BAB II
STUDI PUSTAKA
2.1 DASAR TEORI PERENCANAAN GEOMETRIK
Kapasitas bandar udara adalah jumlah pergerakan pesawat yang bisa dilayani oleh suatu bandar udara dalam suatu rentang waktu tertentu dengan tundaan rata‐rata bagi pesawat yang akan berangkat yang masih dalam batas waktu yang diperbolehkan.
Pesawat melakukan dua pergerakan utama yaitu mendarat dan tinggal landas. Jika terdapat suatu bandar udara dengan single runway dan single exit taxiway, dan diasumsikan bahwa hanya satu pesawat yang diperbolehkan menggunakan runway pada suatu waktu tertentu, maka kapasitas bandar udara akan ditentukan oleh waktu penggunaan runway oleh suatu pesawat.
Runway akan beroperasi pada kapasitasnya pada saat waktu selang (interval) antara dua
pergerakan yang berurutan sama dengan waktu penggunaan runway suatu pesawat. Pada prakteknya terdapat banyak variasi interval pada kedatangan–keberangkatan, sehingga menimbulkan delay (keterlambatan) pada masing‐masing kedatangan dan keberangkatan pesawat tersebut. Dengan meningkatnya pergerakan pesawat per jam, maka tundaan rata‐ rata bagi pesawat yang akan berangkat meningkat.
International Civil Aviation Organization; ICAO telah mengeluarkan sistem klasifikasi bandar
udara, sistem ini dituangkan dalam Aerodrome Reference Code; ARC. Sistem ini menggunakan dua notasi, yaitu angka dan huruf. Kode angka didasarkan pada panjang ARFL (Aeroplane
Refrence Field Length) sedangkan kode huruf untuk menggolongkan bandar udara
berdasarkan lebar sayap pesawat dan jarak main gear terluar. Kode huruf dan angka yang dipilih untuk tujuan perencanaan, dihubungkan kepada karakteristik pesawat kritis yang dapat dilayani oleh bandar udara bersangkutan. Di bawah ini adalah Tabel ARC yang dikeluarkan oleh ICAO Maret 1984. Tabel 2. 1 Aerodrome Reference Code Element Code 1 Element Code 2 Number Code ARFL Letter Code Wing Span Width Outer Main Gear Wheel Span 1 less than 800 m A < 15 m < 4,5 m 2 800 m < x ≤ 1200 m B 15 m‐24 m 4,5 m‐6 m 3 1200 M < x ≤ 1800 m C 24 m‐36 m 6 m‐9 m 4 more than 1800 m D 36 m‐52 m 9 m‐14 m E 52 m‐60 m 9 m‐14 m Sumber:Aerodrome Design Manual, Part 1 Runway, ICAO,1984
2.1.1 Perencanaan Runway
Runway adalah permukaan berbentuk persegi yang disediakan untuk kegiatan mendarat
dan tinggal landas pesawat.
a. Sistem Pengoperasian Runway
Menurut sistem pengoperasiannya, secara umum runway dapat dibagi menjadi dua jenis:
1. Non‐Instrument Runway
Operasi runway ini dimaksudkan untuk pesawat yang menggunakan prosedur pendaratan secara visual (pilot memperhitungkan pendaratan berdasarkan penglihatannya).
2. Instrumen Runway
Operasi runway ini dimaksudkan untuk pesawat yang menggunakan prosedur pendaratan secara instrument (pilot memperhitungkan pendaratan menggunakan alat bantu, tidak berdasarkan penglihatannya). Instrument runway dibagi menjadi empat jenis: a. Non‐precision approach runway b. Precision approach runway kategori I c. Precision approach runway kategori II d. Precision approach runway kategori III b. Orientasi Arah Runway
Runway harus ditentukan sedemikian rupa sehingga jalur runway tidak mengarah atau
melewati daerah padat penduduk dan halangan dapat dihindari. Salah satu hal yang sangat berperan dalam penentuan orientasi runway adalah keadaan angin pada daerah lapangan terbang rencana.
Salah satu komponen angin yang sangat berpengaruh di dalam perencanaan orientasi arah runway adalah cross wind. Cross‐wind atau angin sisi ialah angin yang bertiup tegak lurus pesawat. Pada saat take‐off maupun landing, pesawat hanya dapat melakukan manuver di atas runway sepanjang cross wind tidak berlebihan dan masih dapat ditahan oleh pesawat.
Cross wind maximum adalah kecepatan angin maksimum dengan arah tegak lurus
terhadap panjang pesawat yang masih dapat ditahan oleh badan pesawat. ICAO menetapkan batas cross wind maximum berdasarkan panjang runway seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2. 2 Maximum Permissible Cross wind
Code Letter Runway Length Max Permissible Cross wind
A length ≥ 2100 m (7000 ft) 20 knots (23 mph)
B 1500 m (5000 ft) ≤ length < 2100 m (7000 ft) 20 knots (23 mph) C 900 m (3000 ft) ≤ length < 1500 m (5000 ft) 13 knots (15 mph) D 750 m (2500 ft) ≤ length < 900 m (3000 ft) 10 knots (11,5 mph) E 600 m (2000 ft) ≤ length < 750 m (2500 ft) 10 knots (11,5 mph) Sumber: Airport Planning Manual, Part 1 Master Planning, ICAO 1977
Usability factor ialah persentase penggunaan sistem runway di bawah batas maksimum cross‐wind. ICAO menetapkan bahwa usability factor suatu runway tidak boleh kurang
dari 95%. Hal ini dimaksudkan di dalam penggunaan suatu runway, runway tersebut akan dapat digunakan sekurang‐kurangnya selama 95% dari jangka waktu yang ada, jadi distribusi pergerakan angin di suatu tempat yang akan dijadikan runway harus minimal 95% bertiup ke satu arah. Arah inilah yang akan menjadi arah runway.
Orientasi arah runway dapat ditentukan menggunakan wind rose. Wind rose adalah suatu Gambaran banyaknya persentase angin tahunan yang melalui suatu area yang ditetapkan sebagai suatu area runway. Untuk membuat wind rose, diperlukan data persentase angin di daerah rencana.
Langkah‐langkah membuat wind rose:
a. Buat sejumlah lingkaran yang berpusat pada satu titik. Jumlah lingkaran yang dibuat tergantung pada jenis kecepatan angin yang dimiliki di daerah rencana. Jari‐jarinya harus mewakili skala kecepatan angin tersebut.
b. Lingkaran‐lingkaran tersebut kemudian dibagi sama rata menjadi sejumlah arah angin yang diketahui kecepatannya di daerah rencana. Lingkaran terekcil yang berada di tengah dibiarkan utuh, tidak ikut terbagi. Nama mata angin kemudian ditulis pada lingkaran terluar yang sudah terbagi. Data persentase angin yang sudah diketahui kemudian dipindahkan ke bagian lingkaran yang sudah terbagi sama rata. Nilai persentase angin calm menempati lingkaran terkecil. c. Buat sebuah bidang berbentuk persegi panjang dengan ukuran: ‐ panjang : lebih besar daripada diameter lingkaran terbesar ‐ lebar : 2 kali nilai yang melewati batas cross wind maksimum Bidang persegi panjang tersebut kemudian diletakkan di atas lingkaran dengan titik pusatnya berimpit dengan titik pusat lingkaran. Lebar bidang ini dibagi dua oleh sebuah garis yang tepat berimpit dengan simetri lipatnya. Garis tengah ini merepresentasikan garis tengah runway (runway centre line).
d. Bidang persegi panjang tersebut diputar porosnya dengan sudut tertentu untuk mendapatkan persentase total arah angin yang terbesar dengan nilai persentase lebih
besar dari 95%. Persentase ini diperoleh dengan mengalikan persentase luas juring yang diselimuti oleh bidang persegi panjang dengan nilai persentase angin yang tertulis pada juring tersebut. Persentase total didapatkan dengan menjumlahkan semua persentase dari luas lingkaran yang tertutup bidang tersebut. Persentase total untuk setiap putaran bidang dihitung kemudain dibandingkan.
e. Bidang persegi panjang ditandai atau dilekatkan pada lingkaran ketika persentase total terbesar diperoleh. Arah bidang ini adalah arah runway yang dicari.
Gambar 2. 1 Contoh Wind Rose c. Panjang Runway
Panjang runway ditentukan menggunakan code dari ICAO Aerodrome Design Manual Part
1. Chapter 3 dan 5. dan didukung dengan data manual penerbangan pesawat (aircraft flight manual). Panjang runway utama ditentukan oleh pesawat rencana yang memiliki
kebutuhan runway terpanjang, yaitu yang memiliki ARFL terpanjang di antara pesawat yang akan beroperasi di bandara rencana. Panjang ARFL dapat diketahui dari spesifikasi teknis yang dipublikasikan oleh masing‐ masing pabrik pembuat pesawat tersebut. Panjang aktual landasan perencanaan didapat dari mengoreksi panjang ARFL pesawat desain kritis dengan beberapa faktor koreksi. Faktor koreksi yang ditetapkan oleh ICAO adalah:
Koreksi terhadap elevasi (ketinggian)
Semakin besar elevasi maka semakin kecil kerapatan udara yang akan mengurangi gaya angkat sayap pesawat sehingga dibutuhkan kecepatan pesawat yang tinggi. Untuk mengantisipasinya, maka ditetapkan bahwa panjang runway dasar harus ditingkatkan sebesar 7% setiap kenaikan elevasi 300 m dari permukaan air laut rata – rata.
Koreksi terhadap temperatur
Temperatur yang tinggi akan membutuhkan landasan yang lebih panjang karena semakin tinggi temperatur kerapatan udara semakin rendah, sehingga dibutuhkan
daya dorong yang lebih besar. Standar temperatur dipilih temperatur di atas muka air laut sebesar 59o F = 15oC. Menurut ICAO landasan harus dikoreksi terhadap
temperatur sebesar 1 % setiap kenaikan 1oC.
Koreksi terhadap slope (kemiringan)
Kemiringan ke atas memerlukan landasan yang lebih panjang dibanding
landasan yang datar atau yang menurun. Hal ini juga berkaitan dengan
bertambahnya tenaga yang dibutuhkan untuk lepas landas. Landasan akan
bertambah 10 % tiap kemiringan seragam sebesar 1 %.
Landasan pacu untuk take‐off memerlukan koreksi terhadap seluruh faktor di atas sedangkan untuk landing hanya dikoreksi terhadap elevasi. Dari panjang landasan untuk take‐off dan landing terkoreksi dipilih yang terpanjang sebagai panjang landasan aktual. d. Lebar Runway Pada Tabel 2.3 dapat dilihat bahwa ICAO mengklasifikasikan lebar runway berdasarkan code letter dan code number yang diketahui dari klasifikasi bandara pada Tabel 2.1. Tabel 2. 3 Runway Width Classifications Berdasarkan Klasifikasi ICAO Sumber:Aerodrome Design Manual, Part 1 Runway, ICAO,1984 Code Letter Code
Number A B C D E
1a 18 m 18 m 23 m ‐ ‐
2a 23 m 23 m 30 m ‐ ‐
3 30 m 30 m 30 m 45 m ‐
4 ‐ ‐ 45 m 45 m 45 m
a. The width of a precision approach runway should be not less than 30 m where the code number is 1 or 2
Ukuran pendekatan lebar runway diusahakan tidak kurang dari 30 m jika code number adalah 1 dan 2.
e. Longitudinal Slope
Longitudinal slope adalah kemiringan pada arah sumbu runway. ICAO mengklasifikasikan slope berdasarkan kode angka landasan bandara seperti yang disajikan pada Tabel 2.4. Tabel 2. 4 Longitudinal Slope Requirements Berdasarkan Klasifikasi ICAO Kode Angka Landasan Parameter Slope 4 3 2 1 Max. Effective Slope (%) 1,0 1,0 1,0 1,0 Max. Longitudinal Slope (%) 1.25 1.5 2,0 2,0 Max. Longitudinal Slope Change (%) 1.5 1.5 2,0 2,0 Slope Change per 30 m (%) 0.1 0.2 0.4 0.4 Sumber:Aerodrome Design Manual, Part 1 Runway, ICAO,1984
f. Transverse Slope
Transverse slope adalah kemiringan permukaan runway pada arah tegak lurus terhadap
sumbu runway. Besarnya transverse slope maksimum yang disyaratkan oleh ICAO adalah sebagai berikut:
1,5 % untuk code letter C, D dan E 2 % untuk code letter A dan B g. Runway Shoulder
Runway shoulder merupakan area di sisi kiri‐kanan runway yang dipersiapkan untuk
mengantisipasi kecelakaan pada saat pesawat take‐off atau landing. Runway shoulder hanya disyaratkan untuk bandar udara dengan klasfifikasi D atau E dan lebar runway kurang dari 60 m.
h. Runway Strip
Runway strip adalah area termasuk runway dan stopway (jika ada) yang ditujukan untuk
mengurangi kerusakan pesawat jika pesawat gagal berhenti dan sebagai batas dimana pesawat tidak boleh terbang melewati daerah tersebut. ICAO mensyaratkan ukuran
runway strip minimum menurut klasifikasi bandar udara dapat dilihat pada Tabel 2.5. Tabel 2. 5 Runway Strip Requirements Berdasarkan Klasifikasi ICAO Code Number 1 2 3 4 Length Strip min (m) 30/60 60 60 60 Width Strip for instrument runway min (m) 150 150 300 300 Width Strip for non‐instrument runway min (m) 60 80 150 150 Longitudinal slope % 2 2 1.75 1.5 Transverse slope % 3 3 2.5 2.5 Sumber:Aerodrome Design Manual, Part 1 Runway, ICAO,1984 i. RESA RESA (Runway End Safety Area) adalah area persegi pada ujung runway (simetri terhadap
sumbu runway) yang digunakan untuk mencegah kerusakan pesawat apabila mengalami overshooting atau overruning. Persyaratan penyediaan RESA berdasarkan ICAO Aerodrome Design Manual Part 1.
Panjang dibuat secukupnya, tetapi paling kurang 90 m. Lebar paling kurang 2 kali runway.
Kemiringan sedemikian rupa di bawah approach surface atau take‐off climb surface. Kemiringan ke bawah tidak boleh lebih dari 5%, hindari kemiringan yang terlalu
tajam dan tiba‐tiba.
j.
ClearwayDaerah berbentuk empat persegi panjang di atas tanah atau air di bawah pengawasan otoritas bandar udara disediakan dan dipilih untuk keperluan initial climbing. Persyaratan penyediaan clearway berdasarkan ICAO Aerodrome Design Manual Part 1. Panjang clearway tidak melebihi ½ panjang TORA.
Slope on clearway adalah 1,30%. Dalam Aerodrome Design Manual dianjurkan lebih dari 1,25%.
k. Stopway
Stopway adalah area berbentuk segi empat pada ujung runway sebagai tempat untuk
berhenti apabila pesawat mengalami gagal lepas landas. Persyaratan kemiringan
Stopway berdasarkan ICAO Aerodrome Design Manual Part 1 disesuaikan dengan
persyaratan landasan kecuali:
Pembatasan kemiringan 0.8% pada perempat awal dan akhir landasan tidak berlaku. Kemiringan stopway diukur dari ujung sebesar 0.3% tiap 30 m bagi landasan dengan
kode 3 atau 4. l. Declared Distances
Declared Distances adalah jarak yang diinformasikan pada pilot berkenaan dengan
keterbatasan suatu landasan untuk melayani berbagai manuver dari pesawat yang take‐ off dan landing pada landasan tersebut meliputi: TORA, TODA, ASDA dan LDA. TORA adalah panjang runway yang tersedia yang digunakan untuk take‐off TODA adalah panjang TORA ditambah dengan panjang clearway jika ada. ASDA adalah panjang TORA ditambah dengan panjang stopway jika ada LDA adalah panjang runway yang bisa digunakan untuk pendaratan. 2.1.2 Perencanaan Taxiway
Taxiway merupakan daerah yang digunakan pesawat untuk berpindah dari lokasi satu ke
lokasi lainnya di sisi udara bandara. Taxiway diatur sedemikian rupa sehingga pesawat – pesawat tidak saling mengganggu ketika melakukan pergerakan. Sistem taxiway harus mampu melayani pergerakan pesawt dengan maksimal, baik ketika tingkat penggunaan
runway rendah, ataupun ketika penggunaan runway meningkat. Jenis – jenis taxiway : a. Aircraft stand taxiway Bagian dari apron yang didesain sebagai taxiway dan dimaksudkan untuk menyediakan akses ke aircraft stands. b. Apron taxiway Dimaksudkan untuk menyediakan jalur taxi melintasi apron.
c. Parallel taxiway Yaitu taxiway yang letaknya memanjang sejajar dengan panjang runway. d. Exit taxiway Yaitu taxiway yang berhubungan langsung dengan runway dan dimaksudkan untuk jalur keluar masuk dari dan ke runway. e. Rapid exit taxiway Yaitu sebuah taxiway bersudut tajam yang terhubung dengan runway dengan sudut yang landai untuk memungkinkan pesawat yang mendarat untuk berbelok dengan kecepatan yang lebih tinggi sehingga mengurangi tingkat penggunaan runway. Perencanaan desain taxiway dilakukan berdasarkan code Annex 14 Aerodrome Design Manual,
ICAO,1984. Code Letter yang dipakai sebagai patokan untuk menentukan perencanaan taxiway diperoleh dari pengklasifikasian bandara yang telah dilakukan pada Tabel 2.1.
a. Lebar Taxiway
Berdasarkan standar yang diterbitkan Annex 14 mengenai Aerodrome Design Manual, maka lebar taxiway dapat dilihat pada Tabel 2.6. Tabel 2. 6 Taxiway Width Requirements Menurut Persyaratan Annex 14 Code Letter Taxiway Width A B C D E 7.5 m 10.5 m 15 m if the taxiway is intended to be used by aeroplane with a wheel base less than 18 m 18 m if the taxiway is intended to be used by aeroplane with a wheel base equal to or greater than 18 m 18 m if the taxiway is intended to be used by aeroplane With an outer main gear wheel span of less than 9 m 23 m if the taxiway is intended to be used by aeroplane with an outer main gear span equal to or greater than 9 m 23 m Sumber:Annex 14, Aerodrome Design Manual, ICAO, 1984 b. Taxiway Slope
Berdasarkan standar yang diterbitkan Annex 14 mengenai Aerodrome Design Manual, maka taxiway slope dibedakan atas longitudinal dan tranverse slope. Besarnya slope tersebut adalah sebagai berikut:
1,5 % untuk code letter C, D dan E 2 % untuk code letter A dan B c. Taxiway Shoulder
Berdasarkan standar yang diterbitkan Annex 14 mengenai Aerodrome Design Manual, maka bandar udara code letter C, D dan E harus menyediakan bahu yang memanjang
simetris pada kedua sisi taxiway sehingga lebar keseluruhan dari taxiway dan bahunya tidak kurang dari angka yang ditunjukan pada Tabel 2.7. Tabel 2. 7 Taxiway Shoulder Width Menurut Persyaratan Annex 14 Reference Code Letter Shoulder Width on each side of the Taxiway A (not mandatory) 3 m B (not mandatory) 3 m C (mandatory when used by jet propelled aeroplanes) 3.5 m D 7.5 m E 10.5 m Sumber:Annex 14, Aerodrome Design Manual, ICAO, 1984 d. Taxiway Strip
Berdasarkan standar yang diterbitkan Annex 14 mengenai Aerodrome Design Manual, lebar dari taxiway strip adalah sebagai berikut: Tabel 2. 8 Taxiway Strip Width Requirements Menurut Annex 14 Reference Code Letter Taxiway Strip Width A 32.5 m B 43 m C 52 m D 81 m E 95 m Sumber:Annex 14, Aerodrome Design Manual, ICAO, 1984 e. Taxiway Curve Taxiway curve diperlukan jika terjadi perubahan arah pesawat terhadap landasan. Radius belokan tersebut ditentukan oleh kecepatan tempuh pesawat pada taxiway. Persyaratan radius belokan taxiway dapat dilihat pada Tabel 2.9. Tabel 2. 9 Taxiway Curve Radius Requirements Menurut Annex 14 Taxiway Design Speed Radius of Curve 20 km/h 24 m 30 km/h 54 m 40 km/h 96 m 50 km/h 150 m 60 km/h 216 m 70 km/h 294 m 80 km/h 384 m 90 km/h 486 m 100 km/h 600 m Sumber:Annex 14, Aerodrome Design Manual, ICAO, 1984
Rapid exit didesain untuk memungkinkan pesawat yang mendarat untuk berbelok
belokan rapid exit taxiway berdasarkan ICAO Aerodrome Design Manual. Sudut putar antara runway terhadap rapid exit taxiway adalah antara 25º dan 45º, namun lebih disukai 300 (ICAO, 1983).
Tabel 2. 10 Radius Curve of Exit Taxiway Requirements Menurut ICAO
Code Radius of Curve Exit Speed
1 , 2 275 m 65 km/h
3 , 4 550 m 93 km/h
Sumber:Annex 14, Aerodrome Design Manual, ICAO, 1984 f. Minimum Separation Distance
Persyaratan jarak minimum separation distance menurut ICAO Aerodrome Design Manual dapat dilihat pada Tabel 2.11.
Tabel 2. 11 Minimum Separation Distance Requirements Menurut ICAO To precision approach runway centre
line
Code letter
Runway code number A B C D E
1 2 3 4 82.5 m 82.5 m 157.5 m ‐ 87 m 87 m 162 m ‐ 93 m 93 m 168 m 168 m ‐ ‐ 176 m 176 m ‐ ‐ ‐ 182.5 m To precision approach runway centre line Code letter
Runway code number A B C D E
1 2 3 4 52.5 m 52.5 m 82.5 m ‐ 57 m 57 m 87 m ‐ 63 m 63 m 93 m 168 m ‐ ‐ 176 m 176 m ‐ ‐ ‐ 182.5 m To non‐instrument runway centre line Code letter
Runway code number A B C D E
1 2 3 4 37.5 m 47.5 m 52.5 m ‐ 42 m 52 m 57 m ‐ 48 m 58 m 63 m 93 m ‐ ‐ 101 m 101 m ‐ ‐ ‐ 107.5 m To another taxiway centre line Code letter A B C D E 23.75 m 33.5 m ‐ 66.5 m 80 m To object Code letter A B C D E 16.25 m 21.5 m ‐ 40.5 m 47.5 m Sumber:Annex 14, Aerodrome Design Manual, ICAO, 1984
g. Jarak Minimum Taxiway Terhadap Apron Centre Line
Ketentuan jarak minimum taxiway terhadap apron center line menurut ICAO Aerodrome
Design Manual dapat dilihat pada Tabel 2.12.
Tabel 2. 12 Minumum Distance of Taxiway and Apron Center Line Menurut ICAO
Between Formula A B C D E
wingspan (Y) 15 24 36 52 60 3 4.5 6 9 9 +2x maximum lateral deviation (X) +increment (Z) 3 3 4.5 7.5 7.5 Taxiway centre line and taxiway center line (apron taxiway centre line and taxiway centerline) (S) 21 31.5 46.5 68.5 76.5 Sumber:Annex 14, Aerodrome Design Manual, ICAO, 1984
Dimensi taxiway dapat dihitung berdasarkan data karakteristik pesawat kritis, sebagai berikut: h. Lebar minimal taxiway Minimum taxiway width WT dapat dihitung dengan persamaan: 2 WT = TM + 2C
...(Pers.2. 1)
Keterangan: WT = lebar taxiway minimum TM = main gear span C = main gear to taxiway edge clearance i. Minimum Separation Distance antara Taxiway dan ObjectMerupakan jarak pisah minimum antara taxiway centre line terhadap objek.
( )
Ws C z S = + + 2...(Pers.2. 2)
Keterangan: Ws = wingspan C = clearance antara outer main gear dan taxiway edge z = wingtip clearance j. Minimum Separation Distance antara Runway dan TaxiwayMerupakan jarak pisah antara garis tengah runway terhadap garis tengah taxiway.
(
Sw Ws S = 21 +)
...(Pers.2. 3)
Keterangan: Sw = taxiway strip width Ws = wingspan k. Aircraft Stand Taxiline ke Object Merupakan jarak pisah antara pesawat pada apron taxiline dengan object lain.( )
Ws d z S = + + 2...(Pers.2. 4)
Keterangan: Ws = wingspan d = minimum deviation z = wing tip clearance 2.1.3 Perencanaan Apron Apron merupakan tempat bagi pesawat yang melakukan ground service. Apron direncanakan untuk menampung lebih dari satu pesawat. Untuk mengakomodasi kebutuhan tiap pesawat agar dapat melakukan ground service maupun manuver dengan aman, maka apron diatur melalui pengaturan konfigurasi parkir. Hal ini tergantung pada luasan area dan banyaknya pesawat yang dilayani.
Jenis apron berdasarkan fungsinya yaitu :
a. Terminal apron
Jenis apron ini dirancang untuk manuver dan parkir pesawat yang bersebelahan atau mudah dihubungkan dengan fasilitas terminal penumpang. Tempat ini digunakan oleh penumpang untuk naik ke pesawat dari terminal. Dalam fasilitas pergerakan penumpang, terminal apron digunakan untuk mengisi bahan bakar dan pemeliharaan pesawat dan untuk menaikkan barang – barang serta kargo.
b. Cargo apron
Cargo apron digunakan untuk tempat berhenti dan menaikkan muatan pesawat yang
hanya mengangkut barang – barang, kargo, surat, dan sejenisnya tanpa penumpang.
c. Parking apron
Sebuah lapangan terbang dapat memiliki sebuah tempat parkir khusus, yang disebut
parking apron, yang diperuntukkan bagi pesawat yang harus berada di lapangan terbang
untuk jangka waktu yang panjang. Apron ini bisa digunakan untuk melakukan perawatan ringan pesawat. Penempatan parking apron ini seharusnya diletakkan sedekat mungkin dengan terminal apron. d. Service dan Hangar Apron Service apron adalah sebuah tempat terbuka untuk melakukan perawatan serta perbaikan terhadap pesawat yang lokasinya berdekatan dengan hanggar pemeliharaan. Sedangkan hangar apron adalah lokasi pemindahan pesawat dari dan menuju hangar. Dalam tugas akhir ini, yang akan dilakukan perencanaan desainnya adalah terminal apron, yang mempunyai fokus untuk melayani pergerakan penumpang ke pesawat. a. Persyaratan Clearance untuk Perencanaan Apron Sebuah pesawat yang berada dalam aircraft stand dengan bangunan/pesawat/objek lain mempunyai nilai clearence masing – masing tergantung kepada jenis kode pesawat yang beroperasi.
Tabel 2. 13 Minimum Cleariance Distance antara Aircraft Requirements A B C D E Wing Tip Clearance 3.0 m 3.0 m 4.5 m 7.5 m 7.5*m Code Letter *10 m where the parking position is defined for free moving parking (AL 1/89) Sumber:Annex 14, Aerodrome Design Manual, ICAO, 1984 Tabel 2. 14 Minimum Separation Distances antara Aircraft Parking Position Taxiline dan Object A B C D E Separation 12.0 m 16.5 m 24.5 m 36.0 m 42.5 m Code Letter * measured from centre line to object Sumber:Annex 14, Aerodrome Design Manual, ICAO, 1984 b. Persyaratan Kemiringan Apron
Apron disyaratkan harus memiliki kemiringan yang cukup sehingga tidak terjadi
penggenangan air di permukaan apron. Kemiringan maksimum yang disyaratkan adalah 1%.
Di daerah pemuatan BBM pesawat, harus diusahakan kemiringan apron sekitar ½% transversal sumbu pesawat untuk menjamin ketelitian pengukuran minyak BBM. Kemiringan apron harus menjauhi bangunan terminal, terutama di daerah pengisian minyak.
c. Konfigurasi Parkir Pesawat
Terdapat beberapa konfigurasi parkir pesawat yang dapat dipertimbangkan dalam merencanakan suatu bandara. Konfigurasi – konfigurasi tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan masing – masing yang dapat dijadikan bahan pertimbangan.
1. Nose – in dan angled nose – in Kelebihan :
a. Semburan jet tidak ke terminal sebab hidung pesawat yang menghadap ke terminal. b. Kebisingan saat mau parkir lebih kecil sebab yang menghadap terminal adalah bagian hidung pesawat, bukan bagian belakang. c. Pintu penumpang yang turun lebih dekat ke terminal. Kelemahan: a. Dibutuhkan banyak tenaga untuk berputar keluar sebab pada saat itu pesawat penuh dengan muatan (termasuk penumpang).
b. Kebisingan yang besar langsung mengarah ke terminal saat pesawat mau keluar sebab saat itu pesawat dipenuhi muatan yang memperbesar kerja mesin pesawat.
2. Nose – out dan angled nose – out Kelebihan :
a. Kebisingan yang berasal dari pesawat tidak mengarah langsung ke terminal. b. Pintu penumpang yang naik lebih dekat ke terminal.
Kelemahan :
Kelemahan yang paling utama dari konfigurasi parkir ini adalah semburan jet dari pesawat langsung mengarah ke terminal penumpang. 3. Parallel System Kelebihan : Jarak antara pintu masuk dan pintu keluar penumpang dengan terminal sama. Kelemahan : a. Membutuhkan ruang yang lebih banyak daripada konfigurasi lainnya. b. Semburan jet langsung mengarah ke terminal penumpang.
c. Kebisingan tinggi yang berasal dari pesawat langsung mengarah ke terminal penumpang.
d. Sistem Parkir Pesawat
Perencanaan parkir pesawat dapat dilaksanakan dapat direncanakan dalam beberapa sistem, yaitu : 1. System linear Sistem ini cocok untuk bangunan terminal dengan pintu maksimum 4 pintu 2. System pier (finger) Jika dibutuhkan lebih atau sama dengan 9 pintu, konfigurasi ini cocok diberlakukan. 3. System satellite
Dibuat untuk memungkinkan adanya ruang apron yang bebas dari gangguan, memungkinkan adanya pola parkir pesawat yang rapat.
4. Sistem apron terbuka
Merupakan sistem parkir pesawat di mana pesawat diparkir di depan terminal dengan lebih dari dua barisan parkir. Keuntungannya jarak taxiing dari runway ke
apron menjadi jauh lebih berkurang.
e. Jumlah Pintu Gerbang
Apron akan menampung sejumlah pesawat sesuai perhitungan jumlah pergerakan
pesawat setiap jenis pada jam sibuk. Maka, Jumlah pintu pada apron harus sama dengan pesawat yang mampu ditampung oleh apron pada waktu jam puncak (jam sibuk).
f. Perkiraan Luas Apron
Perkiraan luas apron dapat dihitung sebagai berikut : L apron = Luas Area – Luas Terminal Penumpang
2.2 DASAR TEORI PERENCANAAN PERKERASAN
Struktur perkerasan dikelompokkan dalam dua golongan, yaitu struktur perkerasan lentur dan struktur perkerasan kaku. Pengelompokan struktur perkerasan didasarkan pada bahan perkerasan yang digunakan. Struktur perkerasan lentur umumnya menggunakan lapisan beton aspal sebagai lapisan permukaan, terkadang juga digunakan pada lapisan‐lapisan di bawahnya. Sedangkan struktur perkerasan kaku menggunakan pelat beton semen sebagai komponen struktur utamanya.
Teori dasar yang digunakan untuk mendesain struktur perkerasan lentur berbeda dengan struktur perkerasan kaku. Desain struktur perkerasan lentur didasarkan pada analisis sistem lapisan dimana beban kendaraan dipikul oleh semua lapisan perkerasan sebagai suatu kesatuan. Kontribusi setiap lapisan perkerasan dalam memikul beban kendaraan ditentukan oleh karakteristik bahan dan tebal dari masing‐masing lapisan perkerasan tersebut. Bahan perkerasan dengan kualitas yang lebih baik pada umumnya digunakan sebagai lapisan perkerasan yang lebih atas. Lapisan‐lapisan dibawahnya menggunakan bahan perkerasan dengan kualitas yang lebih rendah namun harus tetap lebih baik dari kualitas tanah dasar pendukungnya. Sedangkan, proses desain struktur perkerasan kaku lebih didasarkan pada analisis struktural terhadap pelat beton yang dianggap memikul beban kendaraan melalui kelenturan (bending) yang tinggi dari pelat beton tersebut.
Dalam pemakaiannya, struktur perkerasan lentur secara umum memberikan kenyamanan yang lebih baik. Di sisi lain, struktur perkerasan kaku akan lebih cocok untuk jalan yang sering memikul beban statis dan/atau beban horizontal.
Gambar 2. 2 Potongan Melintang Struktur Perkerasan Lentur Tipikal
Gambar 2.2 memperlihatkan potongan dari struktur perkerasan lentur tipikal, yang terdiri dari lapisan permukaan, lapisan pondasi, dan lapisan pondasi bawah. Keseluruhan lapisan harus sudah membentuk kemiringan jalan sesuai dengan yang telah ditentukan. Lapisan permukaan, yang umumnya menggunakan bahan campuran aspal dan agregat, dapat dibedakan menjadi dua lapisan, yaitu lapisan penutup (wearing) dan lapisan utama (binder). Bahan lapisan utama seringkali dibuat sama dengan bahan lapisan penutup, kadang‐kadang lapisan utama menggunakan ukuran nominal agregat yang lebih besar. Lapisan pondasi dan lapisan pondasi bawah dapat menggunakan bahan agregat dengan atau tanpa bahan pengikat (aspal, semen, atau kapur). Perkerasan lentur pada bahu jalan terdiri lapisan
pondasi dan/atau lapisan pondasi bawah, sebaiknya diberi lapisan penutup tipis (surface
treatment).
Yang dikategorikan sebagai struktur perkerasan adalah lapisan permukaan, termasuk lapisan tambahan yang dibangun sesudahnya, lapisan pondasi, dan lapisan pondasi bawah. Tanah dasar tidak dikategorikan sebagai bagian dari struktur perkerasan tetapi sebagi lapisan pendukung struktur perkerasan. Pada kasus‐kasus tertentu, bagian atas dari tanah dasar dapat merupakan hasil dari proses perbaikan tanah (improved subgrade). Dalam kasus tersebut, tanah dasar hasil perbaikan tersebut dapat dikategorikan sebagai bagian dari struktur perkerasan.
Struktur perkerasan lentur yang ketiga lapisannya terbuat dari bahan campuran aspal dikenal sebagai perkerasan full depth. Jika hanya lapisan permukaan dan lapisan pondasi saja yang terbuat dari bahan campuran aspal, maka struktur perkerasan lentur ini dikenal dengan istilah perkerasan deep strength.
Gambar 2. 3 Potongan Melintang Struktur Perkerasan Kaku Tipikal
Gambar 2.3 memperlihatkan potongan dari struktur perkerasan kaku tipikal, yang terdiri dari pelat beton semen dengan atau tanpa lapisan pondasi bawah. Struktur perkerasan kaku dapat dibedakan ke dalam empat tipe, yaitu bersambung tanpa tulangan, bersambung dengan tulangan, menerus dengan tulangan, dan menerus dengan tulangan prategang. Pada struktur perkerasan kaku bersambung, pelat beton umumnya dibuat dengan panjang 5 m atau 6 m selebar lajur jalan. Di setiap sambungan yang teratur tersebut dibuat perkuatan yang berfungsi untuk menyalurkan tegangan dari satu pelat ke pelat beton di sebelahnya. Jika pelat beton bersambung ini diberi tulangan, maka fungsi tulangan tidak untuk memikul beban kendaraan tetapi hanya untuk mengikat retakan yang mungkin terjadi pada saat jalan ini dioperasikan, sekaligus untuk menyalurkan beban kendaraan pada bagian pelat beton yang retak tersebut.
Struktur perkerasan kaku menerus harus selalu diberi tulangan yang fungsinya adalah untuk menyalurkan beban kendaraan pada bagian pelat beton yang retak. Struktur perkerasan kaku menerus memberikan kenyamanan yang lebih baik karena tidak terjadi kebisingan yang biasa terjadi saat kendaraan melintasi sambungan. Akan tetapi, keretakan melintang pada struktur perkerasan kaku menerus mungkin terjadi secara acak yang dapat merusak estetika jalan.
Struktur perkerasan kaku menerus dengan tulangan prategang dimaksudkan untuk menjadikan pelat beton agar selalu dalam kondisi tertekan agar dapat mengimbangi tegangan tarik yang ditimbulkan oleh beban kendaraan. Sifat dari bahan beton semen, seperti telah diketahui secara umum, adalah sangat baik dalam menerima beban tekan tetapi lemah dalam menerima beban tarik.
Tidak seperti pada perkerasan lentur, dimana lapisan pondasi dan pondasi bawah ikut memperngaruhi daya dukung perkerasan, pada perkerasan kaku, lapisan pondasi bawah pada struktur perkerasan kaku bukan merupakan komponen utama untuk memikul beban kendaraan. Daya dukung perkerasan diperoleh dari pelat beton. Meskipun demikian, pemberian lapisan pondasi bawah akan dapat meningkatkan daya dukung tanah dasar, khususnya jika kondisi tanah dasar kurang baik. Fungsi utama dari lapisan pondasi bawah adalah untuk mengendalikan pengaruh kembang susut tanah dasar, mencegah terjadinya intrusi tanah dasar pada sambungan, memberikan daya dukung yang baik dan seragam terhadap pelat beton, dan sebagai landasan kerja selama pekerjaan konstruksi. Lapisan pondasi bawah dapat menggunakan bahan agregat dengan atau tanpa bahan pengikat (aspal, semen, atau kapur).
Pendekatan desain untuk struktur perkerasan pada prinsipnya dapat dikelompokkan ke dalam dua pendekatan, yaitu pertama, pendekatan yang didasarkan pada beban kendaraan desain yang akan menyebabkan tingkat kerusakan yang diijinkan; kedua, pendekatan yang didasarkan pada jumlah repetisi kendaraan standar yang akan menyebabkan tingkat kerusakan yang diijinkan.
2.2.1. Penentuan Repetisi Beban Ekivalen
Volume pergerakan pesawat udara terdiri dari volume keberangkatan dan volume kedatangan. Akan tetapi, hanya volume keberangkatan tahunan saja yang digunakan dalam proses penentuan tebal perkerasan desain (ICAO, 1983). Dalam proses desain, data volume keberangkatan tahunan dianggap konstan selama masa layan rencana struktur perkerasan. Pada umumnya umur masa layan struktur perkerasan ditetapkan 20 tahun.
Untuk pendekatan desain yang berdasarkan pesawat udara desain kritis (pesawat yang menyebabkan kerusakan paling dominan), struktur perkerasan diperhitungkan hanya untuk memikul sejumlah repetisi beban sumbu roda ekivalen dari pesawat udara desain kritis tersebut selama masa layan rencana yang ditetapkan. Pengaruh dari jenis pesawat udara lainnya yang beroperasi terhadap kerusakan struktur perkerasan diperhitungkan dengan menggunakan faktor ekivalen repetisi beban. Untuk lalu lintas campuran, ada tiga faktor ekivalen repetisi beban yang diperlukan, yaitu:
a. Faktor ekivalen konfigurasi sumbu roda (FES)
Meskipun beban sumbu roda yang bekerja adalah sama, pengaruh dari berbagai konfigurasi sumbu roda pesawat udara terhadap kerusakan struktur perkerasan dapat berbeda. Oleh karena itu, konfigurasi sumbu roda yang berbeda dengan konfigurasi sumbu roda pesawat udara desain kritis perlu dikonversikan dengan menggunakan nilai FES, seperti diperlihatkan pada Tabel 2.15 Tabel 2. 15 Faktor Ekivalen Sumbu Roda (FES) No. Faktor Ekivalen Dari Ke FES 1 Sumbu Tunggal Roda Tunggal (S) D 0.8 DT 0.5 DDT 0.5 2 Sumbu Tunggal Roda Ganda (D) S 1.3 DT 0.6 DDT 0.6 3 Sumbu Tandem Roda Ganda (DT) / S 2 Sumbu Tandem Roda Ganda Dobel (DDT) D 1.7 Sumber: ICAO,1983 Konversi Konfigurasi Sumbu Roda Pesawat b. Faktor ekivalen beban (FEB) Variasi beban roda pesawat udara memberikan derajat kerusakan pada struktur perkerasan yang juga bervariasi. Makin berat beban roda pesawat udara, maka akan makin besar pula derajat kerusakan yang ditimbulkan pada struktur perkerasan. Di lain pihak, derajat kerusakan struktur perkerasan berbanding lurus dengan jumlah repetisi beban sumbu roda pesawat udara. Sehingga, dalam hal ini, persamaan di bawah dapat digunakan untuk mengkonversikan jumlah repetisi beban sumbu roda dari setiap jenis pesawat udara yang beroperasi (R2) ke dalam jumlah repetisi beban sumbu roda pesawat udara desain kritis (R1) berdasarkan akar perbandingan antara beban roda masing‐masing jenis pesawat udara yang beroperasi tersebut (W2) dengan beban roda pesawat udara desain kritis (W1). (ICAO, 1983).
( )
( )
1 2 2 1 log log W W R R = ⋅ ...(Pers.2. 5) Kemudian, nilai FEB dapat dihitung dari persamaan: ( ) 2 log 1 2 210
W
FEB
W W R ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⋅=
...(Pers.2. 6)Beban roda pesawat udara (nilai W1 dan nilai W2) harus sudah dikalikan terlebih dahulu dengan nilai FES.
c. Faktor repetisi beban (LRF)
Setiap lintasan sumbu roda dari jenis pesawat udara tertentu pada perkerasan biasanya tidak selalu berada pada jalur lintasan yang tetap. Untuk keperluan perhitungan nilai LRF, pergeseran lintasan sumbu roda pesawat udara dianggap terdistribusi secara normal yang menyebar di sekitar jalur lintasan sumbu roda rata‐rata yang dianggap terletak pada ½ jarak antara kaki roda dari sumbu perkerasan. Faktor repetisi beban (LRF) untuk jenis pesawat udara tertentu merupakan faktor koreksi terhadap derajat kerusakan yang ditimbulkan pada struktur perkerasan di jalur lintasan sumbu roda rata‐rata akibat terjadinya pergesaran lintasan sumbu roda tersebut.
Tabel 2. 16 Faktor Repetisi Beban (LRF)
No. Konfigurasi Sumbu Roda Pass to Coverage Ratio, Faktor Repetisi Beban,
PCR LRF 1 Sumbu Tunggal Roda Tunggal (S) 5.18 0.193 2 Sumbu Tunggal Roda Ganda (D) 3.48 0.287 3 Sumbu Tandem Roda Ganda (DT) 3.68 0.272 4 Sumbu Tandem Roda Ganda Dobel (DDT) 3.7 0.27 Sumber: ICAO,1983
Jumlah repetisi beban sumbu roda ekivalen dari pesawat udara desain kritis dapat diperoleh dengan mengalikan data keberangkatan tahunan dari setiap jenis pesawat udara yang beroperasi dengan faktor ekivalen repetisi beban, sebagai berikut:
( )
{
R
FES
FEB
LRF
desain
R
i i i i⎥
⋅
⎦
⎤
⎢
⎣
⎡
⋅
⋅
=
∑
2 1}
...(Pers.2. 7) Keterangan: i = jenis pesawat udara yang beroperasi dalam lalu lintas campuran (R2)i = keberangkatan tahunanFESi = faktor ekivalen konfigurasi sumbu roda
FEBi = faktor ekivalen beban
LRF = faktor repetisi beban dari pesawat udara desain kritis
R1 desain = jumlah repetisi beban sumbu roda ekivalen dari pesawat udara desain kritis
2.2.2 Perencanaan Perkerasan Lentur
Struktur perkerasan pada runway dan taxiway direncanakan menggunakan perkerasan lentur. Metode desain struktur perkerasan lentur untuk runway dan taxiway dilakukan dengan menggunakan metode CBR. Metode CBR yang umum dikenal adalah metode U.S. Army Corps of Engineers (USACE). Prinsip dasar dari metode CBR adalah menyediakan tebal lapisan perkerasan yang sesuai dengan kualitas bahan yang digunakan untuk melindungi lapisan di bawahnya dari kerusakan alur (deformasi plastis) selama masa layan perkerasan yang umumnya ditetapkan 20 tahun.
Berdasarkan code ICAO, kekuatan tanah dasar untuk desain struktur perkerasan lentur dibagi dalam empat kategori yang dijelaskan dalam Tabel 2.17.
Tabel 2. 17 Kategori Perkerasan Lentur berdasarkan Kekuatan Tanah Dasar
Kode Kategori Nilai Wakil Rentang Nilai
A High Strength CBR 15 CBR > 12.5 B Medium Strength CBR 10 8 < CBR < 12.5 C Low Strength CBR 6 4.5 < CBR < 8 D Ultra Low Strength CBR 3 CBR < 4.5 Sumber : ICAO, 1983 Dalam metode CBR, digunakan anggapan bahwa, jika tebal lapisan perkerasan dan kualitas bahan yang digunakan cukup memadai maka kerusakan alur sebagian besar akan terjadi pada tanah dasar. Oleh karena itu, desain struktur perkerasan dapat dikontrol dengan membatasi tegangan yang terjadi pada tanah dasar agar akumulasi dalam alur yang terjadi selama masa layan akibat repetisi dari tegangan tersebut tidak melebihi nilai batas yang diijinkan. Hubungan antara ketebalan perkerasan lentur dengan beban roda dan tekanan ban adalah sebagai berikut:
⎥
⎦
⎤
⎢
⎣
⎡
−
=
π
p
CBR
P
t
1
1
.
8
1
...(Pers.2. 8)Hubungan antara ketebalan perkerasan lentur dengan beban roda dan tekanan ban yang telah dikoreksi terhadap repetisi lalu lintas, dapat dilihat dalam persamaan berikut:
⎥
⎦
⎤
⎢
⎣
⎡
−
+
=
π
p
CBR
P
C
t
1
1
.
8
1
100
)
4
.
14
log
31
.
2
(
...(Pers.2. 9)Ruas (23.1 log C + 14.4) dalam persamaan diatas merupakan persentase dari jumlah stress coverages yang terjadi selama masa layan. Kedua persamaan di atas dapat diaplikasikan untuk tanah dasar dengan nilai CBR kurang dari 10 sampai 12. Penelitian lebih lanjut terhadap ketebalan perkerasan lentur dengan beban roda dan tekanan ban untuk kendaraan dengan beban berat menghasilkan persamaan sebagai berikut: ⎪⎭ ⎪ ⎬ ⎫ ⎪⎩ ⎪ ⎨ ⎧ ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ − ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ − ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ − = 3 2 log 473 . 0 log 6414 . 0 log 1562 . 1 0481 . 0 e e e i p CBR p CBR p CBR A t α ... (Pers.2. 10) Keterangan: t = ketebalan lapisan perkerasan (in) αi = load repetition factor = 23.1 log C + 14.4 C = beban sumbu standar kumulatif
A = luas bidang kontak lingkaran dari satu roda kendaraan pada sumbu standar (in2)
pe = tekanan beban (psi) pada bidang kontak A akibat ESWL (Equilvalent Single Wheel Load) yang memberikan respon struktural (tegangan, regangan, atau lendutan) yang
sama pada tanah dasar atau struktur perkerasan CBR = kekuatan tanah dasar (%)
Di luar perhitungan nilai ESWL yang relatif kompleks, solusi persamaan dapat diperoleh dengan memasukkan nilai C dan CBR tanah dasar ke dalam persamaan (Kosasih, 2006). Dari persamaan di atas, USACE menurunkan kurva desain untuk pesawat udara B767‐400 ER. Kurva desain disajikan dalam Gambar 4.2.
Data desain yang diperlukan untuk mendapatkan tebal perkerasan lentur dengan menggunakan kurva desain adalah data CBR tanah dasar, data beban sumbu utama pesawat, dan data keberangkatan tahunan pesawat.
Gambar 2. 4 Kurva Desain Perkerasan Lentur
(U.S. Army Corps of Engineers Method, 2002) 2.2.3 Perencanaan Perkerasan Kaku
Struktur perkerasan pada apron direncanakan menggunakan perkerasan kaku. Perkerasan kaku yang akan digunakan adalah perkerasan kaku bersambung tanpa tulangan.
Dalam perencanaan perkerasan kaku, kekuatan beton tidak dinyatakan dalam kuat tekan
(compressive strength) tapi dalam kuat tarik (flexural strength), yaitu kuat lentur tarik yang
diperlukan untuk mengatasi tegangan yang diakibatkan oleh beban roda dari lalu lintas rencana; bentuk keruntuhan pada perkerasan kaku umumnya berupa retakan yang diakibatkan oleh tegangan lentur tarik berlebih. Kuat lentur beton ditentukan dengan pengujian terhadap pembebanan di tiga titik sesuai dengan ASTM C‐87 terhadap benda uji berumur 28 hari. Kuat lentur tarik (Mr) pada umur 28 hari dianjurkan 40 Kg/cm2.
Kekuatan tanah dasar dalam perencanaan perkerasan kaku dinyatakan dalam modulus reaksi tanah dasar (subgrade strength), k. Harga k didapat dari pengujian plate bearing di lapangan, dalam keadaan terpaksa nilai k dapat ditentukan berdasarkan nilai CBR (Siswosubroto, 2006). Apabila kekuatan tanah dasar sangat buruk (k<2 Kg/cm3), tanah
tersebut perlu diperbaiki sampai diperoleh peningkatan nilai k. Pada setiap konstruksi perkerasan kaku, lapisan pondasi bawah harus selalu ada, minimum 10 cm. Kecuali jika tanah dasar mempunyai mutu yang sama dengan material sub base.
Berdasarkan code ICAO, kekuatan tanah dasar untuk desain struktur perkerasan kaku dibagi dalam empat kategori sebagai berikut:
Tabel 2. 18 Kategori Perkerasan Kaku berdasarkan Kekuatan Tanah Dasar
Kode Kategori Nilai Wakil Rentang Nilai
A High Strength k = 150 k > 120 B Medium Strength k = 80 60 < k < 120 C Low Strength k = 40 25 < k < 60 D Ultra Low Strength k = 20 k < 25 * k dalam satuan MN/m3 Sumber : ICAO, 1983
Metode desain struktur perkerasan kaku landasan pesawat yang umum dikenal salah diantaranya adalah metoda FAA (Yoder, 1975). Metode FAA merupakan metode pendekatan desain berdasarkan pesawat desain kritis. Struktur perkerasan diperhitungkan hanya untuk memikul sejumlah repetisi beban sumbu roda ekivalen dari pesawat desain kritis tersebut selama masa layan rencana yang ditetapkan. Pengaruh dari jenis pesawat lainnya yang beroperasi terhadap kerusakan struktur perkerasan diperhitungkan dengan menggunakan faktor ekivalen repetisi beban. Untuk lalu lintas campuran, ada tiga faktor ekivalen repetisi beban, yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu:
a. Faktor ekivalen konfigurasi sumbu roda (FES) b. Faktor ekivalen beban (FEB)
c. Faktor repetisi beban (LRF)
Gambar 2.5 menunjukkan kurva desain dari metode FAA untuk menentukan tebal perkerasan kaku dengan pesawat rencana B767‐400 ER. Data desain yang diperlukan untuk
mendapatkan tebal perkerasan kaku dengan menggunakan kurva desain FAA adalah data subgrade strength, data tegangan lentur pelat beton yang akan digunakan, data beban sumbu utama pesawat, dan data keberangkatan tahunan pesawat. Gambar 2. 5 Kurva Desain Perkerasan Kaku (FAA Design Method, 2002) 2.3 DASAR TEORI PERENCANAAN GEOTEKNIK Perencanaan pada bidang geoteknik yang akan dilakukan meliputi: a. Interpretasi parameter tanah b. Perencanaan pengupasan (stripping) c. Perencanaan perataan (land grading) d. Perencanaan kompaksi 2.3.1 Interpretasi Parameter Tanah
Interpretasi terhadap nilai N‐SPT dilakukan untuk mendapatkan nilai berat jenis, γ,
unconfined compression strength, qu, dan sudut geser, φ. Tabel 4.35 menunjukkan korelasi
berat jenis, unconfined compression strength, dan sudut geser terhadap nilai N‐SPT tertentu untuk tanah kohesif dan non kohesif.
Nilai pendekatan yang umum digunakan antara nilai kohesi, c, terhadap N‐SPT adalah: c (ton/m2) = 2/3 N‐SPT ...(Pers.2. 11)
Sementara menurut Stroud, korelasi antara kohesi dengan N‐SPT adalah: c(KN/m2) = (3.5‐6.5)N‐SPT ...(Pers.2. 12) Dalam perencanaan ini digunakan pendekatan c(KN/m2) = 5 N‐SPT ...(Pers.2. 13) Tabel 2. 19 Korelasi N‐SPT terhadap Beberapa Parameter Tanah Cohesionless Soil N 0‐10 11‐30 31‐50 >50 Unit weight, γ, kN/m3 12‐16 14‐18 16‐20 18‐23 Angle of friction, φ 25‐32 28‐36 30‐40 >35
State Loose Medium Dense Very Dense
Cohesive Soil
N <4 4‐6 6‐15 16‐25 >25
Unit weight, γ, kN/m3 14‐18 16‐18 16‐18 16‐20 >20
qu, kPa <25 20‐50 30‐60 40‐200 >100
Consistency Very Soft Soft Medium Stiff Hard
2.3.2 Perencanaan Pengupasan
Lapisan teratas tanah di lokasi konstruksi seringkali berupa lapisan organik yang berasal dari pembusukan tumbuhan. Material ini tidak tepat untuk digunakan dalam konstruksi. Penanganan terhadap lapisan organik tersebut dapat dilakukan dengan cara pengupasan (stripping). Kedalaman pengupasan pada umumnya berkisar antara 0.2‐0.5 m.
2.3.3 Perencanaan Perataan
Perataan (land grading) dilakukan dengan tujuan memberikan permukaan yang datar untuk mempermudah pekerjaan kompaksi di atasnya. Dalam pelaksanaan land grading, permukaan tanah akan diratakan ke elevasi yang menghasilkan volume cut sama dengan atau mendekati volume fill. Karena keterbatasan data profil tanah, land grading dilakukan hanya pada lokasi runway. Lokasi taxiway dan apron diasumsikan memiliki elevasi permukaaan yang seragam sesuai dengan elevasi bore hole terdekat.
2.3.4 Perencanaan Kompaksi
Tanah pada lokasi konstruksi tidak selalu mampu menahan beban dari struktur yang akan dibangun diatasnya. Tanah dalam kategori very loose memiliki kemungkinan akan mengalami penurunan elastik yang besar. Selain itu, tanah kedalaman awal biasanya berupa lapisan soft saturated clay (Das, 1998). Tebal lapisan clay dan besar beban rencana struktur
akan mempengaruhi besar konsolidasi yang akan terjadi. Untuk kedua contoh kondisi di atas, diperlukan perlakuan khusus untuk membuat tanah lebih padat agar daya dukung tanah meningkat.
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk meningkatkan daya dukung tanah adalah kompaksi. Kompaksi adalah proses menaikkan berat jenis tanah dengan cara mendesak tanah dengan energi mekanis agar partikel solid pada tanah lebih memadat dan menjadi kompak serta mengurangi partikel udara yang mengisi rongga pada massa tanah. Beberapa tujuan perlunya dilakukan kompaksi adalah: a. Mengurangi kompresibilitas b. Menaikkan kekuatan tanah c. Mengurangi potensi likuifaksi d. Mengontrol shrinkage dan swelling e. Mengurangi hydraulic compressibiliy/permeabilitas f. Menaikkan daya tahan terhadap erosi g. Mengontrol resilience properties Dalam pekerjaan kompaksi, dilakukan penambahan air ke dalam tanah dalam jumlah kecil dan kemudian dipadatkan. Perlakuan ini akan meningkatkan berat jenis tanah. Apabila kadar air ditingkatkan secara berkala dan kompaksi dilanjutkan dengan besar energi yang tetap, berat jenis kering tanah akan meningkat.
Derajat pemadatan tanah diukur dari berat isi kering tanah (γd). Air yang ditambahkan ke
massa tanah pada saat pemadatan akan berfungsi seperti pelumas yang akan mengerakkan partikel tanah ke posisi yang lebih padat. Pada saat kadar air, w = 0 maka, berat jenis (γ) akan sama dengan berat jenis kering (γd) atau γ = γd (w = 0) = γ1 . Pada usaha pemadatan
yang sama, penambahan kadar air akan menyebabkan penambahan berat jenis. Misalnya pada saat w = w1, maka γ = γ2. Sehingga, γd (w = w1) = γd (w = 0) + Δ γd
Sampai suatu kadar air tertentu, pertambahan kadar air cenderung menurunkan berat jenis kering tanah. Hal ini disebabkan karena partikel air akan mengisi ruang yang ditempati partikel padat. Kadar air pada saat berat jenis kering mencapai maksimum (γdmax) disebut
dengan kadar air optimum (wopt). Menurut Proctor, pemadatan tanah ditentukan oleh keempat hal berikut: a. Energi pemadatan b. Tipe tanah c. Kadar air (w) d. Berat jenis kering (γd)
Spesifikasi pemadatan lapangan mensyaratkan agar berat jenis kering lapangan harus mencapai 90–95% berat jenis kering maksimum di laboratorium yang ditentukan melalui tes
Proctor Standar atau Proctor Modifikasi. Evaluasi terhadap berat jenis kering maksimum dan kadar air optimum dilakukan berdasarkan uji laboratorium Standard Proctor test (ASTM
designation D‐698) dan Modified Proctor test (ASTM designation D‐1557). Spesifikasi teknis
kedua pengujian tersebut disajikan dalam Tabel 2.20. Tabel 2. 20 Spesifikasi Peralatan Tes Proctor Standar dan Proctor Modifikasi Tes Proctor Standar (ASTM D698) Tes Proctor Modifikasi (ASTM D1557) Berat Hammer 24.5 N (5.5 lb) 44.5 N (10 lb)
Tinggi Jatuh Hammer 305 mm (12 in) 457 mm (18 in)
Jumlah Layer 3 5 Jumlah Pukulan/Lapis 25 25 Volume Mold 0.0009422 m3 (1/30 ft3) Energi Kompaksi (CE) 595 kJ/m3 (12400 lb.ft/ft3) 2698 kJ/m3 (56250 lb.ft/ft3) Tanah (‐) Saringan No.4
Tanah yang ditemukan di alam hampir selalu terdiri dari kombinasi berbagai jenis tanah. Setiap jenis tanah memiliki sifat yang berbeda bergantung pada kepadatan maksimum dan kadar air optimumnya. Oleh karena itu, masing‐masing tanah mempunyai persyaratan dan kontrol kompaksi tersendiri di lapangan. Dalam sistem AASHTO (American Association of
State Highway and Transportation Officials), tanah diklasifikasikan ke dalam 15 tipe. Berbagai
tipe tanah tersebut disusun oleh kombinasi dari tiga kelompok mendasar tanah, yaitu tanah kohesif (cohesive soils), tanah berbutir (cohesionless solils), dan tanah organik.
Secara umum tanah diklasifikasikan berdasarkan ukuran butir yang didapatkan dengan cara melewatkan tanah pada berbagai macam ukuran ayakan untuk memisahkan ukuran butiran yang berbeda.
Yang termasuk dalam cohesive soils adalah lempung atau campuran antara beberapa macam partikel tanah dimana partikel lempungnya dominan. Tanah kohesif memiliki partikel terkecil. Lempung memiliki rentang ukuran partikel antara 0.00004 ‐ 0.002 in. Lanau berkisar antara 0.0002 ‐ 0.003 in. Kuat geser tanah lempung didapat dari ikatan antar partikel yang tidak tergantung dari gaya‐gaya normal yang bekerja. Jenis tanah ini tetap mempunyai kuat geser walaupun dalam kondisi unconfined. Tanah ini mempunyai koefisien permeabilitas yang sangat kecil sehingga aliran air melalui pori‐pori tanah akan lambat.
Yang termasuk dalam cohesionless soils adalah gravels, sand, dan nonplastic silt. Ukuran partikel tanah berkisar antara 0.003 ‐ 0.08 in (pasir) dan 0.08 ‐ 1 in (batuan halus sampai menengah). Kuat geser dari jenis tanah ini didapat dari tahanan geser dan interlocking antar partikel yang tergantung pada gaya‐gaya tekan (confining pressure) yang bekerja pada partikel tersebut. Jenis tanah ini mempunyai koefisien permeabilitas yang besar sehingga air dapat mengalir melalui pori‐porinya dengan cepat.
Gradasi tanah yang baik terdiri dari berbagai macam ukuran partikel dengan partikel‐ partikel kecil mengisi rongga yang ada diantara partikel‐partikel besar. Hasilnya adalah struktur padat yang menyebabkannya baik untuk kompaksi. Kondisi tanah menentukan jenis peralatan kompaksi yang akan digunakan.
Peralatan pemadatan di lapangan yang umum digunakan adalah :
a. Smooth wheel roller
Smooth wheel roller sesusai untuk digunakan saat finishing pada pemadatan tanah pasir
atau lempung. Smooth wheel roller dapat memberikan 100% coverage dengan contact
pressure sebesar 310 – 380 kN/m2. Alat ini tidak cocok digunakan pada lapisan yang
tebal.
b. Pneumatic rubber‐tired roller
Pneumatic rubber roller dapat digunakan pada pemadatan tanah pasir maupun lempung.
Pemadatan dilakukan dengan kombinasi tekanan dan pemijatan. Alat ini dapat memberikan 70‐80% coverage dengan contact pressure sebesar 585 – 690 kN/m2.
c. Sheepsfoot roller
Sheepsfoot roller merupakan alat yang paling efektif pada pemadatan tanah lempung.
Alat ini mampu memberikan contact pressure sebesar 1380 – 6900 kN/m2. d. Vibratory roller
Vibratory roller merupakan alat yang paling efektif pada pemadatan tanah pasir.
Tabel 2.21 menguraikan peralatan dan metode kompaksi untuk persyaratan γd lapangan
harus mencapai 90 – 95% γd maksimum di laboratorium untuk masing‐masing peralatan.
Kompaksi dilakukan bertahap dengan ketebalan tertentu sampai mencapai ketebalan yang sesuai. Tebal lapisan tanah kompaksi adalah tebal antara elevasi tanah dasar yang telah diratakan dan elevasi perkerasan bagian bawah. Tebal lapisan tanah kompaksi dipengaruhi oleh dua hal, yaitu daya dukung lapisan tanah di bawahnya dan besar konsolidasi pada lapisan‐lapisan tanah di bawah lapisan kompaksi.
Semakin besar tebal lapisan tanah kompaksi, semakin besar pula daya dukung yang harus dimiliki oleh lapisan di bawahnya. Dan dengan bergantung pada daya dukung lapisan‐ lapisan tanah di bawahnya, semakin besar tebal lapisan tanah kompaksi, konsolidasi yang terjadi akan semakin besar.