HUBUNGAN ANTARA KELEKATAN TERHADAP IBU DENGAN TINGKAT STRES PADA MAHASISWA PERANTAU
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi
Disusun Oleh :
Disusun oleh:
Zelda Annisa Pricianee Hary 129114154
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
HALAMAN MOTTO
TAKUT AKAN TUHAN ADALAH PERMULAAN PENGETAHUAN,
TETAPI ORANG BODOH MENGHINA HIKMAT DAN DIDIKAN.
AMSAL 1 : 7
JANGAN SEORANGPUN MENGGANGAP ENGKAU RENDAH
KARENA ENGKAU
MUDA
. JADILAH TELADAN BAGI
ORANG-ORANG PERCAYA, DALAM PERKATAANMU,
DALAM TINGKAH LAKUMU, DALAM KASIHMU, DALAM
KESETIAANMU DAN DALAM KESUCIANMU.
1 TIMOTIUS 4 : 12
DREAM ,
BELIEVE,
AND MAKE IT HAPPEN.
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
My Lord Jesus, My Savior, My Provider, My Prince of
Peace. Hasil karya ini merupakan salah bukti dari
penyertaanMu dalam hidupku. Sekiranya dapat bermanfaat
bagi siapapun yang membaca. Amin
The love of my life:
Papaku, Hary Tresna Priana Wibisono
Mamaku, Rency Kalsum Latjeno
Kakakku, Luigie Enry Rheinan Hary
Adikku, Biaggi Rakhmat Rheinan Hary
Tidak lupa juga, kepada orang
-
orang yang selalu
mendorongku untuk cepat lulus.
vii
HUBUNGAN ANTARA KELEKATAN TERHADAP IBU DENGAN TINGKAT STRES PADA MAHASISWA PERANTAU
Zelda Annisa Pricianee Hary ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara kelekatan terhadap ibu dengan tingkat stres pada mahasiswa perantau. Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan negatif antara kelekatan terhadap ibu dengan tingkat stres pada mahasiswa perantau. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan metode korelasional. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 258 mahasiswa perantau yang tidak tinggal bersama dengan orang tua, khususnya ibu. Dalam penelitian ini, tingkat stres diukur dengan tiga skala yang telah diadaptasi, yakni skala Symptoms of Stress (SOS) dengan koefisien reliabilitas hasil uji coba ( = 0.83); skala The Inventory of Students’ Recent Life Experiences (ICSRLE) dengan koefisien reliabilitas hasil uji coba ( = 0.93); dan skala Perceived Stress Scale (PSS) dengan koefisien reliabilitas hasil uji coba ( = 0.81). Kelekatan terhadap ibu diukur dengan adaptasi skala Inventory of Parent and Peer Attachment (Mother Version) dengan koefisien reliabilitas hasil uji coba ( = 0.86). Hasil uji korelasi product moment secara berturut-turut antara kelekatan terhadap ibu dengan SOS, ICSRLE, dan PSS adalah r = -0.192 (p= 0.01), r = -0.356 (p = 0.00), dan r = -0.140 (p = 0.12)., sehingga hipotesis diterima. Kesimpulan dari penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara kelekatan terhadap ibu dengan tingkat stres pada mahasiswa perantau.
viii
CORRELATION BETWEEN ATTACHMENT TO MOTHERS AND STRESS LEVEL ON SOJOURNER COLLEGE STUDENTS
Zelda Annisa Pricianee Hary ABSTRACT
This research aimed to know the correlation between attachment to mothers and stress level on sojourner college students. Hypothesis that proposed in this research, there is a negative correlation between attachment to mothers and stress level on sojourner college students. This
research was quantitative study using a correlation method. Participants were 258 sojourner who are currently not living with their parents, more specifically their mother. In this
research, stress level measured using three adapted scale which were The Symptoms of Stress (SOS) with a reliability coefficient of ( = 0.83) through try-outs; The Inventory of College Students’ Recent Life Experiences (ICSRLE) with a reliability coefficient of ( = 0.93) through try-outs; and The Perceived Stress Scale (PSS) with a reliability coefficient of ( = 0.81) through try-outs. The mother-child attachment was measured with Inventory of Parent and Peer Attachment (Mother Version) scale, with a ( = 0.86) reliability coefficient through try-outs. The results of a product moment correlation method that were tested on the mother-child attachment wit SOS, ICSRLE, and PSS, were r = -.192 (p = 0.01), r = -0.356 (p = 0.00), and r = -0.140 (p = 0.12) so the hypothesis in this research was accepted. The conclusion, there is a negative correlation between attachment to mothers and stress level on sojourner college students.
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur aku panjatkan to The One and Only My Lord Jesus. Berkat
penyertaanMu aku berhasil menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih karena
Engkau telah memperlancar dan mempermudah segala sesuatunya, sehingga aku
bisa sampai saat ini. Biarlah ini bukan untuk kesombonganku, melainkan hanya
untuk kemuliaan namaMu saja Tuhan. Sertailah aku menuju tahap selanjutnya,
dan biarlah apapun yang aku lakukan selalu Engkau buat berhasil dan beruntung.
Amin.
Terkhusus ucapan terima kasih kepada keluargaku tercinta, my core support
system. Papaku, Hary Tresna Priana Wibisono. Terima kasih karena papa selalu memberikan nasehat dan ajaran-ajaran yang berguna untuk kehidupanku.
Mamaku, Rency Kalsum Latjeno. Role model-ku, wanita terkuat yang pernah aku
ketahui, and The Best Mom in The World. Kakakku, Luigie Enry Rheinan Hary. Makasi ya mas selalu bareng aku dari TK sampe kuliah. Adikku, Biaggi Rakhmat
Rheinan Hary. Gendutnya aku yang selalu nyebelin tapi ngangenin. Terima kasih
atas cinta kalian semua. I LOVE YOU ALL! Ohana means family, family means
nobody gets left behind or forgotten.
Terima kasih kepada seluruh jajaran dekanat, Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto,
M. Si, selaku dekan Fakultas Psikologi. Bapak Paulus Eddy Suhartanto, M.Si.,
selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi.
Terima kasih kepada Dosem Pembimbing Akademik saya selama ini, Ibu
xi
Wahyudi M.Si. Terima kasih juga saya ucapkan kepada seluruh jajaran dosen
pengajar di Fakultas Psikologi Univesitas Sanata Dharma.
Terima kasih kepada Bapak C. Siswa Widyatmoko, M.Psi yang telah
bersedia menjadi dosen pembimbing skripsi ini. Terima kasih juga karena selalu
bisa menghilangkan perasaan cemas saya terhadap penelitian saya pak. Saya
selalu mengingat nasehat bapak “Lakukanlah apapun yang kamu mau, selama
langkah yang kamu pilih tidak menyesatkan (penelitian) dirimu”
Terima kasih kepada para dosen penguji saya, Ibu Ratri Sunar Astuti, M. Si
dan Bapak Edward Theodorus, M. App. Psy. Terima kasih karena sudah
memberikan banyak masukan untuk skrispi saya menjadi lebih baik dan
bermanfaat.
Rasa terima kasih juga saya ucapkan kepada Bapak Yohanes Babtista Cahya
Widiyanto M.Psi selaku Kepala Laboratorium Psikologi tahun 2015, Mas Muji
selaku laboran dan teman-teman student staff, yang telah memberiku banyak pelajaran selama aku menjadi student staff di Laboratorium Psikologi. Terima kasih atas kenangan bersama selama satu tahun.
Terima kasih kuucapkan untuk sosok lelaki dalam hidupku, Richard
Alexander. Terima kasih karena selalu menguatkanku disaat aku lelah
menghadapi tantangan-tantangan dalam hidupku. Terima kasih karena telah
mengajariku banyak hal untuk mencintai dan dicintai. Terima kasih karena selalu
sabar denganku. Terima kasih untuk canda, tawa, kesal, sedih, senang, dan
xii
Terima kasih juga kuucapkan kepada sahabat-sahabatku “HELIKOPTER”. Erlin Sanjaya S. Psi, a half of me. Makasi ya lin karena selalu bareng dan saling mendukung dimanapun dan kapanpun. Claudia Kartika Panutan S. Psi, The independent woman. Thank you for our madness moments we made, and “the
talk” together. Priscilla Fanifati Zebua S. Psi, The Brain. Makasi ya fan udah
mau selalu membagi kepintaranmu untuk aku. Angger Aprie Wibawa S. Psi, The
Man. Makasi ya prek udah mau jadi yang paling ganteng sendiri diantara kita semua. Sekali lagi terima kasih atas persahabatan, dukungan, kegilaan, tawa,
canda, kebodohan, dan semua momen yang udah kita lewatin bareng. Aku
berharap persahabatan kita selalu seperti “helikopter” yang sejauh manapun atau setinggi apapun ia terbang, ia pasti selalu mendarat. Begitu pula dengan kita,
sejauh manapun kita pergi untuk meraih kesuksesan masing-masing, kita akan
selalu kembali “pulang” Terima kasih karena sudah menjadi rumah bagiku. Stay together, always forever ya guys. God Bless you all <3
Terima kasih untuk my unbiological sisters, Ni Luh Made Utari Praharsini S.
Psi dan Valeria Satwika Anindita S. Psi. Terima kasih sudah hadir dalam
hidupku. Thank you for sharing and caring each other. GBU always sissy
Terima kasih untuk keluarga Psychology Basketball USD. Ko Ching, Abang
Martin, Kak Ochy, Mas Moundri, Kak Yatim, Ko Albert, Mas Parto, Ko Akeng,
Mbak Tina, Mbak Ruthi, Mbak Angga, Mbak Novi, Cicik Stephanie, Mbak Sita,
Kak Monic, Kak Randy, Kak Ayik, Kak Yoan, Mbak Betrik, Radit, Yosua, Nia,
xiii
belum aku sebut. Terima kasih karena sudah menghiasi kehidupan perkuliahanku
selama 4 tahun ini.
Terima kasih untuk orang-orang yang telah membantuku dan bertukar pikiran
Ko Akeng, Ko Natan, Mas Igna. Kepada seluruh orang-orang yang telah mengisi
kehidupan kuliahku, Anggota Keamanan AKSI 2013, 2014, dan 2016, terima
kasih sudah menjadikan aku sebagai keamanan sejati. “geng kobra” tetep edan ya kalian semua! , “geng crocodile drugs” tetep solid ya kalian!, “trah 2010” terima kasih mas-mas dan mbak-mbak!, “teman-teman bimbingan dengan Pak Siswa” semangat ya guys! “kelas D 2012” terima kasih karena sudah mempercayakan aku sebagai menteri olahraga buat kalian. “geng Bali” terima kasih karena selalu membuat saya merasa seperti di Bali. Tidak lupa juga untuk teman pertamaku saat
pertama kuliah, Tiara Luwita Assa S. Psi. Walaupun sekelas deng ngana cuma
satu semester, tapi ngana akan selalu kita ingat!
The last but not least, untuk semua teman-teman angkatan 2012 “PSY012” terima kasih untuk semua kebersaman dan kenangan-kenangan yang udah kita
lewatin bareng selama empat tahun. Suatu saat nanti kalian akan menjadi bagian
dari rangakain cerita kepada anak dan cucuku. Sukses untuk kita semua! *cheers*
tidak lupa juga kepada teman-teman yang telah hadir untuk memberi dukungan
pada saat proses pendadaran atau sidang skripsi. Terima kasih untuk
makanan-makanan yang enak dan bunga-bunga yang indah-indah. That means so much for
me
Saya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
xv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xv
DAFTAR TABEL ... xix
DAFTAR LAMPIRAN ... xxi
DAFTAR GAMBAR ... xxii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 12
C. Tujuan Penelitian ... 12
D. Manfaat Penelitian ... 12
1. Manfaat Teoritis ... 12
xvi
BAB II. LANDASAN TOERI ... 14
A. Stres... 14
1. Definisi Stres ... 14
2. Faktor Psikologis yang Mempengaruhi Stres ... 16
B. Stres Sebagai Respon ... 18
C. Stres Sebagai Stimulus ... 20
D. Stres Terkait Cognitive Appraisal ... 21
E. Kelekatan Terhadap Ibu ... 23
1. Definisi Kelekatan ... 23
2. Mekanisme Terjadinya Kelekatan Terhadap Ibu ... 25
3. Aspek Kelekatan Terhadap Ibu ... 26
4. Dampak dari Kelekatan Terhadap Ibu ... 28
5. Jenis Kelekatan ... 30
F. Mahasiswa Perantau... 31
1. Definisi Mahasiswa Perantau ... 31
2. Faktor-Faktor Perubahan pada Mahasiswa Perantau ... 31
G. Hubungan Antara Kelekatan Terhadap Ibu dengan Tingkat Stres Pada Mahasiswa Perantau ... 33
E. Skema Penelitian ... 38
F. Hipotesis Penelitian ... 39
BAB III. METODE PENELITIAN ... 40
A.Jenis Penelitian... 40
xvii
C. Definisi Operasional ... 40
1. Stres... 41
2. Kelekatan Terhadap Ibu ... 42
D. Subjek Penelitian ... 43
E. Prosedur Penelitian ... 44
F. Uji Coba Alat Pengumpulan Data... 44
G. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 45
1. Metode ... 45
2. Alat Pengumpulan Data ... 45
a. Symptoms of Stress Scale (SOS) ... 46
b. The Inventory of College Students’ Recent Life Experiences (ICSRLE) ... 48
c. Perceived of Stress Scale (PSS) ... 49
d. The Inventory of Parent and Peer Attachment-Mother Version (IPPA-M) ... 50
H. Validitas Dan Reliabilitas Skala Penelitian... 51
1. Validitas dan Reliabilitas Skala SOS ... 51
2. Validitas dan Reliabilitas Skala ICSRLE... 52
3. Validitas dan Reliabilitas Skala PSS ... 53
4. Validitas dan Reliabilitas Skala IPPA-M ... 54
I. Metode Analisis Data ... 55
1. Uji Asumsi ... 55
xviii
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 57
A.Persiapan Penelitian ... 57
B.Pelaksanaan Penelitian ... 57
C.Deskripsi Subjek Penelitian ... 58
D.Deskripsi Data Penelitian ... 60
E. Hasil Penelitian ... 62
1. Uji Normalitas ... 63
2. Uji Linearitas ... 64
3. Uji Hipotesis ... 66
F. Analisis Tambahan ... 68
G. Pembahasan ... 74
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 83
A. Kesimpulan ... 83
B. Keterbatasan Penelitian ... 84
C. Saran... 84
1. Bagi Ibu (figur lekat) ... 84
2. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 85
DAFTAR PUSTAKA ... 86
xix
DAFTAR TABEL
TABEL 1. Usia Subjek Penelitian ... 58
TABEL 2. Jenis Kelamin Subjek Penelitian ... 59
TABEL 3. Semester Subjek Penelitian ... 59
TABEL 4. Daerah Asal dan Tempat Tinggal di Perantauan ... 59
TABEL 5. Deskripsi Data Penelitian ... 60
TABEL 6. Uji Normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov ... 63
TABEL 7. Uji Linearitas Kelekatan Terhadap Ibu dengan Stres Sebagai Respon ... 64
TABEL 8. Uji Linearitas Kelekatan Terhadap Ibu dengan Stres Sebagai Stimulus ... 64
TABEL 9. Uji Linearitas Kelekatan Terhadap Ibu dengan Stres Terkait Cognitive Appraisal ... 65
TABEL 10. Hasil Korelasi Kelekatan Terhadap Ibu dengan Stres Sebagai Respon ... 66
TABEL 11. Hasil Korelasi Kelekatan Terhadap Ibu dengan Stres Sebagai Stimulus ... 67
TABEL 12. Hasil Korelasi Kelekatan Terhadap Ibu dengan Stres Terkait Cognitive Appraisal ... 67
xx
TABEL 14. Hasil Korelasi Aspek Kelekatan Terhadap Ibu dengan Stres Sebagai Stimulus ... 69 TABEL 15. Hasil Korelasi Aspek Kelekatan Terhadap Ibu dengan Stres Terkait
xxi
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1. Skala Penelitian ... 92
LAMPIRAN 2. Reliabilitas Skala ... 105
LAMPIRAN 3. Uji One Sample T-test ... 106
LAMPIRAN 4. Uji Nomalitas Data ... 108
LAMPIRAN 5. Uji Linearitas ... 109
LAMPIRAN 6. Uji Hipotesis ... 110
xxii
DAFTAR GAMBAR
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Stres tidak dapat dipisahkan dari setiap aspek kehidupan. Stres dapat
dialami oleh siapa saja dan memiliki implikasi negatif jika berakumulasi
dalam kehidupan individu tanpa solusi yang tepat. Akumulasi stres
merupakan akibat dari ketidakmampuan individu dalam mengatasi dan
mengendalikan stres yang dialami (Rasmun, 2004). Stres merupakan keadaan
yang dialami ketika terjadi ketidaksesuaian antara tuntutan-tuntutan yang
diterima dengan kemampuan untuk mengatasinya (Lazarus, 1976). Stres juga
dapat diartikan sebagai respon terhadap kejadian yang mengancam atau
menantang (Feldman, 2012). Stres merupakan suatu fenomena universal yang
terjadi dalam kehidupan sehari-hari sehingga tidak dapat dihindari dan
dialami oleh setiap orang (Kumar & Bhukar, 2013). Menurut jenisnya, stres
dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu eustress yang merupakan hasil dari
respon terhadap stres yang bersifat sehat, positif, dan konstruktif (bersifat
membangun). Hal tersebut termasuk kesejahteraan individu yang
diasosiasikan dengan pertumbuhan, fleksibilitas, dan kemampuan adaptasi.
Sedangkan, jenis stres kedua adalah distress yang merupakan hasil dari
respon yang bersifat tidak sehat, negatif, destruktif (bersifat merusak). Hal
tersebut termasuk konsekuensi individu yang diasosiasikan dengan keadaan
sakit, penurunan, dan kematian (Li, Cao, & Li, 2016). Pada penelitian ini,
menggangap stres sebagai sesuatu yang negatif (Li, Cao, & Li, 2016). Selain
itu, skala stres yang dipakai dalam penelitian ini juga berfokus pada stres
yang bersifat negatif.
Masa remaja juga tidak terlepas dari stres. Santrock (1989/2011)
menyatakan masa remaja identik dengan strom-and-stress atau masa
bergejolak yang diwarnai oleh konflik dan perubahan suasana hati. Meskipun
banyak variasi pada tahap remaja, umumnya remaja merupakan tahap di
mana seseorang mengalami perkembangan fisik dan mental menuju
kedewasaan seutuhnya (Kai-Wen, 2009). Sejalan dengan yang dikemukan
Santrock (1989/2011) remaja merupakan periode transisi perkembangan
masa kanak-kanak ke masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan
biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Pada tahap ini, tugas perkembangan
remaja harus menerima keadaan fisiknya, mengurangi ketergantungan
dengan orang tua, menjadi mandiri, menyesuaikan diri dengan masyarakat,
dan menjalankan peran yang telah ditentunkan (Santrock, 1989/2011). Salah
satu peran sebagai remaja adalah menjadi mahasiswa. Umur mahasiswa
berada pada rentang 18 sampai dengan 24 tahun (Camenius, dalam Sarwono
2008).
Beberapa studi melaporkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara
mahasiswa dan stres (Schafer, 1996; Fisher, 1994; Altmaier, 1983; Greenberg
& Valletutti, 1980 dalam Pfeiffer, 2001). Hasil dari penelitian tersebut
menyatakan bahwa hanya beberapa mahasiswa yang lebih sensitif terhadap
kerentanan mereka terhadap stres. Lebih lengkap Potter dan Perry (2005)
menyatakan bahwa respon stres dari setiap mahasiswa tergantung dari
kondisi kesehatan, kepribadian, pengalaman sebelumnya terhadap stres,
mekanisme koping, jenis kelamin, usia, besarnya stresor, dan kemampuan
regulasi emosi. Mahasiswa mengalami stres karena tuntutan terkait dengan
perubahan; meninggalkan rumah, menjadi pengambil keputusan yang
independen, dan bersaing dengan dunia luar (Altmaier, dalam Pfeiffer, 2001).
Di sisi lain, beberapa mahasiswa melihat transisi ini sebagai pengalaman
positif yang menarik. Tapi beberapa mahasiswa tampaknya merasa terancam
dengan perubahan ini. Setelah lulus dari sekolah menengah atas, mahasiswa
akan dihadapkan dengan tuntutan baru, harapan, dan stres (Nelson,
Dell’Oliver, Koch, & Buckler, 2001).
Prevalensi stres pada mahasiswa pernah dilakukan di beberapa
universitas dan lebih sering dijumpai pada fakultas kedokteran. Penelitian
yang dilakukan Firth (2004) pada salah satu universitas di Inggris, melibatkan
165 mahasiswa menunjukkan prevalensi stres sebesar 31.2%. Sementara itu
penelitian yang dilakukan di Asia, misalnya di Pakistan dengan 161
mahaiswa, prevalensi stres mahasiswa adalah 30.84% (Shah, Hasan, Malik,
& Sreeramareddy, 2010). Di Indonesia sendiri terdapat penelitian dengan 240
mahasiswa, dan menghasilkan prevalensi stres 50.8% (Legiran, Azis, &
Bellinawati, 2015). Sedangkan penelitian tentang faktor stres pada
mahasiswa, ditemukan bahwa 38% masalah interpersonal, 28% masalah
Hasil yang sama ditunjukkan dalam beberapa penelitian, penyebab stres pada
mahasiswa dapat bersumber bermacam bidang seperti, akademik, hubungan
atau masalah interpersonal, dan perubahan hidup. Lebih lanjut, disebutkan
tuntutan eksternal bersumber dari tugas-tugas kuliah, penyesuaian sosial di
lingkungan kampus dengan karakteristik dan latar belakang teman yang
berbeda, mengembangkan bakat dan minat melalui kegiatan non akademis,
dan bekerja untuk menambah uang saku (Kai-Wen, 2009; Govaerst &
Gregoire, 2004).
Stres yang tidak mampu dikendalikan dan diatasi akan memunculkan
dampak negatif. Pada mahasiswa, dampak negatif secara kognitif antara lain
sulit berkonsentrasi, sulit mengingat materi, dan sulit memahami materi.
Dampak negatif secara emosional antara lain sulit memotivasi diri,
munculnya perasaan cemas, sedih, kemarahan, frustasi, dan efek negatif
lainnya. Dampak negatif secara fisiologis antara lain gangguan kesehatan
karena daya tahan tubuh yang menurun, badan terasa lesu, dan insomnia.
Dampak perilaku yang muncul antara lain menunda-nunda penyelesaian
tugas, malas kuliah, penyalahgunaan obat dan alkohol, terlibat dalam
kegiatan mencari kesenangan yang berlebihan serta berisiko tinggi
(Spagenberg & Theron, 1999; Heiman & Kariv, 2005; Pariat, Rynjah, Joplin,
& Kharjana, 2014; Widianti, 2007).
Dalam kehidupan mahasiswa, waktu bersama yang dihabiskan dengan
teman sebaya akan meningkat secara signifikan. Tetapi, orangtua tetap
remajanya (Moretti & Pelled, 2004). Salah satu isu penting yang berkaitan
dengan peran orangtua dalam perkembangan remaja adalah kelekatan yang
dibentuk sejak masa awal perkembangan. Istilah kelekatan (attachment)
pertama kali dikemukakan oleh John Bowlby yang merupakan suatu ikatan
emosional yang terbentuk dengan adanya kedekatan dan terkandung rasa
aman baik fisik maupun psikologis (Bowlby, 1969). Hubungan ini terbentuk
sejak bayi dan akan bertahan cukup lama dalam rentang kehidupan manusia
yang diawali dengan kelekatan anak pada ibu atau figur lain pengganti ibu
(Ervika, 2005). Bowlby (1982) mengatakan bahwa hubungan kelekatan
seseorang di awal kehidupan akan berdampak pada perkembangan sosial dan
emosional di tahapan usia mereka selanjutnya.
Menurut Bowlby (1982), kelekatan secara umum terbagi menjadi dua
jenis yaitu kelekatan aman (secure attachment) dan kelekatan tidak aman
(insecure attachment). Kelekatan aman terbentuk melalui kedekatan,
keamanan, dan perlindungan yang diberikan oleh ibu kepada anaknya
(Nickerson & Nagle, 2005; Schnyders, 2012). Sedangkan, kelekatan tidak
aman terbentuk ketika pengasuh kurang memberikan rasa aman sehingga
bayi mungkin menghindari atau menunjukkan penolakan atau sikap
ambivalen terhadap pengasuh (Santrock, 1984/2007).
Setelah John Bowlby menciptakan teori kelekatan, salah satu muridnya
yaitu Mary Ainsworth pada tahun 1969 melakukan penelitian untuk melihat
reaksi anak saat dipisahkan dari pengasuhnya dalam eksperimen yang dikenal
tiga pola kelekatan, yaitu secure attachment, dan mengembangkan pola
insecure attachment menjadi dua yaitu, insecure-ambivalent/resistance
attachment, dan insecure-avoidant attachment (Papalia, Olds, & Feldman,
1978/2008). Anak dengan kelekatan aman (secure attachment) menjadikan
orang tuanya sebagai basis keamanan (secure base) sehingga mereka dapat
meninggalkan orang tuanya untuk berekspolarsi dan kembali ke orang tuanya
untuk mecari keamanan.
Anak dengan insecure-ambivalent/resistance attachment cenderung
cemas meskipun belum ditinggalkan oleh figur lekat dan menjadi sangat
kecewa saat ditinggalkan sehingga mereka sangat sulit ditenangkan dan
hanya sedikit melakukan eksplorasi. Sedangkan, anak dengan
insecure-avoidant attachment jarang menangis bila ditinggalkan oleh figur lekat, tetapi
cenderung menghindar saat figur lekatnya kembali (Papalia, Olds, &
Feldman, 1978/2008).
Kelekatan pada masa awal perkembangan akan terus berlanjut dan
digeneralisasikan pada tahap perkembangan berikutnya, misalnya pada masa
remaja yaitu saat menjadi mahasiswa. Kelekatan terhadap ibu pada masa
remaja, terdiri dari tiga aspek yaitu komunikasi (communication),
kepercayaan (trust), dan keterasingan (alienation). Teori kelekatan pada masa
remaja ini dikembangkan oleh Armsden dan Greenberg (1987) dengan tidak
membedakan jenis kelekatan secure attachment dan insecure attachment,
akan tetapi hanya melihat kualitas kelekatan remaja terhadap ibu berdasarkan
Beberapa penelitian menujukkan hubungan yang signifikan antara
kelekatan dengan stres pada mahasiswa (Li, 2008; Davis, 2012; Petroff,
2008). Ditemukan juga penelitian lain, di mana individu dengan kelekatan
aman lebih mampu membangun dan mengelola hubungan positif, dan lebih
mampu menghadapi situasi yang penuh tekanan (Armsden & Greenberg,
1987). Beberapa peneliti mengindikasikan remaja dengan kelekatan aman
cenderung mengalami stres yang dirasakan lebih rendah (Dogan, Gur, Sener,
& Cetindag, 2012; Terzi, 2013). Dilaporkan juga mahasiswa yang memiliki
kualitas kelekatan aman tinggi, kurang memiliki tingkat stres yang tinggi
(Dorin, 2014).
Orangtua merupakan sosok yang penting dalam membentuk
perkembangan remaja. Kelekatan antara orang tua dan anak akan berdampak
yang mendalam pada penalaran, sosial, dan regulasi emosi pada remaja
(Rabbani, Kasmaienezhadfard, & Pourrajab, 2014). Kelekatan aman terkait
dengan keterlibatan perilaku ancaman yang rendah, kesehatan psikologis,
peningkatan keterampilan sosial, dan peningkatan strategi koping (Moretti &
Pelled, 2004). Kelekatan telah diteliti dalam berbagai konteks dan spektrum
rentang usia. Kelekatan aman berhubungan dengan kepercayaan diri,
penyesuaian yang baik, dan transisi yang positif (Allen, Moore, Kuperminc,
& Bell, 1998; Paterson, Pryor, & Field, 1995). Sedangkan, kelekatan tidak
aman berhubungan dengan kecemasan, stres, depresi, gangguan kepribadian,
Penelitian tentang kelekatan terhadap ibu dengan tingkat stres pada
mahasiswa masih jarang ditemukan di Indonesia. Hal ini yang menjadi
ketertarikan peneliti untuk melakukan penelitian serupa namun pada subjek
yang lebih khusus yaitu mahasiswa perantau. Mahasiswa perantau merupakan
individu yang tinggal di daerah lain untuk menuntut ilmu dan mempersiapkan
diri dalam pencapaian suatu keahlian jenjang perguruan tinggi diploma,
sarjana, magister atau spesialis disebut sebagai mahasiswa perantau
(Poerwadarminta, 2005). Fenomena ini terjadi karena persebaran kualitas
pendidikan yang tidak merata di Indonesia, sehingga pelajar setelah lulus
SMA memutuskan untuk meninggalkan daerah asalnya (merantau) dan
melanjutkan pendidikan yang lebih berkualitas di daerah lain (Sitorus, 2013).
Fenomena ini juga dianggap sebagai usaha pembuktian kualitas diri sebagai
seorang remaja yang akan dewasa untuk mandiri dan bertanggung jawab
dalam membuat keputusan (Santrock, 1989/2002).
Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDPT) Dikti tahun 2016
melaporkan bahwa Indonesia mengalami peningkatan jumlah perguruan
tinggi negeri maupun swasta sejak tahun 2010 hingga 2016. Data dikti tahun
2010 menunjukkan bahwa jumlah perguruan tinggi di Indonesia adalah 3098,
lalu pada tahun 2016 jumlahnya meningkat menjadi 4446 perguruan tinggi
(Pangkalan Data Pendidikan Tinggi, 2016). Akan tetapi, peningkatan
perguruan tinggi yang pesat ini sangat disayangkan karena tidak bersamaan
dengan pemerataaan jumlahnya di setiap kota atau daerah. Masih ada kota
Dari 4446 perguruan tinggi di Indonesia, terdapat 2136 atau hampir 50%
berada di Pulau Jawa. Selain itu, perguruan tinggi berkualitas di Indonesia
juga masih didominasi oleh perguruan tinggi di Pulau Jawa. Berdasarkan
survey yang dilakukan oleh 4 International Colleges and Universities (4ICU)
pada tahun 2016 dari 50 universitas terbaik di Indonesia, 36 berada di Pulau
Jawa (4 International Colleges & Universities, 2016).
Dalam menempuh pendidikan di perguruan tinggi, tantangan yang
dihadapi mahasiswa perantau lebih beragam dibandingkan mahasiswa yang
bukan perantau. Mahasiswa yang berasal dari luar daerah harus beradaptasi
dengan kebudayaan, nilai atau norma-norma, dan lingkungan sosial yang
baru (Lee, Koeske, Sales, 2004). Perasaan kesepian, kurangnya dukungan,
dan kerinduan atau homesick juga akan dialami oleh mahasiswa perantau
(Wei, Heppner, Mallen, Liao, Ku, & Wu, 2007). Kerinduan atau homesick
dianggap sebagai “duka-mini” karena terpisah dari orangtua, dapat membuat
mahasiswa perantau menjadi stres (Strobe, Vliet, Hewstone, Willis, 2002).
Terlihat bahwa ketidakhadiran orang tua di perantauan merupakan salah satu
perubahan situasi yang cukup berpengaruh bagi mahasiswa perantau. Hal ini
dapat terjadi karena intensitas komunikasi antara anak dan orang tua
cenderung berkurang setelah merantau dibandingkan pada saat masih tinggal
bersama (Borg & Cefai, 2014).
Penelitian yang dilakukan oleh Nasution (1997) menyatakan bahwa
perpindahan mahasiswa ke daerah perantauan menyebabkan perubahan
budaya, psikologis, dan ekonomi sehingga dapat memicu stres. Kenny (1987)
menyebutkan bahwa dunia kampus dapat disamakan dengan strange situation
seperti yang dikatakan Mary Ainsworth, di mana individu dengan kualitas
kelekatan yang tinggi (secure attachment) menganggap proses meninggalkan
rumah untuk memasuki dunia kampus sebagai tempat untuk mengeksplorasi
dan menguasai lingkungan serta mengembangkan kompetensi sosial. Di sisi
lain, individu dengan kualitas kelekatan yang rendah (insecure attachment)
merasa terancam dengan perubahan dan lingkungan barunya (Kenny, 1987).
Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti tertarik menjadikan mahasiswa
perantau sebagai subjek penelitian karena mahasiswa perantau merupakan
populasi yang harus lebih diperhatikan. Mengingat tantangan yang dimiliki
oleh mahasiswa perantau lebih beragam, sehingga memungkinkan mahasiswa
perantau memiliki tingkat stres yang lebih tinggi. Penelitian yang dilakukan
oleh Ghozali dan Aisyah (2014) menyatakan bahwa adanya perbedaan
tingkat stres antara mahasiwa yang tinggal sendiri (perantau) dengan
mahasiswa yang tinggal dengan orang tua. Mahasiswa yang tinggal sendiri
menunjukkan tingkat stres yang lebih tinggi. Penelitian yang dilakukan
terhadap 92 subjek, menghasilkan 72% mahasiswa yang tinggal sendiri
mengalami stres, sedangkan mahasiwa yang tinggal dengan orang tua hanya
24.4% yang mengalami stres.
Selain itu, ditemukan juga penelitian bahwa adanya perbedaan tingkat
depresi antara mahasiswa yang tinggal sendiri (perantau) dengan mahasiswa
sendiri lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa yang tinggal dengan
orang tua. Dalam penelitian yang dilakukan terhadap 54 subjek, disebutkan
mahasiswa yang tinggal sendiri 81.4% mengalami depresi, dengan rincian
depresi ringan 48.1% dan depresi sedang 33.3%. Sedangkan mahasiswa yang
tinggal dengan orang tua hanya 25.9% yang mengalami depresi, dengan
rincian depresi ringan 22.2% dan depresi sedang 3.7% (Amelia, 2016).
Walaupun depresi berbeda dengan stres, akan tetapi depresi merupakan
manifetasi dari stres yang berlebihan. Depresi adalah reaksi psikologis dari
stres, sehingga orang yang depresi pasti sudah mengalami stres (Atkinson,
Atkinson, Smith, & Bem, 1996/2010). Alasan lain mahasiswa perantau
penting untuk diteliti karena di Indonesia kasus bunuh diri yang dilakukan
oleh mahasiswa di tempat perantauan cukup banyak, sedikitnya 6 kasus
ditemukan dalam tahun 2016 (tribunews.com, 2016). Sebuah penelitian
menyatakan bahwa stres yang berlebihan menyebabkan depresi yang memicu
pikiran atau tindakan bunuh diri (Cole, Wingate, Tucker, Kerswill, O’Keefe, dan Hollingsworth, 2015).
Dalam lingkup penelitian ini, hal yang menjadi kebaruan dibandingkan
dengan penelitian sebelumnya adalah variabel stres yang dilihat sebagai
konstruk yang luas. Di mana stres sebagai respons, stres sebagai stimulus,
dan stres terkait cognitive appraisal diukur, sehingga setiap aspek-aspek
dalam variabel stres dapat tercangkup dan terukur dengan maksimal. Hal ini
hanya sebatas aspek stres sebagai stimulus (Li, 2008; Davis, 2012; Petroff,
2008).
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan sebelumnya,
maka pertanyaan penelitian yang merumuskan masalah dari penelitian ini
yaitu: apakah ada hubungan antara kelekatan terhadap ibu dengan tingkat
stres pada mahasiswa perantau?
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara
kelekatan terhadap ibu dengan tingkat stres pada mahasiswa perantau.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam
bidang psikologi perkembangan dan sosial bahwa kelekatan anak dengan
ibu memiliki kaitan yang penting dengan tingkat stres pada masa
perkembangan selanjutnya. Terkhusus pada saat menjadi mahasiswa dan
harus merantau sehingga jauh dari figur lekat. Kelekatan dapat
membentuk karakter dan kepribadian seseorang menjadi adaptif atau
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Mahasiswa Perantau
Penelitian ini dapat memberikan informasi bahwa hubungan
dengan figur orangtua dapat menjaga kesejahteraan mahasiswa di
tempat perantauan.
b. Bagi Pengasuh (Ibu atau figur pengganti Ibu)
Penelitian ini dapat memberikan informasi atau pengetahuan
tambahan tentang pentingnya peran pengasuh dalam pembentukan
kelekatan karena akan berdampak pada perilaku, dan kemampuan
sosial anak di masa mendatang. Maka dari itu saat remaja
dipersiapakan sebagai mahasiswa dan merantau, kelekatan yang
terhadap ibu akan membentuk karakter anak yang kuat atau rentan
14
BAB II
LANDASAN TEORI
A. STRES
1. Definisi Stres
Menurut Lazarus & Folkman (1984) stres adalah keadaan internal yang dapat diakibatkan oleh tuntutan fisik dari tubuh atau kondisi lingkungan dan sosial yang dinilai potensial membahayakan, tidak terkendali atau melebihi kemampuan individu untuk mengatasinya. Stres juga merupakan suatu keadaan tertekan, baik secara fisik maupun psikologis (Chapplin, 1998/2006). Stres juga diterangkan sebagai suatu istilah yang digunakan dalam ilmu perilaku dan ilmu alam untuk mengindikasikan situasi atau kondisi fisik, biologis dan psikologis organisme yang memberikan tekanan kepada organisme itu sehingga ia berada di atas ambang batas kekuatan adaptifnya (Arend, & Gerard, 1997).
Selain definisi di atas, masih banyak definisi stres lainnya dari berbagai ahli. Namun, berikut merupakan penjelasan stres yang berkaitan dengan penelitian ini:
a. Stres Sebagai Respons
Stres sebagai respons merupakan suatu respon atau reaksi individu yang muncul karena adanya situasi tertentu yang menimbulkan stres. Respons yang muncul dapat secara fisiologis, seperti: jantung berdebar, pusing, dan gemetar. Sedangkan respons psikologis seperti: takut, cemas, dan mudah tersingung (Lazarus & Folkman, 1984).
b. Stres Sebagai Stimulus
Stres sebagai stimulus fokus kepada kejadian-kejadian atau stresor yang menimbulkan stres. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa situasi tertentu yang penuh tekanan (stressful) tetapi tidak memperhatikan perbedaan individual dalam menilai situasi tersebut (Lazarus & Folkman, 1984).
c. Stres Terkait Cognitive Appraisal
proses pemberian kategori terhadap pengalaman serta memperhatikan pula pengaruhnya terhadap kesejahteraan individu. Proses ini terjadi secara terus-menerus sepanjang kehidupan.
Stres sebagai suatu konstruk yang memiliki definisi sangat luas, sehingga peneliti berusaha tidak terbatas pada salah satu definisi stres. Pada penelitian ini, akan mengukur stres sebagai respons, stres sebagai stimulus, dan stres terkait dengan cognitive appraisal. Dengan demikian, pengukuran stres yang dilakukan menjadi lebih luas.
2. Faktor Psikologis yang Mempengaruhi Stres
Faktor-faktor psikologis yang dapat mempengaruhi stres adalah (Nevid, Rathus, & Greene, 1999/2005):
a. Cara koping stres
b. Harapan akan efikasi diri
Harapan akan efikasi diri berkenan dengan harapan individu terhadap kemampuan diri dalam mengatasi tantang yang dihadapi, harapan terhadap kemampuan diri untuk dapat menampilkan tingkah laku terampil, dan harapan terhadap kemampuan diri untuk menghasilkan perubahan hidup yang positif. Individu dapat mengelola stres dengan lebih baik, apabila memiliki kepercayaan diri dan keyakinan untuk mengatasi stres.
c. Ketahanan psikologis
Ketahan psikologis merupakan kumpulan trait yang berfungsi sebagai sumber daya untuk menghadapi persitiwa-peristiwa hidup yang menimbulkan stres, dan merupakan hal yang sangat penting dalam perlawanan terhadap stres tersebut. Terdapat tiga trait yang membentuk ketahanan psikologis : komtimen yang tinggi, tantangan yang tinggi, dan pengendalian yang kuat terhadap hidup. Individu dengan ketahanan psikologis yang tinggi menunjukkan gejala fisik yang lebih sedikit dan tingkat depresi yang lebih rendah dalam menghadapi stres.
d. Optimisme
memiliki kemampuan untuk mengatasinya. Banyak penelitian yang ditemukan berkaitan dengan optimisme. Misalnya penelitian tentang optimisme dan penyakit, individu optimis cenderung lebih cepat sembuh dibandingkan dengan individu yang pesimis.
e. Dukungan sosial
Dukungan sosial berperan untuk memperkecil tekanan-tekanan atau stres yang dialami individu. Dengan adanya orang-orang di sekitar akan membantu individu menemukan alternatif cara coping dalam menghadapi stresor atau sekedar memberikan dukungan emosional yang dibutuhkan selama masa-masa sulit.
f. Identitas etnik
Kebanggan terhadap identitas ras tau identitas etnik dapat membantu indvidu menghadapi stres yang disebabkan oleh rasisme dan intoleransi.
B. STRES SEBAGAI RESPONS
Pada tahun 1929 Walter Cannon merupakan orang pertama yang menjelaskan reaksi tubuh terhadap stres. Identifikasinya tentang reaksi stres sebagai ‘fight-or-fight response’. Respons ini merupakan reaksi stres di dalam
tubuh yang mencakup meningkatnya detak jantung, pernapasan, tekanan darah, dan ketegangan otot. Arti dari ‘fight-or-flight response’ ini adalah saat
ataukah akan kabur/lari menjauhi ancaman tersebut flight (Santrock, 1989/2002).
Selanjutnya pada tahun 1974, Hans Selye yang berasal dari Austria melakukan penelitian tentang stres. Berdasarkan hasil penelitiannya, perubahan-perubahan fisiologis tubuh berhasil dispesifikasi dan disimpulkan bahwa apapun bentuk stresor, tubuh tetap berekasi dengan cara yang sama. Selye juga menjelaskan bahwa tubuh memiliki tingkat resistensi normal, yaitu tingkat resitensi ketika tubuh dalam kondisi biasa (tidak menghadapi stres). Pada saat menghadapi stres, tingkat resistensi ini mengalami perubahan dengan tujuan agar mampu beradaptasi dengan stres yang dialami. Munculnya sebuah konsep yang dikenal dengan General Adaptation Syndrome (GAS).
Konsep ini terdiri dari tiga fase (fase bagaimana seseorang beradaptasi dengan stres): Fase pertama merupakan alarm, fase peringatan bahwa ada stresor yang perlu ditangani. Pada tahap ini bila stresor terlalu kuat (seperti kebakaran hebat, temperatur yang ekstrim) kematian dapat terjadi. Hal ini disebabkan karena tingkat resistensi individu memang sedang menurun. Fase kedua disebut resistance, bila stres berlangsung terus menerus maka tingkat resistensi tubuh akan mengalami peningkatan diatas tingkat normal dengan tujuan untuk melakukan adaptasi terhadap stresor sehingga individu bisa berfungsi dengan optimal.
sebenarnya bekerja lebih keras. Bila stres masih terus berlanjut, tubuh akan terus menyesuaikan diri dengan stresornya. Pada saat ini tingkat resistensi tubuh akhirnya menurun sampai di bawah normal karena kelelahan. Fase ketiga ini disebut exhaustion, tanda-tanda pada fase alarm muncul kembali, tetapi karena energi yang digunakan sudah habis, tubuh tidak dapat lagi melakukan adaptasi. Hal ini membuat berbagai macam gangguan baik secara fisik maupun psikologis terjadi (Siswanto, 2007).
C. STRES SEBAGAI STIMULUS
Ketika seseorang mengatakan “saya memiliki kehidupan pernikahan
yang stres” pernyataan tersebut mengacu pada situasi, bukan mengacu
respons terhadap situasi. Pendekatan ini lebih memperhatikan karakteristik tertentu dari stresor. Menurut Feldman (1987/2012) terdapat empat karakteristik stresor, yaitu sebagai berikut :
1. Cataclysmic events
Stresor ini mengacu pada perubahan besar atau kejadian yang berdampak pada beberapa orang atau seluruh komunitas dalam waktu yang sama, serta di luar kendali siapapun. Contohnya bencana alam (banjir, gempa bumi, gunung meletus), perang, dan sebagainya. Stresor yang berdampak pada banyak orang ini, tidak terlalu signifikan karena adanya perasaan senasib dan sepenanggungan.
2. Personal Stressor
pengaruh yang kuat karena membutuhkan upaya coping yang cukup besar. Peristiwa dalam kategori ini seperti: kematian orang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, kegagalan besar, menderita penyakit mematikan, dan sebagainya.
3. Background Stresor
Stresor ini dapat disebut sebagai “daily hassles” atau masalah sehari
-hari dalam kehidupan. Stresor ini memiliki pengaruh yang kecil namun berlangsung terus-menerus sehingga dapat menganggu dan menyebabkan stres negatif pada individu. Contoh stresor dalam kategori ini misalnya mempunyai banyak tanggung jawab, merasa kesepian, berdebat dengan teman, dan sebagainya. Walaupun masalah sehari-hari tidak seberat perubahan besar dalam hidup seperti perceraian, kemampuan untuk bisa beradaptasi dengan masalah sehari-hari sangat penting.
D. STRES TERKAIT COGNITIVE APPRAISAL
Menurut Lazarus dan Folkman (1984) teori appraisal terdiri dari penilaian primer (primary appraisal), penilian sekunder (secondary appraisal), dan penilaian kembali (reappraisal). Ketiga hal ini tidak dapat
dipandang sebagi proses yang terpisah karena mereka saling berinteraksi satu sama lain untuk membentuk derajat stres.
1. Primary appraisal (penilaian primer)
individu berada dalam kategori tertentu. penilaian ini terdiri dari tiga kategori, yaitu: Irrelevant (tidak relevan), situsi yang terjadi tidak berpengaruh pada kesejahteraan individu, situasi tersebut dianggap tidak bermakna sehingga dapat diabaikan.
Benign positive appraisal (penilaian positif), situasi yang terjadi
dirasakan dan dihayati sebagai hal yang positif dan dianggap dapat meningkatkan kesejahteraan hidup. Appraisal ini ditandai oleh emosi yang menyenangkan seperti kegembiraan, cinta, kebahagiaan, keriangan atau ketentraman.
Stress appraisal (penilaian yang menimbulkan stres), situasi yang
terjadi menimbulkan makna gangguan, kehilangan, ancaman, dan tantangan bagi individu.
2. Secondary appraisal (penilaian sekunder)
3. Reappraisal (penilaian kembali)
Penilaian kembali merupakan perubahan yang terjadi karena adanya infromasi yang baru, baik yang bersumber dari lingkungan yang dapat menahan atau memperkuat tekanan bagi individu, maupun informasi dari rekasi individu itu sendiri. Melalui tahap penilaian tersebut, seseorang mempertimbangkan makna dan pengaruh situasi terhadap kesejahteraan dirinya. Dengan demikian, selain karakteristik dari suatu situasi yang dapat menimbulkan stres, proses penilaian kognitif sangat berpengaruh bagi seseorang dalam menghayati tingkat stres.
E. KELEKATAN TERHADAP IBU
1. Definisi Kelekatan
Istilah kelekatan (attachment) pertama kali dikemukakan oleh seorang psikolog dari Inggris pada tahun 1958 bernama John Bowlby. Menurutnya, kelekatan adalah suatu ikatan emosional yang kuat antara bayi dan pengasuhnya. Hubungan ini akan bertahan cukup lama dalam rentang kehidupan manusia yang diawali dengan kelekatan anak pada ibu atau figur lain pengganti ibu (Bowlby, 1969, 1979). Kelekatan yang bersifat kontimun ini, relatif stabil sepanjang rentang kehidupan manusia dan dapat berdampak pada hubungan romantis, sikap interpersonal, dan kejiwaan individu (Brennan & Shaver, 1995; Hazan & Shaver, 1990).
menggunakannya sebagai dasar rasa aman, mempunyai ikatan emosional pada sosok tersebut baik secara negatif ataupun positif, adanya rasa kehilangan terhadap ketidakhadiran orang tersebut (Bowlby, 1988; Hazan & Shaver, 1994). Kelekatan lebih umum terjadi pada ibu, karena ibu dianggap sebagai figur yang dapat memberikan kepuasan oral atau kebutuhan akan ASI pada bayi (Freud, dalam Santrock 1989/2002). Kelekatan yang terbentuk sejak bayi membentuk kelekatan aman dan kelekatan tidak aman (Santrock, 1984/2007). Kelekatan aman terbentuk ketika bayi menggunakan pengasuhnya (biasanya ibu) sebagai dasar akan rasa aman untuk mengeksplorasi lingkungan. Sedangkan kelekatan tidak aman terbentuk ketika bayi mungkin menghindari pengasuh atau menunjukkan penolakan atau sikap ambivalen terhadap pengasuh (Santrock, 1984/2007).
2. Mekanisme Terjadinya Kelekatan Terhadap Ibu
Asumsi dasar dari teori kelekatan adalah akibat dari ketidakmatangan yang ekstrim ketika bayi dilahirkan, bayi dapat bertahan hanya apabila ibu mau menyediakan keamanan dan perhatian. Oleh karena itu, kelekatan dengan ibu di tahun pertama menjadi dasar yang penting bagi perkembangan seseorang di kemudian hari. Ketersediaan figur ibu saat bayi mengalami tekanan menyebabkan bayi mulai mengembangkan diri dan mencari kedekatan dengan ibu. Pengasuhan yang dilakukan tersebut diregulasikan dengan memberikan timbal balik. Ketika bayi tersenyum, ibu juga akan memberikan senyuman yang akan memberikan kepuasan bagi bayi. Ketika bayi menangis, maka ibu akan mencari cara untuk menenangkan bayi. Ketika ibu pergi, maka bayi akan mengikutinya baik secara visual maupun fisik.
Proses ini akan meningkatkan hubungan ibu dan anak sehingga anak akan menyimpan pengetahuannya mengenai suatu hubungan khususnya pengetahuan mengenai keamanan dan bahaya dalam mekanisme yang disebut internal working model. Internal working model ini yang mendasari anak untuk berelasi dengan orang lain, menghadapi orang lain, dan kemampuan untuk meregulasi emosi. Oleh karenanya kelekatan ini relatif akan stabil sepanjang hidupnya (Blount-Matthew & Hertenstein, 2006). Internal working model selanjutnya akan menggiring anak untuk menentukan perilaku dan perasaan dalam berinterkasi di masa depan. Anak yang memiliki ibu yang mencintai, dapat memenuhi kebutuhan, dan memberikan perlindungam akan mengembangkan model hubungan positif yang didasarkan pada rasa percaya (trust). Tetapi, anak yang memiliki ibu tidak tanggap, dan kurang perhatian akan mengembangkan model hubungan yang negatif dan penuh kecurigaan (mistrust) sehingga membuat anak menjadi pencemas serta kurang mampu menjalin hubungan sosial.
3. Aspek Kelekatan Terhadap Ibu
Aspek kelekatan anak terhadap ibu terbagi menjadi tiga yaitu kepercayaan, komunikasi, dan keterasingan (Greenberg, 2009).
a. Kepercayaan (trust)
Oleh karena rasa percaya tersebut, anak menjadi yakin bahwa figur lekat akan selalu ada dan menjaga mereka ketika mereka membutuhkan. Kepercayaan yang terbentuk pada anak ini akan membuatnya melihat dunia sebagai suatu tempat yang aman, baik dan menyenangkan untuk dihuni (Erickson, dalam Santrock 1989/2002).
Pada perkembangannya, seseorang yang memiliki rasa percaya ini akan lebih menghormati orang lain, mudah untuk berkomunikasi dalam berinteraksi dengan orang lain, sehingga dapat menggunakan strategi yang efektif dalam menyelesaikan masalahnya (Hazan & Shaver, 1994; Vivona, 2000).
b. Komunikasi (communication)
Komunikasi yang terjadi antara anak dan ibu pada dapat membentuk tingkatan aman seorang individu (Bowlby, 1988). Komunikasi kaitannya dengan kelekatan ini merupakan interaksi antara anak dengan orang tua yang melibatkan sentuhan kasih sayang dan perhatian serta mendengarkan cerita anak secara penuh (Zolten & Long, 2006). Komunikasi juga membantu individu dalam proses perkembangan intelektual dan sosial, pembentukan identitas diri dan jati diri, dan penentu kesehatan mental (Supratiknya, 1995).
c. Keterasingan (alienation)
mengabaikan anak maupun menolak anak (Lowenstein, 2008). Pengalaman alienasi ini membuat anak merasa kehilangan orang tua mereka, sehingga anak tidak mampu untuk menceritakan pengalaman mereka dan berusaha untuk menolak apapun yang mereka rasakan, termasuk diri mereka sendiri (Baker, 2005). Maka dari itu hal ini membuat anak akan meminimalkan kemarahan atau melakukan penghindaran, sehingga kemampuan sosial yang dimiliki anak cenderung kurang baik (Vivona, 2000).
4. Dampak dari Kelekatan Terhadap Ibu
Setiap aspek dari kelekatan terhadap ibu memiliki dampak bagi kehidupun anak, antara lain :
a. Dampak dari rasa percaya yang dibentuk akan membuat anak lebih berani dalam menghadapi dunia, dapat meregulasi emosi secara lebih baik, dan memiliki kemampuan untuk berempati (Malekpour, 2007). Anak juga mampu mengeksplorasi lingkungan secara optimal, sehingga perkembangan perilaku, emosi, sosial, kognitif, dan kepribadian anak juga akan menjadi optimal (Stams, Juffer, & Ijzendoorn, 2002). Pada perkembangannya individu akan mudah percaya dengan orang lain, percaya diri, merasa diri berharga, dan mudah untuk beradaptasi (Feeney & Noller, 1996)
(Aspy, Vesely, Oman, Rodine, Marshall, & McLeroy, 2007). Pada perkembangannya individu akan memiliki kemampuan komunikasi dengan orang lain dengan baik, sehingga kemampuan sosial yang dimiliki juga baik.
5. Jenis Kelekatan Terhadap Ibu
Jenis kelekatan ini berdasarkan aspek-aspek kelekatan terhadap ibu yaitu kepercayaan, komunikasi, dan alienasi (Armsden & Greenberg, 1987):
a. Kelekatan aman yang tinggi
Kelekatan aman tinggi terhadap ibu terbentuk bila tingkat alineasi dari ibu rendah, sedangkan tingkat kepercayaan dan komunikasi terhadap ibu tinggi atau sedang (Armsden & Greenberg, 1987).
b. Kelekatan aman yang rendah
Kelekatan aman yang rendah terhadap ibu terbentuk bila tingkat keterasingan dari ibu tinggi, sedangkan tingkat kepercayaan dan komunikasi terhadap ibu tinggi atau sedang. Selain itu, kelekatan aman rendah juga terbentuk jika tingkat alienasi tinggi, dan salah satu antara tingkat kepercayaan atau komunikasi rendah juga (Armsden & Greenberg, 1987).
F. MAHASISWA PERANTAU
1. Definisi Mahasiswa Perantau
Mahasiswa dalam masa perkembanganya termasuk ke dalam periode remaja lanjut (Camenius dalam Sarwono, 2008) dengan rentang umur 18 sampai dengan 24 tahun. Cakupan kategori mahasiswa sangat luas sampai jenjang S-3, sehingga peneliti membatasi hanya terhadap mahasiswa jenjang S-1 yang menjadi subjek dalam penelitian ini. Menurut Poewadarminta (2005) mahasiswa merupakan individu yang belajar dan terdaftar di perguruan tinggi, baik di lingkup universitas, institut, sekolah tinggi ataupun akademi.
Perantau merupakan individu yang mencari penghidupan, ilmu, dan sebagainya di daerah lain yang bukan merupakan daerah/tempat asalnya (Kato, 2005). Berdasarkan kedua definisi tersebut, mahasiswa perantau merupakan individu yang meninggalkan daerah asalnya untuk mencari ilmu dan terdaftar dalam lingkup universitas, institut, sekolah tinggi ataupun akademi.
2. Faktor-Faktor Perubahan pada Mahasiswa Perantau
yang bukan perantau, antara lain: perubahan pada lingkungan fisik, terlihat pada mahasiswa perantau yang tinggal di daerah yang padat penghuni, seperti kos atau asrama. Hal tersebut membatasi ruang gerak mereka, penggunaaan sarana juga harus bergiliran, dan juga harus bertoleransi dengan penghuni lain. Selain itu, mahasiswa perantau juga akan mengalami perubahan sarana transportasi. Terkhusus bagi mereka yang tidak memiliki kendaraan pribadi harus menggunakan sarana transportasi umum (Nasution, 1997; Gunarsa & Gunarsa, 2000).
Perubahan biologis yang dihadapi oleh mahasiswa perantau adalah perubahan gizi, menu makanan harus menyesuaikan dengan keadaan keuangan yang dimiliki, perubahan waktu makan yang pada saat tinggal bersama orang tua lebih teratur. Selain itu, perubahan suhu udara yang lebih panas atau dingin dari tempat asalnya juga akan dialami oleh mahasiswa perantau. Perubahan kondisi budaya meliputi, perubahan bahasa, tata cara berbicara dan bergaul, cara berpikir, norma sosial yang berlaku. Kondisi psikologis, mahasiswa perantau akan mengalami perubahan kemandirian karena terpisah dari orang tua, bertanggungjawab terhadap diri sendiri, lebih berinisiatif, dan kemampuan bekerja sama dengan orang lain (Nasution, 1997; Gunarsa & Gunarsa, 2000).
yang akan dialami oleh mahasiswa perantau meliput faktor kehidupan sehari-hari (kesulitan akomodasi, permasalahan keuangan, makanan sehat dan bergizi), faktor sosial budaya (diskriminasi, penyesuaian dengan budaya dan normal yang baru, masalah dalam hubungan sosial), faktor psikologis (homesickness atau kerinduan terhadap kampung halaman dan kesepian karena jauh dari keluarga).
G. HUBUNGAN ANTARA KELEKATAN TERHADAP IBU DENGAN
TINGKAT STRES PADA MAHASISWA PERANTAU
Interaksi awal antara anak dan pengasuh adalah inti dari teori kelekatan. Ikatan afektif yang terbentuk antara anak dan pengasuh ini juga merupakan inti dari perkembangan identitas diri, regulasi diri, dan sikap seseorang (Bowlby, 1973). Kelekatan lebih umum terjadi pada ibu, karena ibu dianggap sebagai figur yang dapat memberikan kepuasan oral atau kebutuhan akan ASI pada bayi (Freud, dalam Santrock 1989/2002). Bowlby menggambarkan kelekatan sebagai sistem kontrol motivasi yang memiliki tujuan untuk mengusahakan keselamatan dan perasaan aman pada masa bayi dan kanak-kanak melalui hubungan anak dengan ibu (Bowlby, 1969).
tua, terutama ibu yang mencintai dan dapat memenuhi kebutuhannya akan mengembangkan model hubungan positif dengan kelekatan yang didasarkan pada rasa percaya (trust).
Kebutuhan anak yang terpenuhi secara intensif dan konsisten, membentuk kelekatan aman dengan ibu dan juga akan menjadi dasar untuk anak mengembangkan internal working model yang postif di mana anak merasa bahwa dirinya berharga dan diterima (Bowlby, 1969, 1973, 1980; Sroufe, 1990).
Menurut Bowlby (1973), seorang anak yang tumbuh dengan kelekatan aman memiliki internal working model yang positif sehingga anak memiliki konsep diri, keyakinan, dan kepercayaan dalam dirinya bahwa dia adalah pribadi yang dicintai dan dapat mencintai. Anak dengan pribadi seperti ini cenderung mudah beradaptasi, percaya diri, dan memiliki kemampuan sosial yang baik beranjak dewasa. Secara terus-menerus anak akan mengembangkan model yang serupa dengan dirinya. Oleh karena itu, model ini selanjutnya akan digeneralisasikan anak dari orang tua kepada orang lain, misalnya pada teman sebaya. Anak akan berpendapat bahwa teman adalah orang yang dapat dipercaya (Eliasa, 2011).
oleh sekitarnya (Bowlby, 1969, 1973, 1980; Sroufe, 1990). Anak yang tumbuh dengan kecurigaan akan menjadi pencemas dan kurang mampu menjalin hubungan sosial (Eliasa, 2011).
Anak yang tumbuh dengan penuh kecemasan seperti ini tidak memiliki konsep diri yang baik, merasa tertolak, cenderung sulit beradaptasi, dan kurang memiliki kemampuan sosial yang baik saat beranjak dewasa. Akibatnya saat anak memasuki tahap baru dalam kehidupan yaitu sebagai remaja yang harus merantau dan terpisah dari keluarga khususnya figur lekat (ibu) maka remaja cenderung rentan terhadap stres.
Proses perpindah remaja sehingga terpisah dengan orang tua dan menjadi mahasiswa perantau, merupakan hal yang serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Mary Ainsworth yaitu strange situation (dalam Papaplia, Old, & Feldmen, 2008). Remaja dengan kualitas kelekatan aman tinggi menganggap proses meninggalkan rumah dan memasuki dunia kampus sebagai tempat untuk mengeskplorasi dan menguasai lingkungan serta mengembangkan potensi sosial. Sementara itu, remaja dengan kualitas kelekatan aman rendah akan merasa terancam dengan lingkungan barunya (Kenny, 1987).
daerah baru secara maksimal sehingga memiliki stres yang cenderung rendah (Mattanah, Lopez, & Govern, 2011; Power, 2004). Kemampuan sosial yang baik dapat menjadi dasar mahasiswa perantau untuk membangun relasi pertemanan atau persahabatan (Armsden & Greenberg, 1987). Oleh karena itu, walaupun jauh dari orangtua, tingkat stres yang dimiliki mahasiswa perantau cenderung rendah karena di tempat perantauan tidak merasa sendiri saat menghadapi masalah (Bernier, Larose, Boivin, & Soucy, 2004). Hal ini didukung oleh kepercayaan (trust) yang terbentuk dari kelekatan aman tinggi, sehingga remaja memiliki keyakinan bahwa akan selalu ada orang lain saat dia membutuhkan bantuan atau dukungan.
sepenanggungan membuat stres yang dirasakan cenderung rendah (Feldman, 2012).
Tanda panah dua arah = stres berlangsung belakangan, didukung oleh kelekatan pada masa awal perkembangan yang membentuk karakter tertentu pada seseorang dan berlanjut dengan kualitas aspek-aspek kelekatan terhadap ibu pada masa remaja.
Mudah beradaptasi Percaya diri
Memiliki kemampuan sosial yang baik
Menerima persahabatan Merasa diri berharga
Sulit beradaptasi Minder
Memiliki kemampuan sosial yang kurang baik
Menolak dukungan, cinta, dan respons positif dari orang lain Merasa tertolak
INTERNAL WORKING MODEL ( + )
INTERNAL WORKING MODEL ( – )
STRES TINGGI STRES
RENDAH
BASIC TRUST BASIC MISTRUST
Kelekatan aman tinggi: Komunikasi tinggi, kepercayaan tinggi, keterasingan rendah
Kelekatan aman rendah: komunikasi atau
kepercayaan rendah, keterasingan tinggi KELEKATAN
[image:60.842.69.748.74.440.2]40
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kuantitatif, yaitu mengumpulkan data yang dapat dianalisis dan disimpulkan dengan perhitungan statistik (Azwar, 2015). Sedangkan jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah korelasional, yaitu penelitian yang memiliki karakteristik berupa hubungan antara dua variabel atau lebih (Supratiknya, 2014). Berdasarkan karakteristik tersebut, maka penelitian ini memiliki tujuan untuk melihat ada tidaknya hubungan negatif antara dua variabel, yaitu kelekatan terhadap ibu dan tingkat stres pada mahasiswa perantau.
B. Identifikasi Varibel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah:
1. Variabel independen : Kelekatan terhadap ibu 2. Variabel dependen : Tingkat Stres
C. Definisi Operasional
1. Stres
a. Stres Sebagai Respons
Stres yang dimaksud adalah respon-respon yang muncul akibat suatu keadaan yang penuh tekanan. Respons ini dapat secara fisiologis, seperti: jantung berdebar, pusing, dan gemetar. Sedangkan respons psikologis seperti: takut, cemas, dan mudah tersingung. Stres sebagai respons diukur dengan skala Symptoms of Stress (McCarthy & Matheny, 2000).
Penilaian stres sebagai respons dilihat dari total skor perolehan pada skala ini. Skor total yang tinggi menunjukkan kecenderungan tingkat stres sebagai respons yang tinggi. Sedangkan, skor yang rendah menunjukkan kecenderungan tingkat stres sebagai respons yang rendah.
b. Stres Sebagai Stimulus
Stres yang dimaksud adalah kejadian-kejadian atau stresor yang menimbulkan stres. Stres sebagai stimulus diukur dengan skala The Inventory of College Students’ Recent Life Experiences (Kohn, Lafreniere, & Gurevich, 1990). Skala ini berisikan kejadian-kejadian atau stresor-stresor yang sesuai dengan kehidupan mahasiswa.
Sedangkan, skor yang rendah menunjukkan kecenderungan tingkat stres sebagai stimulus yang rendah.
c. Stres Terkait Cognitive Appraisal
Stres yang dimaksud adalah penilaian kognitif atau evaluasi terhadap suatu stresor. Dengan kata lain, stres terkait cognitive appraisal berfokus pada persepsi seseorang terhadap suatu keadaan yang penuh tekanan. Stres terkait cognitive appraisal diukur dengan skala Perceived Stress Scale (Cohen, Kamarck, Mermelstein 1983).
Penilaian stres terkait cognitive appraisal dilihat dari total skor perolehan pada skala ini. Skor total yang tinggi menunjukkan kecenderungan tingkat stres terkait cognitive appraisal yang tinggi. Sedangkan, skor yang rendah menunjukkan kecenderungan tingkat stres terkait cognitive appraisal yang rendah.
2. Kelakatan Terhadap Ibu
Kelakatan terhadap ibu merupakan ikatan emosional yang terbentuk ketika bayi antara anak dan ibu. Kelekatan diukur dengan
kualitas komunikasi, dan aleniasi (keterasingan) (Greenberg & Armsden, 2009).
Penilaian kelekatan dilihat dari total skor perolehan pada skala tersebut. Skor total yang tinggi menunjukkan kecenderungan kelekatan aman yang tinggi. Apabila skor rendah, maka kecenderungan individu memiliki kelekatan aman yang rendah.
D. Subjek Penelitian
Populasi merupakan keseluruhan subjek penelitian (Mustafidah, 2011). Populasi dari penelitian ini adalah mahasiswa perantau. Populasi mahasiwa perantau sedemikian besar, sehingga tidak memungkinkan peneliti untuk mengamati secara keseluruhan, maka dari itu bagian dari keseluruhan populasi yang akan diamati harus ditarik untuk dijadikan sampel penelitian.
E. Prosedur Penelitian
Penelitian ini menggunakan skala yang disebarkan kepada mahasiswa perantau berupa angket. Penyebaran dilakukan di kampus peneliti, dengan cara memasuki beberapa kelas yang sebelumnya sudah meminta izin dosen pengajar untuk menyediakan waktu pada akhir jam perkuliahan. Saat masuk ke dalam kelas, peneliti menjelaskan kriteria subjek sehingga yang tidak sesuai dengan kriteria boleh meninggalkan ruang kelas.
Penelitian ini dilakukan secara klasikal, setelah skala dibagikan subjek langsung diminta untuk mengerjakan dan mengumpulkan. Sementara itu untuk menjangkau mahasiswa perantau lain di luar kampus peneliti, skala juga disebarkan secara online melalui media sosial seperti
facebook, path, twitter.
F. Uji Coba Alat Pengumpulan Data
G. Metode dan Alat Pengumpulan Data
1. Metode
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menyebarkan angket kepada subjek penelitian yang telah ditentukan oleh peneliti. Skala adalah alat ukur psikologis dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk menangkap respon seseorang terhadap konsep yang diukur sehingga dapat diberi penilaian atau skor dan dapat diinterpretasikan (Azwar, 1999). Penelitian ini dilakukan dengan cara menyebarkan angket dan online.
2. Alat Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, stres diukur dengan beberapa alat ukur yaitu:
Symptoms of Stress Scale, The Inventory of College Students’ Recent
Life Experiences, dan Perceived Stress Scale. Sementara itu, varibel kelekatan terhadap ibu akan diukur dengan skala IPPA-M (Inventory of Parent and Peer Attachment - Mother Version).
Setelah mendapatkan izin dari kedua peneliti tersebut, berikut ini penjelasan secara garis besar proses adaptasi skala pada penelitian terdahulu; penerjemahan dilakukan melalui tiga proses, oleh peneliti dan dua orang yang berkompetensi dalam bahasa inggris. Pertama peneliti menerjemahkan ketiga skala ke dalam bahasa Indonesia. Proses kedua, salah satu orang yang berkompetensi dalam bahasa inggris menerjemahkan kembali terjemahan peneliti ke dalam bahasa inggris.
Proses terakhir, skala berbahasa inggris yang dihasilkan pada proses kedua dibandingkan dengan skala yang asli. Dari situ dilihat apakah keduanya memiiki makna yang sama. Proses pembandingan ini dilakukan oleh satu orang lainnya.
Berikut ini penjelasan mengenai masing-masing skala penelitian:
a. Symptoms of Stress Scale (SOS)
Skala yang dikembangkan oleh McCarthy dan Matheny (2000) terdiri dari 10 item, mengukur frekuensi sese