• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. PRASANGKA

1. Pengertian Prasangka

Menurut Baron dan Byrne (2003) prasangka merupakan sikap (biasanya negatif) terhadap anggota kelompok tertentu, semata berdasarkan keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki prasangka terhadap kelompok sosial tertentu cenderung mengevaluasi anggotanya dengan cara yang sama (biasanya secara negatif) semata karena mereka anggota kelompok tersebut.

Brehm dan Kassin dalam Dayakisni dan Hudaniah (2003) berpendapat bahwa prasangka adalah perasaan negatif yang ditujukan terhadap target prasangka semata-mata berdasarkan pada keanggotaannya dalam kelompok tertentu. Ini berarti bahwa prasangka melibatkan penilaian apriori karena memperlakukan objek sasaran prasangka (target prasangka) tidak berdasarkan pada karakteristik unik atau khusus dari individu, tetapi melekatkan karakteristik kelompoknya yang menonjol.

Menurut Gerungan (2002) prasangka merupakan sikap perasaan orang-orang terhadap golongan manusia tertentu, golongan ras atau kebudayaan, yang berlainan dengan golongan orang yang berprasangka itu. Prasangka terdiri dari sikap-sikap sosial yang negatif terhadap golongan lain dan mempengaruhi tingkah

(2)

lakunya terhadap golongan manusia lain tadi. Prasangka yang pada mulanya hanya merupakan sikap perasaan negatif itu lambat laun akan menyatakan dirinya dalam tindakan-tindakan yang diskriminatif terhadap orang-orang yang termasuk golongan yang diprasangkai itu, tanpa terdapat alasan-alasan objektif pada pribadi orang yang dikenakan tindakan-tindakan diskriminatif.

Sherif dan Sherif dalam Ahmadi (1991) mengemukakan bahwa prasangka adalah suatu sikap negatif para anggota suatu kelompok, berasal dari norma mereka yang pasti, kepada kelompok lain beserta anggotanya. Lebih lanjut Sherif menjelaskan bahwa prasangka disini dimaksudkan sebagai suatu sikap yang tidak simpatik terhadap kelompok luar (outgroup).

Dalam penelitian ini, prasangka diartikan sebagai sikap negatif yang ditunjukkan oleh pengusaha Tionghoa terhadap karyawan etnis Pribumi. Target prasangka jelas adalah golongan etnis Pribumi, dengan demikian, prasangka timbul dikarenakan oleh perbedaan ras, dengan kata lain, prasangka dalam penelitian ini merupakan prasangka rasial.

2. Pendekatan Teoritik Terhadap Prasangka

Menurut Soeboer (1990) terdapat beberapa pendekatan teoritik yang membahas masalah prasangka dan diskriminasi. Secara garis besar, pendekatan ini dibagi menjadi tiga, yaitu :

(3)

Pendekatan sosial berusaha menerangkan bagaimana diskriminasi dilahirkan serta dipelihara oleh lingkungan sosial. Dalam pendekatan ini ada beberapa hal yang dianggap sebagai penyebab timbulnya dan terpeliharanya prasangka dan diskriminasi diantaranya dapat ditinjau dari :

1. Teori ketidaksamaan sosial (social inequalities)

Teori ini beranggapan bahwa ketidak samaan status akan menghasilkan prasangka. Para budak dianggap bodoh, tidak bertanggung jawab, tidak memiliki ambisi oleh majikan mereka. Anggapan ini tetap dipertahankan agar struktur sosial yang telah mapan (menguntungkan para majikan) terpelihara. Dengan demikian prasangka terhadap kelompok bawah dapat dipakai untuk membenarkan superioritas ekonomi dan sosial bagi mereka yang kaya dan memiliki kekuasaan (Myers dalam Soeboer, 1990)

2. Teori konflik realistik (realistic conflict theory)

Menurut teori ini, kompetensi antar kelompok merupakan lahan subur bagi timbulnya prasangka. Kompetisi ini lahir karena sumber daya yang dianggap bernilai oleh manusia pada kenyataannya memiliki jumlah yang terbatas. Keadaan ini mengakibatkan timbulnya kompetisi antar berbagai kelompok sosial untuk memperebutkan sumber daya yang dianggap berharga sekaligus terbatas tersebut. Dengan adanya kompetensi antar kelompok, individu dari kelompok tertentu akan memandang individu dari kelompok lain secara negatif. Mereka menganggap individu dari kelompok lain sebagai musuh dan menganggap kelompoknya benar (White dalam

(4)

Soeboer, 1990). Kondisi semacam ini pada akhirnya akan membawa individu dari kelompok yang satu menjadi berprasangka (yang dapat diikuti oleh diskriminasi) terhadap individu dari kelompok lain.

3. Ingroup bias

Ingroup bias merupakan anggapan bahwa kelompoknya merupakan kelompok yang paling baik. Ingroup bias dapat merefleksikan kesukaan terhadap ingroup, ketidaksukaan terhadap outgroup, atau kombinasi dari keduanya. Implikasinya adalah loyalitas kepada kelompoknya akan diikuti dengan penilaian yang rendah terhadap kelompok lain. Dari sinilah muncul prasangka (yang dapat diikuti oleh diskriminasi) terhadap kelompok yang dinilai negatif tersebut.

4. Konformitas norma sosial

Masalah prasangka dan diskriminasi dapat dilihat dari bagaimana institusi yang ada berperan dalam masalah ini serta bagaimana norma-norma sosial masyarakat yang mendukung terjadinya prasangka dapat mendorong seseorang untuk konform dengan norma-norma tersebut. Bila prasangka merupakan norma sosial, maka akan banyak orang konform dengan norma ini. Mereka konform dengan norma ini supaya mereka disukai dan diterima (Pettigrew dalam Soeboer 1990). Dengan demikian menurut pandangan ini, prasangka bukan merupakan manifestasi dari individu yang memiliki kepribadian yang ”sakit”, tetapi lebih disebabkan oleh norma-norma yang ada adalah norma-norma yang mendukung terjadinya prasangka.

(5)

Biasanya norma ini juga akan terwujud melalui dukungan-dukungan institusi seperti adanya pemisahan sekolah antara anak-anak kulit putih dan anak-anak kulit hitam di Amerika.

5. Teori belajar sosial (social learning theory)

Menurut teori belajar sosial, prasangka terhadap kelompok lain tidak timbul dengan sendirinya, melainkan merupakan hasil belajar dari lingkungan sosialnya (Bandura dalam Soeboer 1990). Prasangka dapat terjadi karena subjek belajar dari orang-orang di sekitarnya yang berprasangka terhadap kelompok lain dengan cara meniru atau mendapatkan pengukuhan positif dari orang-orang tersebut bila menunjukkan sikap berprasangka.

b. Pendekatan Emosional dan Psikodinamik

Menurut pendekatan emosional dan psikodinamik, prasangka tidak hanya tumbuh dari pembenararan secara intelektual, tetapi dapat juga tumbuh dari emosi yang meluap-luap. Apabila ditinjau dari teori frustasi-agresi, dapat dilihat bahwa rasa frustasi pada seseorang dapat menimbulkan agresi. Atau dengan kata lain agresi merupakan respon alamiah terhadap pengalaman-pengalaman frustasi. Dengan demikian individu yang mengalami frustasi akan berperilaku agresif terhadap sumber frustasi. Namun bila sumber frustasi adalah individu yang memiliki status lebih tinggi, maka tidak mungkin bagi individu yang mengalami frustasi untuk menunjukkan agresivitasnya terhadap orang tersebut karena takut akan konsekuensi yang dihadapinya. Akibatnya, ia

(6)

memindahkan agresivitasnya kepada orang lain yang memiliki status yang lebih rendah (kelompok minoritas) sebagai kambing hitam sehingga konsekuensinya lebih ringan atau tanpa sanksi. Oleh karena itu, pendekatan ini sering disebut juga sebagai scape goat theory.

c. Pendekatan Kognitif

Pendekatan ini menekankan bagaimana individu yang berprasangka menerima dan memproses informasi yang berkaitan dengan target prasangka (Feldman dalam Soeboer 1990). Pendekatan ini lebih memperhatikan mengenai pengalaman subjektif individu yang berprasangka terhadap dunia di sekitar mereka dan orang-orang yang hidup di dalamnya. Secara umum, pendekatan ini dapat dijelaskan dalam tiga bagian yaitu:

1. Kategorisasi sosial (social categorization)

Dalam kehidupan sehari-harinya, individu memiliki kecenderungan untuk membagi dunia sosial mereka menjadi dua kategori yang jelas, yaitu ”kita dan mereka” atau ”us versus them” (Baron dalam Soeboer 1990). Kelanjutan dari kecenderungan ini adalah bahwa individu menganggap kelompok ”kita” lebih baik dibandingkan dengan kelompok ”mereka”. Bahkan biasanya kelompok ”mereka” akan dipandang dengan kacamata yang negatif. Kelompok ”mereka” dianggap memiliki karakteristik yang kurang dapat diterima dan konsekuensinya kelompok ”mereka” tidak disukai oleh mereka yang mengkategorikan dirinya sebagai kelompok ”kita”. Menurut Tafjel (dalam Soeboer, 1990), kekuatan yang ada dibalik

(7)

kecenderungan individu untuk mengkotak-kotakkan individu lain dalam dua kategori tersebut berasal dari keinginan individu untuk menaikkan harga diri mereka dengan mengidentifikasikan dirinya ke dalam kelompok sosial tertentu. Cara ini akan berhasil hanya jika individu tersebut memandang kelompok yang dipilihnya ini sebagai lebih superior daripada kelompok lain, atau kelompok pesaing. Bila masing-masing kelompok menganggap kelompoknya lebih superior, maka yang timbul pada akhirnya adalah prasangka antar kelompok. Tafjel menamakan proses ini sebagai kompetisi sosial untuk membedakannya dari teori konflik realistik. Penelitian yang dilakukan Meindl dan Lerner (1985) menunjukkan bahwa pengalaman akan kegagalan pada individu akan mengintensifkan kebutuhan individu untuk menaikkan harga dirinya dan akan membawanya pada kategorisasi sosial. Subjek yang mengalami kegagalan akan berusaha menaikkan harga diri mereka dengan menilai anggota dari kelompok lain secara ekstrim. Hasil penelitian ini mendukung adanya pandangan bahwa individu cenderung membagi dunia sosial ini menjadi dua kelompok ”kita” dan ”mereka” yang pada akhirnya memainkan peran dalam pengembangan prasangka rasial, etnik, atau agama.

2. Attribution error

Individu yang berprasangka secara sistematik akan menyimpangkan atribusi mereka terhadap target prasangka dengan membuat atribusi yang menyenangkan mengenai kelompok mereka (kelompok mayoritas) dan membuat atribusi yang tidak menyenangkan terhadap anggota kelompok

(8)

minoritas yang diprasangkai (Feldman dalam Soeboer, 1990). Menurut Pettigrew (dalam Soeboer, 1990), individu yang berprasangka cenderung membuat ultimate attribution error. Ultimate attribution error menunjukkan bahwa bila individu yang berprasangka melihat target prasangka sedang melakukan suatu tindakan yang negatif, ia akan cenderung memberikan atribusi bahwa perilakunya memang merupakan karakteristik yang stabil pada disposisinya, dan sebaliknya cenderung menganggap perilakunya yang negatif dipengaruhi oleh faktor-faktor situasional.

3. Illusion of outgroup homogeneity

Pendekatan kognitif ketiga mengenai prasangka dan diskriminasi adalah adanya kekeliruan persepsi yang terjadi pada individu yang berprasangka (Baron dalam Soeboer, 1990) yang disebut dengan istilah illusion of outgroup homogeneity. Selain itu juga terdapat istilah stereotip. Stereotip merupakan penggeneralisasian terhadap suatu kelompok tanpa melakukan pengecekan secara akurat. Pada illusion of outgroup homogeneity terdapat usaha dari individu yang berprasangka untuk menghubungkan hal-hal yang sebenarnya tidak berhubungan dalam rangka mendukung pendapatnya mengenai hal-hal negatif yang terdapat pada anggota kelompok yang diprasangkai. Sedangkan pada stereotip, terdapat kecenderungan seseorang untuk menganggap anggota kelompok lain memiliki sifat-sifat atau hal-hal yang bersifat umum atau homogen dibandingkan dengan sifat-sifat dari anggota kelompoknya sendiri.

(9)

3. Aspek-aspek Prasangka

Menurut Ahmadi (1991), prasangka terdiri dari tiga aspek, yaitu: a. Aspek kognitif

Aspek kognitif merupakan sikap yang berhubungan dengan hal-hal yang ada dalam pikiran. Hal ini terwujud dalam pengolahan pengalaman dan keyakinan serta harapan-harapan individu tentang sekelompok objek tertentu.

b. Aspek Afektif

Merupakan proses yang menyangkut perasaan-perasaan tertentu seperti ketakutan, kedengkian, simpati, antipati, dan sebagainya yang ditujukan kepada objek-objek tertentu.

c. Aspek Konatif

Prasangka merupakan suatu tendensi / kecenderungan untuk bertindak atau berbuat sesuatu terhadap objek tertentu, misalnya kecenderungan memberi pertolongan, menjauhkan diri, dan sebagainya.

4. Kategori Prasangka

Dalam eksperimen yang dilakukan oleh Oskamp (2000), Oskamp mengkategorikan prasangka dalam dua kategori: orang yang memiliki prasangka tinggi dan orang yang memiliki prasangka rendah.

Orang yang dikategorikan memiliki prasangka tinggi dengan orang yang dikategorikan memiliki prasangka rendah berbeda dalam beberapa hal, yaitu: 1. Kepercayaan terhadap stereotip yang ada

(10)

Orang yang memiliki prasangka tinggi percaya dan turut mendukung stereotip yang ada terhadap kelompok minoritas. Sedangkan orang yang memiliki prasangka rendah akan menunjukkan sikap yang netral dan menganggap semua orang memiliki derajat yang sama.

2. Personal Standard

Orang yang memiliki prasangka yang rendah dengan orang yang memiliki prasangka yang tinggi berbeda dalam personal standard, yaitu pemikiran mereka mengenai bagaimana seharusnya kelompok yang diprasangkai (stigmatized groups) diperlakukan. Ketika kelompok yang diprasangkai diperlakukan dengan tidak baik, maka orang yang memiliki prasangka rendah merasa dirinya bertanggung jawab atas hal tersebut, bahkan apabila standard untuk tidak berprasangka (nonprejudiced standard) telah menginternalisasi, maka mereka cenderung merasa bersalah dan mengkritik diri sendiri apabila kelompok yang diprasangkai diperlakukan tidak baik.

5. Tipe-tipe Prasangka

Menurut Gaertner, Jones, dan Kovel dalam Soeboer (1990) secara umum, cara individu berpikir dan bersikap terhadap kelompok tertentu dapat dibedakan menjadi tiga tipe:

a. Tipe Dominative

Individu tipe ini akan mengekspresikan prasangkanya secara nyata terhadap kelompok yang diprasangkainya. Tindakan yang dilakukan dapat berupa

(11)

tindakan penyerangan atau agresivitas terhadap target prasangka. Kelompok tipe ini juga berusaha menempatkan kelompok yang diprasangkainya tetap pada tempatnya.

b. Tipe Ambivalen

Individu seperti ini dapat mengekspresikan perasaan tidak suka terhadap target prasangka tetapi pada saat yang sama bersimpati terhadap keadaan mereka. Individu seperti khawatir bila target prasangka hidup bertetangga dengannya akan mengakibatkan timbulnya tindakan destruktif dari target prasangka terhadap dirinya.

c. Tipe Aversive

Individu seperti ini memandang dirinya sebagai liberal, tidak berprasangka, dan menunjukkan sikap yang positif terhadap program-program yang dirancang untuk membantu anggota kelompok yang diprasangkai. Ia akan bersikap ramah dan sopan dalam mengadakan kontak dengan target prasangka. Namun demikian, dibalik tindakan tersebut sebenarnya ia berusaha sedapat mungkin menghindari interaksi dengan target prasangka. Jadi sebenarnya gambaran diri sebagai liberal yang dibuatnya tidak mencegahnya untuk melakukan perilaku tokenistik (individu yang berprasangka menunjukkan tindakan yang positif terhadap target prasangka) sebagai suatu alasan untuk menolak melakukan hubungan yang lebih intens dan serius dengan target prasangka.

(12)

6. Target Prasangka

Menurut Hogg & Vaughan (2002), terdapat lima target dari prasangka yang kemudian menjalar menjadi diskriminasi, antara lain:

a. Sexism

Sexism merupakan prasangka dan diskriminasi yang dilakukan terhadap orang atau kelompok lain berdasarkan pada jenis kelamin mereka. Menurut Deaux & LaFrance dalam Hogg & Vaughan (2002), penelitian tentang sexism lebih difokuskan pada prasangka dan diskriminasi terhadap wanita. Hal ini dikarenakan kebanyakan korban dari sexism adalah wanita dan juga karena adanya perbedaan posisi atau jabatan antara pria dan wanita dalam dunia bisnis, pemerintahan, dan pekerjaan. Sexism terhadap wanita berawal dari stereotype masayarakat terhadap peran wanita. Pada jaman dahulu, tugas wanita adalah menjaga rumah, merawat anak-anak dan suami, sedangkan pria keluar rumah seharian untuk mencari nafkah bagi keluarga. Pada jaman sekarang, pekerjaan wanita juga banyak yang diasosiasikan dengan pekerjaan pelayan di restoran, operator telepon, seketaris, suster, babysitter, dan guru Sekolah Dasar ataupun Taman Kanak-kanak, sedangkan pekerjaan pria lebih diasosiasikan dengan dokter gigi, teknisi, pengacara, supir truk, akuntan, dan top executive. Pekerjaan-pekerjaan tertentu yang diasosiasikan dengan pekerjaan wanita biasanya kurang dihargai (Greenglass dalam Hogg & Vaughan, 2002). Stereotype tersebut terus berlanjut sampai sekarang, sehingga sangat sulit bagi wanita untuk mendapatkan pekerjaan yang berstatus tinggi seperti menjadi pemimpin dalam suatu organisasi.

(13)

b. Racism

Racism merupakan prasangka dan diskriminasi yang dilakukan terhadap orang atau kelompok lain berdasarkan pada ras dan etnis mereka. Genocide yang pernah terjadi di Jerman, Yugoslavia, Irak, dan Rwanda merupakan salah satu akibat dari adanya diskriminasi. Racism berawal dari adanya stereotype terhadap orang atau kelompok lain yang berbeda ras atau etnsis. Pada saat sekarang, racism dilihat dianggap sebagai sesuatu yang tidak bermoral dalam masyarakat. Walaupun demikian, racism tidak akan hilang begitu saja. Setiap orang dalam setiap generasi akan racist dalam hatinya, hanya saja cara mengekspresikannya berbeda (Crosby, dkk dalam Hogg & Vaughan, 2002).

c. Ageism

Ageism merupakan prasangka dan diskriminasi yang dilakukan terhadap orang lain berdasarkan usianya. Pada kebudayaan tertentu yang menganut sistem extended family, orang yang berusia lebih tua akan dianggap sebagai orang yang bijaksana karena lebih berpengalaman, sedangkan pada nuclear family tidak demikian. Pada nuclear family, orang-orang muda dinilai lebih baik, sedangkan orang-orang tua diberi stereotype yang kurang menarik. Orang-orang tua biasanya akan dianggap tidak berharga dan lemah dan mereka juga tidak mendapatkan hak mereka.

d. Prasangka Terhadap Homoseksual

Pada kebanyakan masyarakat, homoseksual dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang dan tidak bermoral sehingga penyiksaan terhadap homoseksual

(14)

dianggap legal dan dapat diterima. Pada sekitar tahun 1980-an, pemerintah Australia mengesahkan undang-undang untuk tidak melayani orang-orang yang sesat dan menyimpang salah staunya adalah homoseksual.

e. Prasangka Terhadap Penderita Cacat Fisik

Pada jaman dahulu, prasangka dan diskriminasi terhadap penderita cacat fisik adalah mereka dianggap sebagai orang yang rendah. Akan tetapi pada saat sekarang orang-orang sudah mulai bisa menghargai penderita cacat fisik. Pada kebanyakan negara, disediakan tempat jalan khusus untuk penderita cacat fisik. Selain itu, penderita cacat fisik juga diperbolehkan untuk mengikuti ajang perlombaan Olimpiade. Pada dasarnya, orang-orang tidak mendiskriminasi penderita cacat fisik, hanya saja orang-orang merasa tidak nyaman dengan kehadiran mereka karena takut tidak bisa berinteraksi dengan mereka.

7. Usaha Mengurangi Prasangka

Berdasarkan pendekatan teoritik mengenai diskriminasi yang telah diuarikan, maka Soeboer (1990) mengemukakan beberapa kemungkinan upaya untuk mengurangi atau mencegah timbulnya prasangka dan diskriminasi:

a. Mengadakan kontak atau berinteraksi dengan target prasangka

Kontak yang dimaksud adalah kontak yang dilakukan dengan syarat-syarat tertentu (Baron dan Byrne, Bochner, dan Feldman dalam Soeboer 1990). Kontak antar individu yang berprasangka dengan target prasangka hanya akan

(15)

efektif bila didukung oleh beberapa kondisi atau syarat. Kontak yang diasumsikan akan efektif terjadi bila status partisipan dalam kondisi yang sama, hubungan yang terjadi adalah hubungan yang intim dan bukan hubungan yang superficial, situasi kontak yang melibatkan aktivitas yang interdependen serta kooperatif, adanya tujuan yang lebih tinggi yang hendak dicapai, serta situasi kontak yang menyenangkan dan saling mendukung. Yang paling utama adalah adanya iklim sosial yang menyenangkan dan harmonis dalam kontak tersebut.

b. Melalui pendekatan belajar sosial

Saran lain yang dapat diusulkan adalah mengajarkan pada anak untuk tidak membenci. Peranan orang tua, guru, media massa, atau orang dewasa yang dianggap penting bagi anak-anak (significant others) memainkan peranan penting bagi terbentuknya sikap menyukai atau tidak menyukai kelompok lain melalui contoh-contoh perilaku yang ditunjukkannnya. Dengan adanya kesadaran dari orang tua atau guru mengenai pentingnya peran mereka sebagai model yang tidak berprasangka, maka dapat diharapkan bahwa anak-anak belajar untuk tidak berprasangka melalui model dan pengukuhan positif yang diberikan oleh orang dewasa (Baron dan Byrne dalam Soeboer, 1990).

c. Belajar untuk mengerti adanya perbedaan

Setiap orang lain itu berbeda sehingga kita harus belajar mengenal dan memahami orang lain berdasarkan karakteristiknya yang unik, dan bukan

(16)

semata-mata berdasarkan kenaggotaan orang tersebut dalam kelompok tertentu (Baron dan Byrne dalam Soeboer, 1990).

B. TRUST

1. Pengertian Trust

Menurut Holmes & Rampel (dalam Fletcher & Clark, 2001) mengatakan bahwa trust merupakan harapan bahwa seseorang bisa dipercaya dalam segala hubungan dan pekerjaan serta responsif terhadap kebutuhan orang yang mempercayainya.

Fletcher & Clark (2001) menyatakan bahwa trust meliputi prediksi atau kepercayaan bahwa seseorang akan menunjukkan perilaku yang konsisten, kepercayaan bahwa seseorang itu memang jujur dan bisa dipercayai, serta keyakinan atau pendirian bahwa seseorang memang termotivasi secara intrinsik untuk bekerja, bahkan melebihi target kerja.

Deutsch (dalam Johnson & Johnson, 2000) menyatakan bahwa trust merupakan suatu pilihan yang didasarkan pada persepsi bahwa pilihannya akan membuatnya untung, akan tetapi tidak selalu begitu. Terkadang pilihan tersebut akan membuatnya rugi. Keuntungan dan kerugian tersebut adalah tergantung pada orang yang dipercaya, ada kemungkinan bahwa kerugian yang diperoleh lebih besar daripada keuntungan, dan sebaliknya ada juga kemungkinan bahwa keuntungan yang diperoleh lebih besar daripada kerugian.

(17)

Dalam penelitian ini, trust didefinisikan sebagai suatu harapan bahwa seorang karyawan yang berasal dari golongan etnis tertentu dapat dipercaya dalam segala hubungan, menunjukkan perilaku yang konsisten, dapat diprediksi, dan termotivasi secara intrinsik untuk bekerja. Trust yang dimiliki berhubungan prediksi keuntungan dan kerugian yang akan diperoleh karena pilihannya tersebut.

2. Jenis-jenis Trust

Menurut Robbins (2005) terdapat tiga jenis trust dalam hubungan organizational :

a. Deterrence-Based Trust

Deterrence-based trust merupakan salah satu jenis trust yang paling mudah hilang. Hanya dengan sekali melakukan kesalahan atau tidak konsisten, dapat menghilangkan trust yang dimiliki. Trust jenis ini didasarkan pada rasa takut akan hukuman dan konsekuensi yang akan timbul apabila trust tersebut tidak dijalankan dengan baik. Setiap hubungan biasanya akan diawali dengan deterrence-based trust.

b. Knowledge-Based Trust

Kebanyakan trust yang dimiliki dalam hubungan organizational adalah knowledge-based trust, yaitu salah satu jenis trust yang didasarkan pada pengalaman interaksi di masa lalu. Knowledge-based trust muncul dengan didasarkan pada informasi yang cukup dan akurat tentang seseorang, dan trust ini akan berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Semakin kita

(18)

mengenal orang tersebut, maka kita akan semakin mampu untuk memprediksi orang tersebut secara akurat. Trust jenis ini tidak akan rusak karena pasangan menunjukkan perilaku yang tidak konsisten. Apabila pasangan mampu memberi penjelasan yang masuk akal mengenai kesalahanya, maka dia biasanya akan dimaafkan dan kembali ke hubungan yang baik seperti semula.

c. Identification-Based Trust

Trust jenis merupakan trust level tertinggi yang ditandai dengan adanya ikatan emosional antara kedua belah pihak. Pihak yang satu dapat mewakili pihak yang lain dalam hubungan transaksi yang bersifat interpersonal. Trust jenis ini muncul karena kedua belah pihak saling mengerti, memahami, dan menghargai kebutuhan serta keinginan masing-masing. Kontrol dalam hubungan seperti ini sangat minimal, karena kontrol dianggap sebagai keraguan terhadap rasa kesetiaan salah satu pihak.

3. Elemen-elemen Trust

Menurut Johnson & Johnson (2000) elemen-elemen trust ada lima, yaitu

a. Openness

Openness meliputi kesediaan untuk berbagi informasi, pemikiran, pendapat, dan reaksi terhadap hal yang sedang dibicarakan.

(19)

Sharing berarti kesediaan untuk menawarkan dan memberikan bantuan kepada orang lain untuk mencapai tujuan bersama.

c. Acceptance

Acceptance berarti melakukan komunikasi dengan orang lain dan menghargai pendapat mereka tentang suatu hal yang sedang dibicarakan.

d. Support

Support meliputi komunikasi dengan orang lain sehingga kita mengenal kelebihannya dan kita percaya bahwa mereka mampu mengatur secara produktif situasi dimana mereka berada.

e. Cooperative Intentions

Cooperative intention meliputi harapan bahwa orang lain akan bersikap kooperatif dan setiap anggota kelompok juga akan bersikap kooperatif untuk mencapai tujuan kelompok.

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Trust-Buliding Process

Menurut Busch dan Hantusch (2000) dalam jurnal yang berjudul Recognizing The Fragility of Trust and Its Importance in The Partnering Process, terdapat beberapa hambatan dalam trust-building process yang bisa ditemukan dalam organisasi:

(20)

Interaksi masa lalu merupakan hambatan terbesar dalam trust-building process. Pengalaman interaksi yang buruk pada masa lalu akan menyebabkan kedua belah pihak saling berprasangka dan berpikir bahwa pihak lain tersebut tidak bisa dipercaya sepenuhnya.

b. Kategorisasi Sosial (Social Categorization)

Individu akan cenderung untuk mengkategorikan orang lain apabila dia tidak memiliki informasi yang cukup tentang orang tersebut. Kategorisasi tersebut bisa berdasarkan jenis kelamin, ras, profesi, jabatan, dan sebaginya. Kategorisasi ini dibuat untuk menyederhanakan proses membuat keputusan. Dalam kehidupan berorganisasi, seseorang cenderung untuk mengkategorikan orang lain berdasarkan pada kategori tertentu, seperti kategori ini merupakan anggota dari buruh, staf, manager, kontraktor, dan sebagainya. Sebagai konsekuensinya, mereka akan menilai anggota outgroup sebagai orang yang kurang bisa dipercaya, tidak terbuka, dan tidak jujur.

c. Generalisasi dan Model Peran

Individu cenderung untuk menggeneralisasi perbuatan seseorang dengan perbuatan keseluruhan anggota kelompoknya. Misalnya, apabila seorang karyawan berlaku tidak jujur terhadap atasanya, maka atasannya akan menilai semua karyawan tidak jujur. Demikian juga dengan model peran, apabila kelakuan seorang atasan buruk, maka semua bawahannya akan dinilai berkelakuan buruk juga, karena meniru perilaku atasannya.

(21)

4. Cara Meningkatkan Trust

Menurut Robbins (2005), terdapat delapan cara untuk meningkat trust, diantaranya :

a. Bersikap terbuka

Dengan bersikap terbuka akan membuat orang lain percaya terhadap kita. Yang dimaksud dengan bersikap terbuka adalah bersikap terbuka terhadap informasi yang dimiliki, memberi tahu secara rasional bagaimana suatu keputusan dibuat, dan berterus terang dalam menyatakan masalah yang sedang dihadapi.

b. Bersikap adil

Sebelum membuat suatu keputusan, harus mempertimbangkan bagaimana orang lain akan menilai objektifitas dan keadilan keputusan kita.

c. Nyatakan perasaan dengan terus terang

Dengan menyatakan perasaan yang sebenarnya tanpa memandang jabatan atau posisi kita dalam suatu organisasi, akan membuat orang lain lebih menghargai kita, karena semua orang adalah manusia yang memiliki masalah dan perasaan.

(22)

Dengan bersikap jujur, berarti kita bisa dipercaya. Apabila kejujuran merupakan hal yang penting dalam membangun trust, maka kita harus menjunjung tinggi kejujuran.

e. Tunjukkan konsistensi

Semua orang menginginkan sesuatu yang bisa diprediksi. Ketidakjujuran terjadi karena kita tidak mampu memprediksi sikap orang tersebut. Pikirkanlah tentang nilai dan kepercayaan yang dimiliki, kemudian biarkan nilai dan kepercayaan tersebut menjadi paduan dalam mengambil. Apabila telah diperoleh suatu tujuan yang jelas, maka sikap yang dimiliki juga bisa diprediksi.

f. Tepati janji

Salah satu aspek dari trust adalah orang tersebut bisa diharapkan, jadi tepatilah setiap komitmen dan janji yang telah diucapkan.

g. Bersikap percaya diri

Setiap orang akan mempercayai orang yang bijaksana dan bisa dipercaya. Apabila kita memberitahukan suatu rahasia kepada orang lain, maka orang lain juga akan meragukan kita, dan tidak akan memberitahu rahasianya kepada kita karena kita dianggap sebagai orang yang tidak bisa dipercaya.

h. Tunjukkan kompetensi

Salah satu cara untuk meningkatkan trust adalah dengan membuat orang lain menghargai dan mengagumi kita. Sehingga kita juga harus

(23)

mengembangkan kompetansi kita dalam hal komunikasi, negosiasi, dan kemampuan interpersonal lainnya.

C. GOLONGAN ETNIS

1. Pengertian Golongan Etnis

Koentjaraningrat (1996) antroplog Indonesia mendefinisikan istilah suku bangsa sebagai suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan jati diri mereka akan kesatuan dari kebudayaan mereka, sehingga kesatuan kebudayaan tidak ditentukan oleh orang luar, melainkan oleh warga kebudayaan yang bersangkutan itu sendiri.

2. Definisi Golongan Pribumi dan Non-Pribumi

Istilah ”Cina” dalam bahasa Indonesia memiliki sudah memiliki makna yang negatif, sehingga pada sekitar tahun 1950-an istilah ”Cina” diubah menjadi ”Tionghoa” (sesuai dengan ucapannya dalam bahasa Hokkian) untuk merujuk kepada orang Cina dan ”Tiongkok” untuk ”negara Cina. Menurut Liem (2000) etnis Tionghoa di Indonesia merujuk kepada orang Indonesia yang berasal dari negara Tiongkok dan sejak generasi pertama atau kedua telah tinggal di Indonesia, berbaur dengan penduduk setempat dan menguasai satu atau lebih bahasa yang dipakai di Indonesia”.

Purcell (dalam Liem, 2000) mengungkapkan bahwa etnis Tionghoa adalah seluruh imigran negara Tiongkok dan keturunannya yang tinggal dalam ruang

(24)

lingkup budaya Indonesia dan tidak tergantung dari kewarganegaraan, bahasa yang melingkup budaya mereka. Etnis Tionghoa adalah individu yang memandang dirinya sbagai ”Tionghoa” atau dianggap demikian oleh lingkungannya. Pada saat yang bersamaan mereka berhubungan dengan etnis Tionghoa perantauan lain atau negara Tiongkok secara sosial, tanpa memandang kebangsaan, bahasa, atau kaitan erat dengan budaya Tiongkok.

Dalam penelitian ini, etnis Tionghoa didefinisikan sebagai golongan masyarakat keturunan Tionghoa yang kedua orang tuanya juga merupakan keturunan etnis Tionghoa.

Menurut Arief dalam Meinarno (2001), golongan Pribumi merupakan golongan masyarakat yang berasal dari seluruh suku atau campuran dari suku-suku asli di wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Dalam penelitian ini, etnis Pribumi didefinisikan sebagai kelompok etnis selain etnis Tionghoa dan kelompok etnis yang bukan berasal dari keturunan negara lain yang berdomisili di negara Indonesia.

D. PENGUSAHA DAN KARYAWAN

1. Definisi Pengusaha

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), pengusaha adalah orang yang mengusahakan (perdagangan, industri, dan sebagainya); orang yang berusaha di bidang perdagangan; saudagar; usahawan.

(25)

a. Orang, perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;

b. Orang, perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan bukan miliknya;

c. Orang, perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

Pengertian pengusaha dalam penelitian ini adalah masyarakat etnis Tionghoa yang menjalankan usaha jual beli barang dan / atau jasa dengan pekerjanya 20-99 orang. Menurut Kuncoro (2007), industri menengah merupakan industri yang mempekerjakan 20-99 orang pekerja sebagai tenaga kerjanya. Dengan kata lain, pengusaha dalam penelitian ini merupakan pengusaha yang memiliki dan menjalankan industri menengah.

2. Definisi Karyawan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), karyawan merupakan orang yang bekerja pada suatu lembaga (kantor, perusahaan, dan sebagainya) dengan mendapat gaji atau upah; pegawai.

Menurut Undang-undang RI No. 13 Tahun 2003, karyawan adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan / atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.

(26)

Pengertian karyawan dalam penelitian ini adalah masyarakat etnis pribumi yang bekerja pada pengusaha Tionghoa, serta mendapatkan gaji atau upah sebagai imbalan kerjanya.

E. HUBUNGAN PRASANGKA DENGAN TRUST PADA PENGUSAHA ETNIS TIONGHOA TERHADAP KARYAWAN ETNIS PRIBUMI

Sejak jaman penjajahan Hindia Belanda sampai sekarang, bangsa Indonesia tidak pernah lepas dari persoalan etnis minoritas dan etnis mayoritas yang kemudian akan menyebabkan munculnya prasangka antar etnis. Etnis Tionghoa merupakan salah satu etnis minoritas yang ada di Indonesia dengan jumlahnya sekitar 2,8% dari keseluruhan penduduk Indonesia (Mendatu, 2007).

Prasangka antar etnis di Indonesia bisa saja terjadi pada etnis-etnis minoritas lainnya, akan tetapi khusus untuk prasangka terhadap etnis Tionghoa, penyebabnya jauh lebih kompleks daripada sekedar posisi mayoritas dan minoritas. Etnis Tionghoa menjadi kambing hitam atas kegagalan dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik penguasa (Suparlan dalam Damayanti, 2008). Selain itu, konflik-konflik yang terjadi antara etnis Tionghoa dengan etnis Pribumi pada masa lalu juga turut menyumbang tumbuhnya perasaan tidak menyenangkan terhadap etnis Pribumi (Tan, 2003).

Abu Ahmadi (1991) menyatakan bahwa pengalaman yang menyakitkan dan tidak menyenangkan merupakan salah satu penyebab munculnya prasangka, dengan kata lain etnis Tionghoa akan berprasangka terhadap etnis Pribumi atas kejadian yang tidak menyenangkan yang dialami. Hal ini kemudian diperkuat oleh

(27)

Tan (dalam Susetyo, 1999) yang menyatakan bahwa hubungan antara etnis Tionghoa dan etnis Pribumi memang terkesan tegang dan saling curiga.

Menurut Baron dan Byrne (2003) prasangka merupakan sikap negatif yang ditujukan kepada anggota kelompok tertentu, semata berdasarkan keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut. Sedangkan menurut Gerungan (2002) prasangka merupakan sikap sosial yang negatif terhadap golongan manusia tertentu, golongan ras atau kebudayaan, yang berlainan dengan golongan orang yang diprasangkai itu.

Soeboer (1990) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa sumber penyebab prasangka, diantaranya dapat dilihat melalui pendekatan sosial, pendekatan emosional dan psikodinamik, dan pendekatan kognitif. Apabila dipandang dari pendekatan kognitif, salah satu penyebab munculnya prasangka adalah social categorization. Menurut teori social categorization, individu dalam kehidupan sehari-harinya cenderung untuk membagi dunia sosial mereka menjadi dua kategori yang jelas, yaitu “kita” yang dipersepsikan sebagai ingroup dan “mereka” yang dipersepsikan sebagai outgroup. Dalam prakteknya outgroup dianggap memiliki karakteristik yang kurang dapat diterima oleh ingroup, selanjutnya outgroup akan dinilai secara negatif oleh ingroup (Flynn dan Chatman, 2002).

Baron dan Byrne (2003) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang erat antara prasangka dan stereotip. Prasangka dapat menyebabkan munculnya stereotip dan stereotip itu sendiri akan memperkuat prasangka pada kelompok sosial tertentu. Menurut penelitian Willmot (dalam Sarwono, 1999), stereotip

(28)

negatif kelompok etnis Pribumi terhadap kelompok etnis Tionghoa dan sebaliknya masih hadir sampai sekarang. Kelompok etnis pribumi menganggap bahwa orang Tionghoa selalu diberi fasilitas, sedangkan kelompok Pribumi tidak. Orang Tionghoa lebih kaya dari rata-rata orang pribumi, menguasai kekayaan, mengeruk kekayaan dari orang pribumi, ekslusif, kikir, dan sombong. Sedangkan golongan etnis Tionghoa merasa dirinya lebih pandai dan lebih canggih daripada etnis pribumi. Golongan pribumi dikatakan sebagai pemalas, tidak dapat dipercaya, tidak pantas diberi jabatan yang tinggi, dan sebagainya.

Stereotip yang diungkapkan tersebut pada kenyataannya sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh salah seorang staf Human Resources dari perusahaan “A”, perusahaan milik etnis Tionghoa yang menyatakan bahwa dalam praktek di perusahaannya, karyawan etnis Pribumi tidak diperbolehkan untuk menduduki jabatan atau posisi tertentu, terutama posisi yang berkaitan dengan keuangan perusahaan karena dikatakan secara jelas bahwa karyawan etnis Pribumi dinilai tidak jujur dan tidak dapat dipercaya. Selain itu, karyawan etnis Pribumi juga dinilai sebagai karyawan yang tidak berkompeten, dan dikatakan bahwa alasan dari semua perbedaan perlakuan tersebut adalah prasangka terhadap kelompok etnis Pribumi (Komunikasi Personal, November 2008).

Pada dasarnya, karyawan etnis Pribumi dinilai tidak jujur dan tidak dapat dipercaya, dikarenakan atasan mereka yang beretnis Tionghoa telah membuat suatu kategori sosial (social categorization). Karyawan yang beretnis Pribumi akan dianggap sebagai outgroup, dan karyawan yang beretnis Pribumi akan dinilai sebagai ingroup. Menurut Brewer dan Miller (dalam Mendatu, 2007) social

(29)

categorization yang merupakan penyebab dari prasangka memiliki hubungan dengan rasa kepercayaan (trust). Ingroup akan memandang kelompoknya sendiri lebih bisa dipercaya sedangkan semua anggota outgroup tidak bisa dipercaya. Hal yang serupa juga terjadi dalam dunia kerja. Menurut Ahmadi (dalam Irmawati, 1996), adanya prasangka dalam diri seorang pengusaha akan menyebabkan pengusaha tersebut membatasi situasi yang bersangkut paut dengan subjek yang diprasangkainya.

Lebih lanjut, Busch dan Hantusch (2000) menyatakan bahwa social categorization merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi trust-building process. Prasangka yang dimiliki seseorang akibat kategorisasi sosial akan membuat ingroup menyederhanakan proses pembuatan keputusan terhadap outgroup. Sebagai konsekuensinya, outgroup akan dinilai sebagai orang yang kurang bisa dipercaya, tidak terbuka dan tidak jujur.

Hal yang diungkapkan oleh staf HR dari perusahaan “A” tersebut pada kenyataannya sejalan dengan apa yang diungkapkan Brewer dan Miller (dalam Mendatu, 2007), Ahmadi (dalam Irmawati, 1996) dan Busch dan Hantusch (2000) mengenai kaitan antara prasangka sebagai wujud dari social categorization dengan trust. Secara konkrit, prasangka yang dimiliki pengusaha etnis Tionghoa terhadap karyawan etnis Pribumi akan mempengaruhi trust yang dimilikinya terhadap karyawan etnis Pribumi.

Prasangka muncul sebagai akibat adanya kategorisasi sosial yaitu ingroup dan outgroup, selanjutnya, outgroup dianggap memiliki karakteristik yang kurang disukai sehingga mereka akan dinilai secara negatif oleh ingroup (Flynn dan

(30)

Chatman, 2002). Sejalan dengan penelitian Willmot (dalam Sarwono, 1996) bahwa anggapan (stereotip) golongan etnis Tionghoa terhadap karyawan etnis Pribumi sebagai pemalas, tidak berkompeten, tidak jujur, dan sebagainya pada dasarnya akan mempengaruhi trust pengusaha tersebut terhadap karyawan etnis Pribumi yang diprasangkainya.

F. HIPOTESA

Dalam penelitian ini akan diajukan sebuah hipotesis sebagai jawaban sementara terhadap permasalahan yang telah dikemukakan. Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

“Terdapat hubungan negatif antara prasangka dengan trust pada pengusaha etnis Tionghoa terhadap karyawan etnis Pribumi”.

(31)

Diagram 1: PARADIGMA BERPIKIR

= Terdiri dari = Mempengaruhi

= Bersumber dari = Menyebabkan

= Berhubungan

Etnis Pribumi

><

Etnis Non-Pribumi konflik

P R A S A N G K A

Pendekatan Sosial Pendekatan Emosional Pendekatan Kognitif : Social Categorization

Indonesia Negara Multietnis

Ingroup Outgroup

Gambar

Diagram 1: PARADIGMA BERPIKIR

Referensi

Dokumen terkait

Pembayaran Retribusi Daerah adalah besarnya kewajiban yang harus dipenuhi oleh Wajib Retribusi sesuai dengan SKRD dan STRD ke Kas Daerah atau ketempat lain yang ditunjuk dengan

Tidak hanya pemerintahan Indonesia dan Korea Selatan yang bekerjasama dalam bidang kepariwisataan, pemerintahan provinsi yang didukung oleh pemerintahan negara

program KB di tingkat kecamatan dan desa yang dilaksanakan oleh Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) dan Pengendalian Program Lapangan Keluarga Berencana (PPLKB)

[r]

Jung tarafından psişik fonksiyona tatbik edildiği şekilde , prensip şunu ifade eder; eğer özel bir değer zayıflar veya gözden kaybolursa, değerle belirtilen

[r]

Digunakan metoda rata-rata dari rangkaian data curah hujan yang ada, atau berdasarkan.. ranking data pada urutan ke-n

[r]