• Tidak ada hasil yang ditemukan

VITAMIN C SEBAGAI ALTERNATIF PENGOBATAN VAGINOSIS BAKTERIAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "VITAMIN C SEBAGAI ALTERNATIF PENGOBATAN VAGINOSIS BAKTERIAL"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

VITAMIN C SEBAGAI ALTERNATIF

PENGOBATAN VAGINOSIS BAKTERIAL

Oleh:

I Dewa Ayu Vanessa Vijayamurthy

Pembimbing :

Dr.dr. A.A.G.P. Wiraguna, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD/RS SANGLAH

DENPASAR

(2)

i

DAFTAR ISI ……… i

BAB I PENDAHULUAN ………... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………. 3

2.1 Vaginosis Bakterial ………. 3 2.1.1 Pengertian ……….. 3 2.1.2 Sejarah ………..……….…… 3 2.1.3 Epidemiologi ………... 4 2.1.4 Patogenesis ……….. 5 2.1.5 Manifestasi klinis ………. 8

2.1.6 Diagnosis Vaginosis Bakterial ………. 9

2.1.6.1 Kriteria Spiegel ………...……… 9

2.1.6.2 Kriteria Nugent ………...… 9

2.1.6.3 Kriteria Amsel ………. 10

2.2 Penatalaksanaan Vaginosis Bakterial ………...… 12

2.2.1 Terapi standar vaginosis bakterial ………... 12

2.2.2 Vitamin C sebagai alternatif terapi vaginosis bakterial ………. 15

2.2.2.1 Pengertian, struktur, dan metabolisme vitamin C …….. 15

2.2.2.2 Sediaan vitamin C intravagina ……… 18

2.2.2.3 Pada kehamilan dengan vaginosis bakterial …………... 20

BAB III RINGKASAN ……… 23

(3)

1 BAB I PENDAHULUAN

Vaginosis bakterial (Bacterial Vaginosis atau BV) merupakan salah satu kelainan pada wanita yang menyebabkan rasa tidak nyaman, baik secara fisik maupun psikis. Permasalahan kelamin pada wanita dengan adanya duh tubuh, dari beberapa diantaranya adalah BV.

Vaginosis bakterial merupakan kelainan vagina yang paling umum terjadi pada wanita usia subur.1 Penyakit ini bertanggung jawab pada hampir setengah dari semua kasus duh tubuh vagina dan mempunyai gejala bau yang amis (fishy

odor), serta terkait dengan efek samping yang serius pada kehamilan dan akibat

yang ditimbulkan pasca melahirkan baik transmisi serta menderita IMS maupun

Human Immunodeficiency Virus (HIV).2 Beberapa efek serius BV terhadap biaya

reproduksi dan sekuele obstetri diantaranya adalah peningkatan risiko kelahiran prematur, berat bayi lahir rendah, keguguran, dan penyakit radang panggul. Sekuele ini mempunyai implikasi besar bagi biaya kesehatan yang dikeluarkan, dengan populasi risiko akibat BV untuk kelahiran prematur di Amerika Serikat (AS) diperkirakan dalam 1 dekade terakhir mencapai 30%, dengan biaya 1 milyar dolar AS.1

Etiologi dan patogenesis BV belum sepenuhnya jelas, kelainan ini ditandai oleh berkurangnya Lactobacillus spp., keanekaragaman spesies bakteri yang tinggi dan peningkatan yang berlebihan bakteri fakultatif anaerob seperti

Gardnerella vaginalis, Atopobium vaginae serta bakteri-bakteri lain terkait BV

mencakup Megasphaera, Sneathia dan Clostridiales spp. dibandingkan pada individu yang sehat.1,3 Adanya peningkatan dari pH vagina terjadi bersamaan dengan hal tersebut, yaitu pH lebih dari 4,5 menyebabkan penurunan spesies

Lactobacilli dan aktivitas antimikroba terkait Lactobacilli.4 Penelitian oleh Chen

dkk. (dan kawan-kawan) menunjukkan beberapa penanda stres oksidatif seperti konsentrasi MDA (malondialdehyde), H2O2 (hidrogen peroksida), dan aktivitas

(4)

(katalase) diamati dalam vagina pasien BV, menandakan bahwa stres oksidatif terdapat pada lingkungan mikro vagina pasien BV.5

Metronidazol oral merupakan pilihan terapi untuk BV saat ini, dengan tingkat kesembuhan dilaporkan 80-90%. Setelah terapi dengan metronidazol, 50-70% wanita akan mengalami rekurensi dalam 4-6 minggu, hampir 50-70% akan mengalami BV lagi dalam waktu 90 hari dan hingga 80% akan mengalami setidaknya episode dalam setahun. Penggunaan metronidazol sistemik mempunyai potensi efek samping selama terapi, meliputi mual, muntah, anoreksia, nyeri ulu hati, sakit kepala dan rasa metalik di mulut, kejang, neuropati, diare dan leukopenia. Potensi efek samping dengan metronidazol dan angka kesembuhan yang kurang optimal ditambah dengan tingginya tingkat kekambuhan dari BV setelah pengobatan memicu pencarian terapi alternatif.

Hubungan BV dengan peningkatan pH vagina minimbulkan pemikiran secara logika untuk penggunaan preparat asam dalam upaya menciptakan kembali lingkungan yang tidak mendukung bagi pertumbuhan patogen. Pengasaman vagina menyebabkan pertumbuhan bakteri non-patogen seperti Lactobacilli dan menghambat pertumbuhan bakteri patogen.6 Vitamin C atau asam askorbat bersifat asam lemah dan merupakan salah satu antioksidan. Selain mempunyai efek menjaga keasaman pada vagina, vitamin C juga dapat mengontrol stres oksidatif yang menginduksi apoptosis sel.5

Penatalaksanaan BV masih merupakan tantangan tersendiri, mengingat terapi dengan antibiotik yang tersedia saat ini banyak menimbulkan komplikasi dan efek samping bagi wanita hamil ataupun yang tidak hamil. Terdapat beberapa modalitas terapi alternatif lain yang dapat digunakan untuk BV, seperti vitamin C. Tinjauan pustaka ini menyampaikan mengenai terapi alternatif lain untuk BV dengan vitamin C, sehingga diharapkan dapat menambah wawasan dan pertimbangan dalam penatalaksanaan BV.

(5)

3 2.1 Vaginosis Bakterial

2.1.1 Pengertian

Vaginosis bakterial merupakan suatu sindrom polimikroba yang terjadi ketika terdapat ketidakseimbangan dari flora bakteri yang secara normal ada di vagina. Pergeseran terjadi dari Lactobacillus yang memproduksi hidrogen peroksidase mengalami penurunan sehingga meningkatkan konsentrasi organisme bakteri menjadi lebih besar meliputi G. vaginalis, Mobiluncus sp., M. hominis, batang Gram negatif anaerob termasuk genus Prevotella, Porphyromonas, dan

Bacteroides, serta Peptostreptococcus sp.7

2.1.2 Sejarah

Doderlein menemukan basil nonmotil sekitar 1 abad yang lalu, yang merupakan flora normal vagina wanita. Kuman tersebut dinamai Doderlein bacillus, yang akhirnya dikenal sebagai Lactobacillus. Tahun 1819, Menge dan Kronig mengisolasi mikroorganisme fakultatif serta obligat anaerob dari vagina. Studi ini mengawali pendapat bahwa flora normal vagina terdiri dari beberapa mikroorganisme dengan Lactobacillus sebagai flora normal yang dominan.

Tahun 1913, Curtis mengungkapkan 3 hal penting bahwa duh tubuh berasal dari vagina bukan uterus, duh tubuh vagina berwarna keputihan dan tidak mempunyai Doderlein bacillus dominan serta terdapat bakteri anaerob di vagina, terutama bakteri batang anaerob. Tahun 1950, Weaver melaporkan suatu hubungan antara tidak adanya Lactobacillus, keberadaan spesies anaerob dan vaginitis non spesifik. Weaver berkesimpulan tidak ada mikroorganisme tunggal yang menyebabkan gejala ini.

Tahun 1955, Gardner dan Dukes menemukan hubungan G. vaginalis dan vaginitis non spesifik, ini membuktikan G. vaginalis sebagai penyebab vaginosis non spesifik. Gardner dan Dukes gagal menemukan hubungan bakteri anaerob lain dan BV, selama lebih dari 25 tahun para tenaga kesehatan cenderung

(6)

mengabaikan potensi mikroorganisme lain selain G. vaginalis dalam menyebabkan BV.8

2.1.3 Epidemiologi

Prevalensi BV secara global sangat bevariasi antar suku bangsa disetiap negara, berkisar antara 10-30% pada populasi yang berbeda diseluruh dunia. Berdasarkan studi tinjauan sistematis terbaru yang mengevaluasi epidemiologi global BV sesuai dengan wilayah di dunia, Sub-Sahara Afrika mempunyai angka prevalensi tertinggi, diperkirakan mencapai 58% dari studi populasi. Pada tinjauan sistematis yang sama, prevalensi BV diperkirakan pada studi populasi hingga 51% di Asia Timur dan Pasifik, 32% di Asia Selatan dan Tenggara, 8% di Australia dan Selandia Baru, 50% di Timur Tengah dan Afrika Utara, 28% di Eropa Timur dan Asia Tengah, 23% di Eropa Barat, 30% di Amerika Utara, dan 49% di Amerika Latin dan Karibian.2

Wanita yang tidak pernah melakukan hubungan seksual dikatakan jarang menderita BV.9 BV merupakan infeksi vagina tersering pada wanita yang aktif melakukan hubungan seksual. Penyakit ini dialami pada 15% wanita yang mendatangi klinik ginekologi, 10-25% wanita hamil dan 33-37% wanita yang mendatangi klinik infeksi menular seksual.8

Di Indonesia, Krisnadi pada penelitiannya tahun 2000 di Bandung, mendapatkan prevalensi vaginosis bakterial sebesar 14,7%,10 sedangkan berdasarkan catatan registrasi pasien yang berobat di sub bagian IMS poliklinik kulit dan kelamin RSUP Sanglah Denpasar periode Januari-Desember 2015 didapatkan BV sebanyak 27 kasus.11 Pada penelitian Effendi tahun 2004 di RSU dr. Pirngadi Medan dengan menggunakan kriteria Amsel, dijumpai prevalensi BV sebesar 25,7%, dan dengan menggunakan skor Nugent pada pewarnaan Gram dijumpai sebesar 28,7%. Sulistyowati dkk. melakukan penelitian secara retrospektif berdasarkan catatan medik pasien BV yang berobat di sub bagian IMS poliklinik kulit dan kelamin RSUD dr. Moewardi Surakarta periode Januari-Desember 2011. Pada penelitian ini diketahui bahwa jumlah BV sebanyak 56,25%, dengan distribusi pasien BV berdasarkan kelompok umur terbanyak

(7)

adalah 25-44 tahun sebanyak 43,75%, 15-24 tahun sebanyak 31,25%. Status pernikahan terbanyak adalah menikah sebanyak 81,25%, belum menikah 12,5%, janda orang 5,25%. Faktor resiko terbanyak pasien BV adalah douching vagina sebanyak 87,5%, 12,5% menggunakan Intra Uterine Device (IUD). Keluhan utama terbanyak adalah keluarnya duh tubuh vagina yang disertai dengan gatal sebanyak 12 orang (75%), terdapat juga keluhan perih pada 2 orang (12,5%), dan tanpa keluhan pada 2 orang (12,5%). Keluhan duh tubuh yang dialami lebih dari 14 hari sebanyak 8 orang (50%). Duh tubuh vagina terbanyak adalah mukous sebanyak 14 orang (87,5%). Diagnosis penyerta terbanyak adalah kandidiasis vulvovaginalis sebanyak 5 orang (31,25%), 1 orang (6,25%) dengan kondiloma akuiminata, dan 1 orang (6,25%) dengan servisitis gonokokal.10

2.1.4 Patogenesis

Sekelompok kuman harus bekerja secara sinergistik untuk menimbulkan kejadian vaginosis. Flora campuran kuman anaerob dapat tumbuh secara berlebihan sebagai akibat adanya peningkatan substrat, peningkatan pH, dan hilangnya dominasi flora normal Lactobacillus yang menghambat pertumbuhan kuman lain. Pada wanita normal dijumpai kolonisasi strain Lactobacillus yang mampu memproduksi H2O2, sedangkan pada pasien vaginosis terjadi penurunan jumlah

populasi Lactobacillus secara menyeluruh, sementara populasi yang tersisa tidak mampu menghasilkan H2O2. Hidrogen peroksida dapat menghambat pertumbuhan

kuman-kuman yang terlibat dalam vaginosis, yaitu oleh terbentuknya H2O-halida

karena pengaruh peroksidase alamiah yang berasal dari serviks. Akibat meningkatnya pertumbuhan kuman, produksi senyawa amin oleh kuman anaerob juga bertambah, yaitu berkat adanya dekarboksilase mikrobial. Senyawa amin yang terdapat pada cairan vagina yaitu putresin, kadaverin, metilamin, isobutilamin, fenetilamin, histamin, dan tiramin.3,12

Akibat dari perubahan keseimbangan antara mikroorganisme protektif (Lactobacillus) dan patogen potensial pada lingkungan mikro vagina pasien BV, terdapat sejumlah besar reactive oxidant species (ROS) yang dihasilkan serta diakumulasi dalam saluran genital sehingga menyebabkan stres oksidatif. Hal

(8)

tersebut telah dilaporkan sebagai pencetus penting apoptosis sel melalui jalur mitokondria. Lactobacillus secara normal memproduksi sedikit H2O2 yang toksik

terhadap sebagian besar mikroorganisme sehingga memberikan mekanisme perlindungan intrinsik pada kompartemen vagina. MDA sebagai radikal bebas yang memungkinkan modifikasi biomolekular dan menginduksi kerusakan oksidatif terhadap mikroorganisme, sehingga menguntungkan untuk melindungi efek dari H2O2. Hidrogen peroksida yang tinggi diproduksi berlebihan maka akan

menyebabkan oksidasi target selular seperti DNA, protein dan lipid mengakibatkan mutagenesis dan kematian sel.5

Bakteri anaerob dan enzim yang bukan diproduksi oleh Gardnerella dalam suasana pH vagina yang meningkat akan mudah menguap dan menimbulkan bau amis, bau serupa juga dapat tercium jika pada duh tubuh vagina yang diteteskan KOH 10%. Senyawa amin aromatik yang berkaitan dengan timbulnya bau amis tersebut adalah trimetilamin, suatu senyawa amin abnormal yang dominan pada BV. Bakteri anaerob akan memproduksi aminopeptida yang akan memecah protein menjadi asam amino dan selanjutnya menjadi proses dekarboksilasi yang akan mengubah asam amino dan senyawa lain menjadi amin, yaitu dekarboksilasi ornitin (metabolit arginin) akan menghasilkan putresin, dekarboksilasi lisin akan menghasilkan kadaverin dan dekarboksilasi betain (metabolit kolin) akan menghasilkan trimetilamin. Poliamin asal bakteri ini bersamaan dengan asam organik yang terdapat dalam vagina pasien BV, yaitu asam asetat dan suksinat, bersifat sitotoksik dan menyebabkan eksfoliasi epitel vagina. Hasil eksfoliasi yang terkumpul membentuk duh tubuh vagina. Pada pH yang alkalis Gardnerella

vaginalis melekat erat pada sel epitel vagina yang lepas dan membentuk clue cells. Clue cells secara mikroskopik tampak sebagai sel epitel yang sarat dengan

(9)

Gambar 1. Patogenesis vaginosis bakterial.14

Pola berkurangnya Lactobacillus Pola patogen utama

Gambar 2. Pola kompetisi bakteri vagina penyebab vaginosis bakterial.15

Penurunan H2O2 yang

diproduksi Lactobacillus

Pertumbuhan yang berlebihan bakteri oportunistik anaerob & fakultatif

Masuknya bakteri patogen

anaerob & fakultatif Pergeseran Lactobacillus

Insult

?

(10)

2.1.5 Manifestasi klinis

Sebagian besar yakni sekitar 50%-75% wanita yang menderita BV dapat bersifat asimtomatik. Wanita yang menderita BV mempunyai keluhan adanya duh tubuh vagina yang berbau amis, encer, berwarna putih keabuan. Pruritus vulvo-vagina dan inflamasi jarang pada BV. Pada pemeriksaan fisik ditemukan duh tubuh seperti susu, yang homogen, melapisi dan melekat pada dinding vagina.7

Studi cross-sectional pada pasien rawat jalan, BV secara signifikan berhubungan dengan gejala vagina berbau tidak sedap (49% pasien BV dibandingkan pada pasien tanpa BV hanya 20%) dan duh tubuh vagina (50% pada pasien BV dibandingkan tanpa BV hanya 37%) serta dengan tanda klinis berupa duh tubuh homogen encer, putih, duh tubuh yang melekat secara merata pada dinding vagina (69% wanita dengan BV dibandingkan hanya 3% yang bukan BV). Hampir keseluruhan wanita dengan BV mempunyai pH vagina > 4,5 ketika diukur dengan kertas pH, meskipun temuan ini tidak berarti spesifik untuk BV. Bau amis yang terjadi saat duh tubuh vagina ditetesi dengan KOH 10% (“whiff

test”) terdapat pada 43% pasien yang menderita BV dibandingkan hanya 1% pada

yang tidak menderita BV. Pada pemeriksaan mikroskopis duh tubuh vagina dengan pembesaran 400x dapat diamati adanya clue cells > 20% sel-sel epitel vagina yang terdapat pada 81% pasien BV dibandingkan 6% pada pasien tanpa BV.3

(11)

2.1.6 Diagnosis Vaginosis Bakterial 2.1.6.1 Kriteria Spiegel

Metode pemeriksaan Spiegel merupakan penilaian yang berdasar pada jumlah kuman Lactobacillus, Gardnerella dan flora campuran dalam menegakkan diagnosis BV. Kriteria Spiegel bersifat lebih tegas karena hanya terdapat 2 kriteria aja, yaitu normal dan BV positif, sehingga lebih memudahkan dalam menentukan perlu atau tidaknya dilakukan terapi.16

Pada pengecatan Gram yang menunjukkan predominasi (3+ hingga 4+)

Lactobacillus, dengan atau tanpa morfotipe Gardnerella, diinterpretasikan

normal. Pengecatan Gram yang menunjukkan flora campuran meliputi bakteri Gram positif, bakteri Gram negatif, atau bakteri Gram variabel dan morfotipe

Lactobacillus menurun atau tidak ada (0 sampai 2+), diinterpretasikan infeksi BV.

Setiap morfotipe bakteri diamati pada pemeriksaan dibawah mikroskop dengan pembesaran objektif 100 kali kemudian dijumlahkan (dari rerata 10 lapangan pandang). Skoring untuk morfotipe kuman terdiri atas 4 kelas, yaitu 1+ jika ditemukan sebanyak < 1 per lapangan pandang; 2+ jika ditemukan sebanyak 1-5 per lapangan pandang; 3+ jika ditemukan sebanyak 6-30 per lapangan pandang; dan 4+ jika ditemukan sebanyak > 30 per lapangan pandang.3,16,17

Tabel 1. Klasifikasi kriteria BV menurut sistem skor Spiegel.16

SKOR JUMLAH MORFOTIPE ORGANISME PER LAPANG PANDANG

0 Tidak ada 1+ < 1 2+ 1-4 3+ 5-30 4+ > 30 2.1.6.2 Kriteria Nugent

Kriteria Nugent atau juga dikenal sebagai skor Nugent merupakan metode diagnosis infeksi BV dengan pendekatan berdasarkan jumlah bakteri yang ada pada duh tubuh vagina. Kriteria Nugent merupakan modifikasi dari metode Spiegel dalam penghitungan jumlah kuman pada preparat basah duh tubuh vagina.

(12)

Kriteria Nugent dinilai dengan adanya gambaran Lactobacillus,

Gardnerella vaginalis dan Mobiluncus spp. (skor dari 0 sampai 4 tergantung pada

ada atau tidaknya pada preparat). Kuman batang Gram negatif/ Gram variabel kecil (Garnerella vaginalis) jika lebih dari 30 bakteri per lapangan minyak imersi (oif) diberi skor 4; 6-30 bakteri per oif diberi skor 3; 1-5 bakteri per oif diberi skor 2; kurang dari 1 per oif diberi skor 1; dan jika tidak ada diberi skor 0. Kuman batang Gram-positif besar (Lactobacillus) skor terbalik, jika tidak ditemukan kuman tersebut pada preparat diberi skor 4; kurang dari 1 per oif diberi skor 3; 1-5 per oif diberi skor 2; 6-30 per oif diberi skor 1; dan lebih dari 30 per oif diberi skor 0. Kuman batang Gram berlekuk-variabel (Mobiluncus sp.), jika terdapat lima atau lebih bakteri diberi skor 2, kurang dari 5 diberi skor 1, dan jika tidak adanya bakteri diberi skor 0. Semua skor dijumlahkan hingga nantinya menghasilkan nilai akhir dari 0 sampai 7 atau lebih. Kriteria untuk infeksi BV adalah nilai 7 atau lebih tinggi; skor 4-6 dianggap sebagai intermediet, dan skor 0-3 dianggap normal.17,18

Tabel 2. Klasifikasi kriteria BV menurut sistem skor Nugent.16

SKOR

JUMLAH MORFOTIPE ORGANISME PER LAPANG PANDANG BESAR

Lactobacillus (batang

Gram positif tersusun paralel)

Gardnerella/ Bacteriodes

(kokobasil kecil, Gram campuran, dan batang Gram negatif pleomorfik dengan vakuola) Mobiluncus (batang Gram negatif lengkung) 0 > 30 0 0 1 5-30 < 1 1-5 2 1-4 1-4 > 5 3 < 1 5-30 4 0 > 30 2.1.6.3 Kriteria Amsel

Kriteria Amsel dalam penegakan diagnosis BV harus terpenuhi 3 dari 4 kriteria berikut:

a. Adanya peningkatan jumlah duh tubuh vagina yang bersifat homogen. Keluhan yang sering ditemukan pada wanita dengan BV adalah adanya

(13)

gejala duh tubuh vagina yang berlebihan, berwarna putih yang berbau amis dan menjadi lebih banyak setelah melakukan hubungan seksual. Pada pemeriksaan spekulum didapatkan duh tubuh vagina yang encer, homogen, dan melekat pada dinding vagina tetapi mudah dibersihkan. Pada beberapa kasus, duh tubuh vagina terlihat berbusa yang gejalanya hampir mirip dengan infeksi trikomoniasis sehingga kadang sering terjadi kesalahan dalam menegakkan diagnosis.13

b. pH duh tubuh vagina yang lebih dari 4,5

pH vagina ditentukan dengan pemerikasaan duh tubuh vagina yang diambil dari dinding lateral vagina menggunakan lidi kapas dan dioleskan pada kertas strip pH.(2,5,7). Pemeriksaan ini cukup sensitif, 90% dari pasien BV mempunyai pH duh tubuh vagina lebih dari 5; tetapi spesitifitas tidak tinggi karena pH juga dapat meningkat akibat pencucian vagina, menstruasi atau adanya sperma. pH yang meningkat akan meningkatkan pertumbuhan flora vagina yang abnormal.13

c. Whiff test Positif

Whiff test diuji dengan cara meneteskan KOH 10% pada duh tubuh vagina,

pemeriksaan dinyatakan positif jika setelah penentesan tercium bau amis.1,4,20 Peningkatan pH vagina menyebabkan asam amino mudah terurai dan mengeluarkan putresin serta kadaverin yang berbau amis khas. Bau amis ini mudah tercium pada saat melakukan pemeriksaan spekulum, dan ditambah bila duh tubuh vagina tersebut ditetesi KOH 10%. Cara ini juga memberikan hasil yang positif terhadap infeksi trikomoniasis.13

d. Clue cells ditemukan pada pemeriksaan mikroskopis

Menemukan clue cells di dalam duh tubuh vagina merupakan hal yang sangat esensial pada kriteria Amsel. Clue cells merupakan sel-sel epitel vagina yang dikelilingi oleh bakteri Gram variabel coccobasilli sehingga pada keadaan normal sel epitel vagina yang ujung-ujungnya tajam, perbatasanya menjadi tidak jelas atau berbintik. Clue cells dapat ditemukan dengan pengecatan Gram duh tubuh vagina dengan

(14)

pemeriksaan laboratorium sederhana dibawah mikroskop cahaya, jika ditemukan paling sedikit 20% pada lapangan pandang.18

Gambar 4. Clue cell pada BV dan sel epitel normal vagina.

Tabel 3. Kriteria Amsel untuk Diagnosis BV.19

No. Kriteria

1. Duh tubuh vagina yang spesifik (berwarna putih seperti krim yang homogen dan melekat pada dinding vagina).

2. Peningkatan pH vagina > 4,5.

3. Tes amin positif (bau amis yang khas bila cairan vagina ditetesi KOH 10%). 4. Adanya clue cells pada pemeriksaan cairan vagina dengan mikroskop.

2.2 Penatalaksanaan Vaginosis Bakterial 2.2.1 Terapi standar vaginosis bakterial

Metronidazol sudah digunakan secara luas untuk pengobatan BV sejak tahun 1980 dengan hasil yang cukup memuaskan. Metronidazol dalam sediaan oral ataupun intravagina telah diteliti sebagai terapi pada BV. Efektivitas agen metronidazol untuk pengobatan BV telah terbukti dalam banyak studi yang meneliti ribuan wanita yang menderita BV, dengan angka kesembuhan mencapai 71-89% atau lebih selama pengamatan satu bulan setelah terapi. Metronidazol bersifat antiprotozoa dan antibakteri yang aktif terhadap bakteri anaerob Gram negatif serta Mobiluncus mulieris, dan kurang efektif terhadap G. Vaginalis serta

Mobiluncus curtisii.3

Metronidazol dapat diberikan per oral maupun intravagina untuk pengobatan BV. Pemberian metronidazol 500 mg per oral dua kali sehari selama 7

(15)

hari atau 2 gram per oral dosis tunggal direkomendasikan oleh CDC (Centers for

Disease Control and Prevention) dan WHO (World Health Organization) sebagai

terapi standar untuk BV bagi wanita yang tidak hamil. Sediaan metronidazol 0,75% dalam gel vagina juga dapat digunakan sekali sehari selama 5 hari untuk terapi wanita dengan BV yang tidak hamil.2,7

Terdapat beberapa efek samping pengobatan dengan metronidazol yaitu berupa keluhan gastrointestinal seperti rasa logam di mulut, nausea, muntah, infeksi kandida dan disulfiram like reaction setelah mengkonsumsi alkohol. Adanya efek samping tersebut akan menyebabkan penurunan tingkat kepatuhan pasien untuk mengkonsumsi obat selama 7 hari, sehingga meningkatkan risiko BV rekuren serta resistensi terhadap metronidazol. Metronidazol dapat digunakan pada kondisi tersebut, yang diketahui mempunyai efek samping lebih rendah.3,20,21

Antimikroba lain yang dapat digunakan sebagai lini kedua terapi vaginosis bakterial adalah klindamisin. Klindamisin merupakan antimikroba golongan linkosamid. Klindamisin terdapat dalam sediaan tablet dan krim atau ovule vagina.22 Efektifitas klindamisin oral untuk pengobatan BV pertama kali dilaporkan oleh Greaves dkk. melalui penelitian pada 143 wanita yang menerima metronidazol 500 mg per oral dua kali perhari selama 7 hari atau klindamisin 300 mg per oral dua kali perhari selama 7 hari. Efikasi klinis dalam 1 minggu mencapai 94% untuk kelompok yang menerima klindamisin oral, sedangkan 96% untuk kelompok yang menerima metronidazol oral. Pada kelompok klindamisin dilaporkan terjadi efek samping sebesar 16% dan pada kelompok metronidazol efek samping mencapai 22%. Klindamisin oral sama efektifnya dengan metronidazol untuk terapi BV dan terutama dapat diberikan untuk wanita hamil.3

Efek samping klindamisin pada saluran cerna lebih ringan daripada metronidazol, seperti nausea, muntah, diare dan kolitis pseudomembranosa pada kasus yang jarang. Efek samping lain berupa iritasi vagina dapat terjadi jika menggunakan sediaan klindamisin intravagina serta risiko infeksi jamur adalah sama pada kedua jenis antibiotika tersebut.2,3

Tinidazol adalah antibiotik golongan nitroimidazol, dan pemakaiannya untuk pengobatan vaginosis bakterial dilaporkan di Eropa, Asia serta Amerika

(16)

Latin. Tinidazol telah disetujui penggunaannya oleh FDA sebagai terapi vaginosis bakterial di Amerika.23

Tinidazol telah digunakan secara luas untuk terapi BV dengan dosis rejimen oral yang bervariasi, dapat 2 gram sebagai dosis tunggal, 500 mg dua kali sehari selama 5 hari, dan 150 mg dua kali sehari selama 5 hari serta sebagai rejimen intravagina (diberikan dalam bentuk tablet) dengan dosis 500 mg perhari selama 14 hari. Efikasi tinidazol dengan 2 gram dosis tunggal, berkisar 46% hingga 71% yang diberikan plasebo dan 75% hingga 94% ketika dibandingkan setara dengan rejimen metronidazol atau klindamisin. Efikasi tinidazol dengan dosis 2 gram diberikan perhari untuk 2 hari, berkisar 50% hingga 80%.3

Efek samping pemberian tinidazol hampir sama dengan metronidazol meliputi gangguan gastrointestinal serta infeksi jamur.24 Penatalaksanaan vaginosis bakterial menurut pedoman nasional penanganan infeksi menular seksual tahun 2011 dapat dilihat pada tabel 4.25

Tabel 4. Regimen Terapi Vaginosis Bakterial Berdasarkan Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual Tahun 2011.25

Lini Terapi

I. 1. Metronidazol 2 gram per oral dosis tunggal II 1. Metronidazol 2x500 mg per oral selama 7 hari

2. Klindamisin 2x300 mg per oral selama 7 hari

Penatalaksanaan pada wanita hamil yang menderita BV menurut CDC dapat diberikan metronidazol 500 mg peroral dua kali perhari selama 7 hari atau dengan dosis 250 mg peroral tiga kali perhari selama 7 hari. Selain itu pada wanita hamil dengan BV juga dapat diberikan klindamisin 300 mg peroral dua kali perhari selama 7 hari. Centers for Disease Control and Prevention juga tidak merekomendasikan preparat vagina untuk BV seperti gel, krim maupun tablet

ovule pada kehamilan karena kurangnya penyerapan sistemik dan kekhawatiran

(17)

2.2.2 Vitamin C sebagai alternatif terapi vaginosis bakterial

Kurangnya bukti yang kuat tentang efektifitas antibiotik dalam mencegah infeksi terkait kelahiran prematur, kekhawatiran tentang masalah keamanan dan risiko meningkatnya resistensi antibiotik, telah memicu penelitian alternatif pengobatan baru non-antibiotik. Suatu pengobatan yang mengembalikan mikroflora normal vagina dan keasaman tanpa menyebabkan efek sistemik atau masalah resistensi bakteri dapat menjadi lebih diminati. Pengasaman vagina dengan asam askorbat (vitamin C) adalah salah satu pendekatan alternatif.26,27 Beberapa penelitian

randomized controlled trials baru-baru ini mengevaluasi efektivitas vitamin C

intravagina sebagai pilihan alternatif untuk pengobatan dan pencegahan BV.2

2.2.2.1 Pengertian, struktur, dan metabolisme vitamin C

Istilah vitamin C digunakan sebagai deskripsi generik asam askorbat (bentuk tereduksi) dan asam dehidroaskorbat (bentuk teroksidasi). Hanya L-isomer dari kedua bentuk yang memiliki aktivitas vitamin. Vitamin C terlibat dalam sintesis kolagen dan penggabungan plasma besi menjadi ferritin, yang dibutuhkan untuk fungsi neutrofil dan penurunan sirkulasi glukokortikoid. Selain itu, vitamin C memainkan peran penting dalam respon imun (kekebalan). Vitamin C juga mereduksi tokoferol teroksidasi menjadi bentuk aktif di hati.28

Vitamin C terdiri dari enam karbon lakton yang disintesis dari glukosa pada berbagai spesies hewan. Vitamin C disintesis di hati pada beberapa mamalia dan di ginjal pada burung serta reptil. Beberapa spesies termasuk manusia, primata non-manusia, marmut, kelelawar buah India, dan kutilang merah Nepal tidak dapat mensintesis vitamin C. Pada saat terjadi ketidakcukupan diet vitamin C, manusia berpotensi menderita penyakit defisiensi scurvy yang mematikan. Manusia dan primata kekurangan enzim terminal pada jalur biosintesis asam askorbat, L-gulonolakton oksidase, karena gen pengkodean untuk enzim telah mengalami mutasi besar sehingga tidak ada protein yang diproduksi.29

(18)

Gambar 5. Struktur kimia asam askorbat (vitamin C).28

Vitamin C adalah donor elektron (pereduksi atau antioksidan), dan semua peran biokimia serta molekuler dapat dijelaskan oleh fungsi ini. Vitamin C merupakan antioksidan kuat karena dapat menyumbangkan atom hidrogen dan membentuk ascorbyl yang relatif stabil pada radikal bebas (yaitu L-askorbat anion, gambar 6). Sebagai pengikat ROS, askorbat telah terbukti efektif terhadap anion radikal superoksida, hidrogen peroksida, radikal hidroksil, dan singlet oksigen. Vitamin C juga pengikat oksida nitrogen reaktif spesies untuk mencegah nitrosasi dari molekul target. Radikal bebas ascorbyl dapat dikonversi kembali untuk mengurangi askorbat dengan menerima atom hidrogen lain atau dapat mengalami oksidasi lebih lanjut menjadi dehidroaskorbat. Dehidroaskorbat tidak stabil tapi lebih larut dalam lemak daripada askorbat dan diangkut 10-20 kali lebih cepat oleh eritrosit, dehidroaskorbat akan berkurang kembali menjadi askorbat dengan bantuan GSH (Glutathione) atau NADPH (Nicotinamide Adenine

Dinucleotide Phosphate) dari monofosfat heksosa shunt.29

(19)

Terdapat mekanisme untuk mendaur ulang vitamin C, yang mirip dengan vitamin E. Adanya mekanisme untuk mempertahankan askorbat plasma pada status penurunan yang berarti bahwa kadar vitamin C diperlukan untuk aktivitas antioksidan optimal adalah tidak mutlak karena pergantian akan berubah dalam merespon tekanan oksidan. Daur ulang vitamin C akan tergantung pada reducing

environment yang ada di sel-sel aktif secara metabolik. Pada jaringan atrofi atau

jaringan yang inflamasi, viabilitas sel dapat gagal dan dengan itu mampu untuk mendaur ulang vitamin C. Pada kondisi seperti itu, kemampuan pelepasan granulosit baru atau makrofag untuk mengikat vitamin C dari cairan sekitarnya dapat sangat berharga untuk konservasi suatu nutrisi esensial serta mengurangi risiko askorbat menjadi pro-oksidan melalui kemampuannya untuk mengurangi zat besi.28,29

Penelitian yang dilakukan Zhaojie Chen et al. (2015) menemukan bahwa konsentrasi MDA dan H2O2 pada duh tubuh pasien BV lebih tinggi secara

signifikan daripada wanita sehat, yang kemungkinan karena pertumbuhan berlebihan patogen memicu stres oksidatif pada saluran vagina pasien BV. Akibat stres oksidatif maka dihasilkan ROS dalam jumlah besar. Kelebihan ROS mengoksidasi molekul selular dan menghasilkan sejumlah besar H2O2 dan MDA.

Kelebihan produksi H2O2 menyebabkan kerusakan oksidatif terhadap sel-sel epitel

mukosa dan bahkan kematian sel. Selain itu, kelebihan MDA mengakibatkan kerusakan sel-sel epitel normal dan lebih lanjut memicu produksi ROS. Pada saluran vagina, ROS menyerang mukosa vagina dan menginduksi kematian sel epitel mukosa.

Beberapa enzim antioksidan seperti SOD dan CAT menunjukkan peran sebagai perlindungan terhadap stress oksidatif. SOD mengkatalis reaksi dismutasi ion superoksida (O2∙-) pada H2O2. CAT mencari toksik H2O2 dengan mengkatalis

penguraian menjadi O2 dan H2O. Aktivitas CAT yang tinggi merupakan penentu

penting fungsi SOD. Aktivitas SOD yang secara signifikan lebih rendah dan aktivitas CAT yang lebih rendah telah diamati pada pasien BV dibandingkan pada wanita sehat serta perubahan tersebut memungkinkan untuk pulih kembali dengan terapi metronidazol dan vitamin C. Keseluruhan hasil tersebut mengesankan

(20)

bahwa stres oksidatif ditimbulkan pada lingkungan mikro vagina pasien BV dan mempengaruhi perkembangan BV.5

2.2.2.2 Sediaan vitamin C intravagina

Asam askorbat disetujui penggunaannya pada makanan sebagai vitamin dan antioksidan.28 Saat ini vitamin C tersedia sebagai tablet intravagina. Vitamin C intravagina diformulasikan secara khusus untuk menormalkan flora vagina. Formulasi ini dapat melepaskan asam askorbat yang cukup secara perlahan selama beberapa jam untuk mencapai penurunan pH intravagina dan menghambat semua bakteri yang tidak dapat tumbuh pada pH kurang dari atau sama dengan 4 khususnya bakteri anaerob yang tidak diinginkan. Vitamin C intravagina diindikasikan sebagai pengobatan vaginosis bakterial akut atau kronis (kolpitis yang tidak spesifik) untuk menormalkan ketidakseimbangan flora vagina. Dosis dan aturan pemakaiannya yaitu satu tablet vitamin C intravagina per hari, sebaiknya diberikan pada saat akan tidur. Tiap tablet vitamin C intravagina mengandung asam askorbat 250 mg. Tablet tersebut diinsersikan ke dalam vagina, dengan satu siklus terapeutik selama enam hari biasanya cukup untuk mengatasi gangguan bakteri flora vagina ringan ataupun sedang. Pada kasus gangguan flora vagina yang berat yaitu ketiadaan lactobacilli total atau selama kehamilan dianjurkan pengobatan jangka panjang selama beberapa minggu dan tidak terdapat informasi adanya pembatasan waktu. Kontraindikasi vitamin C intravagina yaitu pada pasien dengan hipersensitivitas terhadap asam askorbat.30

Terdapat beberapa penelitian tentang khasiat vitamin C intravagina. Hasil studi ini mendukung penggunaan yang efektif dan aman dari vitamin C intravagina dalam enam hari sebagai rejimen monoterapi pada wanita dengan BV. Petersen dkk. pada tahun 2011, mengamati subjek penelitian pada 8-14 hari setelah pengobatan, keseluruhan 4 kriteria Amsel berkurang secara signifikan pada kelompok vitamin C.31 Dalam rangka untuk mengevaluasi efek jangka panjang dari penggunaan vitamin C intravagina, dilakukan uji coba dengan pengobatan dan rejimen perawatan. Studi sebelumnya oleh Petersen dkk. (2004) menunjukkan peningkatan bertahap pH vagina satu dan dua minggu setelah 6 hari

(21)

pengobatan dengan monoterapi vitamin C intravagina,32 tetapi dalam penelitian Jana Zodzika (2014) pH vagina normal dapat dipertahankan dengan proporsi peserta yang lebih besar yang menggunakan vitamin C sebagai rejimen perawatan dibandingkan kontrol. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Ugwumadu et al (2004), prevalensi mikroflora vagina abnormal dan pH juga agak menurun tanpa pengobatan, tetapi hasilnya signifikan lebih baik pada kelompok intervensi.26

Kewaspadaan terhadap asam askorbat (vitamin C) palsu ditentukan dari glukosa urin, laktat dehidrogenase dan transaminase serum serta bilirubin serum. Kontraindikasi vitamin C intravagina juga terhadap pasien dengan infeksi mikotik vagina, oleh karena itu sebelum memulai pengobatan harus dilakukan tes untuk menyingkirkan adanya kandida atau jamur lain. Pengobatan dengan vitamin C intravagina ini lebih baik dimulai setelah menstruasi, tetapi dapat dilanjutkan jika diperlukan bahkan selama menstruasi. Setelah normalisasi flora vagina pada beberapa kasus dapat terjadi superinfeksi mikotik, dalam kasus seperti ini penggunaan vitamin C intravagina harus dihentikan.30

Vitamin C intravagina dapat digunakan selama kehamilan dan menyusui di bawah kontrol medis.30 Penelitian yang dilakukan Jana Zodzika (2014), penggunaan jangka panjang asam askorbat intravagina memperbaiki flora abnormal vagina, terutama pada wanita hamil.26 Hasil penelitian tersebut konsisten dengan temuan penelitian double-blind oleh Petersen, studi

placebo-controlled.31 Penelitian Jana Zodzika (2014) menunjukkan endpoint (titik akhir)

kemanjuran (efikasi) pada wanita hamil dengan hasil yang lebih baik dari populasi total penelitian dan tingkat kesembuhan mencapai 70,7% (dibandingkan pada kontrol 29,3%), yang sebanding dengan uji coba pengobatan antibiotik untuk flora abnormal vagina pada kehamilan, menggunakan klindamisin intravagina atau metronidazol oral, tetapi lebih rendah dibandingkan dengan klindamisin oral. Penjelasan lain yang mungkinkan adalah perubahan perilaku seksual selama kehamilan dan produksi kadar yang tinggi dari estriol dan hormon steroid lainnya oleh plasenta. Hal ini juga diketahui bahwa estrogen meningkatkan kolonisasi

lactobacilli dengan meningkatkan glikogen yang diproduksi sel epitel vagina,

(22)

Tingginya kadar estriol bisa memberikan manfaat tambahan untuk pH asam yang disebabkan oleh asam askorbat dalam menciptakan kembali lingkungan vagina yang normal. Hal Ini juga dapat menjelaskan, perbaikan parsial pH vagina pada kelompok kontrol (wanita dengan pH vagina > 4,5, dan 2 wanita hamil dengan pH vagina < 4,5) dalam penelitian Jana Zodzika, meskipun kurang menonjol pada kelompok perlakuan. Mekanisme ini juga didukung oleh hasil penelitian regimen probiotik/ estriol intravagina, penyembuhan mikrobiologis kasus BV lebih baik pada kelompok penelitian dibanding plasebo.26

Efek samping yang dapat terjadi pada penggunaan vitamin C intravagina meliputi rasa gatal di dalam vagina pada kasus yang jarang terjadi atau sensasi seperti terbakar dapat terjadi setelah pemberian vitamin C intravagina. Hal ini merupakan fenomena umum sehingga menjadi lebih atau kurang diamati dalam pengobatan dengan semua terapi pada vagina.

Interaksi vitamin C intravagina dapat terjadi dengan obat-obatan lain yang tidak diketahui. Beberapa interaksi berikut dilaporkan, dengan mempertimbangkan pemberian vitamin C (asam askorbat) per oral diantaranya, salisilat merangsang ekstraksi vitamin C, estrogen meningkatkan bioavailabilitas vitamin C, efek antikoagulan berkurang dengan vitamin C. Asam askorbat juga meningkatkan penyerapan zat besi dalam usus kecil. Overdosis untuk penggunaan vitamin C intravagina tidak pernah terjadi karena bentuk formulasi dari vitamin C intravagina ini, meskipun overdosis setinggi 100 gram dengan pemakaian vitamin C secara oral per hari dapat ditoleransi dengan baik.30

2.2.2.3 Pada kehamilan dengan vaginosis bakterial

Penelitian yang dilakukan Jana Zodzika menemukan bahwa peningkatan pH vagina dan mikroflora abnormal vagina selama trimester pertama kehamilan dikaitkan dengan keguguran dini dan kelahiran prematur pada populasi non-intervensi, dibandingkan dengan kelompok mikroflora normal vagina. Keguguran dini adalah efek merugikan pada kehamilan yang paling umum pada kedua kelompok studi normal dan abnormal vaginal flora (AVF), hal tersebut lebih rendah pada wanita hamil dengan mikroflora normal vagina dan kondisi yang

(23)

asam pada vagina. Hobel dan Ralph juga menemukan BV berhubungan dengan keguguran pada trimester pertama. Hasil tersebut mungkin menekankan pengobatan AVF awal (< 20 minggu kehamilan), pengobatan disarankan dengan klindamisin pada penelitian, meskipun wanita dengan pengobatan klindamisin intravagina pada penelitian ini tidak menunjukkan manfaat apapun, dibandingkan dengan vitamin C atau kelompok kontrol, yang dapat dijelaskan juga oleh sejumlah kecil kasus. Tidak seperti temuan penelitian lain, hubungan antara AVF dan keguguran tidak ditemukan, yang juga dapat dijelaskan dengan sejumlah kecil peserta. Hasil ini konsisten dengan data lain yang menunjukkan peningkatan risiko kelahiran prematur pada ibu hamil dengan AVF.26

Hasil penelitian Jana Zodzika, pada semua kelompok intervensi AVF (semua peserta dengan AVF, yang telah menerima vitamin C intravagina atau klindamisin intravagina atau antibiotik sistemik) tidak lebih baik dibandingkan dengan kelompok AVF yang tidak diobati, wanita hamil, yang menerima vitamin C, memiliki hasil yang lebih baik secara statistik signifikan yaitu berkurangnya kejadian keguguran dan tidak ada kelahiran prematur, dibandingkan dengan kelompok AVF non-intervensi.26

Peran mikroflora abnormal vagina pada pertumbuhan janin masih kontroversial, karena banyak faktor negatif dapat mempengaruhi hal tersebut. Terdapat penelitian yang tidak mendukung dampak infeksi genital pada pertumbuhan janin, tetapi banyak peneliti lain menunjukkan sebaliknya.33,34,35 Pada kebanyakan studi, BV dikaitkan dengan pertumbuhan janin terhambat,33,35 tapi studi ini menemukan adanya aerobic vaginitis (VA), tidak BV murni, terkait flora dan campuran flora AV-BV yang berhubungan dengan berat badan lahir rendah. Alasan utama perbedaan ini dapat menjadi bertentangan (dan sebelumnya) studi AV tidak dibahas secara terpisah, dan kemungkinan telah bercampur dengan diagnosis BV. U. urealyticum, Fusobacterium spp. dan M. hominis adalah spesies bakteri yang paling sering diisolasi dari kantung ketuban wanita dengan persalinan prematur dan ketuban utuh, terdapat juga bakteri aerobik seperti Str.

agalactiae, S. aureus, Str. viridians, E. coli, Enterococcus faecalis.36 Bakteri

(24)

dikaitkan dengan funisitis saat lahir,37 dapat menyebabkan sindrom respon inflamasi fetalis, dan kemungkinan besar juga gangguan pertumbuhan janin. Analisis multivariat dalam penelitian ini menunjukkan merokok selama kehamilan menjadi faktor yang paling relevan terhadap risiko berat bayi lahir rendah, peran AVF, khususnya yang berkaitan dengan vaginitis aerobik, dalam pertumbuhan janin memerlukan penyelidikan lebih lanjut.26

Skor Apgar yang lebih tinggi pada mikroflora normal vagina dibandingkan dengan AVF juga diamati. Pada tahun 1952, Virginia Apgar mengusulkan skor Apgar sebagai sarana mengevaluasi kondisi fisik bayi segera setelah melahirkan. Sistem penilaian Apgar tetap relevan untuk memprediksi kelangsungan hidup neonatal saat ini.26

Peneliti lain telah menemukan bahwa skor Apgar yang rendah dikaitkan dengan ibu yang positif BV,38 sementara beberapa peneliti menemukan kokus Gram-positif, Str. agalactiae, dan basil Gram-negatif,39 terkait dengan Apgar rendah serta korioamnionitis maternal dan septikemia onset dini dan pneumonia onset dini pada bayi baru lahir. Normalisasi lingkungan vagina dapat mencegah mikroflora abnormal vagina untuk asenden ke dalam rahim, dengan aplikasi asam askorbat intravagina mungkin menjelaskan, mengapa skor Apgar bayi pada lima menit pertama meningkat pada kedua populasi ITT (Intention to Treat) dan PP (Per Protocol).26

Dalam rangka untuk menurunkan tingkat komplikasi AVF, pengobatan harus dimulai pada awal kehamilan dan difokuskan pada infeksi tertentu terkait kelompok risiko. Terdapat data yang menunjukkan bahwa penilaian risiko harus didasarkan tidak hanya pada riwayat keguguran/ kelahiran prematur, adanya flora abnormal vagina, tetapi idealnya juga pada sitokin proinflamasi dan genotif.40,41 Terlepas dari kenyataan bahwa penelitian ini tidak dirancang untuk menyelidiki dampak pengobatan AVF pada kehamilan, temuan dapat menunjukkan bahwa pengobatan AVF pada awal kehamilan dengan vitamin C intravagina sebagai regimen pengobatan dan perawatan yang dapat meningkatkan mikroflora vagina serta selanjutnya juga pada kehamilan.26

(25)

23

Vaginosis bakterial ialah suatu kondisi abnormal pada lingkungan mikroflora vagina yang ditandai dengan pergeseran flora normal vagina yaitu Lactobacillus digantikan oleh bakteri anaerob. Patogenesis BV belum sepenuhnya jelas meliputi peningkatan pH vagina lebih dari 4,5 sehingga menyebabkan penurunan Lactobacillus dan penurunan produksi hidrogen peroksida, yang akhirnya terjadi pertumbuhan bakteri anaerob berlebihan.

Penelitian terbaru menunjukkan beberapa penanda stres oksidatif seperti konsentrasi MDA (malondialdehyde), H2O2 (hidrogen peroksida), dan aktivitas SOD

(superoksida dismutase) yang tinggi serta penurunan aktivitas CAT (katalase) diamati dalam vagina pasien BV, menandakan bahwa stres oksidatif terdapat pada lingkungan mikro vagina pasien BV. Hal tersebut juga menyiratkan stres oksidatif turut berperan penting dalam patogenesis BV.

Penggunaan antibiotik sebagai terapi standar untuk BV seperti metronidazol, klindamisin maupun tinidazol mempunyai banyak kelemahan. Timbulnya resistensi terhadap antibiotik tersebut, beberapa efek samping yang dapat terjadi, kesembuhan yang kurang optimal dan tingginya tingkat kekambuhan dengan pengobatan antibiotik untuk BV memicu pencarian terapi alternatif.

Vitamin C atau asam askorbat bersifat asam lemah dan merupakan salah satu antioksidan. Selain mempunyai efek menjaga keasaman pada vagina, vitamin C juga dapat mengontrol stres oksidatif yang menginduksi apoptosis sel. Terapi BV menggunakan vitamin C intravagina dapat digunakan sebagai modalitas terapi alternatif. Efektifitas dan keamanan vitamin C intravagina untuk terapi BV telah dibuktikan pada beberapa penelitian baik pada wanita hamil ataupun tidak, namun masih dibutuhkan penelitian-penelitian lebih lanjut untuk memberikan tatalaksana yang lebih baik.

(26)

24

for the treatment of bacterial vaginosis: a systematic review protocol.

JBISRIR. 2015; 13(6): 96-113.

3. Hillier S, Marrazzo J, Holmes K. Bacterial Vaginosis. In: Holmes K, Sparling F, Stamm W, Piot P, Wasserheit J, Corey L, Cohen M, Watts H, eds. Sexually

Transmitted Diseases. 4th ed. New York: McGraw-Hill; 2008. p. 737-62.

4. Fredstorp M, Jonasson AF, Barth A, and Robertsson J. A New Effective, User-friendly Bacterial Vaginosis Treatment: A Randomized Multicenter Open-label Parallel-group Two-part Study with a Novel Sustained-release Pessary Containing Oligomeric Lactic Acid. J Infect Non Infect Dis. 2015; 1: 005.

5. Chen Z, Zhang Z, Zhang H, and Xie B. Analysis of the Oxidative Stress Status in Nonspecific Vaginitis and Its Role in Vaginal Epithelial Cells Apoptosis.

Biomed Res Int. 2015; 1-7.

6. Zahra A, Fateme G, and Reza AM. Comparison of the effectiveness of vitamin C vaginal tablet with metronidazole vaginal gel in the treatment of bacterial vaginosis. AJPP. 2010; 4(7): 484-9.

7. Rosen T. Gonorrhea, Mycoplasma and Vaginosis. In : Goldsmith LA, Katz SI, Gilcrist BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, eds. Fitzpatrick’s Dermatology In

General Medicine. 8th ed. New York: McGraw-Hill Medical; 2012. p.

2514-26.

8. Murtiastutik D. Vaginosis Bakterial. In: Barakbah J, Lumintang H, Martodihardjo S, eds. Buku ajar infeksi menular seksual. Surabaya: Airlangga university press; 2008. p. 73-83.

9. Schalkwyk JV, and Yudin MH. Vulvovaginitis: Screening for and Management of Trichomoniasis, Vulvovaginal Candidiasis, and Bacterial Vaginosis. J Obstet Gynaecol Can. 2015; 37(3): 266–74.

10. Arianita L. Uji Diagnostik Kriteria Amsel pada Pasien Vaginosis Bakterial di RSUP Haji Adam Malik Medan. Tesis Universitas Sumatera Utara, Medan, 2015.

11. Register Pasien Rawat Jalan Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Tahun 2015.

12. Hillier SL. Normal Genital Flora. In: Holmes K, Sparling F, Stamm W, Piot P, Wasserheit J, Corey L, Cohen M, Watts H, eds. Sexually Transmitted

Diseases. 4th ed. New York: McGraw-Hill; 2008. p. 298-307.

13. Umbara PJA. Hubungan antara Derajat Vaginosis Bakterial Sesuai Kriteria Nugent dengan Partus Prematurus Iminen. Tesis Universitas Diponegoro, Semarang, 2009.

14. Aldunate M, Srbinovski D, Hearps AC, Latham CF, Ramsland PA, Gugasyan R, et al. Antimicrobial and immune modulatory effects of lactic acid and short chain fatty acids produced by vaginal microbiota associated with eubiosis and bacterial vaginosis. Front Physiol. 2015; 6(164): 1-23.

(27)

15. Truter I, and Graz M. Bacterial Vaginosis: Literature Review of Treatment Options with Spesific Emphasis on Non Antibiotic Treatment. AJPP. 2013; 7(48): 3060-7.

16. Salgueiro D. Bacterial Vaginosis in Portugal: Diagnosis of Gardnerella

vaginalis and Atopobium vaginalis in Healthy or Symptomatic Women.

Catholica Lusitansa University. Portugis; 2012: 1-79.

17. Udayalaxmi GB, Subbannayya Kotigadde, Shalini Shenoy. Comparison of the Methods of Diagnosis of Bacterial Vaginosis. JCDR. 2011; 5(3): 498-501.

18. Tamonud Modak PA, Charan Agnes, Raja Ray, Sebanti Goswami, Pramit Ghosh, Nilay Kanti Das. Diagnosis of bacterial vaginosis in cases of abnormal vaginal discharge: comparison of clinical and microbiological criteria. J Infect Dev Ctries. 2011; 5(5): 353-60.

19. Hay P. Bacterial Vaginosis in Vaginal Infections. NLM. 2010; 38(6): 281-5. 20. Schwebke JR, and Desmond RA. A randomized trial of the duration of

therapy with metronidazole plus or minus azithromycin for treatment of symptomatic bacterial vaginosis. Clin Infect Dis. 2007; 44: 213-9.

21. Brandt M, Abels C, Lohmann K, Schmidts-Winkler I, and Hoyme UB. Intravaginally applied metronidazole is as effective as orally applied in the treatment of bacterial vaginosis, but exhibits significantly less side effects. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol. 2008; 141: 158-62.

22. Oduyebo O, Anorlu RI, and Ogunsola FT. The effects of antimicrobial therapy on bacterial vaginosis in non-pregnant women. Cochranc Database Syst

Rev. 2009; 3: 34-49.

23. Food and Drug Administration. Available at:

http://www.accessdata.fda.gov/drugsatfda_docs/label/2007/021618s003l bl.pdf Accessed May 26, 2016.

24. Schwebke JR, and Desmond RA. Tinidazole vs metronidazole for the treatment of bacterial vaginosis. Am J Obstet Gynecol. 2011. 204; 211: 1-6.

25. Anonim. Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual 2011. Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2011.

26. Zodzika J. Abnormal Vaginal Microflora: Risk Factors, Bed-Side Diagnostic Methods in Pregnancy and Efficiency of an Alternative Non-Antibacterial Treatment Modality in Pregnant and Non-Pregnant Women. Dissertation of Riga Stradins University, Riga, 2014.

27. Machado D, Castro J, Palmeira-de-Oliveira A, Martinez-de-Oliveira J, and Cerca N. Bacterial Vaginosis Biofilms: Challenges to Current Therapies and Emerging Solutions. Front Microbiol. 2016. 6; 1528: 1-13.

28. EFSA Panel on Additives and Products or Substances used in Animal Feed (FEEDAP). Scientific Opinion on the safety and efficacy of vitamin C (ascorbic acid and sodium calcium ascorbyl phosphate) as a feed additive for all animal species based on a dossier submitted by VITAC EEIG. EFSA Journal. 2013. 11; 2: 3103.

(28)

29. Anonym. Vitamin and mineral requirements in human nutrition 2nd ed. World Health Organization and Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome: World Health Organization, 2004.

30.Vaginal Therapeutic. Union of Arab Pharmacist. Available at: http://www.globalpharmadubai.com/pdf/Vagi%20C%201%20English% 20insert.pdf. Accessed May 26, 2016.

31.Petersen EE, Genet M, Caserini M, and Palmieri R. Efficacy of vitamin C vaginal tablets in the treatment of bacterial vaginosis: a randomized, double-blind, placebo-controlled clinical trial. Arzneimittelforschung. 2011; 61(4): 260–5.

32.Petersen EE, and Magnani P. Efficacy and safety of Vitamin C vaginal tablets in the treatment of non-specific vaginitis. A randomized, double-blind, placebo-controlled study. Obstet Gynec. 2004; 117: 70–5.

33.Svare JA, Schmidt H, Hansen BB, and Lose G. Bacterial vaginosis in a cohort of Danish pregnant women: prevalence and relationship with preterm delivery, low birthweight and perinatal infections. BJOG. 2006; 113(12): 1419–25.

34.Donders GG, Spitz B, and Vereecken A, Van Bulck B. The ecology of the vaginal flora at first prenatal visit is associated with preterm delivery and low birth weight. Open Inf Dis J. 2008; 2: 45‒51.

35.Vedmedovska N, Rezeberga D, Teibe U, Zodzika J, Donders GG. Preventable maternal risk factors and association of genital infection with fetal growth restriction. Gynecol Obstet Invest. 2010; 70(4): 291–8.

36.Zhou X, Brotman RM, Gajer P, Abdo Z, Schüette U, Ma S, et al. Recent advances in understanding the microbiolgy of the female reproductive tract and the causes of preterm birth. Infect Dis Ob Gyn. 2010; doi: 10.1155/2010/737425.

37.Rezeberga D, Lazdane G, Kroica J, Sokolova L, Donders GG. Placental histological inflammation and reproductive tract infections in a low risk pregnant population in Latvia. Acta Obstet Gynecol Scand. 2008; 87(3): 360‒5.

38.Laxmi U, Agrawal S, Raghunndan C, Randhawa VS, Saili A. Association of bacterial vaginosis with adverse fetomaternal outcome in women with spontaneous preterm labor: a prospective cohort study. J Matern Fetal

Neonatal Med. 2012; 25(1): 64–7.

39.Wójkowska-Mach J, Borszewska-Kornacka M, Domańska J, Gadzinowski J, Gulczyńska E, Helwich E, et al. Early-onset infections of very-low-birth-weight infants in Polish neonatal intensive care units. Pediatr Infect Dis

J. 2012; 31(7): 691–5.

40.Gomez LM, Sammel MD, Appleby DH, Elovitz MA, Baldwin DA, Jeffcoat MK. Evidence of a gene-environment interaction that predispose to spontaneus preterm birth: a role for asymptomatic bacterial vaginosis and DNA variants in genes that control the inflammatory response. Am J

(29)

41.Lamont RF, Nhan-Chang CL, Sobel JD, Workowski K, Conde-Agudelo A, Romero R. Treatment of abnormal vaginal flora in early pregnancy with clindamycin for the prevention of spontaneous preterm birth: a systematic review and metaanalysis. Am J Obstet Gynecol. 2011; 205(3): 177–90.

Gambar

Gambar 1. Patogenesis vaginosis bakterial. 14
Gambar 3. Duh tubuh vagina berwarna putih homogen pada wanita dengan BV.
Gambar 4. Clue cell pada BV dan sel epitel normal vagina.
Gambar 6. Asam askorbat dan produk-produk oksidasinya. 29

Referensi

Dokumen terkait

Stakeholder dan institusi diklasifikasikan menurut hirarki pemerintahan yakni level desa/kecamatan, kabupaten dan provinsi yang dipilih secara sengaja ( purvosive sampling

Hanson  &amp;  Beguin  juga  melakukan  penelitian  mengenai  perbandingan  metode  penyetaraan,  yaitu  membandingkan  metode  kalibrasi  terpisah  dan  kalibrasi 

Bagi ujian antibakteria, hasil kajian yang diperoleh menunjukkan ketiadaan aktiviti antibakteria oleh semua ekstrak dengan tiada zon perencatan diperoleh daripada setiap piring

Peraturan Presiden republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;6. Alokasi

Atmosfer dari planet merkurius terdiri dari gas natrium dan kalium yang sangat tipis sehingga kadang-kadang dikatakan bahwa planet ini tidak memiliki atmosfer.. Jarak

peluang yang besar bagi siswa untuk dapat memecahkan masalah secara kreatif. Pentingnya Instrumen Berbasis Elektronik Dalam MPMK. Instrumen sangat diperlukan dalam berbagai

Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa tujuan model pembelajaran Means-Ends Analysis adalah untuk memudahkan siswa dalam memecahkan masalah melalui

Sesuai dengan permasalahan dalam penelitian ini yaitu tentang tingkat kemampuan siswa menerapkan model matematis dalam fisika dan hubungannya dengan prestasi akademis di