• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA. pemukiman umumnya merupakan sampah organik yang cepat lapuk (garbage),

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA. pemukiman umumnya merupakan sampah organik yang cepat lapuk (garbage),"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Sampah

Sampah (waste) pada dasarnya adalah zat-zat atau benda-benda yang sudah tidak terpakai lagi, baik berupa buangan domestik (rumah tangga) maupun buangan pabrik sebagai sisa proses industri. Sampah yang berasal dari daerah pemukiman umumnya merupakan sampah organik yang cepat lapuk (garbage), yaitu sisa sayuran, nasi basi, berbagai jenis kertas, daun, air larutan deterjen bekas cucian, tinja (faeces), dan urin. Sampah industri umumnya merupakan sampah organik yang lambat lapuk (rubish), misalnya limbah pabrik berupa kertas karton, ampas, limbah sisa gergajian dan serpihan kayu, serbuk besi dan logam lainnya, karton, plastik, kaca, mika, dan sebagainya. Secara kimiawi, sampah-sampah tersebut dibedakan sebagai sampah organik dan sampah anorganik (Kastaman dan Kramadibrata, 2007).

2.1.1 Timbulan Sampah

Peningkatan jumlah penduduk merupakan faktor penting yang menyebabkan meningkatnya volume sampah perkotaan dari waktu ke waktu. Meskipun terdapat perbedaan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi sampah perkotaan, banyak peneliti sepakat bahwa jumlah penduduk merupakan faktor dominan dan menentukan. Hal tersebut sangat logis mengingat semakin banyak jumlah penduduk maka volume sampah juga semakin meningkat akibat peningkatan produksi dan konsumsi.

Sumber sampah utama dari suatu kota adalah perumahan, pasar, industri, serta jalan-jalan dan tempat umum/tempat rekreasi. Sampah sebagian besar terdiri dari bahan organik, kertas, logam, kaca, dan plastik. Komposisi sampah yang

(2)

9 berasal dari industri berbeda dengan komposisi sampah yang berasal dari perumahan. Sampah yang berasal dari perumahan mempunyai jumlah zat organik yang jauh lebih besar. Kastaman dan Kramadibrata (2007) menjelaskan bahwa sampah dapat berasal dari berbagai sumber. Jenis sampah berdasarkan penggolongan tersebut :

a. Sampah rumah tangga, umumnya terdiri atas sampah organik dan sampah anorganik yang ditimbulkan dari aktivitas rumah tangga, seperti buangan dari dapur, debu, buangan taman, alat-alat rumah tangga, tang sudah usang, dan lain-lain.

b. Sampah dari daerah komersial, yaitu sampah yang dihasilkan dari pertokoan, restoran, pasar perkantoran, hotel, dan lain-lain. Biasanya terdiri atas bahan-bahan pembungkus sisa-sisa makanan, kertas dari perkantoran, dan lain-lain. c. Sampah dari institusi, berasal dari sekolahan, rumah sakit, dan pusat

pemerintahan. Khusus sampah yang berasal dari rumah sakit merupakan aspek penting untuk diperhatikan karena sampah tersebut mengandung kuman penyakit yang dapat membahayakan kesehatan, sehingga perlu dilakukan penanganan lebih lanjut sebelum di buang ke TPA.

d. Sampah dari sisa-sisa konstruksi bangunan, yaitu sampah yang berasal dari sisa-sisa pengembangan bangunan, perbaikan jalan, pembongkaran jalan, jembatan, dan lain-lain.

e. Sampah dari fasilitas umum, berasal dari taman umum, pantai, tempat rekreasi, dan lain-lain.

f. Sampah dari hasil pengelolaan air buangan serta sisa-sisa pembakaran (insinerator).

(3)

10 g. Sampah industri, berasal dari proses produksi industri. Mulai dari pengolahan

bahan baku, sampai dengan hasil produksi.

h. Sampah pertanian, berasal dari sisa-sisa pertanian yang tidak dapat dimanfaatkan lagi.

Menurut Apriadji (2002) sampah digolongkan ke dalam empat kelompok. Penggolongan tersebut antara lain meliputi : (1) human excreta, merupakan bahan buangan yang dikeluarkan dari tubuh manusia, meliputi tinja (feces) dan air kencing (urine), (2) sewage, merupakan air limbah yang dibuang oleh pabrik maupun rumah tangga, (3) refuse, merupakan bahan sisa proses produksi atau hasil sampingan kegiatan rumah tangga, dan (4) industrial waste, merupakan bahan-bahan buangan dari sisa proses industri.

2.1.2 Tempat Pembuangan Akhir Sampah

Sutjahjo et al. (2007) menyatakan bahwa pengelolaan sampah di Indonesia merupakan issue nasional, terutama di kota-kota besar, yang sampai saat ini masih belum terpecahkan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : (1) ketersediaan lahan yang terbatas dan tidak seimbang dengan peningkatan volume timbunan sampah, (2) pemerintah belum mempunyai sistem perencanaan pengelolaan sampah yang professional. Hal tersebut tercermin pada rencana umum tata ruang perkotaan di Indonesia yang belum memasukkan secara rinci rencana lokasi TPA sampah, (3) partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah masih rendah dan, (4) belum tersedia teknologi tepat guna untuk kondisi di Indonesia dalam mengolah sampah menjadi bahan bernilai tambah.

(4)

11 2.1.2.1 Tempat Pembuangan Akhir Sampah sebagai Barang Publik

Penyediaan barang dan jasa dalam setiap sistem perekonomian, tidak semuanya dapat disediakan oleh sistem pasar. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya kegagalan pasar. Beberapa jenis barang atau pelayanan sangat dibutuhkan oleh masyarakat tetapi pasar tidak mampu menyediakannya sehingga harus ada campur tangan dari pemerintah. Mangkoesoebroto (2000) menjelaskan bahwa barang publik merupakan barang yang tidak dapat disediakan oleh sistem pasar. Sistem pasar tidak dapat menyediakan barang atau jasa tetentu karena manfaat dari adanya barang tersebut tidak hanya dirasakan secara pribadi akan tetapi dinikmati juga oleh orang lain. Barang atau jasa tersebut tidak mempunyai sifat pengecualian, yaitu pengecualian oleh orang yang memiliki suatu barang terhadap orang lain dalam menikmati barang tersebut. Karakteriristik barang publik murni antara lain biaya pengecualian besar, dihasilkan oleh pemerintah, disalurkan oleh pemerintah, serta dijual melalui pasar atau langsung oleh pemerintah.

Tempat Pembuangan Akhir Sampah merupakan salah satu barang publik yang disediakan oleh pemerintah. Barang publik ini termasuk dalam barang publik campuran (Quasi Public) atau yang biasa disebut common property

resource. Mangkoesoebroto (2000) juga menjelaskan bahwa beberapa

karakteristik dari barang publik ini yaitu barang yang manfaatnya dirasakan bersama dan dikonsumsikan bersama tetapi dapat terjadi kepadatan serta dapat dijual melalui pasar atau langsung oleh pemerintah.

Penyediaan TPAS membutuhkan biaya investasi yang sangat besar sehingga skala ekonomi yang efisien baru tercapai pada tingkat produksi yang

(5)

12 besar. Hal ini menyebabkan terjadinya monopoli secara alami atau sering disebut dengan monopoli alamiah karena pemerintah merupakan satu-satunya pengelola TPAS. Mangkoesoebroto (2000) menjelaskan bahwa monopoli dalam suatu masyarakat dapat terjadi secara alami karena pasar akan barang/jasa terlalu kecil atau investasi yang dibutuhkan sangat besar sehingga skala ekonomi yang efisien baru terjadi pada tingkat produksi yang besar. Hal ini menyebabkan produsen swasta tidak mau menyediakan barang tersebut.

Keberadaan TPAS Galuga dapat menimbulkan eksternalitas negatif. Eksternalitas juga merupakan salah satu penyebab terjadinya kegagalan pasar. Mangkoesoebroto (2000) menjelaskan bahwa selain barang publik, masalah lain yang menyebabkan terjadinya kegagalan pasar dalam mengalokasi faktor-faktor produksi secara efisien adalah adanya apa yang disebut dampak sampingan atau eksternalitas. Eksternalitas timbul karena tindakan produksi atau konsumsi dari satu pihak mempunyai pengaruh terhadap pihak yang lain dan tidak ada kompensasi yang dibayar oleh pihak yang menyebabkan atau tidak adanya kompensasi yang diterima oleh pihak yang terkena dampak tersebut.

Eksternalitas negatif dari adanya TPAS tersebut dapat berupa timbulnya pencemaran udara dan pencemaran air. Pengadaan retribusi sampah merupakan salah satu cara untuk mengatasi ekternalitas tersebut. Namun retribusi ini belum dapat mencerminkan biaya yang sebernarnya karena besarnya retribusi tidak sebesar biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat akibat eksternalitas tersebut. 2.1.2.2 Metode Pengolahan Sampah di Tempat Pembuangan Akhir Sampah

Pembuangan akhir sampah merupakan proses terakhir dalam siklus pengelolaan persampahan formal. Fase ini dapat menggunakan berbagai metode

(6)

13 dari yang sederhana hingga tingkat teknologi tinggi. Suryanto (1988) dalam Yudianto (2007) menjelaskan bahwa metode pembuangan akhir yang banyak dikenal adalah :

1. Open dumping

Metode ini merupakan cara pembuangan akhir yang sederhana karena sampah hanya ditumpuk di lokasi tertentu tanpa perlakuan khusus.

2. Control landfill

Metode ini merupakan peralihan antara teknik open dumping dan sanitary

landfill. Pada metode ini sampah ditimbun dan diratakan. Pipa-pipa ditanam

pada dasar lahan untuk mengalirkan air lindi dan ditanam secara vertikal untuk mengeluarkan metan ke udara. Setelah timbunan sampah penuh lalu dilakukan penutupan terhadap hamparan sampah tersebut dengan tanah dan dipadatkan.

3. Sanitary landfill

Teknik sanitary landfill adalah cara penimbunan sampah padat pada suatu hamparan lahan dengan memperhatikan keamanan lingkungan karena telah ada perlakuan terhadap sampah. Pada teknik ini, sampah dihamparkan hingga mencapai ketebalan tertentu lalu dipadatkan, kemudian dilapisi tanah dan dipadatkan kembali, di atas lapisan tanah penutup tadi dapat dihamparkan lagi sampah yang kemudian ditimbun lagi dengan tanah. Demikian seterusnya berselang-seling antara lapisan tanah dan sampah. Metode ini lebih baik dari metode lainnya. Konsekuensi dari pembuangan sampah di tempat pembuangan akhir sampah ini adalah dibutuhkannya lahan yang luas serta biaya pengelolaan yang besar.

(7)

14 Sehubungan dengan teknik sanitary landfill dalam pengolahan sampah, terdapat beberapa jenis bahan pencemar di lahan penimbunan sampah yaitu: a. Air lindi

Air lindi keluar dari dalam tumpukan sampah karena masuknya rembesan air hujan ke dalam tumpukan sampah lalu bersenyawa dengan komponen-komponen hasil penguraian sampah.

b. Pembentukan gas

Penguraian bahan organik secara aerobik akan menghasilkan gas karbondioksida, sedangkan penguraian bahan organik pada kondisi anaerobik akan menghasilkan gas metana, H2S, dan NH3. Gas metana perlu ditangani karena merupakan salah satu gas rumah kaca yang sifatnya mudah terbakar, sedangkan gas H2S, dan NH3 merupakan sumber bau yang tidak enak.

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah membutuhkan ruang/tempat yang luas dan disyaratkan jauh dari permukiman penduduk. Dengan adanya keterbatasan lahan di berbagai kota besar, maka tempat penampungan sampah akhir lambat laun menjadi masalah. Oleh karena itu, adanya upaya mengurangi beban penumpukan sampah di TPA dengan berbagai metode pengelolaan sampah yang lebih baik merupakan langkah yang perlu terus dikembangkan agar tidak menimbulkan banyak masalah. Lahan untuk TPAS harus memiliki kesesuaian dengan sifat lahan tersebut, sehingga dapat meminimalisir dampak negatif yang ditimbulkannya. Menurut USDA (1983) dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), ada beberapa sifat lahan yang sesuai sebagai Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) secara terbuka. Kesesuaian lahan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.

(8)

15 Tabel 2 Kesesuaian Lahan untuk Tempat Pembuangan Sampah Secara Terbuka

No Sifat Tanah Kesesuaian Lahan

Baik Sedang Buruk

1 Ancaman Banjir Tanpa Jarang Sering

2 Kedalaman sampai hamparan batuan (cm)

>150 100-150 <100 3 Kedalaman sampai padas keras (cm) >150 100-150 <100

4 Permeabilitas (cm/jam) (50-100 cm) - - >5

5 Muka air tanah  Apparent  Perched >150 >90 100-150 100-150 <100 <45 6 Lereng % <8 45-90 >15 7 Longsor - - Ada

Sumber : USDA (1983) dalam Hardjowigeno et al. (2007)

Penggunaan lahan untuk TPAS di Desa Galuga sesuai dengan Rencana Tata Ruang Kabupaten Bogor yang dikeluarkan oleh Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bogor tahun 2002 dan diperkuat oleh Keputusan Bupati Bogor Nomor 591/131/kpts/Huk/2002 tentang Penetapan Lokasi untuk Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah. Pengelolaan sampah di TPAS tersebut masih menggunakan metode controll landfill (Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bogor, 2010). Metode ini masih dilakukan karena adanya keterbatasan dana dan lahan untuk pengelolaan sampah tersebut, sedangkan penerapan metode sanitary landfill membutuhkan lahan yang luas serta biaya pengelolaan yang besar.

2.1.3 Dampak yang Ditimbulkan Sampah

Sampah dapat memberikan dampak positif dan negatif baik bagi manusia (terutama kesehatan) maupun terhadap lingkungan. Dampak yang ditimbulkan sampah dapat langsung dirasakan dan dapat juga dirasakan secara tidak langsung (Suprihatin et al. 1999) dalam Utari 2006.

1) Dampak Terhadap Kesehatan

Lokasi pengelolaan sampah yang kurang memadai (pembuangan sampah tidak terkontrol) merupakan tempat yang cocok bagi beberapa organisme dan

(9)

16 menarik bagi berbagai macam binatang seperti lalat dan nyamuk yang dapat menjangkit penyakit. Potensi yang ditimbulkan adalah sebagai berikut :

a. Penyakit diare, kolera, dan tifus menyebar dengan cepat karena virus yang berasal dari sampah yang dikelola dengan cara yang tidak tepat dapat bercampur dengan air minum. Penyakit demam berdarah dapat juga meningkat dengan cepat di daerah yang pengelolaan sampahnya kurang memadai.

b. Penyakit jamur, misalnya jamur kulit.

c. Penyakit yang dapat menyebar melalui rantai makanan. Misalnya penyakit yang dijangkit oleh cacing pita.

d. Penyakit yang diakibatkan oleh sampah beracun. Misalnya sampah yang sudah terkontaminasi air raksa.

2) Dampak Terhadap Lingkungan

Cairan rembesan sampah yang masuk ke dalam drainase atau sungai akan mencemari air. Berbagai organisme termasuk ikan akan mati sehingga beberapa spesies akan lenyap dan menyebabkan perubahan ekosistem biologis perairan. Penguraian sampah yang dibuang ke dalam air akan menghasilkan asam organik dan gas cair organik seperti gas metana. Gas cair organik ini memiliki bau yang tidak sedap dan dapat meledak pada suhu yang tinggi.

3) Dampak Terhadap Sosial Ekonomi

a. Pengelolaan sampah yang kurang baik akan membentuk lingkungan yang kurang menyenangkan bagi masyarakat antara lain dengan bau yang tidak sedap dan pemandangan yang buruk karena sampah yang menumpuk dan berserakan.

(10)

17 b. Memberikan dampak negatif bagi kepariwisataan.

c. Pengelolaan sampah yang tidak memadai menyebabkan efek rendahnya tingkat kesehatan masyarakat dan menimbulkan pembiayaan secara langsung (untuk mengobati orang sakit) dan pembiayaan secara tidak langsung (tidak masuk kerja).

d. Pembuangan sampah padat ke badan air dapat menyebabkan banjir dan akan memberikan dampak bagi fasilitas pelayanan umum seperti jalan, jembatan, drainase, dan lain-lain.

2.1.4 Potensi Ekonomi Tempat Pembuangan Akhir Sampah

Pengolahan sampah yang baik dapat memberikan manfaat bagi manusia yaitu memiliki potensi ekonomi dan lingkungan dengan meminimalisir pencemaran yang terjadi. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mendaur ulang sampah padat, pengolahan sampah organik menjadi pupuk kompos, maupun pengolahan terhadap air lindi.

Hadiwiyoto (1981) mengungkapkan bahwa sampah memiliki dampak positif dalam kehidupan manusia, terutama yang tinggal di sekitar tempat pembuangan sampah. Dampak positif tersebut adalah sebagai berikut :

a. Sampah dapat dipakai unuk menimbun tanah.

b. Dapat digunakan untuk pupuk sebagai penyubur tanah dan mempercepat pertumbuhan tanaman.

c. Dapat digunakan sebagai pakan ternak.

d. Gas-gas yang dihasilkan mempunyai nilai ekonomi karena dapat dikonversi menjadi tenaga listrik.

(11)

18 2.1.5 Konsep Ideal Tempat Pembuangan Akhir Sampah

Penentuan lokasi TPA sampah berdasarkan SNI 03-3241-1994 tentang tata cara pemillihan lokasi TPA sampah dengan beberapa pertimbangan (Dardak, 2007), antara lain yaitu TPA sampah tidak boleh berlokasi di danau, sungai, dan laut. Pertimbangan tersebut disusun berdasarkan tiga tahapan. Tahap pertama adalah tahap regional yang merupakan tahapan untuk menghasilkan peta yang berisi daerah atau tempat dalam wilayah tersebut yang terbagi menjadi beberapa zona kelayakan. Kedua, tahap penyisih yang merupakan tahapan untuk menghasilkan satu atau dua lokasi terbaik diantara beberapa lokasi yang dipilih dari zona-zona kelayakan pada tahap regional. Ketiga, tahap penetapan yang merupakan tahap penentuan lokasi terpilih oleh instansi yang berwenang.

Selain itu, pemilihan lokasi perlu mempertimbangkan aspek-aspek penataan ruang sebagai berikut :

1. Lokasi TPA sampah diharapkan berlawanan arah dengan arah perkembangan daerah perkotaan (Urbanized Area)

2. Lokasi TPA sampah harus berada di luar dari daerah perkotaan yang didorong pengembangannya (Urbanized Promotion Area)

3. Diupayakan transportasi menuju TPA sampah tidak melalui jalan utama menuju perkotaan/daerah padat.

Berdasarkan PP 16 tahun 2005 tentang pengembangan sistem penyediaan air minum yang didalamnya mengatur masalah persampahan (bagian ketiga pasal 19-22), bahwa penanganan sampah yang memadai perlu dilakukan untuk perlindungan air baku air minum dan secara tegas dinyatakan bahwa TPA sampah wajib dilengkapi dengan zona penyangga dan metoda pembuangan akhirnya

(12)

19 dilakukan secara sanitary landfill untuk kota besar dan metropolitan dan

controlled landfill untuk kota kecil dan sedang. Selain itu perlu juga dilakukan

pemantauan kualitas hasil pengolahan leachate secara berkala.

Menurut Soedradjat (2005) dalam Suhan (2009) kawasan sekitar TPA dibagi menjadi dua zona, yaitu :

1. Zona Penyangga

Zona penyangga diukur mulai dari batas terluar tapak TPA sampai pada jarak tertentu sesuai dengan pedoman pengoperasian dan pemeliharaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sistem Controlled landfill dan Sanitary

Landfill, yakni 500 meter, dengan pemanfaatan sebagai berikut :

a. 0 – 100 meter harus berupa sabuk hijau. b. 101 – 500 meter pertanian non pangan, hutan. 2. Zona Budidaya Terbatas

Zona budidaya terbatas ditentukan mulai dari batas terluar zona penyangga sampai pada jarak yang telah aman dari pengaruh dampak TPA yang berupa :

a. Bahaya meresapnya lindi ke dalam mata air dan badan air lainnya yang dipakai penduduk untuk kehidupan sehari-sehari.

b. Bahaya ledakan gas metan.

c. Bahaya penyebaran vektor penyakit melalui lalat.

Zona budidaya terbatas ditentukan pada jarak 501 – 800 meter dari batas terluar TPA. Pemanfaatan ruang adalah sebagai berikut :

a. Rekreasi dan RTH, misalnya rekreasi pendidikan dan penghijauan di sekitar lokasi TPA.

(13)

20 b. Industri terkait sampah, misalnya industri daur ulang sampah anorganik

dan pembuatan pupuk kompos.

c. Pertanian non pangan, misalnya penggunaan lahan untuk budidaya pohon jati, sengon, dan lain-lain.

d. Permukiman yang telah ada sebelumnya harus memperhatikan persyaratan-persyaratan teknis dalam penggunaan air tanah. Khususnya untuk air minum disarankan untuk tidak menggunakan air tanah.

2.2 Aspek Sumberdaya Lahan

Lahan merupakan sumberdaya fisik wilayah utama yang sangat penting untuk diperhatikan dalam perencanaan tataguna lahan. Lahan termasuk sumberdaya alam yang multifungsi dalam aktivitas dan kegiatan manusia baik untuk kegiatan fasilitatif atau penggunaan tempat seperti untuk permukiman, perkantoran, lokasi industri dan jalan maupun untuk kegiatan ekstraktif seperti pertanian dan pertambangan. Lahan sebagai obyek dari aktivitas manusia, ketersediaannya relatif tetap dari waktu ke waktu.

Lahan memiliki jumlah yang terbatas dan merupakan sumberdaya yang hampir tak terbarui (non renewable), sedangkan jumlah permintaan lahan terus bertambah. Kelangkaan dari sumberdaya lahan ini akan berpengaruh terhadap harga lahan itu sendiri. Peningkatan permintaan lahan tidak hanya terjadi pada penggunaan lahan untuk permukiman, tetapi juga penggunaan lain seperti penggunaan lahan untuk sektor perekonomian.

2.2.1 Harga Lahan

Alonso (1970) menggunakan istilah harga lahan (land price) sebagai pengganti istilah nilai lahan (land value) dalam menganalisis masalah ekonomi

(14)

21 lahan perkotaan. Istilah harga lebih dapat mencerminkan nilai pasar (market

expression) atas harga kontrak (contract rent), harga jual (sales prices), dan biaya

kepemilikan (cost of ownership). Harga jual adalah harga yang disanggupi pembeli (willingness to pay) setelah mempertimbangkan berbagai alternatif dan merupakan nilai diskonto dari total nilai sewa di masa mendatang sedangkan biaya pemilikan lahan ialah fungsi dari harga jual dan harga kontrak.

Alonso (1970) juga mendefinisikan harga lahan sebagai sejumlah uang yang dibayar kepada pemilik lahan atas hak menggunakan suatu unit lahan pada periode waktu tertentu. Definisi tersebut belum secara jelas membedakan antara harga lahan dengan nilai lahan. Akan tetapi harga lahan sudah mengaitkan dengan dimensi pasar sebagai wahana transaksi dan merupakan kumulatif nilai dari beberapa jenis rente Ricardian, rente lokasi atau rente sosial.

Menurut Suparmoko (1989) harga lahan yang berlokasi dekat fasilitas umum akan meningkat. Maka dengan adanya kegiatan pembangunan, khususnya pembangunan prasarana umum, akan meningkatkan kegunaan dan kepuasan yang dapat diberikan oleh satuan luasan lahan, yang diikuti pula oleh meningkatnya pendapatan masyarakat sehingga harga lahan akan meningkat. Lahan yang dekat pasar oleh masyarakat digunakan untuk daerah pusat kegiatan ekonomi yang akan memberikan pendapatan dan harga sewa yang tinggi untuk berbagai alternatif penggunaan, seperti industri atau penggunaan lain yang menguntungkan.

2.2.2 Permintaan dan Penawaran Lahan

Barlowe (1972) dalam Nuryanti (2006) menjelaskan permintaan terhadap lahan secara fisik berarti keinginan, kebutuhan atau persyaratan terhadap fasilitas tertentu, seperti perumahan, rekreasi, sekolah, dan merupakan ruang publik.

(15)

22 Secara ekonomi, permintaan lahan merupakan keinginan dan minat masyarakat untuk membeli suatu lahan. Penawaran secara fisik adalah keberadaan fisik sumberdaya tanah, seperti fisik hutan, deposit mineral, tambang atau area dengan permukaan tanah yang tertutup, unit kepemilikan, dan wilayah administrasi. Penawaran secara ekonomi adalah porsi atau bagian dari penawaran fisik lahan yang digunakan oleh manusia dan secara aktual dimanfaatkan, dibutuhkan sehingga ada nilai (value) di atasnya serta menunjukkan keinginan atau minat untuk menanggung biaya pengembangannya.

Daniel (2002) mengungkapkan bahwa ada dua faktor dalam menentukan harga lahan yaitu dilihat dari faktor penawaran dan faktor pemintaan lahan tersebut. Berdasarkan faktor penawaran yaitu kualitas dan lokasi lahan tersebut. Kualitas lahan dilihat dari segi kualitas air atau fasilitas air, kesuburan dan kandungan mineral di dalam lahan tersebut. Berdasarkan perbedaan lokasi lahan, dapat dilihat aksesibilitas lahan tersebut seperti tersedianya sarana angkutan umum, lembaga perkreditan, pasar, kondisi jalan, dan keamanan dari bahaya banjir.

Permintaan lahan juga mempengaruhi harga lahan. Penentuan permintaan lahan tersebut adalah selera dan preferensi konsumen, jumlah penduduk, pendapatan, dan ekspektasi konsumen terhadap harga dan pendapatan di masa yang akan datang. Keempat penentu permintaan lahan tersebut berhubungan positif dengan harga lahan. Semakin meningkat penentu permintaan lahan tersebut maka harga lahan juga akan semakin mahal (Harcrow,1992).

Ketika penawaran bertemu unsur lain seperti harga dan permintaan, maka akan terjadi fenomena seperti kelangkaan (scarcity) atau kelimpahan. Penawaran

(16)

23 sangat dipengaruhi oleh harga, tingkat ketergantungan terhadap harga mengakibatkan elastisitas harga terhadap penawaran (supply). Bila harga lahan meningkat secara relatif terhadap biaya, maka orang akan berlomba-lomba untuk memanfaatkan lahan, dan sebaliknya jika harga lahan turun, maka lahan akan dibiarkan saja. Hal yang sama akan terjadi pada permintaan lahan (Rony, 1996)

dalam Nuryanti (2006).

Penetapan harga lahan juga dapat ditetapkan secara : (1) land rent berdasarkan tingkat kesuburan lahan maupun besarnya surplus yang didapat dari lahan tersebut, (2) ekonometrika berdasarkan karakeristik lingkungan yang mempengaruhi di sekitar lokasi lahan, (3) Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) berdasarkan harga lahan di pasaran yang telah ditetapkan oleh pemerintah sesuai dengan kategori letak lahan (Hasanah, 2004) dalam Nuryanti (2006).

2.2.3 Hubungan Harga Lahan dengan Kondisi Lingkungan

Nilai suatu lahan berkaitan dengan aliran penerimaan bersih (benefit) yang diturunkan dari lahan tersebut. Hasil pertanian dan penyewaan perumahan merupakan manfaat yang sangat jelas, tetapi akses dari tempat kerja ke pusat perbelanjaan yang nyaman dan fasilitas-fasilitas lingkungan seperti taman dan kualitas lingkungan yang baik juga menumbuhkan manfaat penting bagi orang yang mempunyai hak untuk menggunakan lahan tersebut. Perbedaan lokasi lahan dengan atribut lingkungan yang bervariasi mempunyai pengaruh dalam nilai atau harga yang bersangkutan. Lebih konkritnya bahwa semakin bertambah baiknya lingkungan maka harga lahan akan semakin meningkat (Pearce dan Turner, 1990). Hal ini dapat ditunjukkan pada Gambar 1.

(17)

24

Sumber : Pearce dan Turner, (1990)

Gambar 1 Hubungan Harga Lahan dengan Faktor Lingkungan 2.3 Skala Perbedaan Semantik (Semantic Differential)

Menurut Nazir (1999) dalam skala perbedaan semantik responden diminta untuk menilai suatu konsep atau objek dalam suatu skala bipolar. Skala bipolar adalah skala yang berlawanan seperti baik buruk, cepat lambat, dan sebagainya. Skala perbedaan semantik ini dapat digunakan untuk melihat bagaimana pandangan seseorang terhadap suatu konsep atau objek. Prinsip sifat positif diberi nilai paling besar dan sifat negatif diberi nilai paling kecil tetap dipertahankan dalam penetapan skala perbedaan semantik. Skala perbedaan semantik biasanya digunakan dalam menilai sikap konsumen terhadap suatu produk. Misalnya skor satu untuk menilai produk yang mempunyai kualitas yang sangat buruk sampai dengan skor lima untuk menilai produk yang sangat bagus.

2.4 Cost of Illness dan Replacement Cost

Metode yang digunakan untuk mengestimasi penurunan kualitas lingkungan di sekitar TPAS Galuga adalah dengan menggunakan metode cost of

illness (biaya kesehatan) dan replacement cost (biaya pengganti). Kedua metode

tersebut dinilai dapat mengestimasi kerugian yang diderita masyarakat berupa

Property Price p’ Slope pp p Environmental Quality Pollution level

(18)

25 biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat baik untuk mengganti kebutuhan mereka dengan bahan alternatif maupun biaya untuk pengobatan.

Menurut Champ P. A. (2003) metode biaya kesehatan tidak mengestimasi surplus konsumen atau harga marginal. Metode biaya kesehatan secara sederhana berusaha untuk mengukur biaya kesehatan secara penuh, termasuk biaya perawatan. Biaya perawatan didasarkan kepada keputusan individu atau masyarakat mengenai level dari kepedulian individu atau masyarakat tersebut akan kesehatan.

Biaya kesehatan terdiri dari dua jenis, yang pertama adalah biaya langsung dan kedua adalah biaya tidak langsung. Biaya langsung itu sendiri terbagi menjadi

medical cost dan non-medical cost. Biaya yang termasuk medical cost adalah

biaya perawatan medis pasien itu sendiri yang besarnya dapat berbeda setiap pasiennya, sedangkan yang termasuk non-medical cost antara lain biaya perjalanan pasien untuk menempuh perjalanan sampai kepada tempat pengobatan, biaya logistik, dan akomodasi pasien yang besarnyapun dapat bervariasi. Biaya tidak langsung terkait dengan hilangnya sumberdaya yang hilang akibat penyakit tersebut, antara lain opportunity cost akibat hilangnya produktivitas pasien (pendapatan) yang terkena penyakit tersebut.

Biaya pengganti adalah nilai aset yang didasari oleh biaya untuk mengganti aset tersebut apabila dibutuhkan pada saat sekarang. Biaya pengganti dapat digunakan untuk menentukan nilai suatu aset pada saat ini, atau diaplikasikan dengan menggunakan faktor inflasi.

Metode biaya pengganti memiliki beberapa keunggulan antara lain dapat mengatasi kesalahan perhitungan akutansi yang menggunakan nilai saat ini,

(19)

26 berpotensial untuk digunakan secara transparan, sangat cocok digunakan untuk menilai suatu aset saat terjadi inflasi yang tinggi, dan dapat menjadi dasar penentuan keputusan untuk memasuki suatu pasar. Kekurangan yang dimiliki oleh biaya pengganti adalah menjadi subjektif dikarenakan nilai saat ini sulit untuk ditentukan, membutuhkan penghitungan yang akurat apabila menggunakan nilai sekarang karena jika tejadi pergantian teknologi, mengabaikan sifat keoptimalan, dapat terjadi overestimate dari suatu aset yang dinilai.

2.5 Penelitian Terdahulu

Effendy (2005) melakukan penelitian tentang polutan gas dari berbagai lokasi TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah. Berdasarkan hasil analisis dan perbandingan dengan ambang batas yang ditetapkan pemerintah, didapatkan nilai gas polutan dari ke empat TPA (TPA Galuga, Pondok Rajeg, Waru dan Bantar Gebang) berada diwilayah ambang batas menurut (Kep-13/MENLH/3/1995) dan (Kep-50/MENLH/11/1996) kecuali untuk gas amonia (NH3) di TPA Bantar Gebang pada titik 2 yaitu sebesar 0,52 mg/m3 atau 0,02 mg/m3 diatas ambang baku mutu emisi. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Galuga, Pondok Rajeg, Waru dan Bantar Gebang mengemisikan gas yang berada dibawah Ambang Batas Baku Mutu Emisi. Hal tersebut disebabkan standar baku mutu yang digunakan adalah standar untuk industri karena belum adanya Keputusan Pemerintah mengenai Standar Baku Mutu khusus sampah.

Sutjahjo et al. (2007) melakukan penelitian mengenai pengelolaan TPAS dengan pendekatan ‘Zero Waste’ (nir limbah) berbasis partisipasi masyarakat.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dari hasil rekonstruksi TPA Galuga terdapat dua sistem akuifer yaitu akuifer air tanah tertekan dan akuifer air tanah

(20)

27 tidak tertekan. Pola aliran air bawah tanah pada akuifer tersebut membentuk pola pengaliran dari selatan ke utara. Di sekitar wilayah TPA sampah membentuk pola cekungan, berfungsi sebagai tempat akumulasi air bawah permukaan termasuk lindi dari TPA. Kecepatan dan debit aliran kecil, sehingga polutan dapat tertahan lebih lama di dalam sistem cekungan tersebut.

Sistem PAL TPA Galuga yang ada tidak berfungsi secara optimum. Status tingkat pencemaran dinyatakan dengan tingkat ‘tercemar ringan’ pada skala 1.

Kandungan bahan pencemar di sekitar TPA bukan disebabkan oleh kontaminasi langsung lindi TPA Galuga, melainkan oleh rembesan air lindi melalui sistem drainase/parit pembuangan lindi. Pecemaran wilayah sekitar TPA ditentukan oleh besarnya jarak (52%) dan oleh faktor lain yaitu sifat fisik dan kimia batuan, lingkungan binaan dan akivitas manusia serta kondisi masyarakat (48%).

Kurniawan (2006) melakukan penelitian mengenai analisis kualitas air sumur di sekitar wilayah TPAS dengan melihat Indeks Kualitas Air (IKA) sumur sebagai pengaruh pengelolaan TPAS (studi kasus di TPAS Galuga Cibungbulang Bogor). Hasil pengukuran fisik, kimia, dan mikrobiologi air sumur di wilayah sekitar TPAS Galuga menunjukkan ada 11 parameter yang telah melampaui ambang batas maksimum yang diperbolehkan menurut persyaratan Baku Mutu Air Kelas 1, yaitu bau, rasa, pH, DO, BOD5, COD, amonia, nitrit, seng, bakteri coliform, dan fecal coli (E. Coli). Indeks Kualitas Air (IKA) sumur yang berada pada jarak 400 m, 600 m, dan 700 m tergolong buruk dengan kisaran indeks 41,03-48,36. Nilai IKA rata-rata untuk seluruh lokasi pengamatan adalah 48,65 yang tergolong buruk. Hasil penelitian memberikan gambaran bahwa secara umum kualitas air sumur wilayah sekitar TPA tergolong buruk dan tidak layak

(21)

28 dikonsumsi untuk air minum namun masih bisa digunakan untuk keperluan perikanan dan pertanian.

Hasil penelitian Silalahi (2008) menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh nyata dengan variabel tak bebasnya nilai lahan memakai model linear dan model double-log adalah luas lahan, kepadatan pnduduk, jarak lahan ke kantor pemerintahan daerah Kabupaten Bogor, status lahan, sumber lahan, dan NJOP. Faktor yang berpengaruh nyata dengan variabel tak bebasnya harga lahan pada model linear dan model double-log adalah luas lahan, jarak lahan ke jalan yang sering dilalui kendaraan roda empat, kepadatan penduduk, fasilitas air, dan NJOP.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan beberapa uraian diatas, menarik minat peneliti untuk meneliti dan mengkaji pengaruh dari iklan, motivasi, persepsi dan sikap konsumen dalam melakukan minat

minimal flow rate FC-3-1-10 yang release untuk electricity building plant dan server room adalah dan , sehingga nominal pipe size ½ in dengan.

Dalam bekerja penting adanya sebuah pencapaian atau prestasi kerja, pada kuesioner yang ditanyakan adalah tentang apresiasi prestasi kerja dan peningkatan jabatan, namun pada

Conceptual Database Design merupakan proses membangun suatu model informasi yang dapat digunakan dalam suatu organisasi atau perusahaan (Connolly dan Begg, 2010, p322). Dari

 untuk ayah saya Rustam Hasit dan mama saya Maryam Tompo yang telah mendukung dan selalu mendoakan demi keberhasilan saya dan yang tidak berhentinya untuk

Demikian juga halnya dengan radiofarmaka 99&#34;'Tc_ L,L-EC, harus mempunyai karakteristik yang ideal untuk diagnosis ginjal yaitu mempunyai kemumian radiokimia yang tinggi

Stratifikasi Risiko dan Pencegahan Tromboemboli Tromboprofilaksis yang optimal pada pasien dengan fibrilasi atrium bersifat personal, sesuai dengan kondisi setiap pasien,

Berdasarkan hasil penelitian, efisiensi penyisihan BOD, COD dan TSS dari lindi TPA Jatibarang yang optimum yaitu dosis ozon 100 ppm dengan waktu optimum