TESIS MAGISTER
Oleh
dr. Nenny Novita Sitohang NIM : 137041162
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK
DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2018
HUBUNGAN ANTARA PROGRAM REHABILITASI JANTUNG FASE II DENGAN NILAI HIGH SENSITIVITY C- REACTIVE PROTEIN PADA PASIEN PASKA BEDAH PINTAS
ARTERI KORONER
TESIS MAGISTER
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dalam Program Studi Magister Kedokteran Klinik Kardiologi dan Kedokteran Vaskular pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara
Oleh
Nenny Novita Sitohang NIM : 137041162
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK
DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS
HUBUNGAN ANTARA PROGRAM REHABILITASI JANTUNG FASE II DENGAN NILAI HIGH SENSITIVITY
C-REACTIVE PROTEIN PADA PASIEN PASKA BEDAH PINTAS ARTERI KORONER
TESIS MAGISTER
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah dituliskan atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang digunakan sebagai acuan referensi dan telah disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Oktober 2018
Nenny Novita Sitohang
UCAPAN TERIMA KASIH
Dengan memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkat dan penyertaanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini dibuat untuk memenuhi syarat kelulusan dalam Program Studi Magister Kedokteran Klinik Kardiologi dan Kedokteran Vaskular di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyatakan penghargaaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Rektor Universitas Sumatera Utara dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan penulis kesempatan untuk mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik Kardiologi dan Kedokteran Vaskular di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. dr. Harris Hasan, SpPD, SpJP(K) selaku Ketua Departemen Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP Haji Adam Malik Medan yang telah memberikan penulis kesempatan untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
3. dr. Cut Aryfa Andra, M.Ked(Cardio), SpJP(K) selaku Sekretaris Departemen Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP Haji Adam Malik Medan.
4. Dr. dr. Rodiah Rahmawaty Lubis, M.Ked(Oph), SpM(K) selaku Ketua Program Studi Program Magister Kedokteran Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan penulis kesempatan untuk mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik Kardiologi dan Kedokteran Vaskular di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
5. dr. Ali Nafiah Nasution, M.Ked(Cardio), SpJP(K) selaku Ketua Program Studi PPDS Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan selaku pembimbing dua
penulis dalam penyusunan tesis ini yang telah memberikan arahan serta masukan mengenai tulisan ini
6. dr. Yuke Sarastri, M.Ked(Cardio), SpJP selaku Sekretaris Program Studi PPDS Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kritikan dan saran yang begitu berharga sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
7. Prof. dr. Abdullah Afif Siregar, Sp.A(K), Sp.JP(K) selaku pembimbing satu penulis dalam penyusunan tesis ini yang telah sudi meluangkan waktu dan memberikan ide, arahan, serta bimbingan hingga tesis ini selesai.
8. Para guru penulis: Prof. dr. T. Bahri Anwar, SpJP(K); Prof. dr. Sutomo Kasiman, SpPD, SpJP(K); Prof. dr. Abdullah Afif Siregar, SpA(K), SpJP(K); Prof. dr. Harris Hasan, SpPD, SpJP(K); Alm. dr. Maruli T.
Simanjuntak SpJP(K); dr.Nora C. Hutajulu, SpJP(K); Dr. dr. Zulfikri Mukhtar, SpJP(K); Alm. dr. Isfanuddin N. Kaoy, SpJP(K); dr.
Parlindungan Manik, SpJP(K); dr. Refli Hasan, SpPD, SpJP(K); dr. Amran Lubis, SpJP(K); dr. Nizam Akbar, SpJP(K); dr. Zainal Safri, SpPD, SpJP(K); dr. Andre P. Ketaren, SpJP(K); dr. Andika Sitepu, SpJP(K); dr.
Anggia C. Lubis, SpJP; dr. Ali Nafiah Nasution, M.Ked(Cardio), SpJP(K);
dr. Cut Aryfa Andra, M.Ked(Cardio), SpJP(K); dr. Hilfan Ade Putra Lubis, M.Ked(Cardio), SpJP; dr. Andi Khairul, M.Ked(Cardio), SpJP; dr.
Abdul Halim Raynaldo, M.Ked(Cardio), SpJP(K); dr. M. Yolandi, SpJP;
dr. Yuke Sarastri, M.Ked(Cardio), SpJP; dr. Teuku Bob Haykal, M.Ked(Cardio), SpJP serta guru lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak memberikan masukan dan dorongan selama mengikuti program pendidikan magister ini.
9. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan, fasilitas, dan suasana kerja yang baik sehingga penulis dapat mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik Kardiologi dan Kedokteran Vaskular.
10. Teristimewa untuk kedua orang tua yang sangat penulis hormati dan sayangi yakni dr. Ronald Sitohang, SpB dan ibunda tercinta Netty Siregar
yang selama ini telah memberikan dukungan dan perhatian baik moril dan materi serta doa dan nasihat agar penulis tetap semangat, sabar dan tegar dalam mengikuti pendidikan sampai selesai. Takkan dapat semuanya itu penulis balas dengan apapun, penelitian ini hanya permulaan bukti kecil tanda terima kasih yang penulis persembahkan untuk orang tua tercinta.
11. Kedua ayah dan ibu mertua yang sangat penulis hormati dan sayangi, Dr.
dr. Sahna Ferdinand Ginting, SpPK dan dr. Rehulina Surbakti, SpTHT-KL yang telah memberikan kasih sayang, semangat, dukungan moril dan materi, serta doa selama proses pendidikan ini.
12. Suami tercinta, dr. Daniel Ginting, untuk segala doa, pengertian, semangat, dukungan, kesabaran serta bantuan moril selama penulis menjalani proses pendidikan ini.
13. Kepada abang, kakak, dan adik penulis: Rommy Julianto Sitohang, ST; Tri Diyanawati, SE; Rommel Octavo Sitohang, ST; Nadia Riza, S. Ak; Rocky Belmondo Sitohang, SH; dr. Silvia Tampubolon; dr. Nancy Nora Sitohang, M.Ked(DV), Sp.DV; dr. Ricky Agave Ompusunggu, SpU; Roy Enrico Sitohang, ST; dr. Robby Oscar Sitohang dan Diah Pratiwi, S.Mn yang selalu memberikan semangat dan dorongan untuk menyelesaikan tesis ini serta seluruh keluarga besar penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
14. Kelima sahabat seperjuangan penulis, “HeartCor”: dr. Yusrina Saragih, dr.
Teuku Fauzan Atsari, dr. Yunny Safitri, dr. Roni Armanda Tarigan, M.Ked(Cardio), Sp. JP dan dr. Aldino Satria Adhitya yang sedari awal masa pendidikan telah bersama – sama dengan penulis saling membantu dan bekerjasama melalui berbagai proses pendidikan dan dr. Bertha Gabriella Napitupulu yang telah membantu penulis dalam proses seminar, metodologi, dan pengolahan data statistik dalam menyelesaikan tesis ini.
15. Rekan-rekan sahabat Kelakar Medan yang telah memberikan waktu dan tenaga dalam membantu pengambilan sampel penelitian, proses seminar dan memberikan masukan serta saran dan doa dalam penyelesaian tesis ini dan saling membantu dalam mengikuti program magister ini.
16. Para perawat Pusat Jantung Terpadu RSUP HAM khususnya yang bertugas di bagian rehabilitasi jantung yang telah memberikan kesempatan kepada penulis pada waktu luang untuk mengambil data sampel penelitian.
17. Para staf administari Ahmad Syafi’i, Nanda dan Husna yang telah membantu terselenggaranya penelitian ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih membalas semua jasa dan budi baik mereka yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.
Akhirnya penulis mengharapkan agar penelitian dan tulisan ini kiranya dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Oktober 2018
Penulis
ABSTRAK
Latar Belakang : Penyakit jantung koroner, suatu penyakit inflamasi kronik bertahap, dipengaruhi oleh lingkungan, gaya hidup, dan faktor genetik yang bisa dilihat dari faktor resiko tradisional, biomarka inflamasi, dan status metabolik. Biomarka inflamasi yang sedang sering diteliti belakangan ini antara lain high-sensitivity c-reactive protein (hsCRP), interleukin-6 (IL-6), tumor necrosis factor alpha (TNF-α), dan intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1). Peningkatan hsCRP merupakan faktor resiko independen yang penting untuk penyakit jantung koroner dan menentukan prognosis pada pasien yang telah mengidap penyakit jantung koroner. Rehabilitasi jantung memiliki peranan dalam memperbaiki faktor resiko dan selain itu juga mencegah berbagai kejadian kardiovaskular lanjutan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan dari program rehabilitasi jantung fase II terhadap nilai hsCRP pada pasien dengan penyakit jantung koroner yang telah menjalani bedah pintas arteri koroner.
Metode : Penelitian ini dilakukan mulai April 2018 - September 2018 dengan jumlah sampel 67 orang pasien paska BPAK yang menjalani program rehabilitasi jantung fase II yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pemeriksaan laboratorium hsCRP dilakukan oleh Laboratorium Patologi Klinik RSUP Haji Adam Malik dalam dua periode pengukuran yaitu sebelum dan setelah menjalani program. Kemudian diamati perubahan nilai berbagai parameter yang diukur sebelum dan setelah menjalani program dan dianalisa untuk melihat hubungan antara rehabilitasi jantung fase II dengan nilai hsCRP.
Hasil : Subjek penelitian dibagi menjadi: resiko tinggi sebanyak 15 orang (22,38%) dan resiko menengah sebanyak 52 orang (77,61%). Dijumpai perubahan ke arah yang lebih baik dan bermakna secara statistik dengan nilai p<0,05 pada berbagai parameter seperti:
berat badan, indeks massa tubuh, lingkar pinggang, jarak 6MWT, kapasitas fungsional, nilai hsCRP, nilai kolesterol total, LDL, HDL, dan TG. Didapatkan korelasi negatif antara nilai hsCRP dengan kapasitas fungsional sebelum program dengan nilai r -0,689 dan nilai p<0,05. Didapatkan korelasi negatif antara nilai hsCRP dengan kapasitas fungsional setelah program dengan nilai r -0,819 dan nilai p<0,05.
Kesimpulan : Terdapat hubungan antara program rehabilitasi jantung fase II dengan nilai hsCRP. Program rehabilitasi jantung fase II tidak hanya memperbaiki komponen laboratorium seperti hsCRP dan lipid profile, tetapi juga memperbaiki parameter metabolik lain dan memperbaiki jarak 6MWT serta kapasitas fungsional pasien paska BPAK. Terdapat korelasi negatif antara nilai hsCRP dan kapasitas fungsional baik sebelum maupun setelah program rehabilitasi yang bermakna secara statistik.
Kata Kunci : rehabilitasi jantung, hsCRP, BPAK, PJK
ABSTRACT
Background : Coronary heart disease (CHD), a gradual chronic inflammatory disease, is influenced by the environmental, lifestyle, and genetic factors that can be seen from traditional risk factors, inflammatory biomarkers, and metabolic status. Inflammatory biomarkers that were currently being studied include high sensitivity C-reactive protein (hsCRP), interleukin-6 (IL-6), tumor necrosis factor alpha (TNF-α), and intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1). Increased hsCRP is an independent risk factor that is important for CHD and determines the prognosis in patients who have CHD. Cardiac rehabilitation has a role in improving risk factors and preventing a variety of advanced cardiovascular events. This study aims to find the relationship of cardiac rehabilitation programs to hsCRP values in patients with CHD who have undergone coronary artery bypass grafting (CABG).
Methods : This study was conducted from April 2018 - September 2018 with a total sample of 67 patients underwent phase II cardiac rehabilitation programs following CABG that met the inclusion and exclusion criteria. The hsCRP laboratory examination was conducted by the Clinical Pathology Laboratory of Haji Adam Malik General Hospital in two measurement periods, before and after the phase II cardiac rehabilitation program. And then the data was analyzed to see the relationship between cardiac rehabilitation and hsCRP value.
Results : The total subjects of this study were 67 people that can be classified into two groups, high risk group (hsCRP >3 mg/dL) 15 people (22.38%) and medium risk group (hsCRP 1-3 mg/dL) 52 people (77.61%). Statistically significant improvements were found with p <0.05 in various parameters such as: body weight, body mass index (BMI), waist circumference, six minutes walk distance (6MWD), functional capacity, hsCRP value, total cholesterol, LDL, HDL, and TG. Negative correlation was obtained between hsCRP value and functional capacity before the program with r -0.689 and p <0.05. A negative correlation was found between hsCRP value and functional capacity after the program with r -0.819 and p <0.05.
Conclusion : There was a relationship between cardiac rehabilitation and hsCRP in patients undergoing CABG. A significant decrease of hsCRP value was found in this study. Cardiac rehabilitation program not only improved laboratory components such as hsCRP and lipid profile, but also improved other metabolic parameters such as weight, BMI, waist circumference, and also improved the 6MWD and exercise capacity of patients after CABG. There was a statistically significant negative correlation between hsCRP values and functional capacity both before and after the rehabilitation program.
Keywords : cardiac rehabilitation, hsCRP, CABG, CHD
DAFTAR ISI
Halaman
Lembar Pengesahan ... i
Halaman Pernyataan Orisinalitas ... iii
Ucapan Terima Kasih ... iv
Abstrak ... viii
Abstract ... ix
Daftar Isi... x
Daftar Gambar ... xiii
Daftar Tabel ... …….xiv
Daftar Singkatan... xv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Pertanyaan Penelitian ... …….4
1.3 Hipotesis ... 4
1.4 Tujuan Penelitian ... 4
1.4.1 Tujuan Umum ... 4
1.4.2 Tujuan Khusus ... 4
1.5 Manfaat Penelitian ... 5
1.5.1 Kepentingan Akademik ... 5
1.5.2 Kepentingan Masyarakat ... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6
2.1 Proses Aterosklerosis. ... 6
2.1.1 Inflamasi pada Aterosklerosis ... 8
2.1.2 Penanda Inflamasi ... 12
2.2 Bedah Pintas Koroner ... 13
2.2.1 Definisi ... 13
2.2.2 Tujuan ... 14
2.2.3 Indikasi ... 14
2.2.4 Kontraindikasi ... 14
2.2.5 Komplikasi ... 15
2.3 High Sensitivity C-Reactive Protein (hsCRP) ... 15
2.3.1 hsCRP dan Resiko Penyakit Kardiovaskular ... 15
2.3.2 hsCRP Sebagai Prediktor Kejadian Kardiovaskular Mayor . 18 2.4 Manfaat Olahraga ... 19
2.5 Program Rehabilitasi Jantung ... 21
2.5.1 Definisi ... 21
2.5.2 Sejarah Program Rehabilitasi Jantung ... 22
2.5.3 Fase Program Rehabilitasi Jantung ... 24
2.5.4 Indikasi Program Rehabilitasi Jantung... 27
2.5.5 Manfaat Program Rehabilitasi Jantung pada Pasien dengan
Penyakit Jantung Koroner ... 27
2.5.6 Six Minute Walk Test (6MWT) ... 31
2.5.7 Peresepan Latihan pada Pasien dengan Penyakit Jantung Koroner. ... 35
2.6 Hubungan Rehabilitasi Jantung dengan Proses Inflamasi ... 36
2.7 Hubungan Rehabilitasi Jantung dengan Kapasitas Fungsional ... 40
2.8 Hubungan Rehabilitasi Jantung dengan Berbagai Parameter Metabolik ... 40
2.9 Kerangka Teori ... 42
2.10 Kerangka Konsep ... 43
BAB III METODE PENELITIAN ... 44
3.1 DesainPenelitian……….…….…44
3.2 Tempat dan Waktu ... 44
3.3 Populasi dan Sampel ... 44
3.4 Besar Sampel ... 44
3.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 45
3.5.1 Kriteria Inklusi ... 45
3.5.2 Kriteria Eksklusi ... 45
3.6 Persetujuan/ Informed Consent ... 46
3.7 Etika Penelitian ... 46
3.8 Cara Kerja dan Alur Penelitian ... 46
3.8.1 Cara Kerja ... 46
3.8.2 Alur Penelitian ... 48
3.9 Identifikasi Variabel ... 49
3.10 Definisi Operasional... 49
3.11 Pengolahan dan Analisa Data... 53
3.12 Rincian Biaya Penelitian ... 53
BAB IV HASIL PENELITIAN ... 54
4.1 Karakteristik Penelitian ... 54
4.2 Karakteristik Subjek Penelitian ... 54
4.2.1 Karakteristik Dasar Subjek yang Menjalani Program Rehabilitasi Jantung Fase II ... 54
4.3 Perubahan Berbagai Parameter Sebelum dan Sesudah Program Rehabilitasi Jantung Fase II ... 57
4.3.1 Perubahan Nilai hsCRP Berdasarkan Karakteristik Subjek ... 58
4.4 Korelasi Nilai hsCRP dengan Kapasitas Fungsional ... 60
4.4.1 Korelasi Nilai hsCRP dengan Kapasitas Fungsional Sebelum Program Rehabilitasi Jantung Fase II ... 60
4.4.2 Korelasi Nilai hsCRP dengan Kapasitas Fungsional Setelah Program Rehabilitasi Jantung Fase II ... 61
BAB V PEMBAHASAN ... 63
BAB VI PENUTUP ... 67 6.1 Kesimpulan ... 67 6.2 Keterbatasan Penelitian dan Saran ... 67
DAFTAR PUSTAKA………...…………...……….………....69
LAMPIRAN 76
DAFTAR GAMBAR
No Judul Halaman
2.1 Proses pembentukan foam cell ... 7
2.2 Efek aktivasi infiltrasi LDL pada arteri yang terinflamasi... 9
2.3 Efek aktivasi sel T pada plak yang terinflamasi... 10
2.4 Kaskade Sitokin ... 11
2.5 Jalur inflamasi selama aterosklerosis yang dapat meningkatkan konsentrasi penanda inflamasi pada darah ... 12
2.6 Mekanisme terkait CRP terhadap perkembangan dan progresi aterotrombosis ... 17
2.7 Efek rehabilitasi jantung komprehensif ... 29
2.8 Mekanisme anti-inflamasi yang dipicu oleh olahraga ... 38
2.9 Skema kerangka teori ... 42
2.10 Skema kerangka konsep ... 43
3.1 Skema alur penelitian ... 48
4.1 Diagram Batang Perubahan Nilai hsCRP Sebelum dan Setelah Program Rehabilitasi Jantung Fase II Berdasarkan Karakteristik Subjek ... 60
4.2 Korelasi hsCRP dengan Kapasitas Fungsional Sebelum Program Rehabilitasi Jantung Fase II ... 61
4.3 Korelasi hsCRP dengan Kapasitas Fungsional Sesudah Program Rehabilitasi Jantung Fase II ... 62
DAFTAR TABEL
No Judul Halaman 2.1 Keuntungan dari program rehabilitasi jantung dan exercise training . 30
2.2 Solusi untuk menggalakkan program rehabilitasi jantung ... 31
2.3 Bentuk exercise prescription... 33
2.4 Ilustrasi konversi hasil 6MWT dengan kapasitas fungsional ... 34
2.5 Peresepan latihan berdasarkan karakteristik pasien ... 35
2.6 Peresepan latihan untuk pasien dengan penyakit jantung koroner menurut ACSM ... 36
4.1 Karakteristik Dasar Subjek Penelitian yang Menjalani Program Rehabilitasi Jantung Fase II ... 56
4.2 Karakteristik Dasar Subjek Berdasarkan Resiko Kardiovaskular ... 58
4.3 Perubahan Parameter Sebelum dan Setelah Program Rehabilitasi Jantung Fase II ... 61
4.4 Korelasi hsCRP dengan Kapasitas Fungsional Sebelum Program Rehabilitasi Jantung Fase II ... 64
4.5 Korelasi hsCRP dengan Kapasitas Fungsional Setelah Program Rehabilitasi Jantung Fase II ... 64
DAFTAR SINGKATAN
SINGKATAN NAMA
6MWT : six minutes walk test
ACSM : American College of Sports Medicine
AHA : American Heart Association
ATP : Adult Treatment Panel
ATS : American Thoracic Society
BPAK : Bedah Pintas Arteri Koroner
CDC : Centers for Disease Control and Prevention
CRP : C-reactive Protein
EC : endothelial cell
EPC : endothelial progenitor cell
ESC : European Society of Cardiology
FDA : Food and Drug Administration
HDL : High Density Lipoprotein
HRR : heart rate reserve
hsCRP : high sensitivity C-reactive Protein ICAM : intercellular adhesion molecule-1
IL : interleukin
IL-1RA : interleukin-1 receptor antagonist
IMT : Indeks Massa Tubuh
LDL : Low Density Lipoprotein
LpPLA2 : lipoprotein associated phospholipase A2
MCP : monocyte chemoattractant protein
MCSF : macrophage colony stimulating factor
METs : metabolic equivalent
NO : Nitric Oxide
NT-proBNP : N-Terminal Pro B-type Natriuretic Peptide
NYHA : New York Heart Association
PAI : plasminogen activator inhibitor
PJK : Penyakit Jantung Koroner
RPE : rate of perceived exertion
RS HAM : Rumah Sakit Haji Adam Malik
RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat
SAA : serum amiloid A
SD : standar deviasi
SE : standar error
SGOT : serum glutamic-oxaloacetic transaminase SGPT : serum glutamic-pyruvate transaminase
SMC : smooth muscle cell
TG : trigliserida
Th : T-helper
TLR4 : toll-like receptor 4
TNF-α : tumor necrosis factor alpha
Treg : regulatory T cells
ULJ : uji latih jantung
VCAM : vascular cell adhesion molecule
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit jantung koroner (PJK), suatu penyakit inflamasi kronik bertahap, dipengaruhi oleh lingkungan, gaya hidup, dan faktor genetik yang bisa dilihat dari faktor resiko tradisional, biomarka inflamasi, dan status metabolik. Inflamasi merupakan prediktor yang kuat untuk penyakit jantung koroner. Biomarka inflamasi yang sedang sering diteliti belakangan ini antara lain high-sensitivity c- reactive protein (hsCRP), suatu reaktan fase akut, interleukin-6 (IL-6) dan tumor necrosis factor alpha (TNF-α), keduanya sitokin inflamasi, dan intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1), marka untuk fungsi endotel. C-reactive protein (CRP), diproduksi oleh hepatosit, diatur oleh IL-6 dan TNF-α dan dijumpai pada endotelium plak aterosklerosis, sel otot polos, makrofag, dan adiposit. CRP mempengaruhi endotelium dengan mempengaruhi bioavailabilitas nitric oxide, sehingga akan meningkatkan ICAM-1 (Beckie dkk, 2010).
CRP adalah protein yang sangat stabil dan telah diukur di berbagai laboratorium selama beberapa dekade terakhir untuk menilai proses infeksi aktif atau inflamasi. Metode yang sedang berkembang adalah high-sensitivity CRP (hsCRP) karena dapat mengukur nilai CRP pada konsentrasi ≤0,3 mg/L. HsCRP adalah penanda inflamasi yang dapat memprediksi insidensi infark miokardium, stroke, penyakit arteri perifer, dan kematian jantung mendadak diantara orang normal tanpa riwayat penyakit jantung, CRP juga memprediksi insidensi serupa pada penderita sindroma koroner akut ataupun penyakit koroner stabil (Bassuk dkk, 2006).
Pemeriksaan patologi menunjukkan bahwa inflamasi berperan dalam proses aterosklerosis. Data epidemiologi menunjukkan inflamasi ringan persisten merupakan prediktor independen untuk penyakit jantung koroner. Para ilmuwan menyatakan bahwa CRP sebagai marka inflamasi vaskular bukan hanya berperan
secara indirek tapi juga direk dalam etiologi aterosklerosis. Peningkatan CRP merupakan faktor resiko independen yang penting untuk penyakit jantung koroner dan menentukan prognosis pada pasien yang telah mengidap penyakit jantung koroner. Penelitian mengenai patofisiologi penyakit jantung koroner telah menuntun ilmuwan untuk menilai kegunaan CRP sebagai cara untuk mengidentifikasi pasien dengan resiko tinggi dan atau memantau efek dari tindakan prevensi primer dan sekunder (Caulin-Glaser dkk, 2005).
Program rehabilitasi jantung pertama kali dikembangkan sekitar tahun 1960-an, ketika keuntungan dari ambulasi setelah perawatan jangka panjang akibat penyakit jantung koroner telah disadari. Setelah pulang dari rumah sakit, proses rekondisi fisik dilanjutkan di rumah. Kegiatan latihan yang tidak disupervisi setelah pulang menimbulkan kekuatiran, sehingga dikembangkan suatu program rehabilitasi yang disusun dengan terstruktur dan disupervisi oleh pakar kesehatan dan memakai monitor elektrokardiografi. Fokus dari program ini terbatas hanya mengenai latihan (Ades, 2001).
Rehabilitasi jantung adalah suatu intervensi yang terkoordinasi terhadap berbagai aspek yang dirancang untuk mengoptimalkan pasien jantung dalam hal- hal seperti fisik, psikologis, dan fungsi sosial, sebagai tambahan untuk menstabilkan, memperlambat, atau bahkan memundurkan progresi proses aterosklerosis, sehingga nantinya akan menurunkan morbiditas dan mortalitas.
Pada tahun 1994, American Heart Association (AHA) mendeklarasikan bahwa rehabilitasi jantung sebaiknya tidak hanya terbatas pada program olahraga saja tetapi juga harus melingkupi berbagai strategi yang bertujuan untuk memperbaiki faktor resiko penyakit kardiovaskular yang bisa dimodifikasi (Leon dkk, 2005).
Beberapa waktu belakangan ini banyak studi yang mempelajari hubungan antara inflamasi di jaringan adiposa dengan patogenesis sindroma metabolik dan penyakit aterosklerosis. Rehabilitasi jantung memiliki peranan dalam memperbaiki faktor resiko dan selain itu juga mencegah berbagai kejadian kardiovaskular lanjutan (Onishi dkk, 2009).
Latihan rutin terbukti memperbaiki komponen sindroma metabolik seperti hipertensi, kenaikan trigliserida plasma, kenaikan gula darah dan kadar low
density lipoprotein (LDL) yang rendah. Beberapa studi terandomisasi menunjukkan efek positif latihan terhadap parameter metabolik dan toleransi latihan pada subjek dengan sindroma metabolik dan tanpa penyakit jantung koroner (Gayda dkk, 2008). Para peneliti juga menemukan efek dari program rehabilitasi jantung terhadap fungsi psikososial pada pasien dengan penyakit jantung koroner yaitu menurunkan tingkat depresi, kecemasan, dan meningkatkan kualitas hidup (Lavie dkk, 2008).
Banyak bukti yang menunjukkan efek anti-inflamasi dari olahraga terhadap biomarka seperti hsCRP dalam berbagai kondisi dan populasi.
Rehabilitasi jantung yang mencakup peresepan latihan, edukasi kesehatan, dan konseling psikologis telah menunjukkan hasil yang baik secara fisik dan psikososial bagi pasien dengan penyakit jantung koroner (Beckie dkk; 2010).
Penurunan berat badan dan latihan terbukti efektif dalam mengurangi inflamasi vaskular yang tampak dari penurunan nilai CRP. Mekanisme biologis yang terlibat antara lain perbaikan dalam berat badan, profil lipid, tekanan darah, kontrol glikemik, dan aktivitas fibrinolitik. Partisipasi dalam program rehabilitasi jantung menunjukkan penurunan 31% dari kematian akibat kardiovaskular dan 27% dari total kematian (Caulin-Glaser dkk; 2005).
Studi membuktikan bahwa marka inflamasi seperti hsCRP merupakan metode alternatif untuk penilaian resiko kardiovaskular secara umum. Beberapa studi prospektif menunjukkan nilai hsCRP plasma merupakan prediktor resiko kejadian kardiovaskular yang kuat pada individu dengan atau tanpa penyakit kardiovaskular, termasuk di antaranya pasien yang telah pulang berobat jalan setelah terkena sindroma koroner akut (Milani dkk; 2004).
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara program rehabilitasi jantung fase II dengan nilai hsCRP pada pasien dengan penyakit jantung koroner yang telah menjalani bedah pintas arteri koroner (BPAK).
1.2 Pertanyaan Penelitian
Apakah program rehabilitasi jantung fase II berhubungan dengan nilai hsCRP pasien yang telah menjalani BPAK?
1.3 Hipotesis
Terdapat hubungan antara program rehabilitasi jantung fase II dengan penurunan nilai hsCRP pada pasien yang telah menjalani BPAK.
1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan program rehabilitasi jantung fase II dengan nilai hsCRP pasien yang telah menjalani BPAK.
1.4.2 Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui perbedaan nilai hsCRP sebelum dan sesudah program rehabilitasi jantung fase II.
b. Untuk mengetahui perbedaan jarak tempuh six-minute walk test (6MWT) sebelum dan sesudah program rehabilitasi jantung fase II.
c. Untuk mengetahui hubungan antara hsCRP dengan kapasitas fungsional yang diukur dengan 6MWT sebelum program rehabilitasi jantung fase II.
d. Untuk mengetahui hubungan antara hsCRP dengan kapasitas fungsional yang diukur dengan 6MWT sesudah program rehabilitasi jantung fase II.
e. Untuk mengetahui karakteristik pasien yang telah menjalani prosedur BPAK.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Kepentingan Akademik
Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran mengenai manfaat rehabilitasi jantung, sehingga program ini semakin rutin dilakukan bagi pasien paska BPAK.
1.5.2 Kepentingan Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi semua penyelenggara kesehatan dalam mempromosikan program rehabilitasi jantung bagi pasien paska BPAK. Dengan demikian diharapkan terjadi perbaikan kualitas hidup, angka morbiditas dan angka mortalitas pasien.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Proses Aterosklerosis
Dalam beberapa dekade terakhir, teori mengenai patogenesis aterosklerosis memprediksi bahwa proliferasi sel otot polos (smooth muscle cells/SMCs) menjadi penyebab terbentuknya lesi fibrous yang mengelilingi “inti nekrosis” akibat deposit kolesterol dan kolesteril-ester. Sel endotel normal (endothelial cells/EC) akan menghambat interaksi adhesif dengan leukosit dalam darah, sedangkan EC yang distimulasi oleh ekspresi sitokin proinflamasi akan mengekspresikan molekul adhesif untuk menangkap dan mengikat leukosit pada permukaan endotel. Pada uji coba hewani, setelah inisiasi dengan diet hiperkolesterol, arteri menunjukkan ekspresi bermacam-macam molekul adhesif leukosit yang meningkat, termasuk vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1) dan selektin-P. VCAM-1 hanya berikatan dengan sel darah putih yang ditemukan pada lesi aterosklerosis awal seperti mononuklear fagosit dan limfosit T. Jadi transisi arteri normal menjadi lesi aterosklerosis bergantung pada jumlah leukosit yang menginisiasi dan kemudian melanjutkan proses inflamasi secara terus menerus (Libby, 2006; Bentzon, 2011).
Sesaat setelah berikatan dengan permukaan endotel, leukosit memerlukan sinyal kemotraktan untuk dapat langsung bermigrasi ke lapisan intima subendotelial. Sitokin proinflamasi yang multipel berpartisipasi dalam proses ini.
Monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1) menyebabkan transmigrasi monosit. Sel dinding vaskular intrinsik, endotelium, dan otot polos dapat memproduksi MCP-1. Sitokin kemotraktan yang lain seperti fraktalkin dan interleukin (IL-8) juga dapat menyebabkan migrasi leukosit adheren selama aterogenesis (Libby, 2006; Bentzon, 2011).
Fagosit mononuklear mengalami perubahan ciri dan membentuk foam cell setelah masuk ke intima arteri. Monosit juga akan mengekspresikan reseptor scavenger, yang menangkap lipoprotein sehingga berakumulasi pada ruang subendokardium. Kemampuan menangkap lipoprotein ini menyebabkan pembentukan kompleks makrofag-lipid yang disebut foam cell, tanda khas lesi aterosklerosis awal, yang disebut fatty streak (Libby, 2006; Bentzon, 2011).
Gambar 2.1 Proses pembentukan foam cell (A) Arteri normal, meliputi lumen yang dilapisi endotelium, lapisan intima, dan tunika media. (B) Sel endotelium yang terekspos dengan mediator inflamasi mengekspresikan molekul adhesif pada permukaan lumen. Molekul adhesi ini berikatan dengan reseptor pada leukosit, menyebabkan perlengketan pada permukaan endotelium. (C) Sitokin kemotraktan seperti MCP-1, fraktalkin, dan IL-8 memberi sinyal kepada leukosit untuk menetrasi lapisan endotelium ke intima dengan diapedesis. (D) Monosit akan mengekspresikan reseptor scavenger dan menjadi foam cell, tanda awal dari fatty
streak, prekursor lesi aterosklerosis yang kompleks. Makrofag pada plak juga bereplikasi. Mediator inflamasi seperti M-CSF dapat memproduksi reseptor scavenger dan proliferasi makrofag pada ateromata (Libby, 2006).
2.1.1 Inflamasi pada Aterosklerosis
Hiperkolesterolemia menyebabkan aktivasi endotelium pada arteri sedang dan besar. Infiltrasi dan retensi LDL pada intima menginisiasi respon inflamasi pada dinding arteri. Trombosit adalah sel darah pertama yang tiba pada lokasi endotelium yang teraktivasi. Glikoprotein Ib dan IIb/IIIa akan berikatan dengan permukaan molekul sel endotelium, yang berkontribusi pada aktivasi endotel. Sel endotel yang teraktivasi mengekpresikan berbagai tipe molekul adhesif leukosit, yang menyebabkan sel darah akan berikatan pada tempat aktivasi (Hansson, 2005;
Bentzon, 2011).
Sitokin yang diproduksi pada intima yang mengalami inflamasi yaitu macrophage colony-stimulating factor (MCSF), menginduksi monosit yang masuk ke dalam plak dan berdiferensiasi menjadi makrofag. Hal ini penting dalam perkembangan aterosklerosis dan berhubungan dengan regulasi reseptor untuk imunitas bawaan, termasuk reseptor scavenger dan reseptor toll-like (Hansson, 2005; Bentzon, 2011).
Reseptor scavenger menangkap dan menghancurkan sejumlah molekul dan partikel yang memiliki pola seperti patogen meliputi endotoksin bakteri, fragmen sel apoptosis, dan LDL yang teroksidasi. Reseptor toll-like juga berikatan dengan molekul dengan pola molekul seperti patogen, tetapi berbeda dengan reseptor scavenger, reseptor ini menginisiasi kaskade sinyal yang menyebabkan aktivasi sel (Hansson, 2005; Bentzon, 2011).
Sel imun (termasuk sel T, sel dendritik yang mempresentasikan antigen, monosit, makrofag, dan sel mast) dan patrol tissue (termasuk arteri yang mengalami aterosklerosis) akan mencari antigen. Infiltrasi sel T selalu dijumpai pada lesi aterosklerosis. Ketika reseptor antigen sel T berikatan dengan antigen,
aktivasi kaskade menghasilkan ekspresi sejumlah sitokin, cell-surface molecules, dan enzim. Respon T-helper tipe 1 (Th1) mengaktivasi makrofag, menginisiasi respon inflamasi yang mirip dengan hipersensitivitas dan berfungsi melawan patogen intraseluler, sedangkan respon T-helper tipe 2 (Th2) berupa inflamasi alergi. Lesi aterosklerosis mengandung sitokin yang merangsang respon Th1. Sel T yang teraktivasi kemudian berdiferensiasi menjadi sel efektor Th1 dan mulai menghasilkan sitokin interferon γ oleh makrofag. Interferon γ meningkatkan efisiensi presentasi antigen dan sintesis sitokin inflamasi berupa tumor necrosis factor dan interleukin-1 (Hansson, 2005; Bentzon, 2011).
Sitokin sel T menyebabkan produksi sejumlah besar molekul pada kaskade sitokin. Peningkatan jumlah interleukin-6 dan C-reactive protein dapat terdeteksi di sirkulasi perifer (Hansson, 2005).
Gambar 2.2 Efek aktivasi infiltrasi LDL pada arteri yang terinflamasi. Pada pasien hiperkolesterol, kelebihan LDL akan berinfiltrasi pada arteri dan tertahan
pada intima. Proses oksidatif dan enzimatik menyebabkan pelepasan lemak terinflamasi yang menginduksi sel endotel untuk mengekspresikan molekul adhesif leukosit. Partikel LDL termodifikasi akan ditangkap oleh reseptor scavenger yang merubahnya menjadi foam cell (Hansson, 2005).
Gambar 2.3 Efek aktivasi sel T pada plak yang terinflamasi. Antigen yang dipresentasikan oleh makrofag dan sel dendritik akan merangsang aktivasi sel T pada arteri. Kebanyakan sel T yang teraktivasi akan memproduksi sitokin Th1 (interferon γ), yang mengaktivasi sel makrofag dan vaskuler, menyebabkan
inflamasi. Sel T akan memodulasi proses dengan mensekresi sitokin antiinflamasi (seperti interleukin-10 dan transforming growth factor B) (Hansson, 2005) .
Gambar 2.4 Kaskade sitokin. Sel imun yang teraktivasi pada plak memproduksi sitokin inflamasi (interferon γ, interleukin-1, dan TNF), yang menginduksi produksi sejumlah interleukin-6. Sitokin ini juga diproduksi oleh berbagai jaringan sebagai respon infeksi dan jaringan lemak pada sindroma metabolik.
Interleukin-6 juga akan kembali menstimulasi produksi sejumlah besar reaktan fase akut, termasuk CRP, serum amiloid A, dan fibrinogen, terutama di hati (Hansson, 2005).
2.1.2 Penanda Inflamasi
Rangsangan inflamasi yang disebabkan oleh sitokin proinflamasi dapat meningkat melalui produksi interleukin-6. Berbagai tipe sel seperti SMCs dan EC dapat menghasilkan sejumlah besar interleukin-6 ketika terekspos dengan interleukin-1β atau TNF-α. Interleukin-6 adalah mediator yang mengontrol respon fase akut di hati. Ketika terkespos dengan interleukin-6, hepatosit akan meningkatkan ekspresi protein fase akut, termasuk fibrinogen, plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1), serum amiloid A (SAA), dan CRP (Libby, 2006).
Gambar 2.5 Jalur inflamasi selama aterosklerosis yang dapat meningkatkan konsentrasi penanda inflamasi pada darah (Libby, 2006).
Hubungan antara fibrinogen, SAA, dan CRP dengan penyakit jantung koroner telah terbukti. Fibrinogen dan SAA dapat diukur di laboratorium klinik, namun parameter dan nilai batas normal belum terstandarisasi oleh FDA. CRP
adalah protein yang sangat stabil dan telah diukur di berbagai laboratorium selama beberapa dekade terakhir untuk menilai proses infeksi aktif atau inflamasi.
Metode yang sedang berkembang adalah hsCRP karena dapat mengukur nilai CRP pada konsentrasi ≤0,3 mg/dL (Libby, 2006).
CRP tersusun dari 5 subunit identik dan nonkovalen, masing-masing terdiri dari 206 residu asam amino dengan berat molekul 23,017 kDa, sehingga total berat molekul CRP sekitar 118,000 kDa dan merupakan mekanisme pertahanan nonspesifik. CRP merupakan protein yang meningkat secara konsisten dan protein fase akut yang paling cepat bereaksi (waktu paruh 19 jam), menunjukkan CRP bagian dari respon imunitas bawaan. Konsentrasi CRP akan meningkat sampai 1000 kali atau lebih dalam waktu 24-48 jam setelah cedera jaringan. Menurut AHA/CDC, interpretasi klinis nilai CRP terhadap risiko kardiovaskular adalah: < 1mg/dL dianggap risiko rendah, 1-3 mg/dL risiko sedang, >3 mg/dL risiko tinggi. Usia dan etnik tidak mempengaruhi nilai CRP, tetapi kondisi fisik dan kebiasaan hidup seperti aktivitas fisik, obesitas, merokok dan konsumsi alkohol mempengaruhi konsentrasi CRP (Rifai, 2006).
2.2 Bedah Pintas Koroner
2.2.1 Definisi
Bedah pintas koroner merupakan salah satu penanganan intervensi dari penyakit jantung koroner (PJK) dengan cara membuat saluran baru melewati arteri koroner yang mengalami penyempitan atau penyumbatan (Feriyawati, 2005). Operasi bedah pintas koroner adalah teknik yang menggunakan pembuluh darah dari bagian tubuh yang lain untuk memintas arteri yang menghalangi pemasokan darah ke jantung. Operasi bedah pintas koroner sangat ideal untuk pasien dengan penyempitan di beberapa cabang arteri koroner (Kulick dkk, 2007).
Rekomendasi untuk melakukan bedah pintas koroner didasarkan atas beratnya keluhan angina dalam aktivitas sehari-hari. Respon terhadap intervensi non bedah percutaneous coronary intervention (PCI) atau stent dan obat-obatan serta
harapan hidup pascaoperasi yang didasarkan atas fungsi jantung secara umum sebelum operasi (Woods dkk, 2005).
2.2.2 Tujuan
1. Meningkatkan sirkulasi darah ke arteri koroner.
2. Mencegah terjadinya iskemia yang luas.
3. Meningkatkan kualitas hidup.
4. Meningkatkan toleransi aktifitas.
5. Memperpanjang masa hidup (Smeltzer dkk, 2008)
2.2.3 Indikasi
Indikasi bedah pintas koroner menurut American Heart Association (AHA) (Ignatavisius dkk, 2006) :
1. Stenosis left main coronary artery yang signifikan.
2. Angina yang tidak dapat dikontrol dengan terapi medis.
3. Angina yang tidak stabil.
4. Iskemia yang mengancam dan tidak respon terhadap terapi non bedah yang maksimal.
5. Gagal pompa ventrikel yang progresif dengan stenosis koroner yang mengancam daerah miokardium.
6. Sumbatan yang tidak dapat ditangani dengan PTCA dan trombolitik.
7. Sumbatan/stenosis LAD dan LCX pada bagian proximal > 70%.
8. Pasien dengan komplikasi kegagalan PTCA.
9. Pasien dengan sumbatan 3 pembuluh darah arteri (three vessel disease) dengan angina stabil atau tidak stabil.
10. Pasien dengan 2 sumbatan pembuluh darah dengan angina stabil atau tidak stabil dengan salah satu lesi di proksimal LAD yang berat.
2.2.4 Kontraindikasi
1. Sumbatan pada arteri < 70% sebab jika sumbatan pada arteri koroner kurang dari 70% maka aliran darah tersebut masih cukup banyak sehingga mencegah
aliran darah yang adekuat pada pintasan. Akibatnya, akan terjadi bekuan pada graft sehingga hasil operasi akan menjadi sia-sia.
2. Tidak ada gejala angina.
3. Struktur arteri koroner yang tidak memungkinkan untuk disambung.
4. Fungsi ventrikel kiri jelek (kurang dari 30%) (Pierce dkk, 2006).
2.2.5 Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi segera setelah operasi maupun dalam waktu yang lebih lama antara lain (Black dkk, 2009; Smeltzer dkk, 2008) :
a. Komplikasi kardiovaskular meliputi disritmia, penurunan curah jantung dan hipotensi persisten.
b. Komplikasi hematologi meliputi perdarahan dan pembekuan.
c. Komplikasi ginjal dapat terjadi gagal ginjal ketika terjadi penurunan curah jantung.
d. Komplikasi paru termasuk atelektasis, pneumonia, edema paru, hemothoraks/pneumothoraks.
e. Komplikasi neurologi dapat muncul sangat jelas termasuk stroke dan encephalopathy, delirium, cerebrovascular accident.
f. Disfungsi gastrointestinal seperti stress ulcer, ileus paralitik.
g. Rapid restenosis graft (dalam waktu 6 bulan) atau vena graft colaps.
2.3 High sensitivity C-reactive Protein (hsCRP)
2.3.1 hsCRP dan Resiko Penyakit Kardiovaskular
Terdapat beberapa biomarka yang berhubungan dengan PJK, stroke, atau keduanya, tapi hanya beberapa yang diuji pengaruhnya dalam memprediksi resiko. Biomarka yang paling sering diteliti adalah hsCRP. Biomarka lain yang tampaknya menjanjikan antara lain lipoprotein-associated phospholipase A2
(LpPLA2) dan amino-terminal pro-B-type natriuretic peptide (NT-proBNP) (Nambi, 2011).
CRP adalah penanda nonspesifik inflamasi. CRP awalnya diuji hubungannya dengan penyakit kardiovaskular karena para ilmuwan menyadari peranan inflamasi dalam patogenesis aterosklerosis. Dalam beberapa studi, ilmuwan melaporkan hubungan antara kadar hsCRP dan kejadian PJK, stroke, atau keduanya (Nambi, 2011).
hsCRP adalah penanda inflamasi yang dapat memprediksi insidensi infark miokardium, stroke, penyakit arteri perifer, dan kematian jantung mendadak diantara orang normal tanpa riwayat penyakit jantung. CRP juga memprediksi insidensi serupa pada penderita sindroma koroner akut ataupun penyakit koroner stabil. CRP tidak hanya disintesis oleh hati akibat respon terhadap interleukin-6 tetapi juga dihasilkan oleh sel otot polos dalam arteri koroner. Penelitian menunjukkan CRP dapat mempengaruhi kerentanan vaskuler secara langsung melalui banyak mekanisme, termasuk peningkatan ekspresi molekul adhesif pada permukaan sel endotel, MCP-1, endotelin-1, dan PAI-1; menurunkan bioaktivitas nitrit oksida (NO); peningkatan induksi faktor jaringan pada monosit; peningkatan serapan LDL oleh makrofag; dan kolonisasi dengan kompleks membran komplemen dalam lesi aterosklerosis (Bassuk dkk, 2006).
Gambar 2.6 Mekanisme terkait CRP terhadap perkembangan dan progresi aterotrombosis (Bassuk, 2006).
Liuzzo dkk menunjukkan pada 31 pasien dengan angina tidak stabil berat dan tidak ada bukti nekrosis miokardium yang ditandai dengan tidak adanya peningkatan troponin T, konsentrasi hsCRP > 3mg/dL pada saat masuk dihubungkan dengan peningkatan angina rekuren, revaskularisasi koroner, infark miokardium, dan kematian kardiovaskuler. Data dari European Concerted Action on Thrombosis and Disabilities (ECAT) Angina Pectoris Study Group, studi dari 2121 pria dan wanita dengan angina stabil dan tidak stabil menunjukkan setiap peningkatan 1 standar deviasi hsCRP dihubungkan dengan peningkatan risiko relatif sekitar 45% terhadap infark miokardium atau kematian jantung mendadak (Haverkate dkk, 1997).
Peningkatan CRP juga berhubungan bermakna dengan peningkatan risiko trombosis stent, kematian dan infark miokardium pada pasien yang mendapat drug-eluting stent. Hal ini menunjukkan kegunaan dari penilaian risiko inflamasi dengan CRP (Park dkk, 2009). Inoue dkk menunjukkan CRP adalah penanda
unggulan untuk ketidakstabilan plak atau status inflamasi, dan sumbernya kemungkinan besar berasal dari plak yang mengalami inflamasi atau dinding arteri koroner yang cedera akibat stent (Inoue dkk, 2005). Studi menunjukkan nilai CRP sebelum prosedur angioplasti merupakan prediktor kuat terhadap kejadian komplikasi dini dan restenosis dari pasien yang menjalani angioplasti pada satu pembuluh darah (Buffon dkk, 1999). hsCRP merupakan penanda baru yang menjanjikan untuk prediksi penyakit koroner pertama ataupun rekuren (Rifai, 2001).
Kralisz dkk menunjukkan terdapat perbedaan antara nilai hsCRP sebelum dan 24 jam setelah IKP (1.36±0.93 mg/L and 4.34±3.3 mg/dL, p <0.0001), respon inflamasi yang dipresentasikan oleh hsCRP lebih tinggi pada pasien dengan intervensi koroner multivaskular dengan total segmen stent yang lebih panjang (Kralisz, 2006). Nyandak dkk juga menunjukkan nilai hsCRP yang lebih tinggi pada pasien dengan derajat stenosis yang lebih berat dan berhubungan dengan beban penyakit pada penderita PJK (Nyandak, 2007).
2.3.2 hsCRP Sebagai Prediktor Kejadian Kardiovaskular Mayor Lindahl dkk menunjukkan bahwa nilai troponin T dan CRP yang tinggi saat pertama kali datang pada pasien dengan angina tidak stabil menunjukkan hubungan yang kuat dengan resiko kematian jangka panjang akibat penyakit jantung (Lindahl, 2000).
Hedman dkk pernah melakukan suatu studi terhadap 99 pasien angina pektoris stabil dengan penyakit jantung koroner signifikan yang akan menjalani operasi bedah pintas arteri koroner. Dilakukan pengambilan sampel darah sebelum operasi, lalu tiga bulan setelahnya pasien menjalani angiografi koroner untuk evaluasi graft. Nilai IL-6 yang tinggi ternyata dapat memprediksi oklusi graft dini dan kejadian kardiovaskular lanjutan setelah operasi. Nilai CRP yang tinggi ternyata dapat memprediksi oklusi graft dini setelah operasi (Hedman, 2007).
Menurut studi meta-analisis yang dilakukan Padayachee dkk terhadap subjek yang menjalani operasi vaskular, nilai CRP pre-operatif ≥3 mg/dL memiliki hubungan dengan resiko kematian jangka panjang (>180 hari) dan morbiditas mayor penyakit jantung. Akan tetapi untuk jangka pendek (<30 hari) dan jangka menengah (30-180 hari), hal tersebut tidak dapat dibuktikan karena jumlah sampel yang tidak mencukupi (Padayachee, 2009).
Studi yang dilakukan oleh Alonso-Martinez dkk terhadap 76 pasien gagal jantung menunjukkan bahwa nilai CRP yang tinggi berhubungan dengan peningkatan resiko readmisi dan kematian. Selain itu, CRP juga bisa menjadi marka independen untuk menilai perbaikan kondisi pasien dan kemungkinan readmisi (Alonso-Martinez, 2002).
Owens dkk melakukan suatu studi terhadap 91 pasien dengan penyakit arteri perifer yang akan menjalani bedah pintas vena pada ekstremitas bawah.
Pasien dengan nilai hsCRP yang meningkat beresiko mengalami kejadian vaskular post operasi, yang sebagian besar berhubungan dengan graft vena (Owens, 2007).
2.4 Manfaat Olahraga
Secara umum, olahraga mempengaruhi sistem sirkulasi dengan cara sebagai berikut:
Meningkatkan aliran darah paru untuk meningkatkan pengambilan O2 dan mengeluarkan CO2.
Meningkatkan aliran darah di otot yang aktif untuk menghantarkan O2 dan glukosa yang lebih banyak.
Menjaga tekanan arteri tetap stabil meskipun terjadi perubahan besar pada curah jantung dan resistensi vaskular perifer (Levick, 2011; Kusmana, 1997).
Curah jantung dan aliran darah paru meningkat dalam proporsi yang linear dengan konsumsi oksigen total. Hal ini disebabkan pusat pengaturan di batang otak menerima informasi mengenai konsumsi oksigen. Peningkatan curah jantung secara utama diakibatkan peningkatan denyut jantung dan volume sekuncup (Levick, 2011).
Takikardia biasanya terjadi secara cepat dalam hitungan detik setelah memulai olahraga, lalu nantinya akan menetap pada level tertentu. Hal ini terjadi akibat kegagalan inhibisi vagal pada pacemaker, sehingga saraf simpatik mengambil alih pacemaker dan menyebabkan takikardia. Volume sekuncup meningkat karena peningkatan tekanan pengisian yang meningkatkan volume akhir diastolik ventrikel, peningkatan fraksi ejeksi, dan nantinya akan mengurangi volume sistolik akhir. Tekanan pengisian ventrikel kanan (contohnya: tekanan vena sentral) meningkat 1 mmHg ketika melakukan olahraga intensitas sedang, terus menerus dan dalam posisi berdiri. Kenaikan ini diakibatkan pompa otot skeletal dan venokonstriksi organ dalam yang dipengaruhi saraf simpatis. Fraksi ejeksi meningkat karena peningkatan aktifitas saraf simpatik jantung. Hal ini akan meningkatkan kontraktilitas ventrikel yang akan mengurangi volume sistolik akhir dan meningkatkan volume sekuncup. Fraksi ejeksi dapat melampaui 80% ketika sedang olahraga berat (Levick, 2011; Kusmana, 1997; Smith, 1999).
Sirkulasi darah pada jaringan lain juga terpengaruh saat olahraga, contohnya:
Aliran darah di koroner meningkat sesuai proporsi kerja jantung akibat vasodilatasi metabolik lokal.
Perfusi otot respirasi meningkat karena peningkatan usaha nafas. Hal inilah yang menyebabkan kenaikan 16% curah jantung saat berolahraga berat.
Pada awal olahraga, pembuluh darah kutan akan berkonstriksi, tapi seiring peningkatan suhu inti maka peran termoregulatori kulit akan bekerja sehingga terjadi dilatasi. Hal ini membutuhkan peningkatan jumlah curah
jantung. Venodilatasi kutan akan menurunkan tekanan pengisian jantung, maka volume sekuncup akan cenderung menurun selama olahraga berat yang berkepanjangan, sehingga denyut jantung akan meningkat sebagai kompensasinya.
Vasokonstriksi simpatik pada organ dalam, ginjal, dan otot yang tidak dilatih akan semakin meningkat selama olahraga, akibat pengaturan ulang dari pusat, reseptor otot dan kemoreseptor arterial. Sebagai contoh, ketika olahraga dengan menggunakan kaki, resistensi vaskular di lengan bawah akan meningkat. Vasokonstriksi tersebut diperlukan untuk mempertahankan tekanan darah. Jika hal itu tidak terjadi, vasodilatasi di otot aktif, miokardium, dan kulit akan menurunkan tekanan darah 12-40 mmHg selama olahraga intens (Levick, 2011; Kusmana, 1997; Smith, 1999).
2.5 Program Rehabilitasi Jantung 2.5.1 Definisi
Menurut United States Public Health Service, rehabilitasi jantung adalah program jangka panjang yang komprehensif dan melibatkan evaluasi pengobatan, peresepan latihan, modifikasi faktor resiko, edukasi dan konseling. Program ini dirancang untuk mengurangi dampak penyakit jantung terhadap kondisi fisik dan psikologis, mengurangi resiko kematian mendadak dan reinfark, mengontrol simtom kardiak, menstabilkan atau mengurangi proses aterosklerosis, dan meningkatkan status psikososial dan vokasional pasien tertentu. Rehabilitasi jantung dianjurkan pada pasien dengan infark miokardium, post bedah pintas arteri koroner, dan angina pektoris stabil yang kronis (Wenger, 1999).
Saat ini program rehabilitasi jantung juga dilakukan untuk orang yang memiliki resiko tinggi penyakit jantung koroner, termasuk di antaranya orang yang terbukti memiliki penyakit vaskular atau beresiko tinggi terkena penyakit
vaskular, atau bahkan jenis penyakit jantung lainnya. Untuk mempersempit definisi tadi, Cardiac Rehabilitation Working Group dari European Society of Cardiology (ESC) telah memodifikasi makna program rehabilitasi jantung menjadi kumpulan intervensi yang diperlukan untuk menjamin kondisi fisik, psikologis dan sosial yang paling baik sehingga pasien dengan penyakit jantung kronis maupun akut mampu mempertahankan atau mengisi kembali posisinya dalam masyarakat dengan usahanya sendiri (Goble, 1999; Franklin, 1999).
2.5.2 Sejarah Program Rehabilitasi Jantung
Pada tahun 1772, empat tahun setelah mengeluarkan pernyataan mengenai angina pektoris, Heberden melaporkan kasus tentang pasien yang kondisinya membaik akibat bekerja di hutan selama setengah jam setiap harinya. Meskipun aktifitas fisik belum terbukti bermanfaat, ternyata pembatasan aktifitas justru memberatkan kondisi pasien yang mengalami kejadian koroner akut, yang sering mengakibatkan masalah serius seperti penurunan kapasitas fungsional, masa rawatan di rumah sakit yang memanjang, dan peningkatan morbiditas dan mortalitas (Mampuya, 2012).
Parry, pada tahun 1799, mengungkapkan efek menguntungkan dari aktifitas fisik pada pasiennya yang memiliki keluhan nyeri dada. Laporan ini ditulis jauh sebelum istilah penyakit jantung koroner dikenal, meskipun tanpa diragukan pastinya sebagian besar pasien tersebut mengalami angina atau infark miokardium. Sambutan positif tentang pentingnya aktifitas fisik ternyata kemudian dilupakan pada tahun 1912, ketika Herrich memberikan deskripsi orisinalnya mengenai infark miokardium akut. Dia kemudian menganjurkan pembatasan aktifitas dan tirah baring selama enam hingga delapan minggu post infark miokardium. Hal ini bertujuan untuk mengurangi resiko ruptur aneurisma ventrikel dan hipoksemia arterial yang lebih lanjut (Certo, 1985).
Pada tahun 1950 awal, kegiatan jalan singkat sekitar 3-5 menit per hari diperbolehkan 4 minggu setelah serangan jantung. Secara perlahan mulai disadari bahwa mobilitas secara dini justru dapat mencegah berbagai komplikasi tirah
baring. Pada tahun 1952, Levine dan Lown secara terbuka mempertanyakan manfaat tirah baring dan inaktifitas berkepanjangan setelah infark miokardium.
Berdasarkan studi mereka di rumah sakit Boston, diambil kesimpulan bahwa tirah baring yang berkepanjangan akan menurunkan kapasitas fungsional, menumpulkan semangat, dan mencetuskan komplikasi. Pernyataan tersebut kemudian menarik perhatian orang banyak dan menimbulkan pertanyaan mengenai tatalaksana terbaik untuk penyakit kardiovaskular (Certo, 1985).
Pada pertemuan ilmiah ke-13 American Heart Association (AHA) di Chicago tahun 1953, dokter Louis Katz menyatakan bahwa seorang dokter harus bersedia meninggalkan dogma yang lama ketika sudah terbukti salah dan menerima ilmu yang baru. Ia menekankan pentingnya penelitian tentang aktifitas fisik dan sebaiknya hal ini diterapkan dalam praktek sehari-hari terhadap pasien dengan penyakit jantung. Turell dan Hellerstein mendesak para dokter untuk menerapkan metode yang lebih positif dan komprehensif dalam menangani pasien dengan penyakit jantung. Mereka menekankan penerapan fisiologi olahraga.
Mereka kemudian merekomendasikan suatu program bertahap (sebuah prototipe rehabilitasi jantung kontemporer) yang dibuat berdasarkan kebutuhan energi dan aktifitas fisik serta toleransi latihan pasien dengan evaluasi fungsi kardiovaskular secara berkelanjutan (Certo, 1985).
Pada tahun 1968, Saltin et al. mempublikasikan Dallas Bed Rest and Exercise Study, suatu studi kecil yang menunjukkan pentingnya olahraga dan efek merugikan tirah baring berkepanjangan. Braunwald, Sarnoff, Sonnenblick, Hellerstein, Naughton dan beberapa orang lainnya menyusun dasar fisiologis dan manfaat olahraga yang nantinya akan berkembang menjadi program rehabilitasi jantung. Sejak saat itu, kegiatan tersebut dianggap sebagai komponen terapeutik yang penting oleh kardiolog. Sayangnya penemuan ini mulai sering diabaikan oleh komunitas kardiolog lainnya karena banyak kardiolog muda lebih tertarik dengan teknologi baru seperti ekokardiografi dan angiografi koroner.
Perkembangan obat-obatan baru seperti penyekat beta, penyekat kalsium dan trombolitik mengakibatkan rehabilitasi jantung sulit berkembang sebagai
komponen terapeutik standar karena kardiolog lebih terfokus untuk mendapatkan hasil yang cepat walaupun efeknya hanya jangka pendek. Pada masa sekarang, ketertarikan terhadap rehabilitasi jantung semakin meningkat karena pemahaman yang lebih baik tentang perjalanan penyakit jantung dan fakta bahwa meskipun pengobatan terus berkembang, penyakit jantung tetap menyebabkan tingkat kematian yang tinggi (Mampuya, 2012).
2.5.3 Fase Program Rehabilitasi Jantung
Semua pasien yang mengikuti program rehabilitasi jantung akan menjalani 3 fase yaitu:
Fase I/fase rawat selama 1-2 minggu.
Fase II/fase pasca perawatan (intervensi) selama 1-2 bulan.
Fase III/fase pemeliharaan selama 3-6 bulan (Goble, 1999; Wenger, 1999;
Kusmana, 2006; Mathes, 2007).
Fase I
Dalam 24 jam pertama serangan jantung maupun paska operasi, pasien dianggap dalam kondisi kritis, oleh karenanya pasien harus dirawat di ruang intensif sampai kondisinya stabil. Bila kondisi sudah stabil dan tidak ada keluhan seperti nyeri dada, sesak nafas, atau gangguan irama jantung yang berbahaya maka program rehabilitasi dapat dimulai. Latihan ditujukan untuk mencegah kompikasi. Tim rehabilitasi akan melakukan latihan pasif, artinya pasien tidak melakukan aktifitas fisik sendiri, tetapi petugas rehabilitasi akan melatih pasien menggerakkan tungkai/kaki pada waktu tertentu di tempat tidur. Gerakan tersebut akan dilakukan secara aktif pada esok harinya oleh pasien sendiri (Goble, 1999;
Wenger, 1999; Kusmana, 2006; Mathes, 2007).
Tim rehabilitasi akan memberi petunjuk cara menghitung denyut nadi, sehingga pasien dapat memantau sendiri reaksi latihan. Kenaikan denyut nadi diupayakan tidak lebih dari 10 hitungan dalam satu menit dibandingkan sebelum latihan. Bila tidak ada keluhan maka latihan akan ditingkatkan. Latihan berikutnya
dilakukan sambil duduk di tempat tidur. Selain itu pasien sudah diperbolehkan untuk membersihkan muka dan makan sendiri (Kusmana, 2006).
Pada hari ketiga pasien dipindahkan ke ruang perawatan peralihan. Di tempat ini, pemantauan tidak seketat ruang intensif. Tim rehabilitasi akan mulai mengajarkan latihan menggerakkan lengan dan kaki sambil berdiri. Kemudian dibimbing berlatih berjalan di sekitar ruang rawat. Diukur tekanan darah dan denyut nadi sebelum dan sesudah latihan serta dicatat keluhan yang timbul (Kusmana, 2006).
Demikian secara bertahap latihan ditingkatkan dengan latihan jalan di koridor dan akhirnya latihan diteruskan di ruang rehabilitasi secara berkelompok.
Latihan di sini akan diawasi dengan monitor jarak jauh (telemetri) sehingga dapat dicatat perubahan EKG saat latihan. Latihan kemudian ditingkatkan dan lebih bervariasi. Pasien dilatih untuk senam pemanasan, berjalan di atas treadmill, dan latihan di sepeda statis. Latihan jalan kaki yang tadinya hanya puluhan meter secara bertahap ditingkatkan sehingga dalam tempo dua minggu dapat mencapai 1-1,5 km (Goble, 1999; Kusmana, 2006).
Berbagai penyuluhan akan dilakukan termasuk cara kembali hidup di keluarga, hubungan intim suami istri dan kapan boleh bekerja kembali. Sebelum pulang, pasien dijadwalkan untuk uji latih jantung (ULJ) yang bertujuan menilai kondisi jantung secara objektif (Goble, 1999; Wenger, 1999; Kusmana, 2006).
Fase II
Setelah diperkenankan pulang, rehabilitasi fase kedua merupakan kegiatan yang harus diikuti. Program latihan disusun berdasarkan hasil ULJ sebelum pulang. Latihan pada fase ini akan lebih bervariasi dan beban latihan ditingkatkan.
Berbagai latihan senam, berjalan, menaiki tangga, latihan dengan alat seperti sepeda, dayung, tongkat, dumble, treadmill dll (Goble, 1999; Kusmana, 2006).
Diberikan pula senam relaksasi untuk mengurangi ketegangan dan melatih diri agar tidak mudah terpancing emosi. Berbagai penyuluhan diberikan untuk memulihkan kondisi mental dan kejiwaan. Setelah berjalan 2 bulan dilakukan penilaian ulang termasuk prosedur ULJ. Apabila hasilnya baik maka dilanjutkan ke fase tiga (Goble, 1999; Wenger, 1999; Kusmana, 2006).
Fase III
Fase ini adalah fase pemeliharaan yang bertujuan untuk mempertahankan hasil yang sudah diperoleh. Fase ini dapat dilanjutkan di tempat rehabilitasi, atau bergabung di Klub Jantung Sehat atau dilakukan sendiri. Latihan pada fase ini akan meningkat sesuai dengan kemajuan kesehatan pasien dan pengawasan latihan akan lebih longgar. Pada fase ini akan dinilai faktor resiko penyebab PJK yang harus ditanggulangi dan dikendalikan supaya tidak kambuh kembali (Goble, 1999; Kusmana, 2006).
Program ini disebut juga program pencegahan sekunder, artinya pencegahan sesudah timbulnya penyakit. Pada fase ini, proses aterosklerosis dapat dihentikan bahkan dimundurkan (regresi). Hal ini terbukti dari hasil penelitian Ornish dan Framingham di Amerika Serikat yang menyatakan bahwa dibutuhkan waktu antara 6 bulan sampai 2 tahun agar regresi dapat terjadi. Oleh karena itu, setelah selesai mengikuti fase 2 rehabilitasi dilanjutkan dengan fase 3 atau fase pemeliharaan (Wenger, 1999; Kusmana, 2006).
Umumnya fase rehabilitasi jantung di rumah sakit secara umum akan selesai dalam tempo 3 bulan. Tentunya hal ini bergantung pada berat ringannya penyakit jantung yang diderita. Pasien diberikan pedoman olahraga atau latihan yang cocok dengan kondisi jantung ketika sudah diperbolehkan mengikuti olahraga di luar tempat rehabilitasi (Goble, 1999; Wenger, 1999; Kusmana, 2006;
Mathes, 2007).
2.5.4 Indikasi Program Rehabilitasi Jantung
Saat ini, rehabilitasi merupakan bagian yang penting dari perawatan pasien jantung. Tujuan utamanya adalah untuk memperbaiki kapasitas fungsional, mengurangi keluhan yang dicetuskan oleh aktifitas, dan memungkinkan pasien untuk kembali ke masyarakat dengan keadaan seperti semula. Di antara semua pasien dengan PJK, ternyata kandidat untuk rehabilitasi bukan hanya pasien yang telah pulih dari infark miokardium tanpa komplikasi, tapi juga pasien serangan akut dengan komplikasi, pasien angina pektoris dalam berbagai tingkat severitas, pasien yang telah menjalani BPAK dan pasien yang telah menjalani angioplasti koroner (Goble, 1999; Wenger, 1999; Kusmana, 2006; Mathes, 2007).
Pasien lain yang juga merupakan kandidat untuk rehabilitasi adalah pasien yang telah menjalani operasi katup jantung, pasien (baik anak maupun dewasa) yang telah menjalani koreksi ataupun mengalami perburukan penyakit jantung bawaan, pasien dengan kardiomiopati dan disfungsi ventrikel akibat etiologi lainnya, pasien dengan alat pacu jantung dan cardioverter-defibrillator, dan pasien yang menjalani pemulihan dari transplantasi jantung atau kardiopulmoner (Goble, 1999; Wenger, 1999; Kusmana, 2006; Mathes, 2007).
2.5.5 Manfaat Program Rehabilitasi Jantung pada Pasien dengan Penyakit Jantung Koroner
Riset menunjukkan bahwa terapi non farmaka untuk menurunkan lipid ternyata sama dengan terapi farmaka (contoh: statin, fibrat, glitazon) yang mengakibatkan pengurangan proses inflamasi. Hal ini dibuktikan dengan menurunnya kadar CRP. Penurunan berat badan dan olahraga juga terbukti efektif untuk mengurangi inflamasi vaskular yang bisa dinilai dari kadar CRP. Olahraga ternyata memiliki dampak positif bagi berat badan, profil lipid, tekanan darah, gula darah, dan aktifitas fibrinolitik (Caulin-Glaser, 2005; Lavie, 2011; Onishi, 2009).