BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan negara hukum. Salah satu ciri-ciri yang
dinyatakan secara tegas oleh Julius Stahl adalah negara hukum mengakui adanya
suatu pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia.1
Indonesia sebagai Negara hukum memiliki salah satu dari peraturan
perundang-undangan tersebut dikenal dengan adanya suatu sistem pemidanaan
(the sentencing system) yang merupakan aturan perundang-undangan yang
berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan.
Negara hukum yang mengakui
hak-hak asasi manusia tersebut tidak akan pernah tercapai tanpa adanya peraturan
perundang-undangan yang jelas dan tegas serta berkeadilan untuk mengatur
kehidupan berbangsa bernegara sesuai dengan Falsafah Bangsa Pancasila.
2
Hukum pidana haruslah
diakui sebagai suatu hukum sanksi istimewa, hukum pidana dapat membatasi
kemerdekaan manusia dengan menjatuhkan hukuman penjara atau hukuman
badan, bahkan menghabiskan hidup manusia. Hukum pidana memuat
sanksi atas pelanggaran kaidah hukum yang jauh lebih keras dari akibat
sanksi-sanksi yang diatur dalam hukum lain.3
1
Dahlan Thaib,dkk., 2010, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta, Rajawali Press, hlm. 2
2
Nandang Sambas,2010., Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia,
Yogyakarta, Graha Ilmu, hlm. 1
3
Pidana sendiri merupakan suatu pranata sosial kontrol yang dikaitkan
dengan dan selalu mencerminkan nilai dan struktur masyarakat, sehingga
merupakan suatu refarmasi simbolis atau pelanggaran terhadap “hati nurani
bersama” atau collective conscience. Hukum pidana yang merupakan the punitive
style of social control dan sebagai produk politik, sudah seharusnya merupakan
sublimasi dari semua nilai masyarakat yang dirangkum dan dirumuskan serta
diterapkan oleh aparat dalam sistem peradilan pidana.4
M.Sholehuddin menyebutkan 3 (tiga) prespektif filsafat tentang
pemidanaan yaitu :5
1. Perspektif eksistensialisme tentang pemidanaan. Penganut paham ini
berpendapat bahwa eksistensi individu ditandai dengan adanya kebebasan. Salah satu tokoh penganut paham ini adalah Albert Camus yang mengatakan bahwa kebebasan mutlak itu tidak pernah ada, kebebasan dalam pelaksanaannya harus selalu dikaitkanan memperhatikan kebebasan individu. Hukum pidana merupakan sarana untuk memelihara dan meningkatkan kebebasan individu dalam masyarakat. Hak untuk menjaga dan memelihara kebebasan itu diserahkan kepada Negara untuk memidana.
2. Perspektif sosialisme dalam pemidanaan. Menurut paham ini berpangkal
tolak dari kepentingan Negara dibandingkan individu. Paham ini digunakan oleh Negara Soviet yang mana hukum pidana soviet menetapkan kepentingan Negara dan ideologi sebagai dasar kewenangan untuk memidana, pandangan ini menekankan aspek Negara dibandingkan individu warganya.
3. Perspektif ditinjau dari prespektif Pancasila. Negara Indonesia menganut
paham ini, Falsafah Indonesia adalah Pancasila yang menuntut keseimbangan dan keselarasan antara kepentingan individu, masyarakat dan Negara. Tanggungjawab pemidanaan tidak dapat dibedakan serta merta kepada pelaku kejahatan karena pada dasarnya kejahatan itu sendiri tidak dapat dilepaskan dari realitas kehidupan suatu masyarakat. Menurut paham ini, pemidanaan atau hukum pidana di Indonesia harus berorientasi kepada kepentingan
4
Ibid., hlm. 4
5
individu (pelaku kejahatan) dan kepentingan masyarakat termasuk korban kejahatan.
Hadirnya berbagai peraturan perundang-undangan dalam hukum pidana
yang dimulai dengan lahirnya warisan Belanda Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (UU No. 8 Tahun 1981),
serta peraturan perundang-undangan khusus lainnya yang sudah mulai dirancang
kembali berprespektifkan kepada falsafah bangsa yaitu Pancasila. Tidak hanya
sampai disitu saja, bahkan sistem pidana di Indonesia pun mulai dikembangkan
kembali untuk sesuai dengan cita-cita dasar Negara serta ideologi bangsa.
Pemidanaan tidak lagi hanya berangkat pada pemikiran pembalasan
kepada pelaku kejahatan atau pencegahan supaya melindungi masyarakat tetapi
telah meluas hingga kepada suatu sistem pidana yang terpadu yang menyatukan
berbagai sendi penegak hukum dalam melaksanakan sistem tersebut sesuai dengan
yang dicita-citakan. Tanggung jawab sistem pidana sudah harus dimulai sejak
dilakukannya pencegahan terhadap dilakukannya kejahatan, terciptanya kejahatan
oleh pelaku kejahatan, dan tahapan-tahapan lainnya hingga kepada
berintegrasinya kembali pelaku kejahatan sebagai manusia yang seutuhnya di
dalam masyarakat serta kuatnya peran penegak hukum dalamnya.
Dewasa ini, sistem pemidanaan sedang serius-seriusnya mengatur
pelaku tindak pidana maka pengenaan pelaksanaan pemidanaan kepadanya tentu
tidak dapat disamakan dengan orang dewasa sebagai pelaku kejahatan6
Pembicaraan terhadap anak dan perlindungannya tidak akan pernah
berhenti sepanjang masa sejarah kehidupan, karena anak adalah generasi penerus
bangsa dan penerus pembangunan yaitu generasi yang dipersiapkan sebagai
subjek pelaksana pembangunan yang berkelanjutan dan pemegang kendali masa
depan suatu negara, tidak terkecuali Indonesia. Perlindungan Anak di Indonesia
berarti melindungi potensi sumber daya insani dan membangun manusia
Indonesia yang seutuhnya, menuju masyarakat yang adil dan makmur secara
materiil spritiual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
.
7
Menurut Hadi Supeno, di dalam bukunya Kriminalisasi Anak menyatakan
bahwa secara umum dalam rentang sejarah kehidupan manusia ada dua jenis nilai
anak yang dominan dalam masyarakat kita yaitu anak sebagai nilai sejarah dan
anak sebagai nilai ekonomi. Anak sebagai nilai sejarah yang pada perspektif ini
anak semata-mata sebagai objek untuk melampiaskan keinginan orangtuanya,
anak sejak awal dikondisikan untuk menjadi apa yang sesuai dengan keinginaan
orangtuanya, yang mengakibatkan dia kehilangan hak pengasuhan wajar yang
berpotensi terjadinya praktik kekerasan dan diskriminasi. Anak di anggap sebagai
nilai ekonomi karena dari anak-anak akan membantu menyangga kehidupan
6
Nandang Sambas, Op.Cit.,hlm 25.
7
ekonomi keluarga sehingga memungkinkan besar terjadinya kehidupan sosial
yang buruk8
Perlindungan terhadap anak pada suatu masyarakat bangsa merupakan
tolak ukur peradaban bangsa tersebut, karenanya wajib diusahakan sesuai dengan
kemampuan nusa dan bangsa. Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu
tindakan hukum yang berakibat perlu adanya penjaminan hukum bagi anak.
Kepastian hukum perlu diusahakan demi kegiatan kelangsungan perlindungan
anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak
diinginkan dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak. Kegiatan perlindungan
anak setidaknya memiliki dua aspek yang pertama, berkaitan dengan kebijakan
dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan
hak-hak anak dan aspek kedua menyangkut menyangkut pelaksanaan kebijakan dan
peraturan-peraturan tersebut .
9
Anak yang melakukan tindak pidana disebut sebagai anak yang berkonflik
dengan hukum dalam UU No. 11 Tahun 2012 pada Pasal 1 angka 3, yaitu anak
anak yang berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun. Tindak pidana yang
dilakukan anak dianggap sudah tidak biasa lagi, karena tindak pidana tersebut
seringkali sama dengan tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa seperti
pencurian, pemerkosaan, pembunuhan dan lainnya, namun bukan berarti dapat . Perlindungan khusus terhadap anak yang
melakukan tindak pidana juga perlu dimuat dalam peraturan
perundangan-undangan khusus yang mengatur penyelesaian perkara anak.
8
Hadi Supeno, 2010, Kriminalisasi Anak Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, hlm. 21
9
disamakannya proses peradilan sesuai dengan orang dewasa. Hal ini menjadi tolak
ukur mendasar terhadap sistem peradilan formal di Indonesia untuk memberikan
ruang yang berbeda dalam perlindungan terhadap anak serta akibat yang
ditimbulkan olehnya.
Kebijakan peraturan perundang-undangan mengenai anak sendiri dimulai
dari konvensi-konvensi internasional hingga kepada peraturan
perundang-undangan nasional yang ada di Indonesia. Perlindungan untuk anak berupa
peraturan perundang-undangan nasional dapat dilihat dari lahirnya Pasal 330 BW
yang memberikan batasan orang belum dewasa, pasal 45, 46, 47, 72 KUHP, Pasal
153 secara eksplisit disebutkan oleh KUHAP, UU No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan, UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, UU No. 12
tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan, UU no. 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 3
tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Ratifikasi Konvensi Hak Anak dalam
Kepres no. 36 tahun 1990 dan peraturan pelaksana lainnya. Peraturan
perundang-undangan di atas masih belum mumpuni dalam menyelesaikan penanganan anak
salah satu kelemahannya adalah tidak adanya pengaturan secara tegas terhadap
kewajiban aparat penegak hukum mencegah anak secara dini masuk ke dalam
peradilan formal.
Pada rentang bulan Januari hingga Mei 2011 tercatat 4.325 tahanan anak
dan 84,2% diantaranya berada pada lembaga pemenjaraan orang dewasa.10
10
http//:www.smslap.ditjenpas.go.id/public/current/monthly yang diakses pada tanggal 25 Februari 2014 Pkl. 21.30 WIB
satu sebabnya adalah kultur kerja aparat penegak hukum belum mengacu pada
prespektif hak asasi manusia, selalu mendahulukan pendekatan kekerasan dan
penyiksaan dalam menggali informasi dan pengakuan pada proses penyidikan.11
Restorative Justice merupakan proses penyelesaian konflik dengan
melibatkan pihak yang berkepentingan dengan tindak pidan yang terjadi dimulai
dari korban, pelaku, keluarga pelaku & korban, masyarakat dan aparat penegak Lahirnya UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
memberi warna yang berbeda terkait dengan perlindungan hukum terhadap anak
di Indonesia. Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak ini menghadirkan konsep diversi dan restorative justice yang bertujuan
untuk memberikan perlindungan terhadap pelaku kejahatan, korban dan
masyarakat pada umumnya sebagai sebuah bentuk penyelesaian perkara.
Berdasarkan Pasal 1 angka 7 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak, diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara
anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Konsep
diversi didasarkan pada kenyataan bahwa proses peradilan terhadap anak pelaku
tindak pidana melalui sistem peradilan pidana lebih banyak menimbulkan bahaya
daripada kebaikan. Alasan dasarnya adalah pengadilan akan memberikan
stigmatisasi terhadap anak atas tindakan yang dilakukannya seperti anak dianggap
jahat, sehingga lebih baik untuk menghindarkannya ke luar sistem peradilan
pidana.
11
hukum atau unsur lain yang dianggap penting di dalamnya untuk terlibat
menyelesaikan konflik (Pasal 1 angka 6 UU No. 11 Tahun). Restorative justice
merupakan proses diversi yang bertujuan untuk pemulihan bukan untuk
pembalasan, namun sistem retributif masih sangat kental digunakan oleh aparat
penegak hukum. Kedua konsep ini dalam UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak patut diutamakan dalam peradilan anak sebagai
penyelesaian perkara sebelum anak masuk ke dalam peradian formal.
Kehadiran UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
menggantikan posisi UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak merupakan
inisiatif dari pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum yang lebih baik
lagi sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat dan khususnya
kepada anak. Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak ini disahkan pada tanggal 30 Juli 2012 dan dilaksanakan 2 tahun
setelah di undangkan artinya tahun 2014 merupakan permulaan lahirnya sistem
peradilan pidana anak yang dimaksudkan. Menjadi sebuah tugas besar yang
diemban oleh legislator dalam menuangkan ide diversi dan restorative justice di
tengah-tengah sistem peradilan pidana yang masih saja menganut sistem retributif.
Pertanyaan yang timbul dengan dihadirkannya suatu undang-undang
sistem peradilan pidana dan menggantikan undang-undang pengadilan anak yang
lama yang menghadirkan konsep diversi dan restorative justice adalah apakah
sistem restributif yang selama ini melekat di dalam peradilan Indonesia dapat
tererus begitu saja dengan lahirnya konsep diversi dan restorative justice?
restorative justice di dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak? serta bagaimana implementasinya dalam setiap tahapan
sistem peradilan anak di Indonesia?.
Berdasarkan uraian di atas, maka saya mengajukan judul “ANALISIS
KONSEP DIVERSI DAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM
UNDANG-UNDANG 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA
ANAK”, yang selanjutnya akan dibahas pada bab-bab selanjutnya pada skripsi
ini.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang sebelumnya, maka adapun yang
menjadi permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah, sebagai berikut
:
1. Bagaimanakah sejarah perkembangan konsep diversi dan restorative justice
dalam menyelesaikan perkara anak?
2. Bagaimanakah penerapan konsep diversi dan restorative justice dalam
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak?
3. Apakah kelemahan pengaturan yang terdapat pada UU No. 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tersebut?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan
1. Untuk mengetahui perkembangan konsep diversi dan restorative justice
dalam menyelesaikan perkara anak di beberapa negara termasuk Indonesia
serta mengkaji instrument hukum baik internasional dan nasional mengenai
kedua konsep ini.
2. Untuk mengetahui landasan pengembangan konsep diversi dan restorative
justice dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak oleh legislator serta penerapannya di setiap tahapan peradilan
anak.
3. Untuk mengetahui kelemahan pengaturan Undang-Undang No. 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang akan mempengaruhi
diterapkannya konsep diversi dan restorative justice.
D.Manfaat Penulisan
Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu sebagai
berikut :
1. Manfaat Teoritis
Memberikan sumbangsih besar untuk perkembangan ilmu pengetahuan
seluas-luasnya secara umum serta membantu dalam mengembangkan ilmu
hukum pidana khususnya. Terlebih lagi menambah informasi terhadap
pemikiran yang berkonsentrasi dalam perlindungan hukum kepada anak di
Indonesia. Skripsi ini juga diharapkan mampu memenuhi pengetahuan para
peradilan pidana anak antara lain oleh mahasiswa, akademisi maupun
masyarakat luas.
2. Manfaat Praktis
Memberikan informasi dan tambahan masukan serta konstribusi pemikiran
kepada aparat penegak hukum, yaitu hakim, jaksa, advokat, polisi dan
institusi lainnya yang terkait dan juga kepada masyarakat luas dalam
mengikutsertakan perannya terhadap pengembangan konsep diversi dan
restorative justice.
E. Keaslian Penulisan
Berdasarkan surat tertanggal 10 Januari 2012 (terlampir) dari Perpustakaan
Universitas Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara menyatakan ada
3 (tiga) judul yang memiliki sedikit kesamaan. Adapun judul skripsi tersebut
adalah :
1. Implimentasi peranan Balai Pemasyarakatan (BAPAS) dalam sistem
peradilan pidana anak (studi kasusu Balai Pemasyarakatan kelas I Medan)
yang ditulis oleh An Piter Daniel (020200164).
2. Peranan Hakim anak dalam penjatuhan putusan atas perkara pidana anak
(studi di Pengadilan Negeri Medan dan Lembaga Pemasyaakatan Kelas II
A anak Tanjung Gusta Medan) yang ditulis oleh Amelia P.L Tobing
3. Perlindungan Hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum
menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak, yang ditulis oleh Erikson P. Sibarani (090200165).
Surat dari Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara tersebut kemudian dijadikan dasar bagi Bapak Dr. M.Hamdan,
SH.,MH (Ketua Departemen Hukum Pidana) untuk menerima judul yang diajukan
oleh penulis.
Penulisan skripsi ini juga telah menelusuri judul karya ilmiah melalui
media cetak dan elektronik, belum ditemukan penulis lain yang memiliki judul
yang sama. Sekalipun ada, hal tersebut merupakan di luar sepengetahuan penulis
dan substansinya pasti berbeda karena murni merupakan hasil pemikiran penulis
yang didasarkan dari penelusuran dari referensi media cetak maupun media
elektronik, sehingga dapat dinyatakan bahwa skripsi ini adalah karya asli penulis
dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
F. Tinjauan Kepustakaan
Sebelum masuk kepada pembahasan mendalam mengenai konsep diversi
dan restorative justice di dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak maka ada pun yang menjadi tinjauan kepustakaan skripsi ini yang
1. Anak
a. Pengertian dan Batasan Usia anak
Banyak peraturan perundang-undangan yang memberikan batasan
pengertian mengenai anak itu sendiri di Indonesia. Batasan tentang anak sangat
urgent dilakukan untuk melaksanakan kegiatan perlindungan anak dengan benar
dan terarah, semata-mata untuk mempersiapkan generasi mendatang yang tangguh
dan dapat menghadapi segala tantangan dunia. Pengertian anak sendiri tidak
pernah terlepas dari batasan usianya untuk membedakannya terhadap orang
dewasa, perbuatan serta akibat yang ditimbulkan olehnya atau pun untuk
memberikan perlindungan serta sanksi kepadanya. Pengaturan tentang batasan
pengertian dan usia ank itu sendiri dapat diperhatikan melalui peraturan
perundang-undangan berikut :
1) Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum perdata
Pasal ini menyatakan bahwa, belum dewasa adalah mereka yang belum
mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.
Anak dalam hal ini dimaksudkan sebagai seseorang yang belum dewasa dan tidak
kawin, apabila dalam kenyataan ternyata telah kawin sebelum umur yang
dimaksudkan di atas maka dianggap telah dewasa.
2) UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Pengertian mengenai anak dalam undang-undang ini adalah pengertian
mengenai anak sah merupakan anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
bahwa, anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orangtuanya selama
mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
3) Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Undang-undang ini tidak memberikan penjelasan secara eksplisit mengatur
tentang batasan pengertian anak namun dalam pasal 153 ayat (5) memberi
wewenang kepada hakim untuk melarang anak yang belum mencapai usia 17
(tujuh belas) tahun untuk menghadiri sidang.
4) Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang ini menyebutkan bahwa anak adalah
seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum
pernah kawin. Akan tetapi walaupun seseorang belum genap berusia 21 tahun
namun apabila ia sudah kawin maka dia tidak lagi berstatus anak, melainkan
orang yang sudah dewasa.
5) Undang-undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pemasyarakatan, membagi anak
dalam hal berikut :
a) Anak pidana adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan
menjalani pidana di Lapas Anak paling lama hingga berumur 18 (delapan belas) tahun;
b) Anak Negara adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan
diserahkan pada Negara untuk dididik dan ditempatkan di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;
c) Anak Sipil adalah anak yang atas permintaan orang tua atau walinya
memperoleh ketetapan pengadilan untuk dididik di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
Pasal 1 sub 5 dinyatakan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia
di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih
dalam kandungan apabila dalam hal tersebut demi kepentingannya.
7) Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Pasal 1 butir 1 menyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan.
8) Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak
Bagi Anak Yang Mempunyai Masalah
Menurut ketentuan ini, anak adalah sesorang yang belum mencapai umur
21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.
9) Hukum Adat dan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia
Batasan umur untuk disebut anak bersifat pluralistik dalam hukum adat di
Indonesia. Kriteria tersebut untuk menyebut bahwa seseoang tidak lagi disebut
anak dan telah dewasa beraneka ragam istilahnya. Menurut hukum adat R.
Soepomo menyebutkan ciri-ciri kedewasaan sebagai berikut :12
1. Dapat bekerja sendiri;
2. Cakap dan bertanggung jawab dalam masyarakat;
3. Dapat mengurus harta kekayaan sendri;
4. Telah menikah;
12
5. Berusia 21 tahun.
Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung yang berorientasi pada hukum
adat di Bali menyebutkan batasan umur anak adalah di bawah 25 (lima belas)
tahun seperti putusan MARI No : 53 K/Sip/1952 tanggal 1 juni 1955 dalam
perkara antara I Wayan Ruma melawan Ni Ktut Kartini.
10) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
KUHP tidak merumuskan secara eksplisit tentang pengertian anak, tetapi
dapat dijumpai antara lain pada pasal :
Pasal 45 berbunyi :13
11) Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
“ jika seseorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang
dikerjakannya ketika umurnya belum enam belas tahun, hakim boleh
memerintahkan supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orangtuanya,
walinya, atau pemeliharanya dengan tidak dikenakan suatu hukuman.”
Pasal 1 disebutkan bahwa pengertian anak adalah orang yang dalam
perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai
umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Anak dibatasi umur
antara 8 (delapan) tahun sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
12) Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
13
Undang-undang ini memberikan pengertian anak sesuai dengan kedudukan
anak di dalam tindak pidana yang terjadi, antara lain :
1. Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak
adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
2. Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut
Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.
3. Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut
Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.
Batasan usia seseorang dikategorikan sebagai anak dapat dilihat dari
tingkatan usia pada gambaran berikut ini, dimana di berbagai Negara di dunia
tidak ada keseragaman tentang batasan umur seseorang dikategorikan sebagai
anak, seperti :14
1. Di Amerika Serikat, 27 negara bagian menentukan batas usia antara 8-18
tahun, sementara 6 negara bagian lain menentukan batas umur antara 8-17
tahun, sementara ada pula Negara bagian lain menentukan batas umur antara
8-16 tahun;
2. Di Inggris, ditentukan batas umur antara 12-16 tahun;
3. Di Australia, kebanyakan Negara bagian menentukan batas umur antara 8-16
tahun;
4. Di Belanda, menentukan batas umur 12- 18 tahun;
14
5. Di Srilangka, menentukan batas umur antara 16-18 tahun;
6. Di Iran, menentukan batas umur antara 6-18 tahun;
7. Di Jepang dan Korea menentukan batas umur antara 14-20 tahun;
8. Di Taiwan, menentukan batas umur antara 14-18 tahun;
9. Di kamboja, menentukan batas umur antara 15-18 tahun;
10. Di Negara-negara ASEAN lain, antara lain : Filipina (7-16 tahun); Malaysia
(7-18 tahun); Singapura (7-18 tahun).
Batasan usia juga dapat dilihat pada dokumen-dokumen Internasional
seperti :15
1) Task Force on Juvenile Deliquency Prevention, menentukan bahwa seyogyannya batas usia penentuan seseoarang dikategorikan sebagai anak dalam konteks pertanggungjawaban pidananya ditetapkan usia terendah 10 tahun dan batas antara 16-18 tahun;
2) Resolusi PBB 40/33 tentang UN Standard Minimum Rules for the
Administration of Juvenile Justice (Beijing Rules) menetapkan batasan anak yaitu seseorang yang berusia 7-19 tahun.
3) Resolusi PBB 45/113 hanya menentukan batas atas 18 tahun, artinya
anak adalah seseorang yang berusia di bawah 18 tahun.
Berbagai peraturan perundang-undangan tersebut itu bisa disimpulkan
bahwa bahwa terdapat perbedaan perumusan batas usia anak dapat kita perhatikan
bahwa anak dirumuskan sebagai berikut :
a) Mereka yang belum berumur 18;
b) Mereka yang belum berumur 18 dan belum pernah kawin;
c) Mereka yang belum berumur 21 tahun;
d) Mereka yang belum berumur 21 tahun dan belum pernah kawin;
e) Mereka yang belum berusia 18 tahun termasuk anak dalam kandungan.
Perbedaan penentuan batas umur anak ini akan membingungkan para
pihak baik orang tua, pemerintah aparat penegak hukum serta aktivis hak anak
dalam memenuhi hak anak. Baik ketika anak berada pada posisi sebagai korban
pelangaran HAM maupun pelaku tindak pidana. Berbagai pengertian yang
dimaksudkan dari variasi peraturan perundang-undangan maka dengan lahirnya
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
memberi patokan tersediri terhadap pengertian dan batasan usia anak.
Usia 12 tahun sebagai batasan minimum dalam kaitan
pertanggungjawaban pidana akan lebih mengena karena batas usia tersebut si anak
suadah lebih mengerti dan memahami konsekuensi dari tindakan-tindakan yang
telah dilakukannya16
b. Pengertian Anak yang Berkonflik dengan Hukum .
Seorang anak secara hakiki tidak dapat dilepaskan terhadap pengertian
bahwa anak merupakan amanah dari Tuhan yang harus dirawat, diasuh, dan
dididik sesuai potensi yang dimiliki. Pandangan yang lebih religius ini melihat
anak bukan sekedar keturunan biologis dari seseorang tetapi titipan Tuhan yang
harus dijaga keberadaannya dan kelangsungan hidupnya.
Berbicara mengenai anak sangatlah penting karena anak merupakan
potensi nasib manusia hari mendatang, dialah yang ikut berperan menentukan
sejarah bangsa sekaligus cermin hidup. bangsa pada masa mendatang.
Perhatian terhadap diri dan hakikat anak sudah dimulai pada akhir abad
ke-19, anak dijadikan sebagai obyek yang dipelajari secara ilmiah. Pelopornya
16
adalah Wilhem Preyer dalam bukunya Die Seele Des Kindes (Jiwa Anak), pada
tahun 1882, kemudian disusul oleh berbagai ahli yang meneliti anak dan menulis
phsikologi anak, antara lain William Stern menulis buku Phsyicologie Der Fruhen
Kindheit (Phsikologi Anak pada Usia sangat Muda), dan demikian pula para
penulis lainnya.17
Melalui uraian tersebut sudah dapat diperhatikan sejak dahulu para tokoh
pendidikan dan ahli sudah memperhatikan perkembangan kejiwaaan anak, karena
anak adalah pribadi yang tidak sama dengan orang dewasa. Anak memiliki sistem
kanak-kanak yang menampilkan martabat anak sendiri dan kriteria norma sendiri,
sebab sejak lahir anak sudah memperlihatkan ciri-ciri dan tingkah laku
karakterisitik yang mandiri, memiliki kepribadian yang khas dan unik. Hal ini
disebabkan oleh karena taraf perkembangan anak itu memang selalu berlainan
dengan sifat-sifatnya dan ciri-cirinya, dimulai pada usia bayi dan remaja, dewasa
dan usia lanjut, akan berlainan phsikis maupun jasmaninya.18
Kenakalan anak diambil dari istilah Juvenile delinquency, yang secara
harafiah dapat diartikan juvenile berarti anak-anak, muda, ciri atau karakteristik
pada masa muda, sifat-sifat khas pada periode remaja; sedangkan delinquency
berarti wrong doing, terabaikan atau diabaikan, yang kemudian diperluas artinya
menjadi jahat, a-sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat rebut, pengacau,
penerorm tidak dapat diperbaiki lagi, dan lain-lain.19
17
Wagiati Soetodjo, 2008, Hukum Pidana Anak, Bandung, PT.Refika Utama, hlm. 5
18
Ibid., hlm. 6
19
Istilah kenakalan anak ini pertama kali ditampilkan oleh Badan Peradilan
Anak di Amerika Serikat dalam rangka membentuk suatu Undang-Undang
Peradilan bagi anak di negara tersebut. Pembahasannya ada kelompok yang
menekankan segi pelanggaran hukumnya, ada pula kelompok yang menekankan
pada sifat tindakan anak apakah sudah menyimpang dari norma yan berlaku atau
belum melanggar hukum. Pada dasarnya pengertian semua sepakat bahwa
kenakalan anak adalah perbuatan atau tingkah laku yang bersifat anti sosial.20
Paul Moedikno memberikan perumusan, mengenai pengertian Juvenile
delinquency yaitu sebagai berikut :
Terdapat juga suatu pengertian oleh para sarjana yang memberikan ruang dalam
pengertian kenakalan anak, yang dapat diuraikan dibawah ini.
21
a. Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu
kejahatan, bagi anak-anak merupakan delinquency. Jadi semua tindakan
yang dilaranag oleh hukum pidana seperti mencuri, menganiaya, membunuh dan lainnya.
b. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang
menimbulkan keonaran dalam masyarakat.
c. Semua perbuatan yang menunjukan kebutuhan perlindungan bagi sosial
termasuk gelandangan, pengemis dan lainnya.
Menurut Kartini Kartono yang dimaksud dengan Juvenile delinquency
adalah perilaku dursila atau jahat, atau kejahatan anak-anak muda, merupakan
gejala sakit (aptologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan
oleh suatu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk
pengabaian tingkah laku yang menyimpang.22
Pendapat sarjanawan yang lain dapat kita lihat dari pendapat Romli
Atmasasmita memberikan pula perumusan mengenai Juvenile delinquency yaitu
setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang dibawah umur 18 (delapan belas)
tahun dan belum kawin merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum
yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang
bersangkutan.23
a. Anak yang melakukan tindak pidana, atau
Pengertian Undang-Undang Pengadilan Anak yang lama pada Pasal 1 butir
2 yang dimaksud dengan anak nakal adalah :
b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak, baik
menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum
lainnya yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Dikatakan sebagai kenakalan anak dianggap lebih baik daripada istilah
“kejahatan anak” yang dipandang terlalu ekstrim seorang anak melakukan tindak
pidana dikatakan sebagai penjahat sementara kejadiannya adalah proses alami
yang tidak boleh tidak setiap manusia harus mengalami kegoncangan semasa
menjelang kedewasaannya.
Lahirnya UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
yang menggantikan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak juga ikut
menggantikan istilah “anak nakal” tersebut dengan “anak yang berkonflik dengan
hukum”. Anak yang berhadapan dengan hukum pengertiannya terbagi atas 3 (tiga)
yang salah satunya adalah anak yang berkonflik dengan hukum yang merupakan
23Ibid.,
pelaku tindak pidana. Menurut Widodo, penggunaan istilah Anak untuk
menggantikan Anak Nakal tersebut hanya sebagai penghalusan bahasa (eufisme)
agar tidak memberikan efek negatif. Penggunaan istilah Anak dalam prespektif
labeling memang bisa dipahami untuk menggantikan istilah Anak Nakal, karena
jika disebut dengan anak nakal, anak pidana, anak Negara, anak sipil maka akan
selalu memberikan stigma negatif yang secara kriminologis akan mendorong
pengulangan tindak pidana pada anak yang terlanjur mendapat label.24
2. Pengertian Diversi dan Restoratif Justice
a. Diversi.
Definisi menurut Jack E. Byum dalam bukunya Juvenille Deliquency a
Sociological Approach, yaitu : Diversion is an attempt to divert, or channel out,
youthfull offenders from the juvenile justice sistem (diversi adalah sebuah tindakan
atau perlakuan untuk mengalihkan dan menempatkan pelaku tindak pidana anak
dari sistem peradilan pidana.25
Konsep diversi dalam Black Law Dictionary yang diterjemahkan sebagai
Divertion Programme, yaitu :26
“a programme that refers certain criminal defenfants before trial to
community programs on job training, education, and the like, which if
24
Sri Sutatiek, 2012, Rekonstruksi Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana Anak di Indonesia, Yogyakarta, Aswaja Pressindo, hlm. 3
25
Marlina,2010, Pengantar Konsep Diversi dan Restoratif Justice dalam Hukum Pidana,
USU Press, Medan, hlm. 10
26
Johanes Gea, “Diversi sebagai Salah Satu Alternatif Penyelesaian Terbaik Kasus Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum”, (Skripsi Program Studi Ilmu Hukum Unversitas Indonesia,
Depok, 2011), hlm. 73, di akses dari
successfully completed may lead to the dismissal of the charges.” (program yang
ditunjukan kepada seseorang tersangka, sebelum proses persidangan berupa
community programme seperti pelatihan kerja, pendidikan dan semacamnya,
dimana jika program ini berhasil memungkinkan dia untuk tidak melanjutkan
proses peradilan pidana selanjutnya).
Menurut United Nations Standard Minimum Rules for the Administration
of Juvenille Justice (The Beijing Rules) pada butir 6 dan 11 terkandung pengertian
mengenai diversi yaitu suatu proses pelimpahan anak yang berkonflik dengan
hukum dari sistem peradilan pidana ke proses informal seperti mengembalikan
kepada lembaga sosial masyarakat baik pemerintah atau non pemerintah.27
b. Restoratif Justice
Berdasarkan pengertian dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
pengertian diversi diamanatkan melalui Undang-Undang No. 11 tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pada Pasal 1 angka 7, diversi adalah
pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di
luar peradilan pidana.
Ahli kiminologi berkebangsaan Inggris Tony F. Marshall dalam tulisannya
mengemukakan bahwa definisi restorative justice adalah restorative justice is a
process whereby all the parties with a stake in a particular offence come together
to resolve collectively how to deal with the aftermath of the offences and its
implications for the future (restorative justice adalah sebuah proses dimana semua
pihak yang berkepentinan dalam pelanggaran tertentu bertemu secara
27Ibid.,
sama untuk menyelesaikan secara bersama-sama bagaimana menyelesaikan akibat
dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan).28
Umbreit menjelaskan bahwa restorative justice is a victim ceterd response
to crime that allows victim, the offender, their familys, and representatives of the
community to address the harm caused by the crime (keadilan restoratif adalah
sebuah tanggapan terhadap tindak pidana yang berpusatkan kepada korban yang
mengizinkan korban, pelaku tindak pidana, keluarga-keluarga mereka, dan para
perwakilan dari masyarakat untuk menangani kerusakan dan kerugian yang
diakibatkan oleh tindak pidana.29
3. Pengertian Sistem Peradilan Pidana Anak
Berdasarkan Pasal 1 angka 6 restorative justice atau keadilan restoratif
penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga
pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari
penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan
semula, dan bukan pembalasan.
Istilah criminal justice system atau sistem peradilan pidana menunjukan
mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar
“pendekatan sistem”. Menurut Remington dan Ohlin sistem peradilan pidana
dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme
28
Barry Goldson & John Muncie, 2006, Youth Crime and Justice: Critical Issue,
California, SAGE Publications Ltd, hlm 110.
29
administrasi peradilan pidana. 30 Sebagai suatu sistem peradilan pidana merupakan
hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan
sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian mengenai sistem ini sendiri
mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional
dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala
keterbatasannya.31
Sebagai suatu sistem, sistem peradilan pidana memiki ciri-ciri tertentu
yang membedakannya dengan sistem peradilan pidana lainnya. Pertama, ia
merupakan suatu sistem yang terbuka (open system), dalam pengertian sistem
pidana dalam gerakannya akan selalu mengalami interfance (interaksi, berkoneksi
dan independensi) dengan lingkungannya dalam peringkat-peringkat masyarakat
yaitu ekonomi, politik, pendidikan, dan teknologiserta sub-sub sistem dalam
peradilan pidana itu sendiri. Kedua, tujuan yang memiliki tujuan jangka pendek,
jangka menengah dan jangka panjang. Tujuan sistem peradilan pidana pada
jangka pendek adalah diharapkan pelaku menjadi sadar akan perbuatannya
sehingga tidak melakukan kejahatan lagi. Tujuan jangka menengah adalah
terwujudnya suasana tertib, aman dan damai di dalam masyarakat sedangkan
tujuan jangka panjang adalah terciptanya tigkat kesejahteraan yang menyeluruh di
kalangan masyarakat. Ketiga, transformasi nilai dalam arti sistem peradilan dalam
operasi kerjanya pada setiap komponen-komponennya harus menyertakan dan
memperjuangkan nilai-nilai dalam setiap tindakan dan kebijakan yang dilakukan.
30
Anthon Freddy Susanto, 2004, Wajah Peradilan Kita (Konstruksi Sosial tentang Penyimpangan, Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana, PT. Refika Aditama, Bandung, hlm. 74
31
Keempat adanya, mekanisme kontrol yaitu menjalankan pengawasan sebagai
respon terhadap penanggulangan kejahatan.32
Mardjono mengemukakan empat komponen sistem peradilan pidana yaitu
kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan diharapkan dapat
bekerja sama dan dapat membentuk suatu sistem peradilan pidana yang terpadu.33
a. Pengertian Sistem Peradilan Pidana Anak
Keempat komponen ini pun sangatlah penting di dalam sistem peradilan pidana
anak secara khususnya.
Istilah sistem peradilan pidana anak merupakan terjemahan dari istilah dari
The Juvenille Justice Sistem yaitu istilah yang digunakan sedefinisi dengan
sejmlah institusi yang tergabung di dalam pengadilan, yaitu meliputi polisi, jaksa
penuntut umum dan penasehat hukum, lembaga pengawasan, pusat-pusat
penahanan anak dan fasilitas-fasilitas penahanan anak.34
Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
menggunakan terminologi “pengadilan” daripada “peradilan” sebagaimana
lazimnya digunakan oleh undang-undang. Penggunaan terminologi “pengadilan
anak” memang lebih tepat daripada peradilan anak sebab di dalam
Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pada
Pasal 10 ayat (1) menyebutkan bahwa ada 4 (empat) lingkungan peradilan yaitu,
32
Mahrus Ali, 2013, Membumikan Hukum Progresif, Aswaja Presindo, Yogyakarta, hlm.32
33Ibid
.
34
peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha Negara dan peradilan
militer.35
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak menggunakan terminologi “Peradilan Anak”, tidak diartikan sebagai badan
peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) UUD RI tahun 1945
yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha Negara dan Mahkamah Konstitusi.36
b. Tujuan Sistem Peradilan Pidana Anak
Penjelasan UU sistem
peradilan pidana anak, Peradilan anak merupakan bagian dari lingkungan
peradilan umum, sehingga batasan pengertian yang termaktub di dalam
Undang-undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah
keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum,
mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani
pidana.
Tujuan sistem peradilan pidana bagi anak menurut The Beijing Rules
dimuat pada Rule 5.1 Aims of Juvvenile Jutice, adalah mengutamakan
kesejahateraan anak dan akan memastikan bahwa reaksi apapun terhadap
pelanggar-pelanggar hukum berusia anak akan selalu sepadan dengan
keadaan-keadaan baik pada pelanggar-pelanggar hukumnya.37
35
Abintoro Prakoso, 2013, Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Anak, Laksbang Grafika, Yogyakarta, hlm. 24
36Ibid,
hlm. 26.
37
Tujuan sistem peradilan pidana anak menurut Resolusi PBB 45/113 tangal
14 Desember 1990, The United Nations for the Protection of Juvenile Deprived of
Liberty adalah sistem pengadilan bagi anak harus menjunjung tinggi hak-hak anak
dan keselamatan serta memajukan kesejahteraaan fisik dan mental pada anak,
serta hukuman penjara dgunakan sebagai upaya terakhir.38
G. Metode Penelitian
Tujuan sistem peradilan pidana anak menurut Undang-Undang No. 11
Tahun 2012 dalam penjelasannya agar terwujud peradilan yang benar-benar
menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan
dengan hukum.
Metode penelitian diperlukan agar tujuan penelitian dapat lebih terarah dan
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Ada 2 (dua) macam tipologi
penelitian hukum yang lazim digunakan yaitu penelitian hukum normatif dan
penelitian hukum empiris. Dalam penulisan skripsi ini, metode penelitian yang
dipakai adalah sebagai berikut :
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian menggunakan metode pendekatan yuridis normatif atau
penelitian kepustakaan atau penelitian hukum doktrinal yang dapt diartikan
sebagai penelitian hukum dengan cara meneliti bahan pustaka dan bahan
sekunder.39
38Ibid
.
39
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif-Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, hlm. 13
menggunakan beberapa penelitian hukum yaitu penelitian asas-asas hukum dan
penelitian untuk menemukan hukum in concreto.40
Penelitian terhadap asas-asas hukum dilakukan terhadap norma-norma
hukum yaitu yang merupakan patokan untuk bertingkah laku yang terdapat dalam
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.41
2. Jenis Data dan Sumber Data
Asas-asas hukum yang
dimaksud dapat dibedakan menjadi asas hukum konstitutif dan asas hukum
regulatif dimana kedua asas ini merupakan landasan dasar pembentukan hukum
yang mengikat dan berkeadilan.
Penelitian hukum in concreto yang dilakukan adalah untuk menemukan
hukum yang sesuai untuk diterapkan guna menyelesaikan suatu permasalahan
yaitu konsep yang sesuai untuk menganalisa permasalahan dalam sistem peradilan
pidana anak dalam UU No. 11 Tahun 2012 .
Penelitian yuridis normatif menggunakan jenis data sekunder sebagai data
utama. Data sekunder adalah data yang didapat tidak secara langsung dari objek
penelitian, data sekunder yang dipakai penulis adalah sebagai berikut :
a) Bahan-bahan hukum primer. Yaitu bahan-bahan yang mengikat, antara lain :
1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;
2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP);
3. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak;
40
Ibid., hlm. 63
41
4. Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak;
5. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
6. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
7. Undang-Undang No. 4 tentang Kesejahteraan Anak;
8. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian;
b) Bahan-bahan sekunder. Yaitu bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum
primer seperti buku-buku referensi yang berkaitan dengan judul skripsi,
artikel atau jurnal hukum, laporan atau hasil penelitian dan sebagainya yang
diperoleh melalui media cetak maupun media elektronik.
c) Bahan-bahan hukum tersier. Yaitu bahan penunjang yang memberikan
informasi tentang bahan primer dan sekunder. Bahan hukum tersier lebih
dikenal dengan bahan acuan di bidang hukum atau bahan rujukan di bidang
hukum misalnya biografi hukum, ensiklopedi hukum, kamus, direktori
pengadilan dan lain sebagainya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dari penulisan skripsi ini dilakukan melalui teknik studi
pustaka (library research) dan juga media elektronok seperti internet. Untuk
memperoleh data dari sumber ini penulis mengumpulkan, mengolah, menafsirkan
dan membandingkan bahan-bahan yang dinilai relevan dengan permasalahan yang
akan ditulis dalam skripsi ini.
Pada penelitian hukum normatif yang menelaah data sekunder, maka
biasanya penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisanya42.Metode analisis
data yang dilakukan adalah metode analisis kualitatif43
a. Mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder dan tertier yang relevan
dengan permasalahan yang terdapat pada penelitian ini.
, yaitu dengan :
b. Melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan di atas agar
sesuai dengan masing-masing permaslahan yang dibahas.
c. Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan dari
permasalahan.
d. Memaparkan kesimpulan yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif
yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.
H. Sistematika Penulisan
Pembahasan dan penyajian suatu penelitian harus terdapat keteraturan agar
terciptanya karya ilmiah yang baik. Skripsi ini dibagi dalam beberapa bab yang
saling berkaitan satu dengan yang lain, karena isi dari skripsi ini bersifat
berkesinambungan antara bab yang satu dengan yang lainnya.
42
Soerjono Soekanto, 1994, Pengantar Penelitian Hukum, Depok, Universitas Indonesia Press, hlm. 69
43
Penulisan skripsi ini dibagi atas 4 (empat) bab yang disusun dengan
sistematis untuk menguraikan masalah yang akan dibahas dengan urutan sebagai
berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini berisi tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah,
Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan
Kepustakaan, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan.
BAB II PERKEMBANGAN KONSEP DIVERSI DAN RESTORATIF
JUSTICE DI INDONESIA
Pada bab ini akan dikemukakan pada bagian pertama mengenai
sejarah lahirnya konsep diversi dan restorative justice serta
perkembangannya di berbagai Negara termasuk Indonesia. Bagian
kedua dikemukakan mengenai prinsip serta tujuan diversi dan
restorative justice, dan bagian ketiga kajian yuridis terhadap
pengaturan konsep diversi dan restorative justice dalam instrument
hukum internasional dan nasional.
BAB III PENERAPAN KONSEP DIVERSI DAN RESTORATIF JUSTICE
DALAM UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG
SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
Pada bagian pertama dikemukakan mengenai latar belakang
dimasukannya konsep diversi dan restorative justice dalam
bagian kedua dikemukakan mengenai para pihak yang terlibat dalam
sistem peradilan pidana anak, serta bagian terakhir dikemukakan
proses peradilan pidana anak dalam Undang-Undang No. 11 tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
BAB IV KELEMAHAN PENGATURAN KONSEP DIVERSI DAN
RESTORATIVE JUSTICE DALAM UNDANG-UNDANG NO. 11
TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
DAN UPAYA MENGATASI KELEMAHAN TERSEBUT
Pada bagian pertama bab ini akan dibahas mengenai perbedaan antara
undang-undang no. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak, bagian kedua dibahas tentang kelemahan pengaturan diversi
dan restorative justice dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012.
BAB V PENUTUP
Pada bab terakhir ini dikemukakan kesimpulan dari bagian awal
hingga bagian akhir penulisan yang merupakan ringkasan dari
substansi penulisan skripsi ini, dan saran-saran yang penulis