• Tidak ada hasil yang ditemukan

URGENSI PERDA DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "URGENSI PERDA DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

61 URGENSI PERDA DALAM PENYELENGGARAAN

OTONOMI DAERAH

Oleh

Hj. Maryati, SH, MH.

Abstract

Regulation is an inherent with the system of regional autonomy. Because the essence of local autonomy itself is independence and freedom or flexibility.

Independence itself implies that the region has the right to organize and administer the affairs of the household own government. The authority set here means that the area has the right to make legal decisions such legislation later (among others) were named regional regulation.

Regulation is an important instrument in the implementation of regional autonomy. because:

1. With the principle of autonomy in Law. 32 of 2004, it is almost more government affairs diserak = respiratory to operate in areas that require a legally through legislation.

2. Regulation as part of the national legislation, the implementation of autonomy in the regulation of blood is needed for further elaboration of the legislation is higher.

Key Note : Autonomous Region, the Regional Regulation .

A. PENDAHULUAN

Suatu negara kesatuan diakatan menganut asas dan sistem desetralisasi apabila wewenang untuk mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintahan tidak semata-mata dilakukan oleh pemerintah pusat (centeral government) melainkan juga dilakukan oleh satuan-satuan pemerintah tingkat lebih rendah yang mandiri (zelfstandig) ataupun bersifat otonom. Sebaliknya diakatan menganut asas dan sistem setralisasi apabila (singgle centralized government) apabila wewenang untuk mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintahan dilakukan oleh pusat bersama-sama organnya yang dipencarkan di daerah-daerah.1

Desentralisasi menjadi wacana yang menarik di dalam penyelenggaraan pemerintahan dewasa ini. Sebagai sebuah konsep penyelenggaraan pemerintahan, desentralisasi menjadi acuan penting, tidak saja karena alasan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan, namun juga terkait dengan semanagat demokratisasi untuk mendekatkan partisipasi masyarakat dalam

Hj. Maryati,SH.MH. adalah Dosen Tetap PS. Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Batanghari Jambi.

1I Gde Pantja Astawa, Problematika Otonomi Daerah di Indonesia, Bandung : Aluni, 2009, hlm.

26.

(2)

62 penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.2 Pentingnya desentralisasi bagi negara-negara moderen, merupakan sebagai kebutuhan yang mutlak dan tidak dapat dihindari dalam rangka efisiensi-efektivitas, pendidikan politik, stabilitas politik, kesetaraan politik, dan akuntabilitas publik3.

Semangat desentralisasi di Indonesia semakin kokoh sejak dilakukan perubahan UUD 1945. Perubahan kedua (tahun 2000) menghasilkan rumusan baru pasal-pasal yang mengatur pemerintahan daerah, yakni Pasal 18, Pasal 18A dan Pasal 18B. Dalam Pasal 18 ayat (2) ditegaskan bahwa pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Kemudian Pasal 18 ayat (5) mengamanatkan bahwa Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Terkait dengan kewenangan pembentukan peraturan, Selanjutnya dalam ayat (6) dirumsukan bahwa Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan- peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

Dengan perubahan Pasal 18 tersebut, memperlihatkan sejumlah paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Bagir Manan menyebutkan Paradigma yang dimaksud adalah :

1. Pemerintahan daerah disusun dan dijalankan berdasarkan otonomi dan tugas pembantuan (belaka). Di masa depan, tidak ada lagi pemerintahan dekonsentrasi dalam pemerintahan daerah;

2. Pemerintahan daerah disusun dan dijalankan atas dasar otonomi seluas- luasnya. Semua fungsi pemerintahan di bidang administrasi negara (administratief regelen en bestuur) dijalankan oleh Pemerintahan daerah, kecuali yang ditentukan sebagai urusan pusat;

3. Pemerintahan daerah disusun dan dijalankan atas dasar keragaman daerah.

Urusan rumah tangga tidak perlu seragam. Perbedaan harus dimungkinkan baik atas dasar kultural, sosial, ekonomi, geografi dan lain sebagainya.

4. Pemerintahan daerah disusun dan dijalankan dengan mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat (adatrechts gemeenschap) dan berbagai hak tradisionalnya. Satuan pemerintahan asli dan hak-hak masyarakat asli atas bumi, air dan lain-lain wajib dihormati untuk sebesar- besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat setempat;

5. Pemerintahan daerah disusun dan dijalankan berdasarkan sifat atau keadaan khusus atau istimewa tertentu. Sifat atau keadaan khusus tertentu baik atas dasar kedudukan (seperti Ibu Kota Negara), kesejahteraan (seperti D.I Yogyakarta), atau karena keadaan sosial kultural (seperti D.I Aceh);

6. Anggota DPRD dipilih langsung dalam satu pemilihan umum. Di masa depan tidak ada lagi anggota DPRD (begitu juga anggota DPR) yang diangkat;

7. Hubungan Pusat dan Daerah dilaksanakan secara selaras dan adil.4

2 Koirudin, Sketsa Kebijakan Desentralisasi di Indonesia, Averoes Pres, Malang 2005, hlm. 1.

3 Syaukani HR, et.al., Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hlm. 21-31.

4 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH), Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2002, hlm.229.

(3)

63 Apabila dicermati ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 pasca perubahan, maka dalam penyelenggaraan otonomi darah daerah akan ikut menentukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Pengaturan lebih lanjut tentang otonomi darah dilakukan dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Sehubungan dengan hal menarik untuk ditelaah bagaimana kedudukan Peraturan Daerah (Perda) dalam penyelenggaraan ononomi daerah.

B. Aspek Teoretik Desentralisasi

Secara normatif, desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan. Desentralisasi sebagai suatu sistem yang dipakai dalam sistem pemerintahan merupakan kebalikan dari sentralisasi.

Dalam sistem sentralisasi, kewenangan pemerintah baik di pusat maupun di daerah, dipusatkan dalam tangan pemerintah pusat.5

Menurut pandangan Amrah Muslimin6 dalam melakukan pemerintahan secara luas, pemerintah (dalam arti luas) berpegang pada dua macam asas, yaitu asas keahlian dan asas kedaerahan. Asas kedaerahan mengandung dua macam prinsip pemerintahan, yaitu dekonsentrasi dan desentralisasi. Adapun dalam pandangan Irawan Soejito,7 bentuk desentralisasi dapat dibagi ke dalam tiga macam, yaitu desentralisasi teritorial, desentralisasi fungsional, desentralisasi administratif atau lazim disebut dekonsentrasi.

Pada umumnya, hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah berdasarkan atas tiga asas yaitu, asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan asas tugas pembantuan. Dalan asas desentralisasi ada penyerahan wewenang sepenuhnya dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah tentang urusan tertentu, sehingga pemerintah daerah dapat mengambil prakarsa sepenuhnya baik yang menyangkut kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, maupun pembiayaan. Pada asas dekonsentrasi yang terjadi adalah pelimpahan wewenang kepada aparatur pemerintah pusat di daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah pusat dalam arti bahwa kebijakan, perencanaan, dan biaya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, sedangkan aparatur pemerintah pusat di daerah bertugas melaksanakan8.

Mengenai hubungan desentralisasi dengan dekonsentrasi, Ateng Syafrudin9 mengemukakan bahwa diantara tipe desentralisasi yang telah dicoba di dalam negara-negara yang telah maju dapat dikategorikan ke dalam

5 Soetidjo, Hubungan Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah.. PT. Rineka Citpta, Jakarta 1990, hlm. 56.

6 Amrah Muslimin, Aspek-Aspek Hukum otonomi Daerah, Alumni, Bandung 1982, hlm.4

7 Irawan Soejito, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Rineka Cipta, Jakarta.

1992, hlm. 71

8 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, PT. Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 2001, hlm.93.

9 Ateng Syafrudin, Mengarungi Dua Samudera; Setengah Abad Pemikiran Seorang Pamongpraja

& Ilmuwan Hukum Tata Pemerintahan, SAYAGATAMA, Bandung, 2006, hlm. 214-215.

(4)

64 4 (empat) tipe, yaitu; (a) Dekonsentrasi; (b) Delegasi; (c) Devolusi; dan (4) Privatisasi.

Menurut S.H. Sarundajang, dilihat dari sifat keuniversalan pemerintahan daerah (local self government) di beberapa negara, terkandung di ciri-ciri sebagai berikut.10

1. Segala urusan yang diselenggarakan merupakan urusan yang sudah dijadikan urusan-urusan rumah tangga sendiri, oleh sebab itu urusan- urusannya perlu ditegaskan secara terinci;

2. Penyelenggaraan pemerintahan dilaksanakan oleh alat perlengkapan yang seluruhnya bukan terdiri dari para pejabat pusat, tetapi pegawai pemerintah daerah;

3. Penanganan segala urusan itu seluruhnya diselenggarakan atas dasar inisiatif atau kebijaksanaan sendiri;

4. Hubungan pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah yang mengurus rumah tangga sendiri adalah hubungan pengawasan saja;

5. Seluruh penyelenggaraan pada dasarnya dibiayai dari sumber keuangan sendiri.

Dilihat dari kekuasaan pemerintahan daerah otonom, maka pemerintahan dapat dibedakan menjadi tiga kelompok:11

(1) Pemerintahan dalam arti sempit yaitu penyelenggaraan kekuasaan eksekutif atau administrasi negara.

(2) Pemerintahan dalam arti agak luas yaitu penyelenggaraan kekuasaan eksekutif dan legislatif tertentu yang melekat pada pemerintahan daerah otonom.

(3) Pemerintahan dalam arti luas yang mencakup semua lingkungan jabatan negara di bidang eksekutif, legislatif, yudikatif, dan lain sebagainya.

Hubungan pusat dengan daerah dalam sistem otonomi pada dasarnya hanya menyangkut hubungan di bidang penyelenggaran administrasi negara.

Meskipun kepada daerah (otonom) diberi wewenang mengatur sehingga perlu diadakan DPRD sebagai kekuasaan legislatif daerah, tidak akan menghapus dasar hubungan pusat dengan daerah yang terbatas di bidang administrasi negara. Peraturan daerah sebagai bentuk peraturan perundang-undangan tingkat daerah hanya terbatas mengatur hal-hal di bidang administrasi negara, tidak di bidang ketatanegaraan. Peraturan daerah bersifat administratiefrechtlijk tidak bersifat staatsrechtelijk, karena hanya berfungsi mengatur kekuasaan daerah otonom di bidang administrasi negara. Di sinilah antara lain perbedaan dasar hubungan antara pusat dengan negara bagian dalam bentuk negara federal.

Hubungan ini lebih bersifat ketatanegaraan. Hubungan yang bersifat administrasi kalaupun ada sangat terbatas.12

C. Kedudukan Perda Dalam Sistem Perundang-Undangan

Dalam kepustakaan hukum, peraturan perundang-undangan

10 S.H. Sarundajang, Op.Cit., hlm. 27.

11 Bagir Manan, Op.Cit., hlm.103-104.

12 Ibid.

(5)

65 memiliki berbagai ragam pengertian. A. Hamid S. Attamimi mengartikan peraturan perundang-undangan sebagai wet in materiels zin, atau dalam konsep hukum Belanda disebut wettelijke regeling. Kata "wettelijk"

menurut A. Hamid S. Attamimi berarti sesuai dengan wet atau berdasarkan wet. Kata "wet" pada umumnya diterjemahkan dengan

"undang-undang" dan bukan "undang". Sehubungan dengan kata dasar

"undang-undang", maka terjemahan "wettelijke regeling" ialah peraturan perundang-undangan.13

Buys mengartikan peraturan perundang-undangan dang-undangan sebagai peraturan yang yan mengikat secara umum (algemeen hindende voorschriften). Sedangkan Logemann menambahkannya dengan rumusan peraturan-peraturan yang mengikat secara urnum dan berdaya laku ke luar.14

B e rd asa rk an pa nd ang an t e rse bu t, mak a Undang-Undang Dasar, Ketetapan MPR dan Keputusan MPR pada hakikatnya adalah peraturan perundang-undangan. Berbeda dengan Pandangan ini Maria Farida Indrati Soeprapto15 mengelompokkan jenis-jenis peraturan perundang- undangan di Negara Indonesia sebagai berikut :

A. Peraturan Perundang-undangan di Tingkat Pusat :

1. Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang

2. Peraturan Pemerintah 3. Keputusan Presiden 4. Keputusan Menteri

5. Keputusan Kepala Lembaga Pemerintah Non-Departemen 6. Keputusan Direktur Jenderal Departemen

7. Keputusan Kepala Badan Negara

B. Peraturan Perundang-undangan di Tingkat Daerah 1. Peraturan Daerah Tingkat I

2. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I 3. Peraturan Daerah Tingkat II

4. Keputusan Bupati/Walikota Kepala Daerah Tingkat III.

Dengan pengelompokkan tersebut, maka menurut Maria Farida Indrati Soeprapto UUD 1945, Ketetapan MPR dan Keputusan MPR tidak termasuk sebagai peraturan perundang-undangan, Maria Farida Indrati Soeprapto mengelompokkan Ketetapan MPR, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah sebagai peraturan perundang-undangan.16

A . H a m i d S . A t t a m i m i b e r p e n d a p a t t i d a k t e p a t mengelompokkan UUD 1945 dan Ketetapan MPR ke dalam jenis peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu menurutnya tata susunan peraturan perundang-undangan ialah berturut-turut dari atas ke bawah sebagai berikut:

13 A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presider Republik Indonesia Dalam Pen.yelenggataan Pemerintahan Negara, (Disertasi), UI-Jakarta, 1990, hlm. 200.

14 Rosjidi Rangga Widjaja, Pedoman Teknik Perancangan peraturan Perundang- undangan, Cita Bhakti Akademika. Bandung, 1996, hlm. 9.

15 Mar i a Far i d a In dr at i Soep r a pt o, Il mu Pe ru n d an g - u n d an g a n Da sa r - Da sa r d a n Pembentukonnya, Kanisius. Yogyakarta, 1998, hal. 91-92.

16 Ibid.

(6)

66 1. Undang-undang dan PERPU yang disamakan kedudukannya dengan

Undang- undang;

2. Peraturan Pemerintah;

3. Keputusan Presiders;

4. Keputusan Menteri;

5. Keputusan Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen, 6. Keputusan Direktur Jenderal Departemen;

7. Keputusan Kepala Badan Negara di luar jajaran Pemerintah yang dibentuk dengan Undang-undang;

8. Peraturan Daerah Tingkat I,

9. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I;

10. Peraturan Daerah Tingkat II

11. Keputusan Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II.17

Menurut Pasal 1 butir (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1999 disebutkan, bahwa peraturan perundang-undangan adalah suatu peraturan yang mengikat umum di bawah undang-undang.

Di dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 (yang, kini telah dihapus), tidak didefinisikan apa yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan itu, akan tetapi dengan mencermati tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia sebagaimana tersebut dalam Pasal 2 Ketetapan MPR itu, maka dapatlah dikemukakan, bahwa termasuk dalam pengertian peraturan perundangundangan Negara Republik Indonesia adalah

1. UUD 1945, 2. Ketetapan MPR;

3. Undang- undang;

4. Peraturan Pemerintah Perigganti Undang-undang, 5. Peraturan Pemerintah;

6. Keputusan Pemerintah;

7. Peraturan Daerah.18

Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan jenis enis dan hierarkhi peraturan Perundang-undangan telah ditentukan sebagai berikut:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.- 3. Peraturan Pemerintah;

4. Peraturan Presiders;

5. Peraturan Daerah.

Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

17 A. Hamid S. Attamimi, op. cit., hal. 289-290.

18 Termasuk dalam jajaran Peraturan Daerah mentinit Ketatapan MPR No.

III/MPR/2000 ini adalah Peraturan Desa atau yang setingkat. Lihat Pasal 3 ayat (7) butir c.

(7)

67 menyatakan, bahwa Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi :

a. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama dengan Gubernur;

b. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota bersama dengan Bupati/Walikota;

c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama dengan Kepala Desa atau nama lainnya.

Asas peraturan perundang-undangan merupakan faktor penting dalam pembentukan dan pelaksanaan peraturan. Berdsarkan Pasal 5 Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 Dalam membentuk Peraturan Perundang- undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan Peraturan Perundang- undangan yang baik yang meliputi :

a. kejelasan (ujuan;

b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat:

c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan;

d. dapat dilaksanakan

e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;

f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan.19

19 Dalam penjelasan Pasal 5 disebutkan:

huruf a

Yang dimaksud dengan "kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan batas mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.

Huruf b

Yang dimaksud dengan asas "kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat"

adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.

Huruf c

Yang dimaksud dengan asas "kesesuaian antara jenis dan materi muatan" adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis Peraturan Perundang-undangannya.

Huruf d

Yang dimaksud dengan asas "dapat dilaksanakan" adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas Peraturan Perundang-undangan tersebut didalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.

Huruf e

Yang dimaksud dengan asas "kedayagunaan dan kehasilgunaan" adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Huruf f

Yang dimaksud dengan asas "kejelasan rumusan" adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan

(8)

68 D. Urgensi Perda Dan Otonomi Daerah

Seiring dengan kebijakan desentralisasi yang memberikan otonomi luas kepada daerah, maka akan banyak urusan daerah yang perlu diatur dalam Perda, sebagai konsekuensinya akan menambah jumlah Perda yang di dalamnya mengndung sanksi pidana. Dalam koneks ini I Gde Pantja Astawa, mengemukakan bahwa:

Dalam perspektif Hukum Pemerintahan Daerah, keberadaan Perda tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan otonomi daerah. Perda sebagai perangkat ataupun instrumen dan sebagai salah satu produk hukum daerah merupakan suatu yang inheren dengan sistem otonomi daerah.

Dikatakan demikian, karena esensi otonomi daerah itu sendiri adalah kemandirian dan kebebasan ataupun keleluasaan (zelfstandigheid) dan bukan suatu bentuk kebebasan sebuah satuan pemerintahan yang merdeka (onafhankelijkheid). Kemandirian itu sendiri mengandung arti bahwa daerah berhak mengatur dan mengurus urusan rumah tangga pemerintahnya sendiri. Kewenangan mengatur di sini mengandung arti bahwa daerah berhak membuat keputusan hukum berupa peraturan perundang-undangan yang kemudian (antara lain) diberi nama Peraturan Daerah.20

Pengaturan tentang Perda dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 antara lain ditemui dalam Pasal 136, yang mementukan bahwa Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD.

Materi muatan Perda meliputi: pertama, penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/ kabupaten/kota dan tugas pembantuan. Kedua merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.21

Merujuk pada ketentuan tersebut, jelaslah bahwa Perda merupakan isntrumen penting untuk menjamin terselenggaranya otonomi daerah. Karena dengan prinsip otonomi luas dalam UU No. 32 Tahun 2004, maka hampir semua urusan pemerintahan menjadi urusan pemerintah daerah, kecuali bidang yang secara khusus tidak diserahkan kepada daerah, yaitu :

a. politik luar negeri;

Perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta Bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berhagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

Huruf g

Yang dimaksud dengan asas "keterbukaan" adalah bahwa dalam proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan. dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses Pembuatan Peraturan Perundang-undangan.

20 I Gde Pantja Astawa, Problematika ..., Ibid., hlm. 294.

21 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

(9)

69 b. pertahanan;

c. keamanan;

d. yustisi;

e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama.

Berdasarkan Pasal 3 PP No. 38 tahun 2008 maka urusan tersebut meliputi urusan wajib dan urusan pilihan.urusan wajib meliputi:

a. pendidikan;

b. kesehatan;

c. pekerjaan umum;

d. perumahan;

e. penataan ruang;

f. perencanaan pembangunan;

g. perhubungan;

h. lingkungan hidup;

i. pertanahan;

j. kependudukan dan catatan sipil;

k. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;

l. keluarga berencana dan keluarga sejahtera;

m. sosial;

n. ketenagakerjaan dan ketransmigrasian;

o. koperasi dan usaha kecil dan menengah;

p. penanaman modal;

q. kebudayaan dan pariwisata;

r. kepemudaan dan olah raga;

s. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;

t. otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian;

u. pemberdayaan masyarakat dan desa;

v. statistic;

w. kearsipan;

x. perpustakaan;

y. komunikasi dan informatika;

z. pertanian dan ketahanan pangan;

Sedangkan urusan pilihan meliputi:

a. kehutanan;

b. energi dan sumber daya mineral;

c. kelautan dan perikanan;

d. perdagangan; dan e. perindustrian.

Dengan semakin luasnya kewenangan dareah, maka sebanyak itu pula urusan yang perlu diatur dalam Perda. Selain itu Perda juga dibentuk sebagai penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan sistem perundang-undangan di Indonesia. Menurut Maria Farida Indrati S dalam sistem norma hukum

(10)

70 negara22, peraturan perundang-undangan tingkat daerah merupakan bagian yang takterpisahkan dari kesatuan sistem perundang-undangan secara nasional.23

Lebih lanjut menurut Maria Farida Indrati S, sejak lahirnya Republik Indonesia dan ditetapkannya UUD 1945 sebagai konstitusi maka terbentuk sistem norma negara. Dengan merujuk pada teori jenjang norma (Stufentheorie) dari Hans Kelsen dan teori jenjang norma hukum (die Theorie vom Stufentordnung der Rechtsnormen) dari Hans Nawiasky, maka dalam sistem norma hokum Negara Republik Indonesia norma-norma hukum yang berlaku berada dalam suatu sistem yang berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, sekaligus berkelompok-kelompok, suatu norma itu selalu berlaku bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, dan norma yang lebih tinggi berlaku bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma dasar negara (Staatsfundamentalnorm). Di dalam sistem norma hukum Negara Republik Indonesia Pancasila merupakan Norma Fundamental Negara yang merupakan norma hukum yang tertinggi, dan kemudian diikuti oleh Batang Tubuh UUD 1945, Ketetapan MPR serta Hukum Dasar tidak tertulis atau Konvensi Ketatanegaraan sebagai Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara (staatsgrundgesetz), Undang- Undang (formell Gesetz) serta Peraturan Pelaksanaan dan Peraturan Otonom (Verordnung & Autonome Satzung) yang dimulai dari Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden Keputusan Menteri, dan peraturan pelaksanaan serta peraturan otonom lainnya24.

Berdasarkan Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dalam ayat (1) disebutkan bahwa Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.25 E. Penutup

Perda sebagai perangkat ataupun instrumen dan sebagai salah satu produk hukum daerah merupakan suatu yang inheren dengan sistem otonomi daerah. karena esensi otonomi daerah itu sendiri adalah kemandirian

22 Maria Farida Indriati, Ilmu Perundang-Undangan I, Yogyakarta:Kanisius, 2007, hlm.57.

23 I Gde Pantja Astawa, Problematika ..., Op.. Cit, hlm. 301.

24 Maria Farida Indriati, Loc. Cit.

25Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan. Di dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan yang berlaku sebelumnya, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak termasuk ke dalam hirarkhi peraturan perundang-undangan. Selain itu juga tidak ada pembedaan kan hirakhi Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

(11)

71 dan kebebasan ataupun keleluasaan. Kemandirian itu sendiri mengandung arti bahwa daerah berhak mengatur dan mengurus urusan rumah tangga pemerintahnya sendiri. Kewenangan mengatur di sini mengandung arti bahwa daerah berhak membuat keputusan hukum berupa peraturan perundang-undangan yang kemudian (antara lain) diberi nama Peraturan Daerah.

Perda merupakan instrumen penting dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Karena:

1. Dengan prinsip otonomi luas dalam UU No. 32 Tahun 2004, maka hampir semakin banyak urusan pemerintahan yang diserak=hkan kepada daerah yang dalam penyelenggaraannya memerlukan legalitasnya melalui Perda.

2. Perda sebagai bagian dari sistem perundang-undangan nasional, maka dalam penyelenggaraan otonomi darah Perda diperlukan untuk penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

F. Daftar Pustaka

A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presider Republik Indonesia Dalam Pen.yelenggataan Pemerintahan Negara, (Disertasi), UI-Jakarta, 1990.

Ateng Syafrudin, Mengarungi Dua Samudera; Setengah Abad Pemikiran Seorang Pamongpraja & Ilmuwan Hukum Tata Pemerintahan, SAYAGATAMA, Bandung, 2006

Amrah Muslimin, Aspek-Aspek Hukum otonomi Daerah, Alumni, Bandung 1982.

Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH), Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2002.

Irawan Soejito, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Rineka Cipta, Jakarta. 1992.

I Gde Pantja Astawa, Problematika Otonomi Daerah di Indonesia, Bandung : Aluni, 2009.

Koirudin, Sketsa Kebijakan Desentralisasi di Indonesia, Averoes Pres, Malang 2005.

Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan Dasar- Dasar dan Pembentukonnya, Kanisius. Yogyakarta, 1998.

---, Ilmu Perundang-Undangan I, Yogyakarta:Kanisius, 2007

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, PT. Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 2001.

Rosjidi Rangga Widjaja, Pedoman Teknik Perancangan peraturan Perundang- undangan, Cita Bhakti Akademika. Bandung, 1996.

Soetidjo, Hubungan Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah.. PT. Rineka Citpta, Jakarta 1990.

Syaukani HR, et.al., Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Referensi

Dokumen terkait

Dikisahkan oleh Al-Sada dari Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas dan para sahabat Rasulullah SAW. yang lainnya bahwa ketika kaum amalaqoh dapat mengalahkan Bani Israil atas tanah Gaza

Intensitas naungan hingga 75% menyebabkan peningkatan tinggi tanaman dan spesifik luas daun, tetapi mengurangi jumlah dan luas daun, laju penyerapan cahaya (PAR), laju

digunakan oleh guru adalah PBL dan iquiry. Pemilihan model pembelajaran ini ditentukan berdasarkan materi yang sedang diajarkan, serta kondisi dan kemampuan

Number of panicles per plant, panicle length, 1000 g of grain weight, percentage of filled grain per panicle, protein content, and grain yield were correlated by

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan anugerahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kemampuan

sudah terasa agak remah sejak hari ke-25. Sangat berbeda dengan kompos P3, kompos kontrol yang dibuat dengan campuran 1 Kg daun jati kering dengan air sumur ini

Selama ini kualitas Pekerjaan yang diberikan oleh Pegawai Kecamatan XIII Koto Kampar cukup baik itu dapat dilihat dari pendapat masyarakat yang menggunakan jasa

17 dan biaya yang ditanggung perusahaan menjadi lebih besar sehingga akan menjadi semakin sensitif return saham perusahaan terhadap perubahan tingkat suku bunga, akan