• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN KERJASAMA INTERNASIONAL (INSTRUMEN INTERNASIONAL) DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATANNARKOTIKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PENGATURAN KERJASAMA INTERNASIONAL (INSTRUMEN INTERNASIONAL) DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATANNARKOTIKA"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

KEJAHATANNARKOTIKA

A. Aturan Multirateral tentang Kerjasama Penanggulangan Kejahatan Narkotika

Kerjasama multirateral diartikan sebagai perjanjian antar banyak pihak yang timbul dari adanya perjanjian internasional sebagai law making treaties atau traite-lois dimaksudkan perjanjian yang meletakkan ketentuan atau kaidah hukum bagi masyarakat internasional sebagai keseluruhan. Kerjasama lebih fokus pada perjanjian yang mengakibatkan hak dan kewajiban antar para pihak yang mengadakan perjanjian.44Perjanjian internasional dapat timbul dari perundingan (negotiation), penandatanganan (signature) dan pengesahan (ratification).45

Kejahatan merupakan salah satu bentuk dari perilaku menyimpang (deviant behavior) yang selalu ada dan melekat (inherent) dalam setiap bentukmasyarakat,

Hal inilah yang mendasari terjadinya kerjasama Internasional dalam penanggulangan kejahatan Narkotika terorganisir.

46

44

Mochtar Kusumaatmadja, Op.cit, hal. 122

45

Ibid, hal. 125 46

Goode, Erich, Deviant Behavior, (New Jersey: Prentice-Hall Inc., 1984), hal. 43

karena itu kejahatan merupakan fenomena sosial yang bersifat universal (a univerted social phenomenon) dalam kehidupan manusia, dan bahkan

(2)

dikatakan telah menjadi the oldest social problem of human kind.47

Salah satu wujud dari kejahatan trasnasional yang krusial karena menyangkut masa depan generasi suatu bangsa, terutama kalangan generasi muda negeri ini adalah kejahatan dibidang penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.

Selain memiliki dimensi lokal, nasional dan regional kejahatan juga dapat menjadi masalah internasional, karena seiring dengan kemajuan teknologi transportasi, informasi dan komunikasi yang canggih, modus operandi kejahatan masa kini dalam waktu yang singkat dan dengan mobilitas yang cepat dapat melintasi batas-batas negara (borderless countries). Inilah yang dikenal sebagai kejahatan yang berdimensi transnasional (transnational crime).

48

Modus operandi sindikat peredaran narkotika dengan mudah dapat menembus batas-batas negara di dunia melalui jaringan manajemen yang rapi dan teknologi yang canggih dan masuk ke Indonesia sebagai negara transit (transit-state) atau bahkan sebagai negara tujuan perdagangan narkotika secara ilegal (point of market-state). Dalam kurun waktu dua dasa warsa terakhir ini, Indonesia telah menjadi salah satu negara yang dijadikan pasar utama dari jaringan sindikat peredaran narkotika yang berdimensi internasional untuk tujuan-tujuan komersial.49

47 Ibid 48

Romli Atmasasmita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem Hukum Pidana

Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 45 49

I Nyoman Nurjana, Penanggulangan Kejahatan Narkotika: Eksekusi Hak Perspektif

Sosiologi Hukum, http///www.google.com, diakses tanggal 5 Desember 2013.

Hal ini disebabkan oleh faktor bahwa Negara Indonesia belum secara maksimal menerapkan pencegahan dan

(3)

penelusuran harta kekayaan hasil tindak pidana peredaran gelap Narkotika pada proses penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana Narkotika sehingga uang hasil kejahatan mudah untuk digunakan. Hal ini ditandai dengan masuknya negara Indonesia sebagai salah satu negara black list dan pencucian uang sebagai salah satu kategori serious crime. Desakan Internasional antara lain dari Financial Action Task Force (FATF)50 dimana sebelumnya (Juni 2001) Indonesia bersama 17 (tujuh belas) negara lainnya mendapat ancaman sanksi Internasional serta dimasukkan sebagai negara yang tidak kooperatif dalam memberantas pencucian uang (Non Cooperative Countries and Trytorries to Combat Money Laundering/NCCT).51

50

FATF adalah suatu badan Internasional di luar PBB yang anggotanya terdiri dari negara donor dan fungsinya sebagai satuan tugas dalam pemberantasan pencuciang uang.FATF ini sangat disegani selain karena keanggotaannya juga badan ini terbukti mempunyai suatu komitmen yang serius untuk memberantas pencucian uang. Keberadaan FATF berwibawa karena antara FATF dan OECD (Organization for Economic Cooperation Development) menjalin hubungan yang sangat baik terutama dalam hal tukar menukar informasi berkaitan dengan masalah korupsi dan pencucian uang pada negara-negara yang akan mendapatkan bantuan dana, dalam Yenti Garnasih, Tindak Pidana Pencucian

Uang sebagai fenomena “baru” di Indonesia dan permasalahannya, Makalah pada Seminar

Sosialisasi (Pemahaman Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang), diselenggarakan oleh Departemen Kehakiman RI, Medan 9 September 2004, hal. 1. Selanjutnya lihat, Zulkarnain Sitompul, Peran

PPATK Mencegah Dan Memberantas Pencucian Uang, Disampaikan pada acara Pelatihan Anti

Pencucian Uang diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara pada tanggal 15 September 2005 di Medan, bahwa Pada awal 1990an mulai didirikan Financial Intelligence Unit (FIU) sebagai jawaban terhadap kebutuhan akan keberadaan suatu lembaga atau intitusi yang bertugas menerima, menganalisis dan memproses laporan transaksi keuangan yang disampaikan oleh lembaga keuangan. Dalam dekade berikut jumlah FIU meningkat secara signifikan yang kemudian mendorong negara-negara mendirikan suatu organisasi informal dengan nama Egmont Group. Pada tahun 2003

Financial Action Task Force (FATF) mengeluarkan revisi rekomendasi yang untuk pertama kalinya

secara eksplisit merekomendasikan agar didirikan FIU untuk mencegah dan memberantas pencucian uang.Langkah ini kemudian diikuti oleh IMF dan Word Bank dengan memberikan bantuan tekhnis kepada negara-negara anggotanya dalam mendirikan FIU.

51 Ibid.

Tahun 1997 Indonesia telah meratifikasi United Convention Narcotic and Pschotropic Subsancess 1988, yang menyatakan bahwa negara yang telah meratifikasi harus segara melakukan upaya pemberantasan pencucian uang maka seharusnya Indonesia pada

(4)

waktu itu segera melakukan kriminalisasi pencucian uang.52

52

Ibid, bahwa pengaturan pencucian uang di Indonesia relatif baru dan sebagaimana diketahui

kriminalisasi pencucian uang ini sarat dengan nuansa politik dan dilakukan atas desakan Internasional. Konvensi 1988 dipandang sebagai puncak dari upaya Internasional untuk menetapkan suatu International Anti Money Laundering Legal Regime, dengan lahirnya United Nation Againts Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psyhotropic Substances atau lebih dikenal dengan nama UN Drug Convention tahun 1988, dimana Indonesia sudah menjadi anggota tetapi belum meratifikasinya. Pada tanggal 19 Desember 1988 lahir UN Convention Against Illicit Trafic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances di Wina, Australia. Ditanda tangani oleh 106 negara.

Berdasarkan indentifikasi jaringan peredaran narkotika di negara-negara Asia, Indonesia diperhitungkan sebagai pasar (market-state) yang paling prospektif secara komersial bagi sindikat internasioanl yang beroperasi di negara-negara sedang berkembang.Hal ini dapat digambarkan dalam jalur peredaran gelap jaringan Narkotika terorganisir antar Negara di dalam jaringan Golden Triangle. Hal ini dapat digambarkan dalam tabel dibawah ini:

(5)

Gambar 1: Rute Peredaran Gelap Heroin dari Segitiga Emas

Sumber data: Direktorat Tindak Pidana narkoba Mabes Polri 2014.

Kelompok bandar terbesar dalam distribusi heroin ini adalah dari Nigeria. Kelompok ini biasa disebut Nigerian Drugs Travellers. Sementara itu, untuk distribusi kokain, mafia Black African juga menguasai di jalur pasca produksi. Kokain yang dibawa dari Amerika Selatan, didistribusikan di Bangkok setelah transit di Eropa. Mereka juga yang membawa kokain itu ke Indonesia, untuk disampaikan ke pengedar-pengedar yang mayoritas orang Indonesia. Misalnya ke wilayah kota Medan masuk dari Negara Singapura dan Kuala Lumpur. Sedangkan jenis narkoba ganja yang memang produksi dalam negeri sepenuhnya dikuasai oleh bandar-bandar lokal, dari tingkat hulu sampai hilir. Jumlah pemakai narkoba di dunia hingga tahun 2009 sebanyak ± 200 juta orang.53

53

Anjan Pramuka Putra, Strategi Peningkatan Kerjasama Penanggulangan Kejahatan

Narkoba Internasional Guna Mengakselerasi Grand Strategi Polri Dalam Rangka Mewujudkan

(6)

jenis shabu, ecstassy dan marijuana internasional yang dikirim ke Indonesia melalui Jakarta dan di distribusikan ke seluruh wilayah termasuk kota Medan, digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2: Rute Peredaran Gelap Shabu, Ecstassy, Marijuana

Sumber data: Direktorat Tindak Pidana Narkoba Mabes Polri 2014.

Masalah penyalahgunaan narkotika dalam kurun waktu tiga dasa warsa terakhir ini bukan saja menjadi masalah nasional dan regional ASEAN tetapi juga menjadi masalah internasional. Karena itu, upaya penanggulangan masalah penyalahgunaan narkotika dalam negeri harus disinergikan dan diintegrasikan dengan kebijakan penanggulangan masalah narkotika melalui kerjasama regional maupun internasional.Kebijakan global penanggulangan kejahatan narkotika pada awalnya

Stabilitas Keamanan Nasional, Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, Sekolah

(7)

dituangkan dalam The United Nation's Single Convention on Narcotic Drugs 1961. Konvensi ini pada dasarnya dimaksudkan untuk54

1. Menciptakan satu konvensi internasional yang dapat diterima oleh negara-negara di dunia dan dapat mengganti peraturan mengenai pengawasan internasional terhadap penyalahgunaan narkotika yang terpisah-pisah di 8 bentuk perjanjian internasional;

:

2. Menyempurnakan cara-cara pengawasan peredaran narkotika dan membatasi penggunaannya khusus untuk kepentingan pengobatan dan pengembangan ilmu pengetahuan; dan

3. Menjamin adanya kerjasama internasional dalam pengawasan peredaran narkotika untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut diatas.

Konvensi PBB yang mengatur tentang pemberantasan gelap narkotika diatur dalam United Nations Convention Against Illicit Traffic In Narkotic Drugs and Psyhotropic Substance 1988. Pertimbangan lahirnya konvensi ini, didorong oleh rasa keprihatinan yang mendalam atas meningkatnya produksi, permintaan, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika serta kenyataan bahwa anak-anak dan remaja digunakan sebagai sasaran hasil produksi, distribusi dan perdagangan gelap narkotika, sehingga mendorong lahirnya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelapnarkotika tahun 1988. Konvensi tersebut secara keseluruhan berisi pokok-pokok pikiran, antara lain, sebagai berikut55

1. Masyarakat bangsa-bangsa dan negara-negara di dunia perlu memberikan perhatian dan prioritas utama atas masalah pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika;

:

2. Pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika merupakan masalah semua negara yang perlu ditangani secara bersama pula;

54 Ibid 55

Syaiful Bakhri, The Developments Of Fine Penalties In Criminal Law Of Indonesia, Rabu, 13 Juni 2012, http:///www.google.com, diakses tanggal 5 Desember 2013

(8)

3. Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961, Protokol 1972 Tentang Perubahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961, dan Konvensi Psikotropika 1971, perlu dipertegas dan disempurnakan sebagai sarana hukum untuk mencegah dan memberantas peredaran gelap narkotika dan psikotropika; dan

4. Perlunya memperkuat dan meningkatkan sarana hukum yang lebih efektif dalam rangka kerjasama internasional di bidang kriminal untuk memberantas organisasi kejahatan transnasional dalam kegiatan peredaran gelap narkotika dan psikotropika.

United Nations Convention Against Illicit Traffic In Narkotic Drugs and Psyhotropic Substance 1988, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kerjasama internasional yang lebih efektif terhadap berbagai aspek peredaran gelap narkotika. Untuk tujuan tersebut, para pihak akan menyelaraskan peraturan perundang-undangan dan prosedur administrasi masing-masing sesuai konvensi ini dengan tidak mengabaikan asas kesamaan kedaulatan, keutuhan wilayah Negara serta asas tidak mencampuri urusan yang pada hakikatnya merupakan masalah dalam negeri masing-masing. Tanpa mengabaikan prinsip-prinsip hukum masing-masing, tiap-tiap negara diharapkanakan mengambil tindakan yang perlu untuk menetapkan sebagai kejahatan setiap peredaran gelap narkotika dan psikotropika.56

Setiap pihak seyogyanya dapat menjamin bahwa lembaga peradilan dan pejabat berwenang lainnya yang mempunyai yurisdiksi dapat mempertimbangkan keadaan nyata yang menyebabkan kejahatan sebagaimana dimaksud dalam konvensi tersebut merupakan kejahatan serius, seperti57

56 Ibid 57 Ibid :

(9)

1. Keterlibatan di dalam kejahatan dari kelompok kejahatan terorganisasi yang pelakunya sebagai anggota;

2. Keterlibatan pelaku dalam kegiatan kejahatan lain yang terorganisasi secara internasional;

3. Keterlibatan dalam perbuatan melawan hukum lain yang dipermudah oleh dilakukannya kejahatan tersebut;

4. Penggunaan kekerasan atau senjata api oleh pelaku;

5. Kejahatan dilakukan oleh pegawai negeri dan kejahatan tersebut berkaitan dengan jabatannya;

6. Menjadikan anak-anak sebagai korban atau menggunakan anak-anak untuk melakukan kejahatan;

7. Kejahatan dilakukan di dalam atau di sekitar lembaga pemasyarakatan, lembaga pendidikan, lembaga pelayanan sosial, atau tempat-tempat lain anak sekolah atau pelajar berkumpul untuk melakukan kegiatan pendidikan, olahraga, dan kegiatan sosial;

8. Sebelum menjatuhkan sanksi pidana, khususnya pengulangan kejahatan serupa yang dilakukan, baik di dalam maupun di luar negeri sepanjang kejahatan tersebut dapat dijangkau oleh hukum nasional masing-masing pihak;

9. Kejahatan-kejahatan yang dimaksud dalam konvensi ini adalah jenis-jenis kejahatan yang menurut sistem hukum nasional negara pihak dianggap sebagai tindakan kejahatan yang dapat dituntut dan dipidana.

Konvensi PBB dalam United Nations Convention Against Illicit Traffic In Narkotic Drugs and Psyhotropic Substance. 1988 pada intinya mengatur beberapa ketentuan yang harus dipatuhi oleh negara-negara yang tunduk pada konvensi ini antara lain58

1. Yurisdiksi, negara terkait harus mengambil tindakan yurisdiksi terhadap berbagai kejahatan yang dilakukan oleh pelaku atau tersangka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi, baik terhadap kejahatan yang dilakukan di wilayah, di atas kapal atau di dalam pesawat udara Negara Pihak tersebut, baik yang dilakukan oleh warga negaranya maupun oleh orang yang bertempat tinggal di wilayah tersebut. Masing-masing Pihak harus mengambil juga tindakan apabila :

58 Ibid

(10)

diperlukan untuk menetapkan yurisdiksi atas kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), jika tersangka pelaku kejahatan berada di dalam wilayahnya dan tidak di ekstradisikan ke Pihak lain; 2. Perampasan, negara terkait dapat merampas narkotika dan

psikotropika, bahan-bahan serta peralatan lainnya yang merupakan hasil dari kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi. Lembaga peradilan atau pejabat yang berwenang dari negara terkait, berwenang untuk memeriksa atau menyita catatan bank, keuangan atau perdagangan. Petugas atau badan yang diharuskan menunjukkan catatan tersebut tidak dapat menolaknya dengan alasan kerahasiaan bank. Kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, seluruh kekayaan sebagai hasil kejahatan dapat dirampas. Apabila hasil kejahatan telah bercampur dengan kekayaan dari sumber yang sah, maka perampasan hanya dikenakan sebatas nilai taksiran hasil kejahatan yang telah tercampur. Namun demikian, perampasan tersebut baru dapat berlaku setelah diatur oleh hukum nasional negara terkait.Transformasi United Nations Convention Against Illicit Traffic In Narkotic Drugs and Psyhotropic Substance. 1988 ke dalam hukum nasional Indonesia yakni dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Narkotika yang selanjutnya di ubah dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika belum mengatur secara terperinci menyangkut perampasan narkotika dan psikotropika, bahan-bahan serta peralatan lainnya yang merupakan hasil dari kejahatan terutama Apabila hasil kejahatan telah bercampur dengan kekayaan dari sumber yang sah;

3. Bantuan Hukum Timbal balik, para negara terkait akan saling memberikan bantuan hukum timbal balik dalam penyidikan, penuntutan dan proses acara sidang yang berkaitan dengan kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi ini. Tranformasi menyangkut bantuan hukum timbal balik di dalam sistem hukum nasional Indonesia hanya memfokuskan dalam proses penyidikan tindak pidana terkait narkotika penyidik dapat melakukan kerjasama dengan Negara-negara lain untuk mengungkap jaringan narkotika terorganisir, namun menyangkut mekanisme dan teknis bantuan hukum timbal balik belum dirinci secara detail sebagaimana diamanahkan dalam National Central Bureau (NCB) dan International Crime Police Organization (ICPO).Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976, Undang-Undang Nomor5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang Nomor22 tahun 1997 tentang Narkotikaserta Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika secara khusus tidak mengatur mengenai tindak pidana narkotika yang dilakukan di luar batas teritorial Indonesia. Karena itu, instrumen hukum narkotika nasional tidak mampu menjangkau tindak pidana narkotika yang

(11)

bersifat transnasional. Bantuan hukum timbal balik dapat diminta untuk keperluan59

a. Mengambil alat bukti atau pernyataan dari orang; :

b. Memberikan pelayanan dokumen hukum; c. Melakukan penggeledahan dan penyitaan; d. Memeriksa benda dan lokasi;

e. Memberikan informasi dan alat bukti;

f. Memberikan dokumen asli atau salinan dokumen yang relevan yang disahkan dan catatannya, termasuk catatan-catatan bank, keuangan, perusahaan, atau perdagangan; atau

g. Mengidentifikasi atau melacak hasil kejahatan, kekayaan, perlengkapan atau benda lain untuk keperluan pembuktian.

Indonesia adalah salah satu negara yang turut menandatangani konvensi tersebut dan kemudian meratifikasinya melalui Undang-undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta protokol yang mengubahnya. Instrumen hukum yang kemudian diciptakan pemerintah Indonesia untuk menanggulangi kejahatan narkotika di dalam negeri adalah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 menjadi pengganti dari undang-undang tentang obat bius warisan pemerintah kolonial Belanda, yaitu Verdoovende Middelen Ordonantie 1927 (Stbl. 1927 No. 278 yo No. 536) yang mengatur peredaran, perdagangan, dan penggunaan obat bius.

Konvensi tunggal Narkotika 1961 (Single Convention on Narcotic Drugs, 1961) merupakan hasil dari United Nations Conference for the Adoption of a Single Convention on Narcotic Drugs yang diselenggarakan di New York dari tanggal 24 Januari sampai dengan tanggal 25 Maret 1961, dan yang dibuka untuk

59 Ibid

(12)

penandatanganan pada tanggal 30 Maret 1961. Konvensi ini bertujuan untuk: Pertama, menciptakan suatu konvensi internasional yang pada umumnya dapat diterima oleh negara-negara di dunia ini dan dapat mengganti peraturan-peraturan pengawasan internasional atas narkotika yang bercerai-berai di dalam 8 (delapan) buah perjanjian international. Kedua, menyempurnakan cara-cara pengawasan narkotika dan membatasi penggunaannya khusus untuk kepentingan pengobatan dan atau tujuan ilmu pengetahuan. Ketiga, menjamin adanya kerjasama internasional dalam pengawasan agar maksud dan tujuan tersebut dapat dicapai60

Konvensi tunggal 1961 ini berjalan selama 11 (sebelas) tahun yang kemudian dilakukan perubahan pada tanggal 6 Maret sampai dengan tanggal 24 Maret 1972 di Jenewa yang menghasilkan Protokol dan yang dibuka untuk penandatanganan pada tanggal 25 Maret 1972, termasuk oleh Indonesia

.

61

Dewan PBB telah membuat atau mengadakan konvensi mengenai pemberantasan peredaran psikotropika (convention on psycotropic subtances) yang diselenggarakan di Viena pada awal tahun 1971dengan 71 negara peserta dan 4 negara peninjau. Hal ini sebagai reaksi yang didorong oleh keprihatinan yang mendalam atas meningkatnya produksi, permintaan pasar, penyalahgunaan, dan peredaran narkoba secara ilegal, serta kenyataan bahwa anak-anak dan remaja yang paling banyak digunakan sebagai sasaran pasar, sehingga mendorong lahirnya konvensi PBB tentang pemberantasan peredaran narkotika ilegal pada tahun 1988.

.

60

I Nyoman Nurjana, loc.cit

61 Ibid

(13)

Transformasi yang dilakukan oleh Indonesia yakni meratifikasinya dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs And Psychotropic Substance, 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika,1988), dengan pertimbangan bahwa Pemerintah Republik Indonesia memandang perlu untuk bersama-sama dengan anggota masyarakat dunia lainnya aktif mengambil bagian dalam upaya memberantas peredaran gelap narkotika dan psikotropika, oleh karena itu telah menandatangani United Nations Convention Againts Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988) di Wina, Australia pada tanggal 17 Maret 1989 dan telah pula meratifikasi Konvensi Tunggal Narkotika 1961 dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 dan Konvensi Psikotropika 1971, dengan undang-undang Nomor 8 Tahun 1996, serta membentuk Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Saat ini Negara Indonesia telah melahirkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang secara tegas menguraikan beberapa perbuatan mulai dari mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam, menyimpan, mengedarkan, dan/atau menggunakan narkotika, yang jika dilakukan tanpa pengendalian dan pengawasan dari pihak yang berwenang, dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.

(14)

B. Aturan Regional tentang Kerjasama Penanggulangan Kejahatan Narkotika

Sidang khusus ke-17 pada bulan Februari 1990,PBB mencanangkan tahun 1991-2000 sebagai The United Nations Decade Against Drug Abuse dengan membentuk The United Nations Drug Control Programme (UNDCP).Badan ini secara khusus bertugas untuk melakukan koordinasi atas semua kegiatan internasional di bidang pengawasan peredaran narkotika di negara-negara anggota PBB. Dalam rangka penanggulangan kejahatan narkotika yang bersifat transnasional, PBB menyelenggarakan Kongres VIII tentang Prevention of Crime and the Treatment of Offenders pada tahun 1990 di Havana, Kuba. Resolusi ke-13 dari kongres ini menyatakan bahwa untuk menanggulangi kejahatan narkotika dilakukan antara lain: (a) meningkatkan kesadaran keluarga dan masyarakat terhadap bahaya narkotika melalui penyuluhan-penyuluhan dengan mengikutsertakan pihak sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan dalam pencegahan bahaya narkotika; (b) program pembinaan pelaku tindak pidana narkotika dengan memilah antara pelaku pemakai/pengguna narkotika (drug users) dan pelaku bukan pengguna (drug-dealers) melalui pendekatan medis, psikologis, psikiatris, maupun pendekatan hukum dalam rangka pencegahan62

Kebijakan penanggulangan penyalahgunaan narkotika di tingkat regional Asia Tenggara disepakati dalam ASEAN Drugs Experts Meeting on the Prevention and

.

62

(15)

Control of Drug Abuse yang diselenggarakan pada tahun 1972 di Manila, Filipina. Tindak lanjut dari pertemuan di atas adalah ASEAN Declaration of Principles to Combat the Abuse of Narcotic Drugs, yang ditanda tangani oleh para Menteri Luar Negeri negara-negara anggota ASEAN pada tahun 1976. Contoh kerjasama yang telah dilakukan ASEAN adalah dengan Republik Korea melalui pembangunan sistem informasi seaport dan airport interdiction di Indonesia, Kamboja, Vietnam dan Filipina. Di Indonesia sendiri pusat pengawasan seaport dan airport interdiction telah dibangun di kota Jakarta, Batam, Medan dan Denpasar. Selanjutnya daerah-daerah perbatasan di Indonesia yang memiliki tingkat kerawanan tinggi seperti Entikong juga akan memiliki fasilitas seperti ini.

Merujuk pada pertemuan para Menteri Luar Negeri ASEAN tahun 1976, telah menghasilkan Rencana Aksi ASEAN terhadap pengendalian penyalahgunaan narkotika dan disepakati untuk memfokuskan Rencana Aksi tersebut ke dalam empat bidang prioritas, yaitu : pendidikan pencegahan, terapi dan rehabilitasi, penegakan hukum, serta penelitian. Isi dari deklarasi regional ASEAN meliputi kegiatan-kegiatan bersama untuk meningkatkan63

1. Kesamaan cara pandang dan pendekatan serta strategi penanggulangan kejahatan narkotika;

:

2. Keseragaman peraturan perundang-undangan di bidang narkotika; 3. Membentuk badan koordinasi di tingkat nasional; dan

4. Kerja sama antar negara-negara ASEAN secara bilateral, regional, dan internasional.

63

Arman Depari, Kerjasama Internasional dalam Pemberantasan Narkotika, Naskah Akhir Strategi Perorangan, dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan kurikulum SESPATI Polri dalam rangka penyelesaian program pendidikan DIKREG-17/ T.P. 2009

(16)

Selanjutnya, untuk menindaklanjuti kesepakatan-kesepakatan tersebut, pada tahun 1984 telah dibentuk ASEAN Senior Officials on DrugsMatters (ASOD) dan satu Forum Kerjasama Kepolisian antar negara-negara ASEAN (ASEANAPOL) yang antara lain bertugas untuk menangani tindak pidana narkotika transnasional di wilayah ASEAN64. Selain iu, di tingkat negara-negara ASEAN juga dibentuk Narcotic Board dengan membentuk kelompok kerja penegakan hukum, rehabilitasi dan pembinaan, edukasi preventif dan informasi, serta kelompok kerja di bidang penelitian. Pada tahun 1992 dicetuskan Deklarasi Singapura dalam ASEAN Summit IV yang menegaskan kembali peningkatan kerjasama ASEAN dalam penegakan hukum terhadap kejahatan narkotika dan lalu-lintas perdagangan narkotika ilegal pada tingkatan nasional, regional, maupun internasional.Kendati demikian, kenyataan memperlihatkan bahwa kuantitas kejahatan di bidang penyalahgunaan narkotika terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan semakin meningkatnya aktifitas peredaran narkotika secara ilegal melalui jaringan sindikat internasional ke negara-negara sedang berkembang. Adapun pengaturan menyangkut kerjasama dalam penanggulangan peredaran gelap narkotika yang terorganisir sebagai kejahatan transnasionaltercantum dalam ASEAN Declaration on Transnational Crime, Manila, 20 December 1997 dengan uraian sebagai berikut:65

”the ASEAN Ministers of Interior/Home Affairs and Representatives of ASEAN Member Countries, participating in the first ASEAN Conference on

64

Indradi Thanos dalam konferensi pers pertemuan ASEAN Senior Officials on Drug Matters (ASOD) di Hotel Borobudur, Jakarta, 13 Oktober 2010

65 Ibid

(17)

Transnational Crime held in Manila on 18-20 December 1997; concernedabout the pernicious effects of transnational crime, such as terrorism, illicit drug trafficking, arms smuggling, money laundering, traffic in persons and piracy on regional stability and development, the maintenance of the rule of law and the welfare of the region's peoples;”

Pada awalnya Indonesia, Filipina, Thailand, Malaysia dan Papua New-Guinea, hanya dijadikan sebagai negara-negara persinggahan (transit states) oleh jaringan sindikat internasional untuk melakukan perdagangan gelap narkotika. Tetapi kemudian sejak akhir tahun 1993, wilayah Indonesia mulai dijadikan sebagai negara tujuan transit (point of transit) perdagangan narkotika ilegal ke Australia dan Amereka Serikat dari pusat produksi dan distribusi narkotika di wilayah segi tiga emas (the golden triangle) yang terletak didaerah perbatasan antara Thailand, Laos dan Kamboja66

International Criminal Police Organization (ICPO)Interpol Singapora dan Australia melaporkan bahwa antara tahun 1992-1993 dapat ditangkap pelaku pembuat dan pengedar narkotika sindikat internasional berkebangsaan asing setelah transit di Indonesia. Mereka mengakui bahwa petugas Bea Cukai di bandara Soekarno-Hatta Jakarta dan Ngurah Rai Bali dengan mudah dapat dikelabui sehingga lolos sampai di Australia.Dalam perkembangan selanjutnya, Indonesia tidak lagi dijadikan transit-state atau point of transit perdagangan narkotika trasnasional, tetapi juga telah

.

66

NCB Interpol Indonesia, Indonesia Pasar Potensial Sabu-Ekstasi, Publisitas Interpol, Senin, 27 September 2010

(18)

menjadi market yang sangat menguntungkan di wilayah Asia Tenggara,paling tidak karena 3 (tiga) alasan67

1. Instrumen hukum nasional yang mengatur tentang narkotika, yaitu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976, Undang-Undang Nomor5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor22 Tahun 1997 tentang Narkotikasecara khusus tidak mengatur mengenai tindak pidana narkotika yang dilakukan di luar batas teritorial Indonesia. Karena itu, instrumen hukum narkotika nasional tidak mampu menjangkau tindak pidana narkotika yang bersifat transnasional;

yaitu :

2. Secara normatif, ancaman sanksi pidana yang diatur dalam Undang-UndangNarkotika 1976 maupun Undang-Undang-UndangNarkotika 1997 sudah berat (mulai dari pidana penjara sampai pidana mati plus pidana denda secara kumulatif), tetapi kelemahan mendasar justru terjadi pada tingkatan implementasi atau penegakan hukumnya (law enforcement). 3. Sanksi pidana penjara dan denda yang diatur dalam Undang-Undang

Narkotika 1976 dan Undang-UndangNarkotika 1997 hanya mencantumkan ancaman pidana minimum khusus dan maksimum khusus terhadap jenis tindak pidana tertentu dan pada setiap obyek narkotika tertentu. Tetapi, tidak diatur mengenai ancaman pidana minimum umum dan maksimum umum, sehingga menimbulkan disparitas penjatuhan pidana (disparity of sentencing) dalam hal lamanya masa pidana (strafmaat) dan jenis pidananya (strafsoort) tanpa dasar pembenar yang jelas terhadap perkara-perkara pidana narkotika di pengadilan.

Berdasarkan uraian di atas, menyangkut sanksi pidana dan denda yang diatur dalam instrumen hukum nasional yakni undang-undang narkotika berimplikasi hukum dari adanya disparitas penjatuhan pidana ini dikaitkan dengan correction administration, karena salah satu tujuan penjatuhan pidana adalah agar orang menghormati hukum; jika terpidana yang satu mengetahui ada terpidana lain dijatuhi pidana yang lebih ringan dari dirinya, atau sebaliknya padahal perbuatan yang

67

(19)

dilakukan sama maka terpidana tersebut cenderung semakin tidak menghormati hukum. Akibatnya, tujuan dari penjatuhan pidana maupun perlindungan masyarakat untuk ketertiban dan keamanan juga menjadi tidak tercapai.Perbedaan mendasar Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika menyangkut pengenaan sanksi hukumnya lebih beratdibandingkan undang-undang lama, seperti seseorang mengetahui keluarganya ada yang memakai narkotika, namun tidak dilaporkan, maka yang bersangkutan akan dikenai hukuman 6 bulan penjara.Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika memuat ancaman hukuman bagi penyidik dan jaksa yang tidak menjalankan aturan setelah menyita barang bukti narkotika dan para penyalahguna narkotika yang dihukum penjara dan terbukti menjadi korban penyalahgunaan narkotika, wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial. Tempat ia menjalani rehabilitasi ditunjuk oleh pemerintah dan masa rehabilitasi dihitung sebagai masa hukuman. Narkoba jenis psikotropika yang selama ini masuk dalam golongan 1 dan 2 seperti shabu-shabu dan ekstasi, dijadikan narkotika golongan 1.

C. Aturan Bilteral tentang Kerjasama Penanggulangan Kejahatan Narkotika

Seiring dengan pesatnya perkembangan arus informasi dan teknologi, muncul pula tatanan kehidupan yang baru dalam berbagai dimensi.Transisi yang terjadi dari sistem bipolar ke sistem multipolar dunia kemudian menjadi salah satu yang mewarnai konstalasi kehidupan global.Ini disadari atau tidak telah membawa pengaruh yang sangat besar dalam hubungan yang terjalin antar Negara

(20)

kemudian.Namun perkembangan globalisasi tak selamanya membawa keuntungan tapi justru menjadi celah dan peluang yang dimanfaatkan untuk melakukan kejahatan transnasional dengan kemudahan yang ditawarkan oleh arus informasi, teknologi, dan transportasi yang bisa diperoleh dengan mudah.Beberapa faktor yang menunjang kompleksitas perkembangan kejahatan lintas batas negara antara lain adalah globalisasi, migrasi atau pergerakan manusia, serta perkembangan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang pesat. Keadaan ekonomi dan politik global yang tidak stabil juga berperan menambah kompleksitas tersebut.

Dampak sosial yang ditimbulkan pasca krisis multidimensional pada tahun 1997-1998 khususnya di Asia Tenggara ternyata juga menjadi factor pendorong munculnya masalah keamanan baru berupa kasi-aksi kejahatan transnasional atau melintasi batas Negara. Bentuk dan aksi kejahatan transnasional yang banyak terjadi khusunya di wilayah Asia Tenggara antara lain perdagangan atau penyelundupan manusia, baik perempuan dan anak-anak, narkotika dan obat-obatan terlarang, pembajakan kapal di perairan Asia Tenggara, money laudering, terorisme, serta perdagangan gelap persenjataan ringan.68

Kejahatan yang melintasi batas-batas Negara ini ternyata disadari memberikan ancaman bagi stabilitas suatu Negara dan kawasan bahkan dunia.Ini dianggap sebagai ancaman keamanan non-konvensional karena kejahatan transnasional dapat mengancam segala aspek kehidupan termasuk pembangunan kehidupan sosial

68

Mattalitti Abdurrachman, Kerjasama ASEAN dalam Menanggulangi Kejahatan Lintas

Negara, (Jakarta: Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Departemen Luar Negeri Republik

(21)

kemasyarakatan dalam sebuah Negara. Lantas dengan maraknya serangkaian kejahatan transnasional yang terjadi tidak serta merta sebuah Negara mampu menanganinya sendiri karena kejahatan seperti ini melibatkan lebih dari satu Negara yang memiliki regulasi dan aturan yang berbeda-beda dalam menangani kasus ini dalam hukum nasional masing-masing Negara sehingga butuh kerjasama yang efektif guna menanggulangi kejahatan transnasional, khususnya kerjasama bilateral antar dua Negara di tataran Negara-negara ASEAN.

Dalam pertemuan ke-2 ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime dio Yangoon, bulan Juni 1999 telah ditetapkan Rencana Aksi ASEAN untuk memerangi kejahatan transnasional. Dan dalam ASEAN Plan of Action to Combat Transnational Crimes (ASEAN-PACTC) tahun 2002 juga menyebutkan 8 jenis kejahatan lintas negara dalam lingkup kerjasama ASEAN yaitu: perdagangan gelap narkoba, perdagangan manusia, sea-piracy, penyelundupan senjata, pencucian uang, terorisme, international economic crime dan cyber crime. Sehingga untuk melihat bagaimana kerjasama yang telah dilakukan dalam dalam mengatasi kejahatan transnasional, maka penulis akan menguraikan satu persatu mengenai 6 jenis kejahatan transnasional berdasarkan ASEAN-PACTC.69

Asia Tenggara dikenal sebagai wilayah penghasil obat-obatan terlarang terbesar di dunia, atau bersama-sama dengan “Golden Crescent” (Afghanistan, Pakistan, dan Iran), dan Kolombia, melalui keberadaan segitiga emas di Perbatasan Thailand, Myanmar, dan Laos. Perlu diketahui bahwa Golden triangle merupakan

69 Ibid

(22)

penghasil 60% opium dan heroin dunia.Namun bukan hanya menjadi pemasok opium yang besar tapi dengan jumlah populasi Asia Tenggara yang cukup besar, maka Kawasan ini juga menjadi pasar yang sangat potensial.70

a. Pertukaran informasi melalui contact person/pegawai perhubungan Negara masing-masing.

Hal inilah yang mendasari perlunya kerjasama bilateral dengan Negara-negara yang rentan terjadinya peredaran gelap Narkotika. Adapun kerjasama bilateral yang telah dilakukan oleh Indonesia antara lainterjalinnya kerjasama secara bilateral seperti U.S Department of Justice Drug Enforcement Administration (DEA), AFP (Kepolisian Australia), PDRM (Kepolisian Malaysia) dan CNB (Badan Narkoba Singapura). Kerjasama yang meliputi Pertemuan/mesyuarat bilateral kelompok/kumpulan kerja ke – 5 Antara Dit iv/tp. Narkoba dan kt. Bareskrim polri DenganJabatan siasatan jenayah narkotik (jsjn) pdrmTanggal : 27 – 28 juli 2010Di bandung, Indonesia, menghasilkan kerjasama antar dua Negara yang meliputi:

b. Memberi kemudahan penyediaan Communication Data Record (CDR)/Telephone Billing dan kemudahan proses penyelidikan/penyiasatan dan peninjauan/lawatan ke Clandestine Lab yang berhasil diungkap/dibongkar.

c. Pengawasan lalu lintas/pengedaran Narkotika/Dadah (Interdiction) antara kedua Negara diperbatasan darat, dan khusus untuk di perairan (laut) JSJN dan Dit IV/TP. Narkoba dan KT. Bareskrim Polri diharapkan dapat memfasilitasi / koordinasi dengan Pasukan Gerakan Marine (PDRM) dan Dit Pol Air Babinka m Polri serta instansi

70 Ibid

(23)

pemerintah lainnya di kedua negara apabila ada kasus narkoba yang sedang ditanganinya.

d. Meneruskan dan meningkatkan kerjasama pertukaran informasi dan intelijen tentang DPO/orang yang dikehendaki kasus/kes Narkoba/Dadah dan sindiket Narkoba/Dadah West African.

Di samping itu terjalinnya kerjasama dengan Kepolisian Negara Asia Pasifik (HONLEA), kerjasama colombo plan, kerjasama dengan ICPO-Interpol dan INCB-PBB untuk melakukan tindakan pemberantasan kejahatan Narkoba terhadap pelaku sebagai warga negara dari negara yang tidak terikat kerjasama secara bilateral.

Gambar

Gambar 1: Rute Peredaran Gelap Heroin dari Segitiga Emas
Gambar 2: Rute Peredaran Gelap Shabu, Ecstassy, Marijuana

Referensi

Dokumen terkait

Promosi pertama kurang efektif karena masih trial and error , hal itu dikarenakan masih minimnya informasi tentang kota, jenis kelamin, serta umur dari masyarakat

litura dari kelompok pengujian larva instar kedua dan ketiga yang berhasil keluar dari pupa memiliki abnormalitas pada bagian sayap yakni kedua pasang sayapnya

STANDAR BIAYA KEMENTERIAN PERHUBUNGAN TAHUN 2014 ANALISA HARGA SATUAN PEKERJAAN KONSTRUKSI.. Upah

Sistem yang diusulkan dalam pembuatannya menggunakan bahasa pemrograman PHP dan database MySQL, yang disajikan dalam bentuk berbasis web.Dengan demikian, implementasi sistem

Tujuan studi kasus ini adalah melaksanakan asuhan keperawatan pada klien pneumonia dengan masalah gangguan prtukaran gas?. Desain penelitian ini menggunakan

Upaya Meningkatkan Hasil Belajar IPS Materi Lingkungan Alam dan Buatan Melalui Penggunaan Media Miniatur Lingkungan Alam dan Buatan Pada Siswa Kelas III Semester I SD Negeri

LAPORAN PENELITIAN PEMAKAIAN SARANA MULTIMEDIA SEBAGAI ..... ADLN Perpustakaan

Bank Permata Cabang Banjarmasin perlu lebih intensif mempromosikan PermataRancang Dana dengan menekankan manfaat utama dari produk tersebut yang akan membantu