• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Teori Perubahan Sosial

Perubahan adalah suatu proses penyadaran tentang perlunya atau adanya kebutuhan untuk berubah. Kebutuhan untuk berubah ini harus dilaksanakan dengan tindakan nyata. Perubahan sosial adalah proses terjadinya perubahan struktur dan fungsi suatu sistem sosial. Perubahan tersebut terjadi sebagai akibat masuknya ide-ide pembaruan yang diadopsi oleh para anggota sistem sosial yang bersangkutan (Setiady, 2006) Proses perubahan sosial biasanya terdiri dari tiga tahap, yaitu : (a) Invensi, yakni proses di mana ide-ide baru diciptakan dan dikembangkan; (b) Difusi, yakni proses di mana ide-ide baru itu dikomunikasikan ke dalam sistem sosial; (c) Konsekuensi, yakni peru- bahan-perubahan yang terjadi dalam sistem sosial sebagai akibat pengadop- sian atau penolakan inovasi. Perubahan terjadi jika penggunaan atau peno- lakan ide baru itu mempunyai akibat.

Perubahan sosial dalam masyarakat bukan merupakan sebuah hasil atau produk tetapi merupakan sebuah proses. Perubahan sosial merupakan sebuah keputusan bersama yang diambil oleh anggota masyarakat. Konsep dinamika kelompok menjadi sebuah bahasan yang menarik untuk memahami perubahan sosial. Langkah-langkah yang dapat diambil untuk mengelola perubahan menurut Lewin (1951) adalah :

a. Pencairan (Unfreezing), merupakan suatu proses penyadaran tentang perlunya atau adanya kebutuhan untuk berubah. Tahap ini membahas tentang persiapan untuk berubah;

b. Perubahan (Change) atau frase transisi, merupakan langkah tindakan baik memperkuat driving forces maupun memperlemah resistences. Tahap ini merupakan tahapan paling sulit karena seringkali orang tidak yakin atau bahkan takut dengan ketidakpastian dari arah perubahan;

(2)

c. Pembekuan (Refreezing) adalah tahap membangun stabilitas kembali setelah perubahan dibuat. Tahapan ini membawa kembali kelompok kepada keseimbangan yang baru (a new dynamic equilibrium). Pada dasarnya perilaku manusia lebih banyak dapat dipahami dengan melihat struktur tempat perilaku tersebut terjadi daripada melihat kepribadian individu yang melakukannya.

Faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan sosial dibedakan menjadi dua bagian yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal bersumber dari masyarakat itu sendiri yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial seperti : adanya perubahan penduduk, penemuan-pene muan baru, konflik dalam masyarakat, dan pemberontakan. Faktor eksternal bersumber dari luar masyarakat itu sendiri yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial, seperti : berubahnya alam yang ada di sekitar masyarakat (misalnya : tindakan manusia menebang hutan secara liar) ; peperangan antara negara satu dengan yang lain bisa menyebabkan terjadinya perubahan seluruh unsur budaya (sistem pengetahuan, teknologi, ekonomi, bahasa, kesenian, sistem religi, dan kemasyarakatan) dan ; pengaruh kebudayaan masyarakat lain (Soekanto, 2012).

Lewin (1951) mengidentifikasi beberapa hal dan alasan yang harus dilaksanakan oleh seseorang untuk berubah yaitu : perubahan hanya boleh dilaksanakan untuk alasan yang baik; perubahan harus secara bertahap;

semua perubahan harus terencana dan tidak mendadak; semua individu yang terkena perubahan harus dilibatkan dalam perencanaan.·

2. Teori Pembangunan

Pembangunan (development) secara umum identik dengan proses perubahan yang direncanakan, atau perbaikan kondisi menuju ke arah yang lebih baik. Pembangunan adalah sebuah upaya mencapai kemajuan bagi umat manusia. Kata kunci dari pembangunan adalah perubahan, pertumbuhan, pemenuhan kebutuhan, peningkatan martabat dan harga diri (Susanto, 2005).

(3)

Pembangunan tidak terbatas pada sarana fisik saja, akan tetapi pembangunan meliputi semua aspek kehdupan fisik, mental, kecerdasan, moral, tatanan nilai dan norma dalam meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan. Ada dua pendekatan pembangunan yang dilakukan yaitu pendekatan top-down dan pendekatan bottom-up. Pendekatan top-down merupakan blue print srategy yaitu pendekatan yang bersumber pada pemerintah, sehingga masyarakat hanya dianggap sebagai sasaran/objek pembangunan. Pendekatan ini mempunyai kelemahan, yaitu kurang memperhatikan kondisi sosial budaya serta sumber daya lokal yang ada di masyarakat, sehingga mematikan inisiatif dan kreativitas masyarakat.

Pendekatan bottom-up merupakan pendekatan pembangunan yang memposisikan masyarakat sebagai subjek pembangunan, sehingga masyarakat terlibat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, sampai evaluasi. Pendekatan bottom-up merupakan pendekatan yang ideal dalam pembangunan yang memperhatikan aspirasi, inisiatif, kreativitas dan mengakomodasi kondisi sosial budaya setempat (Anwas, 2014).

Di Indonesia ada pergeseran paradigma dan kebijakan pembangunan, yaitu dari pembangunan ke pemberdayaan. Pada tahun 1970-an pemba- ngunan desa terpadu bergeser menjadi pembangunan masyarakat desa pada tahun 1980-an dan awal 1990-an, kemudian bergeser lagi menjadi pemberdayaan masyarakat (desa) mulai akhir 1990-an hingga sekarang.

Pada intinya, paradigma lama (pembangunan) lebih berorientasi pada negara dan modal sementara paradigma baru (pemberdayaan) lebih terfokus pada masyarakat, institusi dan masyarakat lokal yang dibangun secara partisipatif. Pembangunan masyarakat dengan pemberdayaan dipandang sangat penting berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut : a.

Masyarakat yang produktif adalah masyarakat yang sehat; b.Proses perencanaan yang berasal dan diinginkan oleh masyarakat adalah lebh baik dibandingkan dengan perencanaan yang berasal dari penguasa; c.Proses partisipasi dalam pembangunan masyarakat merupakan pencegahan berbagai sikap masa bodoh; d.Proses pemberdayaan yang kuat dalam upaya-

(4)

upaya kemasyarakatan merupakan dasar kekuatan bagi masyarakat yang demokratis dan mandiri (Sulaeman, 2012).

3. Promosi Kesehatan

Dalam membahas promosi kesehatan terlebih dahulu perlu mengetahui pengertian tentang promosi kesehatan beberapa model promosi kesehatan dan model perencanaan dan evaluasi program promosi kesehatan.

a. Pengertian Promosi Kesehatan

Beberapa pengertian tentang Promosi kesehatan menurut beberapa sumber adalah sebagai berikut :

1) Ottawa Charter : promosi kesehatan adalah suatu proses yang me- mungkinkan individu untuk meningkatkan derajat kesehatannya.

Termasuk didalamnya adalah sehat secara fisik, mental dan sosial sehingga individu atau masyarakat dapat merealisasikan cita-citanya, mencukupi kebutuhan-kebutuhannya, serta mengubah atau mengatasi lingkungannya. Jadi promosi kesehatan tidak hanya bertanggungjawab pada sektor kesehatan saja, melainkan juga gaya hidup untuk lebih sehat. (Keleher,et.al, 2007).

2) WHO (1998) : promosi kesehatan adalah seni dan ilmu untuk membantu orang menemukan sinergi antara kesukaan inti (core passions) dan kesehatan yang optimal, meningkatkan motivasi masyarakat untuk berjuang mencapai kesehatan yang optimal, dan mendukung masyarakat dalam mengubah gaya hidup untuk bergerak ke arah keadaan kesehatan yang optimal.

3) Departemen Kesehatan RI (2005): promosi kesehatan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pembelajaran dari, oleh, untuk dan bersama dengan masyarakat, agar mereka dapat menolong diri sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang bersumber daya masyarakat, sesuai sosial budaya setempat dan didukung kebijakan publik yang berwawasan kesehatan.

4) Nutbeam dalam Keleher, et.al (2007) : promosi kesehatan adalah proses sosial dan politis yang menyeluruh, yang tidak hanya

(5)

menekankan pada kekuatan ketrampilan dan kemampuan individu , tetapi juga perubahan sosial, lingkungan dan kondisi ekonomi yang mempengaruhi kesehatan individu dan masyarakat. Jadi promosi kesehatan adalah proses untuk memungkinkan individu mengontrol faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan dan mengembangkan.

b. Model Promosi Kesehatan

Model menurut McLeod (2001) adalah penyederhanaan (abstraction) dari sesuatu yang mewakili sejumlah objek atau aktivitas yang disebut dengan entitas (keseluruhan). Pemodelan bertujuan memberikan gambaran yang sederhana untuk menjelaskan teori. Model adalah konstruksi kerangka teoritis yang menggambarkan hubungan antar variabel yang kompleks dengan lebih sederhana agar lebih mudah dipahami dari suatu masalah yang mewakili sejumlah objek atau aktivitas keseluruhan.

Model promosi kesehatan memperlihatkan interaksi diantara faktor- faktor yang berhubungan dengan hasil yang dihubungkan dengan proses promosi kesehatan. Tujuan permodelan adalah :

1) Memudahkan pemahaman kompleksitas dan kerumitan teori;

2) Memberikan gambaran yang sederhana untuk menjelaskan teori;

3) Membantu merumuskan suatu teori dan menjelaskan hubungan unsur- unsurnya dan ;

4) Menafsirkan secara abstrak ciri penting teori, unsur dan sifat, sehingga dapat diadaptasi dengan fenomena ataupun realita (Werner, et al , 2005).

Berikut ini adalah tabel beberapa model promosi kesehatan yang dikenal :

(6)

Tabel 2.1 Teori Promosi Kesehatan : Fokus dan Konsep Kunci

Tingkat Teori Fokus Konsep Kunci

Individu Health Belief Model (HBM) Rosenstock, (1974)

Menjelaskan pertim- bangan seseorang sebelum ia berperilaku sehat dan memiliki fungsi sebagai upaya pencegahan terhadap penyakit

1. Kerentanan yang dipersepsikan

2. Persepsi keparahan 3. Persepsi kemanfaatan 4. Hambatan yang dira-

sakan

5. Petunjuk untuk ber- tindak

6. Kepercayaan diri Theory of Plan

ned Behavior (TPB)

Icek Ajzen (1985)

Perilaku individu itu didorong oleh niat perilaku, di mana niat perilaku merupakan fungsi dari tiga faktor penentu; sikap indivi- du terhadap perilaku, norma subjektif dan persepsi kontrol peri laku

1. Sikap terhadap peri - laku

a. Keyakinan berpe- laku

b. Evaluasi hasil 2. Norma subjektif a. Kepercayaan

normatif

b. Motivasi kepa- tuhan

3. Persepsi kontrol peri- laku

a. Keberadaan hal- hal yang mendu- kung dan meng- hambat perilaku b. Kekuatan yang

mendukung dan menghambat peri- laku

4. Niat 5. Perilaku Stages of Change

(Transtheoritical Model)

Prochaska &

Di-Clemente (1984)

model kognitif yang diterapkan secara luas yang membagi indivi du lima kategori yang mewakili tonggak yang berbeda, atau tingkat kesiapan moti vasi

1.Pra perenungan (Pre- contemplation) 2.Perenungan (Contem-

plation)

3. Komitmen yang serius untuk berubah (Pre- paration )

4. Perubahan (Action) 5. Pemeliharaan (Main-

tenance)

(7)

Tingkat Teori Fokus Konsep Kunci Individu Precaution Adop-

tion Process Model (PAPM).

Weinstein, (1992)

model yang men- jelaskan bagaimana individu mengambil keputusan untuk ber- tindak. Model ini men jelaskan secara kua- litatif langkah-langkah perilaku sehat apa yang akan di lakukan

Tahap 1. Tidak menya- dari masalah Tahap 2. Tidak terlibat

oleh masalah Tahap 3. Memutuskan

tentang acting Tahap 4. Memutuskan untuk tidak bertindak (opsional) Tahap 5. Memutuskan

untuk bertin- dak opsional) Tahap 6. Bertindak Interpersonal Social Cogni-

tive Theory Bandura (1962)

Menjelaskan keter- kaitan perilaku manu- sia dengan interaksi timbal balik yang berkesinambungan an- tara kognitif, perila- ku, dan pengaruh lingkungan

1.Determinisme Timbal Balik,

2. Harapan Hasil, 3. Self-Efficacy

4. Keberhasilan Kolektif, 5.Pembelajaran

Observasional, 6. Motivasi Insentif, 7. Fasilitasi, 8. Pengaturan Diri, 9. Pelepasan Moral Jejaring Sosial

dan Dukungan Sosial

Jejaring sosial memun culkan berbagai fungsi sosial: pengaruh so- sial, kontrol sosial, perusakan sosial, per- bandingan sosial, per- sahabatan, dan duku- ngan sosial.

Jenis dukungan sosial : 1. Dukungan emosional, 2. Dukungan

instrumental 3. Dukungan informasi 4. Dukungan penilaian

Komunitas Penggerakan masyarakat(co mmunity mobi- lization )

strategi untuk me- ningkatkan kesehatan masyarakat

1. Perencanaan mobili- sasi,

2. meningkatkan kesa- daran masyarakat, 3. membentuk koalisi

action Difusi Inovasi

Model

Everett M Rogers, (1962)

menempatkan

penekanannya pada inovasi sebagai agen perubahan perilaku

1.Keunggulan relatif (re- lative advantage) 2.Konsisten dengan ni-

lai-nilai yang berlaku (compatibility)

3. Kerumitan (complexi- ty)

4. Kemampuan diuji co- bakan (trialability) 5. Kemampuan diamati

(observability)

Sumber : Morris, et al (2012), Bartholonew, et al (2006), Glanz, K, et al (2008)

(8)

c. Model Perencanaan dan Evaluasi Program Promosi Kesehatan

Model perencanaan dan Evaluasi program untuk promosi kesehatan telah banyak ditulis dalam buku dan artikel kesehatan. Model ini menggunakan pendekatan langkah demi langkah (a step-by-step) untuk perencanaan program kesehatan. Berikut ini adalah tabel ringkasan masing-masing model perencanaan dan evaluasi program, serta elemen utama setiap model :

Tabel 2.2 Model Perencanaan dan Evaluasi Program untuk Promosi Kesehatan

No Model perencanaan Elemen utama

1 Ewles dan Simnet (2003) Model tujuh tahap

Tujuh tahap : identifikasi kebutuhan dan prioritas;

menentukan tujuan dan target; identifikasi metode yang tepat dalam pencapaian tujuan; identifikasi sumber yang terkait; menyusun metode rencana evaluasi; menyusun rencana pelaksanaan;

Pelaksanaan atau Implementasi dari perencanaan;

2 Green and Kreuter (2005) PRECEDE/PROCEED

Sembilan fase yang membangun satu sama lain: fase 1 mengidentifikasi tujuan dan masalah yang menjadi perhatian populasi target; fase 2 mengidentifikasi tujuan dan masalah kesehatan tertentu; fase 3 mendiagnosis faktor predisposisi, pemungkin, dan penguat; tahap 4 menilai kemampuan dan sumber daya organisasi dan administrasi; fase 5 mengem bangkan komponen dan implementasi program; fase 6 hingga 9 meliputi evaluasi

3 Goodstadt et al (2001) model generik untuk perencanaan dan evaluasi promosi kesehatan

Delapan langkah: menjelaskan program: identifikasi masalah dan pertanyaan; desain proses pengumpulan data; mengumpulkan data; menganalisis dan menaf sirkan data; membuat rekomendasi, diseminasi, mengambil tindakan.

4 Nutbeam (1998)

Model bertahap untuk perencanaan, implementasi dan evaluasi program promosi kesehatan

Menambahkan pengembangan kapasitas melalui pengembangan staf, mobilisasi sosial, advokasi dan penyebaran hasil

5 Bartholomew, Parcel Kok and Gottlieb (1998, 2001) Pemetaan intervensi

Lima langkah: mengembangkan matriks untuk membuat tujuan/matriks program 'proksimal'; pe- milihan method; strategi dan desain program; peren- canaan dan adopsi; implementasi dan evaluasi

Sumber : Fleming , ML and Parker, E (2007)

Studi ini mengadopsi teori tentang model perencanaan program untuk promosi kesehatan dari Green and Kreuter (2005) PRECEDE/PROCEED, teori

(9)

promosi kesehatan tingkat individu yaitu Theory of Planned Behavior (TPB) dari Icek Ajzen (1985)

1) Model Perencanaan dan Evaluasi PRECEDE PROCEED dari Lawrence Green

Model Precede-Proceed merupakan salah sat u model perilaku yang dikembangkan oleh Lawrence Green pada tahun 1980. Green mencoba menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Model yang dapat digunakan untuk membuat perenca naan dan evaluasi kesehatan yang mengarah pada perubahan perilaku baik individu, keluarga, masyarakat disebut kerangka PRECED. PRECEDE (Predisposing, Reinforcing and Enabling Causes in Educational Diagnosis and Evaluation ) digunakan pada fase diagnosis masalah, penetapan prioritas masalah dan tujuan program; PROCEED (Policy,Regulatory, Organizational Construct in Educational and Environmental Development ), dipergunakan untuk menetapkan sasaran dan kriteria kebijakan, serta implementasi dan evaluasi.

Kerangka PRECEDE terdiri 5 fase :

Fase 1. Diagnosis Sosial (Social Need Assessment)

Fase 2. Diagnosis Epidemiologi ( Epidemiological Diagnosis) Fase 3. Diagnosis Perilaku dan Lingkungan ( Behavioral and Environmental Diagnosis)

Fase 4.Diagnosis Pendidikan dan Organisasional ( Educational and Organizational Diagnosis)

Fase 5. Diagnosis Administratif dan Kebijakan Kerangka PROCEED terdiri 4 fase :

Fase 6. Implementasi Fase 7. Evaluasi Proses Fase 8. Evaluasi Dampak Fase 9. Evaluasi Hasil

(10)

Berikut adalah gambar model perencanaan dan evaluasi PRECEDE PROCEED dari Lawrence Green :

Fase 5 Fase 4 Fase 3 Fase 2 Fase 1 Diagnosis Diagnosis Diagnosis Diagnosis Diagnosis Administratif dan Pendidikan dan Perilaku dan Epidemiologi Sosial

Kebijakan Organisasional Lingkungan

Fase 6 Fase 7 Fase 8 Fase 9

Implementasi Evaluasi Evaluasi Evaluasi

Proses Dampak Hasil

Gambar 2.1. PRECEDE/PROCEED Model

Sumber : L.W. Green and M.W. Kreuter 2005 (cit Fleming and Parker, 2007)

Keterangan :

a) Kualitas hidup adalah sasaran utama yang ingin dicapai di bidang pembangunan.Diharapkan semakin sejahtera maka kualitas hidup semakin tinggi ;

b) Derajat kesehatan adalah sesuatu yang ingin dicapai dalam bidang kesehatan. Perilaku dan lingkungan memiliki pengaruh terbesar terhadap derajat kesehatan.

c) Faktor Lingkungan adalah faktor fisik, biologis dan sosal budaya yang langsung / tidak langsung mempengaruhi derajat kesehatan.

d) Faktor perilaku dan gaya hidup : faktor perilaku te rjadi bila ada stimulus, gaya hidup sebagai pola kebiasaan seseorang/

PROMOSI KESEHATAN

Pendidikan Kesehatan

Kebijakan regulasi organisasi

Faktor Penguat

Faktor pemungkin

Faktor Predisposisi

Perilaku &

Gaya hidup

Lingkungan

Derajat kesehatan

Kualitas hidup

(11)

sekelompok orang yang dilakukan karena mengikuti trend atau tokoh idola (misal : artis idolanya tidak merokok, maka orang/

sekelompok orang tersebut mengikuti untuk tidak merokok.

Hal ini membuat perilaku seseo rang tidak stabil ketika artis yang diidolakan merokok. Faktor penyebab seseorang melakukan perilaku: faktor predisposisi (predisposing factor), faktor pemungkin (enabling factor), dan faktor penguat (rein- forcing factor).

e) Promosi kesehatan lebih menekanka n lingkungan untuk terjadinya perubahan perilaku.

2). Theory of Planned Behavio r (TPB)

Theory of Planned Behavior yang sering disebut dengan TPB dirumuskan pertama kali oleh Icek Ajzen pada tahun 1985 melalui artikel yang berjudul From Intention To Action: A Theory of Planned Behavior.

Ajzen menmukan bahwa sebelum behavior (b) manifest nyata, terdapat variabel intention (int) yang mendahuluinya. TPB merupakan penyempurnaan dari teori sebelumnya yaitu Theory of Reasoned Action (TRA) dari Ajzen pada tahun 1975. TPB menambahkan perilaku kontrol yang dirasakan (Perceived Behavioral Control) ke Theory of Reasoned Action untuk memperhitungkan faktor-faktor di luar kendali individu.

TPB memprediksi suatu keinginan individu untuk bergerak dalam perilaku pada tempat dan waktu tertentu. Perilaku individu itu didorong oleh niat perilaku, di mana niat perilaku merupakan fungsi dari tiga faktor penentu; sikap individu terhadap perilaku, norma subjektif dan persepsi kontrol perilaku (Ajzen, 1991). TPB menganggap prediktor perilaku yang terbaik adalah behaviora intention, yang pada gilirannya ditentukan oleh attitude terhadap perilaku dan persepsi normatif sosial mengenai hal tersebut (Montano dan Kaspyrzyk, 2008).

Model utama TPB dimulai dengan mengukur behavioral intention sebagai prediktor behavior. Intention dipengaruhi oleh 3 variabel utama yaitu attitude toward the behavior (A), subjective norm (SN) dan perceived

(12)

behavioral control (PBC). Dalam TPB, sikap, norma subyektif, dan kontrol perilaku dianggap ditentukan oleh keyakinan-keyakinan utama (salient beliefs), sehingga penentu suatu perilaku adalah hasil penilaian keyakinan- keyakinan baik secara positif maupun negatif, dan selanjutnya dijumlahkan untuk menghasilkan nilai sikap, norma subjektif, dan kontrol perilaku secara keseluruhan (Sutton et al, 2003). Keyakinan-keyakinan seseorang dapat digali melalui proses studi elisitasi (elicitation study).

Attitude toward the behavior (A) atau sikap terhadap perilaku merupakan disposisi atau kecenderungan untuk menanggapi hal-hal yang bersifat evaluatif, disenangi atau tidak disenangi terhadap suatu obyek, orang, institusi atau peristiwa. Sikap terhadap perilaku ditentukan oleh keyakinan (behavioral beliefs) akan akibat dari tingkah laku yang dilakukan. Keyakinan bisa positif maupun negatif. Keyakinan individu meliputi keyakinan akan hasil suatu perilaku dan evaluasi atas hasil tersebut (beliefs strength and outcome evaluation). TPB mengasumsikan bahwa sikap akan mempengaruhi niat perilaku namun sikap tidak menentukan perilaku secara langsung, melainkan melalui kombinasi dengan norma subyektif dan persepsi kendali perilaku (Ajzen, 2005).

Subjective norm (SN) atau Norma subyektif didefinisikan sebagai pengaruh penting orang lain. Hal ini dianggap sebagai sesuatu yang orang penting lainnya anggap orang tersebut harus melakukan perilaku tertentu (Engel, Blackwell, dan Miniard, 1995). Subjective norm (SN) atau norma subyektif merupakan persepsi individu adanya keinginan dan harapan dari pihak lain agar individu menunjukkan atau tidak menunjukkan perilaku.

Perilaku individu tidak hanya ditentukan oleh sikap individu saja tetapi ditentukan oleh persepsi individu terhadap tekanan sosial dari pihak lain dan kemampuan invididu untuk memenuhi harapan pihak lain. Norma subyektif dipengaruhi oleh dua keyakinan a. normatif beliefs yaitu keyakinan adanya pihak lain (referant) baik individu atau pun kelompok yang akan mendukung ataupun tidak mendukung seseorang berperilaku, dan b.

(13)

motivation to comply yaitu motivasi seseorang untuk memenuhi harapan pihak reference. (Ajzen, 2005).

Menurut Ajzen (2005), secara umum, semakin seseorang merasa bahwa rujukan sosial merekomendasikan untuk terlibat dalam perilaku, semakin dia cenderung merasakan tekanan sosial untuk melakukan perilaku tersebut.

Ajzen (2002) menyatakan bahwa pengaruh langsung kontrol Perilaku terhadap perilaku adalah sebagai pengendalian. Pelaksanaan suatu perilaku bergantung pada kepercayaan individu seberapa besar kendali atas perilaku tersebut. Perubahan kontrol perilaku akan mempengaruhi individu untuk berperilaku. Namun, hubungan antara kontrol perilaku dan perilaku yang dirasakan lebih kompleks. Hubungan ini menunjukkan bahwa kita lebih cenderung meniru perilaku (atraktif / diinginkan) yang telah kita kendalikan dan menyarankan agar kita dicegah melakukan perilaku yang tidak dapat kita kendalikan. Sebaliknya, disarankan bahwa jika niat dipertahankan konstan, perilaku akan lebih cenderung dilakukan karena kontrol perilaku yang dirasakan meningkat (Corner and Armitage, 1998).

Perceived behavioral control (PBC) atau persepsi kontrol perilaku merupakan persepsi keyakinan individu berkaitan dengan seberapa mampu untuk melakukan suatu perilaku tertentu. PBC dipengaruhi oleh dua keyakinan a. control beliefs, yaitu keyakinan tentang keberadaan hal-hal yang mendukung atau menghambat perilaku yang akan dilakukan, dan b.

control power yaitu persepsi individu tentang seberapa kuat hal-hal yang mendukung dan menghambat individu berperilaku (Ajzen, 1991).

Niat di dalam TPB dipandang sebagai rencana perilaku yang bersamaan dengan peluang dan sumber daya yang tepat, memungkinkan pencapaian tujuan perilaku (Ajzen, 1996). Namun, niat tidak selalu mengarah pada keberhasilan pemberlakuan tingkah laku. Niat diasumsikan sebagai faktor motivasional yang mempengaruhi perilaku. Niat memberikan indikasi seberapa keras seseorang berusaha atau seberapa banyak usaha yang dilakukan untuk menampilkan suatu perilaku. Niat untuk berperilaku dapat menjadi perilaku yang sebenarnya hanya jika perilaku tersebut ada di bawah

(14)

kontrol individu yang bersangkutan. Individu memiliki pilihan untuk memutuskan berperilaku tertentu atau tidak sama sekali (Ajzen, 1991).

Gambaran dari Theory of Planned Behavior secara lebih lengkap dapat dilihat pada Gambar 2.2 berikut ini :

Gambar 2.2 Theory of Planned Behavior (Ajzen, I, 1991) Keterangan :

Attitude toward the behavior : sikap terhadap perilaku Subjective norm (SN) : norma subjektif

Perceived behavioral control (PBC) : Persepsi kontrol perilaku Behavioral intention : niat terhadap perilaku Behaviour : perilaku

4. Model Evaluasi CIPP (Context, Input, Process, Product).

Dalam melaksanakan evaluasi suatu program dapat dilakukan berbagai metode evaluasi, salah satunya menggunakan model CIPP (Context, Input, Process, Product). (1) Context fokusnya terkait dengan tujuan evaluasi, (2) Input fokusnya terkait dengan perencanaan evaluasi, (3) Process, merupakan pelaksanaan kegiatan evaluasi, dan (4) Product merupakan outcomes evaluasi

SUBJECTIVE NORM (Normative beliefs weighted by Motivation to comply)

Perceived Behavioural Control

(Control beliefs weighted by Influence of control beliefs)

Behaviour ATTITUDE

(Behavioural beliefs Weighted by Outcome evaluations)

Behavioural Intention

(15)

(Stufflebeam, 2003).Evaluasi Program PHBS dalam penelitian ini menggunakan CIPP Evaluation Model.

(1) Evaluasi Konteks, menurut Stufflebeam (2003) untuk menjawab pertanyaan: Apa yang perlu dilakukan? (What needs to be done?).

Maksudnya apa yang perlu dilakukan dalam mencapai tujuan perubahan PHBS bagi semua komunitas pasar?

(2) Evaluasi Input (masukan). Evaluasi masukan untuk mencari jawaban atas pertanyaan: Apa yang harus dilakukan? (What should be done?) . Maksudnya adalah menyiapkan perencanaan sumber daya pokokdalam melaksanakan program PHBS seperti : Man, Materials, Machines, Methods, Money, dan Markets (Terry, 2005)

(a) Man, merujuk pada sumber daya manusia yang dimiliki oleh organisasi.

(b) Money atau pendanaan program. Uang merupakan alat (tools) yang penting untuk mencapai tujuan

(c) Materials, terdiri dari bahan setengah jadi (raw material) dan bahan jadi.Bahan/materi-materi sebagai salah satu sarana dalam menjalankan program PHBS

(d) Machines atau mesin, digunakan untuk memberi kemudahan atau menghasilkan keuntungan yang lebih besar serta menciptakan efesiensi kerja.

(e) Methods adalah suatu tata cara kerja yang memperlancar jalannya pekerjaan manajer/ fasilitatot dalam hal ini.

(f) Markets atau pasar adalah tempat di mana organisasi menyebarluaskan (memasarkan) produknya. Dalam program PHBS pasar tradisional sebagai tempat untuk menyampaikan program PHBS.

(3) Evaluasi Process (Proses). Evaluasi proses berupaya untuk mencari jawaban atas pertanyaan: Apakah program sedang dilaksanakan? (Is it being done?). Evaluasi ini berupaya mengakses pelaksanaan dari rencana untuk membantu staf program melaksanakan aktifitas dan

(16)

kemudian membantu kelompok pemakai yang lebih luas menilai program dan menginterpretasikan manfaat.

(4). Evaluasi Product (Produk). Evaluasi produk diarahkan untuk mencari jawaban pertanyaan: Did it succed?. Evaluasi ini berupaya mengidentifikasi dan mengakses keluaran dan manfaat, baik yang direncanakan atau yang tidak direncanakan, baik jangka pendek maupun jangka panjang.

5. Program Pasar Sehat

Program Pasar sehat dikembangkan di Indonesia dalam rangka menindaklanjuti pengembangan Program Kabupaten/ Kota Sehat dan untuk mengantisipasi terjadinya penyebaran dan penularan penyakit yang berpotensi wabah. Kabupaten/ Kota Sehat menurut Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kesehatan Nomor : 34 tahun 2005 Nomor : 1138/

Menkes/PB/VIII/2005 tentang Penyelenggaraan Kabupaten/ Kota Sehat pasal 1 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Kabupaten/ Kota Sehat adalah suatu kondisi kabupaten/ kota yang bersih, nyaman, aman dan sehat untuk dihuni penduduk, yang dicapai melalui terselenggaranya penerapan beberapa tatanan dan kegiatan yang terintegrasi yang disepakati masyarakat dan pemerintah daerah (pemerintah provinsi dan Kabupaten / Kota).

Di dalam menjelaskan program Pasar Sehat terlebih dahulu perlu dijelaskan tentang pengertian pasar tradisional sebagai tempat diperlakukannya program Pasar Sehat, fungsi pasar, kelas pasar, dan pengelolaan pasar sehat.

a. Pengertian Pasar Tradisional

Pasar tradisional adalah pasar yang berlokasi permanen, ada pengelola, sebagian besar barang yang diperjualbelikan adalah kebutuhan dasar sehari-hari dengan praktek perdagangan dan fasilitas infrastruktur yang sederhana dan ada interaksi langsung antara penjual dan pembeli.

Pasar juga memiliki posisi yang sangat penting untuk menyediakan pangan yang aman, dan pasar tersebut dipengaruhi oleh keberadaan produsen, hulu

(17)

(penyedia bahan segar), pemasok, penjual, konsumen, manajer pasar, petugas yang berhubungan dengan kesehatan dan tokoh masyarakat (Kementerian Kesehatan RI, 2008).

Pasar tradisional berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 17 tahun 2012 tentang perubahan atas peraturan daerah Kabupaten Bantul Nomor 16 tahun 2010 tentang pengelolaan pasar adalah pasar yang dibangun oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa, Swasta, Badan Usaha Negara dan Badan Usaha Milik Daerah termasuk kerjasama dengan swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, los dan tenda yang dimiliki/ dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil dan dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar menawar (Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul, 2012).

Pasar tradisional pada umumnya menjual kebutuhan sehari-hari seperti : ikan, daging, ayam, sayur-sayuran, buah-buahan, hasil bumi, kelontong dan lain-lainnya. Ciri- ciri utama pasar tradisional yang mudah diamati menunjukkan tempat yang digunakan bagi kegiatan yang bersifat indigenous market trade sebagaimana telah dipraktekkan sejak lama (menjadi tradisi), juga merupakan asset budaya yang mempunyai peran yang penting dalam kehidupan masyarakat. (Lukito, 2018).

b. Fungsi Pasar

Pasar sekurang-kurangnya memiliki tiga fungsi utama, yaitu : fungsi distribusi, fungsi pembentukan harga, dan fungsi promosi. Sebagai fungsi distribusi, pasar berperan sebagai penyalur barang dan jasa dari produsen ke konsumen melalui transaksi jual beli. Sebagai fungsi pembentukan harga, di pasar penjual yang melakukan permintaan atas barang yang dibutuhkan dan sebagai fungsi promosi, pasar juga dapat digunakan untuk memperkenalkan produk baru dari produsen kepada calon konsumennya (Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul, 2010).

c. Pengelolaan Pasar Sehat

(18)

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor : 519/

MENKES/SK/VI/2008 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pasar Sehat yang dimaksud dengan Pasar Sehat adalah kondisi pasar yang bersih, aman, nyaman dan sehat dapat terwujud melalui kerjasama seluruh stakeholder terkait dalam menyediakan bahan pangan yang aman dan bergizi bagi masyarakat dan lingkungan yang memenuhi persyaratan kesehatan. Stakeholder (pemangku kepentingan) yang dimaksudkan di dalam Kepmenkes RI 2008 ini adalah unit terkait di pasar antara lain pemerintah pusat, pemerintah setempat, pengelola pasar, pemasok, penjual, pekerja pasar lainnya, dan juga konsumen.

Pedagang menurut Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 17 tahun 2012 tentang perubahan atas peraturan daerah Kabupaten Bantul Nomor 16 tahun 2010 tentang pengelolaan pasar adalah orang pribadi atau badan yang memakai tempat untuk berjualan barang maupun jasa secara tetap maupun tidak tetap di pasar mlik pemerintah daerah. Adapun yang dimaksud dengan pengelola pasar menurut Departemen Kesehatan RI (2008) adalah orang atau badan yang bertanggung jawab terhadap opeasional harian pasar, keamanan, kebersihan pasar dan lain-lain.

Tujuan umum adanya program pasar sehat adalah terwujudnya pasar yang bersih, aman, nyaman dan sehat melalu kemandirian komunitas pasar. Sedangkan tujuan khusus pasar sehat adalah : tersedianya pasar dengan infrastruktur yang memenuhi persyaratan kesehatan;

terselenggaranya pengelolaan pasar yang memenuhi persyaratan kesehatan dan berkesinambungan; terwujudnya perilaku pedagang, pengelola dan pengunjung untuk hidup bersih, sehat dan hygienis. Sebutan (status ) pasar sehat apabila indikator nya terpenuhi dan mendapatkan total skor : 7.500 – 10.000. Indikator pasar sehat berdasarkan formulir Inspeksi pasar menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor. 519/MENKES/SK/VI/2008 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pasar Sehat ada 6 yaitu : lokasi, bangunan pasar, sanitasi, PHBS, keamanan, dan fasilitas lain. Sedangkan pengkategoriannya adalah tidak sehat : skore < 6.000; kurang sehat : skore

(19)

6.000 – 7.499; sehat : skore 7.500 – 10.000 (Kementerian Kesehatan RI, 2008)

Manfaat program pasar sehat ini bagi pedagang adalah meningkatkan penjualan meningkatkan kualitas produk, lebih ekonomis karena berkurangnya biaya akibat penarikan kembali atau produk yang terbuang/

tidak laku, lingkungan kerja yang sehat dan ergonomis, pemberdayaan yang lebih luas, meningkatnya kepuasan kerja, dan lestarinya budaya dan tradisi pasar tradisional. Adapun manfaat program pasar sehat ini bagi Pemerintah Daerah adalah meanurunnya penyakit yang disebabkan pangan, meningkatnya status gizi masyarakat, menurunnya biaya perawatan kesehatan, dan merupakan akses efektif untuk promosi dan perlindungan kesehatan pada masyarakat luas, serta meningkatnya pendapatan daerah. Manfaat program pasar sehat ini bagi konsumen adalah akses untuk memperoleh pangan yang lebih aman dan bergizi, meningkatnya pemahaman bagaimana memilih pangan yang aman dan berizi, meningkatnya pengetahuan tentang praktek keamanan pangan di rumah, lingkungan belanja yang aman dan sehat, akses terhadap fasilitas higiene dan sanitasi, mendapatkan informasi/pesan-pesan promosi higiene dan sanitasi, status kesehatan dan gizi yang lebih baik bagi diri sendiri dan anggota keluarganya (Kementerian Kesehatan RI, 2008).

Penyelenggaraan Pasar Sehat dalam pengorganisasian melibatkan banyak sektor baik sektor pemerintah maupun swasta yang saling mendukung satu sama lain sesuai dengan peran dan fungsinya. Adapun pengorganisasian pasar sehat meliputi : Tim pembina pusat, Tim pembina propinsi, Tim pembina Kabupaten/Kota, Kelompok kerja/gugus tugas/Tim Inti Pasar. Tim pembina Kabupaten/Kota membentuk Kelompok kerja/gugus tugas/Tim Inti Pasar yang keanggotaannya terdiri dari : pengelola pasar/perusahaan daerah pasar/UPTD, pedagang, Asosiasi pedagang pasar dan pemasok yang akan berperan secara langsung dalam pengelolaan pasar sehat, penerapan perillaku higienis serta pembinaan dan fasilitasi pedagang.

(20)

Persyaratan kesehatan lingkungan pasar menurut Kementerian Kesehatan RI, 2008 ada 6 yang meliputi : lokasi, bangunan, sanitasi, perilaku hidup bersih dan sehat, keamanan serta fasilitas lain.

1). Lokasi : harus sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang Setempat (RUTR), tidak terletak pada daerah rawan bencana alam (bantaran sungai, aliran lahar, rawan longsor, banjir dan sebagainya), tidak terletak pada daerah rawan kecelakaan atau daerah jalur pendaratan penerbangan, termasuk sempadan jalan; mempunyai batas wilayah yang jelas antara pasar dan lingkungannya.

2). Bangunan (umum, penataan ruang dagang, ruang kantor pengelola, tempat penjualan bahan pangan dan makanan, area parkir, konstruksi (atap, dinding, lantai), tangga, ventilasi, pencahayaan, pintu);

3). Sanitasi

a) Air bersih : tersedia dalam jumlah yang cukup setiap hari minimal 40 liter per pedagang, kualitas air bersih terpenuhi persyaratan, tersedia tendon air, jarak sumber air bersih dengan pembuangan limbah minimal 10 meter, kualitas air bersih diperiksa setiap 6 bulan sekali.

b) Kamar mandi dan toilet : harus tersedia toilet laki-laki dan pe- rempuan terpisah dengan tanda/simbol yang jelas sesuai proporsi, tersedia bak dan air bersih, di dalam toilet tersedia jamban leher angsa, peturasan dan bak air.Tersedia tempat cuci tangan dengan jumlah yang cukup yang dilengkapi dengan sabun dan air mengalir, air limbah dibuang ke septick tank, roil atau lubang peresapan yang tidak mencemari air tanah dengan jarak 10 meter dari sumber air bersih, lantai dibuat kedap air, tidak licin, mudah dibersihkan dengan kemiringan sesuai ketentuan yang berlaku sehingga tidak terjadi genangan. Letak toilet terpisah minimal 10 meter dengan tempat penjualan makanan dan bahan pangan. Luas ventilasi minimal 20 % dari luas lantai dan pencahayaan 100 lux. Tersedia tempat sampah yang tertutup.

(21)

c) Pengelolaan sampah : setiap kios/los/lorong tersedia tempat sampah basah dan kering, terbuat dari bahan kedap air, tidak mudah berkarat, kuat, tertutup, dan mudah dibersihkan. Tersedia alat angkut sampah yang kuat, mudah dibersihkan dan mudah dipindahkan.Tersedia Tempat Pembuangan Sampah (TPS) dan tidak menjadi tempat perindukan binatang (vektor) penular penyakit, lokasi TPS tidak berada di jalur utama pasar dan berjarak minimal 10 meter dari bangunan pasar. Sampah diangkut minimal 1X24 jam.

d) Drainase : selokam/drainase sekitar pasar tertutup dengan kisi yang terbuat dari logam sehingga mudah dibersihkan, limbah cair yang berasal dari setiap los disalurkan ke IPAL, sebelum akhirnya dibuang ke saluran pembuangan umum. Kualitas limbah outlet harus memenuhi baku mutu, saluran drainase memiliki kemiringan sesuai dengan ketentuan, tidak ada bangunan los/kios di atas saluran drainase, dilakukan pengujian kualitas limbah cair secara berkala setiap 6 bulan sekali.

e) Tempat cuci tangan: fasilitas cuci tangan ditempatkan di lokasi yang mudah dijangkau, dilengkapi dengan sabun dan air yang mengalir dan limbahnya dialirkan ke saluran pembuangan yang tertutup.

f) Binatang penular penyakit : pada los makanan siap saji dan bahan pangan harus bebas dari lalat, kecoa, dan tikus; pada area pasar angka kepadatan tikus harus nol; angka kepadatan kecoa maksimal 2 ekor per plate di titik pengukuran sesuai dengan area pasar;

angka kepadatan lalat di tempat sampah dan drainase maksimal 30 per grill net; Container Index (CI) jentik nyamuk Aedes Aegypty tidak melebihi 5 %.

g) Kualitas makanan dan bahan pangan : tidak basi, tidak mengandung bahan berbahaya seperti pengawet borax, formalin, pewarna tekstil yang berbahaya sesuai dengan peraturan yang berlaku, tidak

(22)

mengandung residu pestisida di atas ambang batas, kualitas makanan siap saji sesuai dengan Kepmenkes nomor 942 tahun 2003 tentang makanan jajanan; makanan dalam kemasan tertutup disimpan dalam suhu rendah (4-100C), tidak kadaluwarsa dan berlabel jelas. Ikan, daging dan olahannya disimpan dalam suhu 0 s.d 40 C ; sayur, buah dan minuman disimpan dalam suhu 100 C;

telur, susu dan olahannya disimpan dalam suhu 5-70 C.

Penyimpanan bahan makanan harus ada jarak dengan lantai, dinding dan langit-langit : jarak dengan lantai 15 cm, dengan dinding 5 cm, dengan langit-langit 60 cm. Kebersihan peralatan makanan ditentukan dengan angka total kuman maksimal 100 kuman per cm2 permukaan dan kuman Eschericia-Coli nol.8) desinfeksi pasar : desinfeksi pasar harus dilakukan secara menyeluruh 1 hari dalam 1 bulan, bahan desinfektan yang digunakan tidak mencemari lingkungan.

4). Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) meliputi :

a).Pedagang dan pekerja: bagi pedagang daging karkas daging/unggas menggunakan alat pelindung diri (APD) sesuai dengan pekerjaannya (sepatu boot, sarung tangan, celemek, penutup rambut dll), berpola hidup bersih dan sehat (cuci tangan dengan sabun, tidak merokok, mandi sebelum pulang terutama bagi pedagang dan pemotong unggas, tidak buang sampah sembarangan, tidak meludah dan buang dahak sembarangan,dll), pemeriksaan kesehatan bagi pedagang secara berkala minimal enam bulan sekali, pedagang makanan siap saji tidak sedang menderita penyakit menular langsung seperti: diare, hepatitis, TBC, kudis, ISPA dan lain-lain.

b).Pengunjung : berpola hidup bersih dan sehat (PHBS) seperti tidak buang sampah sembarangan, tidak merokok, tidak meludah dan buang dahak sembarangan dan lain-lain; cuci

(23)

tangan dengan sabun terutama setelah memegang unggas/hewan hidup, daging,ikan.

c).Pengelola : mempunyai pengetahuan dan keterampilan di - bidang hygiene sanitasi dan keamanan pangan.

5) Keamanan (pemadam kebakaran dan keamanan) serta;

6) Fasiltas lain (tempat sarana ibadah, tempat penjualan unggas hidup, Pos Pelayanan Kesehatan).

Terdapat tujuh langkah penyelenggaraan pasar sehat menurut Kepu- tusan Menteri Kesehatan RI nomor. 519/MENKES/SK/VI/2008 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pasar Sehat, agar dapat terselenggaranya penyelenggaraan pasar sehat secara berkesinambungan yaitu : advokasi dan sosialisasi, peningkatan kapsitas SDM, analisis situasi, prioritas Rencana Kerja, implementasi Rencana Kerja, pembinaan dan pengawasan serta mekanisme pelaporan.

d. Klasifikasi Pasar

Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor : 16 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Pasar di dalam Bab V Pasal 9 termuat Kelas Pasar, Nama Pasar dan Pengaturan Jenis Dagangan. Kelas pasar terbagi menjadi 3 kelas pasar yaitu kelas 1, 2 dan 3 (Pemerintah Daerah Kabupa- ten Bantul, 2010).

1) Pasar Kelas 1 mempunyai karakteristik sebagai berikut:

a) hari pasaran setiap hari;

b) keluasan kios lebih dari 30% (tiga puluh per seratus) dari luas pasar;

c) fasilitas penujang berupa: tempat parkir kendaraan; tempat bongkar muat; tempat promosi; tempat ibadah;. kantor pengelola; kamar mandi wc; sarana pengamanan;. sarana pengelolaan kebersihan;

sarana air bersih; instalasi listrik; Penerangan umum; dan radio pasar.

2) Pasar kelas II, mempunyai karakteristik sebagai berikut :

(24)

a) hari pasaran tidak setiap hari;

b) keluasan kios kurang dari 30% (tiga puluh per seratus) dari luas pasar;

c) fasilitas penujang berupa: tempat parkir kendaraan, tempat promosi, tempat ibadah, kantor pengelola, kamar mandi WC, sarana pengamanan, sarana pengelolaan kebersihan, sarana air, instalasi listrik, penerangan umum, dan radio pasar.

3) Pasar kelas III mempunyai karakteristik sebagai berikut : a) hari pasaran tidak setiap hari;

b) hanya terdapat bangunan los dan tidak terdapat bangunan kios;

c) fasilitas penunjang berupa: tempat parkir, tempat promosi, tempat ibadah, kantor pengelola, kamar mandi WC, sarana pengamanan, sarana pengelolaan kebersihan, sarana air bersih, instalasi listrik, dan. penerangan umum.

5. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)

a. Pengertian Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor : 2269/MENKES/PER/XI/2011 tentang Pedoman Pembinan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat adalah : sekumpulan perilaku yang dipraktekkan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran, yang menjadikan seseorang, keluarga, kelompok atau masyarakat mampu menolong dirinya sendiri (mandiri) di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakat. PHBS mencakup semua perilaku yang harus dipraktikkan di bidang pencegahan dan penanggulangan penyakit, penyehatan lingkungan, kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, gizi, farmasi, dan pemeliharaan kesehatan. Perilaku-perilaku tersebut harus dipraktekkan di semua tatanan baik di tatanan rumah tangga, institusi pendidikan, tempat kerja, tempat umum dan di fasilitas pelayanan kesehatan.

(25)

PHBS di tempat-tempat umum adalah upaya untuk memberdayakan masyarakat pengunjung dan pengelola tempat-tempat umum agar tahu, mau dan mampu untuk mempraktikan PHBS dan berperan aktif dalam mewujudkan tempat-tempat umum sehat. Adapun yang dimaksud dengan tempat-tempat umum adalah sarana yang diselenggarakan oleh pemerintah/swasta atau perorangan yang digunakan untuk kegiatan bagi masyarakat seperti sarana pariwisata, transportasi, sarana ibadah, sarana perdagangan dan olah raga, rekreasi dan sarana sosial lainnya (Kementerian Kesehatan RI, 2011).

Pemberdayaan PHBS menurut Permenkes RI Nomor : 2269/ MENKES/

PER/XI/2011 adalah proses pemberian informasi PHBS kepada individu, keluarga atau masyarakat (sasaran) secara terus menerus dan berkesinambungan mengikuti perkembangan sasaran, serta proses membantu sasaran, agar sasaran tersebut berubah dari tidak tahu menjadi tahu atau sadar (aspek knowledge) tentang PHBS, dari tahu menjadi mau melaksanakan PHBS (aspek attitude), dan dari mau menjadi mampu melaksanakan PHBS. Agar berubah dari tidak tahu menjadi tahu diperlukan pengetahuan tentang PHBS, agar berubah dari tahu menjadi mau melak- sanakan PHBS diperlukan sikap tentang PHBS dan dari mau menjadi mam- pu melaksanakan PHBS diperlukan perilaku tentang PHBS.

b. Indikator PHBS

1). PHBS Tatanan Rumah Tangga

Berdasarkan pedoman yang dikeluarkan Kementrian Kesehatan RI tahun 2011 (Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor : 2269/ MENKES/

PER/XI/2011) PHBS tatanan rumah tangga sejak dicanangkan tahun 1996 memiliki 10 indikator yaitu : Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan; Imunisasi dan penimbangan balita; Memiliki jamban sehat;

Memiliki akses air bersih; Penanganan sampah; Kebersihan kuku; Gizi keluarga; Tidak merokok dan menyalahgunakan NAPZA; Memiliki informasi PMS/AIDS; Memiliki Jaminan Pemeliharaan Kesehatan/Dana Sehat. Pada tahun 2001 indikator PHBS di tatanan RT ini kemudian

(26)

dikembangkan menjadi 16 indikator dengan menambahkan 6 indikator:

Gosok gigi sebelum tidur; Olahraga teratur; Memiliki saluran pembuangan air limbah; Ventilasi rumah baik; Kepadatan penghuni rumah; Kesesuaian luas lantai dengan jumlah penghuni dan lantai rumah bukan tanah. Indikator baru tersebut dianggap terlalu banyak (16 indikator), sehingga melalui serangkaian pertemuan, diskusi intensif, uji instrumen, uji sistem dan uji statistik/item reduction untuk melihat keterkaitan indikator-indikator tersebut dengan penyebab terjadinya gangguan kesehatan dan angka kesakitan yang dilakukan sejak tahun 2000-2003 dari 16 indikator awal ditetapkan 10 indikator PHBS.

Berdasarkan Rapat koordinasi Promosi Kesehatan Tingkat Nasional, pada tahun 2007 indikator PHBS di Rumah Tangga diubah menjadi : Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan; Memberi bayi ASI eksklusif;

Menimbang balita setiap bulan; Menggunakan air bersih;Mencuci tangan dengan sabun; Menggunakan jamban sehat; Memberantas jentik nyamuk;

Mengonsumsi buah dan sayur setiap hari; Melakukan aktivitas fisik setiap hari; Tidak merokok di dalam rumah (Kementrian Kesehatan RI, 2011).

Penilaian analisis indikator PHBS yang digunakan di Kabupaten Bantul tidak sama dengan indikator PHBS Nasional. Kabupaten Bantul menggunakan 20 indikator yaitu 10 indikator nasional dan 10 indikator pengembangan lainnya yaitu: Ibu hamil memeriksakan kehamilan; Bayi diimunisasi secara lengkap sesuai usianya; Menempati rumah sehat;

Kebiasaan gosok gigi;Tidak meludah dan membuang dahak di sem- barang tempat; Mempunyai jaminan pemeliharaan kesehatan; Makan bergizi seimbang; Menggunakan garam berIodium; Memberikan sup- plemen gizi sesuai anjuran; Makan pagi / sarapan (Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul, 2016)

Analisis penilaian tingkat rumah tangga untuk 20 indikator yaitu apabila minimal 75 % terpenuhi maka rumah tangga dinilai ber-PHBS.

Untuk penilaian indikator tingkat nasional, dari 10 indikator apabila

(27)

salah satu indikator tidak terpenuhi maka suatu rumah tangga dinilai tidak ber-PHBS (Kementerian Kesehatan RI, 2011).

2). PHBS Institusi Pendidikan

Di institusi pendidikan (kampus, sekolah, pesantren, padepokan dan lain-lain), sasaran primer harus mempraktekkan perilaku yang dapat menciptakan institusi pendidikan ber-PHBS, yang mencakup antara lain mencuci tangan menggunakan sabun, mengonsumsi makanan dan minuman sehat, menggunakan jamban sehat, membuang sampah di tempat sampah, tidak merokok, tidak mengonsumsi Narkoba, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA), tidak meludah sembarang tempat, memberantas jentik nyamuk (Kementerian Kesehatan RI, 2011).

3) PHBS Tempat Kerja

Di tempat kerja (kantor, pabrik dan lain-lain), sasaran primer harus mempraktekkan perilaku yang dapat menciptakan Tempat Kerja ber- PHBS, yang mencakup mencuci tangan dengan sabun, mengonsumsi makanan dan minuman sehat, menggunakan jamban sehat, membuang sampah di tempat sampah, tidak merokok, tidak mengonsumsi NAPZA, tidak meludah sembarang tempat, memberantas jentik nyamuk (Kementerian Kesehatan RI, 2011).

4) PHBS Tempat-tempat Umum

Di tempat umum (tempat ibadah, pasar, pertokoan, terminal, dermaga, dan lain-lain), sasaran primer harus mempraktekkan perilaku yang dapat menciptakan tempat umum ber-PHBS, yang mencakup 7 indikator yaitu: mencuci tangan dengan sabun, menggunakan jamban sehat, membuang sampah di tempat sampah, tidak merokok, tidak mengonsumsi NAPZA, tidak meludah di sembarang tempat dan memberantas jentik nyamuk (Kementerian Kesehatan RI, 2011).

Indikator PHBS di pasar menurut Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat (2010) hampir sama dengan PHBS di tempat umum meliputi enam indikator yaitu : menggunakan air bersih, membuang sampah pada

(28)

tempatnya, menggunakan jamban, tidak merokok di pasar, tidak meludah sembarangan dan memberantas jentik nyamuk. Sedangkan Indikator PHBS di pasar berdasarkan persyaratan kesehatan lingkungan pasar yang tercantum dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor.

519/MENKES/SK/VI/2008 tentang pedoman penyelenggaraan pasar sehat untuk pedagang dan pekerja adalah : cuci tangan dengan sabun, tidak merokok, mandi sebelum pulang terutama bagi pedagang dan pemotong unggas, tidak buang sampah sembarangan, tidak meludah dan buang dahak sembarangan (Kementerian Kesehatan RI, 2008).

5). PHBS Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Di fasilitas pelayanan kesehatan (klinik, Puskesmas, rumah sakit dan lain-lain), sasaran primer harus mempraktekkan perilaku yang dapat menciptakan Fasilitas pelayanan kesehatan ber-PHBS, yang mencakup mencuci tangan dengan sabun, menggunakan jamban sehat, membuang sampah di tempat sampah, tidak merokok, tidak mengkonsumsi NAPZA, tidak meludah di semba- rang tempat, dan memberantas jentik nyamuk.

(Kementerian Kesehatan RI, 2011).

c. Strategi Promosi Kesehatan untuk pembinaan PHBS

Strategi promosi kesehatan untuk pembinaan PHBS bersifat menyeluruh. Mengacu pada Piagam Ottawa (Ottawa Charter) yang merupakan hasil dari Konferensi Internasional Promosi Kesehatan Pertama di Ottawa (Kanada), tiga strategi pokok yang harus dilaksanakan dalam promosi kesehatan yaitu : advokasi, bina suasana, dan pember-dayaan (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Di Indonesia,strategi pokok tersebut kemudian diformulasikan ke dalam : gerakan pemberdayaan (G), yang didukung oleh bina suasana (B), dan Advokasi (A) serta dilandasi oleh semangat Kemitraan. Pemberdayaan adalah srategi pokok dalam rangka mengembangkan kemampuan individu dan memperkuat gerakan masyarakat. Bina suasana adalah strategi pokok dalam menciptakan lingkungan (khususnya nonfisik) yang mendukung. Advokasi adalah strategi pokok dalam rangka mengembangkan kebijakan berwawasan

(29)

kesehatan, menciptakan lingkungan fisik yang mendukung dan menata kembali arah pelayanan kesehatan. Kesemuanya itu dilaksanakan melalui pengem-bangan kemitraan. Dengan melaksanakan strategi pokok tersebut secara benar dan terkoordinasi diharapkan akan tercipta PHBS yang berupa kemampuan masyarakat berperilaku mencegah dan menanggulangi masalah kesehatan. Strategi promosi kesehatan digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.3 Strategi Promosi Kesehatan untuk Pembinaan PHBS (Kementerian Kesehatan RI, 2011)

d. Pembinaan PHBS

Pembinaan PHBS menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor : 2269/MENKES/PER/XI/2011 tentang Pedoman Pembinaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat adalah upaya untuk menciptakan dan melestarikan perilaku hidup yang berorientasi kepada kebersihan dan kesehatan di masyarakat, agar masyarakat dapat mandiri dalam mencegah dan menanggulangi masalah-masalah kesehatan yang dihadapinya. Oleh karena itu, pembinaan PHBS dilaksanakan melalui penyelenggaraan promosi kesehatan, yaitu upaya untuk membantu individu, keluarga, kelompok, dan

KEMITRAAN 4

3 ADVOKASI

(A)

2 BINA SUASANA

(B)

1. 1.GERAKAN PEMBER- DAYAAN

(G)

MENCEGAH

& MENANG- GULANGI MASALAH KESEHATAN

(PHBS)

(30)

masyarakat agar tahu, mau dan mampu mempraktekkan PHBS, melalui proses pembelajaran dalam mencegah dan menanggulangi masalah-masalah kesehatan yang dihadapi, sesuai sosial budaya setempat seta didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan kesehatan (Kementerian Kesehatan RI, 2011).

Pembinaan PHBS di tempat umum dilaksanakan secara terintegrasi dengan kegiatan pembinaan oleh lintas sektor terkait sesuai dengan tempat umum yang dibinanya dan juga dengan pengembangan dan pembinaan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif. Tanggung jawab pembinaan terendah PHBS di tempat umum juga diletakkan di tingkat kabupaten/kota.

1). Pemberdayaan : Pemberdayaan di tempat umum ditujukan kepada para pengunjung tempat umum. Di tempat umum pemberdayaan diawali dengan pengorganisasian masyarakat (yaitu masyarakat tempat umum, khususnya pengelola tempat umum). Tujuannya adalah untuk mem- bentuk atau merevitalisasi tim kesehatan di tempat umum yang bersangkutan (pengembangan kapasitas pengelola). Dengan pengor- ganisasian masyarakat ini, maka selanjutnya pemberdayaan pengunjung tempat umum dapat ditimbangterimakan kepada pengelola tempat umum serta tim kesehatannya. Pemberdayaan dapat dilaksanakan melalui penyelenggaraan Klinik Konsultasi Kesehatan sebagai UKBM di tempat umum yang dikelola oleh tim kesehatan.

2). Bina Suasana: Pemilik/ pengelola tempat umum dan tim kesehatan juga bertugas menyelenggarakan bina suasana di tempat umum yang mereka kelola. Tugas yang utama adalah berperan sebagai panutan dalam mempraktikkan PHBS bagi pengunjung tempat umum yang dikelolanya. Tugas berikutnya adalah memanfaatkan media tentang PHBS seperti pemasangan billboard, poster, banner di tempat-tempat strategis, pembagian selebaran (leaflet), penunjukan film, serta jika mungkin menyelenggarakan seminar/symposium/ diskusi, mengundang pakar atau tokoh untuk berceramah, pemanfaatan halaman untuk taman obat/ taman gizi dan lain-lain.

(31)

3). Advokasi: Advokasi dilakukan oleh fasilitator dari kabupaten/kota/

provinsi terhadap para pengelola tempat umum agar mereka berperan serta dalam kegiatan pembinaan PHBS di tempat umum yang dikelolanya. Para pengelola tempat umum misalnya, harus memberikan dukungan kebijakan/ pengaturan dan menyediakan sarana agar PHBS di tempat umum dapat dipraktikkan.

4). Kemitraan: Kemitraan harus digalang baik dalam rangka pemberdayaan maupun bina suasana dan advokasi guna membangun kerjasama dan mendapatkan dukungan. Dengan demikian kemitraan perlu digalang antar individu, keluarga, pejabat atau instansi pemerintah yang terkait dengan urusan kesehatan (lintas sektor), pemuka dan tokoh masyarakat, media massa dan lain-lain. Kemitraan yang digalang harus berlan- daskan pada tiga prinsip dasar, yaitu : kesetaraan, keterbukaan dan saling menguntungkan. Pertama. Kesetaraan : tidak diciptakan hubu- ngan yang bersifat hirarkis. Semua harus diawali dengan kesediaan menerima bahwa masing-masing berada dalam kedudukan yang sama.

Keadaan ini dapat dicapai apabila semua pihak bersedia me- ngembangkan hubungan kekeluargaan, yaitu hubungan yang dilandasi kebersamaan atau kepentingan bersama. Bila kemudian dibentuk struktur hirarkis (misalnya sebuah tim) adalah karena kesepakatan.

Kedua. Keterbukaan : di dalam setiap langkah diperlukan adanya keju- juran dari masing- masing pihak. Setiap usul/saran/komentar harus disertai dengan alasan yang jujur, sesuai fakta, tidak menutup-nutupi sesuatu. Pada awalnya hal ini mungkin akan menimbulkan diskusi lebih 3lanut, namun kesadaran akan kekeluargaan dan kebersamaan akan menimbulkan solusi yang adil bagi semua pihak. Keiga. Saling menguntungkan : Kemitraan yang dijalankan harus dapat memberikan keuntungan kepada kedua belah pihak yang bermitra dan tidak hanya memberikan keuntungan kepada satu pihak saja. Kemitraan dalam pengelolaan PHBS di tempat umum dapat dilaksanakan dengan

(32)

berbagai lintas program dan lintas sektor yang terkait misalnya dengan

bagian kesehatan lingkungan, pencegahan penyakit, dan lain-lain.

Pemantauan dilakukan untuk melihat keberhasilan pembinaan PHBS dengan mengukur atau mengevaluasi PHBS tatanan rumah tangga. Namun demikian hasil akhir ini sangat dipengaruhi oleh hasil- hasil antara yaitu PHBS di berbagai tatanan lain. Evaluasi dilakukan terhadap dampak pembinaan PHBS, yaitu yang berupa perubahan perilaku masyarakat di tatanan rumah tangga. Evaluasi dilakukan beberapa tahun sekali dengan menyelenggarakan survai secara nasional terhadap masyarakat. Oleh karena survai secara nasional memerlukan biaya yang cukup besar, maka evaluasi terhadap keberhasilan pembinaan PHBS diintegrasikan dengan survai-survai yang dise- lenggarakan oleh Kementrian Kesehatan yaitu Riset Kesehatan Dasar dan oleh Badan Pusat Statistik seperti Susenas, SDKI dan lain-lain.

Frekuensi evaluasi pembinaan PHBS dengan demkian mengikuti frekuensi penyelenggaraan survai-survai tersebut. Keberhasilan pem- binaan PHBS dapat dilihat dari pencapaian upaya-upaya yang dilakukan di pusat, provinsi, kabupaten, kota, kecamatan, desa, kelurahan dan di berbagai tatanan lain.

c. Participatory Hygiene Sanitation Transformation (PHAST)

Proyek pasar sehat percontohan menurut Tim Kementerian Kesehatan RI (2014) terdiri dari 4 komponen kegiatan yaitu: (1) Pasar sehat percontohan dan replikasinya; (2) Peningkatan kesadaran masyarakat dalam pencegahan dan pengendalian flu burung dan penyakit yang ditularkan melalui pangan (foodborne diseases); (3) Membangun kapasitas semua pihak terkait; dan (4) Pengelolaan proyek. Pada komponen kedua yaitu:

Peningkatan kesadaran masyarakat, metodologi yang spesifik untuk meningkatkan partisipasi masyarakat untuk rnencapai perubahan perilaku berkesinambungan dikenal dengan metodologi untuk Analisis dan Manajemen Risiko secara partisipatip (PHAST Pasar).

(33)

Participatory Hygiene Sanitation Transformation (PHAST) Pasar adalah pendekatan untuk perubahan hygiene perorangan dan kebiasaan/ perilaku serta sistem sistem sosial yang berkelanjutan melalui proses partisipatif.

PHAST Pasar dilakukan bersama oleh fasilitator dari Direktorat PL, Kemenkes, Dinas Kesehatan Propinsi, Tim Pembina Pasar Kabupaten/Kota dan Pokja pasar sehat melalui keikutsertaan dalam kegiatan yang dilakukan masyarakat dan melakukan p endekatan/himbauan untuk mengajak komunitas pasar mengadopsi perilaku sehat di pasar tradisional dan pada akhirnya akan menghasilkan perencanaan berdasarkan partisipatif untuk sistem monitoring perilaku masyarakat/komunitas pasar. Beberapa kegiatan dalam proses partisipasi adalah: (1) Pemahaman sarana memenuhi syarat dan tidak memenuhi syarat, (2) Pemahaman perilaku sehat dan tidak sehat, (3) Pemetaan sarana fasilitas hygiene dan sanitasi di pasar, (4) Identifikasi penyakit, (5) Pengenalan cara penularan/cara masuk penyakit, (6) Pencegahan/pemutusan rantai penularan penyakit, (7) pilihan kegiatan prioritas, (8) fasilitator yang baik, (9) Perencanaan kegiatan hygiene dan sanitasi di pasar, (10) Membangun komitmen pembelajaran, (11) Konsep dasar kesinambungan, (12) Kesetaraan gender, (13) Persiapan praktek lapangan, (14) Praktek lapangan, dan (15) Rencana Kerja Tindak Lanjut (RKTL).

B. Kerangka Pikir

Penelitian ini secara teoritis menggunakan dan mengkombinasikan teori yang sudah ada dan membangun sebuah konsep baru yang diharapkan menjadi model promosi kesehatan pada program perilaku hidup bersih dan sehat tatanan pasar tradisional. Ada 2 teori dasar yang menjadi konsep penelitian ini yaitu Teory of Planned Behaviour (TPB) dari Ajzen 1991 dan The Precede-Proceed Model For Health Promotion Planning And Evaluation dari L.W. Green (2005). TPB mengasumsikan bahwa sikap akan memengaruhi niat berperilaku namun sikap tidak menentukan perilaku secara langsung, melainkan melalui kombinasi dengan norma subjektif dan persepsi kontrol perilaku (Ajzen, 2005).

Referensi

Dokumen terkait

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Pri Iswati Utami, M.Si., Apt dan Ibu Wiranti Sri Rahayu, M.Si., Apt yang telah berkenan membimbing dan

Hasil dari penelitian ini adalah kemampuan pemecahan masalah matematika peserta didik kelas VII-A SMP Negeri 1 Kebomas melalui model pembelajaran kooperatif Teams

Saya adalah mahasiswi Program Studi S1 Ilmu Keperawatan, Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara, yang sedang melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh

Survei larva merupakan kegiatan pemeriksaan tempat penampungan air yang menjadi tempat perkembangbiakan larva Aedes untuk mengetahui ada tidaknya larva. Pemeriksaan

Hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan, DPPKAD Kota Palu dalam perlakuan akuntansi yang meliputi pengakuan, pengukuran, pencatatan, pelaporan, dan pengungkapan

Shock merupakan komponen yang digunakan untuk meredam getaran dan goncangan yang berlebih pada jetski ketika kendaraan ini berjalan di darat.Jenis shock yang

Federal Oil memiliki satu orang operator yang melayani proses pengepakan, berdasarkan observasi pada kondisi saat ini masih belum optimal dalam mengimbangi jumlah kedatangan botol

* Masih banyak produk lain yang dapat Anda pilih (lihat catalog regular Tupperware) * Syarat dan ketentuan berlaku.. Untuk penjelasan detail hubungi Consultant/Distributor terdekat