• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari penelitian maskulinisasi ikan nila dengan perendaman dalam ekstrak purwoceng diperoleh data utama berupa data persentase ikan nila jantan, kelangsungan hidup, dan pertumbuhan. Selain itu, diperoleh pula informasi hasil pengukuran senyawa aktif yang terdapat di dalam ekstrak purwoceng dan kualitas air sebagai data penunjang.

Persentase Ikan Jantan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan nila yang diberi perlakuan dengan perendaman ekstrak purwoceng menghasilkan ikan nila jantan lebih banyak dibandingkan kontrol (-). Tabel 2 menunjukkan prosentase ikan jantan pada akhir penelitian setelah dilakukan histologi dengan metode asetokarmin;

Tabel 2. Jumlah prosentase (%) ikan nila jantan pada perlakuan perendaman ikan nila (Oreochromis niloticus) dalam ekstrak purwoceng

Ulangan K (-) MT (+) P10 P20 P30

1 53,33 79,99 63,33 73,33 66,66

2 56,66 76,66 69,99 76,66 66,66

3 46,66 83,33 66,66 69,99 73,33

Rata-rata 52,2 ± 5,09a 80 ± 3,34c 66,7 ± 3,33b 73,3 ± 3,35bc 68,88 ± 3,85b

Secara genetik dalam keadaan normal ikan akan menghasilkan keturunan dengan rasio seks jantan dan betina 50% : 50% (Tave, 1993; Pandian 1999). Rasio seks tersebut dapat diarahkan menjadi mayoritas jantan maupun betina sesuai kepentingan dengan teknik alih kelamin (Tave, 1993; Bearmore et al., 2000; Preferrer, 2001; Zairin, 2003; Desprez et al., 2003). Persentase ikan jantan yang lebih tinggi merupakan indikator keberhasilan dari teknik maskulinisasi pada ikan nila (Zairin, 2003).

Tabel 2 menunjukkan bahwa ada pengaruh perlakuan perendaman larva ikan nila dalam ekstrak purwoceng terhadap persentase ikan nila jantan. Perlakuan perendaman ekstrak purwoceng dengan dosis 10, 20, dan 30 mg/l menghasilkan ikan nila jantan berurut-turut 66,7%, 73,3%, dan 68,9%. Jumlah ikan jantan tersebut lebih tinggi dibandingkan ikan nila kontrol K (-) yang hanya 52,2% namun lebih rendah dari pada kontrol positif (+) dengan perendaman MT dengan

(2)

jumlah 80%. Setelah diuji statistik, jumlah ikan jantan terbukti berbedanyata dibandingkan ikan nila yang tidak diberi perlakuan apapun (Kontrol (-)).

Persentase ikan nila jantan terbanyak terdapat pada kontrol (+) dengan perlakuan MT yang menghasilkan ikan nila jantan sebanyak 80%. Disusul dengan perlakuan perendaman ekstrak purwoceng dengan dosis 20, 10, dan 30 mg dengan hasil ikan nila jantan sebanyak 73,3%, 68,9% dan 66,6%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa hasil optimal terdapat pada dosis 20 mg dan kecenderungan menurun pada dosis 30 mg. Hasil tertinggi dengan dosis 20 mg tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan ekstrak tanaman sendrego dengan dosis yang sama yang menghasilkan ikan cupang jantan sebanyak 70,7% (Alfian, 2003). Tingkat keberhasilan teknik alih kelamin akan sangat ditentukan oleh jumlah hormon yang diberikan, lama waktu perlakuan, dan frekuensi perlakuan baik melalui pemberian hormon melalui pakan maupun dengan teknik perendaman (Piferrer, 2001; Devlin dan Nagahama, 2002). Perlakuan maskulinisasi ikan nila dengan teknik perendaman menggunakan hormon MT paling tepat dilakukan pada saat larva baru menetas hingga mendekati masa definitif pembentukan kelamin (Pandian dan Sheela, 1995).

Perubahan rasio seks ikan yang disebabkan oleh pengaruh fitosteroid pernah diteliti oleh Tremblay (1998) melalui studi lingkungan di sungai yang dilalui limbah cair pembuatan pabrik kertas. Lalu ia meneliti kemampuan reseptor untuk mengikat beberapa jenis fitosteroid. Penelitian tersebut membuktikan adanya afinitas (kemampuan mengikat) reseptor terhadap fitosteroid (β-sitosterol, stigmasterol, dan genistein). Bahkan, β-sitosterol mampu merangsang produksi vitelogenin pada ikan rainbow trout jantan. Meskipun demikian, afinitas fitosteroid masih lebih rendah dibandingkan hormon steroid dari hewan maupun hormon sintetik. Lebih lanjut Hewitt (2008) mengatakan bahwa limbah cair pabrik kertas dapat menyebabkan gangguan metabolisme pada ikan, pengecilan pada organ reproduksi, gangguan sistem endokrin, dan mengurangi produksi telur. Hou (2011) mengungkapkan bahwa adanya maskulinisasi populasi ikan betina mosquitofish (Gambusia affinis) di sungai Dengcun, China akibat paparan limbah cair pabrik kertas.

(3)

Gambar 4. Jaringan gonad ikan nila 1. betina 2. jantan dan 3. intersex. *Keterangan : a. bakal sel betina dan b. bakal sel jantan.

Meningkatnya jumlah ikan jantan dalam penelitian ini diduga akibat adanya senyawa stigmasterol dalam ekstrak purwoceng. Senyawa stigmasterol mempunyai daya ikat pada reseptor sehingga mempengaruhi sistem endokrin ikan. Daya ikat stigmasterol pada reseptor akibat adanya kemiripan antara struktur molekul stigmasterol dengan kolesterol dan hormon androgen (Tremblay dan Van der Kraak, 1998). Senyawa stigmasterol dan β-sitosterol yang terdapat dalam limbah cair bubur kertas diduga mempengaruhi nisbah kelamin pada berbagai ikan di sungai yang dilalui limbah cair bubur kertas (Hawit et al., 2008).

Selain gonad jantan dan betina, dalam perlakuan perendaman ekstrak purwoceng dan MT juga didapati gonad dengan status intersex, dimana dalam

(4)

satu gonad terdapat bakal sel jantan (sperma) dan bakal sel betina (ovum) (Gambar 4). Hampir pada setiap perlakuan alih kelamin terdapat ikan yang kelaminnya intersex. Pada penelitian ini terdapat 13,3% ikan berstatus intersex pada perlakuan perendaman ekstrak purwoceng sebanyak 20 mg/l (Tabel 3). Pada penelitian Muslim (2010) terdapat sebanyak 8,3% ikan nila intersex dengan pemberian tepung testis sapi dalam pakan. Iskandar (2010) mendapati 7,8% ikan

intersex dengan perlakuan perendaman ekstrak testis sapi pada ikan nila. Pada

ikan Pomoxis nigromaculatus terdapat 23% ikan dengan status intersex (Arslan, 2004). Gangguan pada organ reproduksi juga terjadi pada ikan kakap Eropa (Dicentrarchus labrax) pada usia dewasa setelah perendaman dengan hormon MT yang mencapai 11% ikan intersex (Chatain, 1999). Menurut Zairin (2002), ikan

intersex merupakan penyimpangan pembentukan kelamin akibat dosis hormon

atau lama perlakuan yang kurang tepat pada saat perlakuan. Oleh karena itu, sangat penting untuk mencari dosis dan lama perlakuan optimum dalam perlakuan alih kelamin untuk meningkatkan populasi jantan dan mengurangi ikan intersex.

Tabel 3. Jumlah prosentase (%) ikan nila intersex pada perlakuan perendaman ikan nila (Oreochromis niloticus) dalam ekstrak purwoceng

Ulangan K (-) MT (+) P10 P20 P30

1 0 9,99 9,99 9,99 9,99

2 0 9,99 0 16,66 13,33

3 0 3,33 16,66 13,33 13,33

Rata-rata 0 7,8 ± 3,85ab 5.6 ± 8,38a 13,3 ± 3,34b 12,22 ± 1,93b

Pembentukan kelamin pada ikan nila dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah faktor genetik, lingkungan, dan steroid eksogenus (Devlin dan Nagahama, 2002). Secara normal, faktor genetik akan membentuk kelamin ikan menjadi jantan dan betina dengan perbandingan 50% : 50% tanpa dipengaruhi faktor eksternal, namun set kromosom kelamin tersebut dapat dimanipulasi untuk mendapatkan jenis kelamin tertentu dengan teknik ginogenesis maupun androgenesis (Tave, 1993). Hasil penelitian Rougeot et al (2005), teknik ginogenesis dapat menghasilkan 100% populasi ikan betina pada ikan Perca

(5)

Pada masa diferensiasi pembentukan kelamin akan dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal. Faktor lingkungan merupakan faktor utama yang dapat mempengaruhi rasio seks, terutama temperatur. Temperatur yang rendah pada kisaran <20oC akan mengarahkan ikan mas (Carassius auratus) menjadi mayoritas betina hingga mencapai 100% sedangkan pada temperatur yang semakin tinggi sekitar 30oC akan mengarahkan ikan mas menjadi jantan hingga mencapai 93% (Goto-Kazeto, 2006). Pada hasil penelitian Colburn et al (2009), peningkatan temperatur dapat meningkatkan populasi jantan Paralichthys dentatus. Penelitian tersebut menghasilkan 100 jantan XX pada temperatur 26 C0.

Pada penelitian ini, temperatur tidak mempengaruhi rasio seks ikan nila dimana temperatur berada pada kisaran 26,5 – 27,5oC. Hal tersebut terbukti dengan hasil histologi asetokarmin yang menyatakan jumlah ikan jantan berjumlah 52,2% pada ikan kontrol (-) yang tidak diberikan perlakuan apapun. Angka tersebut tidak berbeda jauh dengan penelitian Muslim (2010) dan Iskandar (2010) yang masing-masing terdapat 55% dan 55,6% ikan nila jantan pada kisaran suhu 27-30oC. Demikian pula hasil penelitian Goto-Kazeto (2006) yang menyatakan ikan mas jantan kontrol berjumlah 53,5% pada temperatur 25oC.

Faktor yang paling berpengaruh terhadap perubahan rasio seks ikan secara fenotip adalah hormon steroid baik yang bersifat androgenik maupun estrogenik (Pandian, 1999 ; Piferrer, 2001 ; Devlin dan Nagahama, 2002 ; Zairin, 2003). Hormon yang paling sering digunakan untuk maskulinisasi adalah 17α-MT dan untuk feminisasi digunakan estradiol (Beardmore, 2001). Menurut Pandian dan Kirankumar (2003), penggunaan hormon 17α-MT untuk produksi ikan jantan telah dibatasi dan ikannya dilarang masuk ke pasar Eropa karena kekhawatiran adanya residu hormon dalam tubuh ikan maupun diperairan. Oleh karena itu, dengan adanya hasil yang positif dari penggunaan ekstrak purwoceng dengan teknik perendaman maka purwoceng dapat digunakan sebagai pengganti hormon 17α-MT untuk kegiatan maskulinisasi ikan nila.

Kelangsungan Hidup Ikan Nila

Kelangsungan hidup merupakan salah satu parameter yang sangat penting dalam perlakuan maskulinisasi ikan nila sebagai indikator apakah bahan yang

(6)

dipakai memiliki efek negatif yang dapat menyebabkan kematian atau tidak. Data kelangsungan hidup hasil penelitian disajikan pada Tabel 4;

Tabel 4. Rata-rata persentase kelangsungan hidup ikan nila pada perlakuan perendaman ikan nila (Oreochromis niloticus) dalam ekstrak purwoceng

DOSIS Keterangan

Perendaman pertama

Perendaman

kedua Akhir penelitian

Kontrol (-) 100 99,67 83 ± 7,0a

MT (+) 100 99 86,67 ± 4,5a

P10 100 97,67 88,33 ± 4,9a

P20 100 98,67 83,33 ± 4,5a

P30 100 98,33 84,67 ± 6,4a

Kelangsungan hidup ikan nila pada akhir penelitian berkisar antara 83% pada perlakuan kontrol (-) hingga 88,33%.pada perlakuan perendaman ekstrak purwoceng 10 mg/l sedangkan kelangsungan hidup terendah terjadi pada ikan kontrol (-) sebanyak 83% dari total populasi 100 ekor sejak perendaman awal. Kelangsungan hidup yang tinggi ini didukung oleh parameter kualitas air budidaya yang optimal bagi ikan nila.

Data kelangsungan hidup ikan nila saat penelitian menunjukkan bahwa perendaman ikan nila dengan ekstrak purwoceng maupun MT tidak menyebabkan kematian pada ikan nila. Hal ini dapat dilihat pada perendaman pertama dengan prosentase larva ikan nila yang hidup mencapai 100%. Hingga akhir penelitian kelangsungan hidup ikan masih cukup tinggi. Hal tersebut selaras dengan penelitian Iskandar (2010) yang melakukan maskulinisasi dengan ekstrak testis sapi dengan kelangsungan hidup 83,3% - 89,7%. Kelangsungan hidup rata-rata ikan nila setelah perlakuan 11β-hydroxyandrostenedione (11 βOHA4) sebanyak 82,3% pada akhir pemeliharaan (Desprez, 2003).

Kelangsungan hidup ikan pada saat pemeliharaan sangat ditentukan oleh kualitas air yang optimal bagi ikan nila. Dalam penelitian ini kualitas air berada pada kisaran optimum baik temperatur, pH, ammonia, dan kandungan oksigen terlarut (Tabel 6). Selain itu, kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan juga akan menentukan kelangsungan hidup ikan. Pakan yang diberikan juga berkualitas

(7)

baik dengan kadar protein 38%. Pakan diberikan sekenyangnya dengan frekuensi pemberian 3 hingga 4 kali per hari.

Pertumbuhan Ikan Nila

Pertumbuhan merupakan salah satu parameter penting untuk mengetahui keadaan fisiologis ikan setelah perlakuan perendaman eksrak purwoceng dan MT. Hasil pengamatan pertumbuhan ikan nila selama penelitian dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 5. Bobot ikan nila pada akhir pemeliharaan (g) pada perlakuan perendaman ikan nila (Oreochromis niloticus) dalam ekstrak purwoceng

Ulangan K (-) MT (+) P10 P20 P30

1 6.87 7.97 8.24 7.8 8.37

2 6.05 7.9 8.07 7 7.58

3 7.92 8.36 8.31 7.08 7.74

Rata-rata 6,9 ± 0,94a 8,1 ± 0,25b 8,2 ± 0,12b 7,3 ± 0,44ab 7,9 ± 0,42ab

Tabel 5 diatas terlihat bahwa ikan nila yang diberi perlakuan perendaman ekstrak purwoceng dan MT memiliki bobot akhir yang lebih besar dibandingkan dengan ikan kontrol yang tidak diberi perlakuan. Bobot akhir ikan nila yang paling besar terdapat pada perlakuan P10, disusul secara berurutan pada perlakuan MT, P30, P20 dan Kontrol (-). Namun, setelah diuji secara statistik setiap kelompok tidak memberikan perbedaan yang nyata dari setiap perlakuan perendaman (p<0,05) terhadap peningkatan bobot akhir ikan. Menurut Dunham (2004), hormon androgen mempunyai sifat anabolik maupun katabolik yang berhubungan dengan pertumbuhan ikan setelah perlakuan. Phelps dan Popma (2000), mengatakan bahwa hormon androgen mempunyai dua aksi fisiologis; (1) bersifat androgenik, dimana pertumbuhan didorong oleh karakter jantan yang terbentuk pada ikan: dan (2) bersifat anabolik, dimana hormon androgen menstimulasi biosintesis protein di dalam tubuh ikan. Pertumbuhan ikan sendiri harus didukung oleh kondisi lingkungan yang optimal dan pemberian pakan yang cukup.

Pertumbuhan ikan nila pada awalnya sama. Namun pada saat mencapai kedewasaan, ikan nila betina mengalami perlambatan pertumbuhan akibat adanya

(8)

tingkah laku seksual dan perkembangan gonad untuk bereproduksi. Begitu juga ikan nila jantan akan mengalami perlambatan pertumbuhan akibat tingkah laku seksual apabila dipelihara secara campuran antara jantan dan betina dalam media pemeliharaan yang sama (Pandian dan Sheela, 1999; Phelps dan Popma 2000; Zairin, 2003). Oleh karena itu, pemeliharaan ikan nila jantan berkelamin tunggal (monosek) sangat penting untuk meningkatkan biomassa dan keseragaman ukuran ikan nila pada saat pemanenan.

Kadar Senyawa Stigmasterol Dalam Ekstrak Purwoceng

Dahulu steroid dianggap hanya terdapat pada hewan, namun beberapa tahun terakhir senyawa tersebut makin banyak ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi (Harborne, 2006). Jenis tumbuhan yang mengandung fitosteroid diantaranya adalah purwoceng (Taufiqurrahman, 2005), sendrego (Alfian, 2003), kacang kuning, sipata-pata (Sabri, 2011), dan beberapa tanaman lainnya. Kebanyakan steroid yang ditemukan pada tumbuhan adalah fitoestrogen sedangkan yang bersifat androgenik jauh lebih sedikit jumlahnya. Purwoceng merupakan salah satu yang mempunyai sifat androgenik. Stigmasterol adalah salah satu senyawa fitoandrogen yang terdapat dalam ekstrak purwoceng. Hasil analisis GC;MS purwoceng mengandung bahan aktif stigmasterol sebanyak 5,38%. Stigmasterol mempunyai sifat androgenic-like, yaitu senyawa yang mempunyai sifat yang sama dengan hormon androgen yang diduga akan mempengaruhi nisbah kelamin ikan nila.

Menurut Sabri (2011), penggunaan fitoestrogen dapat meningkatkan kepadatan tulang akibat dari terikatnya fitoestrogen oleh reseptor-estrogen sehingga menyebabkan adanya fungsi yang sama dengan hormon estrogen. Hal tersebut dikuatkan oleh Trembley dan Van der Kraak (1998), menyatakan bahwa adanya afinitas (kemampuan mengikat) fitosteroid oleh reseptor sehingga menimbulkan efek yang sama dengan hormon yang terdapat pada hewan. Afinitas fitosteroid tersebut pernah dicoba terhadap beberapa senyawa, diantaranya adalah stigmasterol, β-sitosterol, dan genestein. Meskipun mempunyai daya afinitas terhadap reseptor namun afinitas fitosterod lebih lemah dibandingkan steroid yang terdapat pada hewan (Tramblay dan Van der Kraak, 1998).

(9)

Tanaman purwoceng telah digunakan sejak lama sebagai tanaman afrodisiaka dalam bentuk jamu tradisional (Gunawan, 2002). Penggunaan ekstrak purwoceng pada tikus mampu meningkatkan kadar hormon testesteron dalam darah, LH (luteinizing hormone), dan FSH (follicle-stimulating hormone), serta dapat meningkatkan kemampuan seksual pada tikus jantan (Taufikurrahman dan Wibowo, 2005). Tanaman sendrego dan pasak bumi juga mempunyai fungsi yang sama (Alfian, 2003; Taufikurrahman dan Wibowo, 2005). Bahkan sendrego dapat digunakan sebagai bahan untuk maskulinisasi ikan cupang yang dapat mencapai 70,3% ikan cupang jantan (Alfian, 2003). Pada limbah cair bubur kertas juga terdapat fitosteroid berupa β-sitosterol dan stigmasterol yang mempunyai sifat androgenik yang dapat mempengaruhi rasio seks ikan dan mengganggu fungsi gonad ikan mosquito (Orlando, 2007).

Kualitas Air

Kualitas air selama penelitian disajikan pada Tabel 6:

Tabel 6. Kualitas air selama penelitian pada perlakuan perendaman ikan nila (Oreochromis niloticus) dalam ekstrak purwoceng

Parameter Satuan Hasil pengukuran

Kisaran yang layak menurut referensi (Popma dan Lovshin (1999))

DO mg/l 6,87 – 7,87 >5

Temperatur oC 26,5 – 27,5 6,5-8,5

pH Unit 7,23 – 7,45 25-30

Amoniak mg/l 0,109 – 0.196 <0,2

Pertumbuhan dan kehidupan ikan sangat dipengaruhi oleh temperature (Kordi dan Tancung, 2007). Kualitas air yang menjadi media hidup ikan penelitian berada pada batasan optimum untuk kehidupan ikan nila. Pada saat penelitian temperatur berada pada kisaran 26,5 – 27,5 0C. Menurut Amri el al., (2008), ikan nila dapat hidup secara maksimal pada kisaran suhu 25 – 38 0C. Sedangkan menurut Suresh (2005), temperatur optimal bagi pertumbuhan ikan nila berkisar 26 – 32 0C.

(10)

Kandungan oksigen terlarut pada saat penelitian 6,87 – 7,87 ppm. Sedangkan kadar oksigen optimal yang dibutuhkan oleh ikan nila >3 ppm (Suresh, 2005). Kandungan oksigen terlarut yang tinggi disebabkan aerasi yang optimal dalam akuarium. Total ammonia 0,109 – 0.196 mg/l dan pH 7,23 – 7,45 saat penelitian berlangsung. Kadar ammonia optimal <0,2 dan pH 6,5 – 8,5. Keseluruhan kualitas air pada saat penelitian berada pada kisaran layak.

Salah satu parameter kualitas air yang sangat mempengaruhi rasio seks ikan adalah temperatur (Zairin, 2003; Devlin dan Nagahama, 2002; Goto-Kazeto, 2006). Pada temperatur yang tinggi akan menyebabkan arah kelamin menjadi jantan sedangkan pada temperatur rendah umumnya akan mengarah menjadi betina (Goto-Kazeto, 2006). Sejak stadia embrio temperatur telah mempengaruhi seks rasio maupun perkembangan ikan (Devlin dan Nagahama, 2002). Pada suhu 15oC populasi ikan mas (Carassius auratus) betina dapat mencapai 94,6%, pada suhu 23oC populasi betina berada pada kisaran normal, berjumlah 46,6% dan pada suhu dan pada temperatur 30oC populasi jantan dapat mencapai 92,3% (Goto-Kazeto, 2006). Menurut Pillay (1981), peningkatan temperatur dapat meningkatkan jumlah ikan jantan dan pada fase dewasa dapat meningkatkan hormon testesteron dan 11-ketotestesteron.

Gambar

Gambar 4. Jaringan gonad ikan nila 1. betina 2. jantan dan 3. intersex.
Tabel  4.  Rata-rata  persentase  kelangsungan  hidup  ikan  nila  pada  perlakuan  perendaman ikan nila (Oreochromis niloticus) dalam ekstrak purwoceng
Tabel 5. Bobot ikan nila pada akhir pemeliharaan (g) pada perlakuan perendaman  ikan nila (Oreochromis niloticus) dalam ekstrak purwoceng

Referensi

Dokumen terkait

Setelah siswa memahami masalah yang ada dan sudah mengumpulkan berbagai data, siswa di bimbing guru untuk mencari solusi atau cara penyelesaian yang tepat (membimbing

Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan

Tahap implementasi merupakan tahap pelaksanaan dari desain sistem yang dirancang sebelumnya, desain sistem ini akan diterjemahkan ke dalam bahasa pemrograman atau bahasa

KeuI.!LP!·ogr8l1TI Studi Bioic)gi セAオゥG・ゥッセュ@ Pascasrujana. Tanggal Lulus: 14

menggambarkan penguasaan dalam penyelesaian pekerjaan, karena tidak menguraikan penjelasan tenaga kerja dan peralatan yang digunakan) [ Berdasarkan Dokumen.

Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang

pelanggaran terhadap kode etik, baik dugaan tersebut berasal dari pengetahuan Dewan Kehormatan Daerah sendiri maupun karena laporan dari Pengurus Daerah ataupun pihak lain kepada

Tugas Dinas Kesehatan Provinsi  Membuat rencana penyelenggaraan  Membentuk tim penguji provinsi  Membuat surat pengajuan pelaksanaan uji ke unit pembina  Memfasilitasi