• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-undang nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-undang nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-undang nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

1. Setiap orang yang tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf I untuk pengumuman secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 100. 000.000,00 (seratus juta rupiah)

2. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan atau huruf h, untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

3. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan atau huruf g, untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1000.000.000.00 (satu miliar rupiah).

4. Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaiman dimaksud pada ayat (3) yang dilakuakan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.4.000.000.000.00 (sempat miliar rupiah

(3)

Muhammad Kudhori & Muhammad Faiq

PENGHIJAUAN

DALAM PERSPEKTIF HADIS

Tinjauan Maqa>s}id Shari>‘ah Yu>suf al-Qarad}a>wi

Terhadap Hadis-hadis Penghijauan

(4)

PENGHIJAUAN DALAM PERSPEKTIF HADIS Tinjauan Maqa>s}id Shari>‘ah Yu>suf al-Qarad}a>wi Terhadap Hadis-hadis Penghijauan

©

Muhammad Kudhori & Muhammad Faiq

Editor: Hasyim Muhammad Penata Letak: M.A. Mas’ud Sampul: Rudi H.K.

Cetakan : Januari 2022 Ukuran : 14,8 x 21 cm Tebal : x + 114 halaman ISBN : 978-623-6956-35-9

Diterbitkan oleh:

Penerbit Kali Pustaka

Jalan Pasar Minggu (Depan SDN Jiken) Jiken RT03 RW02, Tulangan, Sidoarjo Telp. 0823-3839-1500

[email protected] www.kalipustaka.com

(5)

Kata Pengantar

Hamdan shukran lilla>h. Wa al-shala>tu wa al-sala>mu ‘ala>

Rasu>lilla>h. Waba’du.

Buku ini mengangkat isu tentang penghijauan dalam perspektif Hadis Nabi Saw. dengan tinjauan Maqa>s}id Shari>‘ah Yu>suf al-Qarad}a>wi>, seorang tokoh moderat yang mempunyai konsen dan perhatian terhadap isu pelestarian lingkungan.

Membaca hadis-hadis Nabi Saw. tentang anjuran melakukan penanaman dan penghijauan serta ancaman melakukan perusakan alam, hutan dan penebangan liar membuka wacana kita bahwa ajaran Islam ternyata sangat peduli terhadap isu pelestarian lingkungan dan penghijauan.

Sayangnya hadis-hadis yang berbicara tentang motivasi untuk melakukan penanaman dan penghijauan, serta hadis-hadis yang berbicara tentang ancaman bagi para perusak lingkungan dan pelaku illegal logging kurang populer dalam masyarakat kita. Isu-isu tentang pelestarian lingkungan jarang kita dengar disuarakan melalui mimbar-mimbar khotbah dan ceramah-ceramah para dai, sehigga wajar saja kalau kemudian pesan hadis-hadis tersebut kurang tersampaikan dengan baik kepada masyarakat luas, khususnya umat Islam yang mengamini dan menjadikan hadis-hadis Nabi Saw. sebagai pedoman hidupnya. Jika pun hadis-hadis tersebut disampaikan kepada khalayak ramai, metode

(6)

pemaknaannya seringkali cenderung tekstualis, sehingga kering dari maqa>s}id (tujuan utama) hadis-hadis tersebut.

Oleh karena itu, buku ini berusaha mengetengahkan hadis-hadis tentang penghijauan dengan tinjaun Maqa>s}id Shari>’ah Yu>suf al-Qarad}a>wi>. Buku ini mencoba memotret hadis-hadis tentang penghijauan yang terhimpun dalam kitab- kitab induk hadis disertai komentar para ulama klasik tentang hadis-hadis tersebut. Selanjutnya hadis-hadis tersebut dianalisis dengan Maqa>s}id Shari>‘ah Yu>suf al-Qarad}a>wi>, sehingga didapatkan pemaknaan yang lebih segar dan moderat, selaras dengan nilai-nilai al-Qur’an dan sesuai dengan nilai-nilai maqa>s}id shari>‘ah.

Harapan utamanya tentu hadis-hadis tentang penghijauan dan pemaknaannya yang moderat dan segar lebih pupuler di kalangan masyarakat kita, sehingga kesadaran kita untuk melakukan pelestarian lingkungan dan penghijauan semakin tumbuh. Dengan kesadaran melakukan pelestarian lingkungan dan penghijauan setidaknya kita berusaha sedikit demi sedikit untuk menjadi khalifah Allah Swt. di muka bumi yang ikut berpartisipasi memakmurkan bumi ini.

Selanjutnya ucapan terimakasih disampaikan kepada segenap pihak yang terlibat dalam penerbitan buku ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga buku ini dapat terselesaikan dengan baik. Wabil khus}u>s} kepada segenap pimpinan Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, para dosen Fakultas Ushuluddin dan Humaniora dan mahasiswa yang ikut terlibat dalam penyusunan buku ini. Jazakumullah ah}sanal jaza>’.

Semarang, 10 November 2021 Muhammad Kudhori, M.Th.I.

(7)

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-INDONESIA

Arab Indonesia Arab Indonesia

ا A/a ط T{/t}

ب B/b ظ Z{/z}

ت T/t ع

ث Th/th غ Gh/gh

ج J/j ؼ F/f

ح H{/h} ؽ Q/q

خ Kh/kh ؾ K/k

د D/d ؿ L/l

ذ Dh/dh ـ M/m

ر R/r ف N/n

ز Z/z و W/w

(8)

س S/s ػه H/h

ش sh ء

ص S{/s} ي Y/y

ض D{/d}

(9)

Daftar Isi

Kata Pengantar ... v Pedoman Transliterasi ... vii Daftar Isi ... ix BAB I

PENDAHULUAN ... 2 BAB II

MAQA<S{ID AL-SYARI<‘AH YU<SUF AL- QARAD{A<WI< ………12 A. Pengertian Al-Maqa>s}id al-Shari>‘ah ... 12 B. Sejarah Perkembangan Maqa>s}id Shari>‘ah ... 16 C. Konsep Maqa>s}id al-Shari>‘ah Yu>suf al-

Qarad}awi> dalam memahami Hadis Nabi Saw. 33 BAB III

HADIS-HADIS PENGHIJAUAN DALAM

KITAB-KITAB INDUK HADIS DAN SHARH{

(PENJELASAN) PARA ULAMA ... 52 A. Hadis riwayat al-Bukhari dalam kitab S{ah}i>h

al-Bukha>ri> ... 54 B. Hadis riwayat Muslim dalam kitabnya S{ah}i>h{

Muslim ... 55

(10)

x

C. Hadis Riwayat Abu> Da>wud dalam kitabnya

Sunan Abi> Da>wud ... 61

D. Hadis riwayat Ah}mad bin H{anbal dalam kitabnya Musnad Ah}mad bin H{anbal ... 65

E. Hadis riwayat ‘Abd al-Razza>q dalam kitabnya al-Mus}annaf ... 67

F. Hadis riwayat Al-Baghawi> dalam kitabnya Sharh} al-Sunnah ... 68

BAB IV TINJAUAN MAQA>S{ID SYARI<’AH YU<SUF AL-QARAD{A<WI< TERHADAP HADIS-HADIS PENGHIJAUAN ... 72

A. Maqas}id Shari>‘ah Penghijauan ... 73

B. Pemaknaan Hadis-hadis Penghijauan dengan Maqa>s}id Shari>‘ah Yu>suf al-Qarad}a>wi> ... 80

BAB V PENUTUP ... 100

A. Kesimpulan ... 100

B. Saran ... 103

Daftar Pustaka ... 104

Biodata Penulis ... 112

(11)

BAB I

(12)

PENDAHULUAN

AL-QUR’AN MENEGASKAN bahwa manusia diciptakan oleh Allah Swt. untuk mengemban misi khalifah, menegakkan kemakmuran di muka bumi. Salah satu bentuk memakmurkan bumi adalah dengan menjaga dan merawat alamnya agar alam yang dihuni oleh umat manusia tetap lestari untuk generasi-generasi yang akan datang.

Permasalahan yang muncul kemudian adalah manusia belum sepenuhnya bisa megemban amanat sebagai khalifah di muka bumi ini. Keserakahan duniawi menyebabkan sekelompok manusia melakukan eksploitasi terhadap alam. Penebangan liar (illegal logging), pembakaran hutan dan alih fungsi hutan terjadi di mana-mana yang menyebabkan area hutan semakin lama semakin menyempit. Pembangunan perumahan dan tata kota di kota-kota, khususnya di Indonesia juga belum memperhatikan ketersediaan ruang terbuka hijau. Padahal

(13)

ruang terbuka hijau yang dipenuhi dengan pepohonan sebagai paru-paru kota menjadi penyuplai oksigen yang belum tergantikan bagi manusia.1

Di Indonesia sendiri menurut catatan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), sampai Agustus 2019, dari 174 kota yang ada di Indonesia, baru hanya 13 kota yang berpartisipasi dalam Program Kota Hijau dan mempunyai area Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebanyak 30% atau lebih. Padahal di Indonesia sendiri, berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007, disebutkan bahwa porsi Ruang Terbuka Hijau minimal adalah 30% dari luas wilayah kota.

Umat Islam sebagai salah satu penduduk terbesar di muka bumi ini dan yang terbesar di Indonesia tentu mempunyai tugas dan peranan penting untuk berpartisipasi dan ambil bagian dalam pelestarian lingkungan. Partisipasi pelestarian lingkungan ini merupakan bentuk implementasi memakmurkan bumi yang diperintahkan oleh Islam kepada umatnya. Terlebih beberapa hadis Nabi Saw. secara jelas memerintahkan umat Islam untuk melakukan pelestarian alam dengan memerintahkan menanam pohon, mengecam penebangan liar yang sewenang-wenang, menjaga kebersihan, berlaku hemat terhadap sumber daya alam dan lain sebagainya.

Dalam sebuah hadis, Nabi Saw. memerintahkan umatnya agar gemar menanam, baik menanam tumbuh- tumbuhan yang mempunyai batang kuat dan ranting rindang maupun tanaman-tanaman kecil. Sabda Nabi Saw., tumbuh-

1 Samsuri, Anita Zaitunah dan Okber Rajaguguk, ‚Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau: Pendekatan Kebutuhan Oksigen‛, Jurnal Silva Tropika, Vol. 5 No. 1, 30 Juni 2021.

(14)

tumbuhan yang ditanam itu apabila dicuri, dimakan burung atau dimakan binatang liar, hal itu akan menjadi sedekah bagi orang yang menanam.2 Di sisi lain, Nabi juga mengancam orang-orang yang menebang pohon sebagai tempat berteduh para musafir dan hewan-hewan ternak dengan neraka. Sabda Nabi, barangsiapa yang menebang pohon bidara, maka Allah Swt akan memasukkan kepalanya ke dalam api neraka.3

Dua hadis di ini memberikan pengertian kepada kita tentang pentingnya penghijauan yang dianjurkan oleh Nabi Saw. Hanya saja terkadang hadis-hadis semacam ini seringkali masih dipahami secara tekstual, belum mendapatkan perhatian besar di kalangan umat Islam dan jarang diekspos ke permukaan, sehingga isu-isu pelestarian lingkungan dan penghijauan kurang menjadi prioritas di kalangan umat Islam.

Berdasarkan latar belakang tersebut, buku ini bermaksud menelaah hadis-hadis yang berkaitan dengan penghijauan dengan menggunakan pendekatan maqa>s}id shari>‘ah yang digagas oleh Yu>suf al-Qarad}a>wi>, seorang ulama kontemporer yang mempunyai pemikiran moderat dan mempunyai perhatian besar dalam isu pelestarian lingkungan.

Secara akademis, penulisan buku ini bertujuan untuk mengetahui: 1) Konsep Maqa>s}id Shari>‘ah Yusuf al-Qarad}a>wi>.

2) Pemaknaan hadis-hadis penghijauan dengan tinjauan Maqa>s}id Shari>‘ah Yusuf al-Qarad}a>wi>>.

2 Lihat Muh}ammad bin Isma>‘i>l al-Bukha>ri>, al-Ja>mi‘ al-S{ah}i>h{, Vol. 3 (Kairo: Da>r al-Sha‘b, 1987), 135. Muslim bin al-H{ajja>j al- Naysa>bu>ri>, al-Ja>mi‘ al-S{ah}i>h}, Vol. 5 (Beirut: Da>r al-Jayl, t.th.), 27- 28. 3 Abu> Da>wud bin Sulayma>n al-Sijista>ni>, Sunan Abi> Da>wud, Vol. 4 (Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, t.th.), 530.

(15)

Adapun manfaat penulisan buku ini, secara teoritis akan menambah wawasan dan khazanah pemaknaan hadis- hadis penghijauan dengan tinjauan Maqa>s}id Shari>‘ah Yusuf al-Qarad}a>wi>. Sedangkan manfaat secara praktis, buku ini dapat dijadikan sebagai pedoman dan rujukan bagi umat Islam secara umum maupun institusi tertentu sebagai panduan dan pegangan. Selain itu juga agar umat Islam lebih mempunyai perhatian terhadap isu pelestarian lingkungan, khususnya penghijauan.

Islam adalah agama yang membawa misi rah}matan li al-‘a>lami>n, yaitu agama yang menebarkan kasih sayang bagi semua makhluk di muka bumi, termasuk di dalamnya alam dan lingkungan. Oleh karenanya semua undang-undang yang ada dalam Islam bertujuan untuk mewujudkan kemashlahatan dan kesejahteraan bagi umat manusia. Untuk mewujudkannya diaturlah konsep al-Maqa>s}id al-Shari>‘ah (tujuan-tujuan penetapan hukum) yang bertujuan untuk mewujudkan kemashlahatan umat manusia dengan terpenuhinya hak-hak yang bersifat primer (d}aru>riyya>t), sekunder (h}a>jiyya>t) dan tersier (tah}si>niyya>t) mereka. Setiap hukum yang ditetapkan oleh Islam tujuan utamanya pasti tidak terlepas dari tiga hal tersebut.4

Hak-hak primer (d}aru>riyya>t) menurut ‘Abd al- Wahha>b Khala>f adalah hak-hak yang menjadi penopang hidup manusia. Hak-hak ini harus terpenuhi agar manusia dapat melangsungkan hidupnya dengan baik. Jika hak-hak ini tidak terpenuhi, maka tatanan kehidupan manusia akan kacau dan muncul banyak kerusakan. Hak-hak ini terdiri dari lima hal,

4 ‘Abd al-Wahha>b Khala>f, ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh (Jakarta: Da>r al-Kutub al-Isla>miyyah, 2010), 172.

(16)

yaitu; hifz} al-di>n (perlindungan terhadap agama), hifz} al-nafs (perlindungan terhadap jiwa), hifz} al-‘aql (perlindungan terhadap akal), hifz} al-‘ird} (perlindungan terhadap harga diri) dan hifz} al-ma>l (perlindungan terhadap harta). Sedangkan menurut Abu> Zahrah, kelima hak tersebut adalah: hifz} al-di>n (perlindungan terhadap agama), hifz} al-nafs (perlindungan terhadap jiwa), hifz} al-ma>l (perlindungan terhadap harta), hifz}

al-‘aql (perlindungan terhadap akal) dan h}ifz} al-nasl (perlindungan terhadap keturunan).5 Dari kelima hal tersebut, Islam telah membuat undang-undang untuk menjaga eksistensinya, sehingga hak-hak tersebut dapat terlaksana dengan baik.

a. Hifz} al-Di>n (perlindungan terhadap agama)

Agama Islam adalah kumpulan dari akidah, ibadah, hukum dan undang-undang yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. untuk mengatur hubungan manusia dengan tuhannya (vertikal) dan hubungan manusia dengan manusia yang lain (horizontal).6 Dalam Islam, menjaga agama berarti menjaga kemurnian ajarannya dari berbagai macam penyimpangan serta mengamalkan ajaran-ajaran agama tersebut untuk kemaslahatan umat manusia. Islam adalah agama yang membawa misi rah}matan li al-‘a>lami>n (rahmat bagi semua makhluk Allah Swt.). Misi rah}matan li al-‘a>lami>n ini telah ditegaskan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya yang artinya: ‚Tidaklah Aku mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.‛

5 Muhammad Abu> Zahrah, Us}u>l al-Fiqh (t.t.: Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, t.th.), 367.

6‘Abd al-Wahha>b Khala>f, ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh (Jakarta: Da>r al-Kutub al-Isla>miyyah, 2010), 172.

(17)

[QS. al-Anbiya>’: 107]. Oleh karena itu, setiap perilaku yang merugikan dan menjadi teror bagi makhluk lain, termasuk di dalamnya adalah lingkungan hidup, maka hal itu bertentangan dengan prinsip rah}matan li al-‘a>lami>n. b. H{ifz} al-Nafs (perlindungan terhadap jiwa)

H{ifz} al-Nafs adalah perlindungan terhadap jiwa dari segala macam bentuk kerusakan atau hal-hal yang dapat membahayakan jiwa manusia. Perlindungan terhadap jiwa juga dimaksudkan menjaga kemuliaan manusia dari hal-hal yang dapat merendahkan derajat manusia. Dalam mewujudkan h}ifz} al-nafs, Islam menganjurkan pengikutnya untuk menikah agar eksistensi umat manusia tetap terjaga. Untuk menopang kehidupannya, Islam menganjurkan pemeluknya untuk mengkonsumsi makanan yang bergizi, memakai pakaian dan bertempat tinggal yang layak.

H{ifz} al-nafs adalah menjaga jiwa dari segala bentuk kerusakan. Oleh karenanya Islam sangat melarang pemeluknya untuk mencelakai dirinya sendiri maupun orang lain. Dalam al-Qur’an, Allah Swt. telah berfirman:

‚Janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.‛ [QS. al-Baqarah: 195]. Nabi Saw. juga menegaskan bahwa seseorang tidak boleh membahayakan dirinya sendiri, lebih-lebih membahayakan orang lain.

Nabi Saw. bersabda: ‚Tidak boleh membuat kemudharatan pada diri sendiri dan membuat kemudharatan pada orang lain.‛.7

7Ma>lik bin Anas, al-Muwat}t}a>’, Vol. 2 (Mesir: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>th al-‘Arabi>, t.th.), 745.

(18)

Dalam konteks pelestarian alam, illegal logging, pembakaran hutan, penggundulan hutan, pencemaran air merupakan tindakan-tindakan yang pada hakekatnya membahayakan jiwa manusia. Perbuatan-perbuatan semacam itu akan menyebabkan ketidakseimbangan alam, sehingga dapat mengakibatkan bencana yang dapat merugikan dan membahayan umat manusia.

c. H{ifz} al-‘Aql (perlindungan terhadap akal)

Akal merupakan anugerah terbesar yang diberikan Allah Swt. kepada manusia, sehingga dengannyalah manusia dibedakan dengan binatang. Dengan akal manusia dapat mengetahui baik dan buruk. Dengan akal manusia juga dapat memperoleh wawasan dan pengetahuan yang tidak dapat diperoleh oleh makhluk lain.

Perlindungan terhadap akal yang ditekankan oleh Allah Swt. adalah menjaganya dari mengonsumsi hal-hal yang dapat merusak akal itu sendiri, seperti mengonsumsi minuman keras, obat-obatan terlarang dan hal-hal yang dapat memabukkan. Menjaga akal dalam konteks kekinian dapat diaplikasikan dengan mendayagunakan akal secara maksimal untuk hal-hal yang positif. Menggunakan akal untuk hal-hal yang positif juga merupakan bentuk syukur kepada Allah Swt., karena telah menggunakan nikmat Allah Swt. untuk melakukan sesuatu yang diridhai Allah Swt. Hal ini karena hakekat syukur menurut Imam al- Qurt}u>bi> adalah mengakui nikmat-nikmat yang telah

(19)

diberikan oleh Allah Swt. dan tidak menggunakan nikmat- nikmat itu untuk melakukan kemaksiatan.8

d. H{ifz} al-‘Ird} (perlindungan terhadap kehormatan)

Di atas telah disebutkan bahwa Allah Swt.

memuliakan umat manusia dari makhluknya yang lain, karena manusia mempunyai kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh makhluk yang lain. Oleh karena itu, sudah seharusnya manusia menjaga kemuliaan itu dengan tidak melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan dan harga dirinya. Sebagai makhluk Allah Swt., seorang muslim tidak boleh menghina atau merendahkan makhluk Allah Swt. yang lain, terlebih yang dihina adalah manusia yang telah dimuliakan oleh Allah Swt.

e. Hifz} al-Nasl (perlindungan terhadap keturunan)

Islam sangat memperhatikan kelestarian umat manusia, sehingga masalah keturunan menjadi prioritas utama dalam Islam. Seorang suami ketika memilih istri dianjurkan untuk memilih istri yang berpotensi mempunyai keturunan yang banyak.9 Meskipun demikian, Islam juga memperbolehkan mengatur keturunan agar keturunan yang dihasilkan lebih berkualitas dan mempunyai masa depan yang cerah.

Dalam upaya menjaga keturunan Islam telah memberikan perhatian yang sangat besar, bahkan sejak

8Al-Qurt}u>bi>, al-Ja>mi’ li Ah}ka>m al-Qur’a>n, Vol. 9 (Kairo: Da>r al- Kutub al-Mis}riyyah, 1964), 343.

9 Ah}mad bin Shu‘aib al-Nasa>’i>, Sunan al-Nasa>’i>, Vol. 5 (Beirut:

Mu’assasah al-Risa>lah, t.th.), 160.

(20)

janin berada di dalam kandungan hingga ia keluar dari rahim sang ibu. Perhatian Islam terhadap janin sejak dalam kandungan hingga keluar dari rahim ibu sangat banyak.

Tujuan utamanya adalah agar bayi yang dilahirkan kelak menjadi manusia yang berkualitas.

f. H{ifz} al-Ma>l (perlindungan terhadap harta benda)

Hifz} al-ma>l adalah menjaga dan melindungi harta benda dari pencurian, perampokan dan lain sebagainya.

Menjaga harta benda dalam Islam diwujudkan melalui ditegakkannya aturan dalam bermuamalah antar sesama dengan cara yang adil dan saling ridha. Menjaga harta juga diwujudkan dengan tidak memakan harta dengan cara yang batil.10 Perlindungan terhadap harta dalam Islam dapat diimplementasikan dengan pola hidup hemat, menabung, bersedekah, beramal dan mengelola keuangan dengan baik.

Pola hidup hemat akan menghindarkan seseorang berbuat mubadzir dan berlebih-lebihan, dimana keduanya itu dilarang oleh Islam. Menabung dapat mempersiapkan biaya untuk masa depan. Bersedekah dan beramal dapat melatih seseorang mempunyai sikap saling membantu kepada sesama. Sedangkan pengelolaan harta dengan baik akan menjaga harta tersebut dari hal-hal yang tidak bermanfaat.

10 Muhammad Abu> Zahrah, Us}u>l al-Fiqh (t.t.: Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, t.th.), 368-369.

(21)

BAB II

(22)

MAQA<S{ID AL-SYARI<‘AH YU<SUF AL-QARAD{A<WI<

A. Pengertian Al-Maqa>s}id al-Shari>‘ah

Studi tentang al-Maqa>s}id al-Shari>‘ah dalam literatur Islam merupakan hal yang sangat penting, terutama bagi para peneliti kajian Hukum Islam, karena kajian tentang al- Maqa>s}id al-Shari>‘ah tidak hanya berhenti pada teks-teks yang bersifat parsial, tetapi juga mencakup pada tujuan dan hikmah dibalik teks-teks tersebut yang mencakup semua aspek kehidupan manusia sebagai hamba Allah Swt. Oleh karena itu kajian-kajian tentang Maqa>s}id al-Shari>‘ah belakangan ini menjadi primadona sebagai sebuah pendekatan baru yang dianggap bisa menjadi sebuah solusi dari kajian-kajian terhadap teks suci agama yang cenderung bersifat tekstualis yang kering dari hikmah, hingga cenderung ekstrem dan liberalis yang cenderung abai terhadap teks.

(23)

Secara etimologi, frasa al-Maqa>s}id al-Shari>‘ah terdiri dari dua kata, yaitu al-Maqa>s}id dan al-Shari>‘ah. Kata al- Maqa>s}id merupakan bentuk jamak dari kata al-Maqs}ad yang terbentuk dari fi’il (kata kerja) Qas}ada. Kata qasada atau al- qasd sendiri menurut ahli bahasa Arab mempunyai beberapa makna:

1. Jalan yang lurus, sebagaimana ditunjukkan dalam firman Allah Swt: ‚Wa ‘ala Alla>h qas}d al-sabi>l‛, ‚Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus‛.11 Pada ayat ini, kata qas}d yang merupakan bentuk dasar dari kata al- maqa>s}id mempunyai makna lurus atau jalan yang lurus.

2. Adil dan berada di tengah-tengah di antara dua hal; al- ifra>t} wa al-tafri>t} (keterlaluan dan kecerobohan), al-‘adl wa al-ju>r (keadilan dan kesewenang-wenangan). Makna demikian digali dari firman Allah Swt. yang terdapat dalam Surah Fa>t}ir: 32: ‚Lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan (muqtas}id) dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah.‛

3. Al-Qas}d mempunyai arti al-i‘tima>d (ketergantungan) dan itya>n al-shay’ (mendatangi sesuatu).12

4. Qas}ada juga mempunyai makna al-i‘tiza>m wa al- tawajjuh wa al-nuhu>d} nah}wa al-shay’, menuju pada sesuatu.13

11 Terjemah ayat ini dan ayat-ayat berikutnya yang terdapat dalam artikel ini merujuk pada terjemahan dari Departemen Agama RI yang dapat diakses melalui aplikasi Al Quran Digital Versi 2.1., 2004.

12 Lihat Ibn al-Manz}u>r al-Afri>qi>, Lisa>n al-‘Arab, Vol. 3 (Beirut: Da>r al-S{a>dir, t.th.), 353.

(24)

Pengertian al-Maqa>s}id al-Shari>‘ah secara terminologi belum ditemukan secara baku di era awal kemunculan kajian tentang al-Maqa>s}id al-Shari>‘ah. Di masa itu al-Maqa>s}id al- Shari>‘ah diungkapkan dengan beberapa istilah, seperti: mura>d al-sha>ri‘ (sesuatu yang dikehendaki oleh Allah Swt.), asra>r al- shari>‘ah (rahasia-rahasia syariat), al-is}tisla>h} (kemaslahatan), raf‘ al-h}araj wa al-d}ayq (menghilangkan kesempitan), al-‘ilal al-juz’iyyah li al-ah}ka>m al-fiqhiyyah (alasan-alasan yang bersifat parsial pada hukum-hukum fikih) dan lain sebagainya.14

Definisi al-maqa>s}id al-shari>‘ah secara baku diungkapkan oleh para ulama kontemporer. Ibn ‘A<shu>r (w.

1284 H./1868 M.) mendefinisikan al-maqa>s}id al-shari>‘ah sebagai makna-makna dan hikmah-hikmah yang diperhatikan oleh al-Sha>ri‘ (Allah Swt. sebagai pembuat syariat) pada semua atau mayoritas hukum-hukum syariat.15 ‘Alla>l al-Fa>si>

(1326-1394 H./1908-1974 M.) mendefinisikan al-maqa>s}id al- shari>‘ah sebagai tujuan syariah dan rahasia-rahasia yang diletakkan oleh al-Sha>ri‘ pada setiap hukum-hukum syariah.16 Isma>‘i>l al-H{asani> mendefinisikan al-maqa>s}id al-shari>‘ah sebagai makna-makna kemaslahatan yang dikehendaki dari

13 Isma>‘i>l al-H{asani>, Naz}ariyyat al-Maqa>s}id ‘Inda al-Ima>m Muh}ammad al-T{a>hir bin ‘A<shu>r (Virginia: al-Ma‘had al-‘A<lami> Li al-Fikr al-Isla>mi>, 1995), 114.

14 Lihat ‘Abd al-‘Azi>z Rajab, ‚Ta‘ri>f Maqa>s}id al-Shari>‘ah wa Ahmiyyatuha>‛ https://www.alukah.net/sharia/0/96481/ diakses tanggal 29 September 2021.

15 Muhammad al-T{a>hir Ibn ‘A<shu>r, Maqa>s}id al-Shari>‘ah al- Isla>miyyah, Vol. 2 (Qat}ar: Wiza>rah al-Awqa>f wa al-Shu’u>n al- Isla>miyyah, 2004), 21.

16 ‘Alla>l al-Fa>si>, Maqa>s}id al-Shari>‘ah al-Isla>miyyah wa Maka>rimuha>

(t.t.: Da>r al-Gharb, 1993), 7.

(25)

pensyariatan hukum dan makna-makna yang menunjukkan tujuan dari khit}a>b (pesan hukum) yang berimplikasi pada terwujudnya ketaatan mukallaf (seorang muslim yang berakal dan baligh) terhadap perintah dan larangan syariat. 17 Ah}mad al-Raysu>ni> mendefinisikan al-maqa>s}id al-shari>‘ah sebagai tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh syariah yang semata-mata bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan hamba.18 Sementara al-Kha>dimi> mendefinisikan al-maqa>s}id al-shari>‘ah sebagai makna-makna yang diperhatikan pada hukum-hukum syariah dan implikasinya, baik makna-makna tersebut merupakan hikmah-hikmah yang bersifat parsial (juz’i>), maupun kemaslahatan secara umum. Makna-makna tersebut mempunyai satu tujuan yaitu menetapkan penghambaan kepada Allah Swt. dan kemaslahatan bagi manusia di dunia dan akherat.19

Sementara al-Qarad}awi> sendiri mendefinisikan al- maqa>s}id al-shari>‘ah sebagai tujuan yang dikehendaki oleh teks-teks agama berupa perintah, larangan dan kebolehan yang diwujudkan oleh hukum-hukum parsial (juz’i>) dalam kehidupan mukallaf, baik individu, keluarga, masyarakat dan umat.20

17 Isma>‘i>l al-H{asani>, Naz}ariyyat al-Maqa>s}id ‘Inda al-Ima>m Muh}ammad al-T{a>hir bin ‘A<shu>r (Virginia: al-Ma‘had al-‘A<lami> Li al-Fikr al-Isla>mi>, 1995), 115.

18 Ah}mad al-Raysu>ni>, Naz}ariyyat al-Maqa>s}id ‘Inda al-Ima>m al- Sha>t}ibi> (Virginia: al-Ma‘had al-‘A<lami> Li al-Fikr al-Isla>mi>, 1995), 19. 19 Nur al-Di>n bin Mukhta>r al-Kha>dimi>, al-Ijtiha>d al-Maqa>s}idi>:

Hujjiyyatuh, D{awa>bituh, Majalla>tuh (Doha: Wiza>rat al-Awqa>f wa al-Shu’u>n al-Isla>miyyah, 1998), 52-53.

20 Lihat Yu>suf al-Qarad}a>wi>, Dira>sah Fi> Fiqh Maqa>s}id al-Shari>‘ah (Kairo: Da>r al-Shuru>q, 2008), 20.

(26)

Al-Zuh}ayli> mendefinisikan maqa>s}id al-shari>‘ah sebagai makna-makna dan tujuan-tujuan yang diperhatikan pada semua atau mayoritas hukum-hukum syariah, atau tujuan syariah dan rahasia-rahasia yang ditetapkan oleh al-Sha>ri‘

pada setiap hukum-hukum syariah. Sedangkan al-Yu>bi>

mendefinisikan al-maqa>s}id al-shari>‘ah sebagai makna-makna, hikmah-hikmah dan sejenisnya yang dijaga oleh al-Sha>ri‘

dalam penetapan hukum, baik secara umum maupun khusus yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan hamba.21

Dari definisi-definisi di atas al-maqa>s}id al-shari>‘ah tidak hanya digali dari teks-teks dhahir semata, namun juga digali melalui makna-makna yang tersimpan di balik teks-teks tersebut dengan mempertimbangkan d}aru>riyya>t, h}a>jiyya>t dan tah}si>niyya>t.

B. Sejarah Perkembangan Maqa>s}id Shari>‘ah

Maqa>s}id shari>‘ah sebagaimana teori-teori yang lainnya tidak muncul begitu saja. Ia juga mengalami perkembangan dari mulai teori yang paling dasar yang disebutkan dalam Al- Qur’an dan dipraktekkan oleh Nabi Saw. dan para Sahabatnya hingga tersusun secara sistemastis menjadi sebuah keilmuan yang memiliki basis epistemologi yang kokoh dan tertulis dalam karya-karya yang secara khusus berbicara tentang teori-teori maqa>s}id shari>‘ah.

Tahap awal teori maqa>s}id shari>‘ah dapat dilihat dalam beberapa teks Al-Qur’an maupun al-Sunnah yang dalam redaksinya juga memuat konsep dasar maqa>s}id shari>‘ah.

Dalam beberapa ayat Al-Qur’an misalnya Allah Swt.

21 Lihat Muh}ammad Sa‘d bin Ah}mad bin Mas‘u>d al-Yu>bi>, Maqa>s}id al-Shari>‘ah al-Isla>miyyah wa ‘Ala>qatiha> bi al-Adillat al-Shar‘iyyah (Riyad}: Da>r al-Hijrah, 1998), 36-37.

(27)

menyebutkan tentang nilai-nilai kemudahan dalam ajaran Islam. Ajaran dasar Islam dalam beberapa ayat disebutkan sebagai ajaran yang mudah. Allah Swt. sendiri tidak akan membebani hamba-hamba-Nya dengan hal-hal yang dapat menyulitkan mereka. Lihat saja misalnya pada QS. Al- Baqarah: 185, QS. Al-Ma>’idah: 6, QS. Al-H{ajj: 78 dan QS.

Al-Nisa>’: 45. Dalam ayat yang lain, Allah Swt. juga menyebutkan tujuan beberapa ibadah yang disyariatkan kepada hamba-hamba-Nya, seperti salat yang bertujuan untuk mencegah hamba-hamba-Nya melakukan berpuatan keji dan mungkar (QS. Al-Ankabu>t: 45), zakat yang bertujuan untuk membersihkan dan menyucikan jiwa mereka (QS. Al-Tawbah:

103), puasa yang bertujuan agar para hamba menjadi orang- orang yang bertakwa (QS. Al-Baqarah: 183) dan haji yang bertujuan agar hamba-hamba Allah Swt. dapat menyaksikan berbagai manfaat dan menyebut nama Allah Swt. pada hari raya haji (QS. Al-H{ajj: 27-28).

Dalam beberapa redaksi hadis, Nabi Saw. juga menegaskan tentang kemudahan ajaran Islam, tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain dan lain sebagainya yang menjadi konsep dasar maqa>s}id shari>‘ah. Tentang pernikahan, Nabi Saw. juga menyebutkan hikmahnya yaitu dapat lebih menundukkan mata dan menjaga kemaluan.22

Penerapan prinsip-prinsip maqa>s}id al-shari>‘ah ini kemudian juga diikuti oleh para Sahabat sebagai pewaris ilmu Nabi Saw. Ibn ‘Abba>s ketika ditanya tentang jama’

(mengerjakan dua salat pada satu waktu) dalam salat, ia menjawab bahwa kebolehan menjama’ salat itu karena

22 Lihat Muh}ammad Sa‘d bin Ah}mad bin Mas‘u>d al-Yu>bi>, Maqa>s}id al-Shari>‘ah al-Isla>miyyah wa ‘Ala>qatiha> bi al-Adillat al-Shar‘iyyah (Riyad}: Da>r al-Hijrah, 1998), 41-43.

(28)

semata-mata Nabi Saw. tidak ingin menyulitkan umatnya.

Demikian pula yang dilakukan oleh para Sahabat Nabi Saw.

dengan melakukan usaha kodifikasi Al-Qur’an adalah semata- mata menerapkan prinsip maqa>s}id al-shari>‘ah yang bertujuan agar Al-Qur’an tetap terjaga dengan baik.

Dalam kasus yang lain misalnya, sebagaimana yang direkam oleh al-Tirmidhi>,23 Nabi Saw. dikisahkan memerintahkan para Sahabat agar tidak melakukan hukuman potong tangan kepada pencuri dalam keadaan perang. Hal ini juga diikuti oleh ‘Umar bin al-Khat}t}a>b yang memerintahkan para gubernurnya agar tidak melaksankan hukuman di medan perang. Apa yang dilakukan oleh Nabi Saw. dan ‘Umar ini semata-mata karena mempertimbangkan kemaslahatan yang lebih besar dimana ketika hukuman itu dilaksanakan di medan perang dikhawatirkan justru orang-orang yang terkena hukuman tersebut akan lari dan bergabung dengan pihak musuh. Hal ini tentu akan menimbukan kerugian dan madharat yang lebih besar bagi umat Islam.

Kasus-kasus di atas merupakan bukti bahwa konsep- konsep dasar maqa>s}id shari>‘ah telah dipraktekkan oleh Nabi Saw. dan para Sahabatnya. Dalam kasus hukuman potong tangan bagi para pencuri di atas, Nabi Saw. dan para Sahabatnya tidak memahami ayat yang memerintahkan hukuman potong tangan kepada pencuri secara kaku, tetapi mempertimbangkan kemaslahatan yang ada. Di sinilah nilai- nila maqa>s}id shari>’ah dipraktekkan oleh Nabi Saw. dan para Sahabat.

23 Muh}ammad bin ‘I<sa> al-Tirmidhi>, Sunan al-Tirmidhi>, Vol. 4 (Beirut Da>r Ih}ya>’ al-Tura>th al-‘Arabi>, t.th.), 53.

(29)

Pada masa-masa setelah Sahabat, sebelum ilmu usul fikih muncul, para fukaha telah berbicara tentang Qiya>s (analogi hukum), bahkan mereka sepakat terhadap kehujjahan Qiya>s sebagai salah saru referensi hukum Islam. Qiya>s sendiri dibangun berdasarkan ‘illat (alasan penetapan hukum) dan kemaslahatan, dimana semuanya itu berkaitan dengan maqa>s}id al-shari>‘ah. Dari sudut pandang ini, tokoh-tokoh yang berbicara tentang Qiya>s mempunyai andil yang cukup besar dalam meletakkan dasar-dasar maqa>s}id al-shari>‘ah.24

Pada tahap selanjutnya konsep-konsep maqa>s}id mendapatkan perhatian dari beberapa ulama yang secara khusus mengulas tetang maqa>s}id mulai dari bentuknya yang masih sederhana atau menggunakan term maqa>s}id sebagai judul karya mereka hingga secara sistematis sebagai sebuah keilmuan yang mapan. Di antara para ulama itu adalah sebagai berikut:

1. Al-Tirmidhi> al-H{aki>m

Namanya adalah Abu> Abdilla>h Muh}ammad bin

‘Ali>. Tahun wafat Al-Tirmidhi> al-H{aki>m diperdebatkan oleh para ulama. Namun yang pasti ia merupakan tokoh yang hidup pada abad ke-3 Hijriyah. Al-Tirmidhi> al- H{aki>m tidak dianggap sebagai fukaha dan ahli usul fikih.

Ia lebih dikenal sebagai seorang sufi dan filsuf. Meskipun Al-Tirmidhi> al-H{aki>m bukan seorang fukaha dan ahli usul, namanya menurut al-Raysu>ni> patut untuk dicatat sebagai tokoh awal yang berbicara tentang ilmu maqa>s}id shari>‘ah, karena ia banyak berbicara tentang ta‘li>l al- ah}ka>m al-shar‘iyyah (alasan-alasan dibalik penetapan

24 Muh}ammad Sa‘d bin Ah}mad bin Mas‘u>d al-Yu>bi>, Maqa>s}id al- Shari>‘ah al-Isla>miyyah wa ‘Ala>qatiha> bi al-Adillat al-Shar‘iyyah (Riyad}: Da>r al-Hijrah, 1998), 44-45.

(30)

hukum syariah) dan rahasia-rahasia dibalik penetapan hukum-hukum syariah. Ia juga merupakan ulama yang dianggap paling awal menggunakan istilah maqa>s}id yang juga ia gunakan sebagai judul buku karyanya yaitu al- S{ala>h wa Maqa>s}iduha>. Alasan-alasan hukum yang ia gunakan lebih banyak menggunakan pendekatan dhawq (intuisi) dan isha>ri> (isyarat) dibanding dengan pendekatan ilmiah.25 Hal ini tentu tidak lepas dari kapasitasnya sebagai seorang sufi dan filsuf.

2. Abu Mans}u>r al-Ma>turi>di> (w. 333 H.)

Al-Ma>turi>di> oleh al-Raysu>ni> dimasukkan ke dalam tokoh-tokoh awal penggagas ilmu maqa>s}id al- shari>‘ah. Ia adalah pendiri mazhab al-Ma>turi>diyyah dalam ilmu kalam yang banyak diikuti oleh para ulama besar setelahnya. Bahkan menurut al-Raysu>ni>, para pengikut mazhab H{anafi dalam bidang fikih semuanya mengikuti mazhab al-Ma>turi>di> dalam bidang kalam (teologi). Al-Ma>turi>di> mempunyai beberapa karya dalam bidang usul fikih. Hanya saja karya-karya itu hilang tidak ditemukan. Karya usul fikihnya yang paling penting adalah Ma’khadh al-Shara>’i‘.26

3. Abu> Bakr al-Qaffa>l al-Sha>shi> (al-Qaffa>l al-Kabi>r, w. 365 H.)

Al-Qaffa>l al-Kabi>r adalah pakar usul fikih mazhab Sha>fi‘i>. Di antara karyanya dalam bidang usul fikih adalah Us}u>l al-Fiqh dan Mah}a>sin al-Shari>‘ah.

Nampak karya yang terakhir ini secara khusus berkaitan

25 Lihat Ah}mad al-Raysu>ni>, Naz}ariyyat al-Maqa>s}id ‘Inda al-Ima>m al-Sha>t}ibi> (Virginia: al-Ma‘had al-‘A<lami> Li al-Fikr al-Isla>mi>, 1995), 40.

26 Ibid., 43.

(31)

erat dengan tema maqa>s}id shari>‘ah, karena satu-satunya cara untuk menampilkan mah}asin al-shari>‘ah (nilai-nilai kebaikan dalam syariat) adalah dengan menggali hikmah- hikmah dan tujuan-tujuan syariah.27

4. Abu Bakr al-Abha>ri> (w. 375 H.)

Al-Abha>ri> merupakan pakar dalam bidang fikih dan usul fikih. Ia memiliki beberapa karya yang mengulas fikih mazhab Ma>liki> dan kritik terhadap tokoh- tokoh yang berseberangan dengan mazhab Ma>liki>.

Karya-karyanya di bidang usul diantaranya adalah Kita>b al-Us>ul, Kita>b Ijma>‘ Ahl al-Madi>nah dan Mas’alat al- Jawa>b wa al-Dala>’il wa al-‘Ilal. Karya yang terakhir ini dilihat dari judulnya mempunyai korelasi yang kuat terhadap tema maqa>s}id al-shari>‘ah.28

5. Al-Ba>qila>ni> (w. 403 H.)

Al-Ba>qila>ni> dijuluki sebagai Shaykh al-Sunnah dan dianggap sebagai mujaddid pada abad ke-4 Hijriyah.

Jika al-Sha>fi‘i> dianggap sebagai perintis ilmu usul fikih, maka al-Ba>qila>ni> adalah orang yang dianggap memperluas dan mengembangkan usul fikih secara komprehensif dan mengintegrasikannya dengan ilmu kalam. Karya-karyanya di bidang usul fikih adalah al- Taqri>b wa al-Irsha>d Fi> Tarti>b T{uru>q al-Ijtiha>d, al-Muqni‘

Fi> Us}u>l al-Fiqh, al-Ah}ka>m wa al-‘Ilal dan Kita>b al-Baya>n

‘An Fara>’id} al-Di>n wa Shara>’i‘ al-Isla>m. Kitab-kitab ini mempunyai keterkaitan yang kuat terhadap maqa>s}id shari>‘ah dan sangat mungkin kitab-kitab ini mempunyai

27 Ibid.

28 Ibid., 44.

(32)

pengaruh yang kuat terhadap kajian-kajian maqa>s}id shari>‘ah di masa-masa setelahnya.29

6. Abu al-Ma‘a>li> ‘Abd al-Ma>lik bin ‘Abdilla>h al-Juwayni>

Ima>m al-H{aramayn (w. 478 H.)

Ima>m al-H{aramayn memiliki andil yang sangat besar dalam perkembangan ilmu usul fikih. Karyanya yang berjudul al-Burha>n menjadi bukti kebesaran namanya dimana karya itu banyak dijadikan sebagai referensi primer karya-karya usul fikih generasi setalahnya. Perhatiannya terhadap kajian maqa>s}id shari>‘ah nampak pada pemakaian kata al-maqa>s}id, al- maqs}u>d dan al-qas}d yang sering ia sebutkan dalam bukunya al-Burha>n.30 Ima>m al-H{aramayn dianggap sebagai tokoh yang pertama kali mencetuskan ide-ide maqa>s}id shari>‘ah secara spesifik seperti yang dikenal saat ini. Ia mengklasifikasikan dasar-dasar syariat menjadi lima: al-d}arura>t (keniscayaan), al-h}a>jah al-‘a>mmah (kebutuhan umum), al-makru>ma>t (kemuliaan), al- mandu>ba>t (hal-hal yang kedudukannya di bawah al- makru>ma>t) dan hal-hal yang tidak masuk ke dalam empat tersebut.31

7. Abu> H{a>mid al-Ghaza>li> (w. 505 H.)

Al-Ghaza>li> adalah murid Ima>m al-H{aramayn.

Karya-karyanya di bidang usul fikih diantaranya adalah al-Mankhu>l min Ta‘liqa>t al-Us}u>l, Shifa>’ al-Ghali>l dan al- Mus}tasfa> min ‘Ilm al-Us}u>l. Di dalam karyanya Shifa>’ al- Ghali>l, al-Ghazali telah menyinggung tentang h}ifz} al-

29 Ibid., 45-46.

30 Ibid., 47-48.

31 Lihat Abu> al-Ma‘a>li> al-Juwayni>, al-Burha>n Fi> Us}u>l al-Fiqh, Vol. 2 al-Mans}u>rah: Da>r al-Wafa>’, 1418), 602-604.

(33)

nafs (perlidungan jiwa), h}ifz} al-‘aql (perlindungan akal), h}ifz} al-bud}‘ (perlindungan kelamin) dan h}ifz} al-ma>l (perlindungan harta), dimana hal-hal tersebut menurut al- Ghazali> merupakan tujuan syariah. Al-Ghaza>li juga menyinggung tentang al-mas}a>lih} al-di>niyyah (kemaslahatan agama) yang terkandung dalam QS. Al- Ankabu>t: 54.32 Di dalam bukunya al-Mus}tasfa>, al- Ghaza>li> mengebangkan konsep-keonsep ini menjadi lebih matang dengan menggunakan istilah-istilah yang baru.

Al-Mas}a>lih} al-di>niyyah ia ganti menjadi h}ifz{ al-di>n (perlindungan agama). Kemudian hif}z} al-bud}‘ ia ganti dengan istilah yang lebih halus dan jelas, h}ifz} al-nasl (perlindungan keturunan). Ijtihad al-Ghaza>li> terhadap pengembangan teori-teori maqa>s}id al-shari>’ah dan penamaan istilah-istilah tersebut kemudian diikui oleh para ulama maqa>s}id setelahnya hingga al-Sha>t}ibi>.33 8. Fakhr al-Di>n al-Ra>zi> (w. 606 H.)

Dalam karyanya al-Mah}s}u>l, al-Ra>zi> menjelaskan pemikiran maqa>s}id al-Juwayni> dan al-Ghaza>li>. Hal ini tentu tidak asing, karena karya al-Ra>zi> ini memang resum dari kitab al-Mu‘tamad karya Abu> al-H{usayn al- Bas}ri>, al-Burha>n karya al-Juwayni> dan al-Mustas}fa>> karya al-Ghaza>li>. Ia hafal al-Mu‘tamad dan al-Mustas}fa> di luar kepala. Al-Ra>zi> mempunyai perhatian secara khusus terhadap ta‘li>l al-ah}ka>m dimana pada saat itu konsep ini mendapatkan serangan dan kritik tajam. Meskipun karyanya al-Mah}s}u>l banyak menguraikan teori maqa>s}id

32 Ah}mad al-Raysu>ni>, Naz}ariyyat al-Maqa>s}id ‘Inda al-Ima>m al- Sha>t}ibi> (Virginia: al-Ma‘had al-‘A<lami> Li al-Fikr al-Isla>mi>, 1995), 53-54.

33 Ibid. 54-56

(34)

al-Ghaza>li>, namun al-Ra>zi> tidak mengikuti al-Ghaza>li>

dalam penyusunan urutan d}aru>riya>t al-khams. Bahkan ia bisa dianggap tidak konsisten dalam penyusunan urutan d}aru>riya>t al-khams. Kadang ia menulis: al-nafs, al-ma>l, al-nasab, al-di>n dan al-‘aql. Namun pada kesempatan yang lain ia juga menulis al-nafs, al-ma>l, al-nasab, al-di>n dan al-‘aql. Dalam hal ini ia menggunakan term al-nasab sebagai pengganti dari al-nasl. Padahal term al-nasl dinilai lebih sahih, karena ia adalah tujuan yang hendak dicapai. Sedangkan perlindungan terhadap nasab hanya merupakan pelengkap dari perlindungan terhadap keturunan.34

9. Sayf al-Di>n al-A<midi> (w. 631 H.)

Al-A<midi menulis al-Ih}ka>m Fi> Us}u>l al-Ah}ka>m yang juga merupakan resum dari al-Mu‘tamad, al-Burha>n dan al-Mustas}fa>. Yang baru pada maqa>s}id al-A<midi>

adalah usahanya dalam melakukan tarji>h} (menilai lebih kuat) atas maqa>s}id yang ada. Ia memprioritaskan al- d}aru>riyya>t di atas al-h}a>jiyya>t dan al-h}a>jiyya>t di atas tah}si>niyya>t. Pada mulanya al-A<midi> menyebutkan d}aru>riyya>t al-khams sesuai dengan yang disebutkan oleh al-Ghaza>li>; al-di>n, al-nafs, al-‘aql, al-nasl dan al-ma>l.

Namun kemudian al-A<midi melakukan tarji>h} dengan mendahulukan al-nasl dari al-‘aql dan al-nafs dari al-‘aql.

Menurutnya, perlindungan terhadap akal sejatinya merupakan cabang dari perlindungan jiwa dan keturunan.

Dengan demikian ketika keduanya terlindungi, maka secara otomatis perlindungan terhadap akal akan terwujud. Al-A<midi> juga melakukan pembelaan yang luar

34 Ibid. 56-57.

(35)

biasa terhadap penempatan h}ifz} al-di>n dalam urutan priorotas pertama d}aru>riyya>t al-khams. Menurutnya h}ifz}

al-di>n (perlindungan terhadap agama) merupakan tujuan utama yaitu untuk memperoleh kesuksesan abadi di sisi Allah Swt. Sedangkan yang lainnya tidak lain hanya bertujuan untuk mewujudkan h}ifz} al-di>n sebagaimana firman Allah Swt. ‚Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembah kepada-Ku.‛

(QS. Al-Dha>riya>t: 56). Al-A<midi> mengkritik pendapat yang berusaha memaksakan mendahulukan h}ifz} al-nafs atas h}ifz} al-di>n secara detail dan rinci hingga merobohkan argumen-argumennya. Al-A<midi> juga menyatakan secara jelas bahwa al-d}aru>riyya>t hanya terbatas pada lima hal yang telah disebutkan. Hal ini kemudian banyak diikuti oleh para ulama usul setelahnya, sehingga seolah-olah hal ini menjadi ijmak.35 10. ‘Izzuddin Ibn ‘Abd al-Sala>m (w. 660 H.)

‘Izzuddin Ibn ‘Abd al-Sala>m adalah murid Al- A<midi>. Melalui karyanya yang berjudul Qawa>’id al- Ah}ka>m Fi> Mas}a>lih} al-Ana>m ia banyak melakukan terobosan baru dalam konsep maqa>s}id shari>‘ah. Karya Ibn ‘Abd al-Sala>m ini secara spesifik berbicara tentang hakekat al-mas}a>lih} (kemaslahatan-kemaslahatan) dan al- mafa>sid (kerusakan-kerusakan), klasifikasi al-mas}a>lih}

dan al-mafa>sid, urutan al-mas}a>lih} dan al-mafa>sid, tarji>h}

di antara sesama al-mas}a>lih}, tarji>h{ antara al-mas}alih} dan al-mafa>sid, tarji>h{ di antara sesama al-mafa>sid dan lain sebagainya yang berkaitan dengan teori-teori maslahah yang tidak ditemukan secara detail pada karya-karya

35 Ibid. 57-59.

(36)

ulama sebelum Ibn ‘Abd al-Sala>m. Al-Yu>bi> bahkan menyebut karya Ibn ‘Abd al-Sala>m ini sebagai karya penting dalam teori-teori tentang maslahah. Menurutnya tokoh-tokoh yang menulis tentang maslahah setelah Ibn

‘Abd al-Sala>m berhutang budi kepada Ibn ‘Abd al-Sala>m.

Bahkan menurut al-Yu>bi, para tokoh yang menulis maslahah setelah Ibn ‘Abd al-Sala>m tidak memberikan tambahan apa-apa terhadap teori maslahah. Teori-teori maslahah yang disampaikan oleh Ibn ‘Abd al-Sala>m tentu berkaitan erat dengan maqa>s}id shari>’ah. Oleh karenanya Ibn ‘Abd al-Sala>m juga menyinggung tentang maqa>s}id ini. Pernyataan-pernyataannya yang terkenal tentang maqa>s}id misalnya: ‚Mayoritas maqa>s}id al- Qur’a>n adalah perintah untuk mengerjakan kemaslahatan dan hal-hal yang menyebabkannya dan larangan dari melakukan al-mafa>sid dan hal-hal yang menyebabkannya‛36 , ‚Konsep dasar syariah semuanya adalah maslahah; menolak mafa>sid (kerusakan) atau menarik mas}a>lih{ (kemaslahatan)‛37 , ‚al-Maqs}u>d (tujuan utama) syariat adalah kasih sayang kepada para hamba.‛38

36 ‘Izzuddi>n Ibn ‘Abd al-Sala>m, Qawa>’id al-Ahka>m Fi> Mas}a>lih{ al- Ana>m, Vol. (Beirut: Da>r al-Ma‘a>rif, t.th.), 7.

37 Ibid., 9.

38 Ibid., 175. Lihat lebih detai pada Muh}ammad Sa‘d bin Ah}mad al- Yu>bi>, Maqa>s}id al-Shari>‘ah al-Isla>miyyah wa ‘Ala>qatiha> bi Adillat al-Shar‘iyyah (Riya>d}: Da>r al-Hijrah, 1998), 55-59. Ah}mad al- Raysu>ni>, Naz}ariyyat al-Maqa>s}id ‘Inda al-Ima>m al-Sha>t}ibi> (Virginia:

al-Ma‘had al-‘A<lami> Li al-Fikr al-Isla>mi>, 1995), 65-68.

(37)

11. Shiha>b al-Di>n al-Qara>fi> (w. 684 H.)

Pemikiran-pemikiran maqa>s}id Ibn ‘Abd al-Sala>m dilanjutkan oleh muridnya, al-Qara>fi>. Dalam karyanya al- Furu>q, al-Qara>fi> menyebutkan beberapa kaidah yang berkaitan dengan maqa>s}id shari>‘ah yang ia gali dari gurunya, Ibn ‘Abd al-Sala>m, seperti: kaidah al-maqa>s}id dan kaidah al-wasa>’il; kaidah al-mashaqqah (kesulitan) yang dapat menggugurkan ibadah dan al-mashaqqah yang tidak menggugurkan ibadah. Dalam bukunya yang berjudul Sharh} Tanqi>h} al-Fus}u>l ia menguraikan tentang al-d}aru>riyya>t al-khamsah dimana ia juga memasukkan h}ifz} al-‘Ird} (perlindungan terhadap harga diri). Perhatian al-Qara>fi> terhadap maqa>s}id sl-shari>‘ah juga dapat dilihat dari karyanya yang berjudul al-Nafa>’is. Dalam pandangan al-Qara>fi>, al-kulliya>t al-khams tidak bisa dinaskh. Perhatian dan usaha yang dilakukan al-Qara>fi>

dalam mengkaji teori-teori maqa>s}id shari>‘ah memberikan pengaruh yang besar terhadap pemikiran maqa>s}id dalam mazhab Maliki.39

12. Ibn Taymiyyah (w. 728 H.)

Shaykh al-Isla>m Ibn Taymiyyah mempunyai perhatian yang besar terhadap maqa>s}id shari>‘ah.

Beberapa bukti yang menunjukkan perhatian Ibn Taymiyyah terhadap maqa>s}id shari>‘ah adalah sebagai berikut:

a. Ibn Taymiyyah menjadikan ilmu tentang maqa>s}id shari>‘ah sebagai kekhususan fikih dalam agama Islam.

39 Muh}ammad Sa‘d bin Ah}mad al-Yu>bi>, Maqa>s}id al-Shari>‘ah al- Isla>miyyah wa ‘Ala>qatiha> bi Adillat al-Shar‘iyyah (Riya>d}: Da>r al- Hijrah, 1998), 59-60.

(38)

b. Ibn Taymiyyah menyebutkan al-maqa>s}id al- khamsah sebagaimana yang disebutkan ulama usul, namun kemudian ia mengkritik para ulama usul yang mengabaikan ibadah batin dan dhahir yang mencakup makrifat kepada Allah Swt., malaikat- malaikat, kitab-kitab, utusan-utusan Allah Swt, ah}wa>l dan a‘ma>l al-qulu>b (keadaan-keadaan dan aktivitas hati), seperti cinta dan takut kepada Allah Swt, ikhlas, tawakal, raja>’ (mengharapkan rahmat Allah Swt.) dan yang lainnya yang termasuk dalam hal-hal yang memberikan maslahah di dunia dan akherat dan merupakan maslahah yang dibawa oleh syariah.40

c. Ibn Taymiyyah membahas secara mendalam permasalahan-permasalahan penting dalam maqa>s}id shari>‘ah, seperti permasalahan h}iyal (celah-celah hukum dalam fikih), sadd al-dhara>’i‘ (penutupan celah-celah kerusakan) dan ta‘li>l al-ah}ka>m (alasan- alasan penetapan hukum).

d. Ibn Taymiyyah seringkali menggunakan mas}lah}ah sebagai pertimbangan dalam fatwa-fatwanya.

e. Ibn Taymiyyah menyebutkan maqa>s}id al-tahsri>‘ dan hikmah-hikmahnya, seperti maqa>s}id al-wila>yah, maqa>s}id meneyelisihi orang-orang musyrik, maqa>s}id jihad dan lain sebagainya.41

40 Ah}mad bin ‘Abd al-H{ali>m Ibn Taymiyyah, Majmu>‘ al-Fatawa, Vol. 32 (t.t.: Da>r al-Wafa>’, 2005), 234.

41 Lihat Muh}ammad Sa‘d bin Ah}mad al-Yu>bi>, Maqa>s}id al-Shari>‘ah al-Isla>miyyah wa ‘Ala>qatiha> bi Adillat al-Shar‘iyyah (Riya>d}: Da>r al- Hijrah, 1998), 60-62. Ah}mad al-Raysu>ni>, Naz}ariyyat al-Maqa>s}id

(39)

13. Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah (w. 751 H.)

Sebagaimana gurunya, Ibn Taymiyyah, Ibn al- Qayyim juga mempunyai perhatian yang besar terhadap maqa>s}id shari>’ah. Perhatian Ibn al-Qayyim terhadap maqa>s}id shari>‘ah dapat dilihat dari:

a. Perhatian Ibn al-Qayyim terhadap eksistensi maqa>s}id al-shari>‘ah, ta‘lil> al-ah}ka>m dan hikmah serta bagaimana cara menggalinya. Usaha Ibn al- Qayyim ini membuka pintu bagi para pengkaji maqa>s}id bagaimana cara memahami dan menggali maqa>s}id shari>‘ah.

b. Ibn al-Qayyim mengkaji lebih luas tentang ta‘li>l dan sadd al-dhara>’i‘, karena dua hal ini berkaitan erat dengan maqa>s}id al-shari>‘ah. Ia juga berbicara tentang mas}lah}ah dan isu perubahan fatwa yang disebabkan perubahan waktu dan tempat.

c. Ibn al-Qayyim banyak menjelaskan tentang hikmah- hikmah hukum dan maqa>s}idnya sebagaimana yang terdapat dalam karyanya Za>d al-Ma‘a>d Fi> Hadyi Khayr al-‘Iba>d, Shifa<’ al-‘Ali>l, Mifta>h} Da>r al- Sa‘a>dah, Sharh} Tahdhi>b al-Sunan dan yang lainnya.42

‘Inda al-Ima>m al-Sha>t}ibi> (Virginia: al-Ma‘had al-‘A<lami> Li al-Fikr al-Isla>mi>, 1995), 68-71.

42 Lihat Muh}ammad Sa‘d bin Ah}mad al-Yu>bi>, Maqa>s}id al-Shari>‘ah al-Isla>miyyah wa ‘Ala>qatiha> bi Adillat al-Shar‘iyyah (Riya>d}: Da>r al- Hijrah, 1998), 63-66.

(40)

14. Al-Sha>t}ibi> (w. 790 H.)

Al-Sha>t}ibi> hidup semasa dengan Ibn Taymiyyah dan Ibn al-Qayyim. Namun dalam catatan sejarah tidak ada riwayat yang menjelaskan bahwa al-Sha>t}ibi> berguru dan mengambil ilmu dari kedua ulama tersebut. Al- Sha>t}ibi> hidup di Barat, di Andalusia, sementara Ibn Taymiyyah dan Ibn al-Qayyim hidup di Timur.

Al-Sha>t{ibi> dianggap sebagai tokoh yang mempunyai peranan besar dalam kajian maqa>s}id. Jika para ulama sebelumnya mengkaji maqa>s}id terselip dalam pembahasan-pembahasan tentang qiya>s dan mas}lah}ah, maka al-Sha>t}ibi> menuliskan kajian tentang maqa>s}id secara spesifik dalam sebuah bab ‚Kita>b al-Maqa>s}id‛

dalam bukunya yang berjudul al-Muwa>faqa>t.43 Dari sini kemudian banyak yang mengira bahwa al-Sha>t}ibi> lah yang mencetuskan ilmu ini. Padahal tidak demikian, karena ilmu maqa>s}id sebagaimana keilmuan yang lainnya tumbuh sedikit demi sedikit dari mulai konsep yang sangat mendasar hingga tersistematis dan mendalam di tangan al-Sha>t}ibi>. Dalam hal ini tentu saja al-Sha>t}ibi>

juga terpengaruh oleh para ilmuan maqa>s}id di era sebelumnya, seperti al-Ghaza>li> dan ‘Izzuddi>n Ibn ‘Abd al-Sala>m.44

43 Lihat Ibra>hi>m bin Mu>sa> al-Sha>t}ibi>, al-Muwa>faqa>t, Vol. 2 (t.t.: Da>r Ibn ‘Affa>n, 1997), 7.

44 Lihat pada Muh}ammad Sa‘d bin Ah}mad al-Yu>bi>, Maqa>s}id al- Shari>‘ah al-Isla>miyyah wa ‘Ala>qatiha> bi Adillat al-Shar‘iyyah (Riya>d}: Da>r al-Hijrah, 1998), 67-70. Pemikiran maq>s}id al-Sha>t}ibi>

secara spesifik dapat dibaca pada karya al-Raysu>ni> yang berjudul Naz}ariyyat al-Maqa>s}id ‘Inda al-Ima>m al-Sha>t}ibi>. Dalam karya ini al-Raysu>ni> secara spesifik memotret pemikiran al-Sha>t}ibi> tentang maqa>s}id al-shari>‘ah. Selain karya al-Raysu>ni> juga ada karya H{amadi>

(41)

15. T{ahir Ibn ‘A<shu>r (1296-1393 H.)

Pasca al-Sha>t}ibi> melakukan gebrakan terhadap teori-teori maqa>s}id shari>‘ah, tidak ada lagi tokoh-tokoh yang melakukan kajian mendalam tentang maqa>s}id.

Kajian maqa>s}id pasca al-Sha>t}ibi> hanya seputar ringkasan karya al-Sha>t}ibi> yang berupa naz}am (bait syair) maupun sharh} (penjelasan). Kajian maqa>s}id hidup kembali setelah Ibn ‘A<shu>r menulis karya maqa>s}idnya yang berjudul Maq>as}id al-Shari>‘ah al-Isla>miyyah. Dalam karyanya ini Ibn ‘A<shu>r mengangkat isu-isu baru seputar maqa>s}id. Ia berbicara tentang al-maqa>s}id al-‘a>mmah (maqa>s}id umum) dan al-maqa>s}id al-kha>s}s}ah (maqa>s}id khusus) yang berbicara tentang tema-tema fikih seperti maqa>s}id hukum keluarga dan maqa>s}id yang berkaitan dengan keuangan, donasi, pidana, dan hak asasi manusia. Karya Ibn ‘A<shu>r ini dipenuhi dengan kajian-kajian baru seputar maqa>s}id. Ia bukan merupakan ringkasan dari al- Muwa>faqa>t karya al-Sha>t}ibi> sebagaimana yang disangkakan oleh sebagian orang. Ibn ‘A<shu>r mempunyai manhaj yang berbeda dalam mengungkapkan teori-teori maqa>s}id.45

16. ‘Alla>l al-Fa>si> (1328-1394 H.)

‘Alla>l al-Fa>si> menulis buku dengan judul Maqa>s}id al-Shari>‘ah al-Isla>miyyah wa Maka>rimiha>.

Hanya saja menurut al-Yu>bi>, karya al-Fa>si> ini al-‘Abi>di> yang berjudul al-Sha>t}ibi> wa Maqa>s}id al-Shari>‘ah yang memotret tiga hal: kehidupan al-Sha>t}ibi>, al-Sha>t}ibi> dan Maqa>s}id al- Shari>‘ah dan al-Madhhab al-Is}la>h}i> menurut al-Sha>t}ibi>.

45 Muh}ammad Sa‘d bin Ah}mad al-Yu>bi>, Maqa>s}id al-Shari>‘ah al- Isla>miyyah wa ‘Ala>qatiha> bi Adillat al-Shar‘iyyah (Riya>d}: Da>r al- Hijrah, 1998), 70-71.

(42)

kebanyakan justru tidak membahas tentang maqa>s}id shari>‘ah, karena kajiannya justru banyak berisi tentang undang-undang kontemporer dan undang-undang Barat.

Ia berusaha menjelaskan tentang keutamaan Islam dibandingkan dengan undang-undang kontemporer itu.

Tetapi kajiannya ini kemudian malah menjadikan bukunya jauh dari tema maqa>s}id.46

Setelah era ini tema-tema tentang maqa>s}id banyak ditulis oleh beberapa ulama kontemporer, seperti Fahmi>

Muh}ammad ‘Alwa>n yang menulis al-Qayyim al-D{aru>riyyah wa Maqa>s}id al-Tashri>‘ al-Isla>mi>. Dalam buku ini ‘Alwa>n berusaha mengaitkan maqa>s}id dengan akhlak. Akan tetapi seperti halnya karya ‘Alla>l al-Fa>si>, menurut al-Yu>bi, karya ini bukanlah karya ilmiah tentang maqa>s}id. ‘Abdulla>h bin Ah}mad Qa>diri> menulis al-Isla>m wa D{aru>ra>t al-H{aya>h yang membahas tentang d}aru>riya>t al-kahms. Hanya saja buku ini lebih condong kepada kajian-kajian fikih dibandingkan dengan usulnya.47 Selain itu juga ada buku Falsafah Maqa>s}id al- Tashri>‘ karya Khali>fah Babakr al-H{asan dan al-Maqa>s}id al-

‘A<mmah karya ‘Abd al-Rah}ma>n ‘Abd al-Kha>liq.48

Yu>suf al-Qarad}a>wi> juga menulis beberapa karya tentang maqa>s}id, seperti Dira>sah Fi Fiqh al-Maqa>s}id al- Shari>‘ah. Dalam buku ini al-Qarad}a>wi> menguraikan pandangan tiga kelompok (tekstualis, liberalis dan moderat)

46 Ibid., 71-72.

47 Lihat ‘Abdulla>h bin Ah}mad Qa>diri>, al-Isla>m wa D{aru>ra>t al-H{aya>h (Jeddah: Da>r al-Mujtama‘, 2001).

48 Muh}ammad Sa‘d bin Ah}mad al-Yu>bi>, Maqa>s}id al-Shari>‘ah al- Isla>miyyah wa ‘Ala>qatiha> bi Adillat al-Shar‘iyyah (Riya>d}: Da>r al- Hijrah, 1998), 71-72.

(43)

dalam menyikapi maqa>s}id shari>‘ah.49 Tokoh kontemporer lainnya yang mempunyai perhatian besar terhadap kajian maqa>s}id diantaranya adalah al-Raysu>ni>, Jaseer Audah dan Was}fi> ‘A<shu>r Abu Zayd.

C. Konsep Maqa>s}id al-Shari>‘ah Yu>suf al-Qarad}awi> dalam memahami Hadis Nabi Saw.

Maqa>s}id al-shari>‘ah dalam pandangan al-Qarad}a>wi>

didefinisikan sebagai tujuan yang dikehendaki oleh nas}-nas}

yang berupa perintah, larangan dan kebolehan yang diwujudkan oleh hukum-hukum parsial (juz’i>) dalam kehidupan mukalaf, baik individu, keluarga, masyarakat dan umat. Dalam ungkapan yang lain maqa>s}id al-shari>‘ah adalah hikmah-hikmah yang terdapat di balik pensyariatan hukum, karena dibalik setiap hukum yang ditetapkan oleh Allah Swt.

kepada para hamba-hamba-Nya terdapat hikmah. 50

Menurut al-Qarad}a>wi>, al-Maqa>s}id al-Shari>‘ah dapat digali melalui beberapa cara sebagai berikut:

1. Dengan melakukan penelitian terhadap teks-teks al- Qur’an dan al-Sunnah yang di dalamnya juga menyebutkan ‘illat (alasan) hukum, sehingga pesan- pesan teks tersebut dapat diketahui. Sebagai contoh misalnya adalah firman Allah Swt.:

َموُقَ يِل َناَزيِمْلاَو َباَتِكْلا ُمُهَعَم اَنْلَزْ نَأَو ِتاَنِّيَ بْلِبِ اَنَلُسُر اَنْلَسْرَأ ْدَقَل . ِطْسِقْلِبِ ُساَّنلا

49 Muha}ammad Yu>suf al-Qarad}a>wi>, Dira>sah Fi Fiqh al-Maqa>s}id al- Shari>‘ah (Kairo: Da>r al-Shuru>q, 2008).

50 Lihat Yu>suf al-Qarad}a>wi>, Dira>sah Fi> Fiqh Maqa>s}id al-Shari>‘ah (Kairo: Da>r al-Shuru>q, 2008), 20-21.

(44)

‚Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.‛ (QS. Al-H{adi>d: 25)

Ayat ini menjelaskan tentang nilai keadilan dimana ia merupakan tujuan utama dari risalah langit yang diturunkan ke bumi semata-mata untuk menegakkan keadilan di muka bumi. Maqa>s}id dari ayat ini dapat diketahui dengan adanya la>m ta‘li>l (la>m yang menunjukkan makna alasan) yang terdapat pada redaksi liyaqu>ma al-na>s bi al-qist}.51

2. Dengan mengumpulkan teks-teks hukum yang bersifat juz’i> (parsial), kemudian diteliti, diamati dan dikonfirmasikan dengan teks-teks lainnya yang berkaitan, sehingga didapatkan tujuan umum yang dikehendaki syariat terhadap teks-teks tersebut.

Sebagai contohnya adalah hadis-hadis yang berbicara tentang larangan isba>l (memakai celana hingga atau melebihi mata kaki). Hadis-hadis tentang isba>l jika hanya diambil secara sepotong-sepotong tanpa dikompromikan dengan hadis-hadis yang sejenis, maka akan dihasilkan suatu kesimpulan bahwa hukum isba>l adalah haram secara mutlak, bahkan pelakunya akan masuk neraka. Padahal jika diteliti dan diamati lebih detail, larangan isba>l -yang terdapat pada hadis-hadis

51 Yu>suf al-Qarad}a>wi>, Dira>sah Fi> Fiqh Maqa>s}id al-Shari>‘ah (Kairo:

Da>r al-Shuru>q, 2008), 20.

(45)

tersebut- disebabkan karena faktor kesombongan (khuyala>’ ).52

Dalam pandangan al-Qarad}a>wi>, konsep maqa>s}id shari>‘ah tidak hanya terbatas pada al-D{aru>riyya>t al-Khams seperti yang dirumuskan oleh al-Ghaza>li>, al-Sha>t}ibi> dan yang lainnya. Menurutnya konsep maqa>s}id shari>’ah dapat dikembangkan dalam bentuk yang baru, tidak terbatas pada konsep yang telah disampaikan oleh para ulama maqa>s}id sebelumnya, seperti al-Ghaza>li>, al-Qara>fi> dan al-Sha>t}ibi>. Ia melihat para ulama kontemporer ketika membahas tentang Maqa>s}id al-Isla>m, Risa>lah al-Muh}ammadiyyah atau Maqa>s}id al-Qur’an, mereka tidak hanya membatasi pada al-Kulliya>t al- Khamsah dan cabang-cabangnya saja, melainkan juga melihat pada aspek dan sisi yang lain.

Rashi>d Ridha> (1282-1354 H.) sendiri ketika berbicara tentang Maqa>s}id al-Qur’a>n dalam bukunya al-Wah}y al- Muh}ammadi> menjelaskan konsep maqa>s}id secara lebih detail sesuai dengan bidang-bidang garapan Islam. Hal ini tentu berbeda dengan metode ulama usul fikih yang mengklasifikasi kemaslahatan secara global pada tiga tingkatan: d}aru>riyya>t, h}a>jiyya>t dan tah}si>niyya>t. Maqa>s}id tersebut dalam pandangan Ridha> terdiri dari sepuluh poin yang bertujuan untuk memberikan kemaslahatan pada kemanusiaan: 1) Memperbaiki rukun agama yang tiga (Iman, Islam dan Ihsan).

52 Yu>suf al-Qarad}a>wi, Kaifa Nata’a>mal Ma’ al-Sunnah al- Nabawiyyah (al-Mans}u>rah: Da>r al-Wafa>’, 1990), 23-25. Lihat juga dalam Muhammad Kudhori, ‚Perlunya Memahami Hadis Secara Tekstual dan Kontekstual untuk Mendapatkan Pemahaman yang Moderat ‘Ala Madhhab Ahlisunnah Wal Jama’ah‛, Prosiding The 3rd Annual Malang International Peace Conference, Vol. 3, 2017, 6- 20.

(46)

2) Penjelasan tentang kenabian dan risalah yang tidak diketahui oleh manusia. 3) Penjelasan bahwa Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah, akal, ilmu, hikmah, dalil, kebebasan dan kemerdekaan. 4) Reformasi sosial, kemanusiaan, dan politik melalui delapan persatuan53. 5) Menetapkan nilai-nilai umum Islam pada individu yang berkaitan dengan ibadah dan larangan. 6) Pernyataan prinsip- prinsip hubungan internasional dalam Islam. 7) Panduan untuk reformasi keuangan dan ekonomi. 8) Reformasi aturan perang dan menghindari kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh perang. 9) Memberikan hak asasi manusia, agama dan sipil kepada kaum perempuan. 10) Membebaskan manusia dari perbudakan.54

Al-Qarad}a>wi> sendiri memandang bahwa maqa>s}id dasar Islam mencakup pada lima hal: 1) Mewujudkan manusia yang baik. 2) Mewujudkan keluarga yang harmonis. 3) Mewujudkan masyarakat madani. 4) Menwujudkan umat yang baik dan 5). Seruan kepada nilai-nilai kemanusiaan.55

53 Delapan Persatuan atau al-Wahda>t al-Thama>n menurut Rashi>d Ridha> adalah: persatuan umat, persatuan umat manusia dalam persamaan di antara suku dan kelompok, persatuan agama dengan mengikuti seorang rasul yang membawa dasar-dasar agama yang fitrah, persatuan syariah dalam persamaan dan keadilan, persatuan persaudaraan ruhani dan persamaan dalam beribadah, persatuan kewarganegaraan internasional, persatuan dalam persamaan di hadapan hukum dan persatuan bahasa. Lihat Muh}ammad Rashi>d Ridha>, al-Wah}y al-Muh}ammadi> (Beirut: Mu’assasah ‘Izz al-Di>n, 1406 H.), 275-278

54 Lihat Yu>suf al-Qarad}a>wi>, Dira>sah Fi> Fiqh Maqa>s}id al-Shari>‘ah (Kairo: Da>r al-Shuru>q, 2008), 25-26.

55 Ibid., 27.

Referensi

Dokumen terkait

Beberapa penelitian menunjukkan hasil yang sama bahwa tingkat ekspresi mRNA LOXL-1 pada dinding vagina wanita dengan POP lebih tinggi dari non POP, namun setelah pemberian

Dengan adanya aplikasi E-learning ini, apakah dapat meningkatkan minat belajar siswa SMA Plus Pembangunan Jaya melalui internet?. Dengan adanya aplikasi E-learning ini,

Ilmu alam merupakan ilmu yang mempelajari obyek- obyek empiris di alam semesta ini. Ilmu alam mempelajari berbagai gejala dan peristiwa yang mempunyai manfaat bagi

Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun

Dalam pelaksanaannya juga terdapat kendala atau permasalahan yang dihadapi guru yaitu, (Orientasi) masalah waktu yang ditetapkan dalam tujuan pembelajaran apabila siswa

1) Orientasi kepada masalah. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya,

Dari hasil wawancara sebelum pembelajaran (wawancara awal) dan hasil wawancara akhir (wawancara setelah.. pembelajaran) di ketahui bahwa Subjek S 1 selalu mempersiapkan

Penggunaan etiket, harus memiliki informasi yang sangat banyak, atau keterangan yang lebih lengkap, oleh karena itu digunaka QR Code yang dapat menampung informasi yang sangat