• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kartono dan Gulo (dalam Safaria & Saputra, 2009:28) mendefinisikan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kartono dan Gulo (dalam Safaria & Saputra, 2009:28) mendefinisikan"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Stres Kerja 2.1.1 Pengertian

Kartono dan Gulo (dalam Safaria & Saputra, 2009:28) mendefinisikan stres sebagai berikut :

a. Suatu stimulus yang menegangkan kapasitas-kapasitas (daya) psikologis atau fisiologis organism.

b. Sejenis frustasi, dengan aktivitas yang terarah pada pencapaian tujuan telah terganggu atau dipersukar, tetapi tidak terhalang-halangi; peristiwa ini biasanya disertai oleh perasaan was-was khawatir dalam pencapaian tujuan. c. Kekuatan yang diterapkan pada suatu sistem; tekanan-tekanan fisik dan

psikologis yang dikenakan pada tubuh pribadi.

d. Suau kondisi ketegangan fisik atau psikologis disebabkan oleh adanya persepsi ketakutan dan kecemasan.

Lazarus (dalam Lubis, 2009:17) membagi stres menjadi 2 macam :

a. Distress : stres yang mengganggu dan merupakan stres yang berintensitas

tinggi. Ciri-ciri : mudah marah, cepat tersinggung, sulit berkonsentrasi, sukar mengambil keputusan, pelupa, pemurung, tidak energik, selalu merasa cemas atau takut dan cepat bingung.

(2)

b. Eustress (stres baik) : stres yang tidak mengganggu dan memberikan

perasaan bersemangat. Sesungguhnya stres semacam ini ada pada setia manusia tanpa ada kecuali. Bahkan pada prinsipnya, setiap manusia membutuhkan stres sejens ini untuk menjaga keseimbangan jiwanya. Menurut Lazarus (dalam Lubis, 2009:17) stres merupakan bentuk interaksi antara individu dengan lingkungan, yang dinilai individu sebagai sesuatu yang membebani atau melampaui kemampuan yang dimilikinya, serta mengancam kesejahteraannya. Dengan kata lain stres merupakan fenomena individual dan menunjukkan respon individu terhadap tuntutan lingkungan. Jika seseorang / karyawan mengalami stres yang terlalu besar maka akan dapat menganggu kemampuan seseorang / karyawan tersebut untuk menghadapi lingkungannya dan pekerjaan yang akan dilakukannya.

Menurut Pandji Anoraga (2001:108), stres kerja adalah suatu bentuk tanggapan seseorang, baik fisik maupun mental terhadap suatu perubahan di lingkunganya yang dirasakan mengganggu dan mengakibatkan dirinya terancam.

Stres kerja merupakan perasaan tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaan. Stress kerja ini tampak dari simtom, antara lain emosi tidak stabil, perasaan tidak tenang, suka menyendiri, sulit tidur, merokok yang berlebihan, tidak bisa rileks, cemas, tegang, gugup, tekanan darah meningkat, dan mengalami gangguan pencernaan” (Anwar Prabu, 2008:157).

Dari beberapa pengertian diatas maka disimpulkan bahwa stres kerja merupakan kondisi tertekan secara fisik maupun psikologis yang dialami oleh karyawan dalam lingkungan pekerjaannya sehingga menimbulkan kecemasan.

(3)

Mengakibatkan gangguan secara psikis maupun fisiologis misalnya emosi tidak stabil, perasaan tidak tenang, suka menyendiri, terdapat ketidakpuasan hubungan kerja, perubahan pada produktivitas, ketidakhadiran dalam jadwal kerja, sulit tidur, merokok yang berlebihan, tidak bisa rileks, cemas, tegang, gugup, tekanan darah meningkat, dan mengalami gangguan pencernaan.

2.1.2 Faktor Penyebab Stres

Penyebab terjadinya stres pada individu (Gibbson, dkk dalam Siswanto, 2007:50 ) :

a. Lingkungan Fisik : suhu yang terlalu panas atau dingin, perubahan cuaca, cahaya yang terlalu terang/gelap, suara yang terlalu bising, polusi kepadatan penduduk.

b. Individu : Konflik yang berhubungan dengan peran dan tuntutan tanggung jawab yang dirasakan berat membuat seseorang menjadi tegang.

c. Kelompok : hubungan dengan teman, hubungan dengan atasan dan hubungan dengan bawahan.

d. Keorganisasian : kebijakan yang diambil perusahaan, struktur organisasi yang tidak sesuai, dan partisipasi para anggota yang rendah.

2.1.3 Faktor Penyebab Stres pada Pekerjaan

Faktor-faktor yang dapat menimbulkan stres di pekerjaan berdasarkan penelitian Hurrell, dkk (dalam Munandar, 2008: 381) yaitu:

(4)

1. Faktor Intrinsik dalam Pekerjaan Faktor intrinsik ini meliputi: a. Tuntutan fisik

Kondisi fisik kerja mempunyai pengaruh terhadap kondisi faal dan psikologis diri seorang tenaga kerja. Kondisi fisik dapat merupakan pembangkit stres (stressor), meliputi:

1) Bising

Bising selain dapat menimbulkan gangguan sementara atau tetap pada alat pendengaran, juga dapat merupakan sumber stres yang menyebabkan peningkatan dari kesiagaan dan ketidakkeseimbangan psikologis.

2) Paparan (exposure)

Paparan (exposure) terhadap bising berkaitan dengan rasa lelah, sakit kepala, lekas tersinggung, dan ketidakmampuan untuk berkonsentrasi. 3) Getaran (vibrasi)

Getaran merupakan sumber stres yang kuat yang menyebabkan peningkatan taraf catecholamine dan perubahan dari berfungsinya seseorang secara psikologikal dan neurological.

4) Hygiene

Lingkungan yang kotor dan tidak sehat merupakan pembangkit stres.

b. Tuntutan Tugas

Beban kerja yang berlebih dan beban kerja yang terlalu sedikit merupakan pembangkit stres, dimana beban kerja ‘kuantitatif’ timbul sebagai akibat dari tugas-tugas yang terlalu banyak/sedikit diberikan kepada

(5)

karyawan untuk diselesaikan pada waktu tertentu. Beban kerja berlebih/terlalu sedikit ‘kualitatif’, yaitu jika orang merasa tidak mampu untuk melakukan suatu tugas, atau tugas tidak menggunakan ketrampilan dan/atau potensi dari tenaga kerja. Di samping itu beban kerja berlebih kuantitatif dan kualitatif dapat menimbulkan kebutuhan untuk bekerja selama jumlah jam yang sangat banyak, yang merupakan sumber tambahan dari stres.

c. Peran Individu Dalam Organisasi

Konflik peran (role conflict) timbul jika karyawan mengalami adanya pertentangan antara tugas-tugas yang harus dilakukan dan antara tanggungjawab yang dimiliki, tugas-tugas yang harus dilakukan menurut pandangan karyawan bukan merupakan bagian dari pekerjaannya, tuntutan-tuntutan yang bertentangan dari atasan, rekan, bawahan, atau orang lain yang dinilai penting bagi dirinya, dan pertentangan dengan nilai-nilai dan keyakinan pribadinya sewaktu melakukan tugas pekerjaannya. Stres timbul karena ketidakcakapannya untuk memenuhi tuntutan-tuntutan dan berbagai harapan terhadap dirinya. Ambiguitas peran (role ambiguity) dirasakan jika seorang karyawan tidak memiliki cukup informasi untuk dapat melaksanakan tugasnya, atau tidak mengerti atau merealisasi harapan-harapan yang berkaitan dengan peran tertentu. Faktor-faktor yang dapat menimbulkan ketaksaan peran antara lain ketidakjelasan dari sasaran/tujuan kerja, kesamaran tentang tanggungjawab, ketidakjelasan tentang prosedur kerja,

(6)

kesamaran tentang apa yang diharapkan oleh orang lain, dan kurang adanya balikan atau ketidakpastian tentang unjuk kerja pekerjaan.

d. Pengembangan Karir

Pengembangan karir merupakan pembangkit stres potensial yang mencakup ketidakpastian pekerjaan, promosi berlebih, dan promosi yang kurang.

e. Hubungan dalam Pekerjaan

Hubungan yang baik antar anggota dari satu kelompok kerja dianggap sebagai faktor utama dalam kesehatan individu dan organisasi (Cooper dalam Munandar, 2008: 395). Hubungan kerja yang tidak baik terungkap dalam gejala-gejala adanya kepercayaan yang rendah, taraf pemberian support yang rendah, dan minat yang rendah dalam pemecahan masalah dalam organisasi. Ketidakpercayaan secara positif berhubungan dengan ambiguitas peran yang tinggi, yang mengarah ke komunikasi antar pribadi yang tidak sesuai antara para karyawan dan ketegangan psikologikal dalam bentuk kepuasan pekerjaan yang rendah, penurunan dari kondisi kesehatan, dan rasa diancam oleh atasan dan rekan-rekan sekerjanya (Kahn, dkk dalam Munandar, 2008: 395).

f. Struktur dan Iklim Organisasi

Bagaimana para tenaga kerja mempersepsikan kebudayaan, kebiasaan dan iklim dari organisasi adalah penting dalam memahami sumber-sumber stress potensial sebagai hasil dari beradanya mereka dalam organisasi. Faktor

(7)

stress yang ditemukenali dalam kategori ini terpusat pada sejauh mana tenaga kerja dapat terlibat atau berperan serta dan pada support sosial.

2. Faktor Ekstrinsik dalam Pekerjaan

Kategori pembangkit stres potensial ini mencakup segala unsur kehidupan seseorang yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa kehidupan dan kerja di dalam satu organisasi, dan dengan demikian memberikan tekanan pada individu. Isu-isu tentang keluarga, krisis kehidupan, kesulitan keuangan, keyakinan-keyakinan pribadi dan organisasi yang bertentangan, konflik antara tuntutan keluarga dan tuntutan perusahaan, semuanya dapat merupakan tekanan pada individu dalam pekerjaannya mempunyai dampak yang negatif pada kehidupan keluarga dan pribadi. Namun demikian, perlu diketahui bahwa peristiwa kehidupan pribadi dapat meringankan akibat dari pembangkit stres organisasi.

Menurut Munandar (2008: 391), stres ditentukan pula oleh ciri-ciri individu, sejauh mana melihat situasinya sebagai penuh stres. Tanggapan individu turut mempengaruhi apakah sumber stres/stresor itu menjadi stres atau tidak. Stresor yang sama bisa berakibat berbeda pada individu yang berbeda karena adanya perbedaan tangapan antar individu (individual differences) menurut Siswanto (2007: 52) meliputi:

a. Usia

Berhubungan dengan toleransi seseorang terhadap stres dan jenis stresor yang paling mengganggu. Usia dewasa biasanya lebih mampu mengontrol

(8)

stres dibanding dengan usia anak-anak dan usia lanjut. Dengan kata lain, orang dewasa biasanya mempunyai toleransi terhadap stresor yang lebih baik.

b. Jenis Kelamin

Wanita biasanya mempunyai daya tahan yang lebih baik terhadap stresor dibanding pria.

c. Pendidikan

Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, toleransi dan pengontrolan terhadap stresor biasanya lebih baik.

d. Tingkat Kesehatan

Orang yang sakit lebih mudah menderita akibat stres dibanding orang yang sehat.

e. Toleransi terhadap kedwiartian

Orang yang kaku dan memandang segala sesuatu sebagai hitam dan putih biasanya lebih mudah terkena stres dari pada orang yang bisa menerima adanya warna abu-abu dalam kehidupan.

f. Kepribadian

Orang tipe A cenderung akan lebih mudah terkena penyakit jantung dari pada tipe kepribadian B. Harga diri yang rendah juga cenderung membuat efek stres lebih besar dibanding orang yang mempunya harga diri tinggi. Handoko (2008: 203) membedakan dua tipe orang yang didasarkan pada reaksi terhadap situasi stres tersebut sebagai berikut: Orang tipe “A”, yakni mereka yang agresif dan kompetitif, menetapkan standar-standar

(9)

tinggi dan meletakkan diri mereka di bawah tekanan waktu yang konstan. Mereka bahkan masih giat di berbagai kegiatan, baik yang bersifat rekreatif maupun sosial kemasyarakatan. Mereka kurang menyadari bahwa berbagai stres yang dialami sebenarnya karena perbuatannya sendiri daripada lingkungan mereka, karena mereka merasakan tingkan stres yang konstan. Orang tipe “B”, yakni mereka lebih rileks dan tidak suka menghadapi masalah atau orang yang easy going. Mereka menerima situasi-situasi yang ada dan bekerja di dalamnya serta tidak senang bersaing.

2.1.4 Gejala Stres dalam Pekerjaan

Gibson, dkk (dalam Siswanto, 2007: 51) mengkategorikan gejala stres menjadi 5 kategori, yaitu :

 Subjektif

Akibat yang dirasakan secara pribadi, meliputi kegelisahan, agresi, kelesuan, depresi, kelelahan, kekecewaan, kehilangan kesabaran, harga diri rendah, perasaan terpencil.

 Perilaku

Akibat yang mudah dilihat karena berbentuk perilaku – perilaku tertentu, meliputi mudah terkena kecelakaan, penyalahgunaan obat, peledakan emosi, berperilaku impulsif, tertawa gelisah.

(10)

Akibat yang mempengaruhi proses berpikir, meliputi tidak mampu mengambil keputusan yang sehat, kurang dapat berkonsentrasi, tidak mampu memusatkan perhatian dalam jangka waktu yang lama, sanga peka terhadap kecaman dan mengalami rintangan mental.

 Fisiologis

Akibat-akibat yang berhubungan dengan fungsi atau kerja alat tubuh. yaitu tingkat gula darah meningkat, denyut jantung/tekanan darah naik, mulut menjadi kering, berkeringat, pupil mata membesar, sebentar-sebentar panas dingin.

 Keorganisasian

Akibat yang tampak dalam tempat kerja, meliputi absen, produktivitas rendah, mengasingkan diri dari teman sekerja, ketidakpuasan kerja, menurunnya keterikatan, dan loyalitas terhadap organisasi.

Akibat stres yang berkepanjangan adalah terjadinya kelelahan baik fisik maupun mental (burnout) yang pada akhirnya melahirkan berbagai macam keluhan/gangguan. Bila individu menggunakan jenis penyesuaian diri yang kurang tepat dalam menghadapi stresnya maka individu akan menjadi sakit. Sebaliknya, bila individu mampu menggunakan cara-cara penyesuaian diri yang sehat/baik/sesuai dengan stres yang dihadapi, meskipun stres itu tetap ada individu yang bersangkutan tetaplah dapat hidup secara sehat. Penyesuaian diri dalam menghadapi stres, dalam konsep kesehatan mental dikenal dengan istilah koping. (Siswanto, 2007: 59

(11)

2.1.5 Manajemen Stres

Stres dalam pekerjaaan dapat dicegah timbulnya dan dapat dihadapi tanpa memperoleh dampaknya yang negatif (Munandar, 2008: 401). Memanajemeni stres berarti berusaha mencegah timbulnya stres, meningkatkan ambang stres dari individu dan menampung akibat fisiologikal dari stres dengan tujuan untuk mencegah berkembangnya stres jangka pendek menjadi stres jangka panjang atau stres yang kronis. Hal yang perlu diusahakan adalah dapat dipertahankannya stres yang konstruktif dan dicegah serta diatasi stres yang kronis, yang bersifat negatif destruktif.

Pandangan interaktif mengatakan bahwa stres ditentukan oleh faktor-faktor di lingkungan dan faktor-faktor-faktor-faktor dari individunya (Munandar, 2008: 402). Dalam memanajemeni stres dapat diusahakan untuk:

1. Mengubah faktor-faktor di lingkungan supaya tidak menjadi sumber stres. 2. Mengubah faktor-faktor dalam individu agar:

a. ambang stres meningkat, tidak cepat merasakan situasi yang dihadapi sebagai penuh stres.

b. toleransi terhadap stres meningkat, dapat lebih lama bertahan dalam situasi yang penuh stres, tidak cepat menunjukkan akibat yang merusak dari stres pada badan. Dapat mempertahankan kesehatannya.

(12)

2.2 Burnout

2.2.1 Pengertian

Menurut Farber (1991 : 24) mendeskripsikan :

“burnout is a work related syndrome that stems from an individual's

perception of a significant discrepancy between effort (input) and reward (output) this perception being influenced by individual, organizational and social factors. It occurs most often in those who work face to face with troubled or needy clients and is typically marked by withdrawl from and cynicism toward client, emotional and physical exhaution and various psychological symptoms such as irritability, anxiety, sadness and lowered self esteem”

Freudenberger (dalam Farber,1991 : 4) menjelaskan burnout sebagai suatu keadaan lelah atau frustrasi yang disebabkan karena cara hidup atau hubungan yang gagal untuk mendapatkan apa yang diharapkan. Jenis individu yang seperti ini pada awalnya memiliki komitmen penuh dan berdedikasi tinggi kepada pekerjaannya.

Burnout merupakan sejenis stres yang banyak dialami oleh orang-orang

yang bekerja dalam pekerjaan – pekerjaan pelayanan terhadap manusia lainnya seperti perawatan kesehatan, pendidikan, kepolisian dan lain sebagainya. (Randall. S.S dan Susan E.J, 1999: 234)

Menurut Lubis (2009:58) Burnout adalah keadaan seorang di tempat kerja yang ditandai dengan menurunnya produktivitas karena stres di tempat kerja yang

(13)

Lau dan Shamy (dalam Isnovijanti, 2002: 12) menyimpulkan bahwa

burnout merupakan kombinasi kondisi fisik, mental dan kelelahan emosi yang

timbul dari pengaruh kumulatif stres yang berlangsung lama.

Cherniss (dalam Hariyadi 2006:38) menyatakan bahwa burnout merupakan perubahan sikap dan perilaku dalam bentuk reaksi menarik diri secara psikologis dari pekerjaan, misalnya menjaga jarak dan bersikap sinis terhadap klien, membolos, sering terlambat, dan keinginan pindah kerja.

Dari beberapa pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa burnout adalah kombinasi kondisi fisik, mental dan kelelahan emosi yang timbul dari pengaruh kumulatif stres yang berlangsung lama. Dan burnout paling sering terjadi pada mereka yang bekerja berhadapan langsung dengan klien/pelanggan.

Burnout biasanya ditandai dengan penarikan diri, menjaga jarak dan bersikap

sinis terhadap klien, mudah tersinggung berbagai, kesedihan kecemasan, dan menurunkan harga diri, membolos, sering terlambat, dan keinginan pindah kerja.

2.2.2 Simtom Burnout

Menurut Maslach (dalam lubis, 2009 : 58) ada 3 simtom dari burnout : a. Kelelahan Emosional (Emotional Exhaustion)

Perasaan seluruh energi habis digunakan, seseorang merasa kehabisan tenaga dan lelah secara fisik. Ketika seseorang mengalami kelelahan emosional seseorang mencoba mengurangi stres emosional terhadap orang lain dengan cara memisahkan diri dari orang lain. Mereka mulai menjaga jarak emosional dengan orang lain. Biasanya ditandai dengan perasaan

(14)

frustasi, mudah putus asa, sedih, mudah tersinggung dan marah tanpa alasan yang jelas.

b. Depersonalisasi (Depersonalization)

Diawali dengan sikap individu menjauh dari lingkungan sosial, apatis dan tidak peduli dengan lingkungannya. Seseorang dengan burnout melihat orang lain sebagai objek atau nomor. Mereka memperlakukan orang lain dengan kasar dan kritis

c. Pencapaian Pribadi (Personal Accomplishment)

Kondisi dimana seseorang merasa tidak mampu atau gagal dalam melaksanakan tugasnya, tidak merasa puas dengan hasil kerjanya sendiri, merasa tidak pernah melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk dirinya sendiri dan orang lain. Mereka akan mencoba mengurangi beban kerjanya dengan menghindari kerja, absen, mengerjakan sedikit mungkin, tidak mengerjakan tugas tertentu yang dianggap lebih berat dan memakan waktu lebih lama. Hasilnya adalah menurunnya kualitas dan kuantitas pekerjaan.

2.2.3 Penyebab Burnout

Sumber atau penyebab burnout menurut Cherniss, Maslach dan Sullivan (dalam Lubis, 2009:59) :

a. Faktor keterlibatan dengan pelanggan/masyarakat :

Keterlibatan langsung dengan objek kerja atau kliennya, dalam hal ini aparat kepolisian adalah masyarakat yang harus dilayani dan disertai

(15)

dengan masalah dalam berhubungan dengan objek kerja atau masyarakat, klien/pelanggan dapat menyebabkan burnout.

Klien/masyarakat yang dilayani beraneka ragam dengan karakter dan kebutuhan yang berbeda-beda. Sedangkan klien/masyarakat memiliki tuntutan pemenuhan pelayanan yang terlalu tinggi.

b. Faktor lingkungan kerja

Faktor ini berkaitan dengan beban kerja yang berlebihan, konflik peran, ambiguitas peran, dukungan sosial dari rekan kerja yang tidak memadai, dukungan sosial dari atasan tidak memadai, kontrol yang rendah terhadap pekerjaan, peraturan-peraturan yang kaku, dan kurangnya stimulasi dalam pekerjaan.

c. Faktor Individu

Faktor ini meliputi faktor demografik (jenis kelamin, latar belakang etnis, usia, status perkawinan, latar belakang pendidikan), karakteristik kepribadian (konsep diri rendah, kebutuhan dan motivasi diri terlalu besar, kemampuan yang rendah dalam mengendalikan emosi, locus of control eksternal, introvert)

d. Faktor sosial budaya

Faktor ini meliputi keseluruhan nilai yang dianut masyarakat umum berkaitan dengan profesi yang diambil. Bekerja melayani orang lain membutuhkan banyak energi karena harus bersikap sabar dan memahami orang lain yang sedang dalam keadaan menghadapi krisis, frustrasi, ketakutan, dan kesakitan (Freudenberger, dalam Hariyadi, 2006: 41)

(16)

Pemberi dan penerima pelayanan turut membentuk dan mengarahkan terjadinya hubungan yang melibatkan emosional, dan secara tidak disengaja dapat menyebabkan stres emosional karena keterlibatan antar mereka dapat memberikan penguatan positif atau kepuasan bagi kedua belah pihak, atau sebaliknya.

2.2.4 Akibat Burnout

Burnout adalah hilangnya minat dalam pekerjaan dan, dalam bentuk ekstrim, korban kelelahan benar-benar dapat menjadi tidak dapat bekerja. (Potter, 2005). Burnout tidak terjadi dalam waktu yang singkat. Ini adalah proses kumulatif, dimulai dengan tanda peringatan kecil yang ketika diabaikan, dapat berkembang menjadi kondisi yang serius, Potter (2005). Akibat yang ditimbulkan dari burnout :

2.2.4.1 Emosi Negatif

Sesekali perasaan frustrasi, kemarahan, depresi, ketidakpuasan kecemasan, dan adalah bagian normal dari hidup dan bekerja. Tetapi orang-orang yang terjebak dalam siklus kelelahan biasanya mengalami emosi negatif lebih sering sehingga menjadi kronis. Pada stadium lanjut kita melihat kecemasan, rasa bersalah dan ketakutan, kemudian depresi dan, dalam kasus ekstrim menjadi putus asa.

(17)

2.2.4.2 Frustasi

Ketika frustrasi berasal dari situasi pekerjaan, korban kelelahan banyak menyalahkan diri sendiri karena mereka menghubungkan rasa frustrasi mereka karena akibat dari kegagalan.

2.2.4.3 Depresi

Perasaan depresi merupakan kelelahan emosional dan spiritual di mana seseorang merasa bahwa kehabisan energi. Dapat menjadi masalah tersendiri, menyebabkan kesehatan yang buruk dan kinerja kerja terganggu.

2.2.4.4 Masalah Interpersonal

Emosional terkuras membuat interaksi dengan orang lebih sulit, baik dalam pekerjaan maupun di rumah. Ketika konflik tak terelakkan muncul, korban burnout cenderung bereaksi berlebihan dengan ledakan emosional. 2.2.4.5 Penarikan Emosional

Orang yang menderita Burnout cenderung menarik diri dari interaksi sosial. Menjadi menyendiri dan tidak dapat diakses oleh orang lain. Penarikan emosional adalah umum di antara orang dalam profesi pelayanan. Respon alami adalah tidak peduli pada perasaan klien. Dehumanisasi adalah bentuk lain dari penarikan diri emosional Banyak penderita Burnout mulai memikirkan klien mereka bukan sebagai manusia tapi juga objek.

(18)

2.2.4.6 Masalah Kesehatan

Sebagai akibat dari burnout mengakibatkan penurunan ketahanan fisik mereka. Mereka tampaknya berada dalam keadaan kronis ketegangan atau stres. Sehingga menimbulkan penyakit ringan, seperti pilek, sakit kepala, insomnia dan sakit punggung menjadi lebih sering.

2.2.4.7 Penurunan Kinerja

Energi yang sangat tinggi, kesehatan yang baik, dan antusiasme -semuanya habis karena burnout. Korban Burnout semakin sulit berkonsentrasi dan mengalami penurunan kualitas pekerjaan, absensi juga cenderung meningkat. Bahkan ketika secara fisik hadir, korban burnout sering absen dari pekerjaan. Masalah kesehatan, penyalahgunaan zat dan ketegangan interpersonal yang membuatnya sulit untuk memperpanjang diri di tempat kerja yang sama. Jadi itu hanya masalah waktu sampai ada penurunan substansial dalam kualitas kinerja, hasilnya adalah penurunan produktivitas.

Cherniss (dalam Hariyadi, 2006: 42) menyatakan bahwa gejala-gejala seseorang mengalami burnout adalah sebagai berikut :

(1) terdapat perasaan gagal di dalam diri, (2) cepat marah dan sering kesal,

(3) rasa bersalah dan menyalahkan, (4) keengganan dan ketidakberdayaan, (5) bersikap negatif dan menarik diri

(19)

(6) perasaan capek dan lelah setiap hari, (7) hilang perasaan positif terhadap klien,

(8) menunda kontak dengan klien, membatasi telepon dari klien (9) bersikap sinis terhadap klien dan acap kali menyalahkan klien, (10) sulit tidur sampai harus menggunakan obat penenang

(11) menghindari diskusi mengenai pekerjaan dengan teman kerja, (12) sering demam dan flu, sakit kepala dan gangguan pencernaan, (13) kaku dalam berpikir dan resisten terhadap perubahan,

(14) rasa curiga yang berlebihan; paranoid,

(15) konflik perkawinan dan keluarga yang berkepanjangan

2.3 Hubungan stres kerja dengan burnout

Freudenberger (dalam Hariyadi 2006:38) menyatakan bahwa seseorang dengan sikap antusias tinggi dan penuh semangat pada awal bekerja biasanya mempunyai idealisme yang tinggi pula. Namun, stres demi stres yang dialami terus menerus secara kronis menyebabkan orang tersebut mengalami perubahan motivasi, dan pada akhirnya mengalami burnout. Tuntutan pekerjaan dan segala peraturan yang ada didalam pekerjaan serta kondisi lingkungan pekerjaan menyebabkan kondisi semakin kompleks. Harapan-harapan mengenai kondisi dalam pekerjaannya yang tidak terpenuhi menyebabkan pekerjanya menjadi stres. Stres yang berlangsung secara terus-menerus kemudian dalam waktu yang lama mengakibatkan seseorang mengalami burnout.

(20)

Namun idealisme seorang karyawan bukanlah merupakan satu-satunya pemicu stres dalam pekerjaan. Faktor lingkungan, individu, sosial, organisasi juga mempengaruhi seseorang mengalami stres pada pekerjaan. Sehingga ketidakseimbangan kondisi kerja yang tidak mampu diatasi oleh pekerjanya juga mengakibatkan seseorang menjadi stres kerja yang apabila tidak bisa mengatasinya dan berlangsung dalam waktu yang lama mengakibatkan seseorang menjadi burnout.

Maslach (dalam Tita Isnovijanti, 2002:13) menyatakan bahwa profesi yang berkaitan dengan bidang pelayanan publik diindikasikan lebih rentan terhadap

burnout karena karakteristik sifat pekerjaannya Para pekerja sering menerima

umpan balik yang negatif dari masyarakat. Hal ini disebabkan oleh tuntutan masyarakat yang tinggi terhadap pelayanan sehingga pemberi layanan kesulitan untuk mencapai standar yang diinginkan oleh masyarakat. Seandainya mereka dapat memenuhi standar tersebut, masyarakat pada umumnya tidak memberi pujian, sebab masyarakat menganggap bahwa hal tersebut lumrah dan memang seharusnya seperti itu. Pada sebagian orang yang mampu mengatasi kondisi stres pada pekerjaannya tidak akan memiliki pengaruh besar mengenai bentuk pekerjaannya, namun bagi sebagian orang yang tidak mampu mengatasi stresnya dengan baik berbagai macam faktor dapat menjadi penyebab stres pada pekerjaannya. Kondisi seperti ini menimbulkan stres, dan apabila berlangsung secara terus – menerus maka akan mengakibatkan burnout pada pekerjanya.

(21)

2.4 Kerangka Pemikiran.

Kerangka Pemikiran yang dapat digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat dari gambar :

2.5 Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini :

Ho : Tidak ada hubungan antara stress kerja dengan burnout pada anggota

Sub Dit Dalmas Sat Sabhara Polda Metro Jaya

H1: Ada hubungan antara stres kerja dengan burnout pada anggota Sub Dit

Dalmas Sat Sabhara Polda Metro Jaya

STRES KERJA

(x)

BURNOUT

(y)

Faktor Stres Kerja :

a.Intrinsik b.Peran Individu Dalam Organisasi c.Pengembangan Karier d.Hubungan Dalam Pekerjaan e.Ekstrinsik Pekerjaan Tuntutan Fisik Tuntutan Tugas Konflik Peran Ketaksaan Peran Kepastian Pekerjaan Kepincangan Status Hubungan antar tenaga Kerja

Akibat dari Burnout : - Emosi Negatif

- Frustasi Depresi Masalah - Interpersonal Penarikan - Emosional

- Masalah Kesehatan - Penurunan Kinerja

Referensi

Dokumen terkait

Tingginya tuntutan akan penyelenggaraan pelayanan di ruang IGD sering memicu stres kerja pada karyawan/staf yang bertugas di ruang tersebut, kondisi ini juga

lain tingginya populasi Bifidobacterium bifidum pada starter yang digunakan dan tingginya kandungan total bahan padat pada adonan es krim seperti kandungan gula , protein dan lemak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh diazinon (pestisida) terhadap tingkat keberhasilan larva yang terbentuk dan waktu dari setiap tahap perkembangan

Bank sentral Eropa (ECB) sudah melakukan pembelian surat berharga (obligasi) sebesar EUR60miliar per bulan sejak Maret 2015 dan mempertahankan suku bunga deposito

• Jika pengalamannya serupa, NB tumbuh lebih cepat, karena: transfer teknologi (meniru; Makin terlambat makin cepat menggandakan output); Akumulasi faktor produksi (MPK makin

khususnya meliputi banyak faktor, antara lain: masih sulitnya akses bantuan hukum bagi masyarakat Sum Sel karena masih kurangnya pengetahuan mengenai bantuan

Menurut penelitian (Hendrata, 2018)Dividend Payout Ratio mempengaruhi Return saham secara positif, yang artinya semakin tinggi rasio pembayaran dividen (dividend payout ratio)

Berdasarkan gambar di atas dapat diketahui bahwa hasil aktivitas disiplin siswa dalam pembelajaran matematika melalui model pembelajaran langsung menggunakan media tirai pecahan