• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PENERAPAN EARLY WARNING SKORE SYSTEM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH PENERAPAN EARLY WARNING SKORE SYSTEM"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Volume 2, Nomor 4, Desember 2019 586 ejournal.ymbz.or.id

PENGARUH PENERAPAN EARLY WARNING SKORE SYSTEM ( EWSS ) TERHADAP PROGNOSIS PASIEN PPOK DIRUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. DRADJAT

PRAWIRANEGARA SERANG – BANTEN TAHUN 2017 Erny Yusnita¹, Kusnanto², Fitrian Rayasari³

Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Muhamadiyah Jakarta Email: yoesnita04@gmail.com

ABSTRAK

Early Warning Score System (EWSS) merupakan suatu alur intervensi yang dijalankan menggunakan skor total untuk mengawasi prognosis pasien terhadap frekuensi pernapasan, saturasi oksigen, suhu, tekanan sistolik, frekuensi nadi, dan level kesadaran (AVPU) dengan skoring EWS di setiap jam pengawasan. Sistem ini bertujuan sebagai peringatan dan bantuan untuk mengidentifikasi pasien PPOK terhadap perubahan prognosis. PPOK merupakan penyakit yang mempunyai resiko terjadinya gagal napas tanpa kontrol serta mengalami perburukan bahkan sampai keadaan kematian, Kondisi ini memerlukan penilaian, pengawasan dan perawatan dengan segera. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh penerapan Early Warning Skore System (EWSS) terhadap prognosis pasien PPOK. Desain penelitian ini menggunakan metode quasy-experimental, dengan pendekatan pre test and post test non equivalent control group. Sampel yang akan digunakan sebanyak 36 orang, dengan metode Consecutive Sampling. dilakukan selama 48 jam. Hasil penelitian didapatkan perbedaan yang bermakna antara rata-rata total skor EWS pre kelompok kontrol & intervensi p = 0.002 dengan total skor EWS post kelompok kontrol & intervensi p = 0.000. p < α (0.05). Saran: EWSS bisa diterapkan pada ruangan medikal bedah ataupun ruangan kritis untuk menilai dan mengawasi prognosis pasien PPOK.

Kata Kunci : Early Warning Skore System (EWSS), EWS, PPOK, Prognosis pasien. ABSTRACT

Early Warning Score (EWS) is an assessment tool by using scores in order to monitor vital sign of vital parameters of scoring used, normaly respiratory rate, oxygen saturation, inspired O², temperature, systolic blood pressure, pulse rate, and level of consciousness (AVPU). This measure shows early detection, timely respond and the competence of clinical response, is important to determine the time to respond and competence of clininal response which is important to determine the results of clinical outcome and identify those patients who have the condition worsening of COPD. COPD is a desease has the risk of respiratory failure without control and worsening even this deadly. Purpose this study was to determine the effect of implementation of the early warning scores system (EWSS) on early detection of the patients prognosis COPD. Design quasy method used in the research was experimental, with approach one group pre – post test design with control. Sample use were 36 people, using consecutive sampling. The result of this study showed that , these where difference between EWSS pre intervention in group control and intervention (p=0.002), while post intervention (p=0.000). p<α(0.05). This study recommend that medical surgical ward and ICU implement EWSS in order to observe patient with COPD.

Keywords : EWSS, PPOK, Vital sign, measuring tools, in patient wards

PENDAHULUAN

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan salah satu penyakit pernafasan yang dapat menyebabkan kematian dan ditemukan secara luas dimasyarakat. PPOK adalah penyakit paru kronis yang disertai gangguan aliran nafas. Ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang terus – menerus yang biasanya progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi kronis pada saluran nafas dan paru-paru terhadap partikel atau gas yang beracun

(2)

Volume 2, Nomor 4, Desember 2019 587 ejournal.ymbz.or.id

(GOLD, 2015). Mereka yang menderita PPOK akan mengalami kekurangan oksigen. Kekurangan asupan oksigen didalam tubuh juga mempengaruhi kadar oksigen dalam sirkulasi dan jaringan tubuh, hal ini dapat berakibat pada risiko tinggi terhadap beberapa kondisi serius yang akan dialami pasien.

World Health Organization, (2012) melaporkan terdapat 600 juta orang menderita PPOK di dunia dengan 65 juta orang menderita PPOK derajat sedang hingga berat. Berdasarkan data WHO, (2012). PPOK diperkirakan menjadi penyebab utama ketiga kematian di seluruh dunia pada tahun 2030. Lebih dari 3 juta orang meninggal karena PPOK, yang setara dengan 5% dari semua kematian secara global (WHO,2015). Pada tahun 2013, di Amerika Serikat PPOK adalah penyebab utama kematian ketiga dan lebih dari 11 juta orang telah didiagnosis dengan PPOK ( American Lung Association, 2015 ). Menurut data penelitian dari Regional COPD Working Group yang dilakukan di 12 negara di Asia Pasifik rata-rata prevalensi PPOK sebesar 6,3%, terendah 3,5% di Hongkong dan Singapura, tertinggi di Vietnam sebanyak 6,7%. Sedangkan di Indonesia menunjukkan prevalensi sebanyak 5,6% atau 4,8 juta kasus untuk PPOK derajat sedang sampai berat ( Regional COPD Working Group, 2013 ).

Berdasarkan catatan Riskesda Kemenkes tahun 2013, penderita PPOK lebih tinggi terjadi pada laki-laki, sedangkan asma lebih tinggi terjadi pada perempuan. Data yang didapatkan dari hasil wawancara yang tercatat dalam analisis Penyakit Tidak Menular (PMT), diketahui prevalensi usia penderita PPOK pada umur ≥ 30 tahun berkisar 508.303 jiwa. Di Provinsi Banten penderita PPOK tercatat 2,7% dari 37% penderita PPOK yang ada di Indonesia. Hal ini sesuai dengan data yang diperoleh Riskesda yang menyatakan bahwa kejadian PPOK lebih tinggi terjadi didaerah pedesaan dari pada daerah perkotaan, cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah, dan dari hasil evaluasi yang didapat PPOK lebih besar angka kejadiannya pada nelayan, petani atau buruh dan pada masyarakat dengan status pendidikan rendah.

Rumah Sakit Umum Daerah dr. Dradjat Prawiranegara merupakan rumah sakit rujukan dengan kelas Tipe B di Provinsi Banten. Penyakit PPOK merupakan penyakit yang angkanya cukup tinggi didaerah Kabupaten Serang. Dari data statistik rekam medis RSUD dr. Drajat Prawiranegara tahun 2014-2016 didapatkan angka rawat pasien dengan PPOK sebesar 765 kasus, angka kematian pada pasien PPOK sebesar 92 kasus, dan pasien dengan pulang paksa sebesar 65 kasus. Dari data tersebut diatas penulis menyimpulkan bahwa angka kejadian PPOK di RSUD dr. Drajat Prawiranegara dapat dikatakan cukup besar, hal tersebut dapat dijadikan perhatian bagi tenaga kesehatan setempat untuk meningkatkan pelayanan lebih intensif pada pasien dengan PPOK, terutama pasien yang mengalami perburukan dan mengancam kematian diruang perawatan bangsal.

PPOK erat sekali hubungannya dengan mereka yang memiliki kebiasaan merokok, selama ini belum banyak diketahui oleh masyarakat, padahal hampir 80% perokok dipastikan akan mengalami PPOK. Merokok merupakan faktor resiko utama dalam menyebabkan perkembangan dan peningkatan PPOK (GOLD, 2015). Akan tetapi faktor resiko lain juga berperan dalam peningkatan kasus PPOK. Faktor resiko lain diantaranya adalah paparan dari asap rokok terhadap perokok pasif, paparan polutan lingkungan atau pekerjaan, penyakit pernafasan ketika kanak-kanak, dan riwayat PPOK di keluarga., (Decramer et al., 2012). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Prabaningtyas dan Octaria (2010). Mengatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara derajat merokok dengan kejadian PPOK. Pada penelitian ini didapatkan hasil dari 70 sampel, dari perokok berat mempunyai resiko terkena PPOK 3 kali lebih besar dari pada perokok ringan dan sedang (OR = 2,89; p = 0,008). Dari

(3)

Volume 2, Nomor 4, Desember 2019 588 ejournal.ymbz.or.id

peneliti lain yang dilakukan Sri.WB, dkk.,(2013), menjelaskan bahwa dari 40 sampel yang diteliti untuk mengetahui perbedaan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) orang dengan perokok dan tidak perokok, didapat hasil 2,03 ml dan 2,532 ml dengan nilai p = 0,020. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan volume paksa pada saat ekspirasi pertama (VEP1) antara perokok dan bukan perokok. Orang yang merokok mempunyai nilai VEP1 yang lebih rendah dari orang yang tidak merokok sehingga dapat mempengaruhi kemampuan fungsi paru menjadi lebih buruk.

PPOK merupakan penyakit yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara didalam saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversible (GOLD, 2015). Gangguan yang bersifat progresif ini disebabkan karena terjadinya inflamasi kronik akibat pajanan partikel atau gas beracun yang terjadi dalam waktu yang cukup lama dengan gejala utama sesak nafas, batuk dan produksi sputum (PDPI, 2011). Sesak nafas merupakan masalah yang utama pada penderita PPOK dan sebagai alasan penderita untuk mencari pengobatan. Sesak nafas dapat bersifat persisten serta progresif dan juga dapat menyebabkan ketidakmampuan penderita untuk beraktivitas. Gejala sesak nafas harus dievaluasi sedini mungkin sehingga dapat diketahui tingkatan gejala PPOK dan penanganan yang harus dilakukan (Dr. Bronwyn. A, et. Al., 2011).

PPOK merupakan salah satu penyakit yang mempunyai resiko menyebabkan terjadinya gagal nafas tanpa kontrol serta mengalami perburukan bahkan sampai keadaan kematian. Gagal nafas pada kasus ini merupakan prioritas pada penanganan PPOK dengan perburukan. Pada keadaan pasien yang sudah pada tahap terinfeksi atau mengalami eksaserbasi lanjut, pasien akan mengalami kondisi menurunnya fungsi. Eksaserbasi PPOK (peningkatan secara periodik terhadap gejala batuk, dyspnea dan produksi sputum) merupakan penyumbang utama memburuknya fungsi paru-paru, dan penurunan kualitas hidup sehingga perlu perawatan segera atau rawat inap dan tingginya biaya perawatan (Criner et. al., 2015)

Keadaan dilapangan menunjukan banyaknya angka kejadian pada pasien PPOK. Beberapa permasalahan yang sempat tergali dari hasil wawancara dengan beberapa tenaga kesehatan di RSUD dr. Dradjat Prawiranegara, didapatkan fenomena tidak sesuainya jumlah tenaga perawat berbanding dengan jumlah pasien yang harus ditangani di bangsal. Hal tersebut mengakibatkan kurangnya pengawasan terhadap keadaan klinis pasien secara intensif. Fasilitas yang kurang memadai untuk menunjang dalam pengawasan dan tindakan lanjut pada pasien PPOK menjadikan salah satu resiko angka kematian menjadi semakin tinggi. Jumlah tempat tidur yang tidak sesuai dengan kebutuhan bagi pasien rawat inap di bangsal untuk dipindahkan diruang perawatan khusus juga menjadi salah satu dari beberapa faktor penyebab pengawasan pada pasien PPOK tidak tertangani, kurangnya pengetahuan dan keterampilan dari tenaga profesional untuk menyingkapi suatu masalah yang harus direspon dengan cepat juga merupakan titik penentu dari keberhasilan perawatan pasien. Permasalahan sosial ekonomi juga menjadi permasalahan klasik yang melatar belakangi angka kejadian tersebut, sehingga keluarga pasien menempatkan pasien PPOK diruang bangsal sebagai pilihan.

Early Warning Score System (EWSS) adalah suatu sistem permintaan bantuan untuk mengatasi masalah kesehatan pasien secara dini. EWSS didasarkan atas penilaian terhadap perubahan keadaan pasien melalui pengamatan yang sistematis terhadap semua perubahan tanda-tanda vital pasien. Sistem ini merupakan konsep pendekatan proaktif untuk meningkatkan keselamatan pasien dan hasil klinis pasien yang lebih baik dengan standarisasi pendekatan asessment dan menetapkan skoring parameter fisiologis yang sederhana dan

(4)

Volume 2, Nomor 4, Desember 2019 589 ejournal.ymbz.or.id

mengadopsi pendekatan ini dari Royal College of Physicians – National Health Services, (2012).

Alat ukur ini menunjukkan bahwa deteksi dini, ketepatan waktu merespon, dan kompetensi respon klinis, sangat penting untuk menentukan hasil klinis yang diharapkan. Dengan menggunakan sistem yang sederhana pendekatan ini didasarkan kepada dua persyaratan utama, yaitu metode yang sistematis untuk mengukur parameter fisiologis sederhana pada semua pasien untuk memungkinkan identifikasi awal pasien yang mengalami penyakit akut atau kondisi perburukan, dan definisi yang jelas tentang ketepatan urgensi dan skala respon klinis yang diperlukan, disesuaikan dengan beratnya penyakit.

(Dr. Bronwyn. A. et. Al. 2011). Tim Cooksley, dkk, (2012) dari Departement of Critical Care, England menjelaskan bahwa penilaian EWS juga digunakan untuk memprediksi pasien masuk perawatan kritis dengan 30 hari dari ancaman kematian pada pasien onkologi. Dengan hasil skor penilaian EWS yang digunakan bermakna secara statistik (CCU masuk P=0,037 dan 30 hari kematian P=0,004), menggunakan kunci penilaian klinis secara fisiologis dengan menilai tingkat pernafasan, suhu, tekanan darah, dan denyut nadi. Penelitian lain diungkapkan oleh Garry. B. Smith, dkk, (2012), tentang kemampuan sistem skor penilaian dini (EWSS) untuk membedakan pasien beresiko terhadap serangan jantung, yang tak terduga masuk di unit perawatan intensif. Penelitian ini dapat mendeteksi pasien beresiko pada terjadinya serangan jantung dan pasien yang tidak terduga masuk ICU serta kematian dalam waktu 24 jam dengan menggunakan pengawasan tanda-tanda vital (EWS).

Penelitian deteksi dini perburukan kondisi klinis pasien dengan penyakit akut menggunakan sistem skoring EWS telah banyak dilakukan terutama diberbagai rumah sakit luar negeri, dan disimpulkan bahwa sistem skoring tersebut sangat membantu dan dibutuhkan oleh tenaga medis terutama perawat yang bertugas memantau kondisi pasien selama 24 jam. Dari semua jurnal yang membahas mengenai penggunaan penilaian EWSS di rumah sakit, seluruhnya menilai akan keefektifan penilaian tersebut guna menindaklanjuti pada keadaan kegawatan. Tindakan penilaian yang melihat kemajuan atau perburukan terhadap tanda-tanda vital diharapkan dapat menilai prognosis selanjutnya dari pasien sehingga dapat memberikan penilaian dan tindakan yang tepat untuk menolong pasien menuju perbaikan, (Dr. Bronwyn. A.,et. Al., 2011).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di ruang perawatan penyakit dalam Rumah Sakit Umum Daerah dr. Dradjat Prawiranegara Serang dan RSUD Kota Cilegon, dari bulan Mei 2017 sampai dengan bulan Juli 2017, menggunakan rancangan Quasy-Experimental, dengan rancangan Pre test and Post Test non equivalent control group. Pada penelitian ini, kelompok intervensi diberi perlakuan sedangkan kelompok kontrol tidak. Kedua kelompok dilakukan pengukuran awal (pre-test), setelah pemberian perlakuan diadakan pengukuran kembali (post test).

Dalam penelitian ini populasi yang jadikan objek penelitian adalah pasien penderita PPOK yang menjalani perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Dradjat Prawiranegara Serang dan RSUD Kota Cilegon. Populasi penderita PPOK setiap tahunnya ± 383 pasien di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Dradjat Prawiranegara Serang dan setiap bulannya ± 32 orang. Sampel pada penelitian ini adalah 18 pasien PPOK yang menjalani perawatan ruang perawatan penyakit dalam Rumah Sakit Umum Daerah dr. Dradjat Prawiranegara Serang dan 18 RSUD Kota Cilegon.

(5)

Volume 2, Nomor 4, Desember 2019 590 ejournal.ymbz.or.id

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah, pasien PPOK yang baru mengalami perawatan dan tidak berpindah ruangan minimal 48 jam, Pasien dewasa (umur 18 tahun ke atas) dan pasien yang bersedia menjadi responden. Kriteria eksklusi nya adalah Pasien PPOK yang masuk rumah sakit dengan penyebab lain dan pasien PPOK dengan nilai awal skoring sama dengan 0. Alat pengumpulan data berupa : 1). Formulir data identitas dan demografi responden, terdiri dari nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, alamat, riwayat merokok, riwayat pengobatan, tanggal masukrumah sakit dan tanggal pemeriksaan. 2). Formulir penilaian Early Warning Score. Formulir penilaian yang berisi skoring terhadap status respirasi, Sturasi oksigen, penggunaan oksigen tambahan, tekanan darah sistolik, frekuensi nadi, status AVPU dan temperatur. Instrumen yang digunakan untuk penilaian Early Warning Score menggunakan formulir EWS yang direkomendasikan oleh Dr. Bronwyn Avard, et. Al., dalam Compass (2011), instrumen ini telah terstandar dan baku serta telah digunakan pada penelitian sebelumnya sehingga tidak perlu dilakukan uji reliabilitas dan validitas instrumen. Formulir penilaian EWS ini memiliki 7 (tujuh) komponen penilaian (scorring), yakni : frekuensi pernafasan dengan skor 0 – 3, saturasi oksigen dengan skor 0 – 3, oksigen tambahan dengan skor tanpa oksigen tambahan 0 dan dengan oksigen tambahan 3, tekanan sistolik dengan skor 0 – 3, frekuensi nadi dengan skor 0 – 3, AVPU dengan skor sadar penuh 0 dan penurunan kesadaran 3, dan suhu tubuh dengan skor 0 – 3. Berdasarkan formulir EWS tersebut, maka nilai (skor) total terendah EWS adalah 0, dan nilai (skor) tertinggi adalah 21. 3). Protokol Eskalasi (EWSS). Sebuah formulir alur intervensi yang sudah ditetapkan sebelumnya, berisikan tentang alur intervensi yang dapat dijalankan setelah mendapatkan skor EWS. Protokol ini berisikan Jumlah total skor keseluruhan dari EWS untuk menentukan frekuensi jam pengawasan sesuai dengan kondisi responden, di sertai dengan petugas pelaksana dan intervensi yang dilakukan. Protokol terakhir berupa evaluasi atau skoring akhir setelah pelaksanaan intervensi. Protokol eskalasi dalam penelitian ini dapat dilaksanakan selama 48 jam.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisa Univariat pada penelitian ini terdiri dari umur, jenis kelamin, pekerjaan, riwayat merokok, dan riwayat pengobatan PPOK.

Tabel 5.1 . Distribusi rerata pasien PPOK berdasarkan Karakteristik Umur pada kelompok intervensi di Ruang Perawatan Medikal RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang dan kelompok control di Ruang Perawatan Medikal RSUD Kota Cilegon Serang - Banten Tahun 2017.

Berdasarkan tabel diatas didapatkan rata-rata umur responden pada kelompok intervensi adalah 43,28 tahun, pada kelompok kontrol adalah 51,67 tahun, dengan standar deviasi pada kelompok kontrol sebesar 8,609 dan untuk kelompok intervensi sebesar 11,994. Usia termuda pada kelompok intervensi adalah 24 tahun dan usia tertua adalah 60 tahun. Pada kelompok kontrol usia termuda adalah 32 tahun dan usia tertua 62 tahun.

.

Karakteristik Jenis kelp Mean Med SD Min-Maks

Umur Intervensi 43.28 48 11.994 24 – 60

(6)

Volume 2, Nomor 4, Desember 2019 591 ejournal.ymbz.or.id Karakteristik Responden n = 18 Kelomp

Intervensi Kelompok Kontrol N %

N % N % Jenis Kelamin Laki-laki 14 77.8 14 77.8 28 77.7 Perempuan 4 22.2 4 22.2 8 22.3 Riwayat Perokok Perokok 15 83.3 14 77.8 29 80.6 Tidak Perokok 3 16.7 4 22.2 7 19.4

Tabel 5.2. Distribusi Karakteristik pasien PPOK berdasarkan Jenis Kelamin, dan Riwayat Perokok pada kelompok intervensi di Ruang Perawatan Medikal RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang dan kelompok kontrol di Ruang Perawatan Medikal RSUD Kota Cilegon Serang - Banten Tahun 2017.

Berdasarkan tabel ini diperoleh data distribusi jenis kelamin responden laki-laki pada kelompok intervensi sebanyak 14 orang dengan persentase 77,8%, jenis kelamin perempuan sebanyak 4 orang dengan persentase 22,2% dan pada kelompok kontrol jenis kelamin laki-laki sebanyak 14 orang dengan persentase 77.8%, jenis kelamin perempuan sebanyak 4 orang dengan persentase 22.2%. Jumlah keseluruhan untuk distribusi responden laki-laki sebanyak 28 orang dengan presentase 77.7% dan responden perempuan secara keseluruhan sebanyak 8 orang dengan jumlah presentase 22.3%.

Distribusi responden dengan riwayat merokok pada kelompok intervensi pada perokok sebanyak 15 orang dengan persentase 83.3%, dan tidak perokok pada kelompok ini sebanayak 3 orang dengan presentase 16.7%. Pada kelompok kontrol responden dengan perokok sebanyak14 orang dengan presentase 77.8% dan dengan tidak perokok sebanyak 7 orang dengan presentase 22.2%. Nilai keseluruhan responden dengan perokok sebanyak 29 orang (80.6%) dan tidak perokok sebanyak 7 orang (19.4%).

Kelompok Mean Pre Mean Post Diff SD T p value Intervensi 4.17 2.61 1.56 1.042 6.336 0.000 Kontrol 5.83 5.67 0.16 0.707 -1.000 0.331

Tabel 5.3. Distribusi rerata skor EWS pre test dan Post Test pada kelompok intervensi di Ruang Perawatan Medikal RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang dan di Ruang Perawatan Medikal RSUD Kota Cilegon. Serang - Banten Tahun 2017. Dari tabel 5.3 menggambarkan bahwa untuk rerata Pre Test kelompok intervensi adalah 4,17 dan rerata skor EWS post test kelompok intervensi adalah 2,61 sehingga didapat nilai perbedaan kedua skor tersebut sebesar 1,56 dan hasil uji paired t-test didapat nilai p= 0,000. Nilai p tersebut lebih kecil dari nilai α (0,05), maka dapat disimpulkan adanya pengaruh yang bermakna (penurunan rerata skor EWS). Pengaruh tersebut diperkuat oleh perbedaan nilai rerata skor EWS pre test (sebelum intervensi) dengan rerata skor EWS post test (sesudah intervensi) sebesar 1,56.

(7)

Volume 2, Nomor 4, Desember 2019 592 ejournal.ymbz.or.id

Sedangkan pada kelompok kontrol didapatkan nilai rerata skor EWS pre test sebesar 5,83 dan rerata skor EWS post test sebesar 5,67 sehingga didapat nilai perbedaan kedua skor tersebut sebesar 0,16, dan hasil uji paired t-test didapat nilai p = 0,331 dimana nilai tersebut lebih besar dari nilai α (0,05), maka dapat diartikan tidak ada pengaruh yang bermakna (penurunan rerata skor EWS) tanpa dilakukan intervensi. Tidak adanya pengaruh tersebut diperkuat oleh perbedaan nilai rerata skor EWS pre test dengan rerata skor EWS post test pada kelompok kontrol sebesar 0,16.

Tabel. 5.4. Distribusi rerata total skor EWS pre test dan post test pada kelompok intervensi Serang dan kelompok kontrol di Ruang Perawatan Medikal RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang dan di Ruang Perawatan Medikal RSUD Kota Cilegon. Serang - Banten Tahun 2017.

Pada tabel diatas, distribusi rerata total skor EWS pre test responden pada kelompok intervensi didapat nilai mean sebesar 4,17 dengan standar deviasi 1,295 dan rerata total skor EWS post test didapat nilai sebesar 2,61 dengan standar deviasi 1,420. Pada kelompok kontrol didapat rerata total skor EWS pre test sebesar 5.83 dengan standar deviasi 1,150 dan rerata total skor EWS post test didapat sebesar 5,67 dengan standar deviasi 0,840.

Tabel 5.5. Hasil Analisis Skor EWS untuk Pengukuran Pre pada Kelompok Intervensi dan kontrol serta pengukuran Post pada kelompok intervensi dan kontrol di Ruang Perawatan Medikal RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang dan di Ruang Perawatan Medikal RSUD Kota Cilegon. Serang - Banten Tahun 2017.

Dari tabel 5.5. Terlihat bahwa hasil uji independent t-test untuk total skor EWS pre test kontrol – intervensi didapat nilai p (p value) 0,002 dan untuk total skor EWS post test kontrol – intervensi didapat nilai p (p value) 0,000. Total skor EWS pre test dan post test pada kedua

Variabel Jenis Kelompok Mean Median SD

Total Skor EWS Intervensi Pre 4.17 4 1.295 2–6 Post 2.61 2 1.420 0–5 Kontrol Pre 5.83 6 1.150 3–7 Post 5.67 6 0.840 4– 7 EWS pre kontrol- intervensi

Mean SD Mean Diff t p value

Kontrol 5,83 1,150 1,333 3.266 0,002

Intervensi 4,17 1,295 1,333 3,266 0,003

EWS

post kontrol - intervensi

Mean DS Mean Diff t p value

Kontrol 5,67 0,840 3,056 7,857 0,000

(8)

Volume 2, Nomor 4, Desember 2019 593 ejournal.ymbz.or.id

kelompok memiliki nilai p (p value) < α (0,05), maka hipotesis nol ditolak. Dapat diartikan bahwa terdapat perbedaan secara bermakna total skor EWS antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol. Kelompok intervensi mengalami perbedaan penurunan total skor EWS (peningkatan status kesehatan pasien PPOK) secara signifikan bila dibandingkan dengan total skor EWS pada kelompok kontrol. Perbedaan kekuatan pada table ini terlihat dari nilai t sebesar 3.266 pada total skor pre kelompok kontrol - intervensi dan pada total skor EWS post kontrol – Intervensi sebesar 7.857.

PEMBAHASAN

Karakeristik pasien PPOK Umur

Umur merupakan faktor resiko terjadinya gangguan fungsi paru, semakin bertambahnya umur maka kemampuan organ akan mengalami penurunan secara alamiah, tidak tekecuali fungsi paru dalam hal ini kapasitas paru (Guyton & Hall, 2008). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa rentang umur pasien PPOK pada kelompok intervensi berada pada rentang 24 sampai dengan 60 tahun dengan rata-rata 43,28 tahun. Pada kelompok kontrol, umur pasien PPOK berada pada rentang 32 sampai 62 tahun dengan rata-rata 51,67 tahun. Dari hasil penelitian ini, nilai rata-rata-rata-rata total skor EWS pada kelompok intervensi didapati nilai pre test sebesar 4,17 dan post test 2,61, dan nilai rata-rata total skor EWS dari kelompok kontrol didapati nilai pre test 5,83 dan post test 5,67.

Jika nilai rata-rata total skor EWS dihubungkan dengan umur pasien PPOK pada kelompok intervensi berdasarkan data hasil penelitian diatas terdapat adanya pengaruh umur terhadap total skor EWS. Hal ini dapat dilihat dari pasien PPOK kelompok intervensi memiliki umur lebih rendah dari kelompok kontrol, begitu pula dengan rata-rata total skor EWS pre test dan post test. Pada kelompok intervensi didapatkan umur maksimal 60 tahun dan kelompok kontrol umur maksimal 62. Dihubungkan dengan total skor EWS yang didapat, pasien PPOK umur 60 tahun setelah diintervensi terlihat penurunan nilai rata-rata total skor EWS sebesar 1,56. Sedangkan pada pasien PPOK yang tidak diintervensi dengan umur maksimal 62 tahun terlihat penurunan nilai rata-rata total skor EWS sebesar 0,16. Hal ini menunjukan bahwa semakin tinggi umur pasien PPOK maka tingkat penurunan total skor EWSnya terlihat sedikit.

Berdasarkan teori, umur dapat mempengaruhi kekenyalan pada paru sebagaimana jaringan lain dalam tubuh. Semakin bertambahnya umur, dinding dada dan jalan napas menjadi lebih kaku dan kurang elastis, jumlah pertukaran udara juga menurun (Kozier, Barbara, dkk. 2010). Kemampuan elastisitas paru yang berkurang akan menyebabkan menurunnya kemampuan untuk mengikat oksigen.

Dalam penelitian Nugraha. I, (2010) yang menyatakan bahwa presentase pasien PPOK dalam penelitianya mengenai hubungan derajat merokok berdasarkan indeks Brinkman dengan derajat berat merokok diperoleh hasil dari laki-laki sepenuhnya pada usia rata-rata 50-59 tahun. Penelitian lain oleh Susanti, (2013). Fakultas Universitas Lampung yang menyatakan bahwa penderita PPOK dengan hipersekresi mukus didapati sebanyak 15-53% pada pria paruh umur dengan prevalensi yang lebih rendah pada wanita sebanyak 8-22%. Seiring dengan bertambahnya waktu fungsi parupun menurun diperjelas dari hasil penelitian (Barnes, 2003 dalam Octaria. P, 2010) yang mengatakan gejala PPOK muncul pada usia 40 tahunan dan semakin lama akan bertambah buruk terutama pada musin dingin. PDPI, 2011 PPOK seringkali timbul pada usia pertengahan 15 - 60 tahun akibat merokok dalam jangka waktu lama. Catatan GOLD, (2011) mengemukakan bahwa PPOK lebih tinggi

(9)

Volume 2, Nomor 4, Desember 2019 594 ejournal.ymbz.or.id

terjadi pada perokok dan bekas perokok dibanding bukan perokok usia lebih dari 40 tahun dibanding pada usia di bawah 40 tahun dan prevalensi laki–laki lebih tinggi dibanding perempuan.

Dari hal tersebut diatas disimpulkan bahwa umur berhubungan erat dengan proses penuaan, bahwa semakinbertambahnya umur seseorang maka dapat mengakibatkan penurunan pada elastisitas paru sehingga akan mempengaruhi proses pernafasan. Semakin bertambahnya umur pula akan mengakibatkan rentannya seseorang terhadap penyakit khususnya gangguan pada saluran pernafasan, faktor lain yang akan berperan serta dalam penentuan nilai kapasitas tersebut adalah aktivitas dari refleks saluran pernafasan yang berkurang pada bertambahnya umur yang dapat juga mengakibatkan berkurangnya daya bersihan pada jalan nafas, sehingga resiko terhadap obstruksi dan infeksi.

Jenis kelamin

Jenis kelamin berhubungan erat dengan frekuensi merokok pada pasien PPOK yang sebagian besar di konsumsi oleh laki-laki. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jenis kelamin pasien PPOK untuk kelompok intervensi sebagian besar adalah laki-laki 77,8%, begitu pula dengan kelompok kontrol. Sedangkan pasien PPOK perempuan baik pada kelompok intervensi maupun kontrol diperoleh hasil 22,2%. Bila dihubungkan secara langsung jenis kelamin dengan nilai rata-rata total skor EWS tidak terlihat adanya pengaruh. Tetapi pasien PPOK laki-laki dengan riwayat perokok akan mempengaruhi nilai rata-rata total skor EWSnya.

Hasil penelitian Nugraha. I, (2010) menjelaskan mengenai hubungan derajat merokok dengan kejadian PPOK. Berdasarkan penelitiannya, menunjukan bahwa pasien PPOK dengan jenis kelamin laki-laki 40 orang (100%). Penelitian lain Aini, F, (2007) tentang pengaruh breathing retraining terhadap peningkatan fungsi ventilasi paru pada asuhan keperawatan pasien PPOK mengatakan bahwa penderita PPOK paling tinggi ditunjukan pada jenis kelamin laki-laki 62% dan perempuan 38%

.Hal ini dapat mejelaskan dan membuktikan bahwa penderita PPOK lebih dominan pada jenis kelamin laki-laki.

Hiperseksreksi mukus merupakan suatu gejala yang sering muncul pada pasien PPOK dan batuk kronis merupakan mekanisme pertahanan terhadap hipersekresi mukus. Gambaran ini muncul karena adanya pembesaran pada kelenjar dibronkus terutama pada perokok. Berdasarkan hubungan jenis kelamin dengan frekuensi penyakit, jenis kelamin laki-laki lebih berpotensi beresiko mengalami berbagai macam penyakit berat seperti jantung, paru dan stress. Hal ini dapat dihubungkan dengan fungsinya sebagai orang nomor satu dikeluarga. Sebagai pemimpin didalam keluarga laki-laki mempunyai tanggung jawab didalam beban pekerjaan, dimana salah satu cara untuk mengurangi tingkat stress dalam pekerjaannya kaum laki-laki memiliki gaya hidup yang dipilihnya dengan “merokok”, gaya hidup inilah yang dengan dan tanpa disadari dapat merusak kesehatan terutama sistem pernafasan.

Riwayat Merokok

Riwayat merokok (perokok aktif, perokok pasif dan bekas perokok) berkaitan erat dengan PPOK. Perokok menanggung resiko yang lebih besar terhadap penurunan fungsi paru. Sehingga berhenti merokok dapat mencegah progresifitas perburukan fungsi paru (Amin,2004 dalam Nugraha. 2010). Perokok aktif memiliki prevalensi lebih tinggi mengalami gejala respiratorik, abnormalitas fungsi paru, dan mortalitas yang lebih tinggi daripada orang yang tidak merokok. Resiko untuk penderita PPOK bergantung pada berapa

(10)

Volume 2, Nomor 4, Desember 2019 595 ejournal.ymbz.or.id

banyak konsumsi merokoknya, lamanya merokok, dan usia mulai merokok. Berdasarkan hasil penelitian ini menjelaskan bahwa penderita PPOK dengan riwayat perokok mempunyai nilai persentase yang tinggi sebesar 83,3% pada kelompok intervensi dan 77,8% pada kelompok kontrol sedangkan pada pasien PPOK dengan yang tidak perokok pada kelompok intervensi sebesar 16,7% dan pada kelompok kontrol sebesar 22,2%. Dari data tesebut diatas dapat dihubungkan dengan hasil total skor EWS yang disimpulkan bahwa dari hasil total skor rata-rata pada kelompok intervensi pre test sebesar 4,17 dan post test sebesar 2,61 yang menunjukan penurunan nilai rata-rata dengan perbedaan 1,56. Sedangkan pada kelompok kontrol disimpulkan hasil rata-rata total skor EWS pre test sebesar 5,83 dan post test sebesar 5,67 dengan perbedaan nilai sebesar 0,16. Hal ini menunjukan pasien PPOK dengan riwayat merokok setelah diintervensi memiliki penurunan nilai yang lebih tinggi dari pasien PPOK yang tidak dintervensi. Dari hasil tersebut disimpulkan bahwa intervensi dapat menurunkan prognosis pasien PPOK.

Penelitian yang dilakukan Nugraha. I, (2010) menjelaskan bahwa penderita PPOK sedang yang masuk kedalam perokok sedang sebesar 30%, sedangkan penderita PPOK berat yang masuk kedalam perokok berat sebesar 70%, hal tersebut menjelaskan bahwa perokok sedang atau berat memiliki resiko untuk mengalami PPOK derajat berat atau lebih. Diperkuat lagi oleh Nababan dan Natanael, (2013) dari penelitiannya didapat dari 92 pasien PPOK dengan 50% memiliki derajat merokok berat, 44,6% memiliki derajat merokok sedang dan 5,4% memiliki derajat perokok ringan. Pasien PPOK dengan derajat PPOK berat sebanyak 33.7%, PPOK sedang sebanyak 41.3% dan PPOK ringan sebanyak 12%. Disimpulkan bahwa perokok derajat berat memiliki kecenderungan untuk mendapatkan PPOK derajat berat-sangat berat 9,1 kali lebih besar dibandingkan dengan perokok dengan derajat ringan-sedang, maka semakin berat derajat merokok semakin berat derajat PPOK yang akan dialami.

Kebiasaan merokok mencakup juga lamanya merokok, jumlah rokok yang dikunsumsi dan jenis rokok menjadi pertimbangan akan kerusakan atau pengaruhnya terhadap organ pernafasan. Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur, fungsi saluran pernafasan dan jaringan paru. Saluran nafas besar, sel mukosa dan kelenjar mukus akan bertambah banyak dan pada saluran nafas kecil akan terjadi inflamasi ringan. Dalam asap rokok terdapat ribuan radikal bebas dan bahan-bahan iritan yang dapat merugikan kesehatan. Bahan iritan tersebut masuk kedalam saluran pernafasan dan selanjutnya menempel pada silia yang selalu berlendir. Disamping itu bahan iritan mampu membakar silia sehingga lambat laun terjadi penumpukan bahan iritan yang dapat mengakibatkan infeksi. Sementara itu produksi mucus semakin bertambah dan kondisi ini menjadi kondusif untuk tumbuhnya kuman. Apabila kondisi ini berlanjut maka akan mengakibatkan inflamasi dan penyempitan pada saluran nafas, serta dapat berkurangnya elastisitas pada paru. Besar kecilnya intensitas dan waktu paparan bahan iritan pada asap rokok akan mempengaruhi saluran pernafasan. Dengan kata lain bahwa kebiasaan dan lamanya merokok dapat meningkatkan resiko terjadinya kelainan

pada saluran nafas berupa penyempitan dalam hal ini dikaitkan dengan kejadian PPOK. Analisis Hubungan Total Skor EWS Pre Test dan Post Test Pasien PPOK pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol

EWS merupakan penilaian yang dilakukan dengan mencatat serta mencari penyebab dari tanda awal penurunan keadaan pasien melalui penilaian tanda-tanda vital. (Dr. Brownyn. A, et. al., 2011). EWS sebagai alat komunikasi yang menyampaikan perubahan tanda-tanda vital yang terjadi dari hasil observasi. Dari hasil penilaian yang didapat pada hasil analisa bivariat antara rata-rata total skor EWS pre test dan post test pada kelompok intervensi

(11)

Volume 2, Nomor 4, Desember 2019 596 ejournal.ymbz.or.id

didapatkan nilai p (p value) sebesar 0,000. Nilai p <α (0,05) maka nilai tersebut dikatakan bermakna. Hasil analisis menunjukan hipotesis nol ditolak. Artinya terdapat hubungan yang bermakna antara rata-rata total skor EWS sebelum intervensi dengan rata-rata total skor EWS sesudah intervensi. Hasil dari penelitian ini juga didukung oleh adanya perbedaan (penurunan) rata total skor EWS yang signifikan pada kelompok intervensi. Nilai rata-rata total skor EWS sebelum intervensi (pre test) didapatkan sebesar 4,17 dan setelah diberikan intervensi (post test) selama 2x24 jam diperoleh rata-rata total skor EWS sebesar 2,61. Dari data tersebut terlihat bahwa telah terjadi penurunan rata-rata total skor EWS sebesar 1,56. Penurunan rata-rata total skor EWS ini berarti telah terjadi peningkatan status kesehatan pasien PPOK yang signifikan setelah diberikan intervensi.

Disamping itu, skor EWS yang didapat dari hasil pengukuran yang intensif dapat mencegah terjadinya penurunan status kesehatan pasien PPOK. Pengukuran skor EWS yang intensif mampu memberikan peringatan dini terhadap penurunan status pasien PPOK karena dengan total skor EWS yang buruk memberikan informasi kepada tenaga kesehatan dengan cepat dan tepat kepada perawat dan tenaga kesehatan lain untuk segera melakukan tindakan penanganan dalam mempertahankan serta meningkatkan status kesehatan pasien.

Hasil analisis bivariat pada kelompok kontrol antara rata-rata total skor EWS pre test dan rata-rata total skor EWS post test dengan uji paired t-test didapatkan nilai p sebesar 0,331. Nilai p >α ( 0,05 ) memiliki arti hipotesis nol ditolak. Dengan demikian, tidak ada hubungan antara rata-rata total skor EWS pre test dengan rata-rata total skor EWS post test pada kelompok kontrol. Hasil analisis tersebut juga didukung oleh nilai rata-rata total skor EWS pre test sebesar 5,83 dan setelah 2x24 jam tanpa dilakukan perlakuan (intervensi) didapatkan rata-rata total skor EWS post test sebesar 5,67. Perbedaan nilai rata-rata total skor EWS pre test dan post test sebesar 0,16. Perbedaan rata-rata total skor EWS ini sangat kecil yang menunjukan perubahan status pasien PPOK bisa dikatakan tidak signifikan dan cenderung nilai EWS tidak mengalami perubahan. Hal ini terjadi karena dengan tidak dilakukannya pemantauan dan pengukuran skor EWS secara intensif menyebabkan penurunan status kesehatan (perburukan) pasien PPOK tidak dapat diketahui karena tidak ada peringatan dini sehingga mempengaruhi respon tenaga kesehatan termasuk perawat dalam tindakan penanganan kondisi pasien.

Penelitian terkait dengan EWS dijelaskan oleh Kane. B, Decalmer. S, et. Al, (2013) mengatakan bahwa EWS dapat menilai tingkat kondisi dan keparahan pasien PPOK yang beresiko T2RF. Penelitian lain juga menjelaskan, EWS dapat direkomendasikan sebagai bagian untuk menilai kemunduran keadaan klinis pasien dewasa (Gary. B, David R.et. al, 2012). Penelitian menurut Mitchell, et al. (2011), yang mengatakan bahwa EWS merupakan skor peringatan dini yang dapat dikembangkan untuk memfasilitasi dalam deteksi dini dalam menilai tingkat keparahan pasien dengan mengkategorikan skor dan mendorong perawat untuk meminta tinjauan medis selanjutnya.Dari beberapa penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan penilaian menggunakan EWS mampu mendeteksi secara dini dan menilai kondisi klinis pasien.

Analisis Komparatif Total Skor EWS pasien PPOK antara Kelompok Intervensi dengan Kelompok Kontrol

Analisis bivariat (perbandingan) antara rerata total skor EWS pasien PPOK kelompok intervensi dengan rerata total skor EWS pasien PPOK kelompok kontrol dilakukan dengan menggunakan uji independent t-test. Sebelum dilakukan uji independent t-test terlebih dahulu dilakukan uji homogenitas data total skor EWS pre test dan post test dari dua kelompok

(12)

Volume 2, Nomor 4, Desember 2019 597 ejournal.ymbz.or.id

pasien PPOK. Hasil analisis bivariat untuk rerata total skor EWS pre test Kontrol – Intervensi didapatkan nilai p (p value) 0,002. Rerata total skor EWS post test Kontrol – Intervensi nilai p (p value) 0,000. Hasil analisis skor EWS pre test dan post test pada kedua kelompok memiliki nila p (p value) < α (0,05) artinya terdapat hubungan (perbedaan) bermakna. Hasil analisis ini menunjukan bahwa terdapat pengaruh penerapan Early Warning Score System (EWSS) terhadap perubahan nilai EWS pasien PPOK di Rumah Sakit dr. Dradjat Prawiranegara Serang.

Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Bronwyn. A. et. al., (2011) tentang Early Warning Score (EWS) adalah penilaian dengan mencatat dan mencari penyebab dari tanda-tanda awal penurunan keadaan pasien melalui penilaian dari tanda-tanda-tanda-tanda vital. EWS merupakan alat tambahan yang diciptakan untuk mempermudah kerja tenaga profesional untuk memfasilitasi dalam mendeteksi dini perburukan pasien, khususnya di bangsal rumah sakit. Dengan demikian, bila perawat melakukan pemantauan dan pencatatan secara periodik dan intensif terhadap tanda-tanda vital yang mengarah kepada perburukan pasien PPOK maka kondisi perburukan pasien PPOK dapat diketahui secara dini kemudian ditindaklanjuti dengan tindakan pencegahan dan penanganan perburukan.

Hasil penelitian ini juga membuktikan bahwa EWS bermanfaat sebagai media komunikasi yang menyampaikan perubahan tanda-tanda vital yang tejadi dari hasil observasi dengan melibatkan tenaga kesehatan lain secara komperhensif untuk segera mengambil tindakan agar dapat mengurangi keadaan perburukan pada pasien. Terbukti bahwa pasien PPOK yang dirawat dengan menerapkan Early Warning Score System mengalami penurunan rata-rata skor EWS. Hal ini menunjukan hasil pengukuran skor EWS dikomunikasikan oleh perawat kepada perawat berikutnya dan petugas kesehatan lainnya sehingga perubahan skor EWS yang mengarah kepada perburukan segera diketahui dan dilakukan penanganan melalui komunikasi yang efektif.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Robert. S, Young. MD, at. Al., ( 2013 ) mengenai penggunaan EWS pada pasien onkologi, dikemukakan bahwa sistem ini bertujuan untuk mengidentifikasi secara dini pasien onkologi yang memburuk secara klinis dan untuk memfasilitasi transfer pasien ke unit perawatan intensive (ICU). Sistem protokol eskalasi yang digunakan dapat mengurangi kondisi perburukan pasien dan kondisi tersebut dapat dicegah tanpa disertai dengan transfer pasien ke ICU. Penelitian Kane B, Decalmer, et. Al., (2013), menyatakan bahwa EWS dapat menilai 34 dari 108 pasien PPOK yang memiliki faktor resiko terhadap T2RF (30 COPD, 4 apneu karena obstruktif), sehingga dapat mendorong perawat untuk meningkatkan oksigen tambahan, hal ini menjelaskan bahwa dengan pengawasan dengan menggunakan skoring EWS dapat lebih tepat untuk menilai keadaan pasien terutama yang mengalami masalah kegawatan (pengawasan) sehingga dapat lebih mudah untuk diberikan intervensi. EWS mencatat keadaan yang secara periodik mengidentifikasikan keadaan pasien secara serius untuk menandakan kondisi pasien selama dalam perawatan (Bronwyn. A., et. Al., dalam COMPASS, 2011). Dari beberapa penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan protokol eskalasi dapat merubah prognosis pasien dari perburukan kearah perbaikan. Seiring dengan hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti terhadap 18 pasien PPOK yang diterapkan model EWSS mengalami penurunan skoring yang menandakan pasien mengalami perbaikan, disamping itu terhadap 18 pasien yang tidak diterapkan model EWSS hanya mengalami sedikit penurunan skoring, yang menandakan pasien mengalami sedikit perbaikan.

(13)

Volume 2, Nomor 4, Desember 2019 598 ejournal.ymbz.or.id

Keterkaitan hasil penelitian dengan teori adaptasi Roy pada penelitian ini adalah pasien PPOK dalam masa perawatan, harus mampu beradaptasi terhadap gangguan fungsi fisiologis (respirasi, sirkulasi dan kesadaran) untuk bertahan sampai kondisi perbaikan. Proses input pada pasien PPOK sebagai suatu sistem adaptasi dengan menerima masukan dari lingkungan luar berupa sistem pelaksanaan EWSS.

Berdasarkan teori Roy, pada penelitian ini untuk menilai klinis pasien dengan melakukan pengkajian perilaku, mengumpulkan data yang didapat kelainan fisiologis pasien PPOK berdasarkan tujuah item (Respirasi rate, saturasi oksigen, penggunaan oksigen lain, tekanan darah sistol, nadi, temperature dan tingkat kesadaran). Tahap pengkajian yang dilaksanakan dengan melakukan pengkajian berupa pengukuran, observasi dan wawancara terhadap jenis kelamin, usia, riwayat merokok pada pasien tersebut. Sehingga dapat disimpulkan masalah keperawatan yang didapat pada pasien PPOK tersebut. Sehingga berdasarkan analisis fisiologi ini dapat dinilai kebutuhan pasien PPOK untuk dipenuhi dan dapat beradaptasi menuju prilaku adaptif. Tujuan akhir dari teori yang disampaikan Roy bahwa secara umum tujuan akhir pada pelaksanaan intervensi keperawatan ini adalah untuk mempertahankan dan mempertinggi perilaku adaptif dan mengubah perilaku inefektif menjadi adaptif.

KESIMPULAN

Rata–rata umur responden pada kelompok intervensi adalah 43,28 tahun, pada kelompok kontrol adalah 51,67 tahun. Sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki 28 orang (77,7%). Sebagian besar responden dengan riwayat perokok sebanyak 29 orang (80,6%) dan tidak perokok sebanyak 7 orang (19,4%). Distribusi untuk mean total skor EWS pre test responden pada kelompok intervensi didapat nilai mean sebesar 4,17 dan mean total skor EWS post test didapat nilai sebesar 2,61.

Tidak ada hubungan antara rata-rata total skor EWS pre dengan rata-rata total skor EWS post pada kelompok kontrol dengan didapatkan nilai p sebesar 0,331. Nilai p >α (0,05), sedangkan rata-rata total skor EWS pre dan post pada kelompok intervensi didapatkan nilai p (p value) sebesar 0,000. Nilai p <α (0,05) maka nilai tersebut dikatakan bermakna. Hasil analisis menunjukan hubungan yang bermakna antara rata-rata total skor EWS sebelum intervensi dengan rata-rata total skor EWS sesudah intervensi. Adanya perbedaan yang bermakna antara rata-rata total skor EWS pre kelompok kontrol – intervensi dengan didapatkan nilai p (p value) 0,002 sedangkan rata-rata total skor EWS Post kelompok kontrol – intervensi didapatkan nilai p (p value) 0,000, dengan simpulan bahwa nila p (p value)< α (0,05).

Hasil dari penelitian ini membuktikan bahwa EWS dapat bermanfaat sebagai media komunikasi untuk menyampaikan perubahan tanda-tanda vital sebagai simpulan suatu prognosis pasien yang tejadi dari hasil observasi dengan melibatkan tenaga kesehatan lain secara komperhensif dan penerapan Early Warning Score System (EWSS) ini bermanfaat sebagai acuan prosedur / protokol tindakan selama pasien masih dalam pengawasan sampai dengan pasien selesai dari pengawasan.

Saran

DAFTAR PUSTAKA

Aini. F., Ratna. S., Budi. H., (2007). Pengaruh Breathing Retraining terhadap peningkaan fungsi ventilasi paru pada asuhan keperawatan pasien PPOK. Jakarta.

(14)

Volume 2, Nomor 4, Desember 2019 599 ejournal.ymbz.or.id

B. Kane, S Decalmer, P Turkington, BR O’Driscoll, (2012). The Proposed National Early Warning System (NEWS) Could Be Hazardous For Patients Who At Risk Of Hypercapnic Respiratory Failur. Salford Royal Foundation Trust. Mancester. UK. http:// www. Elsevier.com

Barnes, (2003), dalam Prabaningtyas dan Oktaria, (2010). Pengaruh Rokok terhadap VEP1 pada pasien PPOK .http:/id.m.wikipedia.org.

Budi. A, Susanthy. D dan Pradjnaparamita, (2011). Diagnosa dan Penatalaksanaan. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) : Jakarta. Juli 2011. http//www. PDPI. 03/17.

D.R Goldhill, A.F McNarry, G. Manfersloot, and A. McGinley, (2005) A Physiologicall based early warning score for ward patients: the association between score and outcome. UK. http://gen.lib.rus.ec/scimag /physiologically based early warning score.ec.

Dahlan M. S. (2013). Statistik untuk kedokteran dan kesehatan: Deskriptif, Bivariat dan Multivariat, Dilengkapi Aplikasi dengan Menggunakan SPSS. Ed. 5. Salemba Medika; Jakarta.

Dharma. K. (2011). Metodologi Penelitian Keperawatan: Panduan melaksanakan dan Menerapkan Hasil Penelitian. Trans Media : Jakarta.

Dr. Bronwyn. A,Ms. Heather. M, and Nicole S. et. al (2011). Training Manual for The National Early Warning Score and Associated Education Programme. COMPASS. Australia. http://gen.lib.rus.ec/scimag /NEWS Training Manual for NEWS.ec.

Emily F, Eleanor. C, jeniffefer. H, and Clive Kelly, (2009). Evaluation of modified early warning system for acute medical admission and comparasion with C-reactive protein/albumin ratio as a protector of patients outcome. Clinical Medicine. Vol. 9. Royal Collage of Physicians. http:/www.ncbi.nlm.ni.gov

Eni. M., (2014). Instrimen deteksi dini paparan kronis peptisida dalam pengendalian faktor resiko PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Koronis), pada petani di Kecamatan Gubuk. Tanggung Harjo dan Tegowanu Kabupaten Grobogan. Univ Nusantara: Semarang. Garry B. Smith, david. R. Prytherch, Paul Meredith, Paul E. Schmidt, Peter I. Featherson,

(2013). The ability National Early Warning Score (NEWS) to discriminate patients at risko early cardiac arrest, unanticipated intensive care unit admission and death. Center of post graduate Medical Research and education Ireland; Elsevier. http:// www.elsevier.com/locate/resusitation

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease Global Strategy for Diagnosis, (2015). Management and Prevention of Chronic Obstruktive Lung Disease Update. http://www. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease/’17.03.

Global Initiative for Chronic Obstruktive Lung Disease (2017). Global Strategi for the Diagnosis Management and Prevention of Chronic Obstruktive Pulmonary Disease. http://www. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease./’17.04.

Groarke J. D, J. Gallagher, J. Stack, A. Aftab., C. Dwyer, R. McGovern, G Coutney, (2008). Use of Admission Early Warning Score to Predict Patient Morbidity and Mortality and Treatment Success. Departement of Medicine St. Luke Hospital Kilkenny. Ireland; Elsevier. http://gen.lib.rus. Use of Admission Early Warning Score to Predict Patient Morbidity and Mortality and Treatment Success.scimag/17.03.

(15)

Volume 2, Nomor 4, Desember 2019 600 ejournal.ymbz.or.id

Guerra S and Martinez F, (2009), Epidemiology of the Origins of Airflow Limitation in Asthma. UK. http://gen.lib.rus. Epidemiology of the Origins of Airflow Limitation in Asthma/scimag/17.03.

Guyton. A. C., & Hall. J. E., (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Edisi II). Penerjemah, Irawati. D, Dian. R., Fara. I., Fans. D, Iman. N, Srie. S. P. R, Titiek. R &Y. Joko. S. EGC : Jakarta.

Handayani. D, (2014). Perbandingan Validitas system scoring APACHE II, untuk memperkirakan mortalitas pasien non bedah yang dirawat diruang perawatan intensif. Jakarta. http://www . APACHE II/17. 03.

James W. D, Rebecca A. C and Martin D. (2013). Cognitive Dysfunction in Patients Hospitalized With Acute Exacerbation of COPD: London. http://Journal. Publication. Chesnet. Org/ by David Kinnison. 2013/07/ 03.17

Jeroen. E. Beth Smith, Josep. C. Chiovaro, Maya O’Neiel, (2012), Early warning System Scores for clinical deteration in hospitalized patients. England. http://gen.lib.rus.ec/scimag. England/17. 03.

Joyce M. B and Jane Hokanson Hawks, (2014). Edisi 8. Manajemen klinis hasil yang diharapkan. Keperawatan Medikal Bedah. Elsevier; Singapura. Alih bahasa: dr. Joko Mulyanto, M. Sc. Dr. Nurhuda Hendra. S., Kusrini. S. kadar, Sari Kurniasih, dr. Rindra Martanti, dr, Natalia, dr. Yudi Wibowo.

Kozier. B. Erb. G., Berman. A. & Snyder. S. J, (2010). Buku Ajar Fundamental Keperawatan; Konsep, Proses & Praktik. Edisi. 7. Vol. 2. Penerjemah: Esty. W., Devi. Y., Yuyun: Esty. W., Devi. Y., Yuyun., Y & Ana. L. Jakarta: EGC.

Nationl Institute for Health and Clinical Excellence, (2010) National Clinical guideline 01: Chronic Obstruktive Pulmonary Disease. London, http://www. Clinical Guideline Chronic Obstruktive Pulmonary Disease . Maret 2017.

Notoatmodjo, S. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Rienka Cipta: Jakarta.

Oka. W., Teguh. R., Susanthy. D, Asri. M., (2012). Peningkatan Presentase Makrofag & Netrofil pada sputum penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronis berhubungan dengan tingginya skor COPD Assesment Test (CAT). Vakultas UNBRAW: Malang

Paterson. R, MacLeod D.C. Thetford. D, A. Beattie, S. Lam aand D. Bell, (2006) . Prediction of in-hospital mortality and length of stay using an early warning score system:Clical audit. Clin Med Htpps://www.ncbi.nlm.nih.gov

Polit, D. F., Beck, C. T, (2006). Nursing Research: Principles and Methods. Philadelphia. Htpps://www.ncbi.nlm.nih.gov

Putri F. S, (2015). Pengaruh merokok terhadap derajat Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Universitas Lampung.

Putri. F. E. S., (2013). Pengaruh Rokok Pada Penyakit Paru Obstriktif Kronik (PPOK). UNILA. Lampung.

Rekam Medik RSUD dr. Drajat Prawiranegara (2016). Indek Angka Rawat, Meninggal dan Pulang Paksa pasien PPOK di Instalasi rawat Inap RSUD dr. Drajat Prawiranegara. Serang - Banten.

Riskesda Kemenkes (2013). Data Prevalensi pasien PPOK tahun 2012-2013.Kemenkes; Jakarta

Robert.S, Young MDl (2013). Evaluation of modified early warning system for acut medical admissions and caomparation. Clinical Medicine. Http://www.journal.sagepub.com Royal Collage of Physicians dalam National Clinical Guideline I, (2013). National Early

(16)

Volume 2, Nomor 4, Desember 2019 601 ejournal.ymbz.or.id

evaluation of the evidence, to assist practitioner and service userdecision about appropriate healthicare for specific clinical circumsances across the entire clinical system. Irland. http://gen.lib.rus.ec/scimag/ National Early Warning Score. / 17.03. Soemantri.I, (2008). Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan keperawatan pada pasien dengan

gangguan sistem pernafasan. Salemba Medika: Jakarta.

St. Andrew. P, Regant’s. P, (2012). Royal Collage of PhysicianNational Early Warning Score (NEWS): Standardising the assessment of acute illness severity in the NHS. London. http/www.rcplondon.ac.uk/national early-warning score. RCP ISBN 978-1-860 16-471-2

Sugiyono, (2013). Statistika untuk penelitian. Alfabeta; Bandung

Sylvia. A.P and Lorraine. M. Wilson, (2006) Vol. 3. Edisi 6. Konsep Klinis Proses-proses penyakit. Alih bahasa : dr. Brahm U, Pendit, dr. Huriawati Hartanto, dr. Pita Wulandari, dr. Natalia Susi dan dr. Dewi Asih M. EGC ; Jakarta

Tim Cooksley, (2012). Effectiveness of Modified Early Warning Score in Predicting outcomes in Oncology Patients. Departement of Critical Care. England; Elsevier Tim penyusunan Modul Tesis Universitas Muhamadiyah Jakarta (2017). Buku Pedoman

Penulisan Tesis Program Studi Magister Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhamadiyah Jakarta. Cempaka Putih . Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Osallistujien argumenttien tasapuolinen huomiointi on sitä, että huolimatta siitä, kuka argumentin esittää, tulee se mukaan harkintaan (Fish- kin 2009: 34−43.) A LALUO KA T

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Perjanjian jaminan fidusia dengan objek jaminan barang titip jual yang dilakukan oleh Perusahaan apabila dikaji lebih lanjut

[r]

Diskusi : Tanda intravital tersebut ditemukan hampir pada seluruh kasus korban mati tenggelam yang di periksa oleh Bagian Departemen Kedokteran Forensik FK USU RSUP H.. Adam

EL-Goritma itu sendiri penulis memasukkan beberapa fasilitas yang nantinya akan menunjang pembelajaran seperti lve chat, video call, room diskusi, dan uang belajar.Target dari

dan perkembangan Rekam Medis dari zaman batu hingga saat ini.  Seiring dengan perkembangan

Mutmainnah (2008) dalam penelitianya menyatakan disiplin kerja mempunyai pengaruh signifikant terhadap kinerja karyawan. Disiplin lebih banyak bersumber dari dalam karyawan

Di dalam 10 petak yang masing-masing berukuran 20x40 m tercatat sebanyak 141 jenis pohon, dengan kerapatan 504 pohon/ha dan luas bidang dasar 12,35 m 2 /ha, yang tersebar pada 3