• Tidak ada hasil yang ditemukan

DILARANG MENGUTIP SEBAHAGIAN ATAU KESELURUHAN ISI JURNAL INI TANPA SEIZIN REDAKSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DILARANG MENGUTIP SEBAHAGIAN ATAU KESELURUHAN ISI JURNAL INI TANPA SEIZIN REDAKSI"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

DILARANG MENGUTIP SEBAHAGIAN ATAU KESELURUHAN ISI

JURNAL INI TANPA SEIZIN REDAKSI

VERSI ONLINE http://www.manbisnis.tripod.com

Jurnal Ilmiah “Manajemen & Bisnis” Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Vol. 02 No. 01 April 2002

---DAFTAR

ISI---ANALISIS KEBUTUHAN PASAR DAN PREDIKSI PENJUALAN

Muis Fauzi Rambe 1-12

ANALISIS PEMAKAIAN JASA KREDIT PADA PERUM PEGADAIAN KANTOR WILAYAH MEDAN

M. Fitri Rahmadana dan Hafniah Lumbanraja

13-22

INTELEGENCY QUOTIENT, EMOTIONAL QUOTIENT, DAN SPIRITUAL QUOTIENT DALAM MEMBENTUK

PERILAKU KERJA Armansyah

23-32

MEMBENTUK KOMUNIKASI EFEKTIF DALAM DUNIA KERJA

Nel Aryanti 33-40

(2)

INTELEGENCY QUOTIENT, EMOTIONAL QUOTIENT, DAN SPIRITUAL QUOTIENT DALAM MEMBENTUK

PERILAKU KERJA

Oleh: Armansyah*1)

Abstrak: Masyarakat pada umumnya selalu berorientasi kepada material yang mengedepankan kecerdasan intelektual dalam meraih kesuksesan hidup, kesuksesan dalam kerja, dan karir. Kesuksesan, kekayaan dianggap milik dari orang-orang yang berintelektual tinggi. Kajian-kajian ilmiah di bidang kecerdasan berbasis “neuroscience”menggolongkan kecerdasan manusia dalam tiga wilayah yakni Intelegency Quotient, Emotional Quotient, dan Spiritual Quotient. Kemampuan menyeimbangkan ketiga kecerdasan ini akan membentuk manusia-manusia yang tangguh dan berprestasi dalam dunia kerja.

Kata Kunci: Kecerdasan, Intelegency Quotient, Emotional Quotient, Spiritual

Quotient, Perilaku Kerja.

Pendahuluan

Pada dasarnya manusia diciptakan dengan membawa unsur-unsur kecerdasan. Awalnya kecerdasan yang dipahami banyak orang hanya merupakan kecerdasan intelejensi (Intelegency Quotient), sesuai dengan perkembangan pengetahuan manusia, maka ditemukan tipe kecerdasan lainnya melalui penelitian-penelitian empiris dan longitudinal oleh para akademisi dan praktisi psikologi, yakni kecerdasan emosional (emotional quotient) dan kecerdasan spiritual (spiritual quotient).

Ketiga bentuk kecerdasan ini tidak dapat berdiri sendiri untuk meraih kesuksesan dalam bekerja dan kehidupan. Kesuksesan paripurna adalah jika seseorang mampu menggunakan dengan baik ketiga kecerdasan ini, menyeimbangkannya, serta mengaplikasikannya dalam kehidupan. Bagi para pekerja dalam lingkungan organisasi manapun ketiga bentuk kecerdasan ini adalah sesuatu yang mutlak harus dimiliki, kesuksesan dalam karir tidak hanya dimiliki oleh karyawan-karyawan yang berintelejensi tinggi saja, namun semua orang dapat meraih kesuksesan karir, dan memperoleh tempat terbaik dalam bekerja.

1. *) Drs. H. Armansyah, MM, adalah Pembantu Dekan I Fakultas Ekonomi Universitas

(3)

Tiga Bentuk Kecerdasan Manusia

Model-model kecerdasan yang kini dikembangkan dalam dunia psikologi mendasarkan argumen-argumennya pada temuan-temuan ilmiah dari studi dan penelitian neuroscience. Mulai dari model kecerdasan konvensional (Intelegency Quotient), kecerdasan emosional (Emotional Quotient), hingga model kecerdasan ultimat yakni kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient). Seluruhnya masih menjelaskan kesadaran manusia dengan segenap aspek-aspeknya sebagai proses-proses yang secara esensial berlangsung pada jaringan syaraf (Adhipurna, 2001; Pasiak, 2002).

Meski respon kritis secara teoritik atas penaksiran kecerdasan berbasis IQ ini telah muncul sejak sebermula awal masa kelahirannya, namun baru satu dekade akhir abad ini kita mengenal suatu rumusan-rumusan psikologi populer yang mengemas kontribusi-kontribusi studi dan riset dari para penyelidik kecerdasan sebelumnya dengan cukup baik. Dalam awal tahun 1990-an kita mengenal istilah Emotional Intelligence diusulkan oleh Daniel Goleman. Belakangan ini menjadi populer pula istilah Spiritual Intelligence, yang diusulkan oleh pasangan Danah Zohar dan Ian Marshall. Meski secara esensial tidak terdapat sebuah terobosan ilmiah yang betul-betul baru dalam gagasan-gagasan mereka ini, namun para pakar ini telah berhasil mensintesiskan, mengemas, dan mempopulerkan sekian banyak studi dan riset terbaru di berbagai bidang keilmuan ke dalam sebuah formulasi yang cukup populer untuk menunjukkan bahwa aspek kecerdasan manusia ternyata lebih luas dari sekedar apa yang semula biasa kita maknai dengan kecerdasan.

Kecerdasan pertama, adalah IQ merupakan kecerdasan seseorang yang dibawa sejak lahir dan pengaruh didikan dan pengalaman (Thoha, 2000). IQ adalah kemampuan yang diperlukan untuk menjalankan kegiatan mental (Robin, 1996).Unsur-unsur yang terdapat di dalam IQ adalah: kecerdasan numeris, pemahaman verbal, kecepatan perseptual, penalaran induktif, penalaran deduktif, visualisasi ruang, ingatan (Robin, 1996).

Menurut David Wechsler (Staff IQ-EQ), inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu. Inti kecerdasan intelektual ialah aktifitas sebagian kecil otak. Otak adalah organ luar biasa dalam diri manusia. Beratnya hanya sekitar 1,5 Kg atau kurang lebih 5 % dari total berat badan kita. Namun demikian, benda kecil ini mengkonsumsi lebih dari 30 persen seluruh cadangan kalori yang tersimpan di dalam tubuh. Otak memiliki 10 sampai 15 triliun sel saraf dan masing-masing sel saraf mempunyai ribuan

sambungan. Otak satu-satunya organ yang terus berkembang sepanjang itu terus diaktifkan. Kapasitas memori otak yang sebanyak itu hanya digunakan sekitar 4-5 %

(4)

dan untuk orang jenius memakainya 5-6 %. Sampai sekarang para ilmuan belum memahami penggunaan sisa memori sekitar 94 % (Umar, 2002).

Kecerdasan kedua, Emotional Quotient (EQ) merupakan kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya serta kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi (Cooper dan Sawaf, 1998). Peter Salovey dan Jack Mayer mendefenisikan kecerdasan emosional sebagai

kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya, dan mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual (Stein dan Book, 2002).

Goleman mempopulerkan pendapat para pakar teori kecerdasan bahwa ada aspek lain dalam diri manusia yang berinteraksi secara aktif dengan aspek kecerdasan IQ dalam menentukan efektivitas penggunaan kecerdasan yang konvensional tersebut. Ia menyebutnya dengan istilah kecerdasan emosional dan mengkaitkannya dengan kemampuan untuk mengelola perasaan, yakni kemampuan untuk mempersepsi situasi, bertindak sesuai dengan persepsi tersebut, kemampuan untuk berempati, dan lain-lain. Jika kita tidak mampu mengelola aspek rasa kita dengan baik, maka kita tidak akan mampu untuk menggunakan aspek kecerdasan konvensional kita (IQ) secara efektif, demikian menurut Goleman (Adhipurna, 2001).

Penelitian tentang EQ dengan menggunakan instrumen BarOn EQ-i membagi EQ ke dalam lima skala: Skala intrapersonal: penghargaan diri, emosional kesadaran diri, ketegasan, kebebasan, aktualisasi diri; Skala interpersonal: empati,

pertanggungjawaban sosial, hubungan interpersonal; Skala kemampuan penyesuaian diri: tes kenyataan, flexibilitas, pemecahan masalah; Skala manajemen stress: daya tahan stress, kontrol impuls (gerak hati); Skala suasana hati umum: optimisme, kebahagiaan (Stein dan Book, 2002).

Kecerdasan ketiga, adalah Spiritual Quotient (SQ), Zohar dan Marshall mengikutsertakan aspek konteks nilai sebagai suatu bagian dari proses berpikir/ berkecerdasan dalam hidup yang bermakna, untuk ini mereka mempergunakan istilah kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient/SQ) (Zohar dan Marshal, 2000). Indikasi-indikasi kecerdasan spiritual ini dalam pandangan mereka meliputi kemampuan untuk menghayati nilai dan makna-makna, memiliki kesadaran diri, fleksibel dan adaptif, cenderung untuk memandang sesuatu secara holistik, serta berkecenderungan untuk mencari jawaban-jawaban fundamental atas situasi-situasi hidupnya, dan lain-lain. Bagi Zohar spiritualitas tidak harus dikaitkan dengan kedekatan seseorang dengan aspek ketuhanan, sebab menurutnya seorang humanis ataupun atheis pun dapat memiliki spiritualitas tinggi.

Agustian (2001a) memberikan makna bertentangan dengan nilai Danah Zohar, yang menyatakan SQ terkait dengan masalah ketuhanan atau agama. Kecerdasan manusia terwujud karena adanya dorongan suara hati (fitrah) yang bersumber dari Allah

(5)

dengan unsur-unsur sifat Tuhan atau God-Spot, menjadikan manusia memiliki

ketangguhan pribadi dan ketangguhan sosial dalam mewujudkan kesuksesan manusia. Spiritual Quotient menurut pemikiran sekuler belum mampu memberikan makna menyeluruh kepada manusia.

Kemampuan untuk menghayati nilai dan makna-makna, memiliki kesadaran diri, fleksibel dan adaptif masih terbatas kepada kemampuan diri sendiri yang suatu saat dapat hilang tanpa kepercayaan dan keyakinan kekuatan transedental yang

memberikan energi bagi manusia. Kesadaran bahwa hidup manusia ada yang mengatur, dapat memberikan power cukup besar yang berpengaruh kepada manusia dalam kondisi apapun, baik kondisi normal maupun kondisi pada saat manusia dihadapkan pada masalah-masalah kehidupan.

Agustian (2001a) menggambarkan kecerdasan emosional dan kecerdasan berfungsi secara horizontal, yakni berperan hanya kepada hubungan manusia dan manusia, sedangkan kecerdasan spiritual adalah kecerdasan vertikal berupa hubungan kepada Maha Pencipta. Penggabungan ketiga hal ini akan menghasilkan manusia-manusia paripurna yang siap menghadapi hidup dan menghasilkan efek kesuksesan atas apa yang dilakukannya.

Ketiga bentuk kecerdasan yang dibahas di atas (IQ, EQ, dan SQ), mempunyai akar-akar neurobiologis di otak manusia. Fakta menyatakan bahwa otak menyediakan komponen anatomisnya untuk aspek rasional (IQ), emosional (EQ), dan spiritual (SQ). Ini artinya secara kodrati, manusia telah disiapkan dengan tiga aspek tersebut (Pasiak, 2002). Kecerdasan emosional ada di sistem limbik, alias otak dalam, yang terdiri dari thalamus, hypothalamus dan hippocampus. Kecerdasan intelektual ada di korteks serebrum atau otak besar. Sedangkan kecerdasan spiritual mempunyai dasar neurofisiologis pada osilasi frekuensi gamma 40 Hertz yang bersumber pada integrasi sensasi-sensasi menjadi persepsi obyek-obyek dalam pikiran manusia (Zohar dan Marshall, 2000).

Peran IQ, EQ dan SQ dalam Dunia Kerja

Kecerdasan Intelejensi. Keberhasilan manusia menurut pendapat umum dipengaruhi oleh peran besar kecerdasan intelegensi atau IQ. Artinya hanya mereka yang memiliki kecerdasan intelektual, akademis, matematis saja yang mampu mewujudkan keberhasilan seseorang termasuk keberhasilan dalam pekerjaan.

Kepintaran banyak dimanfaatkan dalam dunia kerja misalnya dalam level manajemen atas sebagai pihak perencana strategis yang akan menentukan nasib organisasi di masa depan. Kemampuan untuk menyusun program-program jangka panjang, prediksi ke masa depan, menyusun perkiraan-perkiraan strategis, memerlukan kemampuan intelektual tinggi untuk keperluan analisis-analisis mendalam. Hal ini memerlukan intelejensi baik agar segala yang ingin diraih dapat terwujud dengan efektif. Demikian juga untuk manajemen teknis dan operasional

(6)

diperlukan kemampuan yang tinggi untuk mensukseskan program-program strategis yang telah disusun oleh top manajemen.

Kebanyakan perusahaan memanfaatkan orang-orang yang ber-IQ tinggi dengan memanfaatkan seleksi awal berupa tes kecerdasan intelejensi. Harapan dari perlakuan seleksi seperti ini adalah memperoleh tenaga-tenaga yang berkualitas yang dapat membangun perusahaan ke arah pencapaian kinerja tinggi. Banyak dari mereka yang berhasil lulus dalam seleksi berbasis IQ ini memiliki kinerja yang tinggi dan mendapat karir baik dalam pekerjaannya. Dengan demikian menurut teori kecerdasan kognitif, bahwa IQ seseorang berpengaruh positif terhadap kesuksesan di dalam bekerja dan berkarir.

Walaupun IQ adalah tolak ukur dari kepintaran seseorang, IQ bukan merupakan satu-satunya indikator kesuksesan. IQ atau tingkatan dari Intelligence Quotient, adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Dengan demikian, IQ hanya memberikan sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan seseorang secara keseluruhan (IQ-EQ, 2002). Untuk itu seseorang yang ber-IQ tinggi, belum tentu mutlak akan berhasil memecahkan permasalahan-permasalahan di dalam dunia kerja yang kompleks, tetapi perlu adanya sisi cerdas lain dari diri karyawan tersebut.

Kecerdasan Emosional. Goleman seorang peneliti ilmu-ilmu perilaku dan otak, Doktor dari Harvard University, menyatakan bahwa IQ hanya berpengaruh 5-10 % terhadap keberhasilan, sisanya adalah faktor kecerdasan lain. Lebih lanjut Goleman menyatakan faktor kecerdasan penting yang lain tersebut adalah Emotional Quotient (EQ) (Goleman, 2002).

EQ berorientasi kepada kecerdasan mengelola emosi manusia. Di dalamnya terdapat unsur kemampuan akan kepercayaan diri sendiri, ketabahan, ketekunan, menjalin hubungan sosial. Jika pekerja memiliki kecerdasan rata-rata, sebenarnya ia dapat meraih prestasi kerja yang tinggi jika adanya kepercayaan terhadap diri sendiri, tidak terlalu tergantung kepada orang lain, ketabahan menghadapi beban kerja, ketekunan dalam bekerja, melakukan kontak-kontak sosial dalam kerja, akan merubah posisi seorang yang semula berprestasi rata-rata menuju tingkat prestasi yang lebih baik.

Sebuah penelitian pada hampir 42.000 orang di 36 negara dan mengungkapkan hubungan positif antara kecerdasan emosional dan kesuksesan dalam kehidupan pribadi dan pekerjaan (Stein dan Book, 2002). Ini menunjukkan bahwa seorang karyawan juga akan berhasil jika di dalam diri mereka terbentuk nilai-nilai EQ yang tinggi.

Penelitian-penelitian lain menunjukkan bahwa IQ dapat digunakan untuk memperkirakan sekitar 1-20 % keberhasilan dalam pekerjaan, EQ di sisi lain berperan 27-45 % berperan langsung dalam keberhasilan pekerjaan. Jan Derksen dan Theodore

(7)

Bogels di Belanda dari hasil penelitiannya diperoleh bahwa ada hubungan yang signifikan yakni orang-orang yang ber-EQ tinggi dengan kemampuan menghasilkan banyak uang (Stein dan Book, 2002).

Penciptaan kesadaran akan EQ ini seperti merupakan penciptaan akan aspek afeksi karyawan untuk siap terjun dalam dunia kerja yang penuh dengan tantangan dan kompetisi tinggi, stress, sehingga memerlukan pengelolaan emosional yang baik.

Seorang pakar sekaligus pengamat sumber daya manusia, Parlindungan Marpaung memberikan solusi untuk mengelola emosional dalam bekerja (Marpaung, 2002). Ketika tuntutan EQ menjadi fokus utama dalam pemberdayaan karyawan dalam rangka jenjang karier seseorang maupun pengembangan pribadinya, tentu menjadi satu hal yang menakutkan bagi seseorang setelah dia menyadari bahwa EQ-nya tidak terlalu menonjol. Satu hal yang paling berbahaya adalah ketika seseorang tidak menyadari bahwa EQ-nya sangat dangkal dan bangga dengan gelar/pengetahuan yang dimilikinya (IQ). Oleh karena itu, perlu beberapa langkah praktis untuk membangkitkan kesadaran ini dan meningkatkan kecerdasan emosi menuju kecakapan emosi yang maksimal di tempat kerja. EQ tidak ada yang permanen, dalam arti kata dapat diubah (ditingkatkan) dan inilah tekad pertama untuk memulai langkah pertama. Pertama, mengenal kekuatan dan kelemahan diri terutama dalam berhubungan dengan orang lain. Beberapa cara dapat dilakukan, di antaranya dengan meminta feedback (umpan balik) dari orang lain (terutama rekan terdekat) tentang tingkah lakunya selama ini. Tingkah laku yang sudah proporsional dipertahankan dan ditingkatkan, sementara yang dirasa kurang dan tidak profesional sebagai seorang karyawan/pimpinan harus diubah (transformasi diri).

Kedua, bergaul dan berelasi dengan banyak orang dari berbagai latar belakang dan karakter. Seringkali kita terjebak dalam relasi yang menyenangkan, hanya bergaul dengan orang-orang sepaham, bebas konflik, dan alergi dengan perbedaan pendapat.

Ketiga, belajar setia dan komit terhadap tugas-tugas yang sudah disepakati bersama serta dilakukan dengan konsisten. Bahkan, tidak hanya itu, dengan mencoba "menantang" diri sebenarnya kita sedang berusaha mengatur diri dengan optimal. Misalnya, jika kesepakatan untuk sales target bulan ini 250 juta, buat "kesepakatan" diri sales target-nya sebesar 300 juta. Jangan cepat puas dengan pencapaian yang sesuai dengan apa yang sudah disepakati. Berilah diri lebih (go the extramiles), kita pun akan memperoleh nilai diri lebih dalam performance appraisal.

Keempat, kurangi waktu untuk sibuk mengurusi orang lain, apalagi memiliki kegemaran menyebar gosip dan rumor di kantor. Kegemaran ini justru akan menyerap energi kita yang semestinya dapat dipergunakan untuk mengembangkan kecerdasan emosi tersebut. Hanna (1997) mengatakan bahwa aktivitas demikian justru akan menurunkan rekening bank harga diri kita.

(8)

Kelima, bertingkah laku asertif, nyatakan benar kalau benar dan salah jika salah. Hal itu dilakukan tentu berdasarkan koridor-koridor dan track etika perusahaan yang profesional. Karyawan/pimpinan yang safety player demi menyelamatkan kedudukan/fasilitas yang dimilikinya dan membiarkan kondisi yang merusak tatanan perusahaan tetap berlangsung menunjukkan kekerdilan kecerdasan emosinya.

Keenam, keep learning, terus belajar baik melalui pengalaman pekerjaan sehari-hari, membaca buku pengembangan diri, mengikuti pendidikan formal maupun pelatihan-pelatihan yang sifatnya soft skill. Tidak ada kata tamat untuk belajar karena melalui media inilah kita dapat memosisikan diri dalam self continous improvement.

Ketujuh, mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dalam doa permohonan dan ucapan syukur. Kita adalah ciptaan-Nya, sudah sepatutnya kembali kepada Sang Pencipta untuk memohon dalam kerendahan hati agar Dia mengubahkan kita. Tak lupa tetap mensyukuri nikmat dan berkat yang sudah kita terima hingga saat ini.Ibarat pesawat yang sedang take off dan memerlukan power (kekuatan) besar, demikian pula kita akan memerlukan energi yang besar dan disertai tekad yang bulat untuk mentransformasi diri untuk peningkatan kecerdasan emosi. Ketika benih kemauan sudah mulai bertunas, bentangkan jalan-jalan indah yang akan kita lalui untuk menjadi lebih baik. BC. Forbes (Founder Forbes) pernah mengemukakan bahwa bekerja merupakan hidangan utama kehidupan, sedangkan kesenangan merupakan hidangan penutup. Lebih memuaskan menjadi sopir truk no. I, daripada jadi eksekutif peringkat kesepuluh.

Kecerdasan Spiritual. Nilai-nilai SQ juga berperan penting akan pembentukan prestasi kerja secara umum. Kesalahan selama ini adalah pendewaan akan IQ walau sebenarnya terdapat kecerdasan lain yang perlu diseimbangkan untuk sebuah kesuksesan.

Sekularisasi pemikiran masyarakat mengarahkan orang-orang untuk mengejar kesuksesan secara fisikal dan material, seperti karier, jabatan, kekuasaan, dan uang. Orientasi materi dan pemisahan seperti ini dapat menjadi sebab tumbuhnya pemikiran pesimisme bagi mereka yang memiliki kecerdasan rata-rata, lalu melakukan tindakan tidak etis untuk meraih sebuah kesukesan material. Kesombongan dapat terjadi bagi mereka yang berintelektual tinggi atau mereka yang pintar, tidak menghargai bawahan jika menjadi pemimpin. Kondisi lain, mereka yang terlibat dalam kehidupan material baik bagi yang pintar ataupun tidak, adalah kemudahan untuk tidak bisa bertahan akan benturan permasalahan kerja, mudah frustasi, stress akibat tidak adanya keseimbangan spiritual di dalam diri manusia-manusia modern. Untuk itu kecerdasan spiritual perlu ada di dalam diri seseorang dalam meraih kesuksesan.

Danah Zohar dan Ian Marshal mengartikan SQ sebagai pemahaman akan nilai dan kesadaran, Agustian (2001a) mengkaitkannya dengan masalah ketuhanan. Seorang karyawan perlu menyadari nilai-nilai kehidupan yang integralistik tidak hanya pada masalah material tapi juga spiritual. Intinya bekerja adalah penting bagi

(9)

kehidupan dan merupakan ibadah bagi yang melakukannya. Seorang karyawan yang pintar tetap memerlukan SQ, atau jika kemampuan seseorang kurang dapat ditutupi dengan keyakinan adanya Allah yang menolong yakni pada saat keikhlasan bekerja ada di dalam diri. Aspek fisiknya, prestasi hanya dapat dicapai hanya dengan bekerja keras, ketekunan, ketabahan ditambah dengan IQ yang ada pada diri seseorang.

Dalam seminar nasional bertajuk "Spiritual Quotient, Cerdas Akal-Cerdas Hati-Cerdas Nurani" di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) di Solo, Agustian (2001b) menjelaskan, ketika memasuki rutinitas kerja sehari-hari, manusia sering lupa menyatukan pikiran dan hati, sehingga mengalami split personality (kepribadian terpecah) dan sulit memaknai hasil kerjanya sendiri. Kita cenderung mengejar kemewahan, uang, pesta pora, dan kesuksesan dalam berbagai usaha, tetapi lupa memaknai setiap hasil usaha dan perilaku kita. Oleh karena itu, kita membutuhkan emotional spiritual quotient (ESQ) sebagai bekal untuk menyatukan intelligent quotient (IQ) dan emotional quotient (EQ).

Penutup

Kesimpulannya bahwa mengabaikan salah satu dari ketiga bentuk kecerdasan berbasis neuroscince di atas adalah sesuatu kekeliruan, demikian juga jika mengagungkan salah satu diantaranya merupakan kesalahan. Pentingnya keseimbangan ketiga kecerdasan ini untuk menjadi seorang yang paripurna, memiliki dorongan yang kuat untuk meraih prestasi kerja tinggi.

Perusahaan-perusahaan perlu menciptakan kesadaran akan keseimbangan ini kepada karyawan-karyawannya melalui pelatihan-pelatihan ESQ, untuk menciptakan produktivitas kerja tinggi, loyalitas tinggi, sehingga produktivitas perusahaan dapat lebih ditingkatkan dari saat ini.

Daftar Pustaka

Adhipurna, Lucky G. 2001. “Ulasan Kritis terhadap Model-model Kecerdasan Berbasis Neuroscience : IQ, EQ, dan SQ”. http://www.paramartha.org/cgi-bin/ ksearch/ksearch.cgi

Agustian, Ari Ginanjar 2001a. ESQ: Kecerdasan Emosi dan Spiritual. Jakarta: Penerbit Arga.

---. 2001b. "Spiritual Quotient, Cerdas Akal-Cerdas Hati-Cerdas Nurani". Makalah Seminar Nasional di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Solo.

Cooper, Robert K dan Ayman Sawaf. 1998. Executive EQ: Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan dan Organisasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Goleman, Daniel. 2002. Emotional Intelegence-Kecerdasan Emosional. Gramedia.

(10)

Hanna, Paul 1997 dalam Marpaung, Parlindungan. 2002. “Kecerdasan Emosi di Tempat Kerja”. Kamis 5 Juni 2002.

Marpaung, Parlindungan. 2002. “Kecerdasan Emosi di Tempat Kerja”. Pikiran Rakyat. Kamis 5 Juni 2002.

Pasiak, Taufik. 2002. Revolusi IQ, EQ, SQ: Antara Neurosains dan Al-Qur’an, Penerbit Mizan, Bandung.

Robin, Stephen P. 1996. Perilaku Organisasi. Konsep. Kontroversi. Aplikasi. Jilid 1. Penerjemah: Hadyana Pujaatmaka dan Benyamin Molan. Penerbit Prenhallindo. Jakarta.

Staff IQ-EQ. 2001. Intelgensi dan IQ. http://iqeq.web.id/art/art09.shtml

Stein, Steven J dan Book, Howard E. 2002. Ledakan EQ: 15 Prinsip Dasar Kecerdasan Emosional Meraih Sukses. Penerjemah: Trinanda Rainy dan Yudhi Murtanto. Penerbit Kaifa. Bandung.

Umar, Nasruddin. 2002. Isyarat-isyarat EQ dalam Al-Qur’an. http:// www.harrysufehmi.com/sg2002/Materi/ProfDr_Nasaruddin_Umar_MA/

IQ,%20EQ,%20&%20SQ.doc

Zohar. Danah dan Marshal, Ian. 2000. SQ. “Spiritual Intelligence. the Ultimate Intelligence” Bloomsbury. London. Dalam Armahedi Mahzar.http:// www.paramartha.org/references/psyche/psyche002/ sqdanah.htm

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini untuk mengetahui kualitas kesehatan terumbu karang disuatu wilayah di Indonesia dengan mengambil beberapa faktor seperti wisatawan yang datang, latitude,

Meningkatkan pengetahuan peneliti tentang apa sajakah yang menjadi faktor yang berhubungan dengan kemampuan keluarga sebagai pengawas minum obat pada pasien

24 Penggunaan perbedaan temporer yang boleh dikurangkan pada masa yang akan datang terjadi dalam bentuk pengurangan laba fiskal. Namun, manfaat ekonomi berupa pengurangan

Abstrak: Untuk membantu memaksimalkan produksi ASI pada hari-hari pertama nifas Ada berbagai cara yang dapat dilakukan untuk membantu meningkatkan produksi ASI

Jadi jika terjadi fraktur maksila, karena tingginya tekanan dan jumlah darah yang banyak sebagian darah dapat keluar menjadi epistaksis dan hematemesis, akan

Hasil Pemeriksaan Rendemen Selulosa mikrokristal dapat diperoleh melalui proses isolasi alfa selulosa dari ampas. Rendemen yang dihasilkan dari pembuatan selulosa

Aktivitas-aktivitas nilai pengembangan- teknologi yang perlu diprioritaskan oleh industri sepatu olahraga adalah sbb: (1) Pengembangan teknologi penanganan dan sortir material

Tasik Chini adalah sebuah ekosistem dan rizab hidupan liar yang penting dan hak milik segenap lapisan masyarakat untuk dinikmati bersama sebagai tempat rekreasi dan mencari