• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia baru ada 33 dokter umum untuk 100 ribu penduduk (Tempo.co, 2013).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Indonesia baru ada 33 dokter umum untuk 100 ribu penduduk (Tempo.co, 2013)."

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Profesi dokter merupakan salah satu profesi yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Hal ini dikarenakan jumlah dokter umum di Indonesia masih belum sesuai dengan ketentuan rasio dari World Health Organization (WHO). Berdasarkan WHO seharusnya ada 40 dokter umum di setiap 100 ribu penduduk, tetapi saat ini di Indonesia baru ada 33 dokter umum untuk 100 ribu penduduk (Tempo.co, 2013).

Ketidakmerataan dan kurangnya jumlah dokter di Indonesia menjadi salah satu alasan diadakannya Program Internsip Dokter Indonesia (PIDI) sejak tahun 2010. PIDI adalah program pelatihan keprofesian pra registrasi yang bertujuan meningkatkan keprofesian dan kemandirian dokter muda (coass) yang telah dilantik menjadi dokter umum secara resmi. Pada PIDI, para dokter disebar ke berbagai daerah di 32 provinsi di Indonesia untuk mengabdi kepada masyarakat. PIDI juga merupakan sarana untuk penyetaraan berstandar pendidikan dokter Indonesia sesuai acuan World Federation Medical Association. Para dokter diwajibkan mengikuti PIDI untuk mendapatkan Surat Izin Praktik (Depkes, 2014).

Ketika menjalani program internsip para dokter harus beradaptasi dengan lingkungan kerja yang baru. Hal ini tentunya menjadi sebuah tantangan bagi para dokter karena tidak hanya proses adaptasi dengan lingkungan, tetapi juga tanggung jawab mereka yang semakin besar setelah dilantik sebagai dokter.

(2)

Sen dkk. (2010) melalui penelitiannya mengungkapkan bahwa ada peningkatan yang signifikan pada gejala depresi pada dokter selama masa internsip. Dalam penelitian tersebut terdapat peningkatan dari 3,9% menjadi 27,1% , 23,3%, 25,7%, dan 26,6% partisipan yang mengalami depresi mayor pada masing-masing bulan ke-3, 6, 9, dan 12 masa internsip. Hal ini disebabkan oleh jam kerja yang besar dan medical errors yang terjadi. Penelitian lain juga mengungkap bahwa internsip berperan besar dalam peningkatan depresi dan kecemasan pada dokter pada 3 bulan pertama dan kosisten hingga akhir masa internsip (Chen, Lin, Li, Huang, & Lin, 2015). Ketua Perhimpunan Dokter Emergensi Indonesia (PDEI), Dr. Abdul Halik Malik mengatakan bahwa setiap tahunnya ada 7000 dokter baru yang harus mengikuti program internsip, tetapi secara mental mereka belum siap untuk ditugaskan, terutama di daerah terpencil (detik.com, 2015).

Berdasarkan wawancara dengan beberapa dokter, mereka mengalami kesulitan dalam beradaptasi dengan peran yang baru. Subjek A yang menjalankan internsip di Maluku mengaku bahwa beban kerja seorang dokter semasa internsip sangat berat jika dibandingkan semasa menjadi coass pada saat rotasi klinik.

“Kalo berat emang berat sih. Apalagi kalo dibanding jaman koas, soalnya segala tindakan ke pasien sekarang udah bener- bener tanggung jawab kita gitu. Tapi ya namanya udah kerja beda sama masa pendidikan kan ya. Working hours lebih cape emang, terutama pas lagi jaga IGD kalo di tempatku sih. Tiap hari masuk jam 8 sampe jam 2 siang. Terus di luar itu tergantung dapet giliran jaganya kapan. Seminggu 2 kali jaga, shift jaga siang 7 jam kalo jaga malem 11 jam. Eh tapi pas jaga koas tuh lebih sering, cuman gimana ya, karena tanggung jawabnya ga besar jadi kerasa lebih berat pas internsip aja. Soalnya kalo koas kalo salah-salah selalu ada dokternya kan ya, terus yang tanda tangan di rekam medis tuh selalu dokter atasannya jadi kayak ga terlalu mikir kenapa-kenapa kalo salah. Kalo di internsip ya harus tanggung jawab sama setiap tindakan kita.

(3)

Wawancara lainnya dengan subjek B yang sedang internsip di Jawa Barat terungkap bahwa subjek mengalami kendala di lingkungan internship yang baru hingga mengalami insomnia dan kelelahan.

“Aku disini alumni UGM sendiri, jadi agak takut sebenernya. Karena pindah dari jawa tengah ke jawa barat kan, jadi takut beda ilmunya, karena sebagian besar dokter internsipnya dari jawa barat semua pasti kurikulumnya ngacu ke Unpad. Terus kendala bahasa, dari yang terbiasa dengan bahasa jawa, terus sekarang bahasa sunda…Ada plus minusnya sih, kita jadi dihargain tapi juga jadi tempat bergantung…Kita bisa jadi tempat konsul buat perawat-perawat kalo ada kasus yg misalnya agak bingungin buat mereka. Awalnya pasti masih nervous kalo dijadiin tempat konsul gitu, tp yaa mau ga mau kali yah mil. Kan harusnya emang udah kompetensi kita, mgkn emg awal2 belom pede… Hmmm kebetulan nih mila, aku sama sekali ga pernah ada gangguan tidur mau dimanapun hehe tapi semenjak internsip ini jadi ada gangguan tidur. Aku jadi late insomnia gitu. Kebangun jam 2 atau 3 gitu terus susah tidur lagi, entah panik atau apa kali yah. Skrg aku ngontrak Cuma berdua, kadang jd sendirian pas temenku jaga. Jd ngerasa insecure aja, trus tiap pagi harus nyiapin sarapan sendiri, disini ga semudah di jogja hehe, dan hrs brgkt stgh jam sebelum apel puskes nunggu angkot lama bgt. Kalo di jogja kan bangun jam brp aja bs mepet2. Aku di puskesmas ga ada jaga, tapi itu aja ngerasanya jadi capek padahal cuma jam 7 sampe jam 2 doang, karena kurang tidur juga kali ya.”

Komponen yang dimiliki oleh seorang dokter, seperti dedikasi, komitmen, kompetisi, dan sifat altruisme berperan dalam stres yang dialami dokter (Canadian Medical Association, 1998). Seorang dokter juga harus dihadapkan pada berbagai stressor seperti pekerjaan yang sangat banyak, jam kerja yang berlebihan, kekurangan tidur, paparan situasi emosional yang berulang-ulang, dan berhadapan dengan berbagai karakteristik pasien (Kakunje, 2011). Dokter memiliki beberapa karakteristik, di antaranya perfeksionis karena dalam profesi dokter kesalahan tidak dapat ditoleransi, kompulsif dimana dokter tidak dapat berhenti sampai pekerjaannya selesai, selalu mementingkan pasien di atas kepentingannya sendiri, dan tidak mentoleransi adanya kelemahan (Adshead dalam Wessely & Gerada, 2013). Beberapa karakteristik tersebut

(4)

mendukung dokter dalam memberikan pelayanan yang maksimal untuk pasien, tetapi juga dapat berpengaruh negatif terhadap kesehatan mentalnya.

Selain jam kerja yang melelahkan dan kecemasan akibat tanggung jawab yang semakin besar, dokter juga dihadapkan pada situasi emosional seperti ketika pasien yang sedang ditangani meninggal dunia. Hal ini sesuai dengan Firth-Cozens (1987) bahwa dokter dalam masa internsip memiliki tingkat empati yang lebih tinggi dan lebih kecil kemungkinannya untuk menyalahkan penyebab-penyebab di luar dirinya apabila sesuatu berjalan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Subjek C yang sedang internsip di Daerah Istimewa Yogyakarta mengalami hal tersebut.

“Iyaa memang besar sih tanggung jawab dan tekanannya. Aku pernah nyesel dan bersalah banget waktu pasienku gak tertolong, sampe nangis, sedih banget sih soalnya kayak itu kan tanggung jawab kita… Yaa soalnya mungkin aku ngerasa belum maksimal aja kali ya effortnya, yaa gatau sih suka kepikiran aja gitu haha … Hmm yaa itu sih dukanya kadang kepikiran sama keadaan pasien kita dan kadang suka ga terima aja kalo sampe ga ketolong jadi ya lumayan beban sih.”

Perasaan bersalah, sedih, dan cemas yang dialami oleh dokter, dari hasil wawancara yang dilakukan, merupakan penilaian subjektif seseorang mengenai pengalaman hidupnya atau disebut juga sebagai subjective well-being yang terdiri dari penilaian afeksi dan kognisi (Diener, 1984). Penilaian afeksi meliputi afek positif dan afek negatif, sedangkan penilaian kognisi meliputi evaluasi seseorang mengenai kualitas hidupnya secara keseluruhan. Adaptasi terhadap perubahan hidup, baik itu perubahan peran atau keadaan lingkungan yang berubah dapat mempengaruhi subjective well-being, terutama terhadap evaluasi kognitif (Luhmann dkk, 2012).

Subjective well-being seorang dokter menjadi sangat krusial dalam iklim pelayanan kesehatan dan menjadi perhatian khusus selama beberapa tahun ini (Shannon, 2013). Hal ini dikarenakan subjective well-being dokter dapat

(5)

mempengaruhi pelayanan yang diberikan kepada pasien. Dokter yang tidak bahagia, lelah, ataupun cemas tidak menghasilkan pelayanan yang berkualitas (Firth-Cozens dalam Firth-Cozens, 2003). Selain itu, dokter yang stress melakukan lebih banyak kesalahan dibandingkan dengan dokter yang memiliki well-being yang tinggi (Jones dkk dalam Firth-Cozens, 2003). Well-being yang rendah pada dokter juga dapat berakibat pada penurunan konsentrasi, empati, dan profesionalisme, sehingga berujung pada medical error dan ketidakpuasan pada pasien (Casalino & Crosson, 2015).

Terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi subjective well-being seorang individu, di antaranya strategi coping, kepribadian, dan faktor demografis seperti usia, jenis kelamin, dan lain-lain (Diener, 1986). Namun demikian, dari hasil wawancara ditemukan bahwa segala tekanan yang dialami oleh dokter diakibatkan oleh perenungan terhadap kejadian-kejadian yang sudah lalu, maupun kejadian di masa depan yang belum terjadi. Seperti subjek B yang takut akan tantangan yang ada dalam internsip seperti ilmu dan budaya yang berbeda di daerahnya yang baru dan munculnya rasa takut, lelah, dan panik di lingkungan tempat tinggal yang baru. Selain itu, subjek C juga merenungkan kejadian ketika pasien yang ditanganinya tidak dapat tertolong, sehingga timbul rasa sedih. Hal ini dapat menyebabkan seseorang tidak menikmati pengalaman pada masa sekarang karena terlalu memikirkan masa depan yang menyebabkan ketakutan ataupun kekhawatiran dan masa lalu yang menyebabkan perasaan bersalah ataupun kesedihan. Orang yang memiliki subjective well-being yang tinggi lebih berfokus pada masa sekarang, dibandingkan dengan masa lampau ataupun masa depan (Baumeister, Vohs, Aaker, & Garbinsky, 2012). Kebahagiaan tidak bisa didapatkan melalui kontemplasi dengan masa depan maupun masa lalu. Dalam penelitiannya terhadap 397 orang dewasa mengenai kebahagiaan, Baumeister dkk

(6)

(2012) menemukan bahwa semakin berfokus pada masa sekarang, semakin bahagia seseorang, walaupun memiliki korelasi yang rendah.

Berbeda dengan subjek B dan C, subjek A dapat lebih menerima sebuah pengalaman, sehingga tidak menyebabkan dirinya terbebani dalam menjalani pekerjaannya.

“Pernah mil, lama2 kalo jaga igd ya jd lumayan sering juga nanganin pasien ga tertolong akhirnya meninggal. Awal2 dpt kejadian kaya gt ya kepikiran dikit, jadi mikir harusnya pasien tadi sempet ga sih diginiin, atau kalo dikasih obat apa bakal jd tertolong ga sih, gitu2, tp ya kejadian kedua ketiga ya udah biasa. Paling kalo udah kayak gitu diem bentar tarik nafas dalem terus buang gt menenangkan diri..”

Subjek A dapat dengan segera mengetahui dan menyadari adanya stressor dan dapat melihat suatu pengalaman sebagai sebuah kejadian hidup yang terus mengalir, sehingga ia dapat menerima sebuah pengalaman dengan bijaksana dan tidak terbawa oleh emosi negatif yang muncul dari stressor yang dihadapi. Hal yang dilakukan subjek A merupakan kapasitas pemusatan atensi yang dinamakan mindfulness. Mindfulness didefinisikan sebagai keadaan dimana seseorang memfokuskan pikiran dan raga pada pengalaman saat ini dengan meregulasi atensi terhadap perubahan pikiran, perasaan, dan sensasi dari waktu ke waktu (Bishop dkk, 2004). Konsep mindfulness mengarah pada peningkatan kemampuan dalam awareness dan attention yang merupakan bagian dari consciousness. Awareness dan attention yang tinggi terhadap sebuah pengalaman yang terjadi pada waktu saat ini membantu seseorang dalam mengatasi berbagai permasalahan dengan pikiran yang lebih terbuka karena mereka memiliki kontrol yang penuh terhadap perilaku dan emosinya, sehingga dapat mencegah afek negatif yang secara otomatis muncul ketika dihadapkan pada stressor.

(7)

praktik yang didasarkan pada atensi dan kesadaran yang tinggi. Dokter diharuskan memiliki awareness yang tinggi, tidak hanya kesadaran terhadap segala sesuatu yang sedang terjadi di sekitarnya, tetapi juga kesadaran penuh terhadap pengalaman yang terjadi dalam diri. Peningkatan kesadaran ini dapat meningkatkan atensi seseorang terhadap kehadiran stress dan hubungan antara diri seseorang dengan sumber stress, sehingga mampu untuk menghadapinya dengan lebih baik (Epstein, 1999). Mindfulness menjadi hal yang krusial dalam iklim pelayanan kesehatan untuk meningkatkan well-being seorang dokter karena dokter terus-menerus dihadapkan pada situasi emosional dan penuh stressor, sehingga mengharuskan dirinya untuk selalu siaga dan tidak terganggu dengan emosi atau pengalaman negatif ketika sedang berhadapan dengan pasien. Berdasarkan penelitian Krasner dkk. (2009), yang menerapkan mindful practice pada dokter berupa mindful communication, menunjukkan bahwa tingkat mindfulness yang tinggi pada dokter berkorelasi negatif dengan gangguan mood, terutama penurunan ketegangan, depresi, dan kelelahan, serta berkorelasi negatif dengan kelelahan emosional akibat burnout.

Menjadi seorang dokter ataupun profesi yang bertugas untuk menolong individu lainnya merupakan tugas yang melelahkan secara emosional. Kebutuhan diri sendiri menjadi prioritas terbelakang setelah keselamatan orang lain. Oleh karena itu, dokter diharuskan memiliki keterampilan tersebut guna mengatasi tekanan emosi dalam pekerjaan, sehingga tidak menurunkan tingkat well-being yang dapat mengganggu layanan kesehatan yang diberikan kepada pasien.

Mindfulness mengajarkan untuk menyadari momen saat ini dengan pikiran yang sadar dan hati yang penuh dengan keterbukaan. Ketika mindfulness diterapkan sampai kepada intinya, didapatkan dua hal yang esensial, yaitu kesadaran yang penuh

(8)

dan kapasitas untuk menerima dan menghargai sebuah pengalaman (Ameli, 2014). Dengan kesadaran penuh seseorang dapat menyaksikan setiap momen layaknya sesuatu yang terus mengalir, momen saat ini tidak terhubung dengan momen sebelumnya maupun sesudahnya.

Berdasarkan berbagai penelitian mengenai mindfulness, baik itu melalui praktik meditasi maupun kuesioner self-report, diketahui bahwa mindfulness berdampak positif terhadap well-being seorang individu. Holzel (2011) menyebutkan bahwa kecenderungan untuk merespon masalah secara mindful dapat menurunkan aktivitas amigdala, sehingga ketika dihadapkan pada suatu permasalahan respon emosi negatif tidak berlebihan (Holzel, 2011). Aktivitas amigdala yang tinggi berasosiasi dengan borderline personality dan depresi. Mindfulness juga dapat menurunkan burnout dan meningkatkan kesejahteraan mental pada dokter, perawat, psikolog, dan pekerja sosial melalui intervensi mindfulness based stress reduction (MBSR) (Goodman & Schorling, 2012). Trait Mindfulness yang diungkap dengan Mindful Awareness Attention Scale juga berkorelasi positif terhadap subjective well-being, kepuasan hidup, afek positif dan optimisme, serta berkorelasi negatif dengan neuroticism (Brown & Ryan, 2003).

Mindfulness bersifat inherent atau dapat diartikan bahwa setiap individu memiliki kapasitas untuk mindful dalam kehidupan sehari-harinya (Brown & Ryan, 2003). Namun demikian, di Indonesia penelitian mengenai mindfulness melalui kuesioner self-report untuk mengungkap trait mindfulness dalam diri seorang individu masih jarang dilakukan karena kebanyakan dari peneliti menggunakan metode eksperimen berupa meditasi dalam mengungkap pengaruh mindfulness terhadap well-being. Penelitian mengenai hubungan antara mindfulness dan subjective well-being juga belum pernah dilakukan (sejauh yang peneliti dapat temukan). Oleh karena itu,

(9)

pengembangan penelitian terkait hal tersebut masih harus terus dilakukan guna meningkatkan well-being dokter dan menciptakan lingkungan medis dan pelayanan terhadap pasien yang lebih baik dengan cara yang sederhana, yaitu dengan memiliki atensi dan kesadaran penuh dalam aktivitas sehari-hari. Kebutuhan yang besar untuk meningkatkan kesiapan mental para dokter internsip juga merupakan salah satu hal yang dipertimbangkan dalam pemilihan topik ini. Pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah “Apakah trait mindfulness memiliki hubungan yang positif dengan subjective well-being pada dokter yang sedang menjalani internsip?”

B. Tujuan

Berdasarkan rumusan permasalahan, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara mindfulness dan subjective well-being dokter yang sedang menjalani internsip.

C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wawasan dalam disiplin ilmu psikologi, khususnya psikologi positif, terutama terkait dengan subjective well-being dan mindfulness pada dokter internsip.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi dokter, khususnya dokter yang sedang menjalani internsip. Dengan demikian, dokter dapat meningkatkan subjective well-being demi pelayanan yang lebih baik terhadap pasien. Selain bermanfaat bagi dokter, penelitian ini juga diharapkan dapat mendorong instansi

(10)

kesehatan dan pemerintah untuk lebih mempersiapkan program internsip secara lebih matang dengan mengedepankan kesejahteraan dokter.

Referensi

Dokumen terkait

Berkaitan dengan hal tersebut diatas, permasalahan yang dibahas dalam tesis ini adalah tentang, pengaturan Corporate Social Responsibility di lingkungan BUMN, Implementasi

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai kinerja keuangan perusahaan sektor industry semen 2009-2013 (PT. Semen Indonesia, PT. Indocement Tunggal Prakarsa,

Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan penelitian Wijayanto (2013) menyatakan bahwa motivasi tidak memoderasi kepuasan kerja terhadap kinerja pegawai, dan

Peningkatan total ATMR bank-bank tersebut tidak hanya bersumber dari pengenaan bobot risiko kredit yang lebih tinggi, khususnya bobot risiko atas eksposur kepada sovereign

Pengaruh Konseling Gizi terhadap Pengetahuan, Sikap, Praktik Ibu dalam Pemberian Makan Anak, dan Asupan Zat Gizi Anak Stunting Usia 1-2 tahun di Kecamatan

Kampanye politik merupakan bentuk kegiatan dari komunikasi politik yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk memperoleh dukungan politik masyarakat (political

Kegiatan Triwulanan, Semesteran dan Tahunan. a) Menerima dan memverifikasi laporan keuangan yang diterima dari UAPPA-E1 setiap triwulan. b) Menggabungkan data laporan