• Tidak ada hasil yang ditemukan

II TINJAUAN PUSTAKA. Peternakan. Limbah : Feses Urine Sisa pakan Ternak Mati

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II TINJAUAN PUSTAKA. Peternakan. Limbah : Feses Urine Sisa pakan Ternak Mati"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Usaha Peternakan Sapi Perah

Usaha peternakan sapi perah merupakan sebuah usaha dimana input utama yang digunakan adalah sapi perah untuk menghasilkan susu sebagai output utamanya. Output berupa susu tersebut, kemudian diperjualbelikan baik dalam bentuk segar atau melalui proses pengolahan sebelumnya.

Menurut Erwidodo diacu dalam Wulandari (2007), usaha peternakan sapi perah pada umumnya terbagi kedalam tiga skala, yaitu :

1. Peternak skala kecil yang memiliki jumlah ternak kurang dari empat ekor.

2. Peternak skala menengah yang memiliki jumlah ternak empat sampai tujuh ekor.

3. Peternak skala besar yang memiliki jumlah ternak lebih dari tujuh ekor.

2.2. Limbah Peternakan

Ternak yang diusahakan pada umumnya menghasilkan output, berupa daging, telur, susu, dan kulit. Namun, selain itu ternak juga menghasilkan output sampingan (by-product) dan limbah (waste). Output dari ternak ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 . Produk yang Dikeluarkan dari Usaha Peternakan

Sumber : Salundik, dkk (2005)

Peternakan Hasil Sampingan :

• Bulu dan Rambut

• Tulang

• Darah

• Saluran pencernaan &

organ

• Dll

Hasil Utama :

• Daging

• Telur

• Susu

• Kulit

Limbah :

• Feses

• Urine

• Sisa pakan

• Ternak Mati

(2)

Menurut Salundik, dkk (2005) limbah adalah hasil buangan pada suatu kegiatan yang tidak diperlukan lagi. Sebagian besar limbah merupakan komponen penyebab pencemaran, yang terdiri dari bahan yang tidak mempunyai kegunaan lagi bagi masyarakat. Sifat dan karakteristik limbah ternak dapat dikelompokan berdasarkan bentuk dan sifat limbah. Berdasarkan bentuk-nya limbah dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :

1. Bentuk Padat

Bentuk padat adalah semua limbah yang berbentuk padatan atau dalam fase padat.

Contoh : feses, sisa pakan, isi rumen atau perut dan ternak mati.

2. Bentuk Cair

Bentuk cair adalah semua limbah yang berbentuk cairan atau berada dalam fase cair.

Contoh : urine dan air cucian ternak, alat serta kandang.

3. Bentuk Gas

Bentuk gas adalah semua limbah yang berbentuk gas atau berada dalam fase gas.

Contoh : NH

3

, H

2

S, CH

4

, dll, yang berkaitan dengan bau.

Limbah yang berada diantara bentuk limbah padat dan cair adalah suatu fase yang disebut lumpur. Sedangkan, berdasarkan sifat-nya, limbah ternak dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu :

1. Sifat fisik

Sifat fisik adalah jumlah limbah dari kandungan padatannya (tersuspensi dan terlarut), selain itu temperatur, warna, bau, berat jenis, dan ukuran partikel.

2. Sifat kimia

Sifat kimia adalah sifat yang banyak berkaitan dengan kandungan nutrisi atau hara seperti N, P, K, C, Ca, dll, juga kandungan biokimianya seperti oksigen terlarut (DO), kebutuhan oksigen biokimia (BOD), kebutuhan oksigen kimia (COD), dan PH.

3. Sifat biologis

Sifat biologis adalah sifat yang berkaitan erat dengan kandungan mikro-

organisme dalam limbah seperti E.colli, Bacillus sp, dll.

(3)

Jumlah limbah ternak yang dihasilkan, sifat fisik maupun kimianya bergantung pada umur, spesies ternak, ukuran ternak, dan sistem pemeliharaannya.

2.3. Sejarah Perkembangan Biogas

Perkembangan biogas telah dimulai pada kebudayaan Mesir, China, dan Roma kuno, dimana mereka memanfaatkan gas alam dengan cara dibakar dan digunakan sebagai penghasil panas. Namun, orang pertama yang mengaitkan gas bakar dengan proses pembusukan sayuran adalah Alessandro Volta (1770).

Hasil identifikasi terhadap gas yang dapat dibakar berupa gas metana, dilakukan oleh William Henry pada tahun 1806 dan Becham pada tahun 1868.

Sementara itu, murid Louis Pasteur dan Tappeiner, memperlihatkan asal mikrobiologis dari pembentukan metana pada tahun 1882.

Pada akhir abad ke-19 beberapa riset dilakukan oleh Jerman dan Perancis pada masa antara dua Perang Dunia. Selama Perang Dunia II, banyak petani di Inggris dan Benua Eropa yang membuat alat penghasil biogas kecil yang digunakan untuk menggerakkan traktor. Karena harga BBM semakin murah dan mudah didapatkan, pemakaian biogas ini pun mulai ditinggalkan.

Biogas bukan merupakan teknologi baru. Sejumlah negara di berbagai belahan dunia telah mengaplikasikannya sejak puluhan tahun yang lalu, seperti Rusia dan Amerika Serikat. Berbagai negara yang memiliki populasi ternak cukup besar seperti India, Taiwan, Korea, dan Cina, juga telah memanfaatkan kotoran ternak sebagai bahan baku dalam pembuatan biogas. Di Benua Asia, India merupakan negara pelopor penggunaan biogas, yaitu sejak abad ke-19.

Sedangkan, Indonesia baru mulai mengadopsi teknologi pembuatan biogas pada awal tahun 1970.

2.4. Reaktor Biogas

Prinsip terjadinya biogas adalah melalui fermentasi anaerob bahan organik

yang dilakukan oleh mikroorganisme sehingga menghasilkan gas yang mudah

terbakar. Secara kimia, reaksi yang terjadi pada pembuatan biogas meliputi tahap

hidrolisis, tahap pengasaman, dan tahap metanogenik (Simamora, dkk, 2005).

(4)

Menurut Wahyuni (2008), proses fermentasi anaerob akan menghasilkan biogas yang nilainya dapat dibandingkan dengan bahan bakar lain dalam setiap meter kubiknya (Tabel 5).

Tabel 5. Perbandingan Biogas 1 m

3

Dibandingkan dengan Bahan Bakar Lain

Keterangan Bahan Bakar Lain

1 m

3

Biogas

Elpiji 0,46 kg Minyak Tanah 0,62 liter Minyak Solar 0,52 liter Bensin 0,80 liter Gas Kota 1,50 m

3

Kayu Bakar 3,50 kg

Sumber : Sri Wahyuni (2008)

Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa, setiap 1 m

3

kubik biogas yang dihasilkan setara nilainya dengan penggunaan gas elpiji sebanyak 0,46 kg, minyak tanah sebanyak 0,62 liter, minyak solar 0,52 liter, bensin 0,80 liter, gas kota 1,50 m

3

serta kayu bakar 3,50 kg. Dalam melakukan pembuatan biogas diperlukan instalasi khusus berupa reaktor yang dilengkapi lubang pemasukan limbah ternak (kotoran ternak), pengeluaran gas, penampung gas, serta penampung limbah sisa buangan.

Menurut Prihandana dan Hendroko (2008), terdapat dua tipe alat pembangkit biogas, yaitu jenis kubah tetap (Fixed-dome type) dan reaktor terapung (Floating type).

1. Reaktor kubah tetap (Fixed-dome)

Reaktor ini disebut juga reaktor cina, karena reaktor ini dibuat pertama kali di Cina sekitar tahun 1980-an, kemudian sejak saat itu reaktor ini berkembang dengan berbagai model. Reaktor kubah tetap dibangun dengan menggali tanah, kemudian dibuat bangunan dengan batu bata, pasir, semen yang berbentuk seperti rongga yang ketat udara dan berstruktur seperti kubah (bulatan setengah bola). Reaktor kubah tetap dapat dilihat pada Gambar 2.

Jenis reaktor ini merupakan sebuah konstruksi tetap kontinu, dimana sumur

pencerna dan penampung gas menjadi satu, sedangkan pengisian bahan

organik kontinu dan dapat dibuat sesuai dengan kapasitas tampung kotoran

(5)

ternak dan jumlah biogas yang ingin dihasilkan. Reaktor ini membutuhkan modal yang lebih besar, tetapi usia ekonominya lebih lama, perawatannya mudah, dan pengoperasiannya lebih sederhana (Simamora, dkk, 2008).

Gambar 2 . Reaktor Jenis Fixed Dome Sumber : www.thinksmartbrain.blogspot.com

Reaktor ini terdiri dari beberapa bagian utama, bagian pertama adalah lubang pemasukan kotoran yang disebut dengan inlet, bagian kedua adalah saluran yang mengalirkan kotoran dari lubang pemasukan kedalam sumur digester yaitu bagian empat. Sementara itu, bagian ketiga merupakan lubang tempat keluarnya limbah yang dihasilkan dari proses anaerobik pembentukan biogas yang disebut sebagai outlet. Bagian kelima merupakan kran tempat keluarnya biogas yang dihasilkan. Kran inilah yang akan menghubungkan antara reaktor dengan kompor biogas. Bagian keenam merupakan kran pengatur keluar masuknya biogas, sesuai dengan volume yang diinginkan. Proses fermentasi secara anaerobik terjadi didalam sumur digester yaitu bagian empat.

Sementara itu, bagian sepuluh merupakan kumpulan gas bio yang dihasilkan, dan bagian tujuh merupakan lumpur biogas yang merupakan sisa limbah proses anaerobik.

2. Reaktor terapung (floating Type)

Reaktor jenis terapung pertama kali dikembangkan di india pada tahun 1937

sehingga dinamakan dengan reaktor India. Reaktor ini terdiri atas sumur

pencerna dan diatasnya terdapat drum terapung yang terbuat dari besi terbalik

(6)

dan berfungsi untuk menampung gas yang dihasilkan oleh reaktor. Reaktor terapung dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 . Reaktor Jenis Floating Type

Sumber : www.fao.org

Sumur pada reaktor terapung dibangun dengan menggunakan bahan-bahan yang biasa digunakan untuk membuat fondasi rumah, seperti batu bata, dan semen. Pengumpul biogas yang terapung di atas sumur pencerna menyebabkan kapasitas gas naik turun sesuai dengan produksi gas yang dihasilkan dan pemanfaatan gas untuk memasak (Simamora, dkk, 2008).

Seperti halnya, reaktor kubah tetap, reaktor jenis floating tetap juga memiliki

bagian-bagian berupa, lubang pemasukan input kotoran ternak (mixing pit)

yang selanjutnya dialirkan melalui pipa pemasukan (inlet pipe) menuju

saluran yang akan mengalirkan kotoran kedalam sumur pencerna dimana

proses fermentasi terjadi. Saat biogas terbentuk, biogas tersebut akan

mengalir melalui partition wall menuju gas holder dan selanjutnya akan

dialirkan menuju kompor melalui pipa gas. Sementara itu, limbah yang

dihasilkan berupa lumpur akan dialirkan menuju outlet yang akan

menampung seluruh limbah yang dihasilkan. Lubang pengeluaran ini terletak

diatas permukaan tanah.

(7)

2.5. Tinjauan Studi Terdahulu

Penelitian mengenai pemanfaatan biogas pada usaha peternakan sapi perah telah dilakukan sebelumnya, namun antara penelitian tersebut memiliki persamaan dan perbedaan tersendiri.

Penelitian Inda Wulandari pada tahun 2007 menganalisis kelayakan proyek instalasi biogas dalam mengelola limbah ternak sapi perah (kasus di Kelurahan Kebon Pedes Bogor). Penelitian ini hanya membahas instalasi biogas dan tidak mencakup keseluruhan usaha peternakan dan hanya dilakukan untuk satu unit instalasi biogas karena diasumsikan biaya pembuatan instalasi biogas lainnya sama, instalasi yang dibangun merupakan skala rumah tangga. Penelitian ini menganalisis kelayakan secara finansial dan non finansial. Pada kelayakan finansial didapatkan hasil untuk instalasi biogas kapasitas 3,5 m

3

, dengan tingkat diskonto 16 persen menunjukkan bahwa nilai NPV positif sebesar Rp.

10.797.029,96, Net B/C Ratio sebesar 1,41, nilai IRR sebesar 24,71 persen dan Payback Period selama 10,5 tahun. Hasil analisis switching value dengan tingkat diskonto 16 persen menunjukkan bahwa proyek tidak layak jika terjadi penurunan penjualan sebesar 3 persen dan peningkatan biaya variabel sebesar 5 persen.

Muzayin (2008), melakukan analisis terhadap kelayakan usaha instalasi

biogas dalam mengelola limbah ternak sapi potong (PT. Widodo Makmur

Perkasa, Cianjur). Penelitian ini hanya membahas mengenai instalasi biogas yang

dikonversi ke energi listrik dan tidak mencakup keseluruhan usaha peternakan dan

hanya dilakukan untuk satu unit pembangkit listrik biogas, karena diasumsikan

biaya pembuatan instalasi pembangkit listrik biogas lainnya sama. Instalasi

pembangkit listrik biogas ini dibangun untuk skala industri dan digunakan untuk

kebutuhan pengganti sumber energi listrik di PT. Widodo Makmur Perkasa dan

industri sekitar lokasi. Analisis kelayakan usaha ini dilakukan secara finansial dan

non finansial. Berdasarkan analisis secara non finansial, usaha ini layak untuk

dijalankan. Sedangkan berdasarkan perhitungan secara finansial, didapatkan hasil

bahwa proyek instalasi biogas dengan populasi sapi minimal 5000 ekor dengan

tingkat diskonto 9 persen menunjukkan nilai NPV positif sebesar

Rp.11.401.465.948, nilai Net B/C sebesar 2,727, nilai IRR yang diperoleh sebesar

19 persen dan payback period selama 3,048 tahun. Hasil analisis sensitivitas

(8)

menunjukkan bahwa proyek instalasi biogas tidak layak untuk dilaksanakan jika terjadi penurunan jumlah output (feces) sebesar 10 persen disertai dengan penurunan captive market sebesar 10 persen dan kenaikan biaya tetap sebesar 20 persen. Pada kondisi penurunan captive market sebesar 10 persen disertai kenaikan biaya tetap sebesar 20 persen dan kenaikan biaya variabel sebesar 20 persen usaha masih layak untuk dilaksanakan.

Penelitian yang dilaksanakan Yosi Kumala Santi Siregar pada tahun 2009, menganalisis mengenai kelayakan pengusahaan sapi perah dan pemanfaatan limbah untuk menghasilkan biogas dan pupuk kompos (studi kasus : UPP Darul Fallah dan Fakultas Peternakan, IPB). Penelitian ini difokuskan kepada kelayakan usaha peternakan sapi perah yang fokus utamanya adalah susu segar, sedangkan limbahnya digunakan untuk menghasilkan biogas dan pupuk organik atau pupuk kompos. Instalasi biogas pada UPP Darul Fallah dan Fakultas Peternakan bertipe Fixed Dome. UPP Darul Fallah memiliki kapasitas 18 m

3

yang dirancang untuk 10 ekor sapi, sedangkan Fakultas Peternakan memiliki kapasitas 32 m

3

yang dirancang untuk 20 ekor sapi.

Tingkat kelayakan usaha peternakan Darul Fallah dan Fakultas Peternakan IPB dilakukan melalui analisis secara non finansial dan finansial. Berdasarkan aspek non finansial pengusahaan tersebut layak dan menguntungkan untuk dijalankan oleh kedua perusahaan. Berdasarkan aspek finansial dengan menggunakan discount rate sebesar 8,75 persen, usaha peternakan UPP Darul Fallah memperoleh NPV sebesar Rp.202.456.789,33, Net B/C 1,74, IRR sebesar 26,13 persen dan payback period selama lima tahun sepuluh bulan tujuh belas hari. Hasil analisis switching value diketahui bahwa sebesar 17,46 persen merupakan usaha yang paling sensitif terhadap perubahan jumlah produksi. Batas maksimal perubahan harga jual adalah sebesar 25,08 persen. Kenaikan biaya operasional tidak memberikan pengaruh besar pada usaha. Jenis pengusahaan yang paling memberikan keuntungan adalah usaha peternakan sapi perah pada Fakultas Peternakan. Hal ini terlihat dari nilai NPV usaha peternakan Fakultas Peternakan > NPV UPP Darul fallah.

Nia Rosiana pada tahun 2008 melakukan analisis mengenai kelayakan dari

usaha pengembangan akar wangi dengan memperhatikan kondisi risiko yang

(9)

mempengaruhi usaha tersebut. Fokus utama dari penelitian ini adalah usaha akarwangi dengan usaha penyulingan akar wangi. Usaha akarwangi bergerak pada proses budidaya akarwangi, sedangkan usaha penyulingan merupakan usaha yang bergerak di bidang pengolahan akar wangi, yakni dengan melakukan penyulingan terhadap hasil produksi akar wangi yang dihasilkan.

Tingkat kelayakan usaha akarwangi dianalisis melalui dua pendekatan yakni analisis finansial serta non finansial, dimana pada analisis finansial dilakukan perhitungan terhadap risiko yang dialami petani akarwangi selama jalannya umur usaha. Berdasarkan perhitungan aspek finansial pada kondisi tanpa risiko, didapatkan hasil bahwa usaha budidaya akarwangi memiliki nilai NPV pada kondisi normal mencapai Rp.1.394.179; IRR 13 %; Net B/C 1,08 serta payback period selama 2 tahun 5 bulan, sehingga menyatakan bahwa usaha budidaya akarwangi pada kondisi tanpa risiko layak untuk dijalankan.

Kelayakan budidaya akarwangi pada kondisi risiko, diperhitungkan berdasarkan nilai kriteria investasi pada masing-masing kondisi (skenario). NPV terbesar berada pada kondisi produksi dan harga output tertinggi mencapai Rp.

38.512.313. NPV terendah berada pada kondisi produksi dan harga output terendah yang mencapai -Rp. 35.259.949. Selain itu, IRR tertinggi terdapat pada kondisi produksi dan harga output tertinggi sebesar 202 % dan IRR terendah berada pada kondisi produksi terendah yaitu sebesar -19 %.

Net B/C tertinggi berada pada kondisi produksi dan harga output tertinggi yaitu sebesar 6,20 dan Net B/C terendah berada pada kondisi produksi dan harga output terendah yaitu 0,05. Hal ini mengindikasikan bahwa kegiatan budidaya pada kondisi risiko tidak layak untuk dijalankan. Payback periode tercepat ketika berada pada kondisi produksi dan harga output tertinggi yaitu 1 tahun 2 bulan.

Penilaian risiko dalam investasi diukur dengan tiga hal yaitu NPV yang diharapkan, standar deviasi, dan koefisien variasi. NPV yang diharapkan dari ketiga kondisi yang paling tinggi adalah NPV yang diharapkan pada kondisi produksi dan harga output yaitu sebesar Rp. 2.220.063 selama umur proyek.

Standar deviasi yang paling tinggi yaitu pada kondisi risiko produksi dan harga

output yaitu sebesar 22.427.661 selama umur proyek. Koefisien variasi paling

tinggi berada pada kondisi risiko harga output yaitu 31,02. Berdasarkan ketiga

(10)

jenis risiko yang memiliki tingkat risiko paling rendah yaitu ketika kegiatan budidaya akarwangi dihadapkan pada risiko produksi.

Analisis kelayakan penyulingan akarwangi pada kondisi tanpa risiko menghasilkan NPV pada kondisi normal mencapai Rp.1.030.118.304. IRR pada kondisi normal mencapai 99 %; Net B/C pada kondisi normal mencapai 4,98, serta payback period yaitu 3 tahun 6 bulan. Pada kondisi risiko nilai NPV terbesar berada pada kondisi produksi dan harga output tertinggi yang mencapai Rp.5.444.740.425. NPV terendah berada pada kondisi produksi dan harga output terendah yang mencapai -Rp.6.542.335.597. Net B/C tertinggi berada pada kondisi normal yaitu sebesar 4,9. Net B/C terendah berada pada kondisi produksi terendah dan kondisi produksi dan harga output terendah yaitu 0. Hal ini mengindikasikan bahwa kegiatan penyulingan tidak layak untuk dijalankan.

Payback periode tercepat ketika berada pada kondisi harga output tertinggi yaitu satu tahun sembilan bulan.

Penilaian risiko pada penyulingan akar wangi diukur dengan tiga hal yaitu yang pertama adalah NPV yang diharapkan dimana dari ketiga jenis risiko yang paling tinggi adalah NPV yang diharapkan pada risiko harga output yaitu sebesar Rp. 1.033.605.013 selama umur proyek. Kedua adalah pengukuran standar deviasi, dimana nilai paling tinggi yaitu pada kondisi risiko produksi dan harga output yaitu sebesar 3.382.306.905 selama umur proyek. Ketiga adalah koefisien variasi. Koefisien variasi paling tinggi berada pada kondisi risiko produksi dan harga output yaitu 14,81. Semakin besar nilai koefisien variasi maka semakin tinggi tingkat risiko yang dihadapi. Jadi, dari ketiga jenis risiko yang memiliki tingkat risiko paling rendah yaitu ketika kegiatan penyulingan akarwangi dihadapkan pada risiko harga output.

Berdasarkan penelitian terdahulu, penulis menggunakan beberapa

komponen yang terdapat pada penelitian tersebut untuk digunakan pada penelitian

ini. Pada penelitian yang dilaksanakan oleh Wulandari (2007), penulis

menggunakan informasi mengenai usaha peternakan sapi perah, dimana pada

usaha tersebut terdapat pembagian skala usaha, baik skala usaha kecil, menengah,

dan besar. Sementara, pada penelitian yang dilaksanakan oleh Muzayin (2008)

dan Siregar (2009) peneliti menggunakan konsep dan informasi mengenai

(11)

pemanfaatan limbah ternak sapi perah untuk menghasilkan biogas yang dianalisis

secara finansial sedangkan analisis mengenai risiko yang dihitung dengan

menggunakan analisis skenario diacu penulis dari penelitian yang dilaksanakan

oleh Rosiana (2008) guna mengetahui tiga kondisi skenario yang terjadi pada

lokasi penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Islam Negeri Alauddin

Hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh dimana ekstrak etil asetat memiliki kandungan total fenolik yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak etanol dan

Data dianalisis menggunakan pendekatan analisis wacana dengan memanfaatkan metode deskriptif kualitatif yang digunakan untuk mengetahui jenis dan peranan

a) Sebelum permainan dimulai akan ditampilkan dongeng si Kancil dan Buaya dengan suara dan teks. Pemain dapat melanjutkan dengan menekan tombol lewati. b) Pemain akan bermain

Sementara Cikini Retail dan Plaza Menteng yang terintegrasi dengan hotel budget Formule-1, pada tahun 2010 memberikan kontribusi masing-masing 6% dan 4% dari pendapatan

Dan anda juga akan belajar untuk menyimpulkan ide pokok dari materi yang anda pelajari, sehingga anda bisa lebih mudah untuk paham, menguasai materi dengan

Teman-teman seperjuangan penulis ; Desy, Steffie, Bunga, Evelyn, Sandy, Bima, Anda, Alya, Nora, Mitha, Robby, dan teman-teman penulis lainnya yang telah memberikan pendapat,

Pengaruh pengaktifan zeolit, yaitu dapat memurnikan zeolit dari komponen pengotor, menghilangkan jenis kation logam tertentu dan molekul air yang terdapat dalam rongga,