• Tidak ada hasil yang ditemukan

AGAMA KEADILAN SEBAGAI NARASI PEMIKIRAN HUKUM ISLAM MASDAR F. MAS UDI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "AGAMA KEADILAN SEBAGAI NARASI PEMIKIRAN HUKUM ISLAM MASDAR F. MAS UDI"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

MASDAR F. MAS’UDI

Mahsun IAI Ngawi

Abstract

This article explains Masdar F. Mas’udi’s thoughts on the “Religion of Justice” which is the main focus of the theme of Islamic legal thought. The concentration of his studies refers to the two books he has written, namely the religion of justice: the treatise on zakat (tax) Islam and women’s reproductive rights: the fiqh dialogue on empowerment. The meeting point of thought in these two books, in addition to the choice of the same paradigm, is also the dominant theme of discussion on benefit, justice, democracy, and human rights (egalitarianism). The discourse and the manifestation of the appropriate methodology were compiled and practiced by Masdar referring to the fields of zakat/taxes and women’s fiqh. From the reconstruction of his various thoughts, a lot of controversy emerged. The results of this paper indicate that the paradigms and methods as well as implementation in the practice of ijtihad refer to the areas of zakat, taxes, hajj, and women’s issues. In addition, Masdar’s thoughts also include spiritual teachings and individual morality and the most important thing is the inspiration of an adequate basic framework of social concepts for an era or modern era that is so complex with human problems in all dimensions.

Keywords: religion of justice, qat’i-danni, zakat-tax.

Abstrak

Artikel ini menjelaskan pemikiran Masdar F. Mas’udi tentang “Agama Keadilan” yang menjadi fokus besar tema pemikiran hukum Islam. Konsentrasi kajiannya mengacu kepada dua buku yang telah ditulisnya yaitu agama keadilan: risalah zakat (pajak) Islam dan hak-hak reproduksi perempuan: dialog fiqih pemberdayaan. Titik temu pemikiran dalam kedua buku ini di samping pilihan paradigmanya yang sama juga begitu dominannya tema pembahasan tentang kemaslahatan, keadilan, demokrasi, dan hak-hak asasi manusia (egalitarianisme). Diskursus dan manifestasi metodologi yang tepat disusun dan dipraktekkan oleh Masdar mengacu pada bidang zakat/

pajak dan fiqih wanita. Dari rekonstruksi berbagai pemikirannya, muncul banyak kontroversi. Hasil dari tulisan ini menunjukkan bahwa paradigma dan metode serta

(2)

implementasi dalam laku ijtihad mengacu pada bidang-bidang zakat, pajak, haji, dan isu-isu perempuan. Selain itu, pemikiran Masdar juga meliputi ajaran spiritual dan moralitas individual dan yang terpenting adalah inspirasi kerangka dasar konsep sosial yang memadai bagi suatu zaman atau era modern yang demikian kompleks persoalan kemanusiaannya dalam seluruh dimensi.

Kata kunci: agama keadilan, qat’i-danni, zakat-pajak.

A. PENDAHULUAN

Agama Keadilan sebagai tema pernikiran hukum Islam Masdar ini muncul, ditandai dengan terbitnya dua buku yang pertama “Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam”, pada 1991,28dan dilanjutkan dengan buku yang kedua, yaitu “Islam dan Hak- hak Reproduksi Perempuan: Dialog Fiqih Pemberdayaan” pada 1997.29Dalam buku pertama Masdar,30mencoba membangun dan menawarkan garis-garis dasar pernikiran (paradigma) hukum Islam altematif yang nantinya dipergunakan dalam membuat analisis model baru atas berbagai persoalan sosial-keagamaan. Dalam hal ini permasalahan zakat menjadi eksperimentasi analisis pilihan pertamanya. Sedangkan pada buku yang kedua, sebagaimana paradigma dan pisau analisis yang dipakai dan diintrodusir dalam buku pertama, Masdar menggunakan metode dan pendekatannya dalam isu pembahasan hak- hak reproduksi perempuan.

Konsistensi dalam hal penggunaan paradigma dan pencarian metodologi baru dalam kedua buku tersebut patut diapresiasi sebagai hal yang luar biasa. Bagi Masdar ketegasan paradigma dan kejelasan metodologi adalah dua hal yang harus dituntaskan di awal sebelum masuk ke wilayah dan medan ijtihad praktis. Dan hal inilah yang diupayaakaan Masdar secara konsisten. Masdar berpandangan bahwa Islam datang pada hakekatnya untuk menegakkan keadilan di tengah-tengah kehidupan manusia. Ketika umat manusia pra Islam sedang dilanda suatu kondisi, di mana yang kuat menindas yang lemah, yang mengeksploitasi yang miskin serta carut marutnya isu hak azasi manusia, Islam datang dengan ajarannya yang revolusioner. Sebagai agama akhir zaman, Islam merupakan agama komprehensif, universal dan sempurna. Kesempurnaan ini, meliputi ajaran spritual dan moralitas individual dan yang terpenting adalah inspirasi dan semacam kerangka dasar untuk suatu tawaran konsep sosial yang memadai bagi suatu zaman atau era modern yang demikian kompleks persoalan kemanusiaannya dalam seluruh dimensi. Narnun sayangnya, demikian Masdar, ketika kita menengok pada konstruksi pernikiran Islam lama, justru tidak ditemukan mana konsep Islam tentang kehidupan sosial yang dinanti- nanti itu.

Inilah, diantaranya kerangka yang menjadi kegelisahan dan latar belakang munculnya pemikiran Masdar yang ia kemas melalui them besar Agama Keadilan. Tulisan berikut berupaya memotret pemikiran Masdar terutama berkaitan narasi pemikiran Agama Keadilan yang ia propagandakan. Beberapa pembahasan yang menjadi konsen tulisan ini meliputi persoalan paradigma, opsi metodologi dan manifestasi ijtihad yang telah dilakukan Masdar.

28 Lihat Masdar F. Mas’Udi, Agama Keadilan : Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, (Jakarta : P3M 1991).

29 Lihat Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan: Dialog Fiqih Pemberdayaan, (Bandung : Mizan, 1997)

30 Mengenai Biografi Masdar F. Mas’udi dapat dilihat pada Mujamil Qomar, NU Liberal : Dari Tradisionalisme Ahussunnah ke Universalisme Islam, (Bandung : Mizan, 2002), hlm198-200): Iqbal Abdurrauf Saimina (ed), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1988), hlm 193-194.

(3)

B. UPAYA PENEGAKAN KEMBALI CITA-CITA SOSIAL ISLAM

Titik temu pernikiran-pemikiran Masdar dalam kedua buku, Agama Keadilan:

Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam dan Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan: Dialog Fiqih Pemberdayaan, di samping pilihan paradigmanya yang sama dan belum berubah, adalah begitu dominannya tema pembahasan tentang kemaslahatan; keadilan, demokrasi, dan hak-hak azasi manusia (egalitarianisme) yang dianggapnya meluncur dan menjadi cita luhur ajaran Islam, sebagai rahmat li al- ‘älamïn.

“Agama Keadilan hadir menyeruak sebagai sebuah tema pemikiran hukum Islam, pada prinsipnya berusaha ingin mengembalikan elemen dasar nilai kemaslahatan kemanusianan; keadilan sosial, demokrasi, dan hak-asasi manusia (egalitarianisme) ini ke dalam dan sebagai nilai fundamental bangunan pemikiran hukum Islam (fiqih).

Dalam amatan Masdar, sejak awal hadirnya syari’at Islam sebenarnya tidak memiliki basis (tujuan) lain kecuali”kemaslahatan manusia”. Ungkapan standar dan harga mati bahwa syari’ah dicanangkan demi kebahagian manusia, lahir-batin; dunia-ukhrawi, sepenuhnya mencerminkan prinsip kemaslahatan tadi.31

Lahirnya tema pemikiran “Agama Keadilan” ini secara empiris juga dilatarbelakangi oleh pergulatan dan pengamatan Masdar sebagai aktifis LSM dengan kenyataan sosial umat Islam yang dinilainya timpang.32Dalam hal ini tema pemikiran “Agama Keadilan”

bisa berarti sebuah upaya penegakkan kembali bangunan sosial dan kemanusiaan Islam dari timbunan puing-puing kesejarahannya. Menurut amatan Masdar, dalam rentang sejarahnya yang panjang, yang lebih dari sepuluh abad, urnat Islam telah mengabaikan amanat sosial (kekhalifahan)-nya yang nota bene begitu jelas dalam ajaran agamanya. Bukan tidak ada dimensi sosial yang telah ditegakkan oleh umat Islam dalam peri kehidupan politik, ekonomi maupun sosialnya, melainkan kesemuanya itu nampak sebagai sesuatu yang tidak punya kaitan organik dan fungsional dengan jantung keyakinan agamanya.

Islam dengan komitmen sosialnya yang begitu eksplisit, telah direduksi menjadi agama yang hanya berurusan dengan peri kehidupan yang berskala personal dan bersifat penuh personal (private oriented). Pada dimensi kehidupan individual umatnya, barangkali Islam masih membersitkan pengaruhnya, akan tetapi untuk dimensi kehidupan sosialnya, pengaruh itu hampir-hampir tak terasa lagi.33Masuk dalam tatanan masyarakat feodalistis, umat Islam ikut bersikap feodal, masuk tatanan masyarakat borjuis-kapitalistis juga ikut berperilku seperti itu.34

Masdar meyakini bahwa sebagai agama akhir zaman, Islam merupakan agama komprehensif, universal dan sempurna Kesempurnaan ini, bukan hanya dalam ajaran spritual dan moralitas individualnya, melainkan justru yang terpenting adalah sejauhmana ia memberikan inspirasi dan semacam kerangka dasar untuk suatu tawaran konsep sosial yang memadai bagi suatu zaman atau era modern yang demikian kompleks persoalan

31 Masdar F. Mas’udi, ”Meletakkan Kembali Maslahah sebagai Acuan Syari’ah” dalam Ulumul Qur’an No. 3 Vol VI 1995, hlm. 94.

32 Lihat pada Masdar F.Mas’udi, “Prakata”.dalam Masdar F. Mas’udi Agama Keadilan… hlm.Vii-viii.

33 Pandangan Masdar ini sejalan dengan pandangan an-Naim tentang kajian dalam hukum Islam yang kurang proporsional dan tidak sebanding dalam memberikan perhatian pada masalah-masalah sosial.

Dengan merujuk pada Joseph Schacht, an-Naim menemukan bahwa perhatian hukum Islam lebih terfokus pada hukum keluarga dan hukum waris dan sangat lemah pada hukum pidana, perpajakan, konstitusi dan peperangan. Sedangkan terhadap hukum kontrak dan obligasi sedang terhadap hukum kontrak dan obligasi, sedang intemational dalam Islam, terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani, (Yogyakarta : LKIS, 1994) hlm.

63.

34 Abdurrahman Wahid, “Kasus Penafsiran yang Tuntas “ Kata Pengantar dalam Masdar F. Mas’udi, Agama …, hlm. x.

(4)

kemanusiaannya dalam seluruh dimensi. Narnun ketika kita menengok pada konstruksi atau bangunan pernikiran lama, justru tidak ditemukan mana konsep Islam tentang kehidupan sosial yang dinanti-nanti itu.35

Sedangkan syürä sebagai mekanisme untuk mencapai kesepakatan umat, justru tidak mendapatkan perhatian fiqih sepanjang sejarah. Pada perkembangannya, ijmak bahkan dipandang tidak ada lagi; yang berarti syura tidak dibutuhkan lagi. Warisan fiqih yang sepi dari partisipasi umat manusia dan hanya lebih diproyeksikan untuk kepentingan diri sendiri. Inilah yang hingga sekarang masih kita warisi dan praktekkan.36Karena hal demikian, sudah waktunya dilakukan perombakan-perombakan menuju bangunan fiqih yang yang didasarkan pada hasil musyawarah.

Wajah fiqih sendiri, sebagai potret luar dan “menyolok” dari syari’at Islam, yang selama ini kelihatan dingin, kurang menunjukan pemihakan (engagement) terhadap kepentingan masyarakat, dalam pandangan Masdar, lebih karena adanya beberapa celah kelemahan paradigma, orientasi, prioritas, dan perwatakan di dalam fiqih sendiri. Karena itu watak-watak eksklusif dalam fiqih seperti; pertama, watak pemikiran fiqih juz’iyah, kasuistik, dan micro oriented; kedua, formulasinya yang hanya berguna untuk menangani persoalan pasca kejadian; ketiga, pengabaian penanganan masaiah-masaiah strategis; dan keempat, formalistik,37perlu segera dicarikan rumusan pengganti yang lebih menjañjikan agar mampu menghadirkan kemaslahatan universal dan keadilan sosial. Dalam konteks ini maka segala bentuk tawaran teoretis (ijthadi) apapun, baik didukung oleh nas maupun tidak, yang mampu menjamin kemaslahatan kemanusiaan dalam kacamata Islam adalah sah dan umat Islam terikat untuk mengambil dan merealisasikannya.38

Masdar mengkritik keterikatan yang berlebihan terhadap teks (nas), seperti yang dipromosikan paham ortodoksi, yang telah membuat prinsip kemaslahatan hanya menjadi jargon kosong, dan syariah yang pada mulanya adalah jalan telah menjadi tujuan bagi dirinya sendiri. Berdasarkan pemikiran ini, kaidah yang selama ini dipegang teguh di dunia fiqih yang berbunyi ižã sahhal hadisu fahuwa mažhäbï,39 perlu ditinjau kembali, sebab kaidah ini hanya memperhatikan bunyi harfiah nas (teks) daripada kandungan substansinya, atau lebih mengutamakan ketentuan legal formal daripada tuntutan keadilan sebagai jiwanya. Sebagai konsekuensinya ia bisa disubtitusi dengan kaidah yang berbunyi ižä sahhat maslahatu fahiya mažhäbï.

Dengan ungkapan provokatif demikian, Masdar berusaha meletakkan kembali (atau merekonstruksi?) kaidah Imam Syafi’i yang selama ini secara “kasar” dipahami sebagai memberikan dasar bagi pemahaman yang tekstual-formal, mengesampingkan cita rasa kemaslahatan dan keadilan. Terlihat bahwa dengan kaidah pengganti yang ditawarkan, yang setidaknya secara redaksional tidak terlalu berbeda dengan kaidah awal, secara filosofis menunjukkan bahwa nalar pembentukan yang dipergunakannya rekonstruksi, belum sampai dalam batas-batas dekonstruksi. Dengan demikian, sejatinya Masdar ingin meletakkan makna dan ruh dari kaidah Imam Syafi’i dalam bingkai semestinya yaitu kemaslahatan universal, sebagaimana awal mula kaidah ini lahir.

C. REKONSTRUKSI KONSEP QAT’Ï -ZANNÏ

Untuk melahirkan satu format hukum Islam yang eksistensinya mematrik diri pada kemaslahatan universal; menghargai rasa keadilan sosial dan hak-hak azasi manusia, maka

35 Mujamil Qomar, NU Liberal …, hlm. 202.

36 Masdar F. Mas’Udi, “Meletakkan kembali …, hlm. 99.

37 Ibid., hlm 96.

38 Ibid., hlm 97.

39 Ibid.,hlm 97 ; Id, Agama Keadilan …, hlm 110

(5)

ijtihad menjadi ihtiar pertama yang mutlak harus dilakukan. Pandangan umum mengenai ijtihad yang selama ini bisa dikatakan hanya menjangkau sasaran hal-hal yang bersifat zannï (satu teks yang tidak atau kurang pasti dan dapat diubah-ubah pemahamannya oleh ijtihad), dan kurang mencermati dimensi ajaran yang diyakini sebagai qat’ï (teks yang dianggap pasti dan pemahamannya tidak bisa diubah-ubah oleh ijtihad). Menurut Masdar, dengan meletakkan kembali maslahah sebagai asas ijtihad, maka konsep lama tentang qat’ï-zannï terasa begitu gagap untuk menyahuti perbagai persoalan baru yang terus berkembang. Dari sini pentingya rekonstruksi kedua konsep ini agar lebih punya tenaga (power) dalam memberikan assist dan kontitum pemecahan berbagai masalah yang lebih maslahah.40

Dalam pandangan Masdar, apa yang disebut sebagai dalil qat.’ï sesuai makna harfiahnya sebagai sesuatu yang bersifat pasti, tidak berubah-rubah sehingga bersifat fundamental adalah nilai kemaslahatan dan keadilan itu sendiri yang merupakan jiwa dan epitome hukum. Sedang yang masuk katagori zannï (tidak pasti dan berubah-ubah) adalah seluruh ketentuan batang tubuh atau teks, ketentuan normatif yang dimaksudkan sebagai upaya untuk menerjemahkan yang qat.’ï (nilai kemaslahatan dan keadilan) dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu benar adanya jika dikatakan bahwa ijtihad tidak bisa terjadi pada wilayah qat’ï, dan hanya bisa dilakukan dalam wilayah yang zannï.41Berdasarkan hal ini, hukum potong tangan bagi pencuri, lempar batu bagi pezina, persentase jumlah pembagian waris, monopoli hak talak bagi suami, keterlibatan wali dalam nikah, dan ketentuan-ketentuan teknis lain yang bersifat non etis, masuk katagori zannï. Ketentuan- ketentuan ini pada gilirannya akan mengalami perubahan, sebab “perubahan atas ketentuan-ketentuan syara’ (baik al-Qur’an maupun hadis, apalagi hasil ijtihad ulama) yang bersifat teknis secara teoretis bisa, walaupun tidak harus”.42

Secara eksplisit rekonstruksi konsep qat’ï-zannï ini mengancam ketentuan formalitas fiqih. Kecenderungan yang begitu kuat dalam mengubah ketentuan-ketentuan yang bersifat teknis ini, dengan sendirinya akan menanggalkan banyak ‘ketentuan legal formal, karena dipandang tidak lagi sesuai dengan kebutuhan. Dalam hal ini Masdar menyatakan bahwa ketentuan formal legal, bagaimanapun, harus menjadi acuan tingkah laku masyarakat.

Segala persoalan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat harus ditundukkan pada ketentuan formal atau legal yang berlaku dan sah. Akan tetapi, pada saat yang sama, hendaknya selalu disadari sedalam-dalamnya bahwa patokan formal atau legal haruslah selalu tunduk pada cita kemaslahatan yang hidup dalam nurani masyarakat.43

Masdar mencoba menempatkan cita agung kemaslahatan berada di atas patokan formal. Cita kemaslahatan ini mengendalikan arah pernahaman terhadap ketentuan nas yang legal atau formal. Ayat-ayat teknis, aplikatif, dan instrumental itu tidak mengikat, tetapi tidak harus diubah. Sebab, relevansinya masih dapat dipakai pada konteks tertentu.

Namun di sisi lain, terbuka bagi kita untuk membangun tawaran teknis baru, yang akan terasa lebih efektif diaplikasikan Dengan demikian perubahan yang terjadi, semata tergantung pada rasa keadilan kita.44Altematif teknis lain yang mungkin saja dipakai, harus berlandaskan kemasiahatan yang diukur dengan nurani masyarakat tertentu.

D. MASALAH ZAKAT (PAJAK) DAN HAK-HAK REPRODUKSI PEREMPUAN Dua permasalahan yang pembahasannya terlihat cukup komprehensif, serta

40 Masdar F. Mas’udi, ”Meletakkan…,hlm 97; Id., Agama Keadilan …. hlm 17-19, khususnya catatan kaki 5.

41 Ibid., hlm. 97-98.

42 Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak-hak …, hlm.37 dan 39.

43 Idem, “Meletakkan …, hlm 97 ; Id, Agama Keadilan …, hlm 134.

44 Mujamil Qomar, NU Liberal …, hlm. 204.

(6)

menunjukkan aplikasi dari model metode yang dipilihnya adalah masalah zakat (pajak) dan hak- hak reproduksi perempuan. Berikut ini secara berkelindan akan dipaparkan bagaimana ijtihad Masdar mengenai dua hal ini.Berangkat dari konsep qat’ï dan zanni di atas, Masdar coba menawarkan konsep baru tentang zakat (pajak). Dalam analisisnya, zakat merupakaan ajaran pokok Islam, yang paling dekat dengan inti persoalan, yakni ketidakadi1an.45”Ajaran zakat bukanlah ajaran untuk kepentingan umat Islam saja, melainkan adalah ajaran untuk kemaslahatan dan keadilan semesta, untuk rahmatan li al-‘alamin”.46 Inti ajaran zakat yang mutlak, universal, dan tidak berubah adalah: (l) Siapa pun yang mampu harus menginfakkan sebagian kemampuan (rezeki) yang diterimanya.

(2) Kemampuan (rezeki) yang diinfakkan oleh atau dipungut dari yang mampu itu harus ditasarufkan untuk kemaslahatan seluruh anggota masyarakat, dengan memprioritaskan mereka yang lemah.47

Orang-orang non-lslam yang lemah di samping orang-orang Islam sendiri harus mendapat perhatian dalam pembagian zakat yang bakal meringankan beban ekonomi yang mereka derita. Dengan demikian, kemaslahatan yang dimaksudkan adalah kemaslahatan menyeluruh, lintas agama, suku, golongan, dan sebagainya.

Umat Islam, terutama para pemimpin dan ulama, tidak bisa melepaskan tanggung jawab atas terjadinya ketidakadilan semesta yang disebabkan oleh negara. Dengan memisahkan ajaran zakat dari lembaga pajak, umat Islam telah benar-benar memisahkan negara dan agama.48Pemisahan ini menyebabkan umat Islam menanggung beban yang sangat berat karena harus melaksanakan dua macam kewajiban, yaitu menunaikan zakat sebagai kewajiban agama dan membayar pajak sebagai kewajiban warga negara. Akibatnya, kewajiban mengeluarkan zakat selalu terkalahkan.

Relasi antara “zakat” sebagai konsep keagamaan (keruhanian), di satu pihak dan

“pajak” sebagai konsep keduniawian (kelembagaan), di lain pihak, sama sekali bukanlah hubungan dualisme yang dikotomistis, melainkan hubungan keesaan wujud yang dialektis.

Zakat bukanlah suatu yang harus dipisahkan, diparalelkan, dan apalagi dipersaingkan dengan pajak”, melainkan justru harus disatukan sebagaimana disatukannya ruh dengan badan, atau jiwa dengan raga. “Zakat” merasuk ke dalam “pajak” sebagai badan atau raga sebagai proses pengejawantahan. Oleh karena itu, pertanyaan yang menyangkut operasionalisasi dan ketentuan tersebut di atas adalah pertanyaan yang hanya relevan untuk pengaturan pajak, bukan zakat. Zakat adalah soal niat, soal motivasi, soal komitmen spiritual-moral yang ada pada pribadipribadi beriman selaku rakyat yang membayarkan pajaknya.49

Berdasarkan rasa keimanannya itu, orang bukan saja merasa berkewajiban membayar pajak pada atau melalui negara, sekaligus berhak mentransendentasikan pernbayaran pajaknya itu sebagai penunaian zakatnya, hanya dengan “niat” yang dinyatakan dalam hati.50 Pajak yang dilaksanakan dengan niat zakat akan menumbuhkan kesadaran bahwa pajak yang dibayarkan bukan sebagai persembahan atau pembayaran utang kepada negara, melainkan persembahan karena Allah SWT, sesuai dengan perintah-Nya. Ikrar batiniyah ini dapat mengangkat pemberian pajak bersifat duniawi, bernilai ukhrawi, dan sekaligus

45 Masdar F. Mas’udin, Agama Keadilan …, hlm 4.

46 Idem, Zakat Kita definisikan Ulang”, Makalah tidak diterbitkan.

47 “Zakat dan Pajak : Jawaban Masdar Farid Mas’udi Kepada Kiai Kholil Bisri Rembang”. Aula, No. 7 Agustus 1992 hlm 70-71.

48 Ibidm hlm 74.

49 Masdar F. Mas’udi,” Kembalikan Konsep Zakat-Pajak pada Tempatnya”, Aula No. 5 Juni 1992, hlm.

79.

50 Idem, Agama Keadilan …, hlm. 119.

(7)

memberikan efek pembebasan dari keterbudakan oleh negara, atau status kehambaan hanya kepada Allah SWT semata.51

Kronologi pernikiran antara zakat dan pajak ini tidak bisa disalahpahami bahwa Masdar sedang menyamakan zakat dengan pajak. Akan tetapi ia hanya ingin mengatakan bahwa zakat adalah sebuah konsep etik dan moral untuk pajak. Pemikiran tentang zakat dan pajak itu muncul setelah Masdar tertarik untuk mencari bentuk konsep Islam tentang kehidupan sosial itu seperti apa? Kalau harus mencari dalam hukum-hukum Islam, tiada lain kecuali adalah konsep zakat sebagai rukun Islam yang ketiga itu. Ini yang ditelusuri dan untuk menemukan kerangka yang jelas tentang konsep sosial yang terkandung dalam ajaran itu memang harus membongkar dan melengkapi konstelasi terhadap paham-paham dan konsep-konsep zakat yang ada, baik klasik maupun semi modern.

Di samping gagasan integratif itu, bertolak pada substansi keadilan, Masdar mencoba memperluas cakupan harta yang harus dizakatkan (amwål az-zakäf). Untuk zaman sekarang, tidaklah adil jika kita hanya menggunakan pungutan sedekah wajib atas kurma dan anggur, sementara itu, kelapa sawit, apel, kopi, dan tembakau yang tidak kalah ekonomisnya, kita bebaskan begitu saja. Tidak adil juga ketika kita kenakan beban sedekah wajib atas pendapatan sektor pertanian sedangkan dari sektor industri dan jasa justru kita bebaskan.52Jika Nabi Saw. tidak membicarakan, bukan berarti kekayaan-kekayaan itu sudah ada dan berlaku lazim pada masyarakat di sekitar Nabi SAW waktu kehidupannya, tentu akan juga akan dikenakan zakat (pajak), seperti jenis kekayaan yang telah ditentukan.

53Oleh karena itu, tidak perlu lagi memahami barang-barang yang disebut dalam nas, justru yang lebih penting adalah menangkap substansi kewajiban zakat itu sehingga bisa diperluas cakupannya.

Selanjutnya teori qat’ï dan dannï digunakan Masdar untuk mengungkap konsep Islam dan hak-hak reproduksi perempuan. Dalam pandangannya, bias gender kelaki-lakian dalam penafsiran teks keagamaan, telah mengantarkan corak pemahaman yang merugikan bagi hakhak perempuan. Sebuah contoh penafsiran ini adalah ayat istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanam itu bagiaman saja kamt’ kehendaki (QS al-Baqarah (2): 223). Kernungkinan ayat ini lebih dimaksudkan sebagai pemberitahuan tentang kesuburan wanita dari pada tentang seks. Akan tetapi, para ulama menafsirkanya sebagai diktum bahwa wanita (istri) itu dalam keadaan apa pun harus memenuhi keinginan seksual suami.54Sementara itu, suami bisa berbuat bebas sekehandaknya tanpa memperhatikan kepentingan istri dalam hal yang sama (seks). Jika istri menolak ajakan seks suaminya, dikatakan berdosa besar, tatapi tidak pernah diungkapkan adanya dosa yang sama besarnya jika suami menolak kehendak seks istrinya.

Dalam pandangan Masdar adalah pesantren, salah satunya, yang senantiasa mengangkat pola penafsiran yang merugikan hak-hak reproduksi perempuan. Model pemikiran yang menempatkan perempuan pada posisi inferior di hadapan laki-laki, menjadi “wacana pemikiran” yang berkembang cukup luas di kalangan ini. Oleh karena itu metode panyadaran akan hak-hak reproduksi perempuan melalui pendekatan keagamaan penting diterapkan di pesantren. Metode ini dipakai melalui sebuah forum advokasi, suatu proses rekonstruksi atas berbagai penafsiran teks-teks Agama.55Akan tetapi, tentu

51 Idem., “Kembalikan Konsep …, hlm

52 Idem., Meletakkan Kembali …, hlm 98.

53 Idem., Agama Keadilan …, hal 138

54 Masdar Farid Mas’udi Rosalia Siortino dan Lies Marcoes, “Learning From Islam, Advocacy of Reproduction Righs in Indonseia Pesantren”, Studi Islamica, IV, 2, hlm 83-84.

55 Ibid., hlm. 84.

(8)

saja harus ada kesiapan untuk menerima perubahan dan pengembangan wawasan kendati berlawånan dengan yang dimiliki sebelumnya. Kesiapan itu semakin matang jika didasari adanya prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Lebih dari itu perlu juga diperhitungkan perlakuan sejarah selama ini terhadap perempuan, gerakan feminisme dan persepsi masyarakat terhadapnya.

Sebagai justifikasi pensubordinasian perempuan, para ulama mendasarkan pada teologis bahwa kaum laki-laki itu pemimpin dari kaum wanita ( QS al-Nisa’ (4): 34 ).

Kata pemimpin sebagai terjemahan dari kata “qawwãmün” itulah yang ikut menyebabkan pemahaman yang kurang tepat terhadap posisi wanita. Oleh karena itu, Masdar menyesalkan, mengapa qawwäm(ün) yang dinyatakan al-Qur’an tersebut tidak diartikan sama, penopang atau penguat.56Suatu pernaknaan yang akan menuntun suatu kesimpulan yang memposisikan wanita seimbang dengan pria dalam segala segi kehidupan. Mereka akan memperoleh hak-hak yang layak yang selama ini masih dimanipulasi oleh kaum lelaki.

Kata qawwäm dengan pengertian sama, penopang dan penguat itu, dikaitkan dengan kata qawwäm di tempat lain, yaitu pada qawwämüna bi al-qisth..., yang berarti pendukung atau penegak keadilan. Selain itu, jika qawwãm itu diartikan pemimpin akan sangat bergantung pada makna dan kultur politik sosial masyarakat yang bersangkutan.

Pengertian pemimpin pada qawwãm itu terikat pada kultur penafsir. Akan tetapi, kalau qawwãm ‘ala jelas berarti penegak, penguat, dan penopang yang bebas dari keterkaitan itu. Pembebasan pengertian dan keterikatan itu meneguhkan wewenang perempuan yang setara dengan laki-laki. Al-Qur’an sendiri menunjukkan kesetaraan itu, dimana dikatakan bahwa baik laki-laki maupun perempuan diciptakan dari jiwa yang sama (nafs wäþidah).

Jenis kelamin mereka tidaklah terlalu penting sebab yang menentukan kemulyaan derajatnya di sisi Allah SWT adalah ketakwaanya.

Ketika berhubungan seks, pada detik-detik kenikmatannya, istri sama sekali bukan objek, melainkan juga subjek. Tidak adil kalau hanya satu pihak yang merasakan kenikmatannya, sedangkan pihak lain hanya kena getahnya.57Sebaliknya, pekerjaan rumah tangga (memasak, mencuci, memandikan atau menyusui anak, dan merawat rumah ), bukanlah tanggung jawab istri, melainkan tanggung jawab suami sebagai bagian dari nafkah yang harus dibayarkanya.58Padahal, hingga sekarang pekerjaan rutinitas itu menurut hampir semua orang adalah sebagai tugas seorang istri, dan dalam realitasnya selalu dikerjakan oleh istri. Sementara itu, suami banyak bekerja mencari nafkah di luar rumah. Dengan pekerjaan mencari nafkah itu, suami merasa telah menunaikan kewajibanya secara optimal dan selesai.

Mengenai masalah warisan, Masdar menegaskan, (l) terobosan dan modifikasi secara teoretis adalah bisa, dan dalam kondidsi tertentu malah tidak terelakkan. (2) terobosan atau modifikasi itu haruslah tetap berpijak pada ide dasar dari ayat-ayat itu sendiri. (3) syariat dalam QS al-Nisa (4) ayat I antara pewaris pria dan wanita secara teoretis bisa saja dirubah, dimodifikasi.59Pernyataan ini jelas mendukung pernyataan Munawir Sjadzali sebelumnya. Terlepas dari dukungan itu, pernikiran tersebut muncul sebagai rangkaian dari pandangan Masdar yang menempatkan perempuan seimbang dan sebanding dengan laki-laki.

Advokasi Masdar terhadap perempuan secara konseptual juga menyentuh hak-

56 Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak-hak …, 62.

57 Ibid., hlm. 119.

58 Ibid., hal 85.

59 Masdar Farid Mas’udi, “Memahami Ajaran Suci dengan Pendekatan Transformasi”, dalam Iqbal Abdurrauf Saimina (ed), Polemik Reaktualisasi …, 190-191.

(9)

haknya untuk menjadi pernimpin tertinggi (Presiden). Dalam amatan Masdar, anggapan menurut agama bahwa perempuan tidak berhak menjadi pemimpin, semata-mata karena berkelamin perempuan, harus ditinjau kembali. Kepemimpinan bisa dipegang oleh siapa saja asalkan dia mampu.60Kemampuan justru yang mesti dijadikan ukuran boleh tidaknya seorang menjadi Presiden. Pada hakekatnya laki-laki maupun perempuan, memiliki peluang yang sama sehingga boleh bersaing.

Pandangan atau pemikiran yang selama dianut tentang hak-hak reproduksi perempuan, sebagaimana pandangan atau pemikiran lainnya juga tidak bisa tumbuh dari ruang yang kosong, tanpa pengaruh tertentu. Bisa dikatakan ia tumbuh sebagai reaksi terhadap gejala di masyarakat. Dalarn tinjauan Masdar, persoalan relasi laki-laki dan perempuan dalam perspektif demokrasi diyakini adalah prinsip kesetaraan, keadilan, dan nondiskriminasi. Prinsip-prinsip demokrasi itu berpapasan secara kuat, ketika kita melihat relasi gender yang sangat timpang dalam kehidupan masyarakat dan terutama dalam masyarakat beragama, agama apapun yang dipeluk. Semua agama mempunyai persoalan serius mengenai relasi gender, kecuali Islam yang lebih memberikan tempat kepada perempuan. Meskipun masih dipandang bermasalah karena Islam diyakini sebagai agama kemanusiaan yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi, persamaan derajat, dan martabat manusia.

E. PENUTUP

Pemikiran hukum Islam yang digagas oleh Masdar melalui tema “Agama Keadilan”

berangkat dari kegelisahan Masdar tentang tidak ditemukannya konsep klasik Islam tentang kehidupan social yang cukup memadai. Masdar berpandangan bahwa Islam datang untuk menegakkan keadilan di tengah-tengah manusia. Sebagai agama akhir zaman, Islam merupakan agama komprehensif, universal dan sempurna. Kesempurnaan ini, meliputi ajaran spritual dan moralitas individual dan yang terpenting adalah inspirasi dan semacam kerangka dasar untuk suatu tawaran konsep sosial yang memadai bagi suatu zaman atau era modern yang demikian kompleks persoalan kemanusiaannya dalam seluruh dimensi.

Narnun sayangnya ketika kita menengok pada konstruksi pernikiran lama, justru tidak ditemukan mana konsep Islam tentang kehidupan sosial yang dinanti-nanti itu.

Dari sinilah upaya ilmiah dilakukan oleh Masdar. Setelah meyakinkan akan visi dan misi Islam sebagai agama rahmatan lil alamin, selanjutnya Masdar merumuskan paradigma dan metode serta mengimplementasikan keduanya dalam laku ijtihad dalam bidang-bidang zakat, pajak, haji, dan isu-isu perempuan.

Dalam melakukan rekonstruksi konsep qat’i-zanni, Masdar dinilai tuntas oleh banyak kalangan, tak terkecuali demikian penilaian Abdurrahman Wahid.61 Bahkan dalam amatan Martin van Bruinessen, buku dan gagasan Masdar ini dinilai sebagai gagasan dan buku yang paling orisinal dan provokatif yang ditulis oleh orang NU di waktu yang sama.62Sebagai pemikir yang berlatar belakang tradisionalis, Masdar dinilai sukses merekonstruksi konsep ushul fiqh dengan pendekatan dekonstruksi dan hermeneutika.

60 Idem., Islam dan Hak-hak …, hlm 64.

61 Abdurrahman Wahid, “Kasus Penafsiran Ulang yang Tuntas”, Kata Pengantar untuk buku Masdar F.

Mas’Udi, Agama Keadilan : Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, (Jakarta : P3M 1991).

62 Martin van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa,Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta: LKIS, 1994), hlm. 294

(10)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Wahid, “Kasus Penafsiran Ulang yang Tuntas”, Kata Pengantar untuk buku Masdar F. Mas’udi, Agama Keadilan : Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, (Jakarta : P3M 1991).

Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia, dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, (Yogyakarta: LKiS, 2005)

Mansour Faqih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, (Yogyakarta: Insist_Pustaka Pelajar, 2001)

Masdar F. Mas’udi, Agama Keadilan : Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, (Jakarta : P3M 1991).

Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan: Dialog Fiqih Pemberdayaan, (Bandung : Mizan, 1997)

Masdar F. Mas’udi, ”Meletakkan Kembali Maslahah sebagai Acuan Syari’ah” dalam Ulumul Qur’an No. 3 Vol VI 1995.

Masdar F. Mas’udi, “Kembalikan Konsep Zakat-Pajak pada Tempatnya”, Aula No, 1992.

Martin van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian wacana Baru, (Yogyakarta:

LKiS, 1994)

Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqih Mazhab Negara: Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: LKiS, 2003)

Mujamil Qomar, NU Liberal : Dari Tradisionalisme Ahussunnah ke Universalisme Islam, (Bandung : Mizan, 2002)

Iqbal Abdurrauf Saimina (ed), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988)

Referensi

Dokumen terkait

terdekat bagi anak, sehingga kehadiran keluarga dapat memengaruhi kesejahteraan anak. Berdasarkan hasil uraian singkat dari teori dan hasil penelitian, maka hipotesis

Bukan pegawai PNS atau pekerjaan tetap lainnya (guru, pengajar, dosen tetap) dalam masa kontrak dengan pihak manapun pada masa Surat Perjanjian Kerja berlaku,

Pengambilan data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data primer menggunakan metode purposive sampling , pengambilan sampel sedimen, bahan organik,

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam pasal

Dari hasil kegiatan observasi yang dilakukan terhadap siswa kelas VIII SMP Muhamadiyah Mataram menunjukkan bahwa potensi yang ditemukan dalam penelitian ini

Manusia sangat mendambakan kebahagiaan, oleh karena itu hendaknya manusia mencari kebahagiaan tersebut, dan tidak hanya menunggu saja tetapi harus berusaha, namum

Memotret bayi dan anak kecil pada dasarnya tidak bisa dengan paksaan, namun membutuhkan pendekatan khusus, antara lain pendekatan emosional dengan mengakrabkan diri ke mereka, atau

gigi serta manfaat bagi kehidupan anak tunenetra tersebut dalam kehidupan sehari-hari. c) Peneliti menginstruksi tentang teknik atau cara yang harus dilakukan oleh anak