bawahan melihat perilaku tersebut merupakan sumber yang segera bisa memberikan kepuasan, atau sebagai suatu instrument bagi kepuasan masa depan. Adapun factor situasional kedua, path-goal, menyatakan bahwa perilaku pemimpin akan bias menjadi factor motivasi terhadap para bawahan, yang diperlukan untuk mengefektifkan pelaksanaan kerja (Thoha, 2003).

2.2.2 Gaya kepemimpinan

Dalam mensukseskan kepemimpinan dalam organisasi, pemimpin perlu memikirkan dan memperlihatkan gaya kepemimpinan yang akan diterapkan kepada pegawainya (Mulyadi dan Rivai, 2009). Stoner dkk,(1995) memberikan definisi tentang gaya kepemimpinan yaitu berbagai pola tingkah laku yang disukai oleh pemimpin dalam proses mengarahkan dan mempengaruhi pekerja. Paul Hersey dan K. H Blanchard, 1982(dalam Marcian 2008) menyebutkan gaya kepemimpinan adalah pola perilaku yang dilakukan oleh seseorang pada waktu tertentu dan berupaya mempengaruhi aktivitas orang lain.

Menurut Umar ,(2004) gaya kepemimpinan adalah suatu cara atau teknik seseorang dalam menjalankan suatu kepemimpinan dan dapat pula diartikan sebagai norma perilaku yang digunakan seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia lihat, dalam hal ini usaha menselaraskan persepsi diantara orang yang akan mempengaruhi perilaku

(29)

dengan yang akan dipengaruhi menjadi amat penting. Gaya atau cara/norma perilaku yang dipergunakan oleh sesorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia inginkan. Menurut Thoha,(2003) disebut gaya kepemimpinan. gaya kepemimpinan yaitu pola perilaku dan strategi yang disukai dan sering diterapkan pemimpin, dengan menyatukan tujuan atau sasaran yang telah menjadi komitmen bersama (Abdilah, 2011).

Gaya kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai pola tingkah laku yang dirancang untuk mengintegrasikan tujuan organisasi dengan tujuan individu untuk mencapai suatu tujuan tertentu (Heidjrachman dan Husnan, 2002). Setiap pemimpin bisa mempunyai gaya kepemimpinan yang berbeda antara yang satu dengan yang lain, dan tidak mesti suatu gaya kepemimpinan lebih baik atau lebih jelek dari pada gaya kepemimpinan yang lainnya. Gaya kepemimpinan adalah suatu cara yang digunakan pemimpin dalam berinteraksi dengan bawahannya (Tjiptono, 2001). Pendapat lain menyebutkan bahwa gaya kepemimpinan adalah pola tingkah laku (kata-kata dan tindakan-tindakan) dari seorang pemimpin yang dirasakan oleh orang lain (Hersey, 2004).

Jadi dari hasil definisi gaya kepemimpinan diatas, dapat diketahui bahwa gaya kepemimpinan itu didasarkan pada situasi dan kondisi, karena pemimpin yang berhasil adalah pemimpin yang mampu mengadaptasikan gayanya agar sesuai dengan situasi tertentu Heidjrachman dan Husnan,(2002). Pada saat menjelaskan tugas-tugas kelompok maka ia harus bergaya direktif, pada saat menunjukkan hal-hal yang dapat menarik minat anggotanya maka ia harus

(30)

bergaya konsultatif, untuk merumuskan tujuan kelompok ia bergaya partisipatif sedangkan pada saat bawahan telah mampu dan berpengalaman dalam menghadapi siatu tugas maka ia bergaya delegatif (Sugiyono, 2008).

2.2.3 Macam-macam gaya kepemimpinan

Menurut Lewin yang dikutip oleh Maman Ukas, (dalam kartono, 2008) mengemukakan gaya kepemimpinan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :

a. Otokratis, pemimpin yang demikian bekerja keras, bersungguh-sungguh, teliti dan tertib. Ia bekerja menurut peraturan yang berlaku dengan ketat dan intruksi-intruksinya harus ditaati.

b. Demokratis, pemimpin yang demokratis menganggap dirinya sebagai bagian dari kelompoknya dan bersama-sama dengan kelompoknya berusaha bertanggung jawab tentang pelaksanaan tujuannya dan bersifat terbuka. Agar setiap anggota turut serta dalam setiap kegiatan-kegiatan, perencanaan, penyelenggaraan, pengawasan dan penilaian. Setiap anggota dianggap sebagai potensi yang berharga dalam usaha pencapaian tujuan yang diinginkan.

c. Laissez faire, pemimpin yang bertipe demikian, segera setelah tujuan diterangkan pada bawahannya, untuk menyerahkan sepenuhnya pada para bawahannya untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Ia hanya akan menerima laporan-laporan hasilnya dengan tidak terlampau turut campur tangan atau tidak terlalu mau ambil inisiatif, semua pekerjaan itu tergantung pada inisiatif dan prakarsa dari para

(31)

bawahannya, sehingga dengan demikian dianggap cukup dapat memberikan kesempatan pada para bawahannya bekerja bebas tanpa kekangan.

Menurut White & Lippit Harbani,(2008) gaya kepemimpinan terdiri dari 3 macam yaitu :

1. Gaya kepemimpinan Otokratis

Dalam tipe ini, pemimpin menentukan sendiri “policy” dan dalam rencana untuk kelompoknya, membuat keputusan-keputusan sendiri namun mendapatkan tanggung jawab penuh. Bawahan harus patuh dan mengikuti perintahnya, jadi pemimpin tersebut menetukan atau mendiktekan aktivitas dari anggotanya. Pemimpin otokratis biasanya merasa bahwa mereka mengetahui apa yang mereka inginkan dan cenderung mengekspresikan kebutuhan-kebutuhan tersebut dalam bentuk perintah-perintah langsung kepada bawahan. Dalam kepemimpinan otokrasi terjadi adanya keketatan dalam pengawasan, sehingga sukar bagi bawahan dalam memuaskan kebutuhan egoistisnya.

A. Kelebihan dari gaya kepemimpinan adalah : 1) Keputusan dapat diambil secara tepat.

2) Tipe ini baik digunakan pada bawahan yang kurang disiplin, kurang inisiatif, bergantung pada atasan dan kurang kecakapan. 3) Pemusatan kekuasaan, tanggung jawab serta membuat keputusan

(32)

B. Kelemahannya adalah :

1) Dengan tidak diikutsertakannya bawahan dalam mengambil keputusan atau tindakan maka bawahan tersebut tidak dapat belajar mengenai hal tersebut.

2) Kurang mendorong inisiatif bawahan dan dapat mematikan inisiatif bawahannya tersebut.

3) Dapat menimbulkan rasa tidak puas dan tertekan.

4) Bawahan kurang mampu menerima tanggung jawab dan tergantung pada atasan saja.

2. Gaya kepemimpinan Demokrasi (Demokratis)

Dalam gaya ini pemimpin sering mengadakan konsultasi dengan mengikuti bawahannya dan aktif dalam menentukan rencana kerja yang berhubungan dengan kelompok. Disini pemimpin seperti moderator atau koordinator dan tidak memegang peranan seperti pada kepemimpinan otoriter. Partisipan digunakan dalam kondisi yang tepat akan menjadikan hal yang efektif. Maksudnya supaya dapat memberikan kesempatan pada bawahannya untuk mengisi atau memperoleh kebutuhan egoistisnya dan memotivasi bawahan dalam menyelesaikan tugasnya untuk meningkatkan produktivitasnya pada pemimpin demokratis, sering mendorong bawahan untuk ikut ambil bagian dalam hal tujuan-tujuan dan metode - metode serta menyokong ide-ide dan saran-saran. Disini pemimpin mencoba mengutamakan “human relation” (hubungan antar manusia) yang baik dan mengerjakan secara lancar.

(33)

A. Kelebihan dari gaya kepemimpinan ini adalah :

1) Memberikan kebebasan lebih besar kepada kelompok untuk megadakan kontrol terhadap supervisor.

2) Merasa lebih bertanggungjawab dalam menjalankan pekerjaan.

3) Produktivitas lebih tinggi dari apa yang diinginkan manajemen dengan catatan bila situasi memungkinkan.

4) Lebih matang dan bertanggung jawab terhadap status dan pangkat yang lebih tinggi.

B. Kelemahannya adalah :

1) Harus banyak membutuhkan koordinasi dan komunikasi.

2) Membutuhkan waktu yang relatif lama dalam mengambil keputusan. 3) Memberikan persyaratan tingkat “skilled” (kepandaian) yang relatif

tinggi bagi pimpinan.

4) Diperlukan adanya toleransi yang besar pada kedua belah pihak karena dapat menimbulkan perselisihan.

3. Gaya kepemimpinan Laissez Faire

Yaitu gaya kepemimpinan kendali bebas. Pendekatan ini bukan berarti tidak adanya sama sekali pimpinan. Gaya ini berasumsi bahwa suatu tugas disajikan kepada kelompok yang biasanya menentukan teknik-teknik mereka sendiri guna mencapai tujuan tersebut dalam rangka mencapai sasaran-sasaran dan kebijakan organisasi. Kepemimpinan pada tipe ini melaksanakan perannya atas dasar aktivitas kelompok dan pimpinan kurang mengadakan pengontrolan terhadap bawahannya. Pada

(34)

tipe ini pemimpin akan meletakkan tanggung jawab keputusan sepenuhnya kepada para bawahannya, pemimpin akan sedikit saja atau hampir tidak sama sekali memberikan pengarahan. Pemimpin pada gaya ini sifatnya positif dan seolah-olah tidak mampu memberikan pengaruh kepada bawahannya.

A. Kelebihan dari gaya kepemimpinan ini :

1) Ada kemungkinan bawahan dapat mengembangkan kemampuannya, daya kreativitasnya untuk memikirkan dan memecahkan persoalan serta mengembangkan rasa tanggung jawab.

2) Bawahan lebih bebas untuk menunjukkan persoalan yang ia anggap penting dan tidak bergantung pada atasan sehingga proses yang lebih cepat.

B. Kelemahannya adalah :

1) Bila bawahan terlalu bebas tanpa pengawasan, ada kemungkinan terjadi penyimpangan dari peraturan yang berlaku dari bawahan serta dapat mengakibatkan salah tindak dan memakan banyak waktu bila bawahan kurang pengalaman.

2) Pemimpin sering sibuk sendiri dengan tugas-tugas dan terpisah dari bawahan. Beberapa tidak membuat tujuan tanpa suatu peraturan tertentu.

3) Kelompok dapat mengkambing hitamkan sesuatu, kurang stabil, frustasi, dan merasa kurang aman.

(35)

2.3 Kerangka Berfikir

Pencapaian visi, misi dan target perusahaan ditentukan oleh pemimpin perusahaan karena pemimpin perusahaanlah yang memiliki wewenang untuk mengendalikan kayawan dan menentukan keputusan. Kepemimpinan menjadi tolak ukur dari keberhasilan dalam menentukan sikap kerja dan juga produktivitas. Sikap kerja atau gaya kepemimpinan inilah yang mempengaruhi karyawannya untuk lebih termotivasi dan memiliki kinerja yang optimal. Maka, komunikasi menjadi hal yang utama untuk meningkatkan kepercayaan pada karyawan, dengan komunikasi yang baik akan menghilangkan rasa kecurigaan dan menjauhkan timbulnya konfilik sehingga karyawan selalu memberikan kepercayaan kepada organisasi perusahaan.

2.4 Hipotesa Penelitian

Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Hipotesis alternative Hipotesis benar jika Hipotesis alternative (Ha) terbukti kebenarannya.

Ha : Terdapat hubungan antara gaya kepemimpinan dengan kepercayaan (Trust)

(36)

Referensi

Dokumen terkait

• TUJUAN HARUS LEBIH SPESIFIK/KONKRIT SESUAI DENGAN MASALAH PENELITIAN DIBANDINGKAN PERUMUSAN MASALAH YANG MASIH BERSIFAT ABSTRAK. • GUNAKAN KATA KERJA YANG HASILNYA DAPAT DIUKUR

Intervensi Integrated Neuromuscular Inhibition Technique (INIT) dan Infrared Lebih Baik Dalam Menurunkan Nyeri Myofascial Pain Syndrome Otot Upper Trapezius

Dalam penelitian ini angket digunakan untuk memperoleh data pokok dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan tertulis yang ditunjukkan kepada siswa yang menjadi sampel

Hal yang serupa ditemukan oleh Januarti (2008) yang menunjukkan bahwa opini audit sebelumnya berpengaruh signifikan terhadap penerimaan opini audit going concern,

(2006), “Analisis faktor psikologis konsumen yang mempengaruhi keputusan pembelian roti merek Citarasa di Surabaya”, skripsi S1 di jurusan Manajemen Perhotelan, Universitas

Alternatif teknologi pengelolaan limbah padat B3 yang dapat direkomendasikan anatara lain dengan pengadaaan bahan yang sesuai kebutuhan; melaksanakan house keeping yang lebih

Studi Kebutuhan Standardisasi Di Sektor Transportasi Dalam Rangka Peningkatan Keselamatan Transportasi, tahun 2006 Maksud studi ini adalah adanya suatu rencana induk

Sebuah masyarakat tidak akan lepas dari unsur kebudayaan, baik dari cerminan karakteristik dari masyarakat tersebut ataupun sebagai sebuah