BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Salah satu kebutuhan manusia adalah berkomunikasi. Menurut Gordon I.
Zimmerman, diantara tujuan komunikasi terdapat tujuan untuk menciptakan dan memupuk hubungan dengan orang lain.
1Rudolf F. Verderber juga berpendapat demikian. Menurutnya, salah satu fungsi komunikasi adalah untuk menunjukkan ikatan dengan orang lain, membangun dan memelihara hubungan dengan orang lain.
2Dengan demikian komunikasi sangat erat hubungannya dengan ikatan dan kedekatan. Bahkan salah satu sumber kebahagiaan adalah memiliki hubungan kedekatan dengan orang lain. Tentu saja kedekatan hubungan yang dimaksud bermakna secara luas, melibatkan banyak individu di dalamnya.
Bidang komunikasi sendiri sungguh beragam, di antaranya adalah komunikasi antarpersonal (komunikasi antarpribadi). Tujuan dari komunikasi antarpersonal ini agar antarpersonal bisa mengenal satu sama lain, bisa saling berhubungan dan mengembangkan hubungan, mempengaruhi satu sama lainnya, bermain, membantu dan sebagainya.
Lingkungan komunikasi sendiri memiliki beberapa macam, yaitu lingkungan fisik, lingkungan sosial-psikologi dan temporal (waktu). Lingkungan fisik adalah tempat berlangsungnya komunikasi. Lingkungan nyata ini tentu saja mempengaruhi jalannya komunikasi, mulai dari bentuk pesan maupun kandungan pesannya. Sebagai contoh, komunikasi dalam sebuah pesta tentu saja berbeda
1 Deddy Mulyana, 2002 : 4. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
2 ibid
dengan komunikasi di salah satu ruangan di rumah sakit. Dengan kata lain cara penyampaian pesan pun harus sesuai dengan kondisi lingkungan di sekitarnya di mana sesama individu berkomunikasi.
Selain itu, terdapat pula lingkungan sosial-psikologi yang merupakan aturan, norma, budaya, hubungan status, serta peran di antara mereka yang terlibat dalam komunikasi. Sebagai contoh, komunikasi seorang wanita sebagai istri dengan suaminya tentu saja berbeda dengan komunikasi seorang wanita terhadap tetangganya. Karena peran seorang wanita sebagai istri bisa berbeda bila individu yang dihadapinya juga berbeda. Begitu pula dengan budaya yang berbeda dapat menyebabkan perbedaan dalam berkomunikasi. Di negara Barat, orang Timur yang terbiasa berbasa basi harus bisa mengurangi kebiasan tersebut saat berkomunikasi dengan orang Barat. Begitu juga sebaliknya.
Lingkungan yang lain adalah lingkungan temporal atau waktu.
Lingkungan waktu meliputi semua hitungan waktu saat berkomunikasi. Kita tentu saja memilih waktu yang tepat dan ideal untuk melakukan komunikasi atau saat ingin menyampaikan sesuatu pada orang lain. Suatu pesan tertentu juga dapat disesuaikan dalam rangkaian waktu peristiwa komunikasi. Misalnya, mengucapkan terimakasih dapat disesuaikan dengan waktu yang kita pilih, apakah segera saat kita tengah dibantu atau saat selesai dibantu atau malah saat menolak tawaran bantuan dari orang lain.
Menurut Joseph A. Devito, ketiga dimensi ini saling berinteraksi, masing-
masing mempengaruhi atau dipengaruhi oleh yang lain. Sebagai contoh,
terlambat memenuhi janji kencan (lingkungan atau konteks temporal)
dapat mengakibatkan berubahnya suasana persahabatan-permusuhan
(lingkungan sosial-psikologi), yang kemudian dapat menyebabkan
perubahan kedekatan fisik dan pemilihan rumah makan untuk makan
malam (lingkungan fisik). Perubahan-perubahan ini dapat menimbulkan banyak perubahan lain. Proses komunikasi tidak pernah statis.
3Menyangkut perubahan yang diakibatkan oleh ketiga macam dimensi tadi, dapat kita hubungkan dengan fenomena masalah sosial akibat dampak semburan lumpur panas Sidoarjo.
Suatu perubahan sosial dan kebudayaan dapat pula bersumber pada sebab- sebab yang berasal dari luar masyarakat itu sendiri, misalnya lingkungan alam fisik yang ada di sekitar manusia. Terjadinya gempa bumi, taufan, banjir besar dan lain-lain mungkin menyebabkan masyarakat yang mendiami daerah-daerah tersebut terpaksa harus meninggalkan tempat tinggalnya. Apabila masyarakat tersebut mendiami tempat tinggalnya yang baru, maka mereka harus menyesuaikan diri dengan keadaan alam yang baru tersebut. Kemungkinan hal tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatannya.
4Ada beberapa kronologi dalam peristiwa semburan lumpur panas Sidoarjo tersebut. Pada tanggal 29 Mei 2006, lumpur panas keluar dari retakan tanah di bagian timur sumur pengeboran milik Sidoarjo di desa Renokenongo, Porong, Sidoarjo. Sebulan setelah itu, tepatnya pada tangggal 2 Juni, sekitar setengah warga desa Renokenongo dievakuasi akibat munculnya banjir lumpur panas di pemukiman mereka.
Tidak sampai sebulan, jumlah pengungsi telah mencapai 6000 lebih jiwa.
Selanjutnya, pengungsi pun mulai berdatangan dari beberapa desa di Porong, yaitu desa Siring, Jatirejo dan sebagian Kedungbendo serta para pengungsi gelombang berikutnya dari berbagai desa lain diantaranya dari warga desa Renokenongo yang belum mengungsi. Rencananya mereka menempati tempat pengungsian di Pasar Baru Porong sampai masalah ganti rugi selesai.
3 Joseph A.Devito, 1997 : 26. Komunikasi Antarmanusia. Jakarta : Professional Books
4 Soerjono Soekamto, 2002 : 324. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Namun ternyata terdapat beberapa permasalahan mengenai ganti rugi yang tidak kunjung selesai yang menyebabkan saat itu masih banyak yang tinggal di pengungsian, khususnya di Pasar Baru Porong. Sebagai catatan, para pengungsi di Pasar Baru Porong adalah warga yang menolak uang kontrak. Uang ganti awal sebesar 20% yang diberikan pemerintah ditolak oleh sebagian warga.
Selain menolak dikontrakkan, mereka menuntut agar pemerintah langsung mengganti rugi sebesar 50%. Para korban juga menuntut terus diberi jatah hidup.
Padahal jumlah ganti rugi sementara yang diberikan pemerintah tersebut sudah lumayan besar yaitu berjumlah sekitar Rp. 6-7 juta selama 6 bulan pada setiap keluarga.
Selain itu, uang tersebut tetap akan diberikan meskipun keluarga yang bersangkutan tidak mengontrak rumah melainkan menumpang di rumah saudara atau semacamnya. Sikap penolakan ini kebanyakan dilakukan oleh korban dari Renokenongo yang saat itu menempati Pasar Baru Porong.
Namun akhirnya tahun 2009, warga Renokenongo bersedia direlokasikan dengan syarat warga Renokenongo harus tetap berkumpul dalam 1 wilayah. Oleh karena itu, pemerintah menyediakan fasilitas lahan dan bantuan proyek untuk membangunan perumahan. Perumahan tersebut berjarak relatif jauh dari desa yang mereka tempati sebelumnya, yaitu perumahan Renojoyo yang berada di dusun Kedungkampil, kelurahan Kedungsolo.
Dapat dikatakan bahwa warga Renokenongo melakukan bedol desa.
Dengan begitu, warga Renokenongo rata-rata tidak berpencar seperti warga dari
desa lain yang juga terkena dampak luapan lumpur panas.
Namun permasalahan yang utama akibat fenomena semburan lumpur panas adalah relokasi. Meninggalkan kampung halaman atau tanah kelahiran bukan merupakan perkara yang mudah. Banyak sekali kendala yang akan dialami atau dikira akan dialami sebelum mencapai titik ketentraman. Diantaranya adalah pertama, perpindahan atau relokasi dapat berarti meninggalkan kehidupan yang relatif nyaman, homogen dan akrab ke dalam lingkungan yang asing, baru serta ada kemungkinan perbedaan budaya.
Kedua, sebelum terjadi kejadian luapan lumpur panas, banyak pabrik yang beroperasi di sekitar tempat tinggal mereka. Dengan demikian, pabrik-pabrik tersebut banyak menyerap tenaga kerja dari warga sekitar pabrik. Setelah luapan lumpur panas terjadi, pabrik tersebut tidak bisa lagi beroperasi karena ikut tenggelam bersama sebagian desa yang terkena dampak luapan lumpur panas.
Sebagian pabrik pindah dan beberapa berhenti total.
Oleh karena itu bisa dibayangkan berapa tenaga kerja yang akhirnya kehilangan pekerjaannya. Dengan begitu, warga korban lumpur panas tidak hanya kehilangan tempat tinggal di kampung halaman atau tanah kelahiran, mereka juga kehilangan mata pencaharian dalam waktu yang bersamaan.
Perusahaan di Porong dan Tanggulangin yang Terkena Luapan Lumpur Sidoarjo
No Pemilik Kegiatan
1 Airlangga, CV Desa Jatirejo, Porong
Meubel (pindah sementara/ sewa di Buduran)
2 Adrian Zulkarnain, Ir Desa Renokenongo,Porong
Disewakan (tanah di sewa oleh Supra Surya)
3 Catur Putra Surya, PT Desa Siring,Porong
Pabrik Jam (sementara ke pabrik lama)
4 DeBrima, PT Pabrik sabun (berhenti total)
Desa Kedungbendo, Tanggulangin 5 Emanelindo, UD
Desa Jatirejo, Porong
Plastik (pindah ke Kletek Sepajang)
6 Gunung Mas Sentosa Raya, PT Desa Jatirejo, Porong
Minuman ( berhenti total) 7 Harflex LB
Desa Renokenongo,Porong
Gudang Asbes (pindah ke Juwet Kenongo)
8 Karya Kasih Karunia, CV Desa Jatirejo, Porong
Muebel (pindah ke Gedangan) 9 Niagara Prima,CV
Desa Renokenongo,Porong
Permesinan (pindah ke LIKS Trosobo)
10 Primafendo Pangan Makmur, PT Desa Renokenongo,Porong
Industri Snack (berhenti total) 11 Sari Inti Pratama, CV
Desa Renokenongo,Porong
Industri Krupuk (pindah ke desa Boro Tanggulangin)
12 Srikaya Putra Mas, PT Jl.Raya Jatirejo,Porong
Industri Mesin Pengolahan (pindah ke Buduran)
13 Supra Surya Indonesia, PT Desa Renokenongo,Porong
Steel Fabricator Konstruksi Baja (berhenti total)
14 Trivesta Polymas, PT Desa Renokenongo,Porong
CPP & Metalizing Film (rencana pindah ke Jakarta)
15 Victory Rotanindo, PT Desa Jatirejo, Porong
Meubel (pindah ke Candi) 16 Yamaindo Perkasa, PT
Desa Kedungbendo, Tanggulangin
Meubel (pindah ke Candi) TABEL 1 Daftar Perusahaan yang Terkena Dampak Luapan Lumpur
5Ketiga, pada lingkungan sebelumnya, mereka telah memiliki status atau peran tertentu dan merasa nyaman dengan hal tersebut. Tentu saja akan timbul kekhawatiran apabila mereka harus pindah ke lingkungan yang baru dengan segala tantangan serta ketidakpastian mendapatkan kesempatan peran dan status sebelumnnya.
Keempat, mereka dengan segala kecemasan dan kegamangan menatap masa depan yang belum pasti juga harus dihadapkan dengan kemampuan untuk
5 Sumber : Bapekkab Sidoarjo
beradaptasi dengan lingkungan yang relatif baru. Proses penyesuaian yang tidak berhasil tentu saja dapat menyebabkan permasalahan sosial yang lain.
Selain itu, hal yang sering terjadi adalah meskipun para korban bencana tinggal di pengungsian, hal ini mereka lakukan dalam kurun waktu yang relatif tidak lama. Saat keadaan telah kembali kondusif, biasanya mereka sudah bisa menempati tempat tinggal mereka. Namun para pengungsi korban luapan lumpur panas Sidoarjo tidak demikian. Selain harus tinggal di pengungsian dalam kurun waktu yang lama, sekitar 3 tahun, warga pengungsi tidak bisa kembali lagi ke daerah asal mereka.
Selain itu, setelah mereka direlokasikan dari Pasar Baru Porong, sembari menunggu perumahan warga pengungsi selesai dibangun, mereka masih harus mencari tempat tinggal sementara. Meskipun telah diberikan uang kontrak, tetapi kebanyakan dari mereka akhirnya hanya membuat gubuk-gubuk kecil sebagai tempat tinggal sementara di bantaran sungai. Gubuk tersebut juga tidak bisa disebut layak sebagai tempat tinggal.
Setelah perumahan selesai dibangun, mereka direlokasikan lagi dan mereka harus kembali beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Dengan demikian, warga mengalami relokasi berkali-kali yang menuntut juga untuk beradaptasi berkali-kali.
Paul E Zopf mengatakan bahwa perpindahan penduduk mempunyai
pengaruh yang kuat pada proses dan struktur masyarakat. Termasuk di
dalamnya, kepribadian-kepribadian migran, ketika mereka harus
menyesuikan lingkungan baru secara total atau sebagian masih relatif
asing. Perpindahan penduduk memotong ikatan-ikatan sosial secara
signifikan dan dapat menyebabkan ketidakteraturan pola-pola sosial di mana migran berasal.
6Dari berbagai perpindahan dan perubahan fisik tadi, tentu mempengaruhi komunikasi sesama masyarakat. Perpindahan dan perubahan tersebut bisa mengguncang psikologis seseorang dan membuatnya terpuruk dalam suatu kondisi jiwa tertentu. Hal seperti ini bisa menyebabkan berubahnya intensitas komunikasi yang energik menjadi sedikit terganggu.
Para pengungsi tersebut memiliki kehidupan yang relatif nyaman di tempat asalnya. Namun mereka akhirnya harus mencicipi hidup dalam suasana pengungsian yang tentu saja jauh dari lingkungan atau tempat tinggal yang ideal.
Saat masih berada di Pasar Baru Porong, warga harus berusaha menjalani aktifitas keseharian mereka di tempat yang sempit, penuh sesak dan kurang bisa memiliki privasi.
Lingkungan pengungsian tersebut tentu saja bukan merupakan lingkungan yang baik untuk kelangsungan bermasyarakat. Terutama apabila pengungsi merasa terganggu oleh keadaan dan situasi pengungsian, misalnya saja keramaian di tempat pengungsi, rasa iri akibat pengungsi yang lain mendapat fasilitas seperti ruko untuk tempat tinggal yang lebih luas, proses penerimaan ganti rugi yang lebih lama daripada pengungsi lain. Dengan kata lain ada kemungkinan timbulnya kecemburuan sosial di antara sesama pengungsi.
Setelah mereka pindah ke perumahan yang diperuntukkan khusus pengungsi, bukan berarti masalah sosial telah selesai. Selain lokasi perumahan
6 Muhammad Mirdasy, 2007 : xvii. Bernafas dalam Lumpur Lapindo. Surabaya : Mirdasy Institute for Public Policy (MIPP) bekerja sama dengan Harian Surya
yang relatif asing, keadaan mereka masih terkatung-katung dengan pembayaran ganti rugi yang belum selesai. Kebanyakan dari warga juga belum mempunyai pekerjaan dan mereka menggantungkan hidup dari pembayaran ganti rugi.
Akhirnya banyak kebutuhan hidup yang belum bisa terpenuhi.
Apabila memakai konsep bedol desa maka wilayah baru yang dibangun untuk kehidupan warganya diarahkan untuk menciptakan kehidupan yang nyaman dan aman. Dalam kualitas seperti itu, maka wilayah tersebut harus memenuhi syarat-syarat : (1) nyaman ditinggali, (2) tidak ada rasa takut, (3) adanya akses terhadap imaginasi dan kegembiraan, (4) tersedia ruang publik dan komunitas, (5) keadilan, serta (6) kemandirian ekonomi.
7Apabila dua orang pengungsi yang telah mengenal merasa bahwa hubungan dan kebutuhan mereka telah terganggu, maka mulai muncul ketidakpuasan terhadap hubungan tersebut. Tahapan hubungan yang mulai akrab akhirnya memiliki kemungkinan untuk mengalami kemerosotan dan renggang bahkan putus.
Namun di beberapa kasus, dapat pula yang terjadi adalah sebaliknya.
Akibat kondisi darurat karena bencana, dapat pula menyebabkan perasaan yang lebih terikat akibat perasaan senasib sehingga dari hubungan yang renggang, bahkan tidak saling mengenal, akhirnya menjadi lebih akrab. Oleh karena itu, peneliti menganggap bahwa fenomena yang terjadi pada mantan pengungsi dari Pasar Baru Porong ini, menarik dan layak untuk diteliti.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana penetrasi sosial pada komunikasi
7 ibid P.xviii