• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dengan peraturan perundang-undangan. (Pasal 1 butir 1 Undang-Undang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. dengan peraturan perundang-undangan. (Pasal 1 butir 1 Undang-Undang"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

14 1. Pengertian Polisi

Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002). Sedangkan Polisi menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, yaitu badan pmerintahan yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum, seperti menangkap orang yang melanggar undang-undang. (Poerwadarminta, 2003: 904).

Menurut M. Karjadi yang dikutip oleh Djoko Prakoso, polisi adalah kontrol yang artinya pengawasan dan pengadilan terhadap sesuatu yang tidak beres. Kemudian menurut Charles Reith yang dikutip oleh Djoko Prakoso, polisi adalah suatu kekuatan untuk mengawasi masyarakat agar tidak melakukan pelanggaran terhadap peraturan-peraturan yang telah disepakati guna tercapainya keadaan yang tertib dan aman dalam kehidupan bersama. (Djoko Prakoso, 1987: 165-167).

Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002). Adapun tujuan Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang

(2)

meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. (Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002).

Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. (Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002). Guna tercapainya keadaan yang tertib dan aman dalam masyarakat, polisi harus melaksanakan tugas dan wewenangannya dengan baik.

2. Tugas dan Wewenang Kepolisian a. Tugas Polisi

Menurut G. Gewin yang dikutip oleh Djoko Prakoso, tugas polisi adalah bagian dari tugas negara, perundang-undangan dan pelaksanaan untuk menjamin tata tertib, ketentraman serta keamanan, menegakkan hukum, menanamkan pengertian ketaatan dan kepatuhan. Sedangkan menurut Kist yang dikutip oleh Djoko Prakoso, tugas polisi adalah bagian dari kekuasaan eksekutif yang bertugas melindungi negara, alat-alat negara demi kelancaran roda pemerintahan, rakyatnya dan hak-haknya terhadap penyerangan serta bahaya dengan selalu waspada. (Djoko Prakoso, 1987:136).

(3)

Menurut Subroto Brojodirejo yang dikutip oleh Djoko Prakoso, menyatakan bahwa tugas polisi adalah menegakkan hukum dan memelihara ketertiban. (Djoko Prakoso, 1987: 142). Tugas polisi juga tercantum pada Pasal 13 dan 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002. Menurut Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:

1) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; 2) menegakkan hukum; dan

3) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Selanjutnya menurut Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas:

1) melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;

2) menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;

3) membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;

4) turut serta dalam pembinaan hukum nasional;

(4)

6) melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;

7) melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;

8) menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;

9) melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;

10) melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;

11) memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Tugas polisi yang tercantum pada Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 merupakan tugas vital bagi kepolisian karena polisi harus menciptakan keamanan dan ketertiban. Adapun maksud dari masyarakat yang aman adalah masyarakat yang memiliki perasaan bebas dari gangguan baik fisik maupun psikis, adanya rasa kepastian dan bebas dari rasa kekhawatiran,

(5)

keragu-raguan dan ketakutan, perasaan kedamaian, ketentraman baik lahiriah maupun bhatiniah. Sedangkan ketertiban masyarakat adalah suasana tertib yang dapat menimbulkan kegairahan dan kesibukan bekerja dalam rangka mencapai kesejahteraan masyarakat seluruhnya. (Djoko Prakoso, 1987: 14).

Selain memberikan keamanan dan ketertiban masyarakat, polisi juga harus mampu menegakkan hukum, maksudnya adalah polisi harus meniadakan gangguan baik terhadap orang maupun barang yang dapat manimbulkan tindak pidana sehingga masyarakat akan merasa aman. Sebaliknya bila terjadi kejahatan, maka polisi harus melakukan usaha untuk menangani sehingga pelaku dapat dipidana. Dari uraian tersebut dapat dilihat bahwa polisi harus melindungi kepentingan masyarakat terhadap tindak pidana yang melanggar jiwa, badan, harta, kehormatan, kemerdekaan dan melanggar kepentingan hukum, masyarakat dan negara.

b. Wewenang Polisi

Wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia tercantum pada Pasal 15 dan 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002. Menurut Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang:

1) menerima laporan dan/atau pengaduan;

2) membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum;

(6)

4) mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;

5) mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian;

6) melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan;

7) melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;

8) mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; 9) mencari keterangan dan barang bukti;

10) menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;

11) mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;

12) memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;

13) menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.

Selain itu, menurut Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang:

1) memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya;

2) menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor; 3) memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;

(7)

5) memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam;

6) memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan;

7) memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian; 8) melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan

memberantas kejahatan internasional;

9) melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;

10) mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional;

11) melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.

Selanjutnya menurut Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, untuk menyelenggarakan tugas yang dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk:

1) melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; 2) melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian

perkara untuk kepentingan penyidikan;

3) membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;

(8)

4) menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;

5) melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

6) memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

7) mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

8) mengadakan penghentian penyidikan;

9) menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;

10) mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;

11) memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan

12) mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Sesuai Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tindakan yang dimaksud dalam ayat (1) butir 12 adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut:

1) tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;

2) selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;

(9)

3) harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; 4) pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan 5) menghormati hak asasi manusia.

3. Penyelidikan dan Penyidikan a. Penyelidikan

Menurut Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Jadi penyelidikan ini dilakukan oleh penyelidik. Sesuai Pasal 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, penyelidik adalah setiap pejabat polisi Negara Republik Indonesia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Polisi adalah penyelidik tunggal, karena tidak ada pejabat lain yang ditunjuk oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai penyelidik selain Polisi. (Anang Priyanto, dkk., 2007: 10).

Penyelidik memiliki wewenang yang tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu

1) karena kewajibannya penyelidik mempunyai wewenang:

a) menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;

(10)

c) menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;

d) mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. 2) atas perintah penyidik, penyelidik dapat melakukan tindakan berupa:

a) penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan;

b) pemeriksaan dan penyitaan surat;

c) mengambil sidik jari dan memotret seorang;

d) membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.

Hal-hal yang harus dilaksanakan oleh penyelidik dan pelapor tercantum dalam Pasal 102-105 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, antara lain:

1) Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan. (Pasal 102 ayat (1) KUHAP)

2) Dalam hal tertangkap tangan tanpa menunggu perintah penyidik, penyelidik wajib segera melakuan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelidikan sebagaimana tersebut pada Pasal 5 ayat (1) huruf b. (Pasal 102 ayat (2) KUHAP)

3) Terhadap tindakan yang dilakukan tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) penyelidik wajib membuat berita acara dan melaporkannya kepada penyidik sedaerah hukum. (Pasal 102 ayat (3) KUHAP)

(11)

4) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh pelapor atau pengadu. (Pasal 103 ayat (1) KUHAP) 5) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh

penyelidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyelidik. (Pasal 103 ayat (2) KUHAP)

6) Dalam hal pelapor atau pengadu tidak dapat menulis, hal itu harus disebutkan sebagai catatan dalam laporan atau pengaduan tersebut. (Pasal 103 ayat (3) KUHAP)

7) Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyelidik wajib menunjukan tanda pengenalnya. (Pasal 104 KUHAP)

8) Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyelidik dikoordinasi, diawasi dan diberi petunjuk oleh penyidik tersebut pada pasal 6 ayat (1) huruf a. (Pasal 105 KUHAP)

b. Penyidikan

Menurut Pasal 1 butir 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Tujuan dari penyidikan adalah untuk keadilan atau untuk diajukan ke muka pengadilan. Konsekuensinya, bila tidak cukup bukti atau unsur yang disangkakan tidak memenuhi maka penyidik wajib menghentikan dan mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan untuk menutup perkara. (Baringring, 2001: 63-64).

(12)

Secara konkret tindakan penyidikan dapat dirinci sebagai tindakan yang dilakukan penyidik untuk mendapatkan keterangan tentang:

1) Tindak pidana apa yang dilakukan?; 2) Kapan tindak pidana itu dilakukan?; 3) Di mana tindak pidana itu dilakukan?; 4) Dengan apa tindak pidana itu dilakukan?; 5) Bagaimana tindak pidana itu dilakukan?; 6) Mengapa tindak pidana itu dilakukan?; 7) Siapa pelaku pindak pidana itu?. (Baringring, 2001: 65-67).

Sesuai dengan Pasal 6 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana jo. Pasal 2A ayat (1) dan Pasal 3A ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010, yang dapat menjadi penyidik adalah:

1) pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia yang harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a) berpangkat paling rendah Inspektur Dua Polisi dan berpendidikan paling rendah sarjana strata satu atau yang setara;

b) bertugas di bidang fungsi penyidikan paling singkat 2 (dua) tahun; c) mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi

reserse kriminal;

d) sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; dan

(13)

2) pejabat PPNS yang harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a) masa kerja sebagai pegawai negeri sipil paling singkat 2 (dua) tahun; b) berpangkat paling rendah Penata Muda/golongan III/a;

c) berpendidikan paling rendah sarjana hukum atau sarjana lain yang setara;

d) bertugas di bidang teknis operasional penegakan hukum;

e) sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter pada rumah sakit pemerintah;

f) setiap unsur penilaian pelaksanaan pekerjaan dalam Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan pegawai negeri sipil paling sedikit bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir; dan

g) mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan di bidang penyidikan. Selain penyidik ada juga penyidik pembantu yang mempunyai wewenang yang sama dengan penyidik, kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik. (Pasal 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Penyidik pembantu adalah:

1) pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a) berpangkat paling rendah Brigadir Dua Polisi;

b) mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi reserse kriminal;

(14)

d) sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; dan

e) memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi.

(Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana jo. Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010).

2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PNS) tertentu dalam lingkungan Kepolisian negara Republik Indonesia yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (Golongan II/a) atau yang disamakan dengan itu. (Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana jo. Pasal 3 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983).

Penyidik pembantu diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atas usul komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing. (Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana jo. Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010).

Untuk melaksanakan tugas penyidikan penyidik mempunyai wewenang tertentu seperti diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yaitu

1) menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;

2) melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

3) menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;

(15)

5) melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; 6) mengambil sidik jari dan memotret seorang;

7) memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

8) mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

9) mengadakan penghentian penyidikan;

10) mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Dalam melakukan penyidikan, penyidik berwenang melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat. 1) Penangkapan

Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan dan penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP. (Pasal 1 butir 20 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Yang berwenang melakukan penangkapan adalah penyidik dan penyidik pembantu untuk kepentingan penyidikan. Selain itu, penyelidik juga berwenang melakukan penangkapan tetapi atas perintah penyidik untuk kepentingan penyelidikan. (Pasal 16 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana)

Dalam hal penangkapan terhadap seseorang tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, namun harus ada bukti yang cukup bahwa

(16)

seseorang telah melakukan tindak pidana. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 17 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yaitu “perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup”.

Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa. Tembusan surat perintah penangkapan harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan. Namun, dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat. (Pasal 18 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Penangkapan dapat dilakukan untuk paling lama satu hari. Namun, terhadap tersangka pelaku pelanggaran tidak diadakan penangkapan kecuali dalam hal ia telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah. (Pasal 19 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

2) Penahanan

Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya,

(17)

dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP. (Pasal 1 butir 21 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Yang berwenang melakukan penahanan, yaitu

a) Penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik untuk kepentingan penyidikan.

b) Penuntut umum untuk kepentingan penuntutan.

c) Hakim di sidang pengadilan dengan penetapannya untuk kepentingan pemerikasaan. (Pasal 20 KUHAP).

Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan. Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim harus diberikan kepada keluarganya. Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal:

(18)

a) tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih; b) tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296,

Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang- undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47, dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambähan Lembaran Negara Nomor 3086). (Pasal 21 Kitab Undang Hukum Acara Pidana). Sebagai catatan: Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 sudah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Jenis penahanan dapat berupa: a) penahanan rumah tahanan negara;

b) penahanan rumah, yang dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.

(19)

c) penahanan kota, yang dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor diri pada waktu yang ditentukan.

(Pasal 22 ayat (1-3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Masa penangkapan dan atau penahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Untuk penahanan kota pengurangan tersebut seperlima dari jumlah lamanya waktu penahanan sedangkan untuk penahanan rumah sepertiga dari jumlah lamanya waktu penahanan. (Pasal 22 ayat (4 & 5) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Penyidik atau penuntut umum atau hakim berwenang untuk mengalihkan jenis penahanan yang satu kepada jenis penahanan yang lain. Pengalihan jenis penahanan dinyatakan secara tersendiri dengan surat perintah dari penyidik atau penuntut umum atau penetapan hakim yang tembusannya diberikan kepada tersangka atau terdakwa serta keluarganya dan kepada instansi yang berkepentingan. (Pasal 23 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Jangka waktu penahanan, sebagai berikut:

a) Perintah penahanan yang diberikan oleh penyidik hanya berlaku paling lama dua puluh hari. Jika dalam jangka waktu tersebut pemeriksaan belum selesai, dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama empat puluh hari. (Pasal 24 ayat (1 & 2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana)

(20)

b) Perintah penahanan yang diberikan oleh penuntut umum hanya berlaku paling lama dua puluh hari. Jika dalam jangka waktu tersebut pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang berwenang untuk paling lama tiga puluh hari. (Pasal 25 ayat (1 & 2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana)

c) Hakim pengadilan negeri yang mengadili perkara berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama tiga puluh hari. Jika dalam jangka waktu tersebut pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan untuk paling lama enam puluh hari. (Pasal 26 ayat (1 & 2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana)

d) Hakim pengadilan tinggi yang mengadili perkara berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama tiga puluh hari. Jika dalam jangka waktu tersebut pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan tinggi yang bersangkutan untuk paling lama enam puluh hari. (Pasal 27 ayat (1 & 2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana)

e) Hakim Mahkamah Agung yang mengadili perkara berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama lima puluh hari. Jika dalam jangka waktu tersebut pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung untuk paling lama enam puluh hari. (Pasal 28 (1 & 2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

(21)

Jangka waktu penahanan tersebut di atas dikecualikan bagi tersangka atau terdakwa yang menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, atau perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara sembilan tahun atau lebih dapat diperpanjangan diberikan untuk paling lama tiga puluh hari dan dapat diperpanjang lagi untuk paling lama tiga puluh hari. (Pasal 29 ayat (1 & 2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Apabila tenggang waktu penahanan dan perpanjangan penahanan ternyata tidak sah, tersangka atau terdakwa berhak minta ganti kerugian sesuai dengan ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 95 dan Pasal 96 KUHAP. (Pasal 30 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Selanjutnya dapat juga dilakukan penangguhan penahanan. Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan. Karena jabatannya penyidik atau penuntut umum atau hakim sewaktu-waktu dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (Pasal 31 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). 3) Penggeledahan

Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan

(22)

menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini. (Pasal 32 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP. (Pasal 1 butir 17 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Sedangkan penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangk untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya serta, untuk disita. (Pasal 1 butir 18 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Syarat yang harus dipenuhi dalam melakukan penggeledahan rumah, sebagai berikut:

a. Dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan rumah yang diperlukan.

b. Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari penyidik, petugas kepolisian negara Republik Indonesia dapat memasuki rumah.

c. Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi dalam hal tersangka atau penghuni menyetujuinya.

d. Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir.

(23)

e. Dalam waktu dua hari setelah memasuki dan atau menggeledah rumah, harus dibuat suatu berita acara dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan.

(Pasal 33 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 33 ayat (5) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana penyidik dapat melakukan penggeledahan:

a) pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dari yang ada di atasnya;

b) pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada; c) di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya; di tempat

penginapan dan tempat umum lainnya. (Pasal 34 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan karena dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak, penyidik tidak diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku dan tulisan lain yang tidak merupakan benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan, kecuali benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan atau yang diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna

(24)

memperoleh persetujuannya. (Pasal 34 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Jika penyidik harus melakukan penggeledahan rumah di luar daerah hukumnya, maka penggeledahan tersebut harus diketahui oleh ketua pengadilan negeri dan didampingi oleh penyidik dari daerah hukum di mana penggeledahan itu dilakukan. (Pasal 36 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Pada waktu menangkap tersangka, penyelidik hanya berwenang menggeledah pakaian termasuk benda yang dibawanya serta, apabila terdapat dugaan keras dengan alasan yang cukup bahwa pada tersangka tersebut terdapat benda yang dapat disita. Di samping itu, ketika menangkap tersangka atau ketika tersangka dibawa kepada penyidik, penyidik berwenang menggeledah pakaian dan atau menggeledah badan tersangka. (Pasal 37 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana)

4) Penyitaan

Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. (Pasal 1 butir 16 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat. Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk

(25)

mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya. (Pasal 38 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Benda yang dapat dikenakan penyitaan adalah:

a) benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana; b) benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak

pidana atau untuk mempersiapkannya;

c) benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;

d) benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; e) benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana

yang dilakukan. (Pasal 39 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan tersebut di atas. (Pasal 39 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Dalam hal tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti. Selain

(26)

itu, penyidik berwenang menyita paket atau surat atau benda yang pengangkutannya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan, sepanjang paket, surat atau benda tersebut diperuntukkan bagi tersangka atau yang berasal dan padanya dan untuk itu kepada tersangka dan atau kepada pejabat kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan yang bersangkutan, harus diberikan surat tanda penerimaan. (Pasal 40 dan Pasal 41 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Penyitaan dapat juga dilakukan terhadap surat atau tulisan lain dan mereka yang berkewajiban menurut undang-undang untuk merahasiakannya, sepanjang tidak rnenyangkut rahasia negara, hanya dapat dilakukan atas persetujuan mereka atau atas izin khusus ketua pengadilan negeri setempat kecuali undang-undang menentukan lain. (Pasal 43 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan Negara. Penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun juga. (Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

(27)

Benda yang dikenakan penyitaan dapat dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila:

a) kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;

b) perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana;

c) perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dan suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana. (Pasal 46 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Jika perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain. (Pasal 46 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). 5) Pemeriksaan Surat

Penyidik berhak membuka, memeriksa dan menyita surat lain yang dikirim melalui kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan jika benda tersebut dicurigai dengan alasan yang kuat mempunyai hubungan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa, dengan izin khusus yang diberikan untuk itu dari ketua pengadilan negeri. Untuk kepentingan tersebut penyidik dapat meminta kepada kepala

(28)

kantor pos dan telekomunikasi, kepala jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan lain untuk menyerahkan kepadanya surat yang dimaksud dan untuk itu harus diberikan surat tanda penerimaan. Hal-hal tersebut dapat dilakukan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan. (Pasal 47 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Apabila sesudah dibuka dan diperiksa, ternyata bahwa surat itu ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa, surat tersebut dilampirkan pada berkas perkara. Namun, jika sesudah diperiksa ternyata surat itu tidak ada hubungannya dengan perkara tersebut, surat itu ditutup rapi dan segera diserahkan kembali kepada kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan lain setelah dibubuhi cap yang berbunyi "telah dibuka oleh penyidik" dengan dibubuhi tanggal, tanda tangan beserta identitas penyidik. Di samping itu penyidik dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah jabatan isi surat yang dikembalikan itu. (Pasal 48 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Penyidik membuat berita acara tentang tindakannya melakukan pemeriksaan surat dan turunan berita acara tersebut oleh penyidik dikirimkan kepada kepala kantor pos dan telekomunikasi, kepala jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan yang bersangkutan. (Pasal 49 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

(29)

4. Profesionalisme Polisi

Pengertian profesionalisme adalah tindakan yang dilandasi keahlian tertentu yang diperoleh melalui pendidikan tertentu dan dilaksanakan dengan memenuhi kode etik. (Kunarto, 1995: 45). Sedangkan menurut Awaloedin Djamin yang dikutip oleh Kunarto, profesionalisme adalah jabatan dengan keahlian atau kecakapan tertentu yang memiliki etik profesionalisme tersendiri. (Kunarto, 1995: 135).

Menurut Legge dan Exley yang dikutip oleh Kunarto, ciri-ciri profesionalisme adalah sebagai berikut:

1) Ketrampilan yang didasarkan atas pengetahuan teoritis; 2) Memperoleh pendidikan tinggi dan latihan;

3) Adanya organisasi profesi yang menjamin berlangsungnya budaya profesi melalui persyaratan untuk memenuhi organisasi tersebut yaitu ketaatan pada kode etik;

4) Adanya nilai khusus yang diabdikan pada masyarakat. (Kunarto, 1995: 45)

Dari uraian tersebut dapat dilihat bahwa profesinalisme polisi adalah tindakan polisi yang dilandasi keahlian, kecakapan dan kemampuan teknis sesuai dengan tugas pokok polisi secara keseluruhan. Profesionalisme sangat penting bagi polisi dalam melaksanakan tugasnya karena masalah yang dihadapi polisi semakin luas dan komplek.

Sebagai aparat penegak hukum yang profesional yang didasarkan atas pengetahuan teoritis, serta memperoleh pendidikan tinggi dan latihan, hal ini

(30)

didasarkan pada bunyi Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 bahwa “Pembinaan kemampuan profesi pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia diselenggarakan melalui pembinaan etika profesi dan pengembangan pengetahuan serta pengalamannya di bidang teknis kepolisian melalui pendidikan, pelatihan, dan penugasan secara berjenjang dan berlanjut”.

Profesionalisme polisi ini sangat penting bagi polisi dalam melaksanakan tugas karena apabila profesionalisme dan kemampuan polisi itu tinggi maka akan meningkatkan kinerja polisi dalam melaksanakan tugasnya untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, sebaliknya semakin rendah profesionalisme dan kemampuan polisi maka akan menghambat kinerja polisi. B. Tinjauan tentang Upaya Menanggulangi Kejahatan

1. Pengertian Kejahatan

Menurut J.E. Sahetapy dan B. Mardjono Reksodipuro yang dikutip oleh A. Gumilang, kejahatan adalah setiap perbuatan (termasuk kelalaian) yang dilarang oleh hukum publik untuk melindungi masyarakat dan diberi sanksi berupa pidana oleh negara. (A. Gumilang, 1993: 10).

Menurut Mr.W.A. Bonger yng dikutip oleh A. Gumilang, mengartikan kejahatan sebagai perbuatan yang sangat anti sosial yang memperolah tantangan dengan sadar dari negara berupa pemberian penderiataan. (A. Gumilang, 1993: 11).

(31)

2. Upaya Menanggualangi Kejahatan

Upaya penanggulangan kejahatan termasuk dalam kebijakan kriminal. Kebijakan kriminal itu sendiri tidak lepas dari kebijakan yang lebih luas yaitu kebijakan sosial yang meliputi upaya kesejahteraan sosial dan upaya perlindungan masyarakat. (Barda Nawawi Arief, 2010: 77). Adapun upaya penanggulangan kejahatan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu preventif dan represif. Upaya preventif adalah upaya pencegahan terjadinya tindak pidana, sedangkan upaya represif adalah upaya untuk memberantas kejahatan. (Bawengan, 1977: 197).

Upaya penanggulangan kejahatan dapat dilakukan secara represif dan preventif. Upaya represif dapat dilakukan dengan sarana penal (hukum pidana). Sarana penal ini merupakan penal policy yang operasionalnya melalui beberapa tahap, yaitu:

1) Formulasi (kebijakan legislatif) 2) Aplikasi (kebijakan yudikatif) 3) Eksekusi (kebijakan eksekutif). (Barda Nawawi Arief, 2010: 78-79).

Dari tahap-tahap tersebut terlihat bahwa upaya menanggulangi kejahatan ini tidak hanya dilakukan oleh penegak hukum saja tetapi juga tugas aparat pembuat hukum (legislatif), bahkan kebijakan legislatif merupakan tahap paling strategis dari upaya meanggulangi kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi. (Barda Nawawi Arief, 2010: 79). Sedangkan upaya preventif ini dilakukan untuk mencegah terjadinya tindak pidana atau kejahatan. Hal ini

(32)

dapat dilakukan dengan sarana non penal. (Barda Nawawi Arief, 2010: 78). Antara sarana penal dengan sarana non penal ini dalam pelaksanaanya harus ada keseimbangan sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai.

Menurut Konggres PBB yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief, upaya penanggulangan kejahatan dapat dilakukan dengan beberapa strategi, diantaranya:

1) Meniadakan faktor-faktor penyebab/kondisi yang menimbulkan terjadinya kejahatan.

2) Pencegahan dan peradilan pidana harus ditempuh dengan kebijakan integral, kebijakan integral/sistemik (jangan simplistis dan fragmentair) 3) Kejahatan-kejahatan yang mendapat perhatian Kongres PBB untuk

ditanggulangi

4) Perlu dibenahi dan ditingkatkan kualitas aparat penegak hukum.

5) Perlu dibenahi dan ditingkatkan kualitas institusi dan sistem manajemen organisasi/manajemen data.

6) Disusunnya beberapa Guidelines, Basic Principles, Rules, Standard Minimum Rules (SMR).

7) Ditingkatkannya kerjasama internasional dan bantuan teknis. (Barda Nawawi Arief, 2010: 82-86).

Walter C. Reckles yang dikutip oleh Abdulsyani, upaya menanggulangi kejahatan dapat dilakukan dengan:

1) Meningkatkan pemantapan aparatur penegak hukum meliputi pemantapan organisasi, personel, dan sarana prasarana.

(33)

2) Perundang-undangan yang dapat berfungsi menganalisis dan membendung serta memiliki jangkauan ke masa depan.

3) Mekanisme peradilan pidana efektif dan memenuhi syarat-syarat cepat, tepat dan murah.

4) Koordinasi antar penegak hukum dan aparatur pemerintah lainnya untuk meningkatkan daya guna dalam menanggulangi tindak pidana.

5) Partisipasi masyarakat untuk membantu kelancaran penanggulangan kejahatan.

(Abdulsyani, 1987: 135).

Upaya menanggulangi tindak pidana atau kejahatan dapat dilakukan dengan cara preventif dan represif. Tindakan preventif adalah tindakan yang dilakukan polisi untuk mencegah agar tidak terjadi suatu tindak kejahatan. Sedangkan represif adalah tindakan untuk memberantas kejahatan. Kedua jenis tindakan ini sulit untuk dipisah-pisahkan karena keduanya saling berkaitan, di samping itu tindakan represif terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana dan sanksi pidana akan mempengaruhi orang lain untuk tidak melakukan tindak pidana. (Bawengan, 1977: 197).

Awaloeddin Djamin menambahkan satu tipe pencegahan lagi, yakni preemtif. Dalam praktek di lapangan, Polri menyebut istilah preemtif ini sebagai “pembinaan masyarakat” atau “preventif tidak langsung”, yaitu pembinaan yang bertujuan agar masyarakat menjadi law abiding citizens (Parsudi Suparlan, 2004: 40). Dalam hal ini polisi berbicara tentang

(34)

penegakan hukum tanpa perlu menyebut hukum dan prosedur penegakan hukum barang sekalipun (Adrianus Meliala, 2006: 21).

Dari pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya upaya menanggulangi kejahatan termasuk penyalahgunaan narkoba dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu preemtif, preventif dan represif. 3. Hambatan-Hambatan yang Dialami Polisi dalam Menanggulangi

Kejahatan

Polisi terus berupaya menanggulangi semua bentuk kejahatan termasuk tindak pidana penyalahgunaan narkoba. Hal ini dikarenakan kejahatan-kejahatan itu sangat meresahkan masyarakat. Tetapi dalam upaya menanggulangi kejahatan, polisi banyak mengalami berbagai hambatan. Menurut Anton Tabah yang dikutip oleh Banurusman, hambatan-hamabatan itu diantaranya:

1) Belum memadainya mutu profesionalisme kepolisian di tubuh Polri, terutama apabila dihadapkan pada tugas-tugas dalam penyelidikan maupun penyidikan. Kurangnya profesionalisme ini mengakibatkan polisi sering ragu-ragu dalam bertindak padahal profesionalisme ini sangat melekat pada fungsi dan tugas polisi.

2) Lemahnya mutu dan kemampuan managerial Polri. Hal ini berakibat lemah dalam proses pengambilan keputusan dan lemah dalam mengantisipasi berbagai kendala yang dihadapi termasuk dalam menempatkan skala prioritas dan selektifitas.

(35)

3) Instrumen hukum yang belum memadai. Maksudnya bahwa KUHP dan berbagai perundang-undangan banyak yang kurang antisipatif terhadap perkembangan yang terjadi.

4) Sarana dan prasarana yang sangat minim. Maksudnya bahwa dari berbagai peralatan vital sampai peralatan pendukung polisi masih dihadapkan pada kekurangan yang sangat serius, termasuk biaya operasional. Hal ini sangat mempengaruhi kinerja dan profesionalisme polisi.

5) Sumber daya manusia yang belum memadai.

6) Kesadaran dan disiplin masyarakat yang masih rendah. Hal ini mempengaruhi mekanisme penegakan hukum dalam masyarakat.

(Banurusman, 1995: 78).

C. Tinjauan tentang Upaya Menanggulangi Penyalahgunaan Narkoba 1. Pengertian Narkoba

Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan obat/bahan berbahaya. Selain narkoba, istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia adalah napza yang merupakan singkatan dari narkotika, psikotropika dan zat adiktif. (http://id.wikipedia.org/wiki/Narkoba diunduh pada tanggal 27 September 2012).

a. Narkotika

Narkotika menurut Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau

(36)

perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini. Narkotika dibedakan menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu:

1) Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. 2) Narkotika Golongan II adalah narkotika berkhasiat pengobatan digunakan

sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.

3) Narkotika Golongan III adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

(Penjelasan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009). b. Psikotropika

Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. (Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997). Psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan digolongkan menjadi 4 golongan, yaitu:

(37)

1) Psikotropika Golongan I adalah psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. 2) Psikotropika Golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan

dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. 3) Psikotropika Golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan

dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan.

4) Psikotropika Golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan.

(Penjelasan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang nomor 5 Tahun1997).

Sekalipun pengaturan psikotropika dalam Undang-Undang ini hanya meliputi psikotropika golongan I, psikotropika golongan II, psikotropika golongan 111, dan psikotropika golongan IV, masih terdapat psikotropika lainnya yang tidak mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan, tetapi digolongkan sebagai obat keras. Oleh karena itu, pengaturan, pembinaan, dan pengawasannya tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang obat keras. (Penjelasan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang nomor 5 Tahun1997).

(38)

c. Zat adiktif

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, zat adiktif adalah unsur bersifat kecanduan, menimbulkan ketergantungan pada pemakainya. (Poerwadarminta, 2003: 8). Selanjutnya menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2009 tentang Kesehatan, zat adiktif adalah bahan yang penggunaannya dapat menimbulkan ketergantungan psikis. (Pasal 1 butir 12 Undang-Undang Nomor 23 Tahun1992). Di samping itu zat adiktif adalah obat serta bahan-bahan aktif yang apabila dikonsumsi oleh organisme hidup dapat menyebabkan kerja biologi serta menimbulkan ketergantungan atau adiksi yang sulit dihentikan dan berefek ingin menggunakannya secara terus-menerus yang jika dihentikan dapat memberi efek lelah luar biasa atau rasa sakit luar biasa, atau zat yang bukan narkotika dan psikotropika tetapi menimbulkan ketagihan. Contoh bahan-bahan yang mengandung zat adiktif yaitu: kopi, rokok, minuman keras (alkohol), dan lain-lain. (http://id.wikipedia.org/wiki/Zat_Adiktif diunduh pada tanggal 27 September 2012).

Penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif perlu adanya pengamanan, hal ini tercantum dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 23 Tahun1992, yaitu:

1) Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungannya.

(39)

2) Produksi, peredaran, dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus memenuhi standar dan atau persyaratan yang ditentukan.

3) Ketentuan mengenai pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

(Pasal 44 Undang-Undang Nomor 23 Tahun1992). 2. Penyalahgunaan Narkoba

Menyalahgunakan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia artinya menggunakan kekuasaan dan sebagainya tidak sebagaimana mestinya. (Poerwadarminta, 2003: 1014). Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, Penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. (Pasal 1 butir 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penyalahguanaan narkoba adalah pengguanaan narkoba tidak sebagaimana mestinya, dan tanpa hak atas obat-obatan tersebut atau melawan hukum. Yang berhak menggunakan obat-obatan tersebut adalah orang, badan atau lembaga yang telah mendapat izin dari pemerintah, bagi orang yang sakit harus ada izin dokter.

Alasan-alasan orang menggunakan narkoba menurut Graham Blaine yang dikutip oleh M. Ridha Ma’Roef dalam bukunya Hari Sasangka ialah:

(40)

1) untuk membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan yang berbahaya, dan mempunyai resiko, misalnya ngebut, berkelahi atau bergaul dengan wanita;

2) untuk menantang suatu otoritas teradap orang tua, guru, hukum atau instansi yang berwenang;

3) untuk mempermudah penyaluran dan perbuatan seksual;

4) untuk melepaskan diri dari rasa kesepian dan ingin memperoleh pengalaman-pengalaman emosional;

5) untuk berusaha agar dapat menemukan arti hidup;

6) untuk mengisi kekosongan dan mengisi perasaan bosan, karena kurang kesibukan;

7) untuk menghilangkan rasa frustasi dan kegelisahan yang disebabkan oleh permasalahan yang tidak bisa diselesaikan dan jalan pikiran yang buntu, terutama bagi mereka yang mempunyai kepribadian yang tidak harmonis; 8) untuk mengikuti keinginan teman dan untuk memupuk solidaritas dengan

teman-teman;

9) karena didorong rasa ingin tahu dan karena iseng. (M. Ridha Ma’Roef dalam Hari Sasangka, 2003: 6)

Adapun bahaya penyalahgunaan narkoba bagi tubuh manusia. Secara umum semua jenis narkoba jika disalahgunakan akan memberikan beberapa dampak sebagai berikut:

1) Depresan

(41)

2) Halusinogen

Pemakai akan berhalusinasi (melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada). 3) Stimulan

Mempercepat kerja organ tubuh seperti jantung dan otak sehingga pemakai merasa lebih bertenaga untuk sementara waktu. Karena organ tubuh terus dipaksa bekerja di luar batas normal, lama-lama saraf-sarafnya akan rusak dan bisa mengakibatkan kematian.

4) Adiktif

Pemakai akan merasa ketagihan sehingga akan melakukan berbagai cara agar terus bisa mengonsumsinya. Jika pemakai tidak bisa mendapatkannya, tubuhnya akan ada pada kondisi kritis (sakaw). (http://rikkespoldadiy.com/index.php?art=detail&id=39 diunduh pada tanggal 24 Juli 2012)

Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. (Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009).

Segala bentuk atau perbuatan tindak pidana di bidang narkoba, antara lain berupa perbuatan-perbuatan seperti memproduksi dan/atau mengedarkan secara gelap, maupun menyalahgunakan narkoba merupakan perbuatan yang merugikan masyarakat dan negara akan diancam pidana. Ketentuan pidana tercantum dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dan Pasal 59 sampai dengan Pasal 72 Undang-Undang Nomor

(42)

5 Tahun 1997 serta Pasal 82 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 23 Tahun1992.

Ancaman tindak pidana narkotika tercantum dalam Pasal 111 – 148 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, sebagai berikut:

Pasal 111

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki,

menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 112

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 113

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu

(43)

miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 114

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 115

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun

(44)

dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 116

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

(2) Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 117

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 118

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan

(45)

paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 119

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 120

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukummembawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 121

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan II tehadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). (2) Dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati,

(46)

pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 122

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 123

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 124

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling

Referensi

Dokumen terkait

Pasal 98: (1) jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang

Pada Bab I ketentuan umum Pasal 1 Angka 11 KUHAP ditentukan bahwa putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka,yang dapat

(2) Papan nama di lingkungan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf b berisi tulisan Pemerintah Kota Madiun dan nama SKPD yang bersangkutan, alamat,

Pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu instrumen efektif mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan serta

Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang

a) Pengadilan hendaknya menentukan sebagai sikap bahwa didalam peradilan pidana hendaknya diutamakan kemungkinan penjatuhan pidana bersyarat.. Pengecualian terhadap

Menurut Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang berbunyi “jika pengadilan berpendapat bahwa hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan

(1) Permohonan, perpanjangan jangka waktu perlindungan Merek terdaftar, pencatatan pengalihan hak, pencatatan perubahan nama dan/atau alamat, permintaan penghapusan atau