• Tidak ada hasil yang ditemukan

Representasi Identitas Online-Offline dan Budaya Siber di lingkungan Akademik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Representasi Identitas Online-Offline dan Budaya Siber di lingkungan Akademik"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

61

Representasi Identitas Online-Offline dan Budaya Siber

di lingkungan Akademik

Zafirah Quroatun ‘Uyun

Ilmu Komunikasi dan Praktisi Media, IAIN Batusangkar Email: zafirah@iainbatusangkar.ac.id

ABSTRACT

Social media with many varieties no longer has user segmentation. Mc Luhan's famous phrase about the medium is the message and the global village is finally answered. That there is no message in the media that does not contain a meaning and that no message is distributed without the intent / purpose. In the case of social media, these messages are distorted to be more than just meanings. It has been transformed into a waste of information due to the overlapping of the same information. Message producers and message consumers become biased. While the identity of users of social media continues to change due to the mingling of behavior, community and reality between the virtual and the real. This research tries to see the unique phenomena that occur due to communication patterns that are intertwined in cyberspace and the real world so as to form an online-offline identity. Cyber culture that occurs in the academic environment becomes more varied due to the need for identity in cyberspace and in the real world. Social media is a place to look for identity or just throw away information for nothing. By combining the concept of cyber culture and the communication map of the cyber community on social media, online-offline identity representations can be identified.

Keywords: social media, cyber culture, online-offline identity ABSTRAK

Media sosial dengan banyak ragamnya tidak lagi memiliki segmentasi pengguna. Frase terkenal Mc Luhan tentang medium is message (media adalah pesan) dan desa global akhirnya terjawab. Bahwa tidak ada pesan dalam media yang tidak mengandung suatu makna dan tidak ada pesan yang disebarluaskan tanpa maksud/tujuan. Dalam kasus media sosial, pesan-pesan ini terdistorsi menjadi lebih dari sekedar pemaknaan. Ia telah menjelma menjadi sampah informasi akibat tumpang tindihnya informasi yang sama. Produsen pesan dan konsumen pesan menjadi bias. Sementara identitas pengguna media sosial terus mengalami perubahan akibat berbaurnya perilaku, komunitas dan realitas antara yang maya dan yang nyata. Riset ini mencoba melihat fenomena unik yang terjadi akibat pola komunikasi yang terjalin di dunia siber dan dunia nyata sehingga membentuk identitas online-offline. Budaya cyber yang terjadi di lingkungan akademik menjadi lebih bervariasi akibat kebutuhan identitas di dunia maya dan di dunia nyata. Media sosial menjadi ajang pencarian identitas atau sekedar membuang informasi dengan percuma. Dengan menggabungkan konsep budaya siber dan peta komunikasi

(2)

62

masyarakat siber di media sosial, representasi identitas online-offline dapat teridentifikasi.

Kata Kunci : media sosial, budaya siber, identitas online-offline PENDAHULUAN

Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi di era 4.0 membawa konsekuensi pemenuhan kebutuhan lingkungan virtual dan nyata. Perubahan interaksi baik secara sosial, politik dan budaya mendorong terciptanya komunikasi yang lebih dari sekadar pertukaran informasi. komunikasi telah berubah menjadi negosiasi informasi dan konstruksi pesan. Ada kesepakatan tak terlihat yang harus diterima sehingga umpan balik tidak lagi dari dua arah bahkan telah berputar sampai mencapai kesepakatan, tetapi dalam arah yang tidak terduga demi memenuhi tujuan dan kesepakatan. Hal ini membuat informasi tumpah ruah, bertumpuk seperti sampah karena baik produsen maupun konsumen pesan tidak dapat terdeteksi. di mana informasi dimulai dan di mana informasi berakhir.

Budaya siber di satu sisi memberikan kepuasan emosional bagi pengguna media sosial, di sisi lain menciptakan budaya baru yang sama sekali berbeda dari kenyataan lingkungan formal (offline). Bentuk masyarakat budaya siber memungkinkan dunia lokal untuk menjadi komunitas dunia global, dunia yang sangat transparan terhadap perkembangan informasi, transportasi, dan teknologi yang berkembang begitu cepat. Masyarakat global ini menciptakan kehidupan yang memungkinkan komunitas manusia untuk menghasilkan budaya bersama, menghasilkan produk industri bersama, menciptakan pasar bersama, pertahanan militer bersama, mata uang bersama dan bahkan menciptakan perang bersama. Budaya siber menawarkan kesadaran pasca-ruang, semua kegiatan budaya dilakukan dalam dunia virtual tanpa batas (Jenkins, 2006).

Budaya siber (Cyberculture), seperti budaya pada umumnya, bertujuan untuk membangun identitas dan kredibilitas dalam masyarakat. Dalam lingkungan formal nyata seperti lingkungan akademik, identitas dan kredibilitas tentu sangat berbeda dari peran sosial yang dijalankan. profesionalisme sering dilupakan, pertukaran pesan dan informasi antara komunikasi virtual (online) dan komunikasi nyata (offline). Identitas diri menjadi semakin kabur, seperti krisis yang belum menemukan solusi, mahasiswa bertindak sebagai dosen, dosen bertindak mahasiswa, mahasiswa sebagai orang awam dan umat awam bertindak mahasiswa. Komunikasi verbal dan non-verbal yang terjadi membawa pesan dan informasi yang hampir identik bahkan persis sama hingga status sosial dan peran yang dimainkan berubah. Batasan menjadi tidak jelas. ini menyebabkan dilema pencarian identitas dan komunikasi yang diciptakan antara berbagai audiens. Karena budaya di dunia maya (online) adalah budaya gambar dan makna yang dipertukarkan dalam interaksi simbolik sepanjang waktu. Sementara budaya di dunia nyata dituntut untuk lebih logis dan sinkron antara verbal dan non verbal bahkan lebih berputar pada dimensi verbal.

Media sosial hadir untuk menghadirkan nilai-nilai baru di tengah penggunaannya. Tidak hanya momentum pengungkapan diri tetapi juga meningkat menjadi media aspirasi warga online. Menjadi topik paling populer yang dibahas di kalangan pengguna media sosial, memunculkan petisi online dan bahkan dapat menggerakkan massa untuk melakukan aksi massa offline. Dalam esainya yang terkenal tentang encoding dan decoding, Stuart Hall menganalisis penelitian media terkait dengan sirkuit budaya. Dalam

(3)

63 temuannya, sirkuit budaya selalu melibatkan bagaimana nilai-nilai dan makna budaya dikomunikasikan, diciptakan dan dipelihara melalui berbagai momen dan bentuk yang bervariasi. Selanjutnya, dengan Barker, ia mengembangkan empat tahap heuristik yang melibatkan produksi, sirkulasi, kegunaan dan reproduksi (Taylor, 2002).

Dalam dunia maya, budaya secara unik terkonsentrasi pada 'kehidupan' teks yang merupakan akumulasi dari proses dialog komodifikasi dan interpretasi. Karena tidak ada komunikasi di dunia maya yang terjadi secara komprehensif, langsung dan jelas, hubungan dominasi menjelaskan artefak budaya dengan potensi kontradiksi bersama. Akibatnya, makna teks lebih sulit untuk dinegosiasikan dan saling bertentangan antar user (interface).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode observasi partisipatoris dan studi pustaka dalam pengumpulan data. Data dikumpulkan dari percakapan melalui media sosial seperti WhatsApp, Facebook, Instagram, dan Twitter. Kemudian peneliti menganalisa identitas mereka atau percakapan mereka. Menggunakan analisis wacana kritis sebagai pisau bedah analisis, peneliti mencoba menggambarkan bagaimana media sosial memiliki sirkuitnya sendiri sehingga terbentuk representasi identitas online-offline.

HASIL DAN PEMBAHASAN Media Sosial dan Realitas Ganda

Salah satu psikolog Amerika terkemuka, Nancy Etcoff, dalam Suvival of the

Prettiest: The Science of Beauty (1999) menyebutkan Lookism. Lookism adalah teori yang

mengasumsikan bahwa semakin baik penampilan Anda, semakin sukses Anda dalam hidup. Di zaman gambar, gambar mendominasi persepsi, pikiran, dan juga penilaian kita terhadap penampilan wajah, kulit, atau penampilan seseorang. (Chaney, 2004).

Apa yang kita lihat di setiap liputan media sebenarnya memiliki dua realitas. Dalam kasus media sosial, fakta pertama adalah fakta di lingkungan fisik / nyata yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Realitas kedua adalah cara media baru memahami realitas pertama. Ini sesuai dengan apa yang dikatakan Niklas Luhmann dalam bukunya

The Reality of the Mass Media (1996) bahwa Realitas sebenarnya adalah realitas pertama,

dan realitas media adalah realitas kedua. Luhmann menyebutnya realitas ganda. Luhmann sendiri mengakui bahwa kenyataan yang disampaikan oleh media tidak selalu benar. Media melaporkan benar atau bahkan salah; atau setengahnya benar dan beberapa salah karena mereka telah 'dimanipulasi'. Media berpotensi memanipulasi. Luhmann memandang masyarakat sebagai suatu sistem yang memiliki gerakan logisnya sendiri, dan tidak tergantung pada kapasitas manusia yang aktif di dalamnya.

Perspektif Luhmann berbanding lurus dengan konsepsi viralitas yang memandang masyarakat sebagai jaringan. Kondisi ini membentuk masyarakat yang selalu membutuhkan media untuk berefleksi. Tolok ukur baik dan buruk, sistem peringkat, baik dan buruk semuanya merujuk pada apa yang viral di media sosial. Luhmann meneliti fenomena dalam masyarakat yang mengetahui semua bentuk realitas dari media massa,

(4)

64

meskipun sumbernya belum tentu dapat diandalkan, bahkan ada yang diduga bentuk manipulasi realitas atau apa yang sering disebut sebagai konsepsi konstruksi media realitas. Kepercayaan yang tinggi pada media, harus menjadi motivasi bagi setiap informan / decoder / pembuat pesan untuk memberikan informasi yang lengkap, adil dan jujur sehingga kondisi masyarakat sebagai suatu sistem berjalan tertib dan menjadi masyarakat yang melek informasi.

Karakteristik media sosial sebagai media massa memiliki peran penting dalam membentuk dua realitas dalam penyebaran informasi. Informasi disebarluaskan oleh media massa melalui pengamat tingkat pertama, yaitu pengamat realitas secara langsung, kemudian menurut Luhmann sistem penutupan operasional yang autopoietic, otonomi dan konstruksi mengabaikan pengaruh luar. Informasi yang dihasilkan oleh media massa mengalami pemrosesan media massa sebagai pengamat tingkat pertama, tetapi hasil pemrosesan informasi tersebut kemudian bersifat manipulatif. Ini menjelaskan bagaimana media massa adalah pengamat yang melihat kenyataan dari dalam dirinya sendiri dan kemudian mendapat nilai tambahan sesuai dengan minat media massa, tujuannya tidak lain adalah menciptakan atau mengkonstruksikan banyak realitas kepada audiens. Referensi dalam diri, media sosial sebagai pengamat tingkat pertama dari suatu realitas akan mencoba menanamkan pengetahuan sebenarnya dari realitas maya yang diamati, karena pengamat akan benar-benar melihat sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya dalam dirinya. Bagaimana ketika pengguna media sosial mendapatkan referensi dari luar lingkungan mereka. Apa yang dianggap pengetahuan sejati dalam hal ini informasi akan mengalami kompromi untuk menghasilkan wacana sebagai pesan konstruksi kepada audiens. Dalam hal diri dan referensi lain kepada audiens, jelas ketika misalnya audiens merasa yakin akan kenyataan bahwa dia tahu di luar media massa dan kemudian mendapat referensi eksternal bahwa wacana yang dibangun oleh media massa adalah dianggap telah berubah ke arah informasi atau wacana yang tidak lagi memiliki korelasi dengan realitas yang ada sebelumnya (Berger, 2014).

Singkatnya, jika suatu informasi yang dianggap bukan informasi oleh pengamat (audiens) maka itu masih berupa informasi. Karena bersifat informatif, yaitu ada pesan yang ingin disampaikan oleh media massa terlepas dari pesan tersebut secara eksplisit atau implisit. Lalu bagaimana cara kerja media untuk menunjukkan mana yang dianggap sebagai informasi atau bukan informasi. Pemrograman dalam media adalah cara media menciptakan pengkodean informasi.

Menurut Luhmann, informasi diproses jika ada kesadaran atau komunikasi di dalamnya. Ini berarti bahwa komunikator sangat menyadari apa yang akan disampaikan adalah informasi yang benar-benar bernilai bagi komunikan. Mekanisme otomatis terlihat ketika berbicara tentang waktu, pengkodean di media melihat karakteristik masalah waktu. Jika informasi dianggap sebagai tanda maka ketika suatu berita yang memiliki nilai informasi muncul dua waktu yang berbeda akan membuat berita tersebut tidak lagi dilihat sebagai informasi. Secara khusus, Luhmann mempelajari persepsi dan bahasa, karena dua hal ini disimpan dalam ingatan jangka pendek dan jangka panjang. Ini berarti bahwa informasi juga ditentukan bagaimana audiens memahami pesan yang muncul dalam bahasa yang berguna untuk menjelaskan sesuatu yang lebih spesifik. Di sini jelas yang disebut sebagai informasi tergantung pada persepsi audiens dan kepercayaan dalam budaya siber di dunia maya itu sendiri.

(5)

65

Sirkuit Informasi dalam Budaya Siber

Mengacu pada perilaku akademisi di dunia cyber, sirkuit budaya dan informasi di dalamnya mencakup semua interkoneksi yang melibatkan produksi, konsumsi, identitas, representasi dan regulasi. Interaksi intensif yang terjadi ketika bentuk dan praktik budaya menyatu dalam ruang cyber, menyebabkan teknologi komunikasi menjadi bentuk terakhir perlawanan antara pekerja dan pemilik kekuasaan (Witherford, 1999).

Dominasi dan keterbukaan di ruang publik menjadi lebih besar. Sementara itu, tingkat pembentukan identitas diri juga berubah menjadi kebutuhan dunia maya (online). Berpindah peran antara satu pengguna dan yang lain dianggap wajar. Di dunia nyata atau lingkungan fisik, ia mungkin seorang pekerja biasa, di lingkungan budaya cyber ia dapat berubah menjadi apa pun yang komunitas cyber sematkan pada gelar sosial untuk menjadi apa yang ia impikan di ruang cyber. Perubahan peran sosial terjadi dalam lanskap komunikasi antara orang-orang. Perantaraan perangkat teknologi menjadi dominan. Kecepatan adalah faktor penentu. Di masa lalu, kerangka berpikir dalam komunikasi bahwa informasi adalah sumber yang paling penting, sekarang kecepatan informasi adalah penentu kekuatan. Secara tidak langsung, era digital mendemokrasikan tahap komunikasi (Haraway, 2007).

Hambatan sosial di dunia nyata, seolah menghilang tanpa otoritas. Pola komunikasi vertikal kemudian bergeser ke horizontal, interaktif. Meskipun banyak gangguan (noise) yang terjadi, justru membuatnya lebih mudah dalam banyak aspek kehidupan. Selain hal-hal ini, ada juga dampak turunan yang juga berasal dari adopsi teknologi di bidang komunikasi, tanpa disadari terjadi pembentukan budaya baru yang disebut budaya siber. Budaya siber dengan dunia virtual (online) menghadirkan ruang virtual, membuat tahap komunikasi lebih datar dan setara, tanpa kecuali. Bersamaan dengan itu, ketidakseimbangan baru telah terjadi, ada etika yang hilang dalam budaya cyber. Dibutuhkan waktu untuk mencapai konsensus umum tentang etika, karena memang kita berada dalam fase beradaptasi dengan dunia digital, seiring dengan perkembangan teknologi melalui proses difusi. (Piliang, 2003).

Ruang demokratis jaringan internet, menurut Habermas disebut sebagai ruang publik, adalah realisasi dari keberadaan tempat yang memungkinkan budaya komunikasi yang setara dan sebanding terjadi secara dialogis. Pada tataran praktis, ada ketidakadilan akses bagi pengguna / pengguna saat mengakses jaringan virtual, bukan tidak mungkin informasi yang diperoleh tidak lengkap. Budaya komunikasi yang saling terkait juga menjadi tidak adil ketika simbol-simbol yang dipertukarkan di dunia maya melampaui batas ruang publik sehingga porsi antara privasi dan ruang publik menjadi sangat timpang. Konsekuensi logisnya adalah bahwa identitas dipaksa masuk dan akses yang tidak diinginkan terus berdatangan.

Dalam hal akademisi sebagai pengguna yang terlibat dalam sirkuit informasi budaya cyber, wacana mandiri, dominasi antara pengguna, keinginan untuk sejenak melupakan identitas di dunia nyata dan informasi yang mengganggu menyebabkan

(6)

66

bentuk-bentuk media sosial yang digunakan menjadi lebih bervariasi. Platform media sosial dan fitur khas dari masing-masing media sosial akan menjadi pilihan terpisah untuk akademisi yang memasuki sirkuit informasi. Rutinitas antara pengguna dengan berbagai latar belakang pendidikan dan bidang pengalaman, membawa perjanjian baru dalam arus informasi tentang budaya cyber. Pada tahap ini, praktik sosial-budaya muncul dalam pola dan rutinitas komunikasi antara pengguna di media sosial. Bagaimana mereka berkomunikasi, identitas apa yang dia gunakan, aturan bersama untuk menyetujui artefak budaya yang muncul dalam penggunaan fitur dan platform media sosial. Ekspresi virtual (meme) dan emotikon adalah beberapa contoh artefak budaya yang muncul dari kombinasi informasi dunia nyata dan virtual.

Lebih jauh, aspek-aspek teks akan muncul dalam pola produksi dan konsumsi teks. Di media sosial, siapa yang menghasilkan teks, yang mengonsumsi teks tidak lagi terdeteksi. Teks ini akan terus berputar hingga penerima teks akan menerima sesuai dengan pemahaman masing-masing, tanpa penyelesaian. Tanpa sadar, ada tumpang tindih antara tindakan pengguna di dunia virtual dan dunia nyata yang muncul di media sosial. Karena kepentingan yang harus berjalan beriringan, terkadang pengguna tidak dapat memilih antara dua dunia dan dua realitas, untuk terus menentukan aspek tindakannya melalui produksi dan konsumsi pesan. Pada titik ini, teks menjadi tidak jelas dan teks-teks baru muncul sebagai hasil dari pencampuran teks di dunia maya (online).

Gambar 1. Sirkuit Informasi dalam Budaya Siber

Compiled by researchers from various sources

Social media forms ( Domination, anonymous,self disclosure, disruptive

information)

Socioculture Practices (aspek pola dan rutinitas komunikasi user

di media sosial dan artefak budaya yang muncul )

Produksi Teks

Konsumsi Teks

TEKS(aspek representasi tindakan user yang

saling tumpang tindihdi dunia virtual dan

lingkungan fisik formal, penggunaan ekspresi virtual )

(7)

67

Identitas Tidak Dikenal versus Multi-Identitas

Pada ulasan aspek komunikasi digital yang dimoderasi melalui komputer atau smartphone, individu semakin diserap ke dalam area kerumunan. Banyak ke banyak skema komunikasi, menyebabkan individu kemudian tampak tenggelam dalam kerumunan. Hilangnya identitas dan identitas di dunia maya, terjadi karena sifat komunikasi serta adanya opsi privasi. Opsi untuk menjadi anonim dimungkinkan di ruang virtual. Tidak hanya itu, kita dapat mengatur karakter pseudo-pseudo, menggunakan avatar yang kita pilih sesuai dengan kehendak dan pilihan gambar yang ingin kita tampilkan kepada publik. Meskipun masih ada beberapa yang muncul sebagai identitas diri yang mirip dengan apa yang ada di dunia nyata. Konstruksi identitas, juga akan muncul bersama dengan pembaruan dan unggahan seseorang di dunia maya. Meskipun sangat mungkin untuk berbalik dengan kenyataan yang sebenarnya, tetapi dunia maya menghadirkan potensi untuk menjadi apa saja, seperti yang kita bayangkan. Ruang virtual, menjadi tempat bereksperimen dan bertindak seolah-olah itu, bukan tanpa substansi. Identitas kemudian muncul dalam bentuk hyperreality.

Banyak identitas online. Ini secara efektif memilih apa yang relevan dengan konteks tertentu dan menerapkannya. Contohnya adalah menggunakan LinkedIn untuk pembaruan profesional, bukan pribadi, memungkinkan pengguna untuk kompartemen, dan mempromosikan diri mereka secara online. Memisahkan kehidupan profesional dan pribadi anda sering disebut-sebut sebagai cara terbaik untuk mewakili diri anda secara online (BBC News, 2013). Sebagai kesimpulan, memiliki beberapa identitas virtual menawarkan tingkat fleksibilitas yang lebih tinggi, tetapi dengan ruang lingkup konsekuen untuk memperkenalkan masalah, berisiko menjadi identitas anonim (Krotoski, 2012).

Kebanyakan orang dewasa memiliki banyak peran dan anggota grup kombinasi identitas tidak selalu mudah untuk dinegosiasikan. Seringkali, hasil dari memegang banyak identitas adalah gangguan identitas, yang terjadi ketika saling menekan satu sama lain sehingga mengganggu kinerja identitas lain (Van Sell, Brief, & Schuler, 1981). Apa yang terjadi di dunia maya saat ini adalah orang-orang dengan tingkat anonim yang tinggi bertarung dengan banyak pemilik identitas. Menurut David Silver (2000), tahap pertama, cyberculture populer, ditandai oleh asal-usul jurnalistiknya dan ditandai oleh sifat deskriptifnya, dualisme terbatas, dan penggunaan metafora Internet-as-frontier. Tahap kedua, studi cyberculture, sebagian besar berfokus pada komunitas virtual dan identitas online dan manfaat dari masuknya sarjana akademis.

Tidak adanya identitas pemimpin, misalnya, digantikan oleh para pemimpin opini yang memiliki kemampuan untuk menafsirkan sesuka hati. Penafsiran yang salah karena tipuan labirin sangat mungkin terjadi. Pola ini, menjadi ambigu. Seperti sirkuit informasi yang sibuk di dunia maya, berisik dan selalu berisik di dunia maya, tetapi sebenarnya terlihat tenang dan damai di dunia nyata yang sebenarnya. Identitas diejek.

Dalam sebuah kelompok, seseorang harus memiliki identitas untuk dapat mempertahankan hidupnya. Identitas pribadi adalah salah satu komponen dari konsep pribadi, yang memiliki makna mengorganisir prinsip-prinsip yang bertanggung jawab atas

(8)

68

kesatuan, kontinuitas, konsistensi, dan keunikan individu yang terbentuk dari masa bayi dan seterusnya, terutama pada masa remaja. Pada kenyataannya manusia memiliki keinginan untuk terus mengembangkan diri guna mencapai bentuk kepribadian yang dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu dan masa kini yang mereka inginkan.

Setiap individu memiliki kemampuan tanpa batas untuk menciptakan siapa dirinya di dunia maya dan hasil kreasinya nanti akan mewakili individu dalam memainkan peran mereka dan berinteraksi di internet. Pilihan untuk membuka identitasnya secara jujur dengan pilihan untuk membuat identitas palsu adalah pilihan yang bisa diambil. Apa yang dibutuhkan di media sosial, misalnya, hanya untuk terhubung ke situs, memilih nama, memilih jenis kelamin, dan menulis deskripsi pribadi. Ketika individu telah mengidentifikasi diri mereka di media sosial, seperti memilih nama pengguna dan kata sandi, maka identitas itu akhirnya melahirkan individu virtual bersama dengan atribut yang melekat padanya dan berlaku 'abadi'. Artinya, setiap individu baru dapat mengakses individu virtualnya jika ia menggunakan nama pengguna dan kata sandi yang sama.

Pada tahap tertentu, seseorang dapat menentukan dan membatasi apa yang orang lain ingin ketahui tentang diri mereka sendiri. Di dunia virtual, karakteristik yang terlihat di dunia nyata seperti jenis kelamin, kelompok ras, mode tak terlihat, dan sebaliknya teknologi internet menawarkan kemungkinan untuk mengontrol aspek identitas diri sebagai pertimbangan bagi publik. (Wood and Smith, 2005).

Koneksi dalam jaringan yang meluas, menembus batas teritorial kedaulatan negara membutuhkan warga digital untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi di antara mereka sendiri. Netizen membangun konsensus bersama, merumuskan konsensus dalam standar bahasa. Interkoneksi teks, disusun ulang, tidak hanya aturan bahasa tertulis tetapi juga melibatkan elemen ekspresi. Pemahaman emoji dan pola komunikasi tekstual adalah bentuk baru dari hubungan yang terjadi antara penduduk asli digital. Sementara itu generasi sebelumnya yang menjadi migran digital akan mencoba menyesuaikan perubahan. Jika di masa lalu orang muda mengambil pelajaran dari kelompok senior, maka di era digital yang sebaliknya terjadi, orang tua belajar dari masa muda. Bahkan dalam kerangka makro, bukan tidak mungkin mengalami erosi keanekaragaman bahasa, karena penggunaan bahasa tunggal secara monolitik di era masyarakat online. Bahasa Inggris sebagai pidato internasional menjadi pemersatu, sementara perluasan bahasa dari masing-masing negara hanyalah aksesori.

Masalah yang tampaknya mengulangi posisi seperti yang terjadi di dunia nyata, adalah tentang penyerahan gender. Subordinasi feminis tentang dominasi maskulinitas pada masalah penguasaan teknologi semakin menegaskan posisi laki-laki. Bahkan sejak usia dini, domestifikasi terjadi, permainan komputer dan gadget menjadi kenyataan sehari-hari anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan. Perjuangan untuk emansipasi kelompok-kelompok perempuan kemudian harus direkonstruksi, namun pertukaran identitas seksual yang sebenarnya di dunia digital bukanlah batas bergaris-garis hitam dan putih tetapi area abu-abu yang dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan subjek individu itu sendiri. Namun, representasi bahwa ruang digital memiliki aroma maskulin tidak dapat dipungkiri. Sekali lagi di sini identitas virtual dan identitas asli pengguna dipertanyakan lagi. Apakah dia benar-benar memiliki banyak identitas seperti yang dicitrakan di dunia maya atau bahkan belum menemukan identitasnya dan bahkan memiliki rasa ketidakpercayaan yang tinggi sehingga kata anonim itu sering muncul.

(9)

69

PENUTUP Simpulan

Sirkuit informasi dalam budaya cyber di lingkungan akademik setidaknya menciptakan produk baru dalam bentuk hal-hal yang tidak terlihat yaitu 1.) identitas virtual, 2.) identitas palsu, 3.) sampah informasi, 4.) sumber informasi tidak jelas, 5) pseudo kenyataan, 6.) peraturan baru. Kekayaan produk ini bisa menjadi peluang atau tantangan bagi para pengguna media sosial. Representasi identitas online-offline yang dianggap sampah juga berpotensi menjadi berkah. sebaliknya, penyimpangan dari sirkuit informasi dapat menjadi tempat bunuh diri massal dalam hal identitas dan kenyataan.

DAFTAR PUSTAKA

Berger, Artur, Tanda – tanda dalam kebudayaan kontemporer, Yogyakarta : Tiara Wacana, 2014.

Bell, David, Manuel Castells and Donna haraway, 2007, Cyberculture Theorist, London-New York: Routledge.

Bungin, Burhan Sosiologi komunikasi, Jakarta: kencana perenada media, 2009. _____________. sosiologi komunikasi, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008

Cangara, Hafied, Pengantar ilmu komunikasi, Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada, 2005. J Severin, Werner dan James W. Tankard, Teori Komunikasi. Jakarta: Kencana, 2005 Little John, Theories of Human Communications (7th. Ed) USA: Wadsword

M Charon, Joel Symbolic Interactionizm, United State of America, Parentic Hall Inc, 1979 Mulyana, Deddy Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar, Bandung : Penerbit Remaja

Rosdakarya, 2003

_______________, Ilmu komunikasi suatu pengantar, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001

Nasrullah, Rulli Komunikasi antar budaya, di era budaya siber, (Jakarta : Penerbit Kencana, Prenada Media Grup, 2014

Piliang amir, Yasraf, Hipersemiotika: Tafsir cultural studies atas matinya makna, yogyakarta: Jalasutra, 2003

Samovar, Larry ARicard E. Porter, Mc Daniel, Communications Between Culture, California: Thompson and Wadsword Publishing Company, 2007

Sihabuddin, Ahmad, Komunikasi antar budaya, suatu perspektif multidimensi, Jakarta: Bumi Aksara, 2013.

Sobur, Alex, Semiotika komunikasi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003 Soekonto, Suryono, Sosiologi suatu pengantar, jakarta: Rajawali press, 2002

Zhai, Philip. Get Real: A Philosophical Adventure in Virtual Reality. New York: Rowman & Littlefield Publishers, 1998.

Gambar

Gambar 1. Sirkuit Informasi dalam Budaya Siber

Referensi

Dokumen terkait

Data pada tabel 5 menunjukkan bahwa tingkat kinerja guru yang berstatus sebagai mahasiswa program studi PG PAUD FKIP Universitas Riau sebanyak 56 orang yang telah

e) Hasil OJK checking tidak termasuk dalam kategori pembiayaan non lancar. 15 Fachrur Razi,Kepala Warung Mikro Bank Syariah Mandiri KCP Perbaungan, wawancara pribadi, Perbaungan,

Perusahaan distributor sebagai sebuah badan usaha tentunya juga memerlukan suatu pemeriksaan internal atas persediaan barang dagang yang memadai untuk menunjang efektivitas

Loyalitas merupakan perilaku konsumen yang akan dapat diketahui jika konsumen telah melakukan pembelian kepada produk yang ditawarkan dipasar, konsumen yang loyal

Bersama ini kami menyampaikan terima kasih atas perhatian Perusahaan Saudara yang telah mengembalikan formulir isian Dokumen Kualifikasi dan melengkapi datanya

Perlu kami informasikan bahwa Panitia tidak menanggung biaya perjalanan pulang-pergi peserta, konsumsi disediakan bagi 1 (satu) orang peserta selama kegiatan

Harga minyak turun hampir dua persen pada akhir perdagangan Kamis (Jumat pagi WIB), karena investor fokus pa- da pembengkakan pasokan minyak mentah global, yang meningkat lebih

Hal tersebut menunjukkan bahwa konseling gizi yang dilakukan 1 kali tiap minggu terbukti cukup efektif dalam perubahan perilaku pemberian makan.(Marfuah and