• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYEDIAAN DAGING SAPI NASIONAL DALAM KETAHANAN PANGAN INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENYEDIAAN DAGING SAPI NASIONAL DALAM KETAHANAN PANGAN INDONESIA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PENYEDIAAN DAGING SAPI NASIONAL DALAM

KETAHANAN PANGAN INDONESIA

(Beef Cattle Production in Supporting Indonesian Food Safety and Security)

CHALID TALIB1danYUDI GUNTARA NOOR2

1Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Jl. Raya Pajajaran Kav. E 59, Bogor 16151 2Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia

ABSTRACT

Human resources development (SDM) is one of the Indonesian development, relating to public health, education and nutrition improvement. Beef is one of animal protein sources, and up to now Indonesia is remained importing beef to fulfill the demand (30% of total demand). The average of Indonesians consumption is 1.7 kg/capita/year, or equal to 1.75 – 2 million heads of cattle. To improve beef cattle production on beef, certain aspects should be taken into account such as: independency, sustainability and conservation. This is due to the condition of beef cattle farming is running traditionally (such as in small scale, as saving) which is difficult to apply any innovation in the farming. Beef cattle farming should be developed as an agribussiness, so that it can improve the additional value of eficiency to improve bargaining position. The advantage of Indonesian beef cattle is free from FMD and BSE diseases, makes it is easily exportedto other countries that are free from these diseases. Beside that, the development of beef cattle production in Indonesian should be able to improve the walfare of 2.8 million cattle farmers who involve in beef cattle production.

Key Words: Improvement, Nutrition, Beef, Cattle

ABSTRAK

Pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), merupakan salah satu tujuan pembangunan Indonesia, hal ini erat kaitannya dengan perbaikan gizi masyarakat, kesehatan dan tingkat pendidikan. Salah satu sumber gizi adalah pangan asal hewan berupa protein yang berasal dari daging sapi. Sampai saat ini, Indonesia memenuhi kebutuhan dagingnya sebanyak 30% dari impor dimana terjadi kenaikan harga karena adanya peningkatan harga bahan bakar dan pakan ternak. Secara umum masyarakat Indonesia mengkonsumsi daging sapi sebesar 1,7 kg/kapita/tahun yang setara dengan 1,75 – 2,0 juta ekor sapi. Berdasarkan kondisi umum peternakan sapi potong di Indonesia yang masih dilakukan secara tradisional, yaitu ternak dipelihara secara tradisional dalam skala kecil, sebagai tenaga kerja, dan merupakan tabungan sehingga menghambat penerapan teknologi. Walaupun demikian pembangunan peternakan sapi potong di Indonesia harus dilakukan karena sapi potong merupakan sumber pangan hewani dengan populasi terbatas. Pembangunannya harus memperhatikan azas kelestarian, kesinambungan dan kemandirian. Peternakan sapi potong dapat dikembangkan menjadi usaha agribisnis berdasar peningkatan produksi dan nilai tambah yang efisien sehingga berdaya saing. Sapi potong di Indonesia memiliki keunggulan dengan terbebasnya dari penyakit menular utama (FMD dan BSE) yang turut membatasi ijin impor dari negara yang juga bebas penyakit tersebut. Akhirnya pembangunan peternakan sapi potong harus mendorong peningkatan kesejahteraan petani karena terdapat 2,8 juta rumah tangga peternak yang terlibat dalam peternakan sapi potong di Indonesia.

Kata Kunci: Gizi, Daging, Sapi, populasi

PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara berkembang yang sedang membangun dan menata diri untuk dapat tampil dalam perkembangan dunia yang semakin kencang menuntut diberlakukannya

globalisasi dalam hampir semua sektor kehidupan. Untuk keperluan tersebut maka Indonesia mengembangkan pembangunan dengan sebuah ”Visi Pembangunan Nasional” untuk periode waktu Tahun 2005 – 2025 berdasarkan UU No. 17 Tahun 2007 adalah

(2)

“Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur” yang tentu saja tidak akan mudah untuk pencapaiannya. Dibutuhkan bahyak faktor pendukung dari bebagai segi kehidupan; tetapi isue yang ditiupkan oleh FAO dalam beberapa tahun terakhir ini adalah isu keterbatasan pangan dan air yang akan dialami oleh banyak negara di dunia.

Visi pembangunan pertanian Indonesia

Indonesia menetapkan tujuan pembangunan pertaniannya terdiri dari tiga hal pokok yaitu pencapaian ketahanan pangan, pengembangan agribisnis dan peningkatan kesejahteraan petani. Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan, yang tentunya bagi peternakan adalah tersedianya produk peternakan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau (PP No. 68/2002). Permasalahan yang paling besar dalam penyediaan daging sapi secara nasional adalah terbatasnya populasi sapi potong dibandingkan dengan tingginya permintaan produk daging sapi tersebut. Oleh karena itu, dibangun asas pembangunan peternakan sapi potong didasarkan pada asas kelestarian, kemandirian, dan kesinambungan. Dalam pembangunan peternakan untuk pengembangan ketahanan pangan maka Departemen Pertanian mengembangkan program percepatan swasembada daging sapi (P2SDS) yang mulai didengungkan sejak tahun 2005. Harapannya dalam waktu yang tidak terlalu lama Indonesia akan mampu mencapai kemandirian dalam penyediaan daging sapi melalui pengembangan agribisnis yang secara simultan dapat beriringan dengan terjadinya peningkatan kesejahteraan para peternak kecil yang mendominasi penyediaan daging nasional dari sapi lokal.

Untuk mencapai visi pembangunan di atas maka dibutuhkan terbentuknya manusia Indonesia yang mandiri. Kemandirian berhubungan dengan kecerdasan yang jika diterjemahkan kedalam bahasa peternakan berarti penyediaan protein hewani dengan cukup baik dalam jumlah maupun kualitas. Protein hewani asal daging sapi ini sangat penting karena mengandung semua asam amino esensial termasuk yang mengandung

mineral S yang tidak dimiliki oleh protein nabati dan sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan mudah dicerna. Selain itu daging sapi juga merupakan sumber utama mineral Ca, P, Zinc, Fe serta vitamin B2, B6 dan B12 yang penting bagi tubuh manusia. Perlu diingat bahwa sampai saat ini dari data yang dikeluarkan oleh UNDP 2007/2008 maka indeks pembangunan manusia (human

development index) Indonesia masih

menduduki ranking ke lima dari tujuh negara Asean yaitu hanya berada di atas Kamboja dan Myanmar.

Disamping itu, usaha meningkatkan ketahanan nasional daging sapi akan mendapat tantangan berat dengan menguatnya ekspansi pemasaran daging sapi ke Asia dan Amerika Selatan sehubungan dengan kekeringan di Amerika Utara yang diakibatkan oleh tingginya harga pakan (FAO, 2008).

KONDISI SAAT INI Penyediaan dan impor daging sapi

Indonesia belum mandiri dalam penyediaan kebutuhan daging sapi nasional karena baru mampu memproduksi 70% dari kebutuhan daging sapi nasional dimana 30% kebutuhan lainnya dipenuhi melalui impor (DITJENNAK, 2008) dalam bentuk sapi bakalan untuk penggemukan, daging beku dan jeroan yang didominasi oleh hati dan jantung beku. Besarnya impor ini dipengaruhi oleh terjadinya peningkatan kesejahteraan dan pertambahan penduduk. Daging sapi yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia adalah dalam bentuk daging bakso yang menyebar dari kawasan perkotaan sampai ke pedesaan.

Jika dilihat dari pencapaian target visi pembangunan dengan periode waktu 2005 – 2025 maka jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2005 adalah sebesar 241,9 juta orang dan pada tahun 2025 akan mencapai 273,1 juta orang yang berarti naik sebesar 12,9%. Jika produksi daging sapi yang pada tahun 2005 adalah sebesar 358.700 ton (setara dengan 1,8 juta ekor sapi) maka jika tingkat konsumsi tidak berubah yaitu 1,7 kg per kapita per tahun maka akan dibutuhkan daging sebesar 464.270 ton yang setara dengan jumlah pemotongan sebesar 2,4 juta ekor sapi (dianalisis kembali

(3)

dari BIRO STATISTIK INDONESIA, 2007). Melihat kebutuhan yang cukup besar tersebut maka perlu dilakukan berbagai langkah antisipatif untuk meningkatkan ketahanan pangan penyediaan ”daging sapi” secara optimal.

Dalam penyediaan daging sapi ada tiga pelaku utama yang perlu diperhatikan dengan baik karena peranan ketiganya yang cukup signifikan dalam pencapaian ketahanan pangan daging sapi. Ketiga pelaku tersebut adalah peternakan sapi rakyat yang mengusahakan sapi lokal, industri penggemukan sapi yang mengandalkan pada sapi bakalan impor dan industri daging dan jeroan yang menggunakan produk daging sapi asal impor.

Peternakan sapi rakyat

Peternakan sapi rakyat diperkirakan menyumbangkan kurang lebih 70% produk daging sapi nasional yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Produk tersebut dihasilkan dari sekitar 10.7 juta ekor sapi potong, 2.2 juta ekor kerbau (yang dikenal dimasyarakat umum juga sebagai daging sapi) dan 0,3 juta ekor sapi perah (DITJENNAK, 2008). Produk hewani tersebut dihasilkan oleh minimal 3.6 juta rumah tangga peternak (BPS, 2007). Setiap keluarga peternak hanya memelihara antara 2 – 6 ekor dengan pemilikan terbanyak antara 2 – 4 ekor per keluarga. Dengan jumlah pemilikan yang sangat terbatas tersebut dapat dibayangkan bahwa penerapan teknologi akan sulit diadopsi oleh para peternak. Untuk menanggulangi hal tersebut maka sekarang telah banyak diadopsi sistem kandang kelompok untuk sapi potong yang terbukti dapat meningkatkan daya reproduksi yang dihasilkan melalui perbaikan efisiensi pelayanan perkawinan dan kesehatan ternak seperti yang terjadi di NTB (DAHLANUDIN et al., 2008). Pemda NTB mengadopsi sistem ini dengan membuat program setiap ekor induk menghasilkan satu ekor pedet setiap tahun.

Struktur populasi sapi potong yang ada dimasyarakat tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Jika dilihat dari struktur populasi sapi potong tersebut dengan tingkat pemotongan di tahun 2008 yang sudah melebihi 2 juta ekor maka tentunya hampir semua sapi jantan

dewasa dan muda yang baik dipotong untuk konsumsi termasuk pemotongan sapi betina sudah pasti dilaksanakan. Dampaknya adalah kekurangan pejantan yang baik dan kehilangan sapi betina produktif yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan populasi.

Tabel 1. Struktur populasi sapi potong pada

peternakan rakyat

Populasi Struktur populasi sapi potong

(%) Betina dewasa 44,30 Jantan dewasa 10,01 Betina muda 14,86 Jantan muda 11,61 Betina sapihan 9,87 Jantan sapihan 9,35 Total 100 Total populasi 10.726.347 ekor

Sumber: TALIB (2007) (dianalisis kembali

berdasarkan data DITJENNAK, 2007).

Berdasarkan penyebaran populasi, sapi potong menyebar di seluruh Indonesia tetapi ada 8 provinsi dengan populasi tertinggi sebagai kawasan sumber bibit dan bakalan sapi lokal karena memelihara sekitar 70% sapi potong di Indonesia seperti pada Tabel 2. Tabel 2. Penyebaran sapi potong pada 8 propinsi

Propinsi Populasi (%) Jawa Timur 23,5 Jawa Tengah 12,0 Sulawesi Selatan 7,0 N A D 6,6 Sumatera Barat 5,8 Bali 5,0 NTT 4,9 Sumatera Selatan 4,7

Total populasi 10.726.347 ekor

Sumber: DITJENNAK (2007)

Pengembangan sapi potong di Indoneia saat ini dilihat dari ketersediaan pakan terutama dari perkebunan sawit maka Sumatera dan Kalimantan yang memiliki kebun sawit hampir

(4)

7 juta ha sangat potensial, karena setiap ha sawit dapat menampung 2 unit ternak (TALIB

et al., 2007). Di Sumatera baru diwakili oleh 2

propinsi sedangkan Kalimantan malah belum tampil, maka prioritas kawasan pengembangan baru sapi potong tentu perlu diberikan perhatian lebih besar pada kedua wilayah tersebut.

Industri penggemukan sapi

Industri penggemukan sapi berkembang pesat di sekitar kawasan pasar utama yaitu di Jabodetabek. Kawasan ini menampung sapi bakalan untuk penggemukan baik dari sapi lokal maupun sapi impor. Alur tataniaga pemasaran sesudah periode waktu tahun 1990 terjadi perkembangan pasar dimana kawasan Kalimantan dan Sumatera Utara semakin tumbuh menjadi pasar potensial di Luar Jabodetabek (Gambar 1).

Terbukanya peluang pasar yang baru tersebut semestinya ditindak lanjuti dengan percepatan penyediaan sapi bakalan yang bersumber dari induk sapi sebagai mesin penghasil pedet. Hanya saja karena jumlah populasi yang terbatas dan tingginya permintaan maka pada kawasan sumber

bibit/bakalan terjadi hal sebaliknya yaitu hampir semua ternak jantan diekspor kekawasan lain dan untuk konsumsi lokal dilakukan pemotongan sapi betina termasuk juga yang produktif. Diperkirakan jumlah tersebut sekitar 200 ribuan ekor. Puslitbangnak dengan sistem observasi cepat pada Tahun 2009 mendapatkan pada salah satu kawasan tersebut memotong 97% sapi betina dan 80%nya adalah betina produktif (PUSLITBANGNAK, 2008).

Tentu saja kejadian tersebut membutuhkan langkah cepat penanggulangan yang komplit tetapi tetap harus dilakukan. Memang berbagai daerah melaksanakan pencegahan pemotongan spi beina produktif tetapi karena keterbatasan dalam dana dan sistem birokrasi sehingga langkah-langkah tersebut masih belum signifikan dalam mencegah pemotongan tersebu. Perlu dibuat langkah lain misalnya melalui sistem koperasi pembibitan dengan bunga rendah untuk penanggulangannya seperti yang dilakukan oleh sistem PUSKUD pembibitan sapi potong di NTT yang mampu membangun sistem bagi hasil dengan peternak yaitu 80% keuntungan untuk peternak dan 20% untuk koperasi (BENYAMIN, 2008).

Gambar 1. Perubahan peta tataniaga sapi lokal Indonesia tahun 90-an (atas) dan setelah tahun 90-an

(bawah)

(5)

Kelemahan lainnya dalam sistem tataniaga sapi potong adalah karena penyebarannya yang luas maka dibutuhkan infrastruktur transportasi ternak yang tahan terhadap perubahan cuaca terutama gelombang laut. Infrastruktur tersebut masih lemah sehingga harga jual selalu dipengaruhi oleh kondisi cuaca dan musim. Alat transportasi kapal sapi yang standard sudah harus mulai dipikirkan oleh pemerintah pusat maupun daerah untuk meningkatkan efisiensi pemasaran sapi nasional.

Jika diperhatikan sapi bakalan impor dari Australia walaupun harga ketika tiba di Indonesia banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti musim, cuaca, jarak yang lebih jauh, freight trasportasi dan currency, tetapi tetap diminati oleh pihak industri penggemukan sebagai prioritas utama. Tentunya ini terjadi karena harga beli oleh industri dapat lebih menguntungkan dari mengunakan sapi lokal. Oleh karena itu usaha untuk meningkatkan efisiensi dalam sistem tataniaga sapi nasional perlu dikaji untuk dibuat suatu program aksi yang dapat diterapkan secara masive. Sapi bakalan impor dalam penggemukan di Indonesia dilakukan dengan sangat intensif, padat modal dan walaupun haga pakan telah naik sekitar 30% dari Tahun 2006 tetap saja diminati. Tahun 2007 impor sapi bakalan mencapai 520.000 ekor (atau setara dengan 104 ribu ton daging) dari kapasitas penggemukan 600 ribu ekor (ISPI, 2008). Impor sapi bakalan dari Tahun 1990 – 2007 disajikan dalam Gambar 2.

Dari Gambar 2 terlihat bawa ada sedikit penurunan impor dari Tahun 2002 -2005 tetapi kemudian meningkat kembali sampai ke tahun 2007. Hal ini disebabkan karena Tahun 2002 sampai Tahun 2005 suplai sapi bakalan lokal mencapai jumlah 350 – 400 ribu ekor sehingga mampu menekan impor. Tetapi sesudah periode tersebut sapi lokal yang dapat dikirim ke pusat penggemukan bekurang sehingga impor kembali meningkat (ISPI, 2008). Kelihatannya penurunan jumlah impor masih dapat ditekan dengan perbanyakan sapi bakalan lokal terutama yang berasal dari kawasan Indonesia bagian Selatan (NTT, NTB, Bali, Jawa dan Lampung) lihat Gambar 1.

Importir daging dan jeroan

Importir daging dan jeroan melaksanakan impor daging yang bagian terbesarnya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan makanan dan jeroan. Bagian terbesar dari jeroan impor tersebut digunakan untuk industri daging bakso yang pemasarannya diperkirakan mencapai seluruh Indonesia dan inilah yang membuat masyarakat Indonesia adalah konsumen andalan daging sapi. Angka pasti penyebarannya per provinsi belum ada data yang pasti tetapi diperkirakan impor daging dan jeroan sapi ini mencapai kurang lebih 50 – 75 ribu ton per tahun (ISPI, 2008).

Import Sapi Bakalan Tahun 1990 – 2007

Sumber : Meat Livestock Australia (MLA) dikutip dari ISPI, 2008

0 100,000 200,000 300,000 400,000 500,000 600,000 Head s Indonesia 8,061 12,668 24,981 58,299 118,03 228,42 388,97 428,07 42,394 157,33 296,72 288,92 429,61 387,16 358,63 347,96 386,56 520,52 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

(6)

PERKEMBANGAN PASAR SAPI POTONG DAN DAGING SAPI DUNIA

Tidak semua negara mampu menjadi produser potensial untuk menguasai pasar persapian dunia dan juga tidak ada larangan untuk menumbuhkan peternakan sapi potong untuk memasuki pasar dunia, yang penting pemahaman dalam pemasaran dan produksi dapat diikuti dan tetap menguntungkan. Walaupun demikian ternyata tidak banyak negara yang berperan signifikan dalam hal produksi dan ekspor sapi potong dan produknya di dunia (Gambar 3).

Dari Gambar 3 terlihat bahwa hanya ada 7 negara (diluar Uni Eropa) yang menguasai hampir 70% sebagai produsen sapi tetapi tidak semua negara produsen tersebut termasuk sebagai negara eksportir utama. Tercatat Amerika Serikat, Brasil, China adalah tiga negara produsen yang memiliki sapi lebih dari 50% sapi potong di dunia, dan Brasil, Australia, New Zealand, India dan Kanada menguasai 75% ekspor sapi potong dunia. Negara yang berdekatan dengan Indonesia adalah Australia, China dan India sebagai negara produsen utama, dan Austalia, New Zealand dan India adalah negara eksportir utamana. Peluang impor sapi dan daging sapi bagi Indonesia tentunya dapat memilih ketiga negara tersebut. Austalia dan New Zealand selama ini memasok kebutuhan sapi dan daging nasional karena India terhambat oleh penyakit PMK (penyakit mulut dan kuku)

dimana Indonesia dinyatakan bebas PMK. Tetapi kalau melihat bahwa Australia dan Amerika Serikat yang juga bebas PMK seperti Indonesia, tetapi juga bisa mengimpor daging dari Brasil (tanpa mengganggu status bebas mereka) maka Indonesia tentunya dapat belajar dari kedua negara tersebut sebelum melakukan impor dari negara yang tercatat terinfeksi PMK.

KESIMPULAN

Dari permasalahan yang ada di atas dapat dirinci sebagai berikut: (1) memang populasi sapi potong di Indonesia masih kurang sehingga impor sapi dan produknya masih dibutuhkan untuk menjaga agar terjadi pertumbuhan populasi sapi potong di Indonesia, (2) potensi populasi yang hampir 11 juta ekor belum dioptimalkan produktivitasnya sehingga optimalisasi potensi sapi lokal perlu dilaksanakan, (3) sapi pejantan terbaik yang seharusnya dapat menjadi tetua bagi generasi berikutnya dan sapi betina produktif banyak yang dikonsumsi sebelum difungsikan secara optimal, (4) sistem pemeliharaan peternak rakyat yang tradisional dengan pemilikan yang sangat terbatas akan sulit untuk inovasi teknologi untuk optimalisasi potensi yang ada.

Dari permasalahan tersebut di atas dapat dibuat beberapa langkah nyata untuk mengoptimalkan potensi sapi dalam negeri antara lain:

Produser dan eksportir sapi potong Tahun 2004 (000 tones) Data Sources : ISPI (2008), dikutip dari FAPRI – FAO 2006

US; 11.553 ; 24% EU; 7.336 ; 15% China; 6.500 ; 13% Argentina; 2.650 ; 5% Mexico; 2.200 ; 4% India; 2.070 ; 4% Others; 8.181 ; 16% Australia; 1.950 ; 4% Brazil; 7.680 ; 15% US; 195; 3% Brazil; 1350; 23% EU; 360; 6% Canada; 565; 10% Argentina; 420; 7% New`Zealand; 560; 10% India; 520; 9% Others; 610; 10% Australia; 1300; 22% Produser

Produsersapisapipotongpotongduniadunia EksportirEksportirsapisapipotongpotongduniadunia

(7)

1. Pengembangan perbibitan pada peternakan rakyat dengan sistem kandang kelompok dengan jumlah minimal sekitar 100 ekor induk per kelompok. Sistem perbibitan kandang kelompok model Grati dapat diterapkan (PUSLITBANGNAK, 2009) ataupun model Kelebuh (DAHLANUDIN et al., 2008). Penggunaan kandang kelompok akan meningkatkan efisiensi dalam hal: penyediaan dan pemberian pakan, pelayanan perkawinan dan kesehatan, persaingan pemeliharaan ternak antar peternak yang dapat memacu pertumbuhan menjadi lebih baik serta pemasaran ternak yang dihasilkan.

2. Pengembangan sistem perbibitan sapi komersial yang dilaksanakan oleh swasta dengan jumlah minimal 1000 ekor induk. Tentunya untuk mempercepat terbentuknya butir satu dan dua maka pemerintah perlu mempercepat pengucuran kredit perbibitan sapi dengan memperhitunglan keuntungan yang diperoleh peternak dan periode pembayaran yang sesuai dengan biologi sapi dalam perbibitan.

3. Penjaringan sapi pejantan lokal terbaik untuk ditempatkan di BIB (daerah dan nasional) serta pergiliran pejantan lokal terbaik antar subpopulasi dalam kabupaten setiap dua tahun.

4. Perpanjangan masa produktif sapi betina berdasarkan kemampuan bangsa masing-masing (sapi induk Bali dan PO dapat melahirkan pedet dengan baik sampai minimal 8 kali) dan mengoptimalkan daya reproduksi setiap induk dalam setiap tahun seperti satu ekor induk – melahirkan satu anak – dalam satu tahun (12 bulan) dan juga mengembangkan teknologi kelahiran kembar pada sapi-sapi induk yang sesuai kondisinya.

5. Membuka persaingan impor sapi, daging sapi dan jeroan dari negara-negara lain yang lebih luas lagi (tidak hanya Australia, New Zealand dan USA) selama secara hukum di Indonesia memungkinkan untuk pelaksanaannya agar produk sapi yang dikonsumsi masyarakat dapat lebih murah. 6. Pada saat Indonesia mampu swasembada

kelak maka impor sapi dan produknya perlu dipersulit untuk melindungi kepentingan

peternak nasional dengan tidak merugikan konsumen dalam negeri.

DAFTAR PUSTAKA

BENYAMIN. 2008. Challenges and opportunities in breeding- and fattening-stock production and marketing in NTT. Paper dipresentasikan pada pertemuan internasional pengembangan sapi potong di NTT, November 2008. Kerjasama Fapet-UNDANA dan ACIAR-Australia. BPS. 2007. Statistik Indonesia Tahun 2007. Biro

Pusat Statistik, Jakarta.

DAHLANUDDIN,S.P.QUIGLEY,K.PUSPADI and J.P. CORFIELD. 2008.. Herd management and feeding strategies to increase calving rate and post weaning growth of Bali cattle. Seminar Internasional Sapi Bali di Kupang, November 2008, Kerjasama Fapet Undana dan ACIAR, Australia.

DITJENNAK. 2008. Statistik Peternakan Indonesa Tahun 2007. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.

FAO. 2008. FAO News Letter. http/www/fao.org. ISPI. 2008. Diskusi sumbangan pemikiran PB ISPI

untuk mensukseskan program swasembada daging sapi nasional. Konggres ISPI Tahun 2008.

PP No. 68/2002. Departemen Hukum Indonesia, Jakarta.

PUSLITBANGNAK. 2009. Kandang kelompok pembibitan sapi potong model Grati dipamerkan dalam Jambore Nasional SL-PTT, Donohudan, Jawa Tengah dan di Stasiun Penelitian Loka Sapi Potong, Grati, Jawa Timur, sepanjang Tahun.

PUSLITBANGNAK. 2008. Hasil observasi cepat pemotongan sapi betina produktif di Sumatera Barat, Bengkulu, NTT dan Jawa Timur. Disampaikan dalam diskusi pemotongan sapi betina produktif. Puslitbang Peternakan, November 2008.

TALIB, C., A. BAMUALIM dan I. INOUNU. 2007.Restrukturisasi peternakan di Indonesia. Jurnal Analisis Ekonomi. Pusat Penelitian Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. hlm. 1 – 10.

UNDP 2007/2008. Human Development Index. http/www/UNDP.org.

(8)

DISKUSI Pertanyaan :

1. Delapan puluh persen daging segar lari ke tukang baso apa betul laku, bagaimana dengan kesehatannya?

2. Mengapa penggunaan skim milk di Indonesia tinggi?

Jawaban :

1. Daging yang digunakan untuk baso sekarang ini banyak sapi lokal dan jantung impor.

2. Memang ini sudah termasuk dalam gran design negara-negara penghasil susu yang mengirim kelebihan susu ke Indonesia dalam bentuk skim, sementara bangsa negara itu sendiri meminum susu segar.

Gambar

Gambar 1.  Perubahan peta tataniaga sapi lokal Indonesia tahun 90-an (atas) dan setelah tahun 90-an  (bawah)
Gambar 2. Grafik impor sapi bakalan dari Australia tahun 1990 – 2007
Gambar 3. Negara-negara utama produser dan eksportir sapi potong dunia

Referensi

Dokumen terkait

Gar paused, then nodded like Dave Wilson used to in biology class, trying to look like an innocent three-year-old because he'd just looked the word 'vagina' up in the dictionary

Berdasarkan hasil analisis data terhadap penerapan metode eksperimen berpengaruh terhadap hasil belajar dan aktivitas siswa pada materi elastisitas bahan di kelas

penelitian yang dianalisa secara statistika menunjukkan bahwa Sistem olah tanah dan fosfat memberikan pengaruh yang berbeda nyata,sedangkan interaksi antara

Sedangkan pada tahun 2009 masih didominasi oleh Dana Perimbangan sebesar 97,5 % mengalami kenaikan yang sangat signifikan dibandingkan dengan tahun 2008 hal ini

Gambar 2.2 DFD Leve menjelaskan tentang proses melakukan kegiatan input data taksiran data gadai yang akan database dan kemudian mela transaksi pembayaran dan melewati

Faktor penghambat Kepolisian Resor Lampung Timur dalam menanggulangi kejahatan pemerasan oleh kelompok preman di jalan lintas timur adalah kurangnya kontak

Bahan bakar yang digunakan bisa diperoleh dari pabrik sendiri yaitu produk biodiesel, kemudian untuk kebutuhan listrik dapat menggunakan generator yang menggunakan biodiesel,

sebagai pupuk hijau. Benih tanaman yang digunakan adalah jagung Kultivar Jaya 2. Untuk mencegah serangan hama penyakit digunakan pestisida yang disesuaikan dengan