KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadirat Allah
ﻰﻟﺎﻋﺘ ﻮ ﻩﺎﻧﺤﺑﺴ
atas segala rahmat dan hidayah yang telah dilimpahkan-Nya serta Kemuliaan Abadi untuk Junjunganku Baginda Rasululah SAW, sehingga penulis dapat merampungkan skripsi ini guna memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan di Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Jurusan Politik Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.Tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, penulisan skripsi ini tentunya tidak akan terselesaikan. Oleh karena itu, skripsi ini kupersembahkan kepada kedua orang tuaku, Ayahanda Abdul Halil Machmud dan Ibunda Siti Nuraeni, yang telah menuntunku untuk mengerti akan arti sebuah perjuangan hidup. Serta kepada kedua saudaraku tersayang, Eva Mina Ufa dan Alan Ridha Al-Husni kalian bagian dari hidupku. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada pihak yang memberikan bantuan dan dukungan :
1. Bapak Prof.Dr.dr.Idrus A.Paturusi,sp.B.,Sp,BO selaku Rektor Universitas Hasanuddin yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimbah ilmu di Universitas Hasanuddin.
2. Dekan dan para pembantu dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan Antropologi, segenap dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin yang telah banyak melakukan transformasi ilmu serta bimbingan bagi penulis dan tidak lupa pada segenap pegawai administrasi di lingkungan Universitas Hasanuddin.
3. DR. Tasrifin Tahara. S.Sos., M.Si selaku pembimbing I dan Muh. Neil S.Sos,. M.Si selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.
4. Para keluarga dan rekan-rekan yang selama ini setia menemani dalam berbagai suka dan duka, dan terima kasih atas semua bantuan dan dukungannya bagi penulis.
5. Para responden dan informan yang penuh keikhlasan memberikan informasi dan data-data yang sesuai dengan objek penelitian.
6. Kepada seluruh kerabat Antropologi tanpa terkecuali, terkhusus untuk angkatan 2005. 7. Kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Pada akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan semoga dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak yang terkait terutama bagi penulis Insya Allah semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan pahala yang setimpal kepada Bapak, Ibu serta Saudara (i) atas segala bantuannya kepada penulis, Amien Ya Rabbal Alamin.
Makassar, 30 Juli 2013.
ABSTRAK
Firman, E 511 050 32 dengan judul skripsi “Karaoke Keluarga, Studi Tentang Gaya Hidup di Perkotaan” dengan pembimbing DR. Tasrifin Tahara S.Sos., M.Si dan Muh. Neil S.Sos., M.Si selaku konsultan I dan II.
Penelitian ini mengkaji tentang gaya hidup masyarakat perkotaan di terhadap Karaoke Keluarga. Berlokasi di E-club jalan Boulevard, kota Makassar. Kajian ini membahas permasalahan mengenai persepsi masyarakat perkotaan tentang karaoke, situasi sosial di tempat hiburan karaoke, dan manfaat yang diperoleh dengan karaoke.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui persepsi masyarakat perkotaan tentang karaoke, untuk mengetahui situasi sosial di tempat hiburan karaoke, dan untuk mengetahui manfaat yang diperoleh dengan karaoke. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif. Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan observasi partisipasi, observasi tanpa partisipasi, dan wawancara kepada 15 informan. Observasi dilengkapi dengan kamera foto. Wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam (indepth interview) dengan berpedoman pada interview guide yang telah dipersiapkan sebelumnya. Perlengkapan yang digunakan pada saat wawancara adalah catatan tertulis (filed note) dan tape recorder. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa karaoke sebagai suatu gaya hidup masyarakat perkotaan karena dengan karaoke mereka memperoleh kepuasan dan kesenangan yang mampu menghilangkan beban pikiran yang mereka rasakan. Berkumpul dan bercanda dengan teman-teman di dalam ruangan karaoke dianggap sebagian masyarakat perkotaan sebagai salah satu cara yang ampuh untuk menghibur diri dan menghilangkan stres.
viii
DAFTAR ISI
Halaman Judul ……… i
Halaman Pengesahan Pembimbing ……… ii
Halaman Penerimaan Tim Evaluasi ……… iii
Kata Pengantar ……… iv
Abstrak ……… vi
Daftar Isi ……… vii
BAB I PENDAHULUAN ………... 1 A. Latar Belakang ……….. 1 B. Rumusan Masalah ……… 3 C. Lokasi Penelitian ……….. 4 D. Tujuan Penelitian ………... 4 E. Manfaat Penelitian……… 5 F. Kerangka Konseptual ……… 5 G. Metode Penelitian ……….. 13 A. Jenis Penelitian ……….. 13
B. Teknik Pengumpulan Data ... 14
1. Data Primer……… 15 - Wawancara ………. 15 - Observasi ………. 16 2. Data Sekunder ………... 16 C. Narasumber ……… 16 - Informan ……….. 16 - Key Informan ……….. 17
D. Teknik Analisis Data ………. 18
E. Teknik Keabsahan Data ……… 19
H. Sistimatika Penulisan ……….. 21
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……….... 22
A. Life Style: Sebuah Fenomena Kebudayaan Masyarakat Perkotaan ………... 22
B. Karaoke: Sejarah Perkembangannya ……… 31
C. Karaoke dan Rekonstruksi Sosial ………. 35
D. Karaoke dan Bentuk Makna Lembaga Keluarga di Indonesia ……… 38
viii
BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ……… 42
A. Gambaran Umum Kota Makassar ……….... 42
a. Pendidikan Penduduk ……… 44
b. Agama Pendidikan ……… 45
c. Sarana Dan Prasarana ……… 46
B. Profil Informan ……….. 46
BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN ………. 49
A. Karaoke dan Masyarakat Perkotaan ………... 49
a. Alasan Gengsi ………... 49
b. Ajakan Teman ……… 52
c. Alasan Hiburan ……… 53
B. Pandangan Masyarakat Terhadap Karaoke ……… 57
C. Manfaat Karaoke ……… 59 BAB V PENUTUP ………... 61 A. Kesimpulan ……….. 61 B. Saran-Saran ………. 63 DAFTAR PUSTAKA ………. 65 LAMPIRAN
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadirat Allah
ﻰﻟﺎﻋﺘ ﻮ ﻩﺎﻧﺤﺑﺴ
atas segala rahmat dan hidayah yang telah dilimpahkan-Nya serta Kemuliaan Abadi untuk Junjunganku Baginda RasululahSAW, sehingga penulis dapat merampungkan skripsi ini guna memenuhi salah satu syarat dalam
menyelesaikan pendidikan di Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Jurusan Politik Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, penulisan skripsi ini tentunya tidak akan terselesaikan. Oleh karena itu, skripsi ini kupersembahkan kepada kedua orang tuaku, Ayahanda
Abdul Halil Machmud dan Ibunda Siti Nuraeni, yang telah menuntunku untuk mengerti akan arti
sebuah perjuangan hidup. Serta kepada kedua saudaraku tersayang, Eva Mina Ufa dan Alan Ridha Al-Husni kalian bagian dari hidupku. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada pihak yang memberikan bantuan dan dukungan :
1. Bapak Prof.Dr.dr.Idrus A.Paturusi,sp.B.,Sp,BO selaku Rektor Universitas Hasanuddin yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimbah ilmu di Universitas Hasanuddin.
2. Dekan dan para pembantu dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan Antropologi, segenap dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin yang telah banyak melakukan transformasi ilmu serta bimbingan bagi penulis dan tidak lupa pada segenap pegawai administrasi di lingkungan Universitas Hasanuddin.
3. DR. Tasrifin Tahara. S.Sos., M.Si selaku pembimbing I dan Muh. Neil S.Sos,. M.Si selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.
4. Para keluarga dan rekan-rekan yang selama ini setia menemani dalam berbagai suka dan duka, dan terima kasih atas semua bantuan dan dukungannya bagi penulis.
5. Para responden dan informan yang penuh keikhlasan memberikan informasi dan data-data yang sesuai dengan objek penelitian.
6. Kepada seluruh kerabat Antropologi tanpa terkecuali, terkhusus untuk angkatan 2005. 7. Kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Pada akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan semoga dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak yang terkait terutama bagi penulis Insya Allah semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan pahala yang setimpal kepada Bapak, Ibu serta Saudara (i) atas segala bantuannya kepada penulis, Amien Ya Rabbal Alamin.
Makassar, 30 Juli 2013.
ABSTRAK
Firman, E 511 050 32 dengan judul skripsi “Karaoke Keluarga, Studi Tentang Gaya Hidup di Perkotaan” dengan pembimbing DR. Tasrifin Tahara S.Sos., M.Si dan Muh. Neil S.Sos., M.Si selaku konsultan I dan II.
Penelitian ini mengkaji tentang gaya hidup masyarakat perkotaan di terhadap Karaoke Keluarga. Berlokasi di E-club jalan Boulevard, kota Makassar. Kajian ini membahas permasalahan mengenai persepsi masyarakat perkotaan tentang karaoke, situasi sosial di tempat hiburan karaoke, dan manfaat yang diperoleh dengan karaoke.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui persepsi masyarakat perkotaan tentang karaoke, untuk mengetahui situasi sosial di tempat hiburan karaoke, dan untuk mengetahui manfaat yang diperoleh dengan karaoke. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif. Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan observasi partisipasi, observasi tanpa partisipasi, dan wawancara kepada 15 informan. Observasi dilengkapi dengan kamera foto. Wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam (indepth interview) dengan berpedoman pada interview guide yang telah dipersiapkan sebelumnya. Perlengkapan yang digunakan pada saat wawancara adalah catatan tertulis (filed note) dan tape recorder. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa karaoke sebagai suatu gaya hidup masyarakat perkotaan karena dengan karaoke mereka memperoleh kepuasan dan kesenangan yang mampu menghilangkan beban pikiran yang mereka rasakan. Berkumpul dan bercanda dengan teman-teman di dalam ruangan karaoke dianggap sebagian masyarakat perkotaan sebagai salah satu cara yang ampuh untuk menghibur diri dan menghilangkan stres.
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Skripsi : Karaoke (Studi Tentang Kegiatan Karaoke di Happy Puppy pada Mahasiswa FISIP UNHAS)
Nama : Firman
NIM : E 511 05 032
Jurusan : Antropologi Program Studi : Antropologi Sosial
Telah Diperiksa dan Disetujui Untuk Diajukan Pada Ujian Proposal
Menyetujui: Penasehat Akademik
Muhammad Neil, S.Sos, M.Si NIP. 19720605 200501 1 001
Mengetahui:
Ketua Jurusan Sekretaris Jurusan Antropologi Fisip Unhas Antropologi Fisip Unhas
Dr. Munsi Lampe, MA Drs. Yahya, MA NIP.19561221 198612 1 001 NIP. 19621231 200012 1 001
DAFTAR ISI
Halaman Judul ……… i
Halaman Pengesahan Pembimbing ……… ii
Halaman Penerimaan Tim Evaluasi ……… iii
Kata Pengantar ……… iv
Abstrak ……… vi
Daftar Isi ……… vii
BAB I PENDAHULUAN ………... 1 A. Latar Belakang ……….. 1 B. Rumusan Masalah ……… 3 C. Lokasi Penelitian ……….. 4 D. Tujuan Penelitian ………... 4 E. Manfaat Penelitian……… 5 F. Kerangka Konseptual ……… 5 G. Metode Penelitian ……….. 13 A. Jenis Penelitian ………..13
B. Teknik Pengumpulan Data ... 14
1. Data Primer……… 15 - Wawancara ………. 15 - Observasi ………. 16 2. Data Sekunder ………... 16 C. Narasumber ……… 16 - Informan ……….. 16 - Key Informan ……….. 17
D. Teknik Analisis Data ……….18
E. Teknik Keabsahan Data ……… 19
H. Sistimatika Penulisan ……….. 21
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……….... 22
A. Life Style: Sebuah Fenomena Kebudayaan Masyarakat Perkotaan ………... 22
B. Karaoke: Sejarah Perkembangannya ……… 31
C. Karaoke dan Rekonstruksi Sosial ………. 35
D. Karaoke dan Bentuk Makna Lembaga Keluarga di Indonesia ……… 38
E. Sekilas Profil E-club Karaoke Keluarga ……… 39
BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ……… 42
A. Gambaran Umum Kota Makassar ……….... 42
a. Pendidikan Penduduk ……… 44
b. Agama Pendidikan ……… 45
c. Sarana Dan Prasarana ……… 46
BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN ………. 49
A. Karaoke dan Masyarakat Perkotaan ………... 49
a. Alasan Gengsi ………... 49
b. Ajakan Teman ……… 52
c. Alasan Hiburan ……… 53
B. Pandangan Masyarakat Terhadap Karaoke ……… 57
C. Manfaat Karaoke ……… 59 BAB V PENUTUP ………... 61 A. Kesimpulan ……….. 61 B. Saran-Saran ………. 63 DAFTAR PUSTAKA ………. 65 LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu sektor industri yang berkembang pesat di Indonesia saat ini adalah pada sektor industri hiburan. Berbagai tempat-tempat hiburan di daerah perkotaan terus bertambah, mulai dari tempat hiburan yang hanya dinikmati oleh golongan- golongan tertentu, hingga tempat hiburan yang dapat dinikmati semua golongan. Setiap tempat hiburan memiliki daya tarik tersendiri dan memiliki penikmatnya masing-masing. Kemajuan teknologi merupakan salah satu faktor pendukung berkembangnya tempat-tempat hiburan di daerah perkotaan dan salah satu tempat hiburan yang sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi adalah tempat karaoke.
Memang sampai saat ini tidak ada data yang benar-benar valid kapan dan di mana karaoke pertama kali didirikan di Indonesia. Namun, berdasarkan data yang ada karaoke pada awalnya dianggap sebagai hiburan yang mahal dan dipandang sebagai hiburan malam yang berkonotasi negatif oleh sebagian masyarakat Indonesia. Seiring dengan berjalannya waktu, pandangan negatif ini semakin lama semakin menipis, bahkan telah hilang sama sekali pada masa sekarang. Menjamurnya karaoke-karaoke yang mengklasifikasikan dirinya sebagai karaoke keluarga di kota-kota besar, bahkan sudah pula masuk ke kota-kota kabupaten. Ini merupakan sebuah bukti yang jelas bahwa karaoke sudah dianggap sebagai sebuah bentuk hiburan yang dibutuhkan dan diinginkan oleh masyarakat Indonesia.
Karaoke berasal dari bahasa Jepang yaitu kara dari kata karappo yang berarti kosong dan oke dari kata okesutura atau orkestra. Karaoke berarti sebuah musik orkestra yang kosong atau tidak dilengkapi dengan suara vokal. Meski awalnya hanya sekedar hiburan untuk melepas kepenatan, kini karaoke telah menjelma menjadi salah satu bagian yang dianggap mempunyai andil dalam perkembangan dunia musik. Bagaimana tidak, dengan karaoke setiap orang tanpa harus mempunyai suara bagus bisa langsung merasakan menjadi penyanyi sungguhan karena mereka menyanyi diiringi musik yang sama dengan yang dinyanyikan oleh penyanyi aslinya
Oleh karena konotasi karaoke di Indonesia sudah demikian identiknya dengan hiburan malam, maka ditambahlah kata keluarga setelah kata karaoke sebagai upaya penekanan bahwa hiburan yang disediakan adalah hiburan yang baik untuk keluarga atau hiburan untuk orang yang baik-baik.
Karaoke keluarga adalah tempat hiburan keluarga di mana pengunjung dapat bernyanyi bersama keluarga, teman-teman, teman kerja, relasi kerja dalam suasana kekeluargaan dan bersih serta jauh dari kesan maksiat. Saat ini E-club Karaoke Keluarga di Kota Makassar merupakan salah satu tempat hiburan yang banyak dipilih oleh sebagian masyarakat Kota Makassar sebagai tempat mereka menghabiskan sebagian waktu mereka untuk bernyanyi. Segudang aktivitas yang dilalui masyarakat perkotaan akhir-akhir ini memaksa mereka untuk menetralisasikan kepenatan mereka dengan berkaraoke sebagai pelampiasannya. Disadari ataupun tidak, karaoke telah mengubah gaya hidup mereka.
Idealnya gaya hidup masyarakat perkotaan, seperti halnya pelajar seharusnya membaca buku, diskusi ataupun mengerjakan tugas, pegawai kantoran yang seharusnya sibuk penyelesaikan kerja kantoran, dan lainnya , akan tetapi kenyataannya sekarang karaoke telah dijadikan masyarakat perkotaan itu sebagai gaya hidup mereka. Bahkan, yang lebih mengherankannya lagi mereka sampai lupa waktu bila berada di tempat karaoke. Inilah yang membuat penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai gaya hidup masyarakat perkotaan di E-club Karaoke Keluarga di Kota Makassar.
Kedewasaan manusia tidak terlepas dan dipisahkan dari latar belakang sosial budaya tempat seseorang dibesarkan, karena kebudayaan adalah pedoman bertingkah laku, cara seseorang membawa diri, dan menjadi bagian masyarakatnya. Kebudayaan diciptakan manusia dan menciptakan manusia yang selalu berhadapan dengan berbagai kemungkinan perubahan yang terjadi karena kemajuan teknologi. Walaupun setiap masyarakat dan kebudayaan berbeda dalam cara mempersiapkan seseorang atau anggotanya, untuk menghadapinya, namun kesamaannya adalah memberikan kematangan, kemandirian, pengetahuan, ketegasan untuk mengadakan pemilihan terhadap hal-hal yang dihadapi (Hans J. Daeng:2000).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi permasalahan adalah bagaimana gaya hidup masyarakat perkotaan di E-club Karaoke Keluarga di Kota Makassar ?.
Permasalahan ini akan diuraikan ke dalam pertanyaan-pertanyaan penelitian yaitu :
1. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap karaoke keluarga ? 2. Bagaimana situasi sosial di tempat hiburan karaoke keluarga ?
3. Apa manfaat yang diperoleh masyarakat perkotaan dengan karaoke ? C. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Jalan Boulevard, tepatnya di E-club Karaoke Keluarga, Kota Makassar. Alasan penulis memilih lokasi ini adalah berdasarkan hasil observasi awal yang menunjukkan bahwa di E-club Karaoke Keluarga ini lebih sering dikunjungi oleh masyarakat, karena letaknya di salah satu centrum keramaian kota Makassar. Dalam proses observasi awal penulis mencoba mengidentifikasi infoman dengan cara memperhatikan proses pengunjung untuk reservasi. Sebelum masuk ke tempat karaoke para pengunjung yang datang ke E-club Karaoke Keluarga harus reservation terlebih dahulu, lalu resepsionis akan menanyakan “atas nama siapa”, “pekerjaannya apa”, “pilih ruangan yang mana”, dan melalui resepsionis ini penulis memperoleh informasi tentang identitas pengunjung yang datang dan pekerjaannya untuk kemudian penulis gunakan untuk kepentingan penelitian. D. Tujuan Penelitian
Setiap penelitian membutuhkan tujuan agar penelitian yang dilakukan nantinya dapat berjalan dengan baik, adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui persepsi masyarakat tentang karaoke.
2. Untuk mengetahui situasi sosial di tempat hiburan karaoke keluarga. 3. Untuk mengetahui manfaat yang diperoleh masyarakat perkotaan dengan
E. Manfaat Penelitian
Suatu penelitian selain memiliki tujuan sebagai dasar dalam proses kegiatannya juga dapat memberikan manfaat, adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Diharapkan dapat memberikan gambaran yang utuh mengenai gaya hidup masyarakat perkotaan pada saat ini.
2. Dapat dijadikan bahan bacaan bagi mahasiswa yang hendak melakukan penelitian yang terkait dengan masalah yang penulis teliti.
F. Kerangka Konseptual
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Hal tersebut berarti bahwa hampir seluruh tindakan manusia adalah kebudayaan, karena hanya sangat sedikit tindakan manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang tidak perlu dibiasakan dengan belajar yaitu hanya beberapa tindakannaluri, beberapa refleks, beberapa tindakan akibat proses fisiologi, atau kelakuan apabila ia sedang membabi buta. Bahkan, berbagai tindakan manusia yang merupakan kemampuan naluri yang terbawa oleh makhluk manusia dalam gennya bersama kelahirannya (seperti misalnya makan, minum, atau berjalan dengan kedua kakinya), juga dirombak olehnya menjadi tindakan berkebudayaan (Koentjaraningrat, 2002:180).
Suatu golongan sosial merupakan suatu kesatuan manusia yang ditandai oleh suatu ciri tertentu, bahkan seringkali ciri itu juga dikenakan kepada mereka oleh pihak luar kalangan mereka sendiri. Walaupun demikian, suatu kesatuan manusia yang kita sebut golongan sosial itu mempunyai ikatan identitas sosial. Hal ini dapat
disebabkan karena kesadaran identitas itu tumbuh sebagai respon atau reaksi terhadap caranya pihak luar memandang golongan sosial tadi, atau mungkin juga karena golongan itu memang terikat oleh suatu sistem nilai, sistem norma, dan adat istiadat tertentu (Koentjaraningrat, 2002:150-151).
Golongan sosial dapat terjadi karena manusia-manusia yang diklaskan kedalamnya mempunyai suatu gaya hidup yang khas, dan karena berdasarkan hal itu mereka dipandang oleh orang lain sebagai manusia yang menduduki suatu lapisan tertentu dalam masyarakat. Lapisan itu dapat dianggap lebih tinggi atau lebih rendah tergantung dari sudut orang yang memandang tadi. Karena warganya mempunyai gaya hidup khas yang sama, maka suatu lapisan atau klas sosial tentu dapat juga dianggap mempunyai suatu sistem norma yang sama, dan karena itu juga suatu rasa identitas golongan (Koentjaraningrat, 2002:153).
Menurut Winarno (1980:85), gaya hidup dapat diasumsikan sebagai cara-cara bertindak yang sering disebut mekanisme penyesuaian yakni cara-cara itu menjadi cara-cara bertindak yang bersifat kebiasaan. Cara-cara itu pada kenyataannya didasarkan pada pengalaman-pengalaman seseorang dalam kehidupannya. Dengan kata lain, gaya hidup seseorang itu merupakan gambaran dari watak, status, perilaku, dan peranannya dalam masyarakat.
Berbeda dengan Kartodirdjo (1987:53), gaya hidup merupakan suatu produk dari stratifikasi sosial sehingga faktor status, kedudukan, dan kekayaan dapat membentuk struktur gaya hidup. Gaya hidup ini pada hakekatnya akan membentuk suatu eksklusifme yang tidak lain bertujuan hendak membedakan status antara golongan yang satu dengan golongan yang lainnya dalam suatu stratifikasi sosial.
Robert Redfield, seorang antropolog yang pernah melihat tentang gaya hidup petani desa sebagaimana dikutip oleh Danandjaja (1994:47) menyatakan bahwa gaya
hidup petani desa sebenarnya adalah semacam human type atau tipe manusia yang dapat dikenal dengan segera, agak tersebar di mana-mana, bersifat tahan lama, dan timbul sebagai akibat peradaban (civilization). Gaya hidup semacam ini mungkin dikembangkan sebagai akibat adanya adaptasi dari sifat masyarakat folk dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup baru yang diakibatkan oleh timbulnya kota.
Selain itu, Robert Redfield sebagaimana dikutip oleh Menno (1994:44-45) juga mengemukakan bahwa komunitas kota lebih berorientasi kepada hal-hal yang bersifat material dan rasional, sehingga hubungan-hubungan menjadi impersonal dan sekunder, bukan lagi relation oriented seperti yang terdapat dalam komunitaspedesaan yang mengandalkan hubungan-hubungan yang emosional dan primer, di mana orang saling mengenal secara pribadi dan dalam hampir semua aspek kehidupan. Di kota orang saling mengenal hanya dalam hubungan dengan aspek-aspek tertentu saja yang berdasarkan perhatian dan kepentingan. Akibat banyaknya dan bervariasinya tuntutan dalam bertingkah laku dan bertindak sebagai anggota masyarakat yang berorientasi kepada sasaran (goal) dan pencapaian (achievement), maka gaya hidup masyarakat kota lebih diarahkan kepada penampilan fisik dan kualitas fisik sehingga tampak civilized.
Salah satu faktor utama yang mendorong munculnya gaya hidup adalah pola konsumsi. Pola konsumsi masyarakat perkotaan telah menjadikan barang-barang ataupun jasa sebagai identitas mereka. Barang dan jasa dikonsumsi bukan dikarenakan kebutuhan mereka, melainkan hanya sebatas memenuhi keinginan dan penunjuk identitas sosial mereka. Pola konsumsi masyarakat perkotaan ini telah mengubah nilai suatu produk yang awalnya memiliki nilai fungsional menjadi memiliki nilai simbolis. Proses konsumsi simbolis merupakan tanda penting dari
pembentukan gaya hidup, di mana nilai-nilai simbolis dari suatu produk dan praktek telah mendapat penekanan yang besar dibandingkan dengan nilai-nilai fungsional.
Hal ini paling tidak dapat dijelaskan dengan tiga cara. Pertama, kelas sosial telah membedakan proses konsumsi, di mana setiap kelas menunjukkan proses identifikasi yang berbeda. Secara umum memang memperlihatkan bahwa pilihan-pilihan dilakukan sesuai dengan kelas, di mana integrasi ke dalam satu tatanan umum tidak terbentuk sepenuhnya. Nilai simbolis dalam konsumsi tampak diinterpretasikansecara berbeda oleh kelompok yang berbeda. Kedua, barang yang dikonsumsi kemudian menjadi wakil dari kehadiran. Hal ini berhubungan dengan aspek-aspek psikologis, di mana konsumsi suatu produk berkaitan dengan perasaan atau rasa percaya diri yang menunjukkan bahwa itu bukan hanya sekedar aksesoris, akan tetapi barang-barang merupakan isi dari kehadiran seseorang karena dengan cara itu ia berkomunikasi (Goffman, 1951). Ketiga, berdasarkan proses konsumsi dapat dilihat bahwa konsumsi citra (image) di satu pihak telah menjadi proses konsumsi yang penting, di mana citra yang dipancarkan oleh suatu produk dan praktek (seperti pakaian atau makanan) merupakan alat ekspresi diri bagi kelompok. Bagi golongan kelas menengah atas citra yang melekat pada suatu produk merupakan instrumen modernitas yang mampu menegaskan keberadaannya dan identitasnya. Proses identifikasi yang terwujud melalui proses konsumsi merupakan proses aktif di dalam konsumsi citra yang menyebabkan intensifikasi kesadaran kelas (Irwan Abdullah, 2006:33-34).
Dalam mengkonsumsi atau dalam memilih produk mana yang akan dikonsumsi, konsumen sebenarnya memiliki kebebasan penuh untuk memilihnya, walaupun kebebasan itu sendiri dalam beberapa kasus agak rancu atau apa yang oleh Zukin dan Maguire (2004:177) disebut sebagai “Democratized desire”. Democratizeddesire
adalah demokrasi yang didikte, konsumen seolah-olah memiliki kebebasan memilih padahal pilihan-pilihan tersebut diatur sepenuhnya oleh produsen, misalnya melalui iklan, sehingga kegiatan konsumsi cenderung lebih sebagai keharusan daripada sebuah pilihan. Kebebasan mengkonsumsi seharusnya adalah setiap manusiadapat mengkonsumsi apapun yang ia suka, asal ia mempunyai akses untuk itu, namun pemilihan ini juga tidak sepenuhnya atas kemauan konsumen tersebut, tetapi juga bisa dipengaruhi oleh norma di masyarakat tempat ia tinggal. Ungkapan “you are what you drive” adalah gambaran bahwa produk apapun yang kita konsumsi akan menunjukkan “siapa” diri kita atau “posisi” kita di masyarakat, oleh karena itu dalam pemilihan produk yang akan dikonsumsi seseorang cenderung akan memperhatikan nilai atau makna dalam produk itu (Sopingi, 1995). Hal hampir senada juga diungkapkan oleh David Chaney (1996) yang menyatakan bahwa dalam dunia modern gaya hidup kita membantu mendefinisikan sikap, nilai-nilai, dan kekayaan, serta posisi sosial kita.
Pada akhir abad ke-20 perkembangan teknologi khususnya dalam bidang komunikasi berlangsung dengan sangat pesat. Munculnya radio, televisi, dan internet menyebabkan batas ruang antara satu negara dengan negara lainnya menjadi tidak ada (Piliang, 1998:81). Keadaan ini membuat transfer kebudayaan menjadi sangat cepat. Salah satu akibat dari perpindahan budaya dari satu wilayah ke wilayah yang lainnya ialah munculnya berbagai gaya hidup yang dipengaruhi oleh kegiatan konsumsi terhadap barang, jasa, dan aktivitas-aktivitas waktu luang. Kegiatan konsumsi tersebut memunculkan apa yang disebut budaya konsumen, di mana proses konsumsi dilihat sebagai perilaku manusia yang mengubah benda-benda untuk tujuan mereka sendiri (Lury, 1998:3). Oleh Lury budaya konsumen diartikan sebagai “bentuk budaya materi” yakni budaya pemanfaatan benda-benda dalam masyarakat
Amerika kontemporer. Kini, apa yang dinikmati oleh masyarakat Eropa-Amerikakontemporer tersebut yang notabene adalah negara kaya ditiru oleh masyarakat dunia lain, termasuk kita.
Budaya konsumen dicirikan dengan peningkatan gaya hidup (life style). Justruvmenurut Lury (1998), proses pembentukan gaya hiduplah yang merupakan hal terbaik yang mendefinisikan budaya konsumen. Dalam budaya konsumen kontemporer, istilah itu bermakna individualitas, pernyataan diri, dan kesadaran diri. Dalam hal ini, tubuh, pakaian, waktu senggang, pilihan makanan dan minuman, rumah, mobil, pilihan liburan, dan lain-lain menjadi indikator cita rasa individualitas dan gaya hidup seseorang. Gaya hidup merupakan ciri sebuah dunia modern. Orang tidak lagi berkomunikasi secara verbal dengan kata-kata, melainkan dengan bentuk komunikasi yang baru yang tidak mengharuskan setiap individu harus saling mengenal untuk mengetahui siapa mereka. Bentuk komunikasi inilah yang sepertinya akhir-akhir ini menjadi trend sebagai ciri masyarakat modern itu tadi.
Selera dalam pemilihan barang-barang konsumsi menjadi sedemikian penting karena ini akan berkaitan dengan siapa saja seseorang itu akan diterima bergaul, karena terdapat kecenderungan bahwa individu hanya akan “diterima” oleh orang dengan kelas sosial yang sama. Fenomena ini tentu paling ketara ada di lingkungan masyarakat golongan kelas menengah atas yaitu mereka yang sudah terpenuhi kebutuhan primernya. Sebenarnya gejala seperti ini walaupun sedikit juga terjadi digolongan bawah, namun gejala tersebut sukar diamati karena kadarnya sangat kecil (Fernando, 2006:114-115).
Sekarang ini adalah era di mana orang membeli barang bukan karena nilai kemanfaatannya namun karena gaya hidup, demi sebuah citra yang diarahkan dan dibentuk oleh iklan dan mode lewat televisi, tayangan sinetron, acara infotainment,
ajang kompetisi para calon bintang, gaya hidup selebriti, dan sebagainya. Yang ditawarkan iklan bukanlah nilai guna suatu barang, akan tetapi citra dan gaya bagi pemakainya. Tidak penting apakah barang itu berguna atau tidak, diperlukan atau tidak oleh konsumen. Karena itu yang kita konsumsi adalah makna yang dilekatkan pada barang itu sehingga kita tidak pernah mampu memenuhi kebutuhan kita. Seakan-akan terpuaskan padahal kekurangan, seakan-akan makmur padahal miskin (Baudrillard, 2004).
Dalam perilaku konsumen secara samar orang membedakan pengertian kelas sosial dengan pengertian status sosial. Lebih lanjut dijelaskan Max Weber bahwa kelas sosial mengacu kepada pendapatan atau daya beli, sementara status sosial lebih mengarah pada prinsip-prinsip konsumsi yang berkaitan dengan gaya hidup. Banyak definisi yang disodorkan mengenai gaya hidup. Gaya hidup adalah frame of reference yang dipakai seseorang dalam bertingkah laku dan konsekuensinya akan membentuk pola perilaku tertentu. Terutama bagaimana ia ingin dipersepsikan oleh orang lain, sehingga gaya hidup sangat berkaitan dengan bagaimana ia membentuk image dimata orang lain berkaitan dengan status sosial yang diproyeksikannya.
Untuk merefleksikan image inilah dibutuhkan simbol-simbol status tertentu yang sangat berperan dalam mempengaruhi perilaku konsumsinya. Perilaku konsumsi yang didorong oleh orientasi diri memiliki tiga kategori yaitu prinsip, status, danaction. Bagi orang yang orientasi dirinya bertumpu pada prinsip, dalam mengambil keputusan pembelian berdasarkan keyakinannya, sehingga keputusannya untuk membeli bukan hanya karena ikut-ikutan atau sekedar untuk mengejar gengsi. Bisa dikatakan tipe ini lebih rasional. Sedangkan yang bertumpu pada status, keputusannya dalam mengkonsumsi didominasi oleh apa kata orang. Produk-produk branded menjadi pilihannya. Bagi yang gaya hidupnya bertumpu kepada action,
keputusan dalam berkonsumsi didasari oleh keinginannya untuk beraktivitas sosial maupun fisik, mendapatkan selingan atau menghadapi resiko. Sehingga demikian dapatlah dikatakan bahwa gaya hidup berkaitan dengan bagaimana seseorang memanfaatkan resourcesyang dimilikinya untuk merefleksikan dirinya berdasarkan nilai, orientasi, minat, pendapat yang berkaitan dengan status sosialnya (http://www.jakartaconsulting.com/art-01-35.htm).
Weber mengemukakan bahwa persamaan kehormatan status terutama dinyatakan melalui persamaan gaya hidup (style of life). Di bidang pergaulan, gaya hidup ini dapat berwujud pembatasan terhadap pergaulan erat dengan orang yang statusnya lebih rendah. Selain adanya pembatasan dalam pergaulan, menurut Weber kelompok status ditandai pula oleh adanya berbagai hak istimewa dan monopoli atas barang dan kesempatan ideal maupun material, kelompok status dibeda-bedakan atas dasar gaya hidup yang tercermin dalam gaya konsumsi. Weber mengemukakan bahwa kelompok status merupakan pendukung adat yang menciptakan dan melestarikan semua adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat (Kamanto Sunarto, 1993:93).
Gaya hidup bisa merupakan identitas kelompok. Gaya hidup setiap kelompok akan mempunyai ciri-ciri unit tersendiri. Gaya hidup secara luas diidentifikasikan oleh bagaimana orang menghabiskan waktu (aktivitas), apa yang mereka anggap penting dalam lingkungannya (ketertarikan), dan apa yang mereka pikirkan tentang diri mereka sendiri dan juga dunia disekitarnya (pendapat). Gaya hidup pada prinsipnya adalah bagaimana seseorang menghabiskan waktu dan uangnya. Ada orang yang senang mencari hiburan bersama teman-temannya, ada yang senang menyendiri, ada yang berpergian bersama keluarga, berbelanja, melakukan aktivitas yang dinamis, dan ada pula yang memiliki waktu luang dan uang berlebih untuk
kegiatan sosial keagamaan. Gaya hidup dapat mempengaruhi perilaku seseorang dan akhirnya menentukan pilihan-pilihan konsumsi seseorang (http://frommarketing.blogspot.com/2009/08/definisi-gayahidup.html).
Status sosial seseorang atau sekelompok warga terungkap dari gaya hidupnya. Gaya hidup merupakan tindakan dan interaksi sosial yang dilembagakan. Gaya hidup tertentu menjadi lambang suatu status sosial. Artinya, gaya hidup tersebut sudah menjadi ciri yang melekat pada status sosial tertentu (M. Sitorus, 2000:101). Munculnya kelas-kelas sosial dalam masyarakat perkotaan ditandai dengan adanya perbedaan-perbedaan gaya hidup dan cara hidup (style of life dan way of life), baik dalam hal pengalaman, pengetahuan, sikap, dan perilaku maupun pandangan mengenai dunia sekitarnya (M. Sitorus, 2003:93).
Menurut Parsudi Suparlan (1996), setiap makhluk sosial memiliki kemampuan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan danpengalamannya. Dan itu dijadikan kerangka landasan untuk mewujudkan dan mendorong suatu perilaku. Pernyataan yang dilontarkan oleh Suparlan tadi tentunya dapat digunakan sebagai acuan untuk melihat perilaku tiap-tiap individu ketika melakukan interaksi yang efektif. Semua itu ditujukan untuk mewujudkan sikap, pikiran, dan perasaan sehingga dapat tergambarkan perilaku yang khas pada masyarakat tersebut.
G. Metode Penelitian A. Jenis Penelitian
Penelitian kualitatif adalah suatu strategi yang dipilih oleh penulis untuk mengamati suatu fenomena, mengumpulkan informasi dan menyajikan hasil penelitian pada penelitian ini.
“Penelitian kualitatif adalah penelitian yang dimaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian secara holistik dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks, khususnya yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah”
Sedangkan menurut David Williams (dalam Moleong, 2006:5) menyatakan bahwa: “Penelitian kualitatif adalah pengumpulan data pada suatu latar ilmiah dengan menggunakan metode ilmiah dan dilakukan oleh orang atau peneliti yang tertarik secara ilmiah”.
Pada penelitian ini penulis menggunakan penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian deskripstif ini bertujuan untuk mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada, mengindetifikasikan masalah atau memeriksa kondisi dan praktik-praktik yang berlaku.
Dalam metode deskriptif digunakan untuk melukiskan secara sistematis fakta atau bidang tertentu. Menetapkan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang mendatang. Jadi kualitatif deskriptif merupakan penelitian jenis penelitian yang digunakan untuk membuat deskriptif, gambaran atau sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat- sifat situasi, kondisi atau fenomena dengan menggunakan data berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan objek yang diamati secara utuh. Berkaitan dengan penelitian ini, maka penulis ingin memaparkan secara deskriptif tentang gaya hidup masyarakat perkotaan, dalam fenomena Karaoke Keluarga di E-club.
B. Teknik Pengumpulan Data
Dalam Bungin ( 2007:107 ), metode pengumpulan data kualitatif yang paling independen terhadap semua metode pengumpulan data dan teknik
analisi data adalah wawancara secara mendalam, observasi partisipasi, bahan dokumenter, serta metode-metode baru seperti metode bahan visual dan metode penelusuran bahan internet.
Data biasanya dicatat dalam tulisan atau direkam melalui tape casset atau video tape recorder untuk pengambilan suara dan gambar. Data tidak sebagai apa yang diberikan oleh alam, tetapi merupakan hasil interaksi penulis dengan sumber data. Hasil penelitian kualitatif lebih menghendaki agar pengertian dan hasil interpretasi yang diperoleh dirundingkan dan disepakati oleh manusia yang dijadikan sebagai sumber data. Sugiyono (2007:137) juga mengemukakan sumber data dapat menggunakan dua (2) sumber, yaitu:
1) Data Primer
Adalah Sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data. Untuk mendapatkan hasil data primer penulis menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, seperti:
Wawancara :
Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama (dalam Bungin, 2007:108). Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut ( Moleong, 2006:186 ).
peneliti bebas mewawancara dan tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya (dalam Sugiyono, 2008:140).
Observasi
Bungin ( 2007:115 ) mengemukakan bahwa:
“observasi adalah kegiatan keseharian manusia dengan menggunakan pancaindera mata sebagai alat bantu utamanya selain pancaindera lainnya seperti telinga, penciuman, mulut dan kulit”,
Observasi yang dilakukan penulis dalam mengumpulkan data-data sebagai penunjang penelitiannya, menggunakan observasi analisis kondisi di sekitar lokasi penelitian, di untukkan mengidentifikasi informan dan mekanisme yang diterapkan E-club dalam melayani konsumennya.
2) Data Sekunder
Adalah sumber data yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data misalnya melalui orang lain atau dokumen, dan data-data sekunder didapat penulis melalui:
a. Company profile E-club Karaoke Keluarga. b. Daftar reservation (buku-buku referensi).
c. Draft petunjuk pelaksanaan teknis E-club dalam proses pemenuhan kebutuhan konsumen.
C. Narasumber
Pada penelitian ini penulis menggunakan narasumber untuk mendapatkan data. Dalam penelitian ini penulis menggunakan Informan dan Key Informan. Untuk melakukan penelitian diperlukan adanya informan dan key informan untuk mendapatkan data yang diperlukan.
Menurut Moleong (2006:132), informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberi informasi tentang suatu situasi dan kondisi latar penelitian. Seorang informan adalah sumber data yang dibutuhkan oleh penulis dalam sebuah penelitian. Sedangkan menurut Bungin ( 2007:108 ), informan adalah:
“orang yang diperkirakan menguasai dan memahami data, informasi ataupun fakta dari suatu objek penelitian”.
Untuk mendapatkan informasi yang sesuai dengan permasalahan penelitian, dimana terlebih dahulu penulis menetapkan siapa saja informannya dan kemudian mendelegasikan tugas dibidangnya yang sesuai dengan tema penelitian.
Dalam penelitian ini, penentuan informan dan key informan diperoleh dari kantor E-clb yang bertempat di jalan boulevard key informan dipilih berdasarkan kesesuaian dengan penulis yang akan teliti. Teknis yang digunakan dalam meneliti yaitu dengan mengggunakan wawancara mendalam (indepth interview). Adapun sumber informasi yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari informan yaitu:
1. Dalam proses penelitian ini, yang menjadi pedoman penulis untuk memilih sebagai informan yaitu masyarakat perkotaan baik yang memilih karaoke sebagai sebuah gaya hidup.
2. Yang tidak kalah pentingnya penulis memilih sebagai informan berikutnya adalah para staff yang bekerja di E-club, penentuan informan ini dikaitkan dengan pola pelayanan di tempat tersebut.
Key Informan
Key informan merupakan kunci informasi yang memiliki pengetahuan yang lebih luas dan mendalam untuk bisa menjawab permasalahn yang diteliti
oleh penulis. Dalam menentukan key informan haruslah memilih pertimbangan-pertimbangan diantaranya adalah sebagai berikut (Bungin, 2001:101):
1. Orang yang bersangkutan memiliki pengalaman pribadi sesuai dengan permasalahan yang diteliti;
2. Orang yang bersangkutan sehat jasmani dan rohani;
3. Orang yang bersangkutan bersifat netral dan tidak memihak kemanapun;
4. Usia orang yang bersangkutan telah dewasa;
5. Orang yang bersangkutan memiliki pengetahuan yang luas mengenai permasalahan yang sedang diteliti.
Adapun sumber informasi yang digunakan peneliti dalam penelitian ini dari key informan. Dalam proses penelitian ini, yang menjadi pedoman penulis untuk memilih sebagai key informan yaitu Anina selaku PD (Programme Director) di E-club.
Pemilihan beliau sebagai narasumber dalam penelitian ini adalah karena beliau yang memegang penuh seluruh program-program teknis di E-club. Beliau dapat memberikan keterangan dan informasi yang akurat yang dibutuhkan oleh peneliti dalam penelitian ini.
D. Teknik Analisis Data
Analisis data kualitatif adalah analisis data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini. Penulis pada penelitian ini menggunakam teknik analisis data Model Miles dan Huberman. Analisis dilakukan pada saat pengumpulan dta berlangsung dan setelah selesai pengumpulan data periode tertentu. Selanjutnya melakukan teknik analisis data guna mencari, menata, dan
merumuskan kesimpulan secara sistematis dari catatan hasil wawancara informan dan key informan, serta observasi langsung.
Analisis data kualitatif merupakan bentuk analisis yang tidak menggunakan matematik, statistik dan ekonomi ataupun bentuk-bentuk lainnya. Analisis data yang dilakukan terbatas pada teknik pengolahan datanya yang kemudian penulis melakukan uraian dan penafsiran.
Menurut Bogdan dan Biklen ( dalam Moleong, 2006:248 ) mengemukakan bahwa:
“Analisis Data Kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang didapat diceritakan kepada orang lain.
Dari penjelasan diatas, penulis memahami bahwa analisis data merupakan tahap tahap selanjutnya yang dilakukan peneliti guna mencari, menata, dan merumuskan hipotesis rumusan secara sistematis dari observasi langsung dan lain lain untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang ditelitinya.
Dari hasil wawancara secara mendalam dan observasi serta didukung dari data lainnya, maka penulis akan mendapatkan jawaban dari rumusan masalah penelitian yang ada tersebut, yaitu karaoke keluarga sebagai sebuah gaya hidup masyarakat perkotaan.
E. Teknik Keabsahan Data
Penilaian keabsahan penelitian kualitatif terjadi pada waktu proses pengumpulan data, dan untuk menentukan keabsahan data diperlukan teknik pemeriksaan. Pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan atas sejumlah criteria tertentu dan dalam memeriksa keabsahan data yang diperoleh maka penulis menggunakan teknik triangulasi data.
Dalam Moleong (2005:330),
“triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan yang lain. Peneliti menyimpulkan bahwa dalam meneliti dibutuhkan keabsahan agar penelitian tersebut dapat dipercaya kredibilitasnya”.
Dalam hal ini peneliti menggunakan triangulasi teknik. Menurut Sugiyono (2007:274, triangulasi teknik adalah menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Dimana penulis menggunakan wawancara lalu dicek dengan observasi, atau dokumenter.
Dalam Sugiyono (2007:274), teknik triangulasi terdapat 3 macam teknik triangulasi, yaitu: triangulasi sumber, triangulasi teknik, dan triangulasi waktu. Kredibilitas pada penelitian kualitatif dapat menentukan proses dan hasil akhir sehingga dapat diterima dan dipercaya
H. Sistematika Penulisan
Bab I : Berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang rumusan
masalah, kerangka konseptual, tujuan dan kegunaan penelitian,
metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II : Berisi tentang studi pustaka/tinjauan pustaka.
Bab III : Berisi tentang gambaran umum lokasi penelitian, Dalam Bab
ini secara umum digambarkan letak geografis dan keadaan
alam lokasi penelitian, keadaan penduduk atau demografi,
mata pencaharian, serta sistem kepercayaan
Bab IV : Berisi tentang hasil dan pembahasan, yang diperoleh peneliti
berdasarkan data di lapangan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Life Style: Sebuah Fenomena Kebudayaan Masyarakat Perkotaan Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Hal tersebut berarti bahwa hampir seluruh tindakan manusia adalah kebudayaan, karena hanya sangat sedikit tindakan manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang tidak perlu dibiasakan dengan belajar yaitu hanya beberapa tindakan naluri, beberapa refleks, beberapa tindakan akibat proses fisiologi, atau kelakuan apabila ia sedang membabi buta. Bahkan, berbagai tindakan manusia yang merupakan kemampuan naluri yang terbawa oleh makhluk manusia dalam gennya bersama kelahirannya (seperti misalnya makan, minum, atau berjalan dengan kedua kakinya), juga dirombak olehnya menjadi tindakan berkebudayaan (Koentjaraningrat, 2002:180).
Suatu golongan sosial merupakan suatu kesatuan manusia yang ditandai oleh suatu ciri tertentu, bahkan seringkali ciri itu juga dikenakan kepada mereka oleh pihak luar kalangan mereka sendiri. Walaupun demikian, suatu kesatuan manusia yang kita sebut golongan sosial itu mempunyai ikatan identitas sosial. Hal ini dapat disebabkan karena kesadaran identitas itu tumbuh sebagai respon atau reaksi terhadap caranya pihak luar memandang golongan sosial tadi, atau mungkin juga karena golongan itu memang terikat oleh suatu sistem nilai, sistem norma, dan adat istiadat tertentu (Koentjaraningrat, 2002:150-151).
Golongan sosial dapat terjadi karena manusia-manusia secara claster mempunyai suatu gaya hidup yang khas, dan karena berdasarkan hal itu mereka dipandang oleh orang lain sebagai manusia yang menduduki suatu lapisan tertentu
dalam masyarakat. Lapisan itu dapat dianggap lebih tinggi atau lebih rendah tergantung dari sudut orang yang memandang tadi. Karena warganya mempunyai gaya hidup khas yang sama, maka suatu lapisan atau klas sosial tentu dapat juga dianggap mempunyai suatu sistem norma yang sama, dan karena itu juga suatu rasa identitas golongan (Koentjaraningrat, 2002:153).
Menurut Winarno (1980:85), gaya hidup dapat diasumsikan sebagai cara-cara bertindak yang sering disebut mekanisme penyesuaian yakni cara-cara-cara-cara itu menjadi cara-cara bertindak yang bersifat kebiasaan. Cara-cara itu pada kenyataannya didasarkan pada pengalaman-pengalaman seseorang dalam kehidupannya. Dengan kata lain, gaya hidup seseorang itu merupakan gambaran dari watak, status, perilaku, dan peranannya dalam masyarakat.
Berbeda dengan Kartodirdjo (1987:53), gaya hidup merupakan suatu produk dari stratifikasi sosial sehingga faktor status, kedudukan, dan kekayaan dapat membentuk struktur gaya hidup. Gaya hidup ini pada hakekatnya akan membentuk suatu eksklusifme yang tidak lain bertujuan hendak membedakan status antara golongan yang satu dengan golongan yang lainnya dalam suatu stratifikasi sosial.
Robert Redfield, seorang antropolog yang pernah melihat tentang gaya hidup petani desa sebagaimana dikutip oleh James Danandjaja (1994:47) menyatakan bahwa gaya hidup petani desa sebenarnya adalah semacam human type atau tipe manusia yang dapat dikenal dengan segera, agak tersebar di mana-mana, bersifat tahan lama, dan timbul sebagai akibat peradaban (civilization). Gaya hidup semacam ini mungkin dikembangkan sebagai akibat adanya adaptasi dari sifat masyarakat folk dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup baru yang diakibatkan oleh timbulnya kota.
Selain itu, Robert Redfield sebagaimana dikutip oleh Menno (1994:44-45) juga mengemukakan bahwa komunitas kota lebih berorientasi kepada hal-hal yang bersifat material dan rasional, sehingga hubungan-hubungan menjadi impersonal dan sekunder, bukan lagi relation oriented seperti yang terdapat dalam komunitas pedesaan yang mengandalkan hubungan-hubungan yang emosional dan primer, di mana orang saling mengenal secara pribadi dan dalam hampir semua aspek kehidupan. Di kota orang saling mengenal hanya dalam hubungan dengan aspek- aspek tertentu saja yang berdasarkan perhatian dan kepentingan. Akibat banyaknya dan bervariasinya tuntutan dalam bertingkah laku dan bertindak sebagai anggota masyarakat yang berorientasi kepada sasaran (goal) dan pencapaian (achievement), maka gaya hidup masyarakat kota lebih diarahkan kepada penampilan fisik dan kualitas fisik sehingga tampak civilized.
Salah satu faktor utama yang mendorong munculnya gaya hidup adalah pola konsumsi. Pola konsumsi masyarakat perkotaan telah menjadikan barang-barang ataupun jasa sebagai identitas mereka. Barang dan jasa dikonsumsi bukan dikarenakan kebutuhan mereka, melainkan hanya sebatas memenuhi keinginan dan penunjuk identitas sosial mereka. Pola konsumsi masyarakat perkotaan ini telah mengubah nilai suatu produk yang awalnya memiliki nilai fungsional menjadi memiliki nilai simbolis. Proses konsumsi simbolis merupakan tanda penting dari pembentukan gaya hidup, di mana nilai-nilai simbolis dari suatu produk dan praktek telah mendapat penekanan yang besar dibandingkan dengan nilai-nilai fungsional. Hal ini paling tidak dapat dijelaskan dengan tiga cara. Pertama, kelas sosial telah membedakan proses konsumsi, di mana setiap kelas menunjukkan proses identifikasi yang berbeda.
Secara umum memang memperlihatkan bahwa pilihan-pilihan dilakukan sesuai dengan kelas, di mana integrasi ke dalam satu tatanan umum tidak terbentuk sepenuhnya. Nilai simbolis dalam konsumsi tampak diinterpretasikan secara berbeda oleh kelompok yang berbeda. Kedua, barang yang dikonsumsi kemudian menjadi wakil dari kehadiran.
Hal ini berhubungan dengan aspek-aspek psikologis, di mana konsumsi suatu produk berkaitan dengan perasaan atau rasa percaya diri yang menunjukkan bahwa itu bukan hanya sekedar aksesoris, akan tetapi barang-barang merupakan isi dari kehadiran seseorang karena dengan cara itu ia berkomunikasi (Goffman, 1951). Ketiga, berdasarkan proses konsumsi dapat dilihat bahwa konsumsi citra (image) di satu pihak telah menjadi proses konsumsi yang penting, di mana citra yang dipancarkan oleh suatu produk dan praktek (seperti pakaian atau makanan) merupakan alat ekspresi diri bagi kelompok. Bagi golongan kelas menengah atas citra yang melekat pada suatu produk merupakan instrumen modernitas yang mampu menegaskan keberadaannya dan identitasnya. Proses identifikasi yang terwujud melalui proses konsumsi merupakan proses aktif di dalam konsumsi citra yang menyebabkan intensifikasi kesadaran kelas (Irwan Abdullah, 2006:3334).
Dalam mengkonsumsi atau dalam memilih produk mana yang akan dikonsumsi, konsumen sebenarnya memiliki kebebasan penuh untuk memilihnya, walaupun kebebasan itu sendiri dalam beberapa kasus agak rancu atau apa yang oleh Zukin dan Maguire (2004:177) disebut sebagai “Democratized desire”. Democratized desire adalah demokrasi yang didikte, konsumen seolah-olah memiliki kebebasan memilih padahal pilihan-pilihan tersebut diatur sepenuhnya oleh produsen, misalnya melalui iklan, sehingga
kegiatan konsumsi cenderung lebih sebagai keharusan daripada sebuah pilihan. Kebebasan mengkonsumsi seharusnya adalah setiap manusia dapat mengkonsumsi apapun yang ia suka, asal ia mempunyai akses untuk itu, namun pemilihan ini juga tidak sepenuhnya atas kemauan konsumen tersebut, tetapi juga bisa dipengaruhi oleh norma di masyarakat tempat ia tinggal. Ungkapan “you are what you drive” adalah gambaran bahwa produk apapun yang kita konsumsi akan menunjukkan “siapa” diri kita atau “posisi” kita di masyarakat, oleh karena itu dalam pemilihan produk yang akan dikonsumsi seseorang cenderung akan memperhatikan nilai atau makna dalam produk itu (Sopingi, 1995). Hal hampir senada juga diungkapkan oleh David Chaney (1996) yang menyatakan bahwa dalam dunia modern gaya hidup kita membantu mendefinisikan sikap, nilai-nilai, dan kekayaan, serta posisi sosial kita.
Pada akhir abad ke-20 perkembangan teknologi khususnya dalam bidang komunikasi berlangsung dengan sangat pesat. Munculnya radio, televisi, dan internet menyebabkan batas ruang antara satu negara dengan negara lainnya menjadi tidak ada (Piliang, 1998:81). Keadaan ini membuat transfer kebudayaan menjadi sangat cepat. Salah satu akibat dari perpindahan budaya dari satu wilayah ke wilayah yang lainnya ialah munculnya berbagai gaya hidup yang dipengaruhi oleh kegiatan konsumsi terhadap barang, jasa, dan aktivitas-aktivitas waktu luang. Kegiatan konsumsi tersebut memunculkan apa yang disebut budaya konsumen, di mana proses konsumsi dilihat sebagai perilaku manusia yang mengubah benda-benda untuk tujuan mereka sendiri (Lury, 1998:3). Oleh Lury budaya konsumen diartikan sebagai “bentuk budaya materi” yakni budaya pemanfaatan benda-benda dalam masyarakat
Eropa-Amerika kontemporer. Kini, apa yang dinikmati oleh masyarakat Eropa-Amerika kontemporer tersebut yang notabene adalah negara kaya ditiru oleh masyarakat dunia lain, termasuk kita.
Budaya konsumen dicirikan dengan peningkatan gaya hidup (life style). Justru menurut Lury (1998), proses pembentukan gaya hiduplah yang merupakan hal terbaik yang mendefinisikan budaya konsumen. Dalam budaya konsumen kontemporer, istilah itu bermakna individualitas, pernyataan diri, dan kesadaran diri. Dalam hal ini, tubuh, pakaian, waktu senggang, pilihan makanan dan minuman, rumah, mobil, pilihan liburan, dan lain-lain menjadi indikator cita rasa individualitas dan gaya hidup seseorang. Gaya hidup merupakan ciri sebuah dunia modern. Orang tidak lagi berkomunikasi secara verbal dengan kata-kata, melainkan dengan bentuk komunikasi yang baru yang tidak mengharuskan setiap individu harus saling mengenal untuk mengetahui siapa mereka. Bentuk komunikasi inilah yang sepertinya akhir-akhir ini menjadi trend sebagai ciri masyarakat modern itu tadi. Selera dalam pemilihan barang-barang konsumsi menjadi sedemikian penting karena ini akan berkaitan dengan siapa saja seseorang itu akan diterima bergaul, karena terdapat kecenderungan bahwa individu hanya akan “diterima” oleh orang dengan kelas sosial yang sama. Fenomena ini tentu paling ketara ada di lingkungan masyarakat golongan kelas menengah atas yaitu mereka yang sudah terpenuhi kebutuhan primernya. Sebenarnya gejala seperti ini walaupun sedikit juga terjadi di golongan bawah, namun gejala tersebut sukar diamati karena kadarnya sangat kecil (Fernando, 2006:114-115). Sekarang ini adalah era di mana orang membeli barang bukan karena nilai kemanfaatannya namun karena gaya hidup, demi sebuah citra yang diarahkan
dan dibentuk oleh iklan dan mode lewat televisi, tayangan sinetron, acara infotainment, ajang kompetisi para calon bintang, gaya hidup selebriti, dan sebagainya, yang ditawarkan iklan bukanlah nilai guna suatu barang, akan tetapi citra dan gaya bagi pemakainya. Tidak penting apakah barang itu berguna atau tidak, diperlukan atau tidak oleh konsumen. Karena itu yang kita konsumsi adalah makna yang dilekatkan pada barang itu sehingga kita tidak pernah mampu memenuhi kebutuhan kita. Seakan-akan terpuaskan padahal kekurangan, seakan-akan makmur padahal miskin (Baudrillard, 2004).
Dalam perilaku konsumen secara samar orang membedakan pengertian kelas sosial dengan pengertian status sosial. Lebih lanjut dijelaskan Max Weber bahwa kelas sosial mengacu kepada pendapatan atau daya beli, sementara status sosial lebih mengarah pada prinsip-prinsip konsumsi yang berkaitan dengan gaya hidup. Banyak definisi yang disodorkan mengenai gaya hidup. Gaya hidup adalah frame of reference yang dipakai seseorang dalam bertingkah laku dan konsekuensinya akan membentuk pola perilaku tertentu. Terutama bagaimana ia ingin dipersepsikan oleh orang lain, sehingga gaya hidup sangat berkaitan dengan bagaimana ia membentuk image di mata orang lain berkaitan dengan status sosial yang diproyeksikannya.
Untuk merefleksikan image inilah dibutuhkan simbol-simbol status tertentu yang sangat berperan dalam mempengaruhi perilaku konsumsinya. Perilaku konsumsi yang didorong oleh orientasi diri memiliki tiga kategori yaitu prinsip, status, dan action. Bagi orang yang orientasi dirinya bertumpu pada prinsip, dalam mengambil keputusan pembelian berdasarkan keyakinannya, sehingga keputusannya untuk membeli bukan hanya karena ikut-ikutan atau sekedar untuk mengejar gengsi. Bisa dikatakan tipe ini lebih
rasional. Sedangkan yang bertumpu pada status, keputusannya dalam mengkonsumsi didominasi oleh apa kata orang. Produk-produk branded menjadi pilihannya. Bagi yang gaya hidupnya bertumpu kepada action, keputusan dalam berkonsumsi didasari oleh keinginannya untuk beraktivitas sosial maupun fisik, mendapatkan selingan atau menghadapi resiko. Sehingga demikian dapatlah dikatakan bahwa gaya hidup berkaitan dengan bagaimana seseorang memanfaatkan resources yang dimilikinya untuk merefleksikan dirinya berdasarkan nilai, orientasi, minat, pendapat yang berkaitan dengan status sosialnya (http://www.jakartaconsulting.com/art-01-35.htm).
Weber mengemukakan bahwa persamaan kehormatan status terutama dinyatakan melalui persamaan gaya hidup (style of life). Di bidang pergaulan, gaya hidup ini dapat berwujud pembatasan terhadap pergaulan erat dengan orang yang statusnya lebih rendah. Selain adanya pembatasan dalam pergaulan, menurut Weber kelompok status ditandai pula oleh adanya berbagai hak istimewa dan monopoli atas barang dan kesempatan ideal maupun material, kelompok status dibeda-bedakan atas dasar gaya hidup yang tercermin dalam gaya konsumsi. Weber mengemukakan bahwa kelompok status merupakan pendukung adat yang menciptakan dan melestarikan semua adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat (Kamanto Sunarto, 1993:93).
Gaya hidup bisa merupakan identitas kelompok. Gaya hidup setiap kelompok akan mempunyai ciri-ciri unit tersendiri. Gaya hidup secara luas diidentifikasikan oleh bagaimana orang menghabiskan waktu (aktivitas), apa yang mereka anggap penting dalam lingkungannya (ketertarikan), dan apa yang mereka pikirkan tentang diri mereka sendiri dan juga dunia
disekitarnya (pendapat).
Gaya hidup pada prinsipnya adalah bagaimana seseorang menghabiskan waktu dan uangnya. Ada orang yang senang mencari hiburan bersama teman-temannya, ada yang senang menyendiri, ada yang berpergian bersama keluarga, berbelanja, melakukan aktivitas yang dinamis, dan ada pula yang memiliki waktu luang dan uang berlebih untuk kegiatan sosial keagamaan. Gaya hidup dapat mempengaruhi perilaku seseorang dan akhirnya menentukan pilihan-pilihan konsumsi seseorang.
Status sosial seseorang atau sekelompok warga terungkap dari gaya hidupnya. Gaya hidup merupakan tindakan dan interaksi sosial yang dilembagakan. Gaya hidup tertentu menjadi lambang suatu status sosial. Artinya, gaya hidup tersebut sudah menjadi ciri yang melekat pada status sosial tertentu (M. Sitorus, 2000:101). Munculnya kelas-kelas sosial dalam masyarakat perkotaan ditandai dengan adanya perbedaan-perbedaan gaya hidup dan cara hidup (style of life dan way of life), baik dalam hal pengalaman, pengetahuan, sikap, dan perilaku maupun pandangan mengenai dunia sekitarnya (M. Sitorus, 2003:93).
Menurut Parsudi Suparlan (1996), setiap makhluk sosial memiliki kemampuan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan dan pengalamannya. Dan itu dijadikan kerangka landasan untuk mewujudkan dan mendorong suatu perilaku. Pernyataan yang dilontarkan oleh Suparlan tadi tentunya dapat digunakan sebagai acuan untuk melihat perilaku tiap-tiap individu ketika melakukan interaksi yang efektif. Semua itu ditujukan untuk mewujudkan sikap, pikiran, dan perasaan sehingga dapat tergambarkan perilaku yang khas pada masyarakat tersebut.
B. Karaoke: Sejarah Perkembangannya
Sejarah karaoke pada awalnya berasal dari jepang. Secara etimologi karaoke berasal dari bahasa jepang, yaitu kata kara yang merupakan singkatan dari karappo yang berarti kosong, dan oke singkatan dari okesutora yang berarti orkestra. Jadi secara harafiah karaoke berarti melodi yang tidak ada vokalnya.
Karaoke tidak hanya menyebar di seluruh Jepang namun juga di Korea, China, Asia Tenggara, bahkan Amerika Serikat. Oleh karena itu tidak mengherankan jika istilah karaoke ini tidak hanya tertera dalam kamus bahasa Jepang, namun juga Kamus Bahasa Inggris Oxford. Pengertian karaoke menurut Kamus Bahasa Inggris Oxford adalah:
“A type of entertainment in which a machine plays only the music of popular songs so that people can sing the words themselves.”
Terjemahan:
Sebuah jenis hiburan dimana sebuah mesin memainkan hanya musik dari lagu-lagu popular sehingga orang-orang dapat menyanyikan lirik lagu tersebut sendiri.
Dari beberapa pengertian karaoke di atas dapat diartikan bahwa karaoke adalah melodi yang hanya terdiri dari musik tanpa vokal, dan vokalnya dinyanyikan oleh seseorang bernyanyi sambil mengikuti melodi tersebut mendendangkan lirik yang ditampilkan di layar televisi atau buku.
Karaoke muncul pertama kali di kota Kobe, sebuah daerah di wilayah Kansai. Kemunculan karaoke tidak lepas dari peranan utagoe kissa, atau dalam bahasa Inggris disebut song-coffee shop. Utagoe kissa telah menjadi kegemaran di Jepang sejak pemerintahan Taisho (1912 -1926) dan semakin meluas antara tahun 1950 hingga tahun 1960. Utagoe kissa adalah
bar tradisional yang dilengkapi dengan piano atau gitar, yang sejak dulu telah menjadi pusat hiburan bagi pelaku bisnis Jepang sebagai sarana pelepas stres. Ada empat versi mengenai sejarah kemunculan karaoke yang penulis dapatkan. Keempat versi tersebut menyebutkan bahwa karaoke berasal dari sebuah utagoe kissa di kota Kobe sekitar tahun 1970an. Versi pertama dari sejarah kemunculan karaoke adalah ketika suatu hari pemain gitar di salah satu utagoe kissa di Kobe tidak bisa datang karena sakit. Pemilik utagoe kissa tersebut kemudian menyiapkan alat perekam beserta rekaman dari permainan sang gitaris, dan sang vokalis bernyanyi dengan diiringi rekaman tersebut. Kejadian itu dianggap sebagai asal terciptanya karaoke.Semenjak itu karaoke berkembang dan dikomersialisasikan di seluruh Jepang.
Versi kedua menyebutkan bahwa karaoke berasal dari salah satu utagoe kissa di Kobe, dimana manajemen utagoe kissa tersebut merekam sebuah rekaman yang digunakan dalam sesi latihan para penyanyi profesional. Pada tahun 1976, sebuah perusahaan elektronik menjual sebuah mesin bernama “Karaoke 8”, yang terdiri dari delapan pita rekaman berisi empat buah lagu. Mesin ini kemudian berkembang dengan teknologi laser-disk, VHD, CD, dan sebagainya, sehingga peralatan ini menjadi sebuah standar hiburan para sarariman.
Versi ketiga menyebutkan bahwa penemu karaoke adalah Kisaburo Takashiro, yang merupakan seorang pemilik dari sebuah toko rekaman di Kobe pada tahun 1970an. Takashiro mengetahui bahwa sebuah utagoe kissa di dekat toko rekaman miliknya menyewa seorang pianis untuk mengiringi seorang penyanyi dengan bayaran 500 hingga 1000 yen untuk setiap lagunya. Takashiro