• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. Kajian pustaka menjelaskan gagasan, pemikiran atau studi-studi mutakhir

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. Kajian pustaka menjelaskan gagasan, pemikiran atau studi-studi mutakhir"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka menjelaskan gagasan, pemikiran atau studi-studi mutakhir yang pernah diteliti oleh peneliti terdahulu yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

Berikut ini dipaparkan penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis.

(1) Septiani (2012) dalam skripsinya "Geguritan Tirta Amerta Analisis Struktur dan Makna. Dalam geguritan ini struktur dibagi menjadi dua, yaitu struktur forma dan naratif. Pada struktur forma dibagi menjadi tiga yaitu; struktur forma (bentuk), kode bahasa dan sastra, dan ragam bahasa, sedangkan pada struktur naratifnya Septiani membahas; (1) insiden, (2) alur, pada Geguritan Tirta Amerta menggunakan alur lurus, (3) tokoh dan penokohan dibagi menjadi tiga bagian yaitu; tokoh utama, tokoh sekunder, dan tokoh pelengkap, (4) latar, (5) tema, dan (6) amanat. Teori yang digunakan dalam analisis ini ialah teori struktural dan teori semiotik. Pada penelitian ini mengungkapkan makna-makna tentang kehidupan, makna yang terkandung di dalamnya meliputi; (1) makna rwa bhineda, (2) makna tirtha atau air sebagai sumber kehidupan dan (3) makna gunung dan laut sebagai sumber kehidupan. Hasil penelitian Septiani digunakan sebagai pembanding, serta memiliki relevansi dengan penelitian ini, karena sama- sama menggunakan objek geguritan, dan penggunaan teori struktural

(2)

untuk membedah struktur forma dan struktur naratifnya serta menggunakan teori semiotik untuk membedah makna yang terkandung dalam geguritan.

(2) Wisnu (2001) dalam skripsinya "Geguritan Dharma Santhi Adnyana:

Kajian Struktur dan Semiotik". Pada penelitian tersebut, Wisnu meneliti mengenai struktur forma dan struktur naratif dari geguritan tersebut dengan mempergunakan teori struktural dan semiotik untuk membedah nilai-nilai kehidupan, seperti halnya kehidupan religius (agama Hindu) yang memunculkan hal-hal kebatinan, etika dan sebagainya, serta merangkum hal-hal penting dalam teks yang ditekankan sebagai suatu jalinan makna, meliputi: konsepsi manusia dan hakikatnya, konsepsi Tuhan dan hakikatnya, dan beberapa tahap menuju manusia sempurna.

Nilai-nilai yang dikandung oleh GDSA dikemas dalam suatu tanda-tanda bermakna. Pada struktur forma, Wisnu membahas mengenai: (1) kode bahasa dan sastra sebagai pendeskripsian pupuh-pupuh/padalingsa (metrum) yang mengemas GDSA, (2) gaya bahasa, sebagai pendeskripsian majas/basita paribasa dalam GDSA, dan (3) ragam bahasa, sebagai pendeskripsian tentang penggunaan Bahasa Bali (kepara) dalam GDSA.

Kemudian pada struktur naratifnya Wisnu hanya membahas tema, penokohan, alur, serta latar Geguritan Dharma Santhi Adnyana. Hasil penelitian Wisnu digunakan sebagai pembanding, serta memiliki relevansi dengan penelitian ini, karena sama-sama menggunakan objek geguritan, dan penggunaan teori struktural untuk membedah struktur forma dan

(3)

struktur naratifnya serta menggunakan teori semiotik untuk membedah makna yang terkandung dalam geguritan, hanya saja pada struktur naratifnya Wisnu hanya membahasa empat bagian saja, meliputi; tema, penokohan, alur, dan latar.

(3) Kiastuti (2012) dalam skripsinya "Analisis Struktur dan Semiotik dalam Novel Cicih". Pada penelitian tersebut dianalisis mengenai struktur naratif dari Novel tersebut dengan mempergunakan teori struktur dan pendekatan semiotik untuk membedah makna-makna yang terdapat didalamnya.

Makna-makna tersebut antara lain makna magis, makna perkawinan, undang-undang perkawinan, makna upacara, makna agama. Penelitian yang dilakukan oleh Kiastuti sebatas mengungkapkan makna-makna kemasyarakatannya. Digunakan hasil penelitian tersebut sebagai pembanding, serta memiliki relevansi dengan penelitian ini, karena penggunaan teori semiotik untuk membedah makna yang terkandung dalam novel.

Ketiga hasil penelitian di atas dapat digunakan sebagai salah satu media informasi untuk membantu proses penelitian yang dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh Septiani, Wisnu, dan Kiastuti dapat memberikan inspirasi terhadap penelitian yang dilakukan dalam menganalisis geguritan Kontaboja.

(4)

1.2 Konsep

Konsep merupakan gambaran mental dari objek, proses atau apa pun yang ada di luar bahasa, dan digunakan akal budi untuk memahami hal-hal tersebut (Kridalaksana, 2008:132).

Adapun konsep yang akan diuraikan dalam penelitian ini adalah konsep struktur dan makna.

2.2.1 Konsep Geguritan

Geguritan merupakan salah satu karya sastra Bali tradisional yang dibentuk oleh pupuh-pupuh. Pupuh adalah bagian dari suatu karangan atau karya sastra yang biasa disamakan dengan bab. Setiap pupuh diikat oleh kaidah hukum padalingsa, yaitu mengenai banyaknya baris dalam tiap bait (pada), banyaknya suku kata dalam tiap baris (carik), dan bunyi akhir tiap-tiap baris. Pada padalingsa inilah terlihat kepiawaian pengarang dalam memilih kata-kata yang tepat untuk mendukung jalannya sebuah cerita serta untuk memenuhi aturan padalingsa sesuai dengan pupuh yang digunakan dalam geguritan tersebut (Agastia, 1980:17).

Secara etimologi padalingsa dibentuk oleh dua kata, yaitu: pada yang artinya kaki dan lingsa yang artinya bunyi (Warna, 1993: 484). Dalam kesusastraan Bali terdapat lebih dari 45 buah pupuh, apabila kita mengetahui bahwa pupuh-pupuh itupun sebenarnya berasal dari Jawa, maka jelaslah bahwa di Bali telah terjadi penciptaan pupuh-pupuh yang baru. Pupuh yang populer di masyarakat agaknya hanya 10 saja, yaitu: Sinom, Pangkur, Ginanti, Ginada, Maskumambang, Durma, Mijil, Pucung, Semarandana, Dandang (Agastia, 1980: 17-18). Pupuh-pupuh itu

(5)

sendiri memiliki karakter tersendiri, misalnya: (1) Mijil memiliki watak melahirkan perasaan dan patutnya untuk menguraikan perasaan, tetapi dapat juga digubah untuk orang mabuk asmara, (2) Pucung memiliki watak yang kendor, tanpa perasaan yang memuncak, patutnya untuk cerita yang seenaknya tanpa kesungguhan, (3) Maskumambang memiliki watak yang sedih merana dan patutnya untuk melahirkan perasaan yang sedih, (4) Ginada yang memiliki watak melukiskan kesedihan, merana atau kecewa, (5) Ginanti berwatak senang, cinta kasih, patutnya untuk menguraikan ajaran filsafat, cerita yang bernuansa asmara, dan keadaan mabuk asmara, (6) Semarandana wataknya memikat hati, sedih karena asmara, (7) Sinom wataknya ramah tamah dan patutnya untuk menyampaikan amanat, (8) Durma wataknya keras, bengis, marah, patutnya untuk melukiskan cerita marah, (9) Pangkur wataknya berperasaan hati memuncak, jika mabuk asmara sampai puncaknya, dan (10) Dandang Gula wataknya halus, lemas, uumnya untuk melahirkan suatu ajaran (Tinggen, 1994: 35-36).

Geguritan umumnya melukiskan kehidupan masyarakat Bali dengan unsur- unsur cerita yang membentuknya seperto plot, penokohan, setting, gaya, dan lain sebagainya, disamping terikat oleh unsur puisi seperti diksi berupa pilihan kata, imaji berupa daya bayang, gaya bahasa, dengan memakai bentuk tembang dalam penyajiannya. Geguritan sebagai salah satu bentuk karya sastra Bali klasik memang dapat dikatakan mendapat tempat di hati masyarakat Bali dalam artian dinyanyikan, diartikan, dihayati, dan dijadikan pedoman hidup (Agastia, 1980:25).

(6)

2.2.2 Konsep Struktur

Struktur adalah tata hubungan antara bagian-bagian suatu karya sastra;

jadi, kebulatannya (Sudjiman,1990: 75). Analisis struktur merupakan suatu langkah atau alat dalam proses pemberian makna dalam kajian ilmiah. Langkah tersebut tidak boleh dihilangkan dan tidak boleh ditiadakan atau dilampaui. Teori struktural dimaksudkan untuk meninjau karya sastra sebagai kesatuan yang bulat, secara utuh, setiap karya sastra terdiri dari bagian-bagian yang memainkan peranan penting dan sebaliknya bagian-bagian itu mendapat makna sepenuhnya dari keseluruhannya (Teeuw, 1984:154).

2.2.3 Konsep Makna

Berdasarkan hasil kajian struktur akan tampak bahwa unsur yang beraneka ragam serta kait mengkait yang terdapat dalam suatu karya sastra diberi makna dalam rangka suatu cerita sebagai keseluruhan, sehingga kesatuan dan kebulatan karya sastra tersebut menjadi jelas (Sulatin, 1983: 36). Makna itu muncul setelah ada arti. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisis ketiga, tahun 2001, makna adalah arti atau maksud pembicara atau penulis, pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan. Makna adalah hubungan antara kata dan barang yang dirunjukkan (denotasi) dan antara kata dan tautan pikiran tertentu yang ditimbulkan (konotasi) (Rozak, 2007:125).

2.3 Landasan Teori

Sebagai suatu bentuk kegiatan ilmiah, penelitian sastra memerlukan landasan kerja berupa teori. Teori berasal dari kata theoria (bahasa latin). Secara etimologis

(7)

teori berarti kontemplasi terhadap kosmos dan realitas. Dalam hubungannya dengan dunia keilmuan teori berarti perangkat pengertian, konsep, proposisi yang mempunyai korelasi, dan telah teruji kebenarannya (Ratna, 2004: 1). Penelitian sastra meliputi wilayah yang cukup luas, sehingga diperlukan pembatasan ruang lingkup pendekatan penelitian (kajian/analisis). Maka sebelum melakukan penelitian, terlebih dahulu harus menentukan landasan teori yang relevan dengan objek penelitian.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori struktural dan teori semiotika. Teori struktural digunakan untuk membedah unsur intrinsik suatu karya sastra, serta dilengkapi dengan teori semiotika untuk mengetahui makna Geguritan Kontaboja.

2.3.1 Teori Struktural

Analisis struktur bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail, dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan sebuah karya sastra yang secara bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1988: 135).

Analisis strukur merupakan satu atau alat dalam proses pemberian makna dala kajian ilmiah. Langkah tersebut tidak boleh dihilangkan dan juga tidak boleh dimutlakkan. Analisis struktur karya sastra yang akan diteliti merupakan tugas utama atau akhir dari penelitian sebuah karya sastra yang secara tegas dikatakan bahwa analisis struktur adalah utlak dan tidak dapat dihindarkan (Teeuw, 1984:

154).

(8)

Karya sastra sebagai struktur menjadi sasaran utama ilu sastra. Mereka tidak membatasi diri pada studi puisi yang ada pada awalnya terutama menarik minatnya: misalnya dalam penelitian struktur naratif dalam roman atau cerita pendek Shklovsky mengembangkan oposisi antara fabel dan plot sebagai sarana penelitian yang sangat penting. Fabel adalah jalan cerita menurut logika dan kronologi peristiwa yang terdapat dalam cerita tertentu, secara mietik (Teeuw, 1998: 131).

Luxemburg, dkk (1984: 36-38) mengemukakan bahwa struktur ialah kaitan- kaitan tetap antara kelompok-kelompok gejala, dengan kata lain bahwa struktur pada pokoknya berarti sebuah karya atu peristiwa di dalam masyarakat menjadi suatu keseluruhan karena relasi timbal balik antara bagian-bagiannya dan antara bagian dengan keseluruhan. Prinsip dasar teori struktural adalah memandang unsur-unsur yang terdapat dalam karya sastra sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

GK diikat oleh konvensi dasar yang telah ditetapkan, sedangkan di pihak lain GK merupakan teks naratif yang bercerita di dalamnya terdapat insiden, alur, tokoh dan penokohan, latar, tema, dan amanat sehingga antara struktur bentuk dan struktur naratif yang membangun GK tidak dapat dipisahkan. Untuk mendukung analisis struktur bentuk akan ditunjang oleh pandangan Agastia, serta Tinggen.

Kerangka acuan teori struktural yang tertuang dari pikiran-pikiran para ahli sastra sebagaimana dikutip di atas sesungguhnya saling melengkapi, untuk itu dalam mengkaji struktur GK ini digunakan kombinasi dari beberapa pendapat para ahli di atas.

(9)

2.3.2 Teori Semiotika

Secara etimologi, semiotika berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata semion 'tanda', maka semiotika berarti ilmu tanda (Van Zoest, 1993: 1). Hoed (2008: 3) mengemukakan, semiotik adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus kita beri makna. Teks sastra secara keseluruhan (termasuk struktur sastra) merupakan tanda dengan semua ciri- cirinya, dan teks itu sendiri pada hakikatnya adalah suatu tanda yang disusun oleh tanda-tanda yang lebih rendah, yang memiliki sifat kebahasaan dan lain-lain (Van Zoest, 1993: 61 dan Van Zoest bersama Sudjiman 1996: VII).

Charles Sanders Peirce (dalam Kaelan, 2009: 194) mengemukakan tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi seseorang. Tanda tidak pernah berupa suatu entitas yang sendirian tetapi memiliki tiga aspek yaitu fungsi, fakta, dan penafsir.

Ketiga unsur konteks pembentuk tanda membangkitkan semiotika yang tidak terbatas, selama suatu penafsir (gagasan) yang membaca tanda sebagai tanda bagi yang lain (yaitu sebagai wakil dari suatu makna atau penanda) bisa ditangkap oleh penafsir lainnya.

Menurut Pierce ada tiga faktor yang menentukan adanya tiga jenis tanda, yakni ada ikon, indeks, dan lambang. Ikon adalah tanda yang hubungan antara representamen dan objeknya berdasarkan pada keserupaan identitasnya. Contoh ikon adalah foto, lukisan arca, atau tiruan suara seseorang. Indeks adalah tanda yang hubungan antara representamen dan objeknya berdasarkan hubungan antara kontiguitas atau sebab akibat, misalnya asap yang terlihat dari kejauhan

(10)

merupakan indeks dari kebakaran atau suara mesin yang merupakan indeks dari sebuah mobil. Lambang adalah tanda yang hubungan antara represntamen dan objeknya didasari oleh konvensi sosial, misalnya: sinyal kereta api, rambu lalu lintas, atau bahasa manusia. Lambang merupakan hal yang penting karena lambang berada dala konteks sosial dan budaya masyarakat. Ada ikon dan indeks yang digunakan sebagai lambang. Hasil yang akan diperoleh dari penelitian semiotik jenis ini ialah proses semiosis yang memberikan "makna" unsur kebudayaan yang dipandang sebagai tanda (Hoed: 2008: 20-21).

Untuk lebih memudahkan pemaknaan karya sastra dengan pendekatan semiotik, pertama kali harus dilakukan dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik. Pembacaan heuristik merupakan pembacaan berdasarkan struktuk kebahasaannya, atau secara semiotik berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama, dan pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang (retroaktif) sesudah pembacaan heuristik, dengan memperhatikan konvensi sastra (Pradopo, 1994: 108-109).

Dari semua teori yang dikemukakan di atas memiliki keterkaitan dan saling menunjang penelitian ini, sehingga dalampenelitian yang dilakukan akan dapat berjalan lancar dengan adanya teori yang dipakai sebagai acuan dalam menganalisis sebuah karya sastra terutama karya sastra GK.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kekuatan geser pelekatan resin komposit packable dengan intermediate layer resin komposit flowable menggunakan

Menurt Solomon dan Rothblum (Rachmahana, 2001, h.135) individu yang kurang asertif tidak mau mencari bantuan ( seeking for help) kepada orang lain untuk membantu

(2006), “Analisis faktor psikologis konsumen yang mempengaruhi keputusan pembelian roti merek Citarasa di Surabaya”, skripsi S1 di jurusan Manajemen Perhotelan, Universitas

Abdullah bin Mubarok berkata, “Sungguh mengembalikan satu dirham yang berasal dari harta yang syubhat lebih baik bagiku daripada bersedeqah dengan seratus ribu dirham”..

Kebera- daan patogen CVPD pada bibit tidak cukup dengan melihat gejala saja karena bakteri mungkin sudah ada, tetapi belum menampakkan gejala, apalagi gejala

Puji Syukur Kehadirat Allah SWT yang maha Esa karena atas nikmat-Nya penyusunan Laporan Kuliah Kerja Magang (KKM) STIE PGRI Dewantara Jombang dapat diselesaikan tepat

Proses Utama pada Data Mining Input (Data) Metode (Algoritma Data Mining) Output (Pola/Model) DATA PRE-PROCESSING Data integration Normalization Feature selection. DATA