• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH EXPERIENTIAL MARKETING TERHADAP LOYALITAS PELANGGAN STARBUCKS DI KOTA MEDAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENGARUH EXPERIENTIAL MARKETING TERHADAP LOYALITAS PELANGGAN STARBUCKS DI KOTA MEDAN"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH EXPERIENTIAL MARKETING TERHADAP LOYALITAS PELANGGAN STARBUCKS DI KOTA MEDAN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

OLEH

JUSTINE PHILIA SINAGA 171301118

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2021

(2)
(3)

(4)

PENGARUH EXPERIENTIAL MARKETING TERHADAP LOYALITAS PELANGGAN STARBUCKS DI KOTA MEDAN

Justine Philia Sinaga dan Zulkarnain Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK

Persaingan bisnis industri kopi di Indonesia yang semakin ketat mengharuskan perushaan untuk mempertahankan loyalitas pelanggannya. Salah satu perusahaan global yang terjun dalam industri kopi adalah Starbucks. Starbucks membranding diri mereka di beberapa sosial media, seperti Facebook, Twitter , Instagram dan melakukan marketing. Salah satu yang diterapkan oleh Starbucks yaitu experiential marketing. Tujuan penelitian ini adalah menguji pengaruh experiential marketing terhadap loyalitas pelanggan Starbucks. Teknik kuisioner digunakan untuk mengumpulkan data dari 310 partisipan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dan data dianalisis menggunakan regresi linier sederhana. Hasilnya menegaskan bahwa experiential marketing berpengaruh signifikan terhadap loyalitas pelanggan Starbucks di Kota Medan.

Studi Ini juga mengungkapkan bahwa pengalaman positif pelanggan memainkan peran penting dalam keputusan melakukan pembelian berulang.

Kata Kunci : Experiential Marketing, Loyalitas, Pelanggan, Starbucks

(5)

THE INFLUENCE OF EXPERIENTIAL MARKETING ON STARBUCKS CUSTOMER LOYALTY IN MEDAN

Justine Philia Sinaga and Zulkarnain

Faculty of Psychology University of Sumatera Utara

ABSTRACT

The increasingly tight competition in the coffee industry in Indonesia requires companies to maintain the loyalty of their customers. One of the global companies involved in the coffee industry is Starbucks. Starbucks branded itself on several social media, such as Facebook, Twitter, Instagram and doing marketing.

One that Starbucks applies is experiential marketing. The purpose of this study was to examine the effect of experiential marketing on Starbucks customer loyalty. A questionnaire technique was used to collect data from 310 participants. The method used in this study is a quantitative and the data were analyzed using simple linear regression. The results confirm that experiential marketing has a significant effect on customer loyalty at Starbucks in Medan. The study also revealed that a positive customer experience plays an essential role in making a repeat purchase.

Keywords : Experiential Marketing, Customer Loyalty, Starbucks

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan anugerah yang telah diberikan-Nya kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Experiential Marketing Terhadap Loyalitas Pelanggan Starbucks Di Kota Medan”. Penelitian ini merupakan syarat kelulusan akhir masa studi dalam mencapai gelar Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, Medan.

Banyak hambatan maupun rintangan yang saya hadapi dalam penyusunan skripsi ini. Keberhasilan dalam penelitian ini tidak akan terwujud tanpa adanya bimbingan, bantuan, serta arahan dari pihak-pihak yang selalu menemani saya dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan kali ini saya ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Tuhan Yesus Kristus yang selalu memberikan berkat serta mujizat yang baru setiap harinya, selalu memberkati dan melindungi saya.

2. Bapak Zulkarnain, Ph.D, Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, beserta Bapak Eka Danta Jaya Ginting, M.A., Psikolog, Bapak Ferry Novliadi, M.Si dan Ibu Hasnida, Ph.D, selaku Wakil Dekan I, II, dan III yang telah memberikan dukungan dan bimbingan kepada penulis selama masa perkuliahan.

3. Bapak Zulkarnain, Ph.D, Psikolog selaku dosen pembimbing yang selalu sabar menghadapi peneliti, bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing peneliti, dan tidak berhenti memberikan nasehat serta teguran untuk semangat dalam menyusun skripsi ini.

4. Bapak Ari Widiyanta, M.Psi, Psikolog selaku dosen penanggung jawab akademik saya yang sudah meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya dalam membimbing saya sedari semester I hingga selesai.

5. Seluruh dosen Fakultas PSikologi USU beserta para staff yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, terimakasih atas ilmu, arahan dan bimbingan yang telah diberikan kepada saya selama masa perkuliahan.

(7)

6. Kedua orangtua saya, Apah dan Mama, Mahaitin Hasohan Sinaga dan Yusniar Damanik, yang sudah membantu saya lewat doa yang tiada henti, memberikan bantuan moral dan materil yang sangat tulus diberi, dan ilmu yang sangat berarti yang akan terus saya tanamkan dalam diri saya untuk meraih cita-cita yang selalu diaminkan. Terimakasih sudah percaya dan membantu dalam mewujudkan mimpi saya.

7. Kedua adik saya, Elbert Passion Sinaga dan Agatha Consuela Sinaga, yang selalu mendoakan dan mendukung serta menghibur saya selama proses pengerjaan skripsi ini.

8. Subjek penelitian saya yang berjumlah 310 orang. Terimakasih sudah bersedia untuk dilibatkan dan berpartisipasi dalam membantu saya menyelesaikan skripsi ini.

9. Eurico Almendo Simbolon, pacar saya yang sudah bersedia selalu memberikan semangat, doa dan selalu menghibur saya selama pengerjaan skripsi ini.

10. Sahabat saya, Agnes Aneni Tefila Purba dan Vany Regina Sembiring yang selalu mendengar keluhan dan selalu membantu saya serta memberikan dukungan tanpa henti dalam selama proses perkuliahan hingga saat ini.

11. Sahabat-sahabat saya “ASUTD” (Yoan, Epin, Wina) yang telah memberikan semangat, doa, dan selalu menghibur saya selama proses perkuliahan sampai saat ini.

12. Teman seperdopingan saya, Sidiq Dwi Hastono yang sama-sama berjuang dan mendukung saya dalam proses pengerjaan skripsi.

13. Seluruh teman-teman yang berperan penting dalam proses penyelesaian skripsi ini, yaitu, Vanessa, Elisabeth, Igreya, Herlinda, Ricky, Fuad , Rezky, Ombun, Ridwan, Agi, yang selalu mendukung dan menghibur saya selama masa perkuliahan.

14. Teman-teman BPH Namaposo GKPS Padang Bulan dan seluruh teman- teman satu pelayanan yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, yang sudah memberikan saya semangat selama proses pengerjaan skripsi ini.

(8)

15. Seluruh teman-teman Angkatan 2017, yang telah memberikan semangat, dukungan dan sudah memberikan saya pengalaman yang luar biasa selama saya berkuliah di sini.

(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I ... 1

PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ...6

C. Tujuan Penelitian ...7

D. Manfaat Penelitian...7

1. Manfaat Teoritis ...7

2. Manfaat Praktis ...7

E. Sistematika Penulisan ...8

BAB II ... 9

TINJAUAN PUSTAKA... 9

A. Loyalitas...9

1. Definisi Loyalitas ...9

2. Aspek-Aspek Loyalitas ...11

3. Indikator Loyalitas ...12

4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Loyalitas ...12

B. Experiential Marketing ...14

1. Definisi Experiential Marketing ...14

2. Karakteristik Experiential Marketing ...16

3. Elemen Experiential Marketing ...17

C. Starbucks ...22

D. Pengaruh Experiential Marketing Terhadap Loyalitas Pelanggan Starbucks ...24

E. Hipotesis ...27

(10)

BAB III... 28

METODE PENELITIAN ... 28

A. Metode Penelitian ...28

B. Identifikasi Variabel ...28

C. Definisi Operasional ...28

1. Experiential Marketing ...28

2. Loyalitas Pelanggan ...29

D. Populasi Dua Sampel ...29

1. Populasi ...29

2. Sampel Dan Teknik Sampling ...29

E. Metode Pengumpulan Data...31

F. Uji Coba Instrumen Penelitian ...33

1. Validitas Alat Ukur ...33

2. Uji Coba Daya Beda Aitem...33

G. Hasil Uji Coba Alat Ukur ...34

1. Hasil Uji Coba Alat Ukur Skala Experiential Marketing ...34

2. Hasil Uji Coba Alat Ukur Skala Loyalitas Pelanggan ...34

H. Prosedur Penelitian ...35

1. Persiapan Penelitian ...35

2. Pelaksanaan Penelitian ...36

3. Pengolahan Data ...36

I. Metode Analisa Data ...36

1. Uji Normalitas ...37

2. Uji Linearitas ...37

BAB IV ... 38

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 38

A. Analisa Data ...38

1. Gambaran Umum Subjek Penelitian...38

2. Analisa Deskriptif ...42

B. Hasil Uji Asumsi Klasik ...44

1. Uji Normalitas...44

2. Uji Linearitas ...45

C. Analisis Data Inferensial ...46

(11)

D. Pembahasan ...48

BAB V ... 53

KESIMPULAN DAN SARAN ... 53

A. Kesimpulan...53

B. Saran ...53

1. Saran Metodologis ...54

2. Saran Praktis ...54

DAFTAR PUSTAKA ... 55

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 : Blue print skala experiential marketing untuk uji coba..………. 32

Tabel 3.2 : Blue print skala loyalitas untuk uji coba..……… 33

Tabel 3.3 : Hasil uji coba reliabilitas experiential marketing……… 34

Tabel 3.4 : Blue print skala experiential marketing setelah uji coba………. 35

Tabel 3.5 : Hasil uji coba reliabilitas loyalitas pelanggan………. 35

Tabel 3.6 : Blue print skala loyalitas pelanggan setelah uji coba……….. 36

Tabel 4.1 : Penyebaran subjek berdasarkan jenis kelamin……… 39

Tabel 4.2 : Penyebaran subjek berdasarkan jenis pekerjaan………. 40

Tabel 4.3 : Penyebaran subjek berdasarkan usia………... 41

Tabel 4.4 : Penyebaran subjek berdasarkan tingkat pendidikan terakhir... 42

Tabel 4.5 : Perbandingan mean empirik dan mean hipotetik………. 43

Tabel 4.6 : Norma kategorisasi experiential marketing dan loyalitas pelanggan.. 44

Tabel 4.7 : Kategorisasi variabel experiential marketing……….. 44

Tabel 4.8 : Kategorisasi variable loyalitas pelanggan………... 45

Tabel 4.9 : Hasil uji normalitas……….. 46

Tabel 4.10 : Hasil uji linearitas……… 47

Tabel 4.11 : Hasil analisis perhitungan regresi……… 48

Tabel 4.12 : Tabel koefisien determinan (R2)……….. 48

Tabel 4.13 : Tabel koefisien regresi loyalitas pelanggan dengan experiential marketing……….. 49

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN A Skala Penelitian Sebelum Try Out LAMPIRAN B Skala Penelitian Sesudah Try Out LAMPIRAN C Uji Daya Beda Aitem Dan Reliabilitas LAMPIRAN D Hasil Uji Asumsi Dan Hasil Analisa Regresi LAMPIRAN E Data Mentah Subjek Penelitian

(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pertumbuhan bisnis makanan dan minuman semakin berkembang pesat terutama persaingan bisnis industri kopi di Indonesia yang menjadi semakin ketat untuk mempertahankan loyalitas pelanggan, ditandai dengan melihat semakin banyaknya masyarakat yang gemar mengonsumsi kopi sebagai gaya hidup yang baru dan munculnya berbagai kompetitor di industri tersebut (Ulumuddin & Sharif, 2020). Produsen dituntut memberikan sesuatu yang lebih terhadap produk- produknya kepada pelanggan agar pelanggan tersebut tertarik untuk tetap loyal terhadap produknya. Ada beberapa alasan pelanggan loyal terhadap suatu produk, salah satunya adalah kepuasan pelanggan, di mana kepuasan pelanggan adalah tingkat di mana anggapan terhadap produk sesuai dengan harapan seorang pembeli.

Harapan pelanggan umumnya merupakan perkiraan atau keyakinan pelanggan tentang apa yang akan diterimanya bila ia membeli atau mengkonsumsi suatu produk (Faradina & Amelia, 2016). Salah satu perusahaan global yang terjun dalam industri kopi adalah coffee shop Starbucks. Starbucks mempunyai cabang hampir di seluruh dunia dengan varian menu yang sama. Starbucks mengekspansi perusahaannya secara global, dan telah mengoperasikan lebih dari 300 anak perusahaan di Inggris, Australia, dan Thailand dan salah satunya adalah Indonesia.

Starbucks telah memiliki 15.000 jaringan perusahaan internasional di seluruh dunia (Saraswati, Kumadji, & Abdillah, 2014). Per Mei 2020, Starbucks berdiri di 79 negara di 6 benua dengan total 31.256 kedai (Wikipedia, 2021).

Di Indonesia sendiri harga sebuah kopi Starbucks bertaksir antara 30-60 ribu rupiah. Untuk ukuran sebuah kopi, harga Starbucks sendiri tergolong mahal.

Namun Starbucks tetap mampu bertahan di tanah air, bahkan hingga saat ini ratusan cabang juga sudah ada, jumlah ini mungkin bisa bertambah terus menerus.

Starbucks juga selalu menempatkan posisi mereka sebagai sebuah brand premium yang mengandalkan kualitas dari cita rasa kopi yang unik. Akan tetapi, mereka tidak hanya menawarkan produk dalam bentuk kopi saja namun juga fasilitas

(15)

tempat yang nyaman. Mereka membuat sebuah toko kopi secara mewah dengan standar kualitas tertentu. Hingga saat ini target dari Starbucks sendiri adalah mereka yang berada di level kelas menengah ke atas. Tetapi Starbucks juga sering memberikan berbagai promo menarik bagi pengikutnya di sosial media. Hal ini juga membuat kopi Starbucks semakin menarik berbagai kalangan untuk membeli produknya. Starbucks juga membranding diri mereka di beberapa sosial media lain, seperti Facebook dan Twitter dalam bentuk tulisan. Dari sisi visual, mereka juga melakukan strategi pemasaran menggunakan Youtube. Ini terbukti membuat para pelanggan semakin tertarik untuk melakukan pembelian ulang kopi Starbucks sehingga loyalitas pelanggan pun meningkat (Andriawan, 2018)

Menurut Nurdianah, (2019) mengonsumsi kopi sudah menjadi gaya hidup masyarakat Indonesia. Berdasarkan data dari Euromonitor cafe di Indonesia selalu bertambah setiap tahunnya, bahkan pertumbuhannya meningkat sampai 16% setiap tahunnya. Starbucks sendiri tidak lepas dari persaingan yang semakin ketat karena dalam beberapa tahun terakhir ini industri yang berkembang adalah industri makanan dan minuman terutama kafe-kafe kopi di Indonesia (Hadiwidjaja &

Dharmayanti, 2014). Menurut Top Brand Index (2021), pada tahun 2020 Starbucks memiliki persentase sebesar (43,9%), sedangkan kompetitornya hanya memiliki persentase sebesar (11,7%). Artinya, Starbucks masih berada di posisi puncak sebagai brand kopi paling digemari di Indonesia.

Starbucks memiliki banyak kategori konsumen setia yang berbeda-beda yang dapat dibagi kedalam segmen yang berbeda-beda berdasarkan variabel geografis, demografis, psikografis dan perilaku. Secara geografis pasar Starbucks adalah masyarakat perkotaan yang dapat dibagi berdasarkan segmen domestik (Amerika Serikat) dan international. Starbucks menetapkan orang dewasa muda (sekitar usia 18-45 tahun), yang tinggal diperkotaan dan memiliki pendapatan tetap sebagai sasaran segmen terbaik. Penargetan ini akan berkonsentrasi pada konsumen dengan menawarkan suasana santai dan nyaman, sehingga mereka tidak hanya tertarik meraih secangkir kopi tetapi juga ingin menikmati pengalaman Starbucks.

Pertimbangan lain ditekankan pada gaya hidup orang dewasa muda perkotaan yang

(16)

biasanya cukup sibuk, sehingga sesuai dengan tujuan Starbucks yang ingin menciptakan budaya coffee-to-go (Agustina, 2014).

Kebanyakan kafe di Indonesia didominasi oleh pelanggan usia remaja dan dewasa. Karena saat ini kafe bukan hanya menjadi tempat untuk menikmati kopi, namun juga menjadi tempat untuk bertemu seseorang, tempat belajar untuk pelajar ataupun mahasiswa, bahkan sebagai tempat nongkrong bagi kalangan muda.

Adanya pergeseran atau perubahan fungsi dari sebuah tempat makan, seperti kafe ataupun restoran mengakibatkan adanya fenomena sosial dan budaya baru di dalam masyarakat karena perubahan perilaku dari masyarakat tersebut (Nurdianah, 2019).

Fenomena inilah yang dijadikan sebagai peluang usaha oleh perusahan atau pelaku usaha. Perusahaan dalam memenangkan persaingan serta mempertahankan produk, perlu memiliki kualitas produk yang terjamin dan layanan terbaik, sehingga akan tercipta sebuah kepuasan dan loyalitas dari para pelanggan. Salah satu strategi yang dapat diterapkan oleh perusahaan adalah menjaga kepercayaan pelanggan dengan menciptakan produk-produk yang unggul dan memiliki kualitas terbaik sesuai standar internasional sehingga akan menumbuhkan suatu nilai yang berbeda di mata para pelanggan. Standardisasi kualitas produk dan layanan diberikan kepada setiap pelanggan, agar pelanggan bisa membuktikan bahwa produk atau jasa yang dikonsumsi benar-benar produk dan jasa yang terbaik. Sehingga, dari sebuah nilai tersebut akan menumbuhkan sebuah kepuasan pelanggan dan mempertahankan loyalitas pelanggan (Saraswati, Kumadji, & Abdillah, 2014).

Oliver (2010) menyatakan loyalitas adalah komitmen pelanggan bertahan secara mendalam untuk berlangganan kembali atau melakukan pembelian ulang produk/jasa terpilih secara konsisten pada masa yang akan datang, meskipun pengaruh situasi dan usaha-usaha pemasaran mempunyai potensi untuk menyebabkan perubahan perilaku (Umar, 2014). Sedangakan menurut Parasuraman (2005) mendefinisikan loyalitas pelanggan dalam konteks pemasaran jasa sebagai respon yang terkait erat dengan ikrar relasi, dan biasanya tercermin dalam pembelian berkelanjutan dari penyedia jasa yang sama atas dasar dedikasi dan kendala pragmatis (Sangadji & Sopiah, 2013).

(17)

Pelanggan yang loyal tidak akan berpindah ke produk pesaing karena telah memiliki rasa emosional terhadap produk yang digunakan. Selain itu keterlibatan dan kepercayaan konsumen dalam upaya pencarian informasi produk juga menjadi faktor pembentuk loyalitas. Hal ini disebabkan oleh perkembangan arus informasi sehingga konsumen dapat menyerap informasi serta pengetahuan tentang suatu produk dengan cepat sehingga loyalitas pelanggan terhadap suatu produk akan semakin meningkat (Yumaida, 2017).

Menurut Kotler dan Amstrong (2005) yang mengatakan penyampaian pesan atau informasi agar dapat menciptakan hubungan baik dengan pelanggan juga dapat dilakukan dengan menggunakan alat-alat pemasaran yang terdiri dari iklan, promosi penjualan, acara dan pengalaman, penjualan pribadi, hubungan masyarakat dan publisitas serta pemasaran langsung dan pemasaran interaktif. Dari marketing tools yang dikatakan oleh Kotler dan Amstrong salah satunya adalah adanya iklan dan pengalaman yang merupakan sebuah interaksi komunikasi. Berawal dari pengalaman itulah yang akhirnya memunculkan sebuah konsep pemasaran baru yang disebut Experiential Marketing (Khirana, 2020).

Menurut Prameswari dan Astuti (2011) menyatakan bahwa pengiklanan dapat meningkatkan kesadaran akan merek, mendorong pencobaan terhadap merek tersebut dan menekankan pembelian yang berulang. Pengiklanan berinteraksi dengan pengalaman masa lalu dalam menggunakan suatu merek untuk mendorong kecenderungan melakukan pembelian berulang. Iklan mampu menumbuhkan prioritas membeli konsumen dan pembelian ulang konsumen. Dengan demikian, iklan berpengaruh terhadap kesuksesan produk dan meningkatkan loyalitas konsumen (Nurlaili, 2013). Tidak hanya itu, konsumen tidak hanya menilai sebuah produk atau jasa berdasarkan kualitas, manfaat dan fungsi yang diberikan tetapi lebih dari itu mereka menginginkan suatu komunikasi dan kegiatan pemasaran yang memberikan sensasi, menyentuh hati mereka serta sesuai dengan gaya hidup mereka. Dengan kata lain, konsumen menginginkan produk yang kehadirannya dapat memberikan suatu pengalaman (experience). Konsep pemasaran yang memberikan pengalaman unik kepada pelanggan dikenal dengan istilah experiential marketing. Konsep ini berusaha menghadirkan pengalaman yang unik,

(18)

positif dan mengesankan kepada konsumen. Salah satu hal unik yang diterapkan oleh Starbucks dalam mencapai misinya adalah “Starbucks Go Local” yang merupakan penerapan dari experiential marketing. Starbucks sadar bahwa dalam usaha untuk menyamankan pelanggannya, budaya lokal adalah salah satu hal yang tidak dapat dipisahkan. Go Local adalah sebuah strategi yang memadukan antara budaya setempat dengan proses marketing Starbucks, khususnya pada desain gerai- gerai yang digunakan oleh Starbucks. Demi menciptakan pengalaman khusus dan kesan mendalam bagi pelanggannya, Starbucks menerapkan strategi Go Local tersebut dan mengubah desain serta tata gerainya menjadi suatu konsep kedai yang menyatu dan menguatkan konsep budaya tanpa meninggalkan kualitas yang disajikan oleh Starbucks (Pramudita, 2015). Dengan demikian, konsumen akan merasa terkesan pada pengalaman selama menikmati produk perusahaan ini akan tertanam dalam pikiran mereka sehingga nantinya pelanggan tidak hanya akan loyal tapi juga menyebarkan informasi mengenai produk perusahaan secara word of mouth (Musfar & Novia, 2012).

Pendekatan Experiential Marketing ini dinilai sangat efektif karena sejalan dengan perkembangan jaman dengan teknologi, para pengusaha lebih menekankan kualitas service dan sesuatu yang menjadi nilai tambah bagi perusahaan untuk membedakan bisnisnya dengan business competitor atau pesaing. Terdapat lima unsur dalam Experiential Marketing menurut Schmitt (1999) yaitu sense (panca indera), feel (perasaan), think (pikiran), act (kebiasaaan) dan relate (hubungan relasi) (Khirana, 2020). Dengan kelima unsur tersebut maka sebuah perusahaan harus mengerti bagaimana cara untuk merebut persaingan pasar yang nantinya juga berdampak positif bagi perusahaan. Menurut Schmitt dalam Khirana (2020), Experiential Marketing merupakan sebuah pemahaman baru tentang komunikasi sebuah produk kepada pelanggan dengan menambahkan unsur emosi dalam strategi ke dalamnya. Maka dari itu, pelaku usaha atau perusahaan harus bisa menumbuhkan ketertarikan yang memberikan pengalaman positif yang bisa di dapatkan pelanggan dari produk yang ditawarkan. Sehingga pengalaman tersebut bisa memberikan kesan yang akhirnya dapat berpengaruh ke hubungan pelaku usaha dan pelanggan dan diharapkan dapat menciptakan konsumen yang loyal.

(19)

Menurut Mokhtar dan Maiyaki (2011) saat konsumen dipuaskan oleh produk atau jasa yang diberikan perusahaan, konsumen akan cenderung membentuk suatu perilaku yang loyal terhadap perusahaan tersebut. Selanjutnya, saat kepuasan konsumen meningkat secara dramatis pada level tertentu, maka pada saat yang sama, konsumen akan menigkatkan loyalitasnya pada perusahaan (Lukito &

Dharmayanti, 2013).

Terdapat beberapa penelitian yang sudah dilakukan tentang experiential marketing sebagai dimensi (x) terhadap loyalitas pelanggan sebagai dimensi (y).

Seperti penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Oeyono dan Dharmayati (2013) dengan judul “Analisa Pengaruh Experiential Marketing Terhadap Loyalitas Konsumen Melalui Kepuasan Sebagai Intervening Variabel Di Tator Cafe Surabaya Town Square” dengan menggunakan metode kuantitatif menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif signifikan yang kuat dalam experiential marketing, yaitu: sense, feel, think, dan relate terhadap loyalitas pelanggan. Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Khirana (2020), menunjukkan bahwa bahwa terdapat pengaruh positif signifikan yang kuat dalam Experiential Marketing, yaitu : think dan act terhadap loyalitas pelanggan.

Berdasarkan beberapa penelitian diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti apakah Starbucks cukup menarik konsumen konsumennya dengan berbagai jenis penawaran untuk menimbulkan kepuasan dan pengalaman yang akan berpengaruh pada loyalitas pelanggan. Penelitian ini akan difokuskan pada pelanggan Starbucks di kota Medan karena cukup banyak masyarakat Kota Medan yang mengonsumsi Starbucks dalam sehari-hari. Maka dari itu peneliti tertarik untuk meneliti “Pengaruh Experiential Marketing Terhadap Loyalitas Pelanggan Starbucks di Medan”.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah terdapat Pengaruh Experiential Marketing Terhadap Loyalitas Pelanggan Starbucks Di Kota Medan?

(20)

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Pengaruh Experiential Marketing Terhadap Loyalitas Pelanggan Starbucks Di Kota Medan.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

a. Untuk memberikan informasi baru bagi ilmu psikologi, khususnya pada bidang ilmu psikologi industri dan organisasi mengenai Experiential Marketing dan loyalitas pelanggan.

b. Sebagai tambahan referensi bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut mengenai Experiential Marketing dan loyalitas pelanggan.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Responden

Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk meningkatkan pengetahuan mengenai experiential marketing dan loyalitas pelanggan.

b. Bagi penulis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana yang bermanfaat dalam mengimplementasikan pengetahuan penulis tentang Experiential Marketing terhadap loyalitas pelanggan.

c. Bagi peneliti selanjutnya

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan teori mengenai pengaruh Experiential Marketing terhadap loyalitas pelanggan, bagi yang ingin melanjutkan penelitian ini.

d. Bagi Perusahaan

Memberikan informasi kepada pihak Starbucks (Medan) mengenai ada tidaknya pengaruh experiential marketing terhadap loyalitas pelanggan, sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk menentukan

(21)

dan/atau mengembangkan suatu kebijakan yang berhubungan dengan experiential marketing dan loyalitas pelanggan.

E. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisi uraian latar belakang mengenai masalah yang ingin diteliti, rumusan masalah pada penelitian, tujuan dilakukannya penelitian, manfaat dari penelitian pengaruh Experiential Marketing terhadap loyalitas pelanggan Starbucks di Kota Medan, dan sistematika penulisan pada penelitian ini.

BAB II : LANDASAN TEORI

Bab ini merupakan bagian dari tinjauan teoritis yang mendasari masalah yang dijadikan sebagai variabel penelitian. Adapun konsep teori yang dijelaskan dalam penelitian ini adalah tentang Experiential Marketing dan loyalitas pelanggan.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini berisi penjelasan mengenai variabel penelitian, pendekatan penelitian, populasi penelitian, subjek penelitian, lokasi penelitian, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, prosedur penelitian, dan kredibilitas penelitian.

BAB IV : ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi penjelasan mengenai analisa data, hasil uji asumsi klasik, analisis data inferensial dan pembahasan.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi penjelasan mengenai kesimpulan dan saran .

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Loyalitas

1. Definisi Loyalitas

Loyalitas dapat diartikan sebagai suatu kesetiaan. Kesetiaan ini diambil tanpa adanya paksaan, tetapi timbul dari kesadaran sendiri pada masa lalu. Usaha yang dilakukan untuk menciptakan kepuasan konsumen lebih cenderung mempengaruhi sikap konsumen. Sedangkan konsep loyalitas konsumen lebih menerangkan kepada perilaku pembelinya. Kotler dan Keller (2012) menyatakan bahwa loyalitas pelanggan merupakan situasi yang pelanggan secara konsisten membelanjakan seluruh anggaran yang ada untuk membeli produk suatu layanan jasa dari penjual yang sama.

Oliver (2010) menyatakan loyalitas adalah komitmen pelanggan bertahan secara mendalam untuk berlangganan kembali atau melakukan pembelian ulang produk/jasa terpilih secara konsisten pada masa yang akan datang, meskipun pengaruh situasi dan usaha-usaha pemasaran mempunyai potensi untuk menyebabkan perubahan perilaku.

Lovelock dan Wright (2012) menjelakan loyalitas pelanggan adalah kesediaan pelanggan untuk terus berlangganan pada suatu perusahaan dalam jangka panjang, dengan membeli dan menggunakan jasa secara berulang-ulang, serta dengan sukarela merekomendasikan jasa perusahaan tersebut kepada orang lain. Barnes (2003) menegaskan bahwa mempertahankan pelanggan dapat dicapai melalui kepuasan pelanggan jangka panjang berdasarkan penciptaan nilai bagi pelanggan. Ketika pelanggan merasa menerima sesuatu yang bernilai, mereka akan menganugerahi perusahaan dengan loyalitas.

Menurut Tjiptono (2000) loyalitas konsumen adalah komitmen pelanggan terhadap suatu merek, toko atau pemasok berdasarkan sifat yang sangat positif dalam pembelian jangka panjang. Artinya, bahwa kesetiaan terhadap merek diperoleh karena adanya kombinasi dari kepuasan dan

(23)

keluhan. Dalam terjemahannya, Griffin (2003) mengatakan bahwa loyalitas adalah pembelian tetap yang diekspresikan dari waktu ke waktu oleh beberapa unit pengambilan keputusan. Bila seseorang merupakan pelanggan yang loyal, ia akan menunjukkan perilaku pembelian tetap yang diungkapkan dari waktu ke waktu oleh beberapa unit pengambilan keputusan. Menurut Griffin, seseorang pelanggan dikatakan setia atau loyal apabila pelanggan tersebut menunjukkan perilaku pembelian secara teratur atau terdapat suatu kondisi di mana mewajibkan pelanggan membeli paling sedikit dua kali dalam selang waktu tertentu.

Menurut Hasan (2015), Loyalitas merupakan perilaku yang terkait dengan sebuah produk, termasuk kemungkinan memperbaharui kontrak merek di masa yang akan datang, beberapa kemungkinan pelanggan mengubah dukungannya terhadap merek, beberapa keinginan pelanggan untuk meningkatkan citra positif suatu produk. Loyalitas pelanggan di definisikan sebagai orang yang membeli, khususnya yang membeli secara teratur dan berulang-ulang. Wantara (2015) juga berpendapat bahwa Loyalitas adalah komitmen mendalam untuk membeli atau menggunakan kembali produk atau jasa secara konsisten di masa yang akan datang, sehingga mendorong adanya pembelian merek yang sama walaupun terdapat pengaruh-pengaruh situasional dan usaha pemasaran yang berpotensi menyebabkan perilaku berpindah ke produsen lain. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Iqbal (2015), bahwa loyalitas pelanggan merupakan keterikatan yang era tantara pelanggan dengan pelaku bisnis sehingga mereka melakukan pembelian berulang yang didasarkan pada komunikasi yang positif.

Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa loyalitas pelanggan adalah keputusan pembelian berulang dalam jangka waktu tertentu yang dilakukan secara sukarela. Loyalitas dapat dilihat karena didasari oleh kepercayaan pelanggan pada suatu merek tertentu.

(24)

2. Aspek-aspek Loyalitas

Aspek loyalitas menurut Griffin (2005), menyatakan bahwa konsumen yang loyal memiliki beberapa aspek berikut :

a. Melakukan pembelian berulang secara teratur (makes reguler repeat purchases).

Pembelian berulang secara teratur adalah pelanggan yang telah membeli produk yang sama sebanyak dua kali atau lebih, atau membeli dua macam produk yang berbeda dalam dua kesempatan yang berbeda pula. Konsumen datang ke tempat yang sama berulang kali untuk mendapatkan keinginannya.

b. Melakukan pembelian di semua lini produk atau jasa (purchases across product and service lines).

Yaitu orang yang membeli semua barang atau jasa yang ditawarkan dan dibutuhkan. Mereka membeli secara teratur. Hubungan dengan jenis pelanggan seperti ini sudah kuat dan berlangsung lama, yang membuat mereka tidak terpengaruh oleh produk asing. Pelanggan biasanya akan mendapatkan tawaran berbagi produk dari toko seperti aksesoris berupa cangkir, gelas, tmblr, dan barang-barang lainnya yang memiliki label resmi dari toko tersebut. Pelanggan akan melihat nilai dari barang tersebut dibanding dengan berapa biaya yang harus dikeluarkannya.

c. Merekomendasikan ke orang lain (refers other).

Konsumen yang mendorong teman-temannya agar membeli barang atau jasa perusahaan atau merekomendasikan perusahaan tersebut pada orang lain. Konsumen yang loyal adalah konsumen yang sangat puas dengan produk atau jasa tertentu sehingga mempunyai antusiasme untuk memperkenalkannya kepada siapapun yang dikenal. Konsumen akan senantiasa mengatakan semua hal positif tentang perusahaan dan apa keuntungan yang di dapatkannya dibandingkan dengan produk pesaing.

(25)

d. Menunjukkan kekebalan dari day a tarik produk sejenis dari pesaing (demonstrates on immunity to the full of the competition).

Yaitu merupakan suatu bentuk hubungan yang paling kuat antara pelanggan dan perusahaan, dan berlangsung terus menerus karena kedua belah pihak melihatnya sebagai hubungan yang saling menguntungkan. Pelanggan akan melakukan pembelian secara terus menerus di perusahaan yang sama walaupun muncul berbagai tawaran dari pesaing.

3. Indikator Loyalitas

Menurut Griffin (2009) terdapat beberapa karakteristik pelanggan yang dapat dikatakan loyal, antara lain :

1. Pelanggan melakukan pembelian secara berulang dan teratur (makes regular repeat purchase)

2. Pelanggan membeli produk atau jasa yang lain di tempat yang sama (purchases across product and services line)

3. Pelanggan yang mereferensikan kepada orang lain (refresh other)

4. Pelanggan yang tidak dapat dipengaruhi oleh pesaing untuk pindah (demonstrates an immunity to be the full of the competition)

4. Faktor-Faktor yang mempengaruhi loyalitas

Menurut Zikmund (2003) ada lima aspek yang mempengaruhi loyalitas pelanggan, yaitu :

a. Satisfaction (Kepuasan)

Merupakan perbandingan antara harapan sebelum melakukan pembelian dengan kinerja yang dirasakan.

b. Emotional Bonding (Ikatan Emosi)

Dimana konsumen dapat terpengaruh oleh sebuah merek yang memiliki daya tarik tersendiri sehingga konsumen dapat diidentifikasikan dalam sebuah merek, karena sebuah merek dapat mencerminkan karakteristik konsumen tersebut. Ikatan yang tercipta dari sebuah merek ialah ketika

(26)

konsumen merasakan ikatan yang kuat dengan konsumen lain yang menggunakan produk atau jasa yang sama.

c. Trust (Kepercayaan)

Merupakan komponen ketiga yang memiliki keterkaitan dengan emotional bonding (ikatan emosi) yaitu kemauan seseorang untuk mempercayakan perusahaan atau sebuah merek untuk melakukan atau menjalankan sebuah fungsi.

d. Choice Reduction and Habit (Pengurangan Pilihan dan Kebiasaan) Situasi ketika konsumen akan merasa nyaman dengan sebuah merek ketika situasi mereka melakukan transaksi memberikan kemudahan.

e. History With the Company (Sejarah dengan Perusahaan)

Sebuah pengalaman seseorang pada perusahaan dapat membentuk perilaku. Ketika kita mendapatkan pelayanan yang baik dari perusahaan, maka kita akan mengulangi perilaku kita pada perusahaan tersebut.

Faktor-faktor yang mempengaruhi loyalitas konsumen menurut Griffin adalah sebagai berikut :

a. Attachment (Keterikatan)

Keterikatan yang dirasakan pelanggan terhadap produk atau jasa dibentuk oleh dua dimensi, yaitu: tingkat referensi (seberapa besar keyakinan pelanggan terhadap produk atau jasa tertentu) dan tingkat diferensiasi produk yang dipersepsikan (seberapa signifikan pelanggan membedakan produk atau jasa tertentu dari alternatif-alternatif lain). Keterikatan paling tinggi adalah bila pelanggan mempunyai preferensi yang kuat akan produk atau jasa tertentu dan dapat secara jelas membedakannya dari produk pesaing.

b. Repeat purchase (Pembelian berulang)

Empat jenis loyalitas yang berbeda muncul bila keterkitan rendah dan tinggi diklasifikasi-silang dengan pola pembelian ulang yang

(27)

rendah dan tinggi, yaitu: no loyalty, intertia loyalty, latent loyalty dan premium loyalty.

Faktor yang mempengaruhi loyalitas konsumen menurut Dharmmesta (1999), sebagai berikut :

a. Harga

Harga adalah jumlah uang yang dibutuhkan untuk mendapatkan sejumlah kombinasi dari barang beserta pelayanannya.

b. Pelayanan

Kualitas pelayanan menjadi salah satu faktor penting yang dapat membuat konsumen puas, pemasar dapat meningkatkan kualitas pelayanan jasa untuk mengembangkan loyalitas konsumennya.

c. Kualitas produk dan promosi

Konsumen yang memperoleh kepuasan atas produk yang dibelinya cenderung melakukan pembelian ulang produk yang sama. Pemasar yang kurang atau tidak memperhatikan kualitas produk yang ditawarkan akan menanggung resiko tidak loyalnya konsumen. Jika pemasar sangat memperhatikan kualitas, bahkan diperkuat dengan promosi produk yang intensif, loyalitas konsumennya pada merek yang ditawarkan akan lebih mudah diperoleh.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa faktor- faktor yang mempengaruhi loyalitas konsumen tidak hanya dari rasa keterikatan dan pembelian berulang namun perusahaan harus mampu mempertimbangkan hal-hal lain seperti kepuasan pelanggan, harga bahkan kualitas pelayanan.

B. Experiential Marketing

1. Definisi Experiential Marketing

Experiential Marketing berasal dari dua kata, yaitu: Experiential dan Marketing. Sedangkan Experiential sendiri berasal dari kata “experience”

yang berarti pengalaman. Menurut Pine dan Gilmore (1996), pengalaman merupakan suatu peristiwa yang terjadi dan dirasakan oleh masing-masing

(28)

individu secara personal yang dapat memberikan kesan tersendiri bagi individu yang merasakannya.

Schmitt (1999) menyatakan bahwa experience adalah pengalaman dari peristiwa pribadi yang terjadi sebagai tanggapan atas beberapa stimulus atau ransangan. Pengertian dari experiential marketing menurut Schmitt (1999) adalah cara untuk menciptakan pengalaman yang akan dirasakan oleh pelanggan ketika menggunakan produk atau jasa melalui panca indera (sense), pengalaman afektif (feel), pengalaman berpikir secara kreatif (think), pengalaman pelanggan yang berhubungan dengan tubuh secarafisik, dengan perilaku dan gaya hidup, serta dengan pengalaman – pengalaman sebagai hasil dari interaksi dengan orang lain (act), juga menciptakan pengalaman yang terhubung dengan keadaan sosial, gaya hidup, dan budaya yang dapat merefleksikan merek tersebut yang merupakan pengembangan dari sense, feel, think, dan act (relate) (Pangastuti, 2017).

Sedangakan menurut Kartajaya (2010), experiential marketing adalah suatu konsep pemasaran yang bertujuan untuk membentuk pelanggan-pelanggan yang loyal dengan menyentuh emosi mereka dan memberikan suatu perasaan yang positif terhadap produk dan pelayanan.

Menurut Smilansky (2017) Experiential adalah proses mengidentifikasi dan memuaskan kebutuhan dan aspirasi pelanggan secara menguntungkan, melibatkan mereka melalui komunikasi dua arah yang otentik yang menghidupkan kepribadian merek dan menambah nilai pada target audiens.

Lawyer (2013) juga menjelaskan bahwa experiential marketing merupakan disiplin ilmu yang memungkinkan pemasar untuk menciptakan hubungan yang lebih dengan konsumen yang akan menjadi paparan sebuah merek.

Puti (2012) berpendapat experiential marketing merupakan pendekatan pemasaran yang memberikan suatu framework yang luar biasa untuk memadukan elemen experience (pengalaman) dan entertainment (hiburan) ke dalam produk/jasa. Menurut Putra (2019) experiential marketing merupakan konsep dalam menganalisis pengalaman konsumen.

Lebih jelasnya untuk mengetahui faktor-faktor untuk membuat kejadian

(29)

yang berkesan untuk menyenangkan bagi konsumen. Experiental Marketing juga memberikan sebuah nilai tambah pada sebuah item, dalam menyentuh sisi sensitif pelanggan pada saat sedang menikmati makanan atau mencoba apa yang dirasakan. Schmitt & Zarantonello (2013) menyatakan experiential marketing dapat mempunyai keuntungan pada beberapa situasi seperti membangkitkan kembali merek yang mengalami penurunan, membedakan produk dengan produk kompetitor, menciptakan identitas perusahaan, mempromosikan inovasi, dan menciptakan loyalitas pelanggan terhadap suatu merek.

Berdasarkan definisi diatas tersebut dapat disimpulkan bahwa experiential marketing adalah pengalaman yang dirasakan oleh pelanggan terhadap suatu brand/product atau service yang dilakukan oleh perusahaan, dan yang menjadi target adalah sisi emosional pelanggan seperti sense, feel, think, act dan relate untuk meningkatkan kepuasan pelanggan sehingga dapat membentuk loyalitas pelanggan. Experiential marketing lebih dari sekedar memberikan informasi kepada pelanggan tetapi juga memberikan pelanggan pengalaman sehingga membangkitakan emosi dan perasaan pelanggan agar berdampak positif bagi perusahaan.

2. Karakteristik Experiential Marketing

Schmitt (1999) membagi Experiential Marketing menjadi empat kunci karakteristik antara lain:

a. Fokus pada pengalaman konsumen

Suatu pengalaman terjadi sebagai pertemuan, menjalani atau melewati situasi tertentu yang memberikan nilai-nilai indrawi, emosional, kognitif, perilaku dan relasional yang menggantikan nilai-nilai fungsional. Dengan adanya pengalaman tersebut dapat menghubungkan badan usaha beserta produknya dengan gaya hidup konsumen yang mendorong terjadinya pembelian pribadi dan dalam lingkup usahanya.

(30)

b. Menguji situasi konsumen

Berdasarkan pengalaman yang telah ada konsumen tidak hanya menginginkan suatu produk dilihat dari keseluruhan situasi pada saat mengkonsumsi produk tersebut tetapi juga dari pengalaman yang didapatkan pada saat mengkonsumsi produk tersebut.

c. Mengenali aspek rasional dan emosional

Dalam Experiential Marketing, konsumen bukan hanya dilihat dari sisi rasional saja melainkan juga dari sisi emosionalnya. Jangan memperlakukan konsumen hanya sebagai pembuat keputusan yang rasional tetapi konsumen lebih menginginkan untuk dihibur, dirangsang serta dipengaruhi secara emosional dan ditantang secara kreatif.

d. Metode dan perangkat bersifat elektik

Metode dan perangkat untuk mengukur pengalaman seseorang lebih bersifat elektik. Maksudnya lebih bergantung pada objek yang akan diukur atau lebih mengacu pada setiap situasi yang terjadi daripada menggunakan suatu standar yang sama. Pada Experiential Marketing, merek bukan hanya sebagai pengenal badan usaha saja, melainkan lebih sebagai pemberi pengalaman positif pada konsumen sehingga dapat menimbulkan loyalitas pada konsumen terhadap badan usaha dan merek tersebut.

3. Elemen Experiential Marketing

Menurut Schmitt dan Rogers (2008), Strategic Experiential Moduls (SEMs) merupakan kerangka Experiential Marketing yang terdiri dari pengalaman melalui indera (sense), pengalaman afektif (feel), pengalaman kognitif kreatif (think), pengalaman fisik dan keseluruhan gaya hidup (act), serta pengalaman yang menimbulkan hubungan dengan kelompok referensi atau kultur tertentu (relate).

Adapun 5 indikator pengalaman yang dimaksud dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Sense

Sense (pengalaman indera) adalah usaha untuk menciptakan pengalaman yang berkaitan dengan panca indra melalui penglihatan,

(31)

suara, sentuhan, rasa dan bau. Tujuan utama membentuk pengalaman indera adalah sebagai:

1. Differentiator (pembeda)

Sebagai pembeda, pengalaman indera berujuan untuk menampilkan identitas atau ciri khas tertentu yang tampak melalui stimulus, yakni dengan memberikan perhatian dan menjadikan informasi agar lebih menarik dari biasanya bisa melalui musik, warna atau tampilan agar tetap up to date. Dalam hal ini, empat hal penting yang menunjukkan ciri atau identitas produk antara lain: properties (gedung, bangunan, pabrik, kantor dan mesin pabrik), products (fisik produk dan aspek utama jasa), presentation (tampilan kemasan) dan publications (brosur, promosi, iklan).

2. Motivator (pemberi motivasi)

Sebagai motivator, pengalaman indera bertujuan untuk memberi motivasi kepada konsumen untuk mencoba produk dan membelinya. Dalam hal ini, pengalaman indera dapat diterapkan melalui tiga cara, yaitu:

a) Across modalities, dimana pengalaman indera disajikan dengan menggunakan multi media, dengan mengkombinasikan penampilan, pendengaran, penciuman dalam menyampaikan informasi;

b) Across express, dimana pengalaman indera disajikan menerapkan image (kesan tertentu) pada proroduk atau jasa.

Hal ini berhubungan dengan tingkat konsistensi elemen yang berkaitan panca indra;

c) Across space and time, dimana pengalaman indera disajikan melalui gaya, tema, slogan, warna, orang yang digunakan dalam iklan, pencahayaan dan struktur organisasi.

3. Add Value (memberi nilai)

Dalam hal ini, pengalaman indera bertujuan untuk menggabungkan seluruh komponen yang berkaitan dengan panca indra (atribut, gaya

(32)

dan tema) sebagai bagian dari sense strategies (cognitive consistency/sensory variety). Oleh karena itu, dalam menyediakan nilai yang unik dalam pengalaman konsumen, setiap perusahaan harus dapat memahami tipe dari sense yang diinginkan oleh konsumen.

b. Feel

Feel (pengalaman afektif) merupakan strategi dan implementasi untuk memberikan pengaruh merek kepada konsumen melalui komunikasi (iklan), produk (kemasan dan isinya), identitas produk (cobranding), lingkungan, websites, orang yang menawarkan produk. Setiap perusahaan harus memiliki pemahaman yang jelas mengenai cara penciptaan perasaan melalui pengalaman konsumsi yang dapat menggerakkan imajinasi konsumen yang diharapkan konsumen dapat membuat keputusan untuk membeli. Pengalaman afektif adalah hasil kontak dan interaksi yang berkembang sepanjang waktu, di mana dapat dilakukan melalui perasaan dan emosi yang ditimbulkan. Selain itu juga dapat ditampilkan melalui ide dan kesenangan serta reputasi akan pelayanan konsumen. Tujuan utama membentuk pengalaman afektif adalah untuk menggerakkan stimulus emosional (events, agents and objects) sebagai bagian dari feel strategies sehingga dapat mempengaruhi emosi dan suasana hati konsumen. Pengalaman afektif merupakan pengalaman yang tercipta sedikit demi sedikit, yaitu perasaan yang berubah-ubah, jarak antara mood yang positif atau negatif kepada emosi yang kuat.

Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan pengalaman afektif adalah:

1. Suasana hati (moods)

Moods merupakan pernyataan affective yang tidak spesifik.

Suasana hati dapat dibangkitkan dengan cara memberi stimuli yang spesifik. Suasana hati seringkali mempunyai dampak yang kuat terhadap apa yang diingat konsumen dan merek apa yang

(33)

akan mereka pilih. Keadaan suasana hati dapat dipengaruhi oleh apa yang terjadi selama konsumsi produk dan keadaaan hati untuk tercipta selama proses konsumsi. Pada gilirannya dapat mempengaruhi evaluasi menyeluruh konsumen atas produk.

2. Emosi (emotion)

Emosi lebih kuat dibandingkan dengan suasana hati dan merupakan pernyataan affective dari stimulus yang spesifik.

Misalnya marah, iri hati dan cinta. Emosi-emosi tersebut disebabkan oleh sesuatu/ seseorang (orang, peristiwa, perusahaan, produk atau komunikasi). Emosi dasar merupakan komponen-komponen dasar dari kehidupan konsumen, misalnya emosiemosi positif seperti senang dan emosi negatif

c. Think

Think (pengalaman kognitif kreatif) dilakukan untuk mendorong konsumen sehingga tertarik dan berpikir secara kreatif sehingga mungkin dapat menghasilkan evaluasi kembali mengenai perusahaan dan merek tersebut. Pengalaman ini lebih mengacu pada masa depan, fokus, nilai, kualitas dan perkembangan, serta dapat ditampilkan melalui hal-hal yang memberi inspirasi, teknologi dan kejutan.

1. Surprise : dalam suatu kejutan yang sangat diperlukan untuk menarik perhatian serta mengajak konsumen untuk berfikir kreatif. Kondisi ini membuat para konsumen mendapatkan sesuatu yang lebih dari harapannya atau sesuatu yang berbeda denga napa yang ia lakukan sebelumnya.

2. Intrigue : merupakan sesuatu diluar kejutan. Kejutan berangkat dari harapan dalam pemikiran. Intrik berada diluar kerangka pemikiran sebab membangkitkan rasa ingin tahu konsumen.

3. Provocation : provokasi menimbulkan perhatian yang luar biasa dari konsumen sebab menstimuli dengan diskusi dan kontraversinya. Namun memiliki resiko yang tinggi jika melalui

(34)

batas-batas moral etika danhukum di suatu komunitas atau kelompok tertentu.

d. Act

Act (pengalaman fisik dan gaya hidup) merupakan upaya untuk menciptakan pengalaman konsumen yang berhubungan dengan tubuh secara fisik, pola perilaku, dan gaya hidup dalam jangka panjang, berdasarkan pengalaman yang terjadi dari interaksi dengan orang lain.

Di mana gaya hidup sendiri merupakan pola perilaku individu dalam hidup yang direfleksikan dalam tindakan, minat dan pendapat.

Penciptaan pengalaman fisik dan keseluruhan gaya hidup dapat diterapkan dengan menggunakan trend yang sedang berlangsung, atau dengan mendorong terciptanya trend budaya baru. Tujuan penciptaan pengalaman fisik dan gaya hidup adalah untuk memberikan kesan terhadap pola perilaku dan gaya hidup, serta memperkaya pola interaksi sosial melalui strategi yang dilakukan. Act ini memberi pengalaman positif terhadap loyalitas konsumen jika konsumen merasa sesuai dengan gaya hidup mereka.

e. Relate

Relate (pengalaman identitas sosial) merupakan gabungan dari keempat aspek Experiential Marketing, yaitu: sense, feel, think dan act.

Pengalaman identitas sosial ditunjukkan melalui hubungan dengan orang lain, kelompok lain (misalnya pekerjaan, gaya hidup) atau komunitas sosial yang lebih luas dan abstrak (misalnya negara, masyarakat, budaya). Dalam hal ini, tujuan dari penciptaan pengalaman identitas sosial adalah untuk menghubungkan konsumen dengan budaya dan lingkungan sosial yang dicerminkan oleh produk atau jasa. Relate dapat memberi efek positif maupun negative terhadap loyalitas konsumen, ketika relate tidak dapat mengaitkan individu denga apa yang ada diluar dirinya maka akan berdampak negative.

(35)

C. Starbucks

Starbucks Corporation adalah sebuah perusahaan kopi dan jaringan kedai kopi global asal Amerika Serikat yang berkantor pusat di Seattle, Washington. Starbucks adalah perusahaan kedai kopi terbesar di dunia,dengan 20.336 kedai di 61 negara, termasuk 13.123 di Amerika Serikat, 1.299 di Kanada, 977 di Jepang, 793 di Britania Raya, 732 di Cina, 473 di Korea Selatan, 363 di Meksiko, 282 di Taiwan, 204 di Filipina, dan 164 di Thailand (Wikipedia, 2021).

Starbucks menjual minuman panas dan dingin, biji kopi, salad, sandwich panas dan dingin, kue kering manis, camilan, dan barang-barang seperti gelas dan tumbler. Melalui divisi Starbucks Entertainment dan merek Hear Music, perusahaan ini juga memasarkan buku, musik, dan film. Banyak di antara produk perusahaan yang bersifat musiman atau spesifik terhadap daerah tempat kedai berdiri. Es krim dan kopi Starbucks juga dijual di toko grosir (Wikipedia, 2021).

Sejak didirikan tahun 1971 di Seattle sebagai pemanggang dan pengecer biji kopi setempat, Starbucks meluas dengan cepat. Pada tahun 1990-an, Starbucks membuka kedai baru setiap hari kerja, satu tahap yang terus dilanjutkan sampai tahun 2000-an. Kedai pertama di luar Amerika Serikat atau Kanada dibuka pada pertengahan 1990-an, dan jumlah kedainya di luar negeri mewakili sepertiga dari total kedai Starbucks di seluruh dunia. Perusahaan ini berencana membuka 900 kedai baru di luar Amerika Serikat pada tahun 2009, dan telah menutup 300 kedai di Amerika Serikat sejak 2008 (Wikipedia, 2021).

Pada tahun 1996 Starbucks Coffee International membuka Pacific Rim Store (toko tepi pasifik) yang pertama di Tokyo, Jepang. Pada tahun 2003 Starbucks mempunyai lebih dari 30 pasar internasional dan tetap berkembang dengan cepat khususnya di tepi Pasifik dan Eropa. Di Indonesia, PT. Sari Coffee Indonesia merupakan pemegang lisensi Starbucks Coffee Internasional, yang membuka toko pertama Starbucks di Indonesia pada tanggal 17 Mei 2002, berlokasi di Plaza Indonesia (Indonesia, 2018).

(36)

Starbucks tidak pernah melakukan strategi pemasaran yang konvensional, seperti melakukan pemasangan billboard, pembuatan flyer hingga membuat iklan di tv. Semuanya mulai berubah ketika Starbucks go internasional, tepatnya pada pada tahun 2007. Jumlah tersebut terus bertambah seiring semakin banyaknya cabang mereka di seluruh dunia. Pada tahun 2018 lalu, mereka mengeluarkan uang mencapai 260 juta dollar untuk melakukan pemasaran di seluruh dunia. Hasilnya, Starbucks semakin terkenal dan cabang mereka terus bertambah, termasuk di Indonesia. Lebih lanjut, mereka tidak hanya membuat iklan secara konvensional melainkan juga merambah ke dunia digital. Di Instagram, mereka mempunyai pengikut kurang lebih 18 juta dengan beragam konten yang menarik. Mereka menggunakan beberapa jenis konten, mulai dari produk branding, testimonial hingga kampanye tertentu. Tak hanya itu, Starbucks juga membranding diri mereka di beberapa sosial media lain, seperti Facebook dan Twitter dalam bentuk tulisan. Dari sisi visual, mereka juga melakukan strategi pemasaran menggunakan Youtube (Andriawan, 2018).

Pada akhir 2018, setidaknya sudah ada 326 gerai Starbucks yang tersebar di seluruh Indonesia. Gerai ini memiliki konsep yang sama, cafe dengan fasilitas dine in yang cozy. Biasanya Starbucks bisa Anda temui di tempat – tempat yang strategis seperti mall mewah, daerah pusat kota, bandara, hingga rest area. Tahun 2019 sampai awal tahun 2020 gerai Starbucks terus meningkat jumlahnya, dari 541 menjadi 566 gerai di seluruh Indonesia dan kemungkinan akan terus meningkat (Coffee, 2021).

Pada tahun 2021 Starbucks dinobatkan (melalui voting) sebagai brand yang paling berpengaruh di sosial media. Starbucks tetap konsisten dalam menyajikan kopi meski trend coffee terus silih berganti. Itu yang membuat Starbucks sampai sekarang masih berdiri tegak dengan popularitasnya yang mendunia. Starbucks sendiri meraih 2,4 juta mention di social media dalam 'Top 100 Brands in Social Media Worldwide 2013' . Di posisi kedua dan ketiga terdapat Burger King dan McDonald's dengan mention 2,3 juta. Selama 16 tahun Starbucks berhasil mempertahankan posisinya dalam daftar perusahaan global dan meraih peringkat tertinggi di antara perusahaan lainnya dengan menu

(37)

makan dan minumnya yang beraneka ragam terutama minuman kopi yang banyak diminati oleh masyarakat di seluruh dunia (Izza, 2021).

D. Pengaruh Experiential Marketing Terhadap Loyalitas Pelanggan Starbucks

Penelitian yang dilakukan Tamara (2018) mengatakan bahwa keberlangsungan perusahaan bergantung pada kemampuan perusahaan dalam menjaga para pelanggannya agar pelanggan mereka dapat loyal dengan perusahaan tersebut dan tidak berpindah dengan perusahaan yang lain.

Memiliki pelanggan yang loyal adalah aset penting yang harus dijaga oleh perusahaan agar perusahaan mereka dapat terus bersaing dengan pesaingnya yang lain. Loyalitas pelanggan adalah hal penting yang harus dijaga oleh perusahaan serta dapat meningkatkan hubungan yang baik antara perusahaan penyedia jasa dengan para pelanggannya. Pelanggan yang loyal akan memberi keuntungan bagi perusahaan karena pelanggan yang loyal secara tidak langsung dapat berkontribusi dalam memperkenalkan produk atau jasa yang telah mereka rasakan kepada keluarga atau rekannya. Pelanggan yang loyal pun akan selalu menggunakan produk atau jasa dari perusahaan tersebut dan enggan menggunakan produk dari perusahaan lain.

Menurut penelitian yang dilakukan Eva Devindiani (2016), setiap konsumen melakukan konsumsi suatu produk atau jasa dan mengalami pengalaman yang baik, maka itu akan menghasilkan kepuasan konsumen secara kumulatif. Kepuasan konsumen yang terjadi secara berulang-ulang, konsisten, dan berkelanjutan, akan mengarahkan pada kesetiaan terhadap merek (customer loyalty), dikarenakan konsumen cenderung senang melakukan pembelian ulang dan berinteraksi dengan merek dari produk atau layanan tersebut. Sejalan dengan pendapat Zaltman (1979), loyalitas pelanggan adalah salah satu tipe dari pembelian yang berulang-ulang. Dimana Zaltman juga menambahkan bahwa konsumen bisa belajar dari pengalaman pambelian mereka dan tidak akan membeli lagi produk yang tidak memuaskan mereka jika ada alternatif- alternatif yang lebih memberikan kepuasan (Japarianto, 2013).

(38)

Iswanto (2020) berpendapat bahwa beberapa konsep pemasaran tradisional terfokus pada karakteristik dan keuntungan sehingga harus terus dikembangkan untuk meraih pangsa pasar yang luas serta dapat memuaskan hati para konsumennya. Salah satu konsep pemasaran yang lebih menekankan pada diferensiasi produk untuk membedakan antara produk yang dimilikinya dengan produk pesaing dikenal dengan istilah experiential marketing. Konsep pemasaran ini terfokus pada pengalaman konsumen atas keuntungan dalam penggunaan sebuah produk/jasa. Disisi lain pengalaman dari konsumen ini dapat menyentuh perasaan atau emosional yang berpengaruh pada peningkatan penjualan.

Menurut Schmitt “Experiential Marketing menyatakan bahwa pemasar menawarkan produk dan jasanya dengan merangsang unsur-unsur emosi konsumen yang menghasilkan berbagai pengalaman bagi konsumen”.

Kartajaya (2010) juga menyatakan bahwa, “Experiential Marketing adalah suatu konsep pemasaran yang bertujuan membentuk pelanggan yang loyal dengan cara menyentuh emosi pelanggan dengan menciptakan pengalaman- pengalaman positif dan memberikan suatu feeling yang positif terhadap produk dan jasa mereka” (Rizal, 2016). Menururt Grundey (2008) Experience didefinisikan sebagai tahap-tahap yang dialami yang bersifat subjektif dalam proses pembentukan atau perubahan diri individual dengan menekankan pada penyentuhan aspek emosi dan indera selama keterlibatan konsumsi. Sejalan dengan Smilansky (2009) yang mendefinisikan experiential marketing sebagai proses mengidetifikasi dan memberikan kepuasan atas kebutuhan dan keinginan konsumen melalui komunikasi dua arah yang menghidupkan identitas merek dan menambahkan nilai untuk target konsumen (Devindiani, 2016).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Eko Yuliawan dan Mbayak Ginting (2016), experiential marketing juga merupakan suatu teknik strategi pemasaran yang dilakukan suatu perusahaan dengan tujuan bukan bagaimana supaya orang membeli produk itu, tetapi bagaimana memberikan pengalaman pada pelanggan saat menggunakan produk itu. Jika pengalaman pahit yang

(39)

diterima oleh pelanggan maka jawabannya adalah kecewa, selanjutnya pelanggan pergi membawa pengalaman yang mengecewakan dan cenderung untuk menceritakan pengalaman pahitnya kepada lingkungannya, sebaliknya jika pengalaman yang didapat adalah pengalaman baik maka hal itu akan membuat pelanggan selalu teringat meski sudah beranjak dari tempat tersebut dan cenderung akan kembali ke tempat itu lagi. Experiential marketing tidak hanya sekedar menawarkan feature dan keuntungan dari suatu produk untuk memenangkan hati konsumen, tetapi juga harus dapat memberikan sensasi dan pengalaman yang baik yang kemudian akan menjadi basis dan dasar bagi loyalitas pelanggan.

Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Rohmat Dwi Jatmiko dan Sri Nastiti Andharini (2012), menyatakan bahwa experiential marketing memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap loyalitas pelanggan dikarenakan adanya keterkaitan antara experiential marketing dengan loyalitas pelanggan. Menurut Barnes (2003) loyalitas dibentuk terlebih dahulu dari penilaian pelanggan. Dengan memberikan nilai yang lebih baik daripada apa yang didapatkan pelanggan di tempat lain berarti perusahaan telah memberikan kontribusi pada keputusan pelanggan untuk tetap loyal terhadap suatu perusahaan (Khirana, 2020). Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Iswanto (2020) bahwa konsep experiential marketing ini dapat diterapkan pada perusahaan jasa maupun produk untuk memaksimalkan penjualan dan keuntungan. Hasil studi menunjukkan bahwa experiential marketing pengaruh positif signifikan terhadap loyalitas nasabah bank.

Dari beberapa penelitian diatas menunjukkan bahwa experiential marketing dapat mempengaruhi loyalitas konsumen. Konsumen dapat merasakan kepuasan sehingga menciptakan loyalitas yang berdampak pada penggunaan produk/jasa dengan jangka waktu yang panjang, menciptakan word of mouth sehingga dapat memperluas pangsa pasar, dan dengan konsep ini perusahaan dapat pula mengerti keinginan dan kebutuhan nasabah/konsumen yang nantinya berguna untuk pengembangan produk baru.

(40)

Didukung paparan penelitian terdahulu diatas, maka peneliti ingin meneliti lebih lanjut mengenai pengaruh experiential marketing terhadap loyalitas pelanggan Starbucks di Kota Medan.

E. Hipotesis

Dalam penelitian ini hipotesa yang diajukan menggunakan pengujian hipotesa satu arah, yaitu:

Experiential Marketing berpengaruh positif dalam meningkatkan loyalitas pelanggan Starbucks.

(41)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Penelitian yang dipakai pada penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Penelitian Kuantitatif yaitu yang menekan pada data-data numerikal (angka) yang diolah dengan metode statistika. Dengan metode kuantitatif akan diperoleh signifikansi perbedaan kelompok atau signifikansi hubungan variabel yang diteliti (Azwar, 2016).

Metode penelitian ini adalah metode penelitian kuantitatif yang bersifat eksplanatif. Penelitian eksplanatif adalah penelitian yang menjelaskan pengaruh antara dua variabel atau lebih dalam menguji hipotesis. Format eksplanasi di maksud untuk menjelaskan hubungan, perbedaan, pengaruh suatu variabel dengan variabel yang lainnya (Bungin, 2005). Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui Pengaruh Experiential Marketing Terhadap Loyalitas Pelanggan Starbucks di Kota Medan.

B. Identifikasi Variabel

Dalam penelitian “Pengaruh Experiential Marketing Terhadap Loyalitas Pelanggan Starbucks di Kota Medan” terdapat dua jenis variabel, yaitu:

Variabel x (independent) : Experiential Marketing Variabel y (dependent) : Loyalitas Pelanggan

C. Definisi Operasional 1. Experiential Marketing

Experiential marketing adalah suatu konsep pemasaran dengan menciptakan pengalaman positif yang akan dirasakan oleh pelanggan ketika menggunakan produk atau jasa dan terhubung dengan keadaan sosial, gaya hidup, dan budaya

(42)

yang melibatkan emosi dari pelanggan. Skor yang diperoleh dari skala menunjukkan tinggi atau rendahnya experiential marketing. Semakin tinggi skor yang diperoleh dalam skala, maka semakin tinggi pula tingkat experiential marketing, dan begitu juga sebaliknya.

2. Loyalitas Pelanggan

Loyalitas pelanggan adalah kecenderungan pelanggan untuk membeli produk minimal 2 kali atau lebih dalam jangka waktu teretentu, kemudian menyampaikan atau merekomendasikannya kepada orang lain atas produk atau jasa yang diterimanya. Loyalitas pelanggan diukur dengan menggunakan skala berdasarkan dimensi yang dikemukakan oleh Griffin (2009) yang terdiri dari empat aspek loyalitas yaitu melakukan pembelian ulang secara teratur, melakukan pembelian di semua lini produk atau jasa, merekomendasikan ke orang lain, dan menunjukkan kekebalan dari daya Tarik produk sejenis dari pesaing. Skor yang diperoleh dari skala menunjukkan tinggi atau rendahnya loyalitas pelanggan. Semakin tinggi skor yang diperoleh dalam skala, maka semakin tinggi pula tingkat loyalitas pelanggan, dan begitu juga sebaliknya.

D. Populasi Dua Sampel 1. Populasi

Populasi merupakan sekelompok subjek yang akan digeneralisasi hasil penelitian (Azwar, 2016). Populasi dibatasi sebagai jumlah penduduk atau individu yang setidaknya memiliki sifat yang sama (Hadi, 2000). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pelanggan yang pernah membeli produk Starbucks di kota Medan selama 3 bulan terakhir, dengan jumlah populasi yang tidak diketahui dengan pasti.

2. Sampel dan Teknik Sampling

Sampel adalah bagian dari populasi yang menjadi objek penelitian (Azwar, 2016). Sampel adalah bagian dari populasi yang diharapkan mampu mewakili populasi dalam penelitian. Sampel adalah bagian dari populasi yang

(43)

mewakilkan karakteristik yang terdapat dalam populasi (Gravetter & Forzano, 2012). Penarikan sampel dilakukan dengan nonprobability sampling. Menurut Gulo (2002) Nonprobability sampling dilakukan untuk suatu penelitian yang populasinya tidak diketahui. Sampel dilakukan karena peneliti memiliki keterbatasan dalam melakukan penelitian baik dari segi waktu, tenaga, dana dan jumlah populasi yang sangat banyak. Maka peneliti harus mengambil sampel yang benar-benar representatif (dapat mewakili).

Teknik sampling yang akan digunakan pada penelitian ini adalah purposive sampling. Menurut Arikunto (2016) purposive sampling merupakan teknik mengambil sampel dengan tidak berdasarkan acak, daerah atau strata, melainkan berdasarkan adanya pertimbangan yang berfokus pada tujuan tertentu. Pertimbangan kriteria responden yang ditentukan oleh peneliti adalah:

a) Pernah membeli produk Starbucks minimal 2 kali di kota Medan dalam kurun waktu 6 bulan terakhir.

b) Berdomisili di Kota Medan.

c) Berusia 17 tahun keatas.

Pada penelitian ini, untuk menentukan jumlah sampel dengan tepat dan konsisten dengan jumlah populasi yang tidak diketahui maka digunakan rumus dengan pendekatan Isac Michel dengan rumus (Siregar, 2013) :

𝒏 ≥{𝒁𝜶/𝟐}𝟐𝒑. 𝒒 𝓮𝟐 Keterangan :

n = sampel p = proporsi q = 1-p

Z = tingkat kepercayaan e = margin of error

Menurut Lemeshow untuk p dapat digunakan 0.5 sebagai proporsi maksimal yang dapat digunakan untuk cakupan sampel yang sering ditemui, maka p yang digunakan 0,5 dengan tingkat kepercayaan 95%. Dalam penelitian ini akan menggunakan tingkat ketelitian sebesar 5% dengan

(44)

tingkat kepercayaan 95% (Lemeshow & Hosmer, 1997). Maka dari itu ditemui perhitungan :

𝑛 ≥{1,75}20,5. 0,5 0,052 𝑛 ≥0,765625

0,0025 𝑛 ≥ 306,25

Berdasarkan hasil dari perhitungan rumus maka didapatkan sampel dalam jumlah minimun sebesar 306,25, maka peneliti akan membulatkan jumlah

responden sebanyak 310 orang untuk mengurangi kesalahan dalam pengisian kuisioner.

E. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan metode skala. Metode skala digunakan untuk mengukur data berupa konsep psikologi yang dapat diungkapkan secara tidak langsung dengan adanya indikator-indikator perilaku yang diterjemahkan ke item-item pernyataan (Azwar, 2016). Dalam penelitian ini akan menggunakan model skala Likert yang merupakan skala sikap dengan menggunakan distribusi respon sebagai daerah penentuan sikap (Azwar, 2016). Terdapat dua asumsi yang mendasari skala ini yaitu :

a. Setiap pernyataan sikap yang disepakati sebagai pernyataan yang favorable (mendukung) atau yang unfavorable (tidak mendukung).

b. Jawaban dari individu yang punya sikap positif harus diberi bobot yang lebih tinggi daripada jawaban yang diberikan individu yang mempunyai sikap negatif. Indikator-indikator yang sudah disebutkan diatas diukur dengan skala penilaian Likert yang memiliki lima tingkat preferensi jawaban yang masingmasing skor 1-5 dari pilihan Sangat Sering (SS), Sering (S), Kadang-kadang (K), Jarang (J), dan Tidak Pernah (TP).

Gambar

Tabel 4.9  Hasil Uji Normalitas
Tabel 4.10  Hasil Uji Linearitas
7  Foto yang saya unggah di media sosial mengenai Starbucks  mendapat banyak respon negatif

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil analisis diperoleh (1) Experiential Marketing signifikan mempengaruhi Kepuasan Pelanggan; (2) Kepuasan Pelangan signifikan mempengaruhi Komitmen; (3) Experiential

Terbukti bahwa experiential marketing dan kepuasan pelanggan berpengaruh terhadap loyalitas pelanggan Rumah Makan Pring Asri, artinya semakin baik experiential

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis pengaruh dari variabel Experiential Marketing yang diukur melalui beberapa faktor yaitu sense (panca

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh tiap-tiap variabel pada experiential marketing, yaitu sense, feel, think, act, dan relate terhadap loyalitas pelanggan

Bagi akademisi, yaitu sebagai tambahan referensi tentang emotion marketing , experiential marketing, kepuasan dan loyalitas pelanggan kedepan khususnya

Skripsi dengan judul PENGARUH EXPERIENTIAL MARKETING TERHADAP LOYALITAS PELANGGAN INDOMARET POINT adalah hasil karya saya dan dalam Skripsi ini tidak terdapat karya

Hal ini diperkuat dengan pendapat Schmitt (1999) dimana experiential marketing dapat dihadirkan melalui lima unsur yaitu sense (melalui panca indra : mata, telinga, hidung,

Artinya experiential marketing yang baik akan berpengaruh positif terhadap loyalitas pelanggan, semakin baik experiential marketing maka akan semakin meningkat loyalitas pelanggan