22 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu merupakan bahan pendukung dalam melakukan penelitian, dengan melihat relevansi dan juga sebagai bahan acuan untuk penulisan. Maka dengan itu penulis, menggunakan beberapa penelitian terdahulu sebagai berikut:
No Judul Penelitian
Penulis Hasil Penelitian Relevansi 1. Evaluasi dan
Strategi
Pengembangan Desa Wisata di Kabupaten Badung, Bali
Ni Nyoman Ayu Hari Nalayani, 2016, JUMPA Vol 2 No 2
Mengevaluasi 11 desa dengan menilai masing- masing desa dan dikelompokkan menjadi tiga kelompok yang sedang
berkembang dengan title desa wisata. Dari tiga desa ini, masing- masing desa wisata yang berkembang dibuatkan rencana strategi dalam pengembangan desa wisata. Mulai dari pengelolaan desa wisata yang lebih professional, mempertahankan keunikan daya tarik wisata hingga peningkatan kerjasama antar sektor pendukung pariwisata,
Penelitian memiliki relevansi dengan
penelitian yang akan dilakukan penulis, yaitu adanya
persamaan dari bentuk evaluasi program dan juga
perencanaan dari strategi pengembangan program yang akan dilakukan dengan penulis nantinya.
Sedangkan perbedaannya adalah fokus lokasi
penelitian, lokasi
penelitian yang akan dituju oleh penulis berada di Desa Wisata Pujon Kidul,
23 peningkatan
promosi
Kabupaten Malang.
2. Pengelolaan Desa Wisata Dalam Perspektif Community Based Tourism (Studi Kasus pada Desa Wisata
Gubugklakah, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang)
Dimas Kurnia Purmada, Wilopo, Luchman Hakim, 2016, JAB Vol 23 No 2.
Potensi dan partisipasi dari masyarakat Desa Gubugklakah merupakan citizen control atau control masyarakat.
Dalam hal ini control
masyarakat adalah tingkat tertinggi dalam pengelolaan dan pelestarian dari potensi Desa Wisata
Gubugklakah
Penelitian memiliki relevansi dengan
penelitian yang akan dilakukan penulis, yaitu adanya
persamaan dari pengelolaan desa wisata yang ada campur tangan dengan
partisipasi masyarakatnya sendiri.
Sedangkan letak
perbedaannya, yaitu pada teori yang
digunakan.
3. Evaluasi Pengembangan Desa Wisata Kerta
Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar
I Putu Adi Suardika, 2020, JPI Vol 2 No 5.
Pengembangan Desa Wisata Kerta masih belum optimal.
Walaupun Desa Wsiata Kerta telah mampu
mewujudkan destinasi wisata baru, namun masih belum dikatakan efektif dan efisien.
Kurang efektifnya pengembangan Desa Wisata Kerta diindikasikan oleh dampak ekonomi, sosial dan budaya terhadap
masyarakat
relative kecil dan tidak merata.
Penelitian memiliki relevansi dengan
penelitian yang akan dilakukan penulis, yaitu dalam
penggunaan analisa sebagai bentuk dari evaluasi program.
Sedangkan perbedaannya adalah fokus lokasi penelitian, lokasi
penelitian yang akan dituju oleh penulis berada di Desa Wisata
24 Pengembangan
Desa Wisata Kerta kurang efisien dapat dilihat dari
besarnya investasi tidak sebanding dengan
pendapatan yang diperoleh.
Pujon Kidul, Kabupaten Malang.
4. Evaluasi Pengelolaan Desa Wisata Kaba-Kaba, Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan
I Wayan Pantiyasa, 2020, Jurnal Ilmiah Hospitality Management Vol 10 No 2.
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa Desa kaba- kaba memiliki potensi daya tarik wisata dari alam berupa lahan pertanian, sumber air, dari budaya berupa
peninggalan kerajan kaba- Kaba, aktivitas sosial masyarakat seperti bertani, pande besi dan upacara adat dan keagamaan.
Pengelolaan Desa wisata belum berjalan maksimal walaupun telah terbentuk
Kelompok Sadar wisata,perencanan belum ada,
aktivitas pengelolaan masih dibawah kendali satu orang, pengawasan belum berjalan maksimal, partisipasi
masyarakat belum optimal, Kategori desa wisata Kaba-
Penelitian memiliki relevansi dengan
penelitian yang akan dilakukan penulis, yaitu adanya
persamaan dari Pokdarwis yang masih belum berjalan secara maksimal dalam pengelolaan desa wisata.
Sedangkan perbedaannya adalah dalam partisipasi masyarakat di Desa Wisata Pujon Kidul sudah dapat dikategorikan optimal.
25 Kaba adalah
masih kategori Desa wisata perintisan
Tabel 1. Penelitian Terdahulu
2.2. Kajian Pustaka
2.2.1. Konsep Desa Wisata dalam Perencanaan
Perencanaan dalam sebuah wisata sangat penting, dikarenakan perencanaan digunakan sebagai pedoman penyelenggara wisata, sebagai sarana untuk memprediksikan kemungkinan timbulnya hal-hal di luar dugaan sekaligus alternatif untuk memecahkanya, sebagai sarana untuk mengarahkan penyelenggaran wisata sehingga dapat mencapai tujuannya, yaitu mewujudkan wisata secara efektif dan efisien, dan sebagai alat ukur tingkat keberhasilan wisata sebagai upaya pengawasan atau evaluasi dalam rangka memberikan umpan balik bagi penyelenggaraan wisata selanjutnya.
Desa wisata merupakan suatu bentuk perkembangan pariwisata yang menitik beratkan pada kontribusi masyarakat sekitar pedesaan dan pelestarian lingkungan area pedesaan. Desa wisata memiliki produk wisata yang benilai budaya dan memiliki karakteristik traditional yang kuat (Fandeli, Baiquni, Dewi, 2013) Begitupun menurut Inskeep (2013) mendefinisikan wisata pedesaan yang dimana sekelompok wisatawan tinggal dalam suasana yang tradisional, tinggal di desa untuk mempelajari kehidupan di pedesaan. Menurut Peraturan Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, desa wisata adalah suatu bentuk kesatuan antara akomodasi, atraksi, sarana dan prasarana pendukung wisata yang disajikan dalam suatu tatanan kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tradisi yang berlaku.
26 Desa Wisata adalah sebuah area atau daerah pedesaan yang memiliki daya tarik khusus yang dapat menajadi daerah tujuan wisata. Di desa wisata, penduduk masih memegang tradisi dan budaya yang masih asli. Serta beberapa aktivitas pendukung seperti sistem bertani, berkebun serta makanan traditional juga berkontribusi mewarnai keberadaan desa wisata itu sendiri. Selain faktor tersebut, faktor lingkungan yang masih asli dan terjaga merupakan factor penting yang harus ada disuatu desa wisata (Zakaria, 2014).
Sehingga unsur dari pengembangan desa wisata adalah pemahaman akan unsur yang ada di desa wisata yaitu; lingkungan alam, budaya masyarakat, arsitektur, sosial ekonomi, struktur tata ruang dan aspek historis, termasuk kemampuan dan pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat setempat.
2.2.2. Konsep Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah suatu tindakan atau pelaksanaan dari sebuah rencana yang sudah disusun secara matang dan terperinci, implementasi biasanya dilakukan setelah perencanaan sudah dianggap siap. Secara sederhana pelaksanaan bisa diartikan penerapan. Majone dan Wildavsky mengemukakan pelaksanaan sebagai evaluasi. Browne dan Wildavsky mengemukakan bahwa Pelaksanaan adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan. Nurdin Usman. (2002:70).
Pengertian-pengertian di atas memperlihatkan bahwa kata pelaksanaan bermuara pada aktivitas, adanya aksi, tindakan, atau mekanisme suatu sistem. Ungkapan mekanisme mengandung arti bahwa pelaksanaan bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan dilakukan secara sungguh-sungguh berdasarkan norma tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan. Pelaksanaan merupakan aktifitas
27 atau usaha-usaha yang dilaksanakan untuk melaksanakan semua rencana dan kebijaksanaan yang telah dirimuskan dan ditetapkan dengan dilengkapi segala kebutuhan, alat- alat yang diperlukan, siapa yang melaksanakan, dimana tempat pelaksanaannya mulai dan bagaimana cara yang harus dilaksanakan, suatu proses rangkaian kegiatan tindak lanjut setelah program atau kebijaksanaan ditetapkan yang terdiri atas pengambilan keputusan, langkah yang strategis maupun operasional atau kebijaksanaan menjadi kenyataan guna mencapai sasaran dari program yang ditetapkan semula.
Pengertian yang dikemukakan di atas dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa pada dasarnya pelaksanaan suatu program yang telah ditetapkan oleh pemerintah harus sejalan dengan kondisi yang ada, baik itu di lapangan maupun di luar lapangan. Yang mana dalam kegiatannya melibatkan beberapa unsur disertai dengan usaha-usaha dan didukung oleh alat-alat penujang. Faktor-faktor yang dapat menunjang program pelaksanaan adalah sebagai berikut:
a) Komunikasi, merupakan suatu program yang dapat dilaksanakan dengan baik apabila jelas bagi para pelaksana. Hal ini menyangkut proses penyampaian informasi, kejelasan informasi dan konsistensi informasi yang disampaikan.
b) Resources (sumber daya), dalam hal ini meliputi empat komponen yaitu terpenuhinya jumlah staf dan kualitas mutu, informasi yang diperlukan guna pengambilan keputusan atau kewenangan yang cukup guna melaksanakan tugas sebagai tanggung jawab dan fasilitas yang dibutuhkan dalam pelaksanaan.
28 c) Disposisi, sikap dan komitmen dari pada pelaksanaan terhadap program khususnya dari mereka yang menjadi implementasi program khususnya dari mereka yang menjadi implementer program
d) Struktur Birokrasi, yaitu SOP (Standar Operating Procedures), yang mengatur tata aliran dalam pelaksanaan program. Jika hal ini tidak sulit dalam mencapai hasil yang memuaskan, karena penyelesaian khusus tanpa pola yang baku.
Keempat faktor di atas, dipandang mempengaruhi keberhasilan suatu proses implementasi, namun juga adanya keterkaitan dan saling mempengaruhi antara suatu faktor yang satu dan faktor yang lain. Selain itu dalam proses implementasi sekurang-kurangnya terdapat tiga unsur penting dan mutlak yaitu :
a. Adanya program (kebijaksanaan) yang dilaksanakan;
b. Kelompok masyarakat yang menjadi sasaran dan manfaat dari program perubahan dan peningkatan;
c. Unsur pelaksanaan baik organisasi maupun perorangan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan pelaksana dan pengawasan dari proses implementasi tersebut.
Dari pendapat di atas dapatlah dikatakan bahwa pelaksanaan suatu program senantiasa melibatkan ketiga unsur tersebut
2.2.3. Konsep Desa Wisata dalam Pengembangan
Prinsip pengembangan desa wisata adalah sebagai salah satu produk wisata alternatif yang dapat memberikan dorongan bagi pembangunan
29 pedesaan yang berkelanjutan serta memiliki prinsip-prinsip pengelolaan antara lain, ialah:
(1) memanfaatkan sarana dan prasarana masyarakat setempat, (2) menguntungkan masyarakat setempat,
(3) berskala kecil untuk memudahkan terjalinnya hubungan timbal balik dengan masyarakat setempat,
(4) melibatkan masyarakat setempat,
(5) menerapkan pengembangan produk wisata pedesaan, dan beberapa kriteria yang mendasarinya seperti antara lain:
- Penyediaan fasilitas dan prasarana yang dimiliki masyarakat lokal yang biasanya mendorong peran serta masyarakat dan menjamin adanya akses ke sumber fisik merupakan batu loncatan untuk berkembangnya desa wisata.
- Mendorong peningkatan pendapatan dari sektor pertanian dan kegiatan ekonomi tradisional lainnya.
- Penduduk setempat memiliki peranan yang efektif dalam proses pembuatan keputusan tentang bentuk pariwisata yang memanfaatkan kawasan lingkungan dan penduduk setempat memperoleh pembagian pendapatan yang pantas dari kegiatan pariwisata.
- Mendorong perkembangan kewirausahaan masyarakat setempat.
2.2.4. Perencanaan Pariwisata
Kebijakan pariwisata memberikan filosofi dasar untuk pembangunan dan menentukan arah pengembangan pariwisata di destinasi tersebut untuk masa depan. Suatu destinasi wisata dapat dikatakan memiliki
30 pengembangan pariwisata, jika telah memiliki kegiatan pariwisata sebelumnya. Dalam pelaksanaan pengembangan, perencanaan merupakan factor yang perlu dilakukan dan dipertimbangkan.
Menurut Inskeep (1991:29), terdapat beberapa pendekatan yang menjadi pertimbangan dalam melakukan perencanaan pariwisata, diantaranya:
1) Continous Incremental, and Flexible Approach, dimana perencanaan dilihat sebagai proses yang akan terus berlangsung didasarkan pada kebutuhan dengan memonitor feedback yang ada.
2) System Approach, dimana pariwisata dipandang sebagai hubungan sistem dan perlu direncanakan seperti dengan tehnik analisa sistem.
3) Comprehensive Approach, berhubungan dengan pendekatan sistem di atas, dimana semua aspek dari pengembangan pariwisata termasuk didalamnya institusi elemen dan lingkungan serta implikasi sosial ekonomi, sebagai pendekatan holistik.
4) Integrated Approach, berhubungan dengan pendekatan sistem dan keseluruhan dimana pariwisata direncanakan dan dikembangkan sebagai sistem dan keseluruhan dimana pariwisata direncanakan dan dikembangkan sebagai sistem yang terintegrasi dalam seluruh rencana dan total bentuk pengembangan pada area.
5) Environmental and sustainable development approach, pariwisata direncanakan, dikembangkan, dan dimanajemeni dalam cara dimana sumber daya alam dan budaya tidak mengalami penurunan kualitas dan diharapkan tetap dapat lestari sehingga analisa daya dukung lingkungan perlu diterapkan pada pendekatan ini.
31 6) Community Approach, pendekatan yang didukung dan dikemukakan juga oleh Peter Murphy (1991) menekankan pada pentingnya memaksimalkan keterlibatan masyarakat lokal dalam perencanaan dan proses pengambilan keputusan pariwisata, untuk dapat meningkatkan yang diinginkan dan kemungkinan, perlu memaksimalkan partisipasi masyarakat dalam pengembangan dan manajemen yang dilaksanakan dalam pariwisata dan manfaatnya terhadap sosial ekonomi.
7) Implementable Approach, kebijakan pengembangan pariwisata, rencana, dan rekomendasi diformulasikan menjadi realistis dan dapat diterapkan, dengan tehnik yang digunakan adalah tehnik implementasi termasuk pengembangan, program aksi atau strategi, khususnya dalam mengidentifikasi dan mengadopsi.
8) Application of systematic planning approach, pendekatan ini diaplikasikan dalam perencanaan pariwisata berdasarkan logika dari aktivitas. Goals biasanya termasuk aspek-aspek seperti meningkatkan kepuasan pengunjung, diversifikasi pasar pariwisata, meningkatkan kontribusi pariwisata kepada ekonomi local, dan mengembangkan potensi pariwisata suatu daerah. Sementara objectives adalah lebih spesifik (khusus) dan berhubungan dengan tindakan-tindakan yang aktual. Objectives bertujuan untuk mengarahkan tindakan yang akan membantu mencapai goal-goal pembangunan. Jadi objectives harus lebih realistis, dapat diukur dan mampu dicapai dalam jangka waktu yang ditentukan.
32 2.2.5. Konsep dan Strategi Pengembangan Daerah Tujuan Wisata
Suatu destinasi dikatakan memiliki pengembangan pariwisata jika telah memiliki kegiatan pariwisata sebelumnya. Untuk meningkatkan potensi pariwisata, pengembangan pariwisata perlu direncanakan lebih baik dari sebelumnya. Ada tiga prinsip utama pembangunan berkelanjutan (McIntyre, 1993:10):
1) Kelestarian lingkungan, yaitu pembangunan merupakan keterpaduan proses ekologi, biologi dan sumber daya ekologi yang ada, menjamin keanekaragaman dan konsistensi.
2) Keberlanjutan Sosial dan Budaya. Artinya, memastikan bahwa pembangunan yang dilaksanakan berdampak positif bagi kehidupan masyarakat sekitar dan sesuai dengan budaya dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
3) Keberlanjutan Ekonomi. Artinya, untuk memastikan bahwa pembangunan yang dilakukan efisien secara ekonomi dan sumber daya yang digunakan dapat menahan tuntutan masa depan. Sektor pariwisata, di sisi lain, terdiri dari beberapa komponen berbeda yang perlu sepenuhnya dipahami, direncanakan, dan dikembangkan secara terintegrasi di dalam masyarakat, itu semua untuk kenyamanan perencanaan pariwisata masyarakat itu sendiri dan komponen pendekatan pengembangan pariwisata Menurut Edward Inskeep (1998).
33 2.3. Kajian Teori
Teori Struktural Fungsionalisme oleh Talcott Parsons. Menurut teori structural fungsionalis ini, masyarakat adalah suatu sistem sosial yang tersusun dari bagian – bagian atau unsur – unsur yang saling berhubungan dan menyatu dengan seimbang. Perubahan yang terjadi di satu bagian membawa perubahan di bagian lain juga. Masyarakat mengintegrasikan semua struktur sosial menjadi satu, masing – masing dengan fungsi yang berbeda tetapi saling terkait, menciptakan konsensus dan tatanan sosial, semua elemen untuk perubahan internal dan eksternal dalam masyarakat, dianggap sebagai sistem yang beradaptasi satu sama lain.
Talcott Parsons telah menulis banyak karya teoretis. Ada beberapa perbedaan penting antara karya awal dan akhir. Bagian ini membahas karya terakhirnya, teori fungsionalisme struktural. Talcott Parsons terkenal karena sistem
"tindakan"-nya, empat instruksi fungsional skema AGIL. Suatu fungsi adalah suatu yang kompleks pada kegiatan – kegiatan yang diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan atau kebutuhan – kebutuhan system itu sendiri. Menggunakan definisi tersebut, Parsons percaya bahwa adanya empat imperatif fungsional yang perlu bagi semua system – adaptation (A) (Adaptasi), goal attainment (G) (Pencapaian Tujuan), integration (I) (Integrasi) dan latency (I) (Latensi) atau pemeliharaan pola.
Secara bersama-sama, keempat imperatif fungsional tersebut di sebut dengan skema AGIL. Untuk dapat bertahan hidup dan dapat lestari maka sistem harus menjalankan keempat fungsi tersebut:
a. Adaptasi: sistem harus mengatasi kebutuhan mendesak yang bersifat situasional dan ini datang dari luar atau biasa disebut situasional eksternal.
34 Sebuah sistem harus dapat beradaptasi dengan lingkungannya dan menyesuaikan lingkungan dengan kebutuhan-kebutuhannya.
b. Pencapaian tujuan: sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan- tujuan utamannya.
c. Integrasi: suatu sistem harus mengatur antarhubungan bagian–bagian yang menjadi komponennya. Suatu sistem pun harus mengatur hubungan antar ketiga imperatif fungsional lainnya (A, G, L).
d. Latensi (pemeliharaan pola): suatu sistem harus menyediakan, memelihara dan memperbaharui, baik dari membentuk motivasi para individu maupun pola-pola budaya yang dapat menciptakan dan menopang motivasi itu sendiri.
Parsons merancang skema AGIL untuk digunakan pada semua level di dalam system teoretisnya. Adapun bagaimana Parsons menggunakan skema AGIL dalam penggunaannya di empat system tindakan.
Sistem Budaya
Sistem Sosial
L I
35 Organisme
Behavioral
Sistem Kepribadian
Tabel 2. Penggunaan skema AGIL
Organisme behavioral adalah system tindakan yang menangani fungsi
adaptasi dengan menyesuaikan diri dan mentransformasi dunia eksternal.
System kepribadian, melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan
mendefinisikan tujuan-tujuan system dan memobilisasi sumber-sumber daya untuk mencapainya. Sistem sosial, menangani fungsi integrasi dengan mengendalikan bagian-bagian komponennya. System budaya, melaksanakan fungsi latensi dengan menyediakan norma-norma dan nilai-nilai bagi para aktor yang memotivasi mereka untuk bertindak.
A G