• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. poranda, ditandai dengan banyaknya pemutusan hubungan kerja dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. poranda, ditandai dengan banyaknya pemutusan hubungan kerja dan"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah menyebabkan perekonomian dalam skala makro dan mikro porak poranda, ditandai dengan banyaknya pemutusan hubungan kerja dan bertambahnya tingkat pengangguran. Secara la ngsung kondisi tersebut berpengaruh terhadap tingkat pendapatan keluarga dan peningkatan angka kemiskinan. Data BPS Tahun 1999 menunjukkan bahwa 38,1 juta jiwa atau 18,17% dari jumlah penduduk Indonesia adalah penduduk miskin. Sedangkan berdasarkan hasil Pendataan Kemiskinan dengan Indikator Baru (PKIB) BPS Provinsi Jatim Tahun 2001, Kabupaten Blitar menempati urutan ke 20 kabupaten/kota di Jawa Timur yang memiliki rumah tangga miskin di wilayahnya. Jumlah rumah tangga yang termasuk kategori miskin di Kabupaten Blitar mencapai terdapat 63.587 RTM atau sebesar 22,01% dari total jumlah rumah tangga miskin ± 208.300 jiwa penduduk miskin, dengan klasifikasi sebagai berikut : Mendekati Miskin sebesar : 25.021 RTM (8,7%), Miskin sebesar : 7.399 RTM (11,6%) maupun Sangat Miskin sebesar 56.188 RTM (88,4%). Hal ini menunjukan bahwa di Kabupaten Blitar jumlah rumah tangga sangat miskin jauh lebih besar dibanding kategori miskin.

(2)

Salah satu faktor penyebabnya adalah banyaknya masyarakat bawah terjebak dalam lingkaran setan atau perangkap kemiskinanan, yang dapat mematikan peluang hidup orang atau keluarga miskin serta berpengaruh terhadap kesadaran peranserta dan partisipasi aktif seluruh masyarakat dalam pembangunan. Pada akhirnya kemiskinan, kemelaratan serta kebobrokan dapat menurunkan kualitas hidup dan melemahkan semangat serta kemampuan masyarakat . Sebagaimana dikemukakan Robert Chambers dalam Suryono (2004:101) bahwa :

”Kemiskinan dianggapnya sebagai proses interaksi dari berbagai faktor yang muncul sebagai akibat dari situasi ketidakadilan, ketidakpastian, ketimpangan, ketergantungan dalam struktur masyarakat. Oleh karena itu kemiskinan lebih tepat disebut sebagai perangkap kemiskinan (deprivation trap), yang terdiri dari lima unsur penyebab kemiskinan yang saling terkait yaitu : ketidakberdayaan (powerlessness), kerentanan /kerawanan (vulnerabelity), kelemahan fisik (physical weakness), kemiskinan (poverty) dan , keterasingan / keterisolasian (isolation).

Landasan ekonomi yang selama ini dianggap kuat ternyata tidak berdaya menghadapi gejolak keuangan eksternal serta kesulitan makro dan mikro ekonomi. Penyebabnya adanya kelemahan fundamental yang mengabaikan perekonomian kerakyatan berbasis sumber daya alam dan manusia sebagai unggulan komparatif dan kompetitif. Pembesaran konglomerasi telah memangkas kesempatan usaha-usaha kecil berbasis kerakyatan berkembang. Dalam konsep ekonomi, masalah kemiskinan selalu dikaitkan dengan konsep standar hidup, pendapatan dan distribusi pendapatan. Sementara dalam konsep sosial, kemiskinan dikaitkan dengan konsep kelas, stratifikasi sosial, struktur sosial dan bentuk-bentuk

(3)

diferensiasi sosial lain. Kemiskinan juga merupakan konsep tentang keberadaan diri. Maka untuk mengetahui, merasakan dan menyadari keberadaan diri termasuk kelompok kemiskinan, diperlukan kesadaran tentang konteks diri dengan lingkungan alam dan manusia di sekitarnya.

Penanganan masalah pengangguran dan kemiskinan khususnya bagi rumah tangga miskin yang terjadi di berbagai daerah bersifat multidimensial secara politik, sosial dan ekonomi, dimana pelaksanaannya harus sinergis dan terintegrasi sesuai dengan kondisi daerah. Maka diperlukan kerjasama yang baik antara Pemerintah, Pemerintah Daerah dan swasta secara bersama-sama melakukan perluasan kerja bagi RTM, meningkatkan daya saing ekonomi masyarakat dan menciptakan iklim usaha kondusif melalui usaha ekonomi keluarga (informal) berskala mikro atau melalui usaha sektor riil sebagai bagian dari upaya menumbuhkan jiwa kewirausahaan masyarakat lokal.

Otonomi daerah telah memberikan peluang, tantangan sekaligus tanggung jawab bagi Pemda, dalam hal ini Pemerintah Provinsi Jawa Timur mengembangkan prakarsa lokal dan kebijakan strategis dalam rangka mengatasi kemiskinan dan peningkatan kualitas pelayanan dasar kepada masyarakatnya. Upaya nyata yang diwujudkan dalam beragam bentuk pendekatan pemberdayaan masyarakat seperti PAMDKB, JPES, P2KP, P3DT, PPK dan sebagainya, ternyata masih belum bisa menghentikan mata rantai kemiskinan khususnya di pedesaan. Diperluka n upaya, strategi, kebijakan dan program pembangunan pedesaan berdasarkan kesesuaian

(4)

karateristik, kondisi obyektif dan kebutuhan masing-masing kawasan dengan memperluas cakupan pembangunan berbasis pada masyarakat itu sendiri.

Menyadari hal itu maka Pemprov Jatim mengeluarkan 5 (lima) program pengungkit Pembangunan Provinsi Jawa Timur yaitu : Jembatan Suramadu, Jalan Lintas Selatan, Pasar Induk Agrobisnis, Proyek Jalan Tol dan Program Gerdu Taskin. Program Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan (GERDU-TASKIN) diharapkan menjadi alternatif program pembangunan pedesaan berkelanjutan berbasis masyarakat dalam rangka percepatan penanggulangan kemiskinan di wilayah Jawa Timur. Program ini menarik untuk diketahui karena mekanisme program didesain dan diarahkan pa da pola pengembangan dan pengelolaan program yang lebih terpadu dan berkelanjutan. Sebagaimana dijelaskan dalam dokumen Evaluasi Kebijakan Bapemas Prov. Jatim Tahun 2005, bahwa :

“ Bentuk keterpaduan pengelolaan kebijakan Program Gerdu Taskin sebagai program penanggulangan kemiskinan di wilayah Jawa Timur diwujudkan dengan memantapkan pola kemitraan antara Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Kabupaten/Kota dengan stakeholders, yang terfokus pada:

a. Keterpaduan Alokasi Anggaran/Pembiayaan

Pendanaan program untuk masing-masing desa/kelurahan lokasi maupun biaya operasional pengelolaan diatur secara sharing antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, Pemerintah Desa/Kelurahan dan masyarakat lokasi sasaran.

b. Keterpaduan Lokasi dan Kelompok Sasaran (target groups)

Penetapan lokasi program oleh Pemprov setelah mendapat masukan dan di-mapping Pemerintah Kabupaten/Kota menggunakan acuan hasil PKIB-01 BPS Prov. Jatim dan memperhatikan hasil pemetaan profil UPK oleh Tim Pendamping dibantu oleh masyarakat. Sedangkan Sasaran utama adalah RTM hasil data PKIB-01 atau PSE-05 BPS Jatim pada masing-masing desa/kelurahan setelah dilaksanakan klarifikasi dan klasifikasi Musdes secara partisipatif yaitu RTM-R dan RTM-B ;

(5)

c. Keterpaduan Kelembagaan

Diharapkan UPK Gerdu Taskin menjadi embrio Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sebagai pusat pengembangan kelembagaan ekonomi pedesaan dapat mengintegrasikan berbagai aset desa dan aktivitas ekonomi program pemberdayaan masyarakat dalam rangka meningkatkan perekonomian desa.

d. Keterpaduan Agen Pelaksana Program

Pengelolaan Program Gerdu Taskin yang langsung dikoordinasikan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) agar peran dan fungsinya di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota lebih optimal sebagai wadah koordinasi dan sikronisasi seluruh kegiatan dalam mengembangkan berbagai kebijakan dan program taskin di daerahnya dan bersinergi dengan beberapa elemen terkait di masyarakat.

Sedangkan keberlanjutan program diwujudkan melalui pengembangan pola penanganan program yang dimulai dari Tahap Awal yang dilanjutkan dengan Tahap Penguatan UPK serta Tahap Pemandirian yang dilaksanakan secara selektif pada desa/kelurahan lokal dengan menganut prinsip asas pemulihan (recovery) , pertumbuhan (growth) maupun penguatan program (stabilitazations) “.

Berdasarkan data dari Bapemas Provinsi Jatim, bahwa pelaksanaan implementasi Program GERDU TASKIN telah mampu memberikan kontribusi terhadap upaya penanggulangan pengangguran dan kemiskinan melalui upaya membangun skala Usaha Sektor Riil (U SR) dan Usaha Simpan Pinjam (USP) yang dikelola langsung oleh kelompok swadaya masyarakat desa dalam bentuk lembaga UPK (Unit Pengelola Keuangan) di wilayah Jawa Timur . Sebagaimana dijelaskan dalam dokumen Evaluasi Kebijakan Bapemas Provinsi Jawa Timur Tahun 2008, bahwa :

”Berdasarkan hasil evaluasi Badan Pusat Statistik Prov. Jatim tahun 2007 menunjukkan bahwa dampak implementasi Program Gerdu Taskin adalah : a. Terjadi peningkatan kesejahteraan RTM di 38 kabupaten/kota di wilayah

Prov. Jatim sebesar 7,62%, bahkan sebesar 3,91% diantaranya sudah keluar dari kemiskinan dan sebanyak 34.82 % Desa Merah telah mengalami perubahan kategori menjadi Kuning (304 Desa), menjadi Hijau (123 desa), Biru (48 desa) dan Putih (16 desa),

b. Telah mampu meningkatkan pendapatan masyarakat rata-rata sebesar

(6)

Rp. 134.896.065.038,- menjadi sebesar Rp. 148.413.246.575,- atau naik sebesar Rp. 13.517.181.537,- (naik 10,02 %)

c. Selama pelaksanaan Program Gerdu-Taskin tahun 2002-2008, secara akumulatif telah memberikan manfaat bagi 1.315.387 RTM, dan telah mampu menyerap pengangguran lokal 268.330 orang.

d. Selama 6 (enam) tahun Program Taskin berjalan, UPK Gerdu-Taskin mampu menunjukkan eksistensinya, hal ini terbukti dari hasil pemetaan profil UPK Program Gerdu-Taskin Tahun 2002 s/d 2008 dari 1.680 UPK Tahun 2002 s/d 2008 yang dipetakan, sejumlah 812 UPK (60,06 %) dalam kategori Sehat, 251 UPK (14,94 %) dalam kategori Kurang Sehat dan 420 UPK (25 %) kategori Tidak Sehat.

Demikian halnya dengan pelaksanaan Program Gerdu Taskin di Kabupaten Blitar selama 8 (delapan) tahun berjalan telah mampu membentuk sebanyak 59 (lima puluh sembilan) UPK Gerdu Taskin di 17 (tujuh belas) kecamatan, termasuk di Kecamatan Bakung dengan kondisi dan perkembangan pasca program yang beragam. Tingkat kinerja dan pengelolaan lembaga keuangan mikro pedesaan dengan tingkat kesehatan UPK Gerdu Taskin yang beragam, tentunya akan mampu memberikan dampak perubahan dan kontribusi bagi peningkatan roda perekonomian masyarakat dan tingkat kesejahteraan masyarakat pedesaan khususnya bagi rumah tangga miskin di Kecamatan Bakung Kabupaten Blitar. Dibutuhkan komitmen kuat dan tanggung jawab dari Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, Pemerintah Desa, stakeholders terkait sampai masyarakat sangat berpengaruh terhadap keberhasilan, kesinambungan dan keberlanjutan program pemberdayaan masyarakat dalam upaya pengentasan kemiskinan di daerah.

Berdasarkan kondisi tersebut di atas mendorong penulis mengangkat dan mengkaji program pemerintah tersebut dengan mengajukan judul :

(7)

IMPLEMENTASI PROGRAM GERAKAN TERPADU PENGENTASAN KEMISKINAN (GERDU TASKIN) SEBAGAI ALTERNATIF PEMBANGUNAN BERBASIS MASYARAKAT DI KABUPATEN BLITAR (Suatu Studi di Kecamatan Bakung Kabupaten Blitar Jawa Timur)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan paparan permasalahan tersebut di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :

a. Bagaimana Implementasi Program GERDU TASKIN sebagai alternatif Pembangunan Berbasis Masyarakat di Kecamatan Bakung Kabupaten Blitar ?

b. Faktor-faktor apa saja yang menjadi pendukung dan penghambat Implementasi Program GERDU TASKIN sebagai alternatif Pembangunan Berbasis Masyarakat di Kecamatan Bakung Kabupaten Blitar ?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian yang dilakukan, yaitu :

a. Mendiskripsikan dan menganalisis Implementasi Program GERDU TASKIN sebagai alternatif Pembangunan Berbasis Masyarakat dalam upaya pemberdayaan masyarakat pedesaan di Kecamatan Bakung Kabupaten Blitar.

b. Mendeskripsikan dan menganalisis faktor-faktor pendukung dan penghambat Implementasi Program GERDU TASKIN sebagai alternatif

(8)

Pembangunan Berbasis Masyarakat di Kecamatan Bakung Kabupaten Blitar.

1.4. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan membawa guna -manfaat :

1. Menjadi masukan bagi Pemda agar memperoleh gambaran secara konseptual dan praktis di dalam mewujudkan dan mengimplementasikan Program GERDU TASKIN di Kabupaten Blitar terutama sebagai bahan evaluasi terhadap tahapan-tahapan yang telah dilakukan.

2. Khususnya bagi policy-making actors dan policy stakeholders di dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan upaya pengentasan kemiskinan, sehingga memperhatikan keinginan, tuntutan. dan harapan yang akan membawa pada peningkatan partisipasi masyarakat dalam tatanan mikro serta pemberdayaan masyarakat dalam derajat makro.

3. Kegunaan teoritis :

a. Sebagai wacana yang dapat dikembangkan dan dikaji dengan pendekatan ilmiah

b. Dari hasil penelitian, dapat menjadikan kontribusi untuk pengembangan Ilmu Sosiologi khususnya dalam Implementasi Kebijakan.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilatar belakangi oleh PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk Sebagai salah satu penyedia layanan internet di Indonesia bekerjasama dengan pemerintah kota

Fungsi dari pengunaan E-learning dalam proses belajar mengajar di Politeknik bukan untuk mengganti, melainkan memperkuat model pembelajaran yang telah ada (Ardito,

Kajian berbentuk eksperimentalkuasi ini bertujuan untuk menilai perubahan ukuran antropometri, profil lipid, leptin serum dan glukosa darah sebelum dan selepas 12 minggu

Oleh karena itu untuk mengetahui seberapa besar penggunaan dari jerami jagung dalam ransum ruminansia, maka akan dilakukan penelitian dengan judul “Pengaruh

Perbandingan dengan luaran percobaan tahun 1993/1994 (Bari, et a/o, 1995) diberikan dalam Tabel4 untuk basil biji pipilan kering bahan pemuliaanjagung terpilih clan

Pembelajaran berbasis proyek (project based learning/PjBL) merupakan model pembelajaran yang menekankan pada pemberian kesempatan kepada mahasiswa untuk menghasilkan

Wacana adalah satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi dan terbesar (Kridalaksana, 1982:179). Wacana sendiri terdiri dari

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat dan HidayahNya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang berjudul Spiritualitas dalam