• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. adil dan makmur, Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan dan sekaligus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. adil dan makmur, Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan dan sekaligus"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Dalam upaya mewujudkan negara yang maju dan mandiri serta masyarakat adil dan makmur, Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan dan sekaligus peluang memasuki millenium ke-3 yang dicirikan oleh proses transformasi global yang bertumpu pada perdagangan bebas dan kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Sementara itu, di sisi lain tantangan yang paling fundamental adalah bagaimana untuk keluar dari krisis ekonomi yang menghantam bangsa Indonesia sejak tahun 1997 dan mempersiapkan perekonomian nasional dalam percaturan global abad 21. Dalam rangka, menjawab tantangan dan pemanfaatan peluang tersebut, diperlukan peningkatan efisiensi ekonomi, pengembangan teknologi, produktivitas tenaga kerja dalam peningkatan kontribusi yang signifikan dari setiap sektor pembangunan.1

Bidang kelautan yang didefinisikan sebagai sektor perikanan, pariwisata bahari, pertambangan laut, industri maritim, perhubungan laut, bangunan kelautan, dan jasa kelautan, merupakan andalan dalam menjawab tantangan dan peluang tersebut. Pernyataan tersebut didasari bahwa potensi sumber daya kelautan yang besar yakni 75% wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah laut dan selama ini telah memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi keberhasilan

1 Tridoyo Kusumastanto., “Pemberdayaan Sumber Daya Kelautan, Perikanan Dan Perhubungan Laut dalam Abad XXI”, http://www.lfip.org/english/pdf/bali-seminar/pemberdayaan, diakses tanggal 7 Februari 2012.

(2)

pembangunan nasional. Sumbangan yang sangat berarti dari sumber daya kelautan tersebut, antara lain berupa penyediaan bahan kebutuhan dasar, peningkatan pendapatan masyarakat, kesempatan kerja, perolehan devisa dan pembangunan daerah. Dengan potensi wilayah laut yang sangat luas dan sumber daya alam serta sumber daya manusia yang dimiliki Indonesia, kelautan sesungguhnya memiliki keunggulan komparatif, keunggulan kooperatif dan keunggulan kompetitif untuk menjadi sektor unggulan dalam kiprah pembangunan nasional di masa depan.2

Berbicara mengenai kelautan, tentunya tidak terlepas dari keberadaan pengangkutan untuk menunjang berbagai aktivitas kelautan yang berlangsung dalam suatu negara. Pengangkutan itu dilakukan karena nilai barang yang diangkut akan lebih tinggi di tempat tujuan dari pada di tempat asalnya, oleh karena itu pengangkutan dikatakan memberi nilai terhadap barang yang diangkut. Nilai itu akan lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Nilai yang diberikan berupa nilai tempat (place utility), dan nilai waktu (time utility). Kedua nilai tersebut diperoleh jika barang yang diangkut ketempat dimana nilainya lebih tinggi dan dapat dimanfaatkan tepat pada waktunya. Dengan demikian pengangkutan dapat memberikan jasa kepada masyarakat yang disebut jasa angkutan.3

Angkutan muatan laut adalah suatu usaha perusahaan pelayaran niaga yang bergerak di bidang jasa. Angkutan muatan laut merupakan bidang usaha yang luas bidang kegiatannya dan memegang peranan penting dalam usaha memajukan

2 Ibid

3 Muchtaruddin Siregar, Beberapa Masalah Ekonomi dan Managemen Pengangkutan, (Jakarta: Lembaga penerbitan FE UI, 1981), hlm. 6

(3)

perdagangan dalam dan luar negeri. Oleh karena itu peran dan fungsi pengangkutan adalah sangat vital dalam dunia perdagangan, mengingat sarana ini adalah alat penghubung dari produsen ke konsumen,4

Secara umum segala hal yang berhubungan dengan pengangkutan barang atau orang melalui laut dengan menggunakan sarana angkutan laut diatur dalam buku II KUHD. KUHD ini mulai berlaku di wilayah Indonesia pada tanggal 1 Mei 1848 bersama-sama dengan Undang-Undang lain seperti KUH Perdata dan RO (Reglement rechterlijk Organisatie) yaitu dengan dikeluarkannya staatblad 1847 No.23, tanggal 30 April 1847.

dari pelabuhan ke gudang, dari tempat pelelangan ikan ke pasar, dari toko ke bangunan yang sedang didirikan serta hal-hal lain dalam perdagangan barang yang melibatkan jasa pengangkutan.

5

Kemudian dengan keluarnya Staatblad 1924 No.556 dinyatakan bahwa KUH Perdata dan KUH Dagang kecuali hukum keluarga dan hukum waris abinstestato, dinyatakan berlaku untuk golongan timur asing bukan China, sedangkan untuk golongan timur asing China dinyatakan berlaku pada mereka dengan keluarganya Staatblad 1924 No.557.

Jadi dalam hal ini aneka warna hukum dalam lapangan hukum pengangkutan di laut dapatlah dikatakan hampir tidak ada lagi, karena sudah tidak ada lagi perbedaan antara Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan Eropa, WNI keturunan timur asing China, WNI keturunan timur asing non China dan WNI asli.

4 Hasnil Basri Siregar, Kapita Selekta Hukum Laut Dagang, (Medan: Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat, Fakultas Hukum USU, 1993), hlm. 1

5 Ibid, hlm. 23

(4)

Pada tanggal 17 September 1992, Pemerintah mengeluarkan Undang- Undang terbaru yang mengatur tentang Pelayaran. Dengan mulai berlakunya Undang-Undang No.21 Tahun 1992 ini mencabut dan tidak memberlakukan lagi beberapa peraturan produk kolonial yang mengatur tentang pelayaran yakni:6

1. Indische Scheepvaartswet, stb. 1936 No.700.

2. Loodsdienst Ordonnantie, stb. 1927 No.210.

3. Scheep Meetings Ordonnantie,stb 1927 No.210.

4. Binnen Scheepen Ordonnantie,stb 1927 No.289.

5. Zeebrievem en Scheepspassen Ordonnantie, stb 1935 No.492.

6. Schecpeen Ordonnantie, stb.1935 No.66 7. Bakengeld Ordonnantie, stb 1935 No.468

Selanjutnya pada tahun 2008, lahirlah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang merupakan hasil revisi dari Undang-Undang No. 21 Tahun 1992. Undang-Undang Pelayaran baru ini ditandatangani oleh Presiden pada tanggal 7 Mei 2008. Kehadiran Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran ini sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992, dimaksudkan antara lain untuk mendorong terciptanya persaingan usaha yang lebih sehat, karena undang- undang ini membawa perubahan baru yaitu mengakhiri monopoli PT. Pelabuhan Indonesia (Pelindo), dengan memisahkan antara fungsi regulator dan operator yang selama ini dipegang oleh PT. Pelindo.

6 HMN Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Bag 5, Hukum Pelayaran Laut dan Perairan Darat,Cetakan Ke-4, (Jakarta : Djambatan, 1993), hlm. 25

(5)

Undang-Undang Pelayaran ini akan dilengkapi dengan delapan Rancangan Peraturan Pemerintah, dengan materi terpenting antara lain adalah: pengetatan asas Cabotage, pemisahan yang tegas antara fungsi operator dan regulator di pelabuhan, serta pembentukan penjagaan laut dan pantai.7

Namun pada kenyataannya Peraturan Pemerintah ini belum dapat dilaksanakan secara murni dan konsekuen serta belum mengatur secara lengkap tentang penggunaan kapal asing untuk kegiatan lain di luar kegiatan mengangkut penumpang dan/atau barang dalam kegiatan angkutan laut dalam negeri, di samping itu juga adanya pro kontra dari berbagai pihak tentang peraturan ini sehingga pada Tahun 2011 lahirlah kembali Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011 sebagai perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Pengangkutan Substansi baru dalam Undang-Undang Pelayaran ini terdapat dalam bab yang mengatur tentang angkutan di perairan yang menegaskan tentang asas Cabotage. Ketentuan ini mengandung makna bahwa kapal- kapal asing dilarang beroperasi antara pelabuhan di wilayah Indonesia yang telah diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2010 tentang Angkutan Di Perairan, peraturan ini secara tekhnis lebih menegaskan lagi bahwa setiap kegiatan angkutan laut dalam negeri harus dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dengan menggunakan kapal yang berbendera Indonesia serta diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia. Jadi untuk kapal asing dilarang mengangkut penumpang dan/atau barang antarpulau atau antarpelabuhan di dalam wilayah perairan Indonesia.

7 Safi’i Jamal dalam Maritim No. 495, Th X, edisi 15-21 April 2008.

(6)

Di Perairan, salah satu perubahan itu adalah pengaturan mengenai penggunaan kapal asing dalam kegiatan di luar mengangkut penumpang dan/atau barang dalam kegiatan angkutan laut dalam negeri, yang mana kegiatan yang dimaksud sangat diperlukan untuk menunjang kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi, karena dipandang belum mampu dilakukan secara mandiri oleh kapal Indonesia atau belum cukup tersedianya kapal Indonesia.

Beberapa kegiatan di luar pengangkutan penumpang dan/atau barang yang diperbolehkan untuk menggunakan kapal asing antara lain :

1. Survey minyak dan gas bumi;

2. Pengeboran;

3. Konstruksi lepas pantai;

4. Penunjang operasi lepas pantai;

5. Pengerukan; dan

6. Salvage dan pekerjaan bawah air.

Sebelum adanya asas Cabotage, sebagian besar angkutan laut domestik dilayani kapal-kapal berbendera asing. Hal ini menjadikan kepentingan usaha angkutan laut nasional terpuruk. Atas dasar itu pada 7 Mei 2011, diberlakukan asas Cabotage yang merupakan tindak lanjut dari Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional. Asas ini memberikan kekuatan bahwa penyelenggaraan pelayaran dalam negeri sepenuhnya hak negara pantai.

Artinya, negara pantai berhak melarang kapal-kapal asing berlayar dan berdagang di sepanjang perairan negara tersebut.

(7)

Penerapan asas Cabotage didukung ketentuan Hukum Laut Internasional, ketentuan ini berkaitan dengan kedaulatan dan yurisdiksi negara pantai atas wilayah laut teritorilnya. Konvensi Hukum Laut 1982 yang lebih dikenal dengan UNCLOS 1982 merupakan Konvesi yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang Undang Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut). Konvensi Hukum Laut 1982 mengakui hak negara-negara untuk melakukan klaim atas berbagai macam zona maritim dengan status yang berbeda-beda, mulai dari kedaulatan penuh negara yang meliputi laut pedalaman, laut teritorial dan selat yang digunakan untuk pelayaran internasional. Dengan demikian, negara mempunyai kewenangan untuk membatasi kapal asing yang memasuki wilayah lautnya. Kapal asing tidak boleh berada atau memasuki wilayah perairan pedalaman suatu negara pantai tanpa izin dan alasan yang jelas. Kecuali untuk jalur kapal bantuan dan memiliki izin atau alasan yang sah tanpa mengganggu stabilitas keamanan dan ketertiban negara.

Sedangkan untuk laut teritorial dan selat, negara pantai memberikan jaminan lintas damai dan lintas transit bagi pelayaran internasional.8

Secara ekonomi, tujuan diberlakukannya asas Cabotage adalah untuk meningkatkan perekonomian masyarakat Indonesia, dengan memberikan kesempatan berusaha seluas-luasnya bagi perusahaan angkutan laut nasional dan lokal. Diyakini peraturan ini dapat meningkatkan produksi dan produktifitas kapal dalam negeri,

8 Mengenai laut pedalaman, teritorial dan selat lihat ketentuan Pasal 2, Pasal 8 dan Pasal 34 Persetujuan UNCLOS 1982

(8)

karena seluruh kapal yang berlayar di perairan tanah air harus berbendera Indonesia.

Selain itu, asas Cabotage difungsikan untuk melindungi kedaulatan negara, khususnya di bidang industri maritim.9

Saat ini, terutama menghadapi era perdagangan bebas, di kalangan pelaku usaha pelayaran masih terdapat anggapan keliru yang memandang bahwa penerapan asas Cabotage dalam pelayaran domestik bertentangan dengan prinsip liberalisasi perdagangan. Padahal, asas ini berlaku global dan sudah diterapkan negara-negara maju, seperti Amerika Serikat yang dikenal sebagai pelopor liberalisasi perdagangan.

Amerika Serikat merupakan Negara yang sangat protektif terhadap industri angkutan lautnya dengan memberlakukan azas Cabotage secara ketat. Melalui Jones Act, Cabotage mempersyaratkan bahwa pelayaran laut nasional Amerika Serikat harus menggunakan kapal berbendera Amerika (US Registered), kapal yang dibuat di Amerika (US Built) dan dimiliki oleh warga negara Amerika (US Owned), di samping itu dioperasikan oleh perusahaan yang dikendalikan oleh warga negara Amerika (US Controlled Companies) dan dengan awak warga negara Amerika (US Crew). Azas Cabotage ini bahkan berlaku untuk semua mode transportasi, baik laut, darat (Railway and trucking) dan udara.10

Liberalisasi perdagangan di dunia sudah memasuki era babak baru setelah konferensi perdagangan internasional putaran Uruguay pada tahun 1994. Organisasi perdagangan internasional atau yang dikenal dengan World Trade Organization yang

9 Ibid

10 http/www.mappel.org/ kajian-ilmiah-untuk-inpres-ii, diakses tanggal 3 maret 2012

(9)

selanjutnya dalam penelitian ini disingkat dengan (WTO) telah disepakati Indonesia sebagai “original member” dari WTO. Sebagai bukti diterimanya hasil Putaran Uruguay oleh Republik Indonesia adalah dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Di Indonesia adanya Undang-Undang ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembangunan ekonomi, khususnya dalam sektor industri, pertanian, dan jasa.

Sebagai konsekuensi logis dari keikutsertaan Indonesia dalam WTO, maka Indonesia terikat untuk melaksanakan semua ketentuan yang telah disepakati dalam persetujuan WTO. Dalam perkembangannya ada tiga issue besar yang ada didalam WTO 11

1. Perjanjian Umum tentang Tarif dan Barang (General Agreement on Tariff and Trade) GATT yang merupakan perjanjian umum mengenai liberalisasi barang. Terdiri dari beberapa perjanjian lagi dibawahnya seperti pertanian, inspeksi perkapalan, pengaturan anti dumping; tekstil dan produk tekstil.

yaitu:

2. Perjanjian umum Perdagangan Jasa – Jasa (General Agreement on Trade in Services yang selanjutnya dalam penelitian ini disingkat dengan (GATS). Dalam perluasan akses sektor jasa, setiap negara menyusun

11 Chairijah, dalam Makalah “Pelayanan Jasa Hukum Dalam Kerangka GATS-WTO”, disampaikan pada pertemuan Konsultasi tentang domestic regulation, Bogor, 4 Agustus 2010

(10)

komitmen liberalisasi dan jadwal pelaksanaan untuk “seberapa banyak”

pemasok jasa dari luar dapat memberikan jasanya di lokal

3. Hak atas Kekayaan Intelektual yang terkait dengan Perdagangan (Trade- Related Aspects of Intelectual Property Rights/TRIPS)

Perdagangan Jasa merupakan bidang yang sebenarnya dapat menghasilkan income yang sangat besar bagi perekonomian suatu negara dibandingkan perdagangan barang. Hal ini dimungkinkan karena cakupan sektor jasa yang sangat luas, mulai dari sektor keuangan (perbankan, lembaga keuangan, lembaga keuangan non bank dll), bisnis (termasuk retail, wholesaler, dll), transportasi (darat, air laut, peti kemas, cargo dll), telekomunikasi (termasuk IT), Rekreasi , pariwisata (hotel, restoran dll) seluruhnya ada 12 sektor jasa dan lebih dari 160 sub sektor dan ditambah ratusan sub-sub sektor dibawahnya. Sub-sub sektor ini dapat berkembang terus jumlahnya dapat mencapai ribuan termasuk karena perkembangan teknologi.12

Dalam penerapan asas Cabotage pada pelayaran di Indonesia, hal ini tidak terlepas dari apa yang sudah disepakati dalam WTO/GATS mengenai perdagangan di bidang jasa. Karena pengangkutan laut bagian dari perdagangan jasa yang sudah diatur dalam GATS dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari WTO. Dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang memuat asas Cabotage merupakan produk legislasi dalam negeri Indonesia, produk perundang-

12http://dc202.4shared.com/img/bB483vTy/preview.html, diakses tanggal 9 Februari 2012

(11)

undangan ini harus merujuk kepada ketentuan WTO/GATS yang sudah mengatur tentang aturan – aturan domestik. Sesuai dengan mandat Pasal 6 WTO/GATS tentang Domestic Regulation menyebutkan bahwa setiap negara anggota WTO, diwajibkan untuk membuat aturan sesuai dengan aturan WTO. Dalam hal perdagangan jasa tentunya sesuai dengan aturan WTO/GATS, antara lain bahwa aturan domestik suatu negara haruslah transparan, tidak menjadikan beban (burdensome) bagi penyedia jasa (service supplier) atau menurunkan kualitas jasa yang disediakan akibat diterapkannya prosedur/perizinan dibidang jasa disuatu negara. Domestic regulation ini menjadi suatu hal yang penting dalam rangka mengakomodasi ataupun sejalan dengan liberalisasi perdagangan jasa.

Asas Cabotage ini juga tidak boleh bertentangan dengan apa yang menjadi tolak ukur perdagangan jasa didalam WTO/GATS, dengan demikian penerapan asas Cabotage ini seyogyanya harus selaras dengan prinsip-prinsip perdagangan jasa yang diatur dalam WTO/GATS. Prinsip-prinsip tersebut meliputi Prinsip Non Discrimination, Prinsip national treatment, Prinsip Protecting Trough Spesific Commitments, Prinsip Transparansi, Prinsip Peningkatan Partisipasi Negara sedang berkembang, Prinsip Integrasi Ekonomi, Prinsip Liberalisasi Bertahap dan Prinsip Keadaan Darurat.

Urgensi penerapan asas Cabotage bagi pelayaran Indonesia didasarkan pada pemikiran bahwa transportasi laut dalam negeri mempunyai peranan strategis dan signifikan dalam pembangunan nasional, mulai bidang ekonomi, sosial, budaya,

(12)

politik, pertahanan sampai keamanan. Selain itu juga terkait dengan mobilitas, interaksi sosial dan budaya bangsa Indonesia.

Dalam sistem perdagangan internasional yang dilakukan sesuai dengan Undang-Undang Pelayaran dan pemberlakuan asas Cabotage yang berlaku di Indonesia, perusahaan angkutan laut mempunyai kedudukan tersendiri yaitu sebagai perusahaan yang menjembatani kepentingan pihak asing untuk melakukan perdagangan khusus import ataupun eksport dengan menggunakan armada kapal asing. Atau dengan kata lain perusahaan angkutan laut disebut juga sebagai agen umum kapal asing yang akan melakukan kegiatan khusus import atau eksport barang saja. Namun dalam hal perdagangan barang dan/atau pengangkutan penumpang di wilayah perairan Indonesia, maka kegiatan tersebut harus sepenuhnya dilakukan oleh perusahaan angkutan laut Indonesia.

Dalam hal ini yang disebut dengan agen umum adalah perusahaan angkutan laut nasional yang ditunjuk oleh perusahaan angkutan laut asing di luar negeri untuk mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan kapalnya dan dalam penerapannya harus didahului dengan kontrak keagenan umum kapal asing.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penelitian ini akan memfokuskan kajian terhadap keberadaan asas Cabotage setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran serta implikasi hukum keberadaan asas ini terhadap perusahaan angkutan laut dalam kerangka WTO pada perdagangan internasional Indonesia yang memasuki era perdagangan bebas

(13)

B. Perumusan Masalah

Adapun yang akan menjadi permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah keberadaan asas Cabotage dalam peraturan perundang- undangan di bidang pengangkutan laut di Indonesia?

2. Bagaimanakah implikasi penerapan asas Cabotage terhadap perusahaan angkutan laut Nasional?

3. Apakah penggunaan asas Cabotage dalam peraturan perundang-undangan di bidang pengangkutan laut di Indonesia tidak bertentangan dengan Kesepakatan Umum Perdagangan Jasa General Agreement on Trade in Services (GATS) dalam kerangka World Trade Organization (WTO)?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan menganalisis keberadaan asas Cabotage dalam peraturan perundang-undangan di bidang pengangkutan laut di Indonesia 2. Untuk mengetahui dan menganalisis implikasi penggunaan asas Cabotage

terhadap perusahaan angkutan laut Nasional dalam perdagangan internasional.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis sinkronisasi penggunaan asas Cabotage dalam peraturan perundang-undangan di bidang pengangkutan laut di Indonesia dengan Kesepakatan Umum Perdagangan Jasa General Agreement on Trade in Services (GATS) dalam kerangka World Trade Organization (WTO)?

(14)

D. Manfaat Penelitian 1. Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan keilmuan, khususnya ilmu hukum pengangkutan dan hukum ekonomi pada umumnya.

2. Praktis

Secara praktis penelitian ini ditujukan kepada kalangan pemerintah, praktisi dan masyarakat. Bagi pemerintah, baik di tingkat daerah maupun pusat sebagai regulator yang berperan dalam pembuatan kebijakan yang terkait pada pengelolaan pelayaran. Selain itu penelitian ini juga ditujukan kepada pelaku usaha yang terkait pada perusahaan angkutan laut dan pengguna jasa agar dapat lebih mengetahui dan memahami tentang pelaksanaan/ penerapan asas Cabotage dalam pelayaran dan dapat melihat faktor-faktor penghambatnya serta dapat menanggulanginya dengan pendekatan kaedah hukum. Penelitian ini juga sedapat mungkin dilakukan agar dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Suatu peraturan yang baik adalah peraturan yang tidak saja memenuhi persyaratan-persyaratan formal sebagai suatu peraturan, tetapi menimbulkan rasa keadilan dan kepatutan dan dilaksanakan / ditegakkan dalam kenyataannya.

(15)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai Implikasi Pemberlakuan asas Cabotage dalam Pelayaran Indonesia terhadap Eksistensi Perusahaan Angkutan Laut Nasional dalam kegiatan perdagangan bebas belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama. Jadi penelitian ini dapat disebut “asli” sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, dan objektif serta terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

Penelitian yang membahas tentang angkutan laut dan pelayaran sudah pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya, namun permasalahan dan pembahasan penelitian- penelitian tersebut berbeda dengan permasalahan dan pembahasan dalam penelitian ini.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses tertentu terjadi,13 dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta- fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.14

13 J.J.J M. Wuisman, dengan penyunting M. Hisman. Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid. 1, (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996), hlm. 203

14 Ibid, hlm. 216

(16)

M. Solly Lubis, yang menyebutkan: “Bahwa landasan teori adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan”.15

Adapun teori menurut Maria S.W. Sumardjono adalah: “Seperangkat preposisi yang berisi konsep abstrak atau konsep yang sudah didefinisikan dan saling berhubungan antar variable sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena yang digambarkan oleh suatu variable dengan variable lainnya dan menjelaskan bagaimana hubungan antar variable tersebut”.16

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kedaulatan negara (staats-souvereiniteit) yang dikemukakan oleh Jean Bodin dan George Jellinek.

Menurut teori kedaulatan negara, kekuasaan tertinggi ada pada negara dan negara mengatur kehidupan anggota masyarakatnya. Negara yang berdaulat melindungi anggota masyarakatnya terutama anggota masyarakat yang lemah. Salah satu unsur atau syarat yang harus dipenuhi untuk terbentuknya suatu negara adalah pemerintahan yang berdaulat atau kedaulatan. Istilah kedaulatan ini pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli kenegaraan berkebangsaan Perancis yang bernama Jeans Bodin (1539-1596). Menurut Jeans Bodin, kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Kedaulatan ini sifatnya tunggal, asli, dan tidak dapat

15 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, (Bandung: Mandar Madju, 1994), hlm. 80

16 Maria S.W. Sumarjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, (Yogyakarta: Gramedia, 1989), hlm. 12

(17)

dibagi-bagi. Tunggal berarti hanya ada satu kekuasaan tertinggi, sehingga kekuasaan itu tidak dapat dibagi-bagi. Asli berarti kekuasaan itu berasal atau tidak dilahirkan dari kekuasaan lain. Sedangkan abadi berarti kekuasaan negara itu berlangsung terus- menerus tanpa terputus-putus.17

Dalam kaitannya dengan prinsip dasar kedaulatan negara, suatu negara yang berdaulat menjalankan jurisdiksi/kewenangannya dalam wilayah negara itu.

Sebagaimana pendapat Oppenheim-Lauterpacht “As all persons and things within the territory of a state full under its territorial supremacy, each state has jurisdiction over them”.18

Oleh karena itulah dikatakan bahwa kedaulatan dan jurisdiksi mempunyai keterkaitan yang erat. Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dari suatu negara, ini berarti diatas kedaulatan itu tidak ada lagi kekuasaan yang lebih tinggi. Kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara menunjukkan bahwa suatu negara itu adalah merdeka atau tidak tunduk pada kekuasaan negara lain. Kedaulatan itu pada dasarnya mengandung dua aspek :

1. Aspek internal, yaitu berupa kekuasaan tertinggi untuk mengatur segala sesuatu yang ada atau terjadi dalam batas-batas wilayahnya.

17 Thaib Dahlan, Kedaulatan Rakyat Negara Hukum dan Konstitusi, (Liberty: Yogyakarta, 1999), hlm. 6.

18Oppenheim Lauterpacht, International Law - A Treatise, Vol-I : Peace, English Language Book Society and Longmans, London, 1966, hlm. 325

(18)

2. Aspek eksternal, yaitu kekuasaan tertinggi untuk mengadakan hubungan dengan anggota masyarakat internasional maupun mengatur segala sesuatu yang terjadi di luar wilayah negara itu tetapi masih ada kaitannya dengan kepentingan negara itu.

Berdasarkan kedaulatannya itu, maka dapat diturunkan hak, kekuasaan atau kewenangan negara untuk mengatur masalah intern dan ekstern. Dengan kata lain dari kedaulatannnya itulah diturunkan atau lahir yurisdiksi negara. Dengan hak, kekuasaan dan kewengan atau dengan jurisdiksi tersebut suatu negara mengatur secara lebih rinci dan jelas masalah-masalah yang dihadapinya sehingga terwujud apa yang menjadi tujuan negara itu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hanya negara berdaulat yang dapat memiliki yurisdiksi menurut hukum internasional.19

Dengan kedaulatan yang dimiliki negara, tentunya negara memiliki tujuan dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya. Hal ini akan merujuk kepada sistem perekonomian yang akan diterapkan dalam penyelenggaraan negara tersebut.

Kedaulatan negara untuk menentukan kegiatan ekonomi di wilayah yuridiksinya sudah sejak lama diterima dalam hukum internasional20

19 I Wayan Parthiana,, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung :Mandar Maju, 1990), hlm. 137.

. Kedaulatan yang permanen ini dijamin pelaksanaannya dalam Resolusi Majelis Umum PBB (PBB) No. 3281 (XXIX) tanggal 12 desember 1974 tentang Charter of Economic Rights an Duties of State. Article 2 (1) Resolusi ini menyebutkan “Every State has and shall freely

20 Mahmul Siregar , Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal, (Medan :Universitas Sumatera Utara Pasca Sarjana, 2008) hlm.154

(19)

exercise full permanen sovereignity, including possession, use and disposal, over all its wealth, natural resources and economic activities”21

Konsep kedaulatan permanen negara yang dalam resolusi ini menyangkut sumber daya alam dan aktifitas-aktifitas ekonomi, sebenarnya merupakan perluasan dari konsep kedaulatan negara yang diberikan oleh Resolusi Majelis Umum PBB No.

1803 (XVII) tahun 1962 yang hanya mencakup masalah yang berkaitan dengan sumber daya alam.22

Pemberlakuan asas Cabotage di dalam pelayaran nasional Indonesia merupakan bagian dari kedaulatan negara Indonesia untuk mengatur sendiri kegiatan perekonomiannya, dengan tujuan mewujudkan sistem transportasi laut yang efisien dan efektif serta untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah dan memperkukuh kedaulatan negara. Diharapkan dengan pemberlakuan asas Cabotage ini dapat meningkatkan perekonomian masyarakat Indonesia, dengan memberikan kesempatan berusaha seluas-luasnya bagi perusahaan angkutan laut nasional dan lokal. Diyakini peraturan ini dapat meningkatkan produksi dan

Oleh karena perluasan ini juga mencakup hak kedaulatan negara mengatur sendiri kegiatan ekonomi di wilayah teritorialnya, maka resolusi ini dapat menjadi alasan pembenar bagi host country untuk membatasi kegiatan ekonomi warga negara asing maupun perusahaan asing di wilayah hukum mereka.

21 United Nation, General Assembly Resolution, December 12th 1974, No.3281 (XXIX).

22 Hans Van Houte, The Law Of International Trade, Sweet and Maxwell, London, 1995, hlm. 242

(20)

produktivitas kapal dalam negeri, karena seluruh kapal yang berlayar di perairan tanah air harus berbendera Indonesia.

Kedaulatan negara berhubungan erat dengan teori kedaulatan hukum, hukum memiliki kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Negara yang menciptakan hukum, hukum merupakan penjelmaan dari kehendak dan kemauan negara. Negara Menetapkan aturan-aturan hukum di dalam wilayah teritorialnya dan wilayah-wilayah lain dalam kekuasaannya. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran sebagai produk legislasi pemerintah Indonesia selaku penyelenggara negara merupakan aturan hukum yang harus ditegakkan sebagai bagian dari kedaulatan hukum dan ekonomi negara.

Kedaulatan yang melekat kepada negara bukannya tidak terbatas. Walaupun kita memahami sangat besar penghormatan hukum internasional terhadap kedaulatan sutau negara. Salah satu batasan dalam pelaksanaan kedaulatan adalah kewajiban negara pemilik kedaulatan untuk menghormati perjanjian-perjanjian internasional yang sudah disepakati bersama antar negara. Tidak hanya sebatas menghormati, negara juga wajib mematuhi aturan-aturan yang sudah ditetapkan dalam perjanjian internasional terlebih lagi jika sudah diratifikasi dalam hukum nasional negara pemilik kedaulatan tersebut.

Persetujuan WTO/GATS secara tegas mengakui hak anggotanya untuk mengatur penyediaan jasa dalam mencapai tujuan mereka melalui kebijakan, dan tidak berusaha untuk mempengaruhi tujuan-tujuan ini. Sebaliknya, Perjanjian

(21)

menetapkan kerangka kerja aturan untuk memastikan bahwa peraturan yang diberikan dengan cara yang wajar, obyektif dan tidak memihak serta tidak merupakan hambatan bagi perdagangan internasional. Prinsip-prinsip hukum perdagangan internasional yang diatur dalam WTO, meliputi Prinsip Non-diskriminasi, Prinsip Resiprositas (resiprocity), Prinsip Penghapusan Hambatan Kuantitatif, Prinsip Perdagangan yang adil (fairness principle), dan Prinsip Tarif Mengikat (Tarrif Binding Principle) 23

Persetujuan WTO/GATS dalam kaitannya dengan hak ekonomi negara berkembang antara lain telah menetapkan bahwa negara berkembang diberi kedaulatan penuh untuk mengelola sumber daya alamnya sesuai dengan tingkat pembangunan ekonominya. Liberalisasi perdagangan jasa yang diatur dalam WTO/GATS tetap mengakui eksistensi kedaulatan negara.

Dalam Bagian III WTO/GATS yang mengatur tentang specific of commitments dikenal 3 (tiga) macam komitmen, yaitu :(1). Komitmen market acces (2). Komitmen national treatment, dan (3). Additional commitments. Tiga macam komitmen ini digabung jadi satu dalam Schedule of Commitments (SOC) dari masing- masing negara. Pendekatan yang dipergunakan dalam pembuatan SOC adalah bersifat campuran sebagai hasil kompromi dalam menentukan cakupan WTO/GATS, mengingat sifat jasa yang abstrak, proteksi yang dapat dilakukan dalam perdagangan jasa adalah dalam bentuk SOC yang dibuat masing-masing negara sesuai dengan keadaan negara tersebut yang kemudian dirundingkan dengan mitra dagangnya.

23 Muhammad Sood, Hukum Perdagangan International, (Jakarta :Rajawali Pers, 2011), hlm. 41.

(22)

Hal lain yang menyangkut kedaulatan negara adalah ketentuan tentang Domestic Regulation diatur dalam Pasal 6 WTO/GATT. Ketentuan ini lahir sebagai konsekuensi dari prinsip liberalisasi bertahap dan perlindungan melalui specific of commitment yang diterapkan oleh Negara-negara anggota. Negara-negara peserta dapat melindungi industri jasa domestiknya dengan menerapkan specific of commitment pada sektor jasa tertentu. Pada sektor-sektor tersebut Negara yang bersangkutan dapat dengan lebih leluasa menetapkan syarat-syarat perdagangan dan investasi melalui peraturan nasionalnya. Namun meskipun demikian pengaturan domestik tersebut harus dilaksanakan dalam cara yang wajar, objektif dan tidak memihak. Untuk keperluan inilah domestic regulation diatur dalam WTO/GATS.

Dalam keadaan darurat, GATS/WTO mengatur ketentuan tentang Escape Clauses yang merupakan ketentuan penting dalam suatu perjanjian internasional, baik multilateral seperti WTO/GATS, regional seperti ASEAN, bilateral atau umum (general) seperti Generalized System of Preferences for Developing Countries (GSP).

Berbeda dengan exception (pengecualian), escape clause diberlakukan untuk kondisi yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya. Dengan kata lain, pengecualian dilakukan untuk kesulitan yang dapat diperkirakan sebelumnya.

Kerangka teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan ramalan serta menjelaskan gejala yang diamati. Karena penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, kerangka teori diarahkan secara khas ilmu hukum. Maksudnya adalah penelitian ini berusaha untuk memahami implikasi pemberlakuan asas Cabotage dalam pelayaran Indonesia terhadap

(23)

eksistensi perusahaan angkutan laut nasional dalam kegiatan perdagangan bebas dalam kerangka WTO/GATS, sebagai aturan perdagangan jasa internasional untuk dijadikan kaidah hukum atau sebagai isi kaidah hukum yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Sehingga dalam perjalanan penelitian nantinya teori kedaulatan sebagai teori yang paling tepat sebagai pisau analisis terhadap penelitian ini.

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut definisi operasional.24

Konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, jika masalahnya dan kerangka konsep teoritisnya sudah jelas, biasanya sudah diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian, dan suatu konsep sebenarnya adalah definisi secara singkat dari kelompok fakta atau gejala itu. “Maka konsep merupakan definisi dari apa yang perlu diamati, konsep menentukan antara variabel-variabel yang ingin menentukan adanya hubungan empiris”.25

Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian tesis ini perlu didefinisikan beberapa konsep dasar dalam rangka menyamakan persepsi, yaitu sebagai berikut :

24 Samadi Suryabrata, Metodelogi penelitian, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 3

25 Koentjoroningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm. 21

(24)

a. Asas Cabotage adalah kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan perusahaan angkutan laut nasional dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki awak kapal berkewarganegaraan Indonesia.26 b. Angkutan Laut adalah kegiatan angkutan yang menurut kegiatannya

melayani kegiatan angkutan laut.27

c. Angkutan Laut Dalam Negeri adalah kegiatan angkutan laut yang dilakukan di wilayah perairan Indonesia yang diselenggarakan oleh perusahaan angkutan laut nasional.28

d. Angkutan Laut Luar Negeri adalah kegiatan angkutan laut dari pelabuhan atau terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri ke pelabuhan luar negeri atau dari pelabuhan luar negeri ke pelabuhan atau terminal khusus Indonesia yang terbuka bagi perdagangan luar negeri yang diselenggarakan oleh perusahaan angkutan laut.29

e. Kapal Asing adalah kapal yang berbendera selain bendera Indonesia dan tidak dicatat dalam Daftar Kapal Indonesia.30

f. Perusahaan Angkutan Laut Nasional adalah perusahaan angkutan laut berbadan hukum Indonesia yang melakukan kegiatan angkutan laut di

26 Lihat Pasal 8 Undang-undang No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran

27 Lihat Pasal 1 butir 3 Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan

28 Lihat Pasal 1 butir 4 Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan

29 Lihat Pasal 1 butir 5 Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan

30 Lihat Pasal 1 butir 39 Undang-undang No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran,

(25)

dalam wilayah perairan Indonesia dan/atau dari dan ke pelabuhan di luar negeri.31

g. Perusahaan Angkutan Laut Asing adalah perusahaan angkutan laut berbadan hukum asing yang kapalnya melakukan kegiatan angkutan laut ke dan dari pelabuhan atau terminal khusus Indonesia yang terbuka bagi perdagangan luar negeri dari dan ke pelabuhan luar negeri.32

h. Pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan maritim.33

i. World Trade Organization (WTO) adalah organisasi perdagangan Internasional yang merupakan forum bagi anggotanya untuk menegosiasikan perjanjian perdagangan. Disamping itu WTO merupakan tempat untuk menyelesaikan perselisihan perdagangan dan mengoperasikan sistem aturan perdagangan.34

j. General Agreement on Trade in Service (GATS) adalah seperangkat aturan dasar bagi perdagangan internasional di bidang jasa.35

k. Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.36

31 Lihat Pasal 1 butir 29 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan

32 Lihat Pasal 1 butir 30 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan

33 Lihat Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran

34 http://www.wto.com/what-is-the-wto/, diakses tanggal 19 Juni 2012

35Syahmin.AK, Hukum Dagang Internasional, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2006).

36 Thaib Dahlan. Op Cit .,hlm. 7

(26)

l. Kedaulatan Hukum adalah kedaulatan yang berasal dari hukum yang berlaku di suatu negara.37

m. Kedaulatan Internal adalah kedaulatan yang asalnya dari negara yakni dalam wilayah suatu negara hanya negara itu yang berdaulat penuh untuk melaksanakan kekuasaan di wilayahnya.38

n. Domestic Regulation Negara adalah keleluasaan negara-negara anggota WTO/GATS untuk menetapkan syarat-syarat perdagangan dan investasi melalui peraturan nasionalnya. Namun meskipun demikian pengaturan domestik tersebut harus dilaksanakan dalam cara yang wajar, objektif dan tidak memihak.39

o. Spesific of Commitment adalah bentuk-bentuk komitmen dalam perdagangan jasa. Komitmen tersebut yaitu :(1). Komitmen market acces (2). Komitmen national treatment, dan (3). Additional commitments. Tiga macam komitmen ini digabung jadi satu dalam Schedulle of Commitment (SOC) dari masing-masing negara.40

p. Perdagangan bebas adalah tidak adanya hambatan buatan (hambatan yang diterapkan pemerintah) dalam perdagangan antar individual-individual dan perusahaan-perusahaan yang berada di negara yang berbeda.41

37 http://www.edukasi.net/index. diakses tanggal 12 Maret 2012

38 Ibid

39 Lihat Pasal 6 Persetujuan WTO/GATS

40 Lihat Bagian III Persetujun WTO/GATS

41 http://id.wikipedia.org/wiki/Perdagangan_bebas, diakses tanggal 19 Juni 2012

(27)

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penyusunan tesis ini adalah penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaedah- kaedah atau norma-norma hukum positif, dan yuridis empiris adalah penelitian yang dilakukan dengan meninjau masalah yang diteliti dari segi ilmu hukum dengan melihat serta mengkaitkan dengan kenyataan yang ada di dalam implementasinya yang bertujuan untuk mendiskripsikan kegiatan/peristiwa alamiah dalam praktek sehari-hari,42

Metode yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.

yang berkaitan dengan implikasi pemberlakuan asas Cabotage dalam pelayaran Indonesia terhadap eksistensi perusahaan angkutan laut nasional dalam kegiatan perdagangan bebas.

43

42Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, ( Surabaya:

Bayumedia,2008), hlm.282

Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri. Penelitian hukum normatif ini dilakukan dengan pendekatan terhadap dua hal, yaitu pendekatan terhadap peraturan perundang-undangan (statuta aproach) menyangkut aturan tentang pelayaran dan perdagangan internasional serta pendekatan konseptual

43 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: UMM Press, 2007), hlm. 57

(28)

mengenai asas Cabotage, Domestic Regulation dan Schedule Of Commitments.

Penelitian yuridis normatif yang digunakan dalam penyusunan tesis ini di dukung oleh penelitian empiris melalui wawancara mendalam dengan pihak yang terkait dalam penelitian ini untuk dapat mengkaji sampai sejauh mana pelaksanaan asas Cabotage terhadap eksistensi angkutan laut nasional dalam perdagangan bebas.

2. Sumber Data

Dalam penelitian hukum normatif data yang dipergunakan adalah data sekunder. Untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogianya, diperlukan sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder.44

a. Bahan hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoratif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang- undangan yang diurut berdasarkan hierarki45

44Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group, 2005), hlm. 141

. Bahan hukum primer berupa perundang-undangan yang berkaitan dengan penerapan asas Cabotage yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), Undang-Undang No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Undang-Undang Nomor 7 tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization

45 Peter Mahmud Marzuki,Penelitian Hukum, (Jakarta:Kencana,2006), hlm.141

(29)

(Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) serta peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks yang ditulis oleh ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum dan hasil-hasil symposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian. 46

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder 47 berupa kamus umum, kamus bahasa, surat kabar, artikel, hasil penelitian serta internet. Selain itu juga menggunakan data primer yang diperoleh langsung dari informan. Untuk mendapatkan data primer dilakukan dengan wawancara.48

3. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi

46 Jhony Ibrahim, Op.Cit, hlm. 296

47 ibid

48 Tampil Anshari Siregar. Metode Penelitian Hukum . ( Medan:Pusatka Bangsa Press, 2007), hlm. 77

(30)

maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang- undangan. Penelitian kepustakaan dalam hal ini didukung oleh penelitian lapangan yang berupa wawancara langsung dengan pratktisi, yaitu pelaku usaha dan pemerintah untuk mendapatkan informasi langsung serta data-data pendukung lainnya. Pelaku usaha dalam hal ini adalah pengguna jasa angkutan laut dan perusahaan angkutan laut nasional, sedangkan pemerintah yang menaungi bidang ini adalah Kementerian Perhubungan Republik Indonesia.

4. Analisis Data

Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola kategori dan satuan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.49 Dari hasil pengumpulan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder sesuai dengan yang diharapkan, maka untuk mengetahui data akurat dilakukan pemeriksaan dan pengelompokan agar menghasilkan data yang lebih sederhana sehingga mudah dibaca dan dimengerti. Kemudian data yang telah diperoleh akan disusun secara sistematis dan selanjutnya dilakukan analisis deskriptif secara kualitatif50

49 Lexy Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), hlm.

103

sehingga deskripsi mengenai objek penelitian semakin kian jelas batas cakupannya.

50 Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 135. Dalam analisis data kualitatif, sebenarnya peneliti tidak harus menutup diri terhadap kemungkinan penggunaan data kuantitatif. Data ini bermanfaat bagi pengembangan analisis data

(31)

Pada penelitian hukum normatif, pengolahan bahan hakikatnya kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi dalam menemukan hubungan antara konsep, asas dan masalah dalam bahan hukum dengan menggunakan kerangka teori sebagai pisau analisis. Bahan yang berupa peraturan perundang-undangan ini dianalisis secara kualitatif, dengan menggunakan logika berfikir dalam menarik kesimpulan secara deduktif.

kualitataif itu sendiri. Data kualitatif dapat digunakan pada analisis ini sampai pada batas-batas tertentu sesuai kebutuhan dalam analisis kualitatif.

Referensi

Dokumen terkait

65 Setelah diadakan pemberian perlakuan kepada enam subjek yang memiliki tingkat penerimaan diri rendah dengan teknik modeling simbolis melalui seting konseling

Berdasarkan Tabel 12, jumlah tanaman Seroja yang ada di Situ Burung sebesar 3006 individu dengan berat kering rata-ratanya sebesar 7,96 grC, sehingga didapatkan nilai Berat

Terdapat perbedaan nilai skor PELOD harian rendah, sedang, dan tinggi terhadap mortalitas anak yang dirawat di UPIA pada perawatan hari ketiga dengan p=0,001.. Rerata

Energi listrik yang dihasilkan dari angin akan digunakan untuk substitusi alat-alat elektronik yang ada di dalam kereta sehingga dapat mengurangi penggunaan energi fosil?.

Dari uraian Knowledge–based strategy, dapat disimpulkan bahwa perpaduan antara knowledge yang dimiliki, kapabilitas dan resources yang ada, digabungkan dengan strategi

[r]

Secara garis besar indonesia seharusnya tidak perlu menyuplai minyak dari luar karena sumber daya alam yang di milki indonesia sudah cukup untuk diolah kemudian disalurkan

Berpijak pada permasalahan tersebut, penulis mempunyai keinginan untuk meneliti tentang implementasi Program Subsidi Ongkos Angkut (SOA) bahan kebutuhan pokok masyarakat