ESTIMASI UNSUR-UNSUR CUACA UNTUK MENDUKUNG SISTEM PERINGKAT BAHAYA KEBAKARAN HUTAN/LAHAN
DENGAN DATA MODIS
M. Rokhis Khomarudin1, Orbita Roswintiarti1, dan Arum Tjahjaningsih1
1Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Jalan LAPAN 70, Pekayon-Pasar Rebo, Jakarta 13710
Telp/Fax : +62 21 8710065/+62 21 8710274 email : ayah_ale@yahoo.com
Abstrak
Kebakaran hutan/lahan di wilayah Indonesia (khususnya di P. Sumatra dan P. Kalimantan) yang terjadi setiap tahun antara lain diakibatkan oleh meningkatnya tekanan sosial-ekonomi dan perubahan penggunaan lahan yang selalu meningkat. Sistem peringatan dini bahaya kebakaran hutan/lahan yang sedang dikembangkan di Indonesia mengadopsi Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran (SPBK) Canada. Salah satu komponen utama dari SPBK tersebut adalah sistem Indeks Cuaca Kebakaran (Fire Weather Index, FWI). Sistem FWI terdiri dari tiga kode kelembaban, yaitu Fine Fuel Moisture Code (FFMC), Duff Moisture Code (DMC), dan Drought Code (DC), serta tiga indeks perilaku kebakaran, yaitu Initial Spread Index (ISI), Buildup Index (BUI), dan Fire Weather Index (FWI). Kode-kode FWI biasanya dihitung dari titik-titik pengamatan (umumnya stasiun cuaca) dengan masukan parameter suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin, dan curah hujan. Pada daerah-daerah dimana lokasi stasiun cuaca tidak terjangkau, maka data satelit penginderaan jauh dapat digunakan untuk menyediakan informasi spasial yang lebih homogen. Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan pengkajian pendugaan unsur cuaca dengan data Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) Satelit Terra/Aqua yang kemudian dapat digunakan dalam pembuatan peringkat- peringkat bahaya kebakaran hutan/lahan.
Dalam penelitian ini metode regresi berganda (multiple regression) digunakan untuk menduga suhu udara dan kelembaban relatif. Input yang digunakan dalam pendugaan suhu udara dan kelembaban relatif adalah suhu permukaan dan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) dari data MODIS. Input lain adalah ketinggian tempat dan letak lintang. Selanjutnya, dalam penelitian ini didapatkan tiga model regresi berganda untuk menduga suhu udara dan tiga model regresi berganda untuk menduga kelembaban relatif. Tiga model persamaan untuk menduga suhu udara adalah model regresi linear berganda dengan R2 = 0.668, SE=1.58, model regresi berganda kuadratik dengan R2= 0.702, SE=1.53, model regresi berganda kombinasi polinomial dengan R2= 0.69, SE=1.58. Untuk pendugaan kelembaban relatif memiliki tiga model persamaan yaitu model regresi linear berganda dengan R2 = 0.835, SE=5.03, model regresi berganda kuadratik dengan R2= 0.856, SE=4.86, model regresi berganda kombinasi polinomial dengan R2= 0.68, SE=6.97. Secara umum, suhu udara yang dihasilkan dari ketiga model di atas menunjukkan masih dalam kisaran suhu pengukuran, namun polanya tidak mengikuti data observasi. Untuk kelembaban udara hasil dari ketiga model memiliki kisaran nilai yang sama dengan data pengukuran lapangan dan memiliki pola yang mirip dengan data pengukuran.
Kata kunci : MODIS, Suhu Permukaan, NDVI, Suhu Udara, Kelembaban Relatif
1. PENDAHULUAN
Sistem peringatan dini bahaya kebakaran hutan/lahan yang sedang dikembangkan di Indonesia mengadopsi Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran (SPBK) Canada. SPBK tersebut adalah sistem Indeks Cuaca Kebakaran (Fire Weather Index, FWI). Sistem FWI terdiri dari tiga kode
kelembaban, yaitu Fine Fuel Moisture Code (FFMC), Duff Moisture Code (DMC), dan Drought Code (DC), serta tiga indeks perilaku kebakaran – Initial Spread Index (ISI), Buildup Index (BUI), dan Fire Weather Index (FWI). Kode-kode FWI biasanya dihitung dari titik-titik pengamatan (umumnya stasiun cuaca) dengan masukan
parameter suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin, dan curah hujan.
Seperti disebutkan di atas, bahwa data stasiun klimatologi/meteorologi yang digunakan untuk menghitung kode kode FWI masih berbasiskan titik (point base), untuk menjadikan suatu informasi spasial (keruangan) memerlukan teknik interpolasi. Hal ini dapat menimbulkan kesalahan terutama apabila jarak titik stasiun sangat berjauhan dan tidak mewakili topografi wilayah (Narasimhan, et al. (2002). Berbeda teknik interpolasi yang digunakan, akan menghasilkan informasi spasial yang berbeda pula. Teknik interpolasi memerlukan jaringan stasiun klimatologi/meteorologi yang cukup mewakili suatu wilayah. Untuk suatu wilayah yang luas seperti Sumatera maupun Kalimantan diperlukan jaringan stasiun klimatologi/meteorologi yang terdistribusi homogen, sehingga dapat mewakili seluruh wilayah di Sumatera maupun Kalimantan.
Perkembangan metode yang dapat menggambarkan kondisi spasial adalah penginderaan jauh. Penggunaan data penginderaan jauh memiliki keunggulan dibandingkan dengan data lain untuk suatu lahan yang luas, pengukuran yang sedikit dan ketersediaan data historis yang baik. Unggul untuk lahan yang luas berarti bahwa data penginderaan jauh dapat mencakup suatu lokasi yang luas. Data LANDSAT TM dapat mencakup 185 x 185 km2 dalam satu foto, sedangkan data NOAA AVHRR dapat mencakup luasan 2800 x 2800 km2, atau hampir ¾ luas wilayah Indonesia. Hal ini berarti jika dibandingkan dengan pengukuran manual dengan alat-alat cuaca yang hanya mencakup satu lokasi atau titik, maka data penginderaan jauh lebih efektif untuk suatu luasan yang besar.
Beberapa penelitian untuk menduga unsur cuaca,
seperti curah hujan, suhu udara, kelembaban udara dan kecepatan angin telah banyak dilakukan.
Curah hujan yang diduga dari data satelit merupakan curah hujan sesaat, yaitu pada waktu dimana data citra tersebut diambil. Salah satu teknik untuk menggambarkan data curah hujan harian adalah dengan menggabungkan beberapa data satelit. Teknik ini telah dilakukan oleh National Center for Environmental Programme (NCEP) dan informasinya tersedia setiap hari dalam website NCEP. Data kecepatan angin yang diperoleh dari data MODIS saat ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Fokus penelitian ini adalah menduga suhu udara dan kelembaban relatif (Relative Humidity, RH) dengan data penginderaan jauh. Han, et al. (2003) telah melakukan pendugaan suhu udara dan kelembaban relatif dari data NOAA AVHRR.
Beberapa metode lain juga telah dikembangkan menggunakan konsep termodinamika oleh Sun et al. (2005) dan Dong (2004) dengan mengembangkan teknik jaringan saraf tiruan (neural network). Input yang digunakan dalam penelitian di atas adalah suhu permukaan, NDVI, air mampu curah, letak lintang, ketinggian tempat, waktu setempat, dan tanggal. Beberapa metode di atas menghasilkan pendugaan yang baik jika dibandingkan dengan data pengukuran di lapangan.
Tujuan penelitian ini adalah menduga suhu udara dan kelembaban relatif untuk mendukung SPBK hutan/lahan dengan menggunakan teknik regresi berganda seperti yang dikembangkan oleh Han, et al. (2003).
2. METODOLOGI PENELITIAN
SPBK dengan menggunakan sistem Fire Weather Index (FWI) telah dikembangkan oleh pemerintah Canada sejak tahun 1970. Gambar 1 adalah data masukan dan informasi keluaran dari sistem FWI.
Gambar 1. Struktur sistem FWI
Pada Gambar 1 terlihat bahwa input dari kode- kode sistem Fwi adalah suhu udara, kelembaban relatif, kecepatan angin, dan curah hujan.
Penelitian ini akan menduga dua unsur cuaca yang dapat digunakan sebagai input dalam perhitungan sistem FWI. Unsur tersebut adalah suhu udara dan kelembaban relatif.
Untuk melakukan pendugaan suhu udara dan kelembaban relatif diperlukan bahan dan peralatan sebagai berikut:
1. Data MODIS Terra/Aqua Level 2 NDVI dan kanal 31 dan 32 untuk menghitung suhu permukaan (periode tanggal 4 Agustus 2004 – 28 Agustus 2004)
2. Data suhu udara dan kelembaban relatif dari stasiun BMG (23 stasiun di Sumatera dan 21 stasiun di Kalimantan)
3. Data ketinggian (DEM)
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan regresi berganda (multiple regression) sebagai berikut:
i n
i iF b b
Y
∑
=
+
=
1 0
dimana,
Y = Suhu udara atau kelembaban relatif dugaan = konstanta
b0
= koefisien regresi
bi
= variabel bebas yang merupakan kombinasi dari beberapa variabel input
Fi
Dalam penelitian ini, input yang digunakan dalam menduga suhu udara dan kelembaban relatif adalah suhu permukaan, NDVI, ketinggian, letak lintang.
Untuk menduga kelembaban, inputnya ditambah dengan suhu udara sebagai parameter pendugaan.
Suhu permukaan diperoleh dengan persamaan Ulivieri et al. (1994) dengan resolusi 1000 m dengan menggunakan kanal 31 dan 32 MODIS, NDVI diperoleh dari data MODIS level 2 dengan resolusi 250 m, data DEM dari data SRTM dengan resolusi 90 m.
Kombinasi persamaan variabel bebasnya adalah dengan metode linear berganda, kuadratik, dan kombinasi polinomial yang merujuk pada persamaan Han, et al (2004). Keluaran model- model tersebut kemudian dibandingkan dengan observasi dari data stasiun Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) yang terdiri dari 23 stasiun di Sumatera dan 21 stasiun di Kalimantan.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Persamaan Model
Penelitian ini menghasilkan model pendugaan suhu udara dan kelembaban relatif dengan metode regresi berganda dengan tiga kombinasi persamaan, yaitu linear, kuadratik, dan polinomial.
Untuk persamaan polinomial, kombinasi variabel bebas mengikuti yang dilakukan oleh Han, et al.
(2003), kecuali parameter tanggal, waktu setempat, dan air mampu curah. Data yang digunakan tidak cukup memadai untuk memasukkan parameter tanggal dan waktu setempat, sedang untuk menduga air mampu curah model penurunan dengan MODIS masih dikembangkan. Jumlah variabel bebas untuk menduga suhu udara dan kelembaban relatif berkurang menjadi 11 variable bebas dari 31 variabel bebas untuk menduga suhu udara dan 28 variabel bebas untuk menduga kelembaban relatif. Tabel 1 dan 2 merupakan perolehan konstanta b0, koefisien regresi, bi, serta koefisien determinasi (R2) dan standar error (SE) dari model pendugaan suhu udara dan kelembaban relatif.
Tabel 1. Model pendugaan suhu udara
Model Variabel, Fi
Koefisien, bi
R2 SE Linear b0 = 30.5 0.668 1.58
X1 b1 = 0.023 X2 b2 =-0.540 X3 b3 =-5.190 X4 b4 = -0.049
Kuadratik b0 = 25.1 0.702 1.53 X1 b1 = 0.38
X2 b2 = 3.39 X3 b3 = -1.5 X4 b4 = -0.08 X12
b5 = -0.007 X22
b6 = -4.9 X32
b7 =-2.08 X42
b8 = 0.028 Model Variabel,
Fi
Koefisien, bi
R2 SE Polinomial b0 b0 = 27.3 0.69 1.58 kombinasi X13
b1 = - 0.00009 X12
X2 b2 = 0.00424 X12
X4 b3 = - 0.0001
X22
X1 b4 = -0.113 X32
X1 b5 = - 0.1236 X1 b6 = 0.23 X32
X2 b7 = 0.85 X42
X2 b8 = 0.01566 X2 b9 = -1.57 X42
X3 b10 = 0.065 X3 b11 = -1.95 Tabel 2. Model pendugaan kelembaban relatif
Model Varia bel, Fi
Koefisien, bi R2 SE
Linear b0=171.28 0.83 5.03
X1 b1=0.0196
X2 b2=-1.035
X3 b3=3.993
X4 b4=0.32
X5 b5=-3.55
Kuadratik b0=159.48 0.85 4.85
X1 b1=-2.51
X2 b2=-8.23
X3 b3=7.5
X4 b4=0.496
X5 b5=-0.5268
X12
b6=0.05
X22
b7=13.33
X32
b8=-2.247
X42
b9=0.0985
X52 b10=-0.0553
Polinomial b0=57.07 0.68 6.9 kombinasi X13
b1=0.000403
X2 X3X1 b2=1.03685
X2 X5X1 b3=-0.073 X22
X3 b4=4.889
X22
b5=20.94
X32
X2 b6=-37.65
X4X2 b7=-0.01658
X2 b8=40.7466
X3 X5 b9=6.62
X12
X3 b10=-0.22245 X52
X4 b11=0.000504
Keterangan : X1 = suhu permukaan (°C), X2 = NDVI (- 1<x<1), X3 = ketinggian tempat (km), X4 = letak lintang (desimal) (N = +, S = -), X5 = suhu udara (°C), R2 = koefisien determinasi, SE = standar error
3.2. Model vs Observasi
Perbandingan suhu udara dan kelembaban relatif hasil model dibandingkan dengan data pengukuran BMG yang meliputi wilayah Sumatera dan Kalimantan, yang terdiri dari 23 stasiun di
27.00 28.00 29.00 30.00 31.00 32.00 33.00 34.00 35.00
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58 61 Data ke-
Suhu Udara (°C)
Ta Ta*
Ta** Ta***
Gambar 2. Grafik perbandingan suhu udara dugaan dari beberapa model dengan suhu udara pengukuran
Sumatera dan 21 Stasiun di Kalimantan. Hasil pendugaan suhu udara dengan model regresi berganda linear (Ta*), kuadratik (Ta**), dan polinomial (Ta***) menunjukkan masih dalam kisaran nilai suhu udara jika dibandingkan dengan hasil pengukuran di stasiun BMG. Namun pola hasil suhu udara dugaan dengan observasi masih terlalu jauh, sehingga model masih belum mengikuti pola suhu pengukuran. Gambar 2 merupakan perbandingan suhu udara dugaan dengan suhu udara hasil pengukuran (Ta).
Demikian juga dengan perbandingan hasil pendugaan kelembaban relatif dengan kelembaban relatif hasil pengukuran menunjukkan kisaran nilai yang sama dan memiliki pola yang mirip. Hal ini dimungkinkan karena nilai koefisien determinasi (R2) model pendugaan RH lebih tinggi dibandingkan dengan model pendugaan suhu udara. Gambar 3 merupakan grafik perbandingan antara kelembaban relatif hasil model regresi linear berganda (RH*), kuadratik (RH**), dan polinomial (RH***) dengan kelembaban relatif hasil pengukuran (RH).
30.00 35.00 40.00 45.00 50.00 55.00 60.00 65.00 70.00 75.00 80.00
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58 61 Data ke-
Kelembaban Relatif (%)
RH RH*
RH** RH***
Gambar 2. Grafik perbandingan kelembaban relatif dugaan dari beberapa model dengan kelembaban relatif pengukuran
4. KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam penelitian ini didapatkan tiga model regresi berganda untuk menduga suhu udara dan tiga model regresi berganda untuk menduga kelembaban relatif. Tiga model persamaan untuk menduga suhu udara adalah model regresi linear berganda dengan R2 = 0.668, SE=1.58, model regresi berganda kuadratik dengan R2= 0.702, SE=1.53, model regresi berganda kombinasi polinomial dengan R2= 0.69, SE=1.58. Untuk pendugaan kelembaban relatif memiliki tiga model persamaan yaitu model regresi linear berganda dengan R2 = 0.835, SE=5.03, model regresi berganda kuadratik dengan R2= 0.856, SE=4.86, model regresi berganda kombinasi polinomial dengan R2= 0.68, SE=6.97. Secara umum, suhu udara yang dihasilkan dari ketiga model di atas menunjukkan masih dalam kisaran suhu pengukuran, namun polanya tidak mengikuti data observasi. Untuk kelembaban udara hasil dari ketiga model memiliki kisaran nilai yang sama dengan data pengukuran lapangan dan memiliki pola yang mirip dengan data pengukuran.
5. DAFTAR PUSTAKA
Dong, J.J, 2004. Evaluation of thermal-water stress of forest in southern Québec from satellite images. Université Laval FACULTÉ DE FORESTRIE ET DE GÉOMATIQUE. Doctorat en sciences géomatiques
Han, K.S, Viau,A.A. and Anctil, F, 2003. High- resolution forest fire weather index computations using satellite remote sensing. Canadian. Journal For. Remote Sensing. Vol. 33.
Narasimhan, B and Srinivasan, R, 2002.
Determination of Regional Scale Evapotranspiration of Texas from NOAA-AVHRR Satellite. Final Report Submitted to Texas Water Resources Institute. March, 5, Texas. USA
Ulivieri, C, Castronouvo, M. M., Francioni, R., and Cardillo, A, 1994. A split-window algorithm for estimating land surface temperature from satellites.
Advances in Space Research , Vol. 14, No. 3, pp.
59-65
Sun, Y.-J. Wang, J.-F. Zhang, R.-H. Gillies, R. R.
Xue, Y. and Bo, Y.-C, 2005. Air temperature
retrieval from remote sensing data based on thermodynamics. Theor. Appl. Climatol. 80, 37–48